Bab 3 —
Langkah Pertama Menggapai Tujuan!
“Eh?
Aku akan bertanya dulu pada manajer, tapi katanya mereka membutuhkan lebih
banyak tenaga bantuan, jadi kupikir tidak ada masalah.”
Amane segera menghubungi Ayaka,
memanfaatkan fakta bahwa ia juga memiliki hari libur keesokan harinya. Ia sudah
bertukar informasi kontak dengannya selama fase persiapan festival budaya
beberapa hari yang lalu.
Saat ia sedang memikirkan di
mana ia akan bekerja paruh waktu, Amane jadi teringat dengan ajakan Ayaka tempo
hari. Amane kemudian memutuskan untuk menerima tawarannya, baik untuk belajar
lebih banyak tentang industri makanan dan jasa serta untuk meningkatkan
kemampuan interpersonalnya yang kurang.
Amane berdiri di dekat pintu
masuk kompleks apartemennya. Ia ingin memberi kejutan kepada Mahiru, jadi Amane
sengaja menelepon di tempat yang takkan didengar oleh Mahiru.
Amane berpikir bahwa Ayaka yang
toleran sekalipun akan merasa terganggu jika ia tiba-tiba menindaklanjuti
tawaran tersebut, terutama mengingat Amane sudah menolak ajakan awalnya, tetapi
Ayaka justru merespons dengan positif. Amane hanya bisa terdiam bingung.
“Baiklah... ehm, bagaimana
dengan wawancaranya?”
“Kamu
mungkin harus melakukannya, bahkan dengan bantuanku, tapi kurasa mereka akan
menerimamu dengan cepat tanpa masalah. Kamu akan diperkenalkan melalui aku,
jadi mereka tahu bahwa tidak ada masalah dengan kepribadianmu atau semacamnya.
Terlepas dari penampilanku, aku adalah gadis yang sangat serius dalam hal
pekerjaan paruh waktuku; manajer bahkan menaruh kepercayaan padaku.”
Amane sama sekali tidak
terkejut oleh pernyataan itu, tetapi tampaknya Ayaka cukup dipercaya dalam
pekerjaannya. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kepribadiannya;
sungguh-sungguh, ramah, berpikiran terbuka, dan juga cerdas. Amane memahami hal
ini bahkan sejak awal ia mengenal Ayaka, dan tidak mengherankan baginya, kalau
Ayaka sangat disukai.
Amane dapat membayangkan dengan
jelas Ayaka membusungkan dadanya saat dirinya mendengar suara "ahem" beresonansi melalui telepon.
Mau tak mau Amane jadi tertawa geli.
“Terus
terang saja, aku tidak keberatan memperkenalkanmu, tapi apa kamu tidak
keberatan dengan pekerjaan paruh waktu ini, Fujimiya-kun?”
“Yah, aku sudah terbiasa dengan
layanan pelanggan sekarang.”
“Hm?
Maksudku bukan begitu. Apa Shiina-san tak masalah dengan hal ini? Atau lebih
tepatnya, apa kamu sudah menjelaskan semua ini padanya?”
“B-Belum. Aku belum
membicarakannya dengan dia sampai sekarang.”
“Bukannya
nanti bakalan gawat jika kamu belum membicarakan hal semacam ini dengannya? Aku
ragu kamu akan kekurangan uang jika kamu akhirnya bekerja di sini, tetapi aku
khawatir apa Shiina-san bakal cemburu atau semacamnya ~?”
“Ugh. Itu...”
Saat ini, Amane meminta untuk
diperkenalkan pada sebuah pekerjaan paruh waktu. Dan rekan sejawat yang bekerja
di pekerjaan itu, tentu saja, Ayaka.
Kafe yang dimaksud adalah kafe
yang meminjamkan mereka kostum untuk festival budaya yang baru saja mereka
adakan. Dengan kata lain, ini adalah kafe di mana para karyawannya melayani
pelanggan sambil mengenakan kostum tersebut. Tentu saja, Amane juga akan
mengenakan kostum jika ia dipekerjakan, sama seperti yang dilakukannya selama
festival.
Ada pilihan untuk bekerja tanpa
memberi tahu Mahiru, tetapi dia akan sangat terpukul begitu mengetahuinya.
Tidak peduli bagaimana Amane memikirkan berbagai kemungkinan, dia akan berisiko
melukai perasaannya.
Ada kejadian dimana pelanggan
gadis meminta informasi kontak Amane saat festival budaya berlangsung, dan
Mahiru merajuk. Mengetahui hal ini, Amane tidak ingin melakukan apa pun yang
akan membuatnya merasa tidak nyaman. Tentu saja, kemungkinan Amane selingkuh
bukanlah sesuatu yang ia pertimbangkan, dan Mahiru sendiri percaya bahwa ia
tidak akan melakukannya, tapi ini adalah masalah yang lahir dari emosi; akal
sehat merupakan hal yang berbeda.
“Pertama-tama,
kenapa kamu tiba-tiba merasa ingin mulai bekerja?”
Ayaka hanya menanyakan sebuah
pertanyaan sederhana, tapi Amane menutup mulutnya rapat-rapat.
Jika Amane meminta Ayaka
merahasiakan alasannya dari Mahiru, dia pasti akan menghormati keinginannya.
Namun, jika Amane memberitahunya kalau ia berencana menabung demi bisa membeli
cincin, hal itu jelas terbukti terlalu memalukan baginya.
Semua orang yang dikenalnya,
kemungkinan besar menyadari bahwa Amane terlalu memanjakan Mahiru demi
kebaikannya sendiri— Amane bahkan menyadarinya sendiri. Akan tetapi, ia masih
merasa ragu untuk menjelaskan kalau dirinya ingin menghadiahkan sebuah cincin
untuk kekasih tercintanya.
Namun, jika ia menolak untuk
memberitahunya, Ayaka tidak akan sedikitpun yakin, dan menyembunyikan sesuatu
darinya bukanlah ide yang bagus. Dia adalah seseorang yang menawarkan bantuan
padanya.
“... Sebenarnya, ehm. Apa kamu
bisa berjanji untuk jangan memberitahu siapapun, terutama Mahiru, tentang hal
ini?”
“Ah—
aku sudah menduganya. Kamu ingin memberi Shiina-san semacam hadiah. Sesuatu
untuk Natal, mungkin?”
“B-Bukan untuk Natal... Yah,
ini memang persiapan untuk tahun depan. Uhmm, aku ingin membelikannya sebuah
cincin...”
Amane menghentikan jawaban
terakhirnya, dan membungkuk saat keheningan yang dihasilkan terus berlanjut.
Amane dengan gelisah menunggu
jawaban dari Ayaka. Ia bertanya-tanya apa dirinya bergerak terlalu cepat saat
ini, terutama dirinya masih seorang pelajar. Setelah sepuluh detik hening, “Ah ... aku telah mendapat pukulan berat
melalui telepon," bisik Ayaka pelan sebelum melanjutkan, “Jadi begitulah. Aku mengerti niatmu, Fujimiya-kun,
dan aku sekarang yakin.”
“... Ya. Erm, itu adalah
sesuatu yang ingin kudapatkan dengan benar. Dengan kerja kerasku sendiri.”
“Begitu
ya. Kalau gitu, mungkin kamu harus menghindari bekerja di tempatku. Meskipun
kamu hanya melakukan yang terbaik untuknya, aku ragu Shiina-san akan senang
mengetahui pacarnya bekerja di tempat di mana kamu harus berinteraksi dengan
banyak wanita.”
Dia membuat poin yang valid,
jadi Amane menjawab, “Itu benar. Maaf karena tidak memikirkan hal itu.” Dia
mempertimbangkan untuk kembali ke apartemennya dan melihat-lihat lagi situs web
lowongan pekerjaan, tetapi kemudian mendengar suara yang mengatakan, “Tapi...” dari seberang telepon.
“Jika
kamu tidak keberatan bekerja di kedai kopi yang berbeda, aku masih bisa
memperkenalkanmu. Ada kedai kopi yang dikelola oleh bibiku; kedai kopi ini agak
sepi dan pelanggannya kebanyakan orang yang lebih tua, jadi kupikir tempat itu
akan lebih cocok untukmu dari segi kepribadian.”
“Itu akan sangat ideal, tapi...
kamu tidak bekerja di sana, Kido?”
Amane percaya bahwa jika dia
memiliki koneksi di dalam keluarganya sendiri, tidak ada alasan khusus untuk
tidak bekerja di sana. Namun, Ayaka tampak kesulitan memilih kata-katanya. “Ah, ya...” suaranya terdengar tegang di
ujung telepon.
“Hmm... Yah, gimana ya, aku seperti... tidak pandai berurusan dengan
bibiku...”
“Namun kamu akan mengenalkanku
padanya? Aku benar-benar minta maaf atas semua ini.”
“Ah,
tidak, bukan itu yang kumaksudkan, oke? Bibiku... bagaimana aku harus
mengatakannya. Dia sangat, sangat menyukai kucing, kurasa?”
“Apa dia menyayangi
kucing-kucingnya?"
“Benar.
Bibiku sangat dekat dengan ibuku, dan karena aku adalah putrinya, dia sangat memanjakanku,
tetapi... dia sangat menyayangiku sampai-sampai rasa sayangnya terasa mencekik,
dan aku merasa tidak mungkin bagiku untuk melakukan apa pun sendirian saat aku
di sana. Selain itu, dalam hal menjalankan tempat kerja, mengubah sikapmu
terhadap seorang karyawan dan memberikan perlakuan khusus tidaklah baik;
karyawan lain mungkin akan marah saat melihatnya.”
Ayaka lebih banyak mengalami
masalah daripada menentangnya. Dia mungkin diperlakukan dengan cara yang sama
seperti Shihoko memperlakukan Mahiru.
Shihoko sengaja memanjakan
Mahiru, karena dia tahu bahwa Mahiru memiliki sifat yang tegas dan mandiri,
meskipun Mahiru mungkin akan terpengaruh secara berbeda jika dibandingkan
dengan Ayaka.
“Itu
sebabnya aku tidak bekerja untuk bibiku, melainkan untuk kenalannya. Mungkin
aneh bagiku untuk mengatakan hal ini tentang diriku sendiri, tetapi aku bangga
dengan kenyataan bahwa orang-orang menyukai kepribadianku.”
“Ya, itu benar. Kamu cukup
ramah dan kamu menarik orang-orang di sekitarmu.”
“Shiina-san
akan cemburu jika kamu mengatakan hal-hal seperti itu dengan enteng, jadi
jangan sering-sering. Terlepas dari situasiku, aku bisa mengkonfirmasi tawaran
itu dengan bibiku jika kamu setuju, Fujimiya-kun, dan jika dia menerimamu,
bagaimana kalau kita berkeliling di sekitar tempat kerja? Dengan begitu, kamu
bisa memutuskan dengan baik setelah melihat-lihat tempat kerja, dan kamu
mungkin akan lebih mudah untuk mulai bekerja.”
“Itu akan sangat membantuku,
tapi... apa kamu yakin tidak apa-apa kalau kamu membantuku sampai sejauh itu?”
“Enggak masalah, enggak masalah.
Aku tahu bahwa kamu mencintai Shiina-san, jadi tolong biarkan aku membantumu.
Aku bahkan akan memberimu saran untuk memilih cincin itu jika kamu mau, loh?”
“... Yah, aku mungkin akan
memintamu ketika waktunya tiba. Chitose juga.”
“Hehe.
Serahkan saja padaku.”
Sungguh ideal untuk meminta
pendapat seorang wanita mengenai cincin, dan yang paling penting, Chitose telah
mengawasi serta mendukungnya dalam menjalin hubungan dengan Mahiru sejak awal.
Amane sangat menyadari kedua hal ini, jadi mana mungkin ia tidak meminta
Chitose untuk ikut serta. Kalau bisa, ia ingin mendapatkan bantuan dari
keduanya.
Meskipun begitu, Amane takkan
membeli cincin sampai waktu yang jauh di masa depan, jadi mereka hanya membuat
kesepakatan santai, “Aku akan menghubungimu
nanti, atau memberimu laporan di sekolah,” kata Ayaka sambil menutup
telepon.
✧ ✦ ✧
“... Pekerjaan paruh waktu?”
Begitu Amane kembali ke unit
apatemennya dan memanggil Mahiru, yang sedang bersantai di sofa, dia tampak
cukup terkejut ketika dia menatap Amane.
“Kenapa mendadak sekali, dan
kenapa sekarang? Kita akan mengikuti ujian masuk tahun depan, dan selain itu,
kita harus mulai belajar untuk ujian masuk.”
Amane sudah menduga keberatan
ini dari Mahiru, meskipun ia juga tahu bahwa ia tidak bisa menyembunyikan
rencananya, jadi ia berterus terang saja, dan mengatakan bahwa ia berniat
mencari pekerjaan paruh waktu, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Walau demikian,
pertanyaan Mahiru adalah pertanyaan yang masuk akal.
Amane ingin menyembunyikan
rencana lengkapnya dari Mahiru sampai ia bisa mencapai tujuannya, tapi ia sadar
betul bahwa mulai bekerja ketika mereka akan naik kelas 3 adalah hal yang tidak
wajar, terutama mengingat bahwa ia akan segera mulai mempersiapkan diri untuk
ujian akhir.
“Ah... Yah, ada satu benda yang
sangat ingin aku beli.”
“Sesuatu yang kamu inginkan?”
“Ada juga manfaat dari
mendapatkan pengalaman sosial,” Amane melanjutkan, “Tentu saja, aku tidak berencana
untuk menghalangi belajarku dengan mengambil banyak shift, dan selain itu,
kupikir aku akan menabung cukup banyak uang pada saat sekolah menghentikan
kegiatan klub, jadi aku harus bisa mengerahkan seluruh upayaku untuk belajar
sebelum ujian masuk diadakan. Bila dilihat dari nilaiku, mereka seharusnya
berada di level yang sama dengan mereka yang belajar sambil melakukan kegiatan
klub; semuanya tergantung pada seberapa banyak usaha yang aku lakukan, dan aku
tidak berniat untuk mengendur. Aku takkan menyalahkan pekerjaanku meskipun
nilaiku mulai menurun.”
Karena Amane bukan bagian dari
klub mana pun dan tidak memiliki pekerjaan paruh waktu, ia memiliki lebih
banyak waktu untuk belajar daripada siswa yang berpartisipasi dalam kegiatan
klub. Hal ini memberinya lebih banyak pilihan, tetapi jika ia mulai bekerja
sekarang, jumlah usaha yang harus dikerahkannya pasti akan meningkat.
Amane sadar bahwa ia cukup baik
dalam hal akademis, tetapi jika ia menghabiskan banyak waktunya untuk bekerja,
jumlah usaha yang ia curahkan hingga saat ini takkan cukup untuk mempertahankan
nilainya yang sekarang.
Namun, Amane sama sekali tidak
berniat untuk menyerah untuk kuliah atau masa depannya bersama Mahiru. Sebaliknya,
Amane berniat untuk berusaha lebih keras lagi daripada sebelumnya. Dirinya
berencana untuk belajar lebih keras dan lebih memperhatikan selama jam
pelajaran, mencoba menyerap lebih banyak informasi sekaligus.
Bahkan jika itu berarti memikul
beban yang berat, Amane tidak berniat untuk berkompromi atau mundur.
Ketika Amane menatap Mahiru
dengan tatapan serius yang menunjukkan tekadnya, dia menunduk, mengerutkan
alisnya seolah-olah dia bermasalah.
“Tidak, tidak perlu bagiku
untuk mencampuri keputusanmu, dan jika kamu berpikir sejauh itu, aku akan
menghormati pilihanmu, Amane-kun. Erm, rasanya akan terasa kesepian jika aku
tidak bisa menghabiskan waktu bersamamu, tapi...”
Mahiru mengeluarkan senyum yang
sedikit kesepian, yang menyebabkan tekad Amane sedikit goyah, tapi ini bukanlah
keputusan yang bisa dicabut begitu saja. Ia lalu menunjukkan senyumannya
sendiri.
“Aku memang merasa menyesal
tentang hal ini. Sebagai gantinya, ketika aku mendapatkan waktu libur kerja, aku
akan memprioritaskan untuk menghabiskan waktu bersamamu, Mahiru.”
“Kamu selalu mengutamakanku,
Amane-kun. Kamu juga harus memprioritaskan dirimu sendiri, oke?”
“Memprioritaskan perasaanku
sendiri hanya akan membuatku mengutamakanmu, Mahiru, jadi tidak apa-apa—”
Pada dasarnya, Amane tidak akan
puas jika ia hanya memprioritaskan dirinya sendiri dalam segala hal yang ia
lakukan. Bersama Mahiru adalah satu-satunya cara agar ia bisa merasakan
kepuasan; kebahagiaan Mahiru adalah kebahagiaan Amane juga.
Amane sadar betul kalau dirinya
sangat mencintai Mahiru sampai-sampai kebahagiaannya sama persis dengan
kebahagiaannya, dan meskipun mengejar pikiran seperti itu membuatnya merasa
agak gelisah, hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa Amane hanya merasa paling
puas ketika melihat orang yang dicintainya hidup dengan sangat bahagia.
Itulah sebabnya Amane bisa
menatapnya secara langsung. Ia tidak berniat untuk meninggalkan Mahiru atau
mengabaikannya sedikit pun. Mengetahui bahwa kata-katanya datang dari lubuk
hati, Mahiru dengan kuat menekan dahinya ke lengan Amane, setengah
menyembunyikan wajah cemberut dan khawatirnya.