Otonari no Tenshi-sama Jilid 8 Bab 3 Bahasa Indonesia

 

Bab 3 — Langkah Pertama Menggapai Tujuan!

 

 

“Eh? Aku akan bertanya dulu pada manajer, tapi katanya mereka membutuhkan lebih banyak tenaga bantuan, jadi kupikir tidak ada masalah.”

Amane segera menghubungi Ayaka, memanfaatkan fakta bahwa ia juga memiliki hari libur keesokan harinya. Ia sudah bertukar informasi kontak dengannya selama fase persiapan festival budaya beberapa hari yang lalu.

Saat ia sedang memikirkan di mana ia akan bekerja paruh waktu, Amane jadi teringat dengan ajakan Ayaka tempo hari. Amane kemudian memutuskan untuk menerima tawarannya, baik untuk belajar lebih banyak tentang industri makanan dan jasa serta untuk meningkatkan kemampuan interpersonalnya yang kurang.

Amane berdiri di dekat pintu masuk kompleks apartemennya. Ia ingin memberi kejutan kepada Mahiru, jadi Amane sengaja menelepon di tempat yang takkan didengar oleh Mahiru.

Amane berpikir bahwa Ayaka yang toleran sekalipun akan merasa terganggu jika ia tiba-tiba menindaklanjuti tawaran tersebut, terutama mengingat Amane sudah menolak ajakan awalnya, tetapi Ayaka justru merespons dengan positif. Amane hanya bisa terdiam bingung.

“Baiklah... ehm, bagaimana dengan wawancaranya?”

“Kamu mungkin harus melakukannya, bahkan dengan bantuanku, tapi kurasa mereka akan menerimamu dengan cepat tanpa masalah. Kamu akan diperkenalkan melalui aku, jadi mereka tahu bahwa tidak ada masalah dengan kepribadianmu atau semacamnya. Terlepas dari penampilanku, aku adalah gadis yang sangat serius dalam hal pekerjaan paruh waktuku; manajer bahkan menaruh kepercayaan padaku.”

Amane sama sekali tidak terkejut oleh pernyataan itu, tetapi tampaknya Ayaka cukup dipercaya dalam pekerjaannya. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kepribadiannya; sungguh-sungguh, ramah, berpikiran terbuka, dan juga cerdas. Amane memahami hal ini bahkan sejak awal ia mengenal Ayaka, dan tidak mengherankan baginya, kalau Ayaka sangat disukai.

Amane dapat membayangkan dengan jelas Ayaka membusungkan dadanya saat dirinya mendengar suara "ahem" beresonansi melalui telepon. Mau tak mau Amane jadi tertawa geli.

“Terus terang saja, aku tidak keberatan memperkenalkanmu, tapi apa kamu tidak keberatan dengan pekerjaan paruh waktu ini, Fujimiya-kun?”

“Yah, aku sudah terbiasa dengan layanan pelanggan sekarang.”

“Hm? Maksudku bukan begitu. Apa Shiina-san tak masalah dengan hal ini? Atau lebih tepatnya, apa kamu sudah menjelaskan semua ini padanya?”

“B-Belum. Aku belum membicarakannya dengan dia sampai sekarang.”

“Bukannya nanti bakalan gawat jika kamu belum membicarakan hal semacam ini dengannya? Aku ragu kamu akan kekurangan uang jika kamu akhirnya bekerja di sini, tetapi aku khawatir apa Shiina-san bakal cemburu atau semacamnya ~?”

“Ugh. Itu...”

Saat ini, Amane meminta untuk diperkenalkan pada sebuah pekerjaan paruh waktu. Dan rekan sejawat yang bekerja di pekerjaan itu, tentu saja, Ayaka.

Kafe yang dimaksud adalah kafe yang meminjamkan mereka kostum untuk festival budaya yang baru saja mereka adakan. Dengan kata lain, ini adalah kafe di mana para karyawannya melayani pelanggan sambil mengenakan kostum tersebut. Tentu saja, Amane juga akan mengenakan kostum jika ia dipekerjakan, sama seperti yang dilakukannya selama festival.

Ada pilihan untuk bekerja tanpa memberi tahu Mahiru, tetapi dia akan sangat terpukul begitu mengetahuinya. Tidak peduli bagaimana Amane memikirkan berbagai kemungkinan, dia akan berisiko melukai perasaannya.

Ada kejadian dimana pelanggan gadis meminta informasi kontak Amane saat festival budaya berlangsung, dan Mahiru merajuk. Mengetahui hal ini, Amane tidak ingin melakukan apa pun yang akan membuatnya merasa tidak nyaman. Tentu saja, kemungkinan Amane selingkuh bukanlah sesuatu yang ia pertimbangkan, dan Mahiru sendiri percaya bahwa ia tidak akan melakukannya, tapi ini adalah masalah yang lahir dari emosi; akal sehat merupakan hal yang berbeda.

“Pertama-tama, kenapa kamu tiba-tiba merasa ingin mulai bekerja?”

Ayaka hanya menanyakan sebuah pertanyaan sederhana, tapi Amane menutup mulutnya rapat-rapat.

Jika Amane meminta Ayaka merahasiakan alasannya dari Mahiru, dia pasti akan menghormati keinginannya. Namun, jika Amane memberitahunya kalau ia berencana menabung demi bisa membeli cincin, hal itu jelas terbukti terlalu memalukan baginya.

Semua orang yang dikenalnya, kemungkinan besar menyadari bahwa Amane terlalu memanjakan Mahiru demi kebaikannya sendiri— Amane bahkan menyadarinya sendiri. Akan tetapi, ia masih merasa ragu untuk menjelaskan kalau dirinya ingin menghadiahkan sebuah cincin untuk kekasih tercintanya.

Namun, jika ia menolak untuk memberitahunya, Ayaka tidak akan sedikitpun yakin, dan menyembunyikan sesuatu darinya bukanlah ide yang bagus. Dia adalah seseorang yang menawarkan bantuan padanya.

“... Sebenarnya, ehm. Apa kamu bisa berjanji untuk jangan memberitahu siapapun, terutama Mahiru, tentang hal ini?”

“Ah— aku sudah menduganya. Kamu ingin memberi Shiina-san semacam hadiah. Sesuatu untuk Natal, mungkin?”

“B-Bukan untuk Natal... Yah, ini memang persiapan untuk tahun depan. Uhmm, aku ingin membelikannya sebuah cincin...”

Amane menghentikan jawaban terakhirnya, dan membungkuk saat keheningan yang dihasilkan terus berlanjut.

Amane dengan gelisah menunggu jawaban dari Ayaka. Ia bertanya-tanya apa dirinya bergerak terlalu cepat saat ini, terutama dirinya masih seorang pelajar. Setelah sepuluh detik hening, “Ah ... aku telah mendapat pukulan berat melalui telepon," bisik Ayaka pelan sebelum melanjutkan, “Jadi begitulah. Aku mengerti niatmu, Fujimiya-kun, dan aku sekarang yakin.”

“... Ya. Erm, itu adalah sesuatu yang ingin kudapatkan dengan benar. Dengan kerja kerasku sendiri.”

“Begitu ya. Kalau gitu, mungkin kamu harus menghindari bekerja di tempatku. Meskipun kamu hanya melakukan yang terbaik untuknya, aku ragu Shiina-san akan senang mengetahui pacarnya bekerja di tempat di mana kamu harus berinteraksi dengan banyak wanita.”

Dia membuat poin yang valid, jadi Amane menjawab, “Itu benar. Maaf karena tidak memikirkan hal itu.” Dia mempertimbangkan untuk kembali ke apartemennya dan melihat-lihat lagi situs web lowongan pekerjaan, tetapi kemudian mendengar suara yang mengatakan, “Tapi...” dari seberang telepon.

“Jika kamu tidak keberatan bekerja di kedai kopi yang berbeda, aku masih bisa memperkenalkanmu. Ada kedai kopi yang dikelola oleh bibiku; kedai kopi ini agak sepi dan pelanggannya kebanyakan orang yang lebih tua, jadi kupikir tempat itu akan lebih cocok untukmu dari segi kepribadian.”

“Itu akan sangat ideal, tapi... kamu tidak bekerja di sana, Kido?”

Amane percaya bahwa jika dia memiliki koneksi di dalam keluarganya sendiri, tidak ada alasan khusus untuk tidak bekerja di sana. Namun, Ayaka tampak kesulitan memilih kata-katanya. “Ah, ya...” suaranya terdengar tegang di ujung telepon.

Hmm... Yah, gimana ya, aku seperti... tidak pandai berurusan dengan bibiku...”

“Namun kamu akan mengenalkanku padanya? Aku benar-benar minta maaf atas semua ini.”

“Ah, tidak, bukan itu yang kumaksudkan, oke? Bibiku... bagaimana aku harus mengatakannya. Dia sangat, sangat menyukai kucing, kurasa?”

“Apa dia menyayangi kucing-kucingnya?"

“Benar. Bibiku sangat dekat dengan ibuku, dan karena aku adalah putrinya, dia sangat memanjakanku, tetapi... dia sangat menyayangiku sampai-sampai rasa sayangnya terasa mencekik, dan aku merasa tidak mungkin bagiku untuk melakukan apa pun sendirian saat aku di sana. Selain itu, dalam hal menjalankan tempat kerja, mengubah sikapmu terhadap seorang karyawan dan memberikan perlakuan khusus tidaklah baik; karyawan lain mungkin akan marah saat melihatnya.”

Ayaka lebih banyak mengalami masalah daripada menentangnya. Dia mungkin diperlakukan dengan cara yang sama seperti Shihoko memperlakukan Mahiru.

Shihoko sengaja memanjakan Mahiru, karena dia tahu bahwa Mahiru memiliki sifat yang tegas dan mandiri, meskipun Mahiru mungkin akan terpengaruh secara berbeda jika dibandingkan dengan Ayaka.

“Itu sebabnya aku tidak bekerja untuk bibiku, melainkan untuk kenalannya. Mungkin aneh bagiku untuk mengatakan hal ini tentang diriku sendiri, tetapi aku bangga dengan kenyataan bahwa orang-orang menyukai kepribadianku.”

“Ya, itu benar. Kamu cukup ramah dan kamu menarik orang-orang di sekitarmu.”

“Shiina-san akan cemburu jika kamu mengatakan hal-hal seperti itu dengan enteng, jadi jangan sering-sering. Terlepas dari situasiku, aku bisa mengkonfirmasi tawaran itu dengan bibiku jika kamu setuju, Fujimiya-kun, dan jika dia menerimamu, bagaimana kalau kita berkeliling di sekitar tempat kerja? Dengan begitu, kamu bisa memutuskan dengan baik setelah melihat-lihat tempat kerja, dan kamu mungkin akan lebih mudah untuk mulai bekerja.”

“Itu akan sangat membantuku, tapi... apa kamu yakin tidak apa-apa kalau kamu membantuku sampai sejauh itu?”

“Enggak masalah, enggak masalah. Aku tahu bahwa kamu mencintai Shiina-san, jadi tolong biarkan aku membantumu. Aku bahkan akan memberimu saran untuk memilih cincin itu jika kamu mau, loh?”

“... Yah, aku mungkin akan memintamu ketika waktunya tiba. Chitose juga.”

“Hehe. Serahkan saja padaku.”

Sungguh ideal untuk meminta pendapat seorang wanita mengenai cincin, dan yang paling penting, Chitose telah mengawasi serta mendukungnya dalam menjalin hubungan dengan Mahiru sejak awal. Amane sangat menyadari kedua hal ini, jadi mana mungkin ia tidak meminta Chitose untuk ikut serta. Kalau bisa, ia ingin mendapatkan bantuan dari keduanya.

Meskipun begitu, Amane takkan membeli cincin sampai waktu yang jauh di masa depan, jadi mereka hanya membuat kesepakatan santai, “Aku akan menghubungimu nanti, atau memberimu laporan di sekolah,” kata Ayaka sambil menutup telepon.

 

   

 

“... Pekerjaan paruh waktu?”

Begitu Amane kembali ke unit apatemennya dan memanggil Mahiru, yang sedang bersantai di sofa, dia tampak cukup terkejut ketika dia menatap Amane.

“Kenapa mendadak sekali, dan kenapa sekarang? Kita akan mengikuti ujian masuk tahun depan, dan selain itu, kita harus mulai belajar untuk ujian masuk.”

Amane sudah menduga keberatan ini dari Mahiru, meskipun ia juga tahu bahwa ia tidak bisa menyembunyikan rencananya, jadi ia berterus terang saja, dan mengatakan bahwa ia berniat mencari pekerjaan paruh waktu, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Walau demikian, pertanyaan Mahiru adalah pertanyaan yang masuk akal.

Amane ingin menyembunyikan rencana lengkapnya dari Mahiru sampai ia bisa mencapai tujuannya, tapi ia sadar betul bahwa mulai bekerja ketika mereka akan naik kelas 3 adalah hal yang tidak wajar, terutama mengingat bahwa ia akan segera mulai mempersiapkan diri untuk ujian akhir.

“Ah... Yah, ada satu benda yang sangat ingin aku beli.”

“Sesuatu yang kamu inginkan?”

“Ada juga manfaat dari mendapatkan pengalaman sosial,” Amane melanjutkan, “Tentu saja, aku tidak berencana untuk menghalangi belajarku dengan mengambil banyak shift, dan selain itu, kupikir aku akan menabung cukup banyak uang pada saat sekolah menghentikan kegiatan klub, jadi aku harus bisa mengerahkan seluruh upayaku untuk belajar sebelum ujian masuk diadakan. Bila dilihat dari nilaiku, mereka seharusnya berada di level yang sama dengan mereka yang belajar sambil melakukan kegiatan klub; semuanya tergantung pada seberapa banyak usaha yang aku lakukan, dan aku tidak berniat untuk mengendur. Aku takkan menyalahkan pekerjaanku meskipun nilaiku mulai menurun.”

Karena Amane bukan bagian dari klub mana pun dan tidak memiliki pekerjaan paruh waktu, ia memiliki lebih banyak waktu untuk belajar daripada siswa yang berpartisipasi dalam kegiatan klub. Hal ini memberinya lebih banyak pilihan, tetapi jika ia mulai bekerja sekarang, jumlah usaha yang harus dikerahkannya pasti akan meningkat.

Amane sadar bahwa ia cukup baik dalam hal akademis, tetapi jika ia menghabiskan banyak waktunya untuk bekerja, jumlah usaha yang ia curahkan hingga saat ini takkan cukup untuk mempertahankan nilainya yang sekarang.

Namun, Amane sama sekali tidak berniat untuk menyerah untuk kuliah atau masa depannya bersama Mahiru. Sebaliknya, Amane berniat untuk berusaha lebih keras lagi daripada sebelumnya. Dirinya berencana untuk belajar lebih keras dan lebih memperhatikan selama jam pelajaran, mencoba menyerap lebih banyak informasi sekaligus.

Bahkan jika itu berarti memikul beban yang berat, Amane tidak berniat untuk berkompromi atau mundur.

Ketika Amane menatap Mahiru dengan tatapan serius yang menunjukkan tekadnya, dia menunduk, mengerutkan alisnya seolah-olah dia bermasalah.

“Tidak, tidak perlu bagiku untuk mencampuri keputusanmu, dan jika kamu berpikir sejauh itu, aku akan menghormati pilihanmu, Amane-kun. Erm, rasanya akan terasa kesepian jika aku tidak bisa menghabiskan waktu bersamamu, tapi...”

Mahiru mengeluarkan senyum yang sedikit kesepian, yang menyebabkan tekad Amane sedikit goyah, tapi ini bukanlah keputusan yang bisa dicabut begitu saja. Ia lalu menunjukkan senyumannya sendiri.

“Aku memang merasa menyesal tentang hal ini. Sebagai gantinya, ketika aku mendapatkan waktu libur kerja, aku akan memprioritaskan untuk menghabiskan waktu bersamamu, Mahiru.”

“Kamu selalu mengutamakanku, Amane-kun. Kamu juga harus memprioritaskan dirimu sendiri, oke?”

“Memprioritaskan perasaanku sendiri hanya akan membuatku mengutamakanmu, Mahiru, jadi tidak apa-apa—”

Pada dasarnya, Amane tidak akan puas jika ia hanya memprioritaskan dirinya sendiri dalam segala hal yang ia lakukan. Bersama Mahiru adalah satu-satunya cara agar ia bisa merasakan kepuasan; kebahagiaan Mahiru adalah kebahagiaan Amane juga.

Amane sadar betul kalau dirinya sangat mencintai Mahiru sampai-sampai kebahagiaannya sama persis dengan kebahagiaannya, dan meskipun mengejar pikiran seperti itu membuatnya merasa agak gelisah, hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa Amane hanya merasa paling puas ketika melihat orang yang dicintainya hidup dengan sangat bahagia.

Itulah sebabnya Amane bisa menatapnya secara langsung. Ia tidak berniat untuk meninggalkan Mahiru atau mengabaikannya sedikit pun. Mengetahui bahwa kata-katanya datang dari lubuk hati, Mahiru dengan kuat menekan dahinya ke lengan Amane, setengah menyembunyikan wajah cemberut dan khawatirnya.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama