Bab 5 — Makan Siang untuk Tiga Orang
“Jadi? Apa kamu berhasil
mendapatkan pekerjaan itu?”
Keesokan harinya ketika
sepulang sekolah, Itsuki bertanya pada Amane mengenai hasil dari wawancara
pekerjaan paruh waktunya. Amane mengangguk dengan jujur untuk menjawab
pertanyaannya dan mengangkat bahunya dengan ringan.
“Kido yang merekomendasikanmu,
jadi aku tidak terlalu khawatir,” Itsuki mengaku. “Meski aku senang kamu bisa
mendapatkannya dengan lancar. Namun, aku penasaran, kenapa kamu terlihat
seperti ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan.”
“Sejujurnya... Kamu tidak
salah. Setidaknya, pemiliknya adalah orang yang cukup menarik.”
“Dia pasti benar-benar orang
yang sedikit nyentrik atau aneh sampai-sampai membuatmu bilang begitu, Amane.”
Kata Itsuki. “Dan itu membuatku semakin penasaran.” Imbuhnya.
Menanggapi hal itu, Amane hanya
tersenyum canggung pada Itsuki, yang bersandar pada kursinya dan memiringkannya
maju mundur menggunakan berat badannya. Amane berniat merahasiakan hal itu
untuk saat ini, sebagian besar karena ia yakin jika ia memberitahu Itsuki,
Itsuki akan segera muncul di tempat kerjanya.
Amane berencana meminta
teman-temannya untuk tidak mengunjunginya di kafe sampai setidaknya, ia sudah
terbiasa dengan pekerjaan itu. Sentimen itu tetap berlaku bahkan untuk Mahiru.
Ketika Amane menjelaskan hal ini kepadanya di pagi hari, Mahiru mulai mengambek
dengan terang-terangan, setelah itu sisa waktu paginya kemudian dikhususkan
untuk menghujani kekasihnya dengan cinta dan kasih sayang sampai Mahiru kembali
bersemangat lagi.
Dan sekarang, Mahiru kebetulan
sedang mengobrol dengan Chitose, yang tampak menyeringai padanya untuk alasan
tertentu. Karena tidak ingin meladeni Chitose dengan memberikan reaksi apapun,
Amane memilih untuk memalingkan muka dan mengabaikannya sebelum melanjutkan
percakapan.
“Meski begitu, walau aku memang
berpikir kalau dia sedikit aneh, aku yakin aku bisa bekerja di sana tanpa
hambatan. Ditambah lagi, Kido mengatakan padaku untuk mengandalkan Kayano jika
aku membutuhkan bantuan.”
“Oh. Pacar Kido, ‘kan? Pria
macho yang menyamar itu.”
“Aku yakin ia pasti hanya bisa
tercengang jika kamu mengatakan itu di depan wajahnya, bung...” Amane
berkomentar. “Tapi mungkin ia hanya akan menatap Kido dengan tatapan
mematikan.”
Daripada menyalahkan Itsuki,
Souji lebih memilih untuk memusatkan perhatiannya pada Ayaka, yang jelas-jelas
merupakan akar dari masalah ini, karena dialah yang pertama kali menaruh ide
itu di kepala orang-orang.
Sedangkan Ayaka sendiri justru
tidak terlalu menyesalinya, atau begitulah kelihatannya. Sebaliknya, dia lebih
cenderung membalas dan menanggapi dengan sesuatu seperti, “Memangnya ada yang salah dengan hal itu?” sehingga Amane merasa
perlu untuk menyampaikan belasungkawa kepada Souji, yang tanpa ia sadari, kini
telah mendapatkan reputasi tersebut, meskipun hal itu bertentangan dengan
keinginannya.
Untungnya, Ayaka masih belum
datang. Entah dia belum datang ke sekolah atau sedang berada di kelasnya Souji,
karena batang hidungnya tidak terlihat sama sekali saat ini.
“Pokoknya, hanya dengan
mengetahui seorang kenalan yang bekerja di sana memberiku rasa aman, dan dari
apa yang kudengar dari pemiliknya, para pelanggan tetap pada umumnya berusia
lebih tua dan tipe orang yang santai, jadi kurasa aku tidak akan mengalami
masalah.”
“Oh, apa iya? Senang mendengarnya.
Gimanapun juga, kamu yang mendapatkan pekerjaan itu adalah sesuatu yang patut
dirayakan. Jika ada sesuatu yang terjadi di kemudian hari, jangan takut untuk
berbicara denganku, oke?”
“Ya, ya. Aku akan mengandalkanmu,
sahabat.” Amane menepak keras
punggung Itsuki, yang tampaknya masih menyimpan dendam padanya. Kemudian,
seolah menyembunyikan rasa malunya, Itsuki menyunggingkan sudut mulutnya
menjadi seringai dan memukul balik Amane dengan tenaga yang lebih keras sebagai
pembalasan.
Ini juga merupakan salah satu
cara Itsuki mengekspresikan persahabatannya, jadi Amane terbatuk-batuk kecil
dan mendecakkan lidah seraya berkata, “Dasar brengsek...” sambil dengan lembut
menekan tinjunya ke pipi Itsuki.
Sambil bercanda melancarkan
serangan ke sisi kepala Itsuki, Amane melirik Mahiru sejenak, dan mendapati
Mahiru menatapnya dengan raut wajah ‘Hmph—’
seakan menunjukkan ketidakpuasannya.
Sepertinya Mahiru masih tidak
senang karena dia tidak bisa ikut dengan Amane ke tempat kerja paruh waktunya.
Dia jelas-jelas masih kepikiran tentang percakapan pagi ini, dan perasaan tidak
enak itu tampak membayangi semua yang dia lakukan.
Namun, semarah apapun dirinya,
Mahiru memahami kebutuhannya secara rasional, dan setelah waktu manja yang dia
miliki di pagi hari, dia tampak yakin bahwa dia hanya perlu menanggung
penantian. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada komplikasi dalam jangka
panjang.
Itsuki yang mengikuti tatapan
Amane, tiba-tiba menggodanya, “Kamu masih dicintai seperti biasanya, ya?” yang
membuat Amane mulai mengerutkan kening. Itsuki terkekeh pelan saat tanpa sadar
menepis kepalan tangan Amane.
“Oh iiya, aku baru ingat,
bukannya Shiina-san dan Chi pergi berbelanja dengan ibumu kemarin, Amane? Chi
bercerita tentang bagaimana dia sangat senang membantu memilihkan pakaian
untukmu, tapi ujung-ujungnya, apa yang dibeli Shiina-san?”
“... Memangnya aku harus
memberitahumu?”
“Tentu sajalah, sahabatku. Katakan
saja. Lagipula, kamu sudah mengabaikanku pada terakhir kali.”
“Jadi kamu masih ngedumel tentang itu padaku...” Amane
menuduh. “Jadi... ya, yang dia belikan untukku adalah... baju piyama bertema
kucing.”
Amane dengan enggan
membeberkan, mengingat dengan ngeri isi tas belanja yang diberikan Mahiru
padanya kemarin, dan sebagai balasannya, Itsuki tertawa terbahak-bahak. Betul
sekali. Baju yang dibelikan Shihoko dan Mahiru untuk Amane, tak salah lagi,
adalah baju tidur dengan telinga kucing di bagian tudungnya, yang dimaksudkan
sebagai piyama.
Tentunya, dengan pakaian
seperti itu yang terlalu imut untuk ukurannya sendiri dan jelas-jelas dibuat
dengan mempertimbangkan wanita, gambaran mentalnya sangat tidak cocok untuk
Amane, yang lebih tinggi daripada anak laki-laki pada umumnya. Tetapi merasakan
pikiran yang terlintas di benak Itsuki, Amane melanjutkan, “Ya, mereka bahkan memiliki
yang untuk pria juga...” Amane benar-benar mengakuinya, sepenuhnya sadar bahwa
gadis-gadis itu telah mendapatkannya dengan ukuran yang sesuai dengan ukuran
tubuhnya dengan mudah. Hal ini membuat Itsuki benar-benar kehilangan kata-kata.
“Piyama bertema binatang...? Dirimu?”
“Masa bodo. Mahiru akan memakai
piyama bertema kelinci sebagai gantinya, jadi aku tidak keberatan sama sekali.”
Mengingat usia dan postur tubuh
Amane, mengenakan piyama yang sangat imut seperti itu akan membuatnya malu
minta ampun. Namun, karena Mahiru sudah memohon kepadanya dengan mata
berbinar-binar, Amane tidak punya pilihan lain. Ia mungkin akan menolak jika
itu berarti memakainya sendiri, tapi Mahiru pasti menyadari bahwa tidak adil
baginya untuk mengusulkan hal seperti itu, karena sebagai kompensasinya, dia
juga telah membeli piyama pink dengan motif kelinci-kelinci untuk dirinya sendiri.
Oleh karena itu, dengan syarat
bahwa Mahiru juga akan mengenakan piyamanya sendiri pada saat yang sama, serta
larangan untuk tidak memotretnya, Amane setuju untuk mengenakan piyama
tersebut. Amane menduga kalau mereka mungkin akan memakainya saat menginap di
masa depan.
Dibandingkan dengan negligee yang dikenakan Mahiru terakhir
kali, baju tidur barunya mungkin akan terlihat lebih sehat untuknya. Amane
bersyukur karena ia bisa dengan mudah menekan setan nafsu dalam dirinya.
“Aku akan meminta Shiina-san untuk
mengirimkan fotomu saat kamu memakainya nanti,” canda Itsuki.
“Oi, jangan coba-coba untuk
memintanya. Aku sudah bilang padanya untuk tidak mengambil foto apapun.”
“Aww, ayolah~! Cuma sedikit
saja tidak ada salahnya, ‘kan? Kamu mungkin akan terlihat lucu dan
menggemaskan.”
“Coba hentikan cengengesan yang
menyebalkan itu dari wajahmu sebelum mengatakan itu, bego.”
Itsuki, yang memutuskan untuk
melakukan sesuatu yang mungkin tidak seharusnya ia lakukan, berjuang untuk
menahan tawanya saat Amane mencengkeram pundaknya. Bukannya menyerang balik,
Itsuki hanya mengguncang dirinya sendiri, nyaris tidak bisa menahan tawanya lagi.
Sementara itu, Chitose dan
Mahiru yang berdiri tak jauh dari situ. Mereka saling mengangguk satu sama lain,
dengan Chitose berkomentar, “Mereka berdua benar-benar dekat, ya?” yang dijawab
Mahiru, “Ya, benar”" saat mereka menyaksikan Amane melancarkan serangan
setengah hati pada Itsuki dengan wajah cemberut yang paling bisa ia tunjukkan.
✧ ✦ ✧
Amane biasanya makan siang
bersama Mahiru dan yang lainnya, tapi hari ini ia sengaja untuk makan bersama
Ayaka dan Souji, atas undangannya. Meskipun Ayaka tidak secara eksplisit
mengatakannya, Amane menduga bahwa Ayaka menciptakan kesempatan baginya untuk
memperdalam pertemanannya dengan Souji, karena mereka akan bekerja bersama di
toko yang sama sebentar lagi.
Amane pun menerima ajakan Ayaka
dengan patuh. Meskipun Souji adalah pacar Ayaka, namun Amane belum pernah
mengobrol dengannya sebelum saat ini, jadi berkenalan dengannya terlebih dulu,
tentu saja akan bermanfaat dalam jangka panjang. Hal tersebut lebih menarik
daripada harus bekerja bersamanya, dan harus memulai dari awal sebagai orang
asing.
Ayaka menuntun Amane sampai ke
atap, dan menyadari bahwa Souji rupanya sedang menunggu mereka. Souji sudah
menyiapkan selimut piknik untuk mereka bertiga, dan karena ia tidak terkejut
sedikitpun setelah melihat Amane, Souji pasti sudah mengetahui kalau Amane akan
datang.
“Jadi, sudah diputuskan kalau
Fujimiya-kun akan bekerja sama dengan Sou-chan! Mari kita mulai perayaannya!”
Ayaka berseru dengan kegirangan.
Senyumnya yang cerah dan ramah
terpancar dari wajahnya saat dia menatap Amane, yang duduk di salah satu sudut
kain. Sementara itu, Souji, bahkan setelah melihatnya tersenyum pada Ayaka,
menatap Amane dengan acuh tak acuh-atau lebih tepatnya, dengan rasa iba.
“Ah...” Souji menyadari
sesuatu. “Aku yakin, kamu pasti menjadi korban salah satu rencana Ayaka.”
“Se-Sembarangan saja kalau
ngomong! Aku hanya memandu orang yang
tepat ke tempat kerja yang tepat!
Hanya itu saja!”
“Yah, bagaimanapun juga, aku
memang merasa kalau Fujimiya cocok untuk toko itu...”
“Iya ‘kan? Iya, ‘kan? Sou-chan,
aku pikir kamu harus mempertimbangkan kembali pendirianmu padaku sedikit.
Duhhh.” Ayaka terlihat jauh lebih kekanak-kanakan dari biasanya, dan ini
mungkin sisi lain dari dirinya yang hanya dia tunjukkan di depan Souji. Ketika
melihatnya, Amane tidak bisa menahan geli.
“Aku tidak akan berkata seperti
itu,” sela Amane. “Akulah yang meminta kesempatan ini, jadi Kido sebenarnya yang
membantuku.”
“Apa iya? Aku yakin Fumika-san
membuatmu sedikit kewalahan,” tebak Souji.
“Yah, aku tidak bisa memungkiri
itu, sih...”
Amane tidak menyangka kalau Fumika
akan menjadi wanita seperti itu, dan
sejujurnya, ia sedikit terintimidasi pada awalnya. Namun, bukan berarti dia
orang yang jahat, dan Amane percaya bahwa orang seperti dirinya akan mudah
ditangani setelah dia memberinya cukup bahan untuk dikerjakan, jadi Amane tidak
menentang berbagi cerita dengannya selama itu tidak akan membahayakan dirinya
atau Mahiru.
Namun, itu tidak menghilangkan
fakta bahwa jika Ayaka memberitahunya sebelumnya, Amane tidak perlu bertindak
spontan, jadi dalam arti tertentu, ia memang punya masalah dengan Ayaka.
Melirik ke arah Ayaka, dia tampak membuka bungkus bento yang dibawanya dengan
agak gugup.
“Maksudku...” Tubuh Ayaka
sedikit menegang. “Aku tak tahu bagaimana harus mulai menjelaskan seseorang
seperti Bibi Fumika. Kepribadiannya begitu... intens...”
“Benar, tapi pada akhirnya aku
mendapatkan pekerjaan itu, jadi tidak apa-apa. Dan yah, menurutku, dia juga
bukan orang yang jahat,” kata Amane berbagi pendapatnya tentang masalah ini.
“Dia adalah orang yang baik, oke?
Hanya saja, dia akan memanjakanmu sampai batas yang tidak masuk akal begitu dia
menyukaimu, dan dia agak sedikit kutu buku. Lamunannya sudah menjadi kejadian
sehari-hari.”
“Yah, itu bukan hal yang buruk
jika itu adalah sumber inspirasinya, aku kira. Selama itu tidak menimbulkan
bahaya yang nyata, itu saja.”
“... Aku rasa tidak ada salahnya,
ya. Yah, eh, mungkin.”
Amane tergoda untuk
mengolok-olok ketidakpastiannya, tapi ia urungkan niatnya karena itu bukan
sepenuhnya kesalahan Ayaka. Sebagai gantinya, Amane mulai membuka bento buatan
sendiri yang disiapkan Mahiru untuknya.
Kemarin, Ayahnya sudah
menyiapkan makan malam, memilih pasta, jadi makan siang Amane terdiri dari
sisa-sisa makanan semalam dan bahan-bahan tambahan yang disisihkan setelah
memasak, serta beberapa lauk pauk yang disiapkan Mahiru untuknya di pagi hari.
Amane merasa tidak enakan karena Mahiru sudah membuatkan lauk pauk yang cukup
banyak di pagi hari, tetapi karena dia terlihat menikmatinya, jadi Amane tidak
tega untuk menghentikannya.
Merasa bersalah atas masalah
yang dialami Mahiru setiap hari, Amane bahkan mempertimbangkan untuk menyiapkan
makan siangnya sendiri, tapi Mahiru akan marah setiap kali Amane menyinggung
hal itu, mengatakan hal-hal seperti, “Apa
kamu tidak puas dengan makanan yang kubuat...?” sehingga ia mau tak mau
harus mengurungkan niatnya.
Kebetulan, orang tua Amane akan
pulang ke rumah saat Amane dan Mahiru pulang sekolah, jadi mereka sudah
mengucapkan selamat tinggal melalui telepon pagi ini. Percakapan mereka berlangsung
singkat dan santai, dan karena mereka juga sudah berjanji untuk mengunjungi
mereka lagi saat liburan musim dingin atau musim semi.
“Oh, apa Shiina-san yang
membuatkannya untukmu?” Ayaka bertanya, senyumnya mengembang penuh rasa ingin
tahu.
Ayaka mengamati Amane membuka
bento-nya, menyadari kepuasannya saat menyadari bahwa dashimaki tamago buatan
Mahiru kembali disertakan.
“Ya, Mahiru membuatkan ini
untukku. Dan untuk dango asam manis ini, ayahku yang membuatkannya untukku saat
dia di sini,” jawab Amane.
“Oh, jadi ayahmu bisa memasak,
ya? Ayahku juga sama,” kata Ayaka. “Ibuku tidak bisa memasak, dan dia tidak
bisa melakukan pekerjaan rumah tangga seumur hidupnya, jadi ayahku yang
mengerjakan semua pekerjaan rumah.”
“Aku merasa Kaori-san lebih
cenderung masuk ke dalam kategori kasus khusus,” Souji menimpali.
Nama Kaori pasti merujuk pada
ibu Ayaka. Sepertinya dia benar-benar putus asa dalam melakukan pekerjaan rumah
tangga.
“... E-Eerm, cu-cuma sekedar
mengklarifikasi kesalahpahaman, ibuku sebenarnya sangat baik dalam melakukan
pekerjaannya, oke? Dia hanya sedikit kesulitan dengan pekerjaan rumah tangga!
Dia tidak pernah meledakkan microwave akhir-akhir ini, dan setidaknya dia bisa
mencuci pakaian!”
“Itu salahnya sendiri karena
tidak memeriksa apa yang dia masukkan ke dalam microwave,” kata Souji. “Dan
untuk mencuci baju, itu hanya masalah menambahkan deterjen dan menyalakan mesin
cuci.”
“Kenapa kamu tidak mencoba
membelanya, Sou-chan?”
“Kamu sendiri yang mengungkitnya,
Ayaka...” balas Souji. “Lagipula, aku tidak mengatakan kalau Kaori-san yang
harus disalahkan, kan?” Begitu mendengar hal ini, Ayaka menyadari bahwa dirinya
sendiri yang keceplosan menguak rahasia itu sendiri, dan wajahnya berubah
menjadi meringis.
Untuk saat ini, Amane memutuskan
untuk bersikap seolah-olah ia tidak mendengar apapun dan memalingkan muka,
berpura-pura tidak tahu.
“Y-Yah, kurasa itu sebabnya
orang tuaku ingin aku bisa menangani tugas-tugas di sekitar rumah— dan aku
telah belajar, tau? Tapi ayahku masih saja selalu mengeluhkan sesuatu.”
“Dia dibesarkan dengan harapan
bahwa dia akan menjadi feminin dan seperti wanita anggun. Itu bagus, tetapi
gadis ini akhirnya menjadi kecanduan otot, sehingga ,ereka sering datang
menangis kepadaku. 'Ayaka selalu mengejar
pria telanjang,' kata mereka.” Souji menimpali.
!?
“Sembarangan saja kalau
ngomong!” Dengan mata terbelalak, Ayaka menyatakan ketidakpuasannya dengan
suara yang hampir seperti berteriak; siapa pun yang tidak terbiasa dengan
situasinya mungkin akan salah paham dengan pernyataan itu. Namun, kamu justru tidak menyangkalnya, Amane merenung, mengambil
kebenaran dari perkataannya.
(Mengatakan
bahwa dia menyukai otot berarti dia ingin melihatnya dalam keadaan telanjang)
Dari sudut pandang Ayaka,
dirinya hanya mencari kecantikan fisik tanpa motif tersembunyi, tetapi ayahnya,
yang menyaksikan hal ini setiap hari, tampaknya meneteskan air mata pada fetish putrinya.
“Kamu justru pengaruh buruk
bagiku, Sou-chan. Dan selain itu, aku tidak mengejar pria manapun! Aku hanya
mengawasimu, Sou-chan. Itu semua salahmu!”
“Jangan menyalahkan orang lain
untuk itu.”
“Thaphi syemuanyha shyalahymu,
Sou-hyan!”
Souji memainkan pipi Ayaka dan
mendengarkan Ayaka menggerutu dengan keluhannya. Amane memperhatikan mereka
berdua berinteraksi, dan tidak bisa menahan tawa. Mungkin hal itu sebagian
disebabkan oleh hubungan mereka, tetapi ia menduga bahwa mereka memiliki ikatan
semacam ini sejak mereka masih kecil. Ia merasa segar melihat pasangan yang
memiliki dinamika yang berbeda dari Itsuki dan Chitose.
“... K-Kenapa kamu malah
tertawa, Fujimiya-kun?”Ayaka menekan, menyadari tawa Amane.
“Bukan apa-apa, aku hanya
merasa senang melihat kedekatan kalian berdua.”
“Kamu adalah orang terakhir
yang ingin kudengar hal itu, Fujimiya-kun. Terutama ketika kamu selalu begitu mesra dengan Shiina-san. Kalian
berdua terlihat lengket satu sama lain.”
“Kami tidak bermesra-mesraan
seperti itu.”
“Enggak, kalian memang
sepertiitu. Aku sendiri jadi malu melihat kalian berdua.”
Ayaka menunjuknya tajam dengan
jari telunjuknya, tapi Souji dengan cepat meraih tangannya dan berkata, “Jangan
menunjuk orang seperti itu,” sambil menurunkan tangannya. Mereka sangat nyaman satu sama lain. Amane menghela napas dalam
hati ketika melihat pemandangan itu.
“... Aku tidak sengaja
melakukannya,” kata Amane sambil memperhatikan mereka berdua, menjawab
pertanyaannya.
“Jadi kalian berdua saling
bertingkah mesra setiap hari?” Souji menyimpulkan. “Itu mengesankan.”
“Oh, diamlah.”
“Meski kamu bilang begitu, tapi
mungkin itu alasan kenapa dia memutuskan untuk bekerja paruh waktu pada
Shiina-san,” Ayaka menimpali, berbagi pandangannya. “Menurutku, rasanya sungguh
luar biasa kamu bisa bertindak dengan memikirkan masa depan kalian berdua.”
“... Ah, jadi itu sebabnya kamu
tiba-tiba memutuskan untuk bekerja paruh waktu. Itu demi Shiina-san. Aku
mengira kalau kamu seseorang yang tidak nyaman melayani pelanggan, Fujimiya,
jadi pada awalnya kupikir itu cukup aneh. Kalau memang begitu alasannya, kurasa
semuanya jadi cukup jelas.”
Souji mengangguk mengerti,
sepertinya membuat catatan mental tentang fakta baru yang penting. Ayaka
terlihat sedikit canggung setelah itu, mungkin karena Amane tidak
menjelaskannya— atau lebih tepatnya, karena dia memintanya untuk tidak terlalu
banyak bercerita tentang hal itu pada orang lain.
Ayaka mungkin berpikir sekarang
bahwa dia telah mengingkari janjinya dengan mengatakan bahwa Amane melakukannya
demi Mahiru. Namun, ia akan bekerja dengan Souji di tempat yang sama, dan tak
lama lagi ia akan ditanyai tentang hal itu, bahkan jika ia berusaha
menyembunyikan alasannya, hal itu tidak akan ada gunanya dalam jangka panjang.
Selama Ayaka dan Souji tidak mengungkapkannya pada Mahiru, Amane tidak
mempermasalahkan jika mereka berdua mengetahuinya.
“Rahasiakan ini dari Mahiru, ya?
Aku ingin memberinya kejutan.”
“Tentu saja,” balas Ayaka.
“Kamu juga tidak boleh bilang siapa-siapa, Sou-chan.”
“Ayaka. Kamu sendiri yang malah
membocorkannya, ‘kan?”
“Aduh!” Dengan air mata
berlinang, Ayaka memegangi dahinya saat Souji menyentilnya dengan tatapan tak
berdaya. Ia kemudian memberikan senyum canggung pada Amane, yang terkejut.
“Baiklah, kalau memang begitu,
aku mengerti. Jika ada yang bisa aku lakukan untuk membantu, aku akan melakukan
apa yang aku bisa,” tawar Souji.
“... Terima kasih,” Amane
mengucapkan terima kasih setelah hening sejenak.
“Seharusnya aku yang berterima
kasih padamu, kawan. Terima kasih telah berteman dengan orang bodoh ini.” Souji
berkata, sambil memiringkan kepalanya ke arah Ayaka.
“... Hmm? Aneh sekali! Bukankah
seharusnya aku yang merekayasa pertemanan baru untukmu, Sou-chan...?
Sebenarnya, kuharap kamu menyadari bahwa aku bukanlah gadis menyedihkan yang
perlu kamu khawatirkan sejak awal?”
“Tapi kamu cenderung
membocorkan semua jenis rahasia ketika kamu berbicara, Ayaka.”
“Kejam banget!!”
Ayaka merajuk pada cara Souji
mengatakan komentarnya, dan dia memukul-mukul dadanya dengan main-main, yang
menurutnya, 'luar biasa ketika tidak
berpakaian. Melihat tingkah laku mereka berdua , Amane merasakan kehangatan
di dadanya.
“Oh iya, ngomong-ngomong
mengenai pekerjaan paruh waktu, Bibi mengatakan bahwa kamu harus menunggu
sebentar sebelum mulai, sepertinya satu atau dua minggu. Dia perlu mengatur
jadwal shift dan seragammu, hal-hal seperti itu.”
Drama komedi romantis mini
pasangan itu telah selesai, dan mereka melanjutkan makan siang, meskipun bagian
terakhir itu diucapkan Ayaka dengan nada pelan, seperti baru saja mengingat
sesuatu yang penting.
Karena Amane belum menyerahkan
kontrak yang telah ditandatanganinya pada Fumika, jadi dia tidak tahu nomor
telepon atau cara menghubungi Amane. Oleh karena itu, sepertinya dia tidak
punya pilihan selain mempercayakan Ayaka untuk menyampaikan pesan untuk Amane.
Bahkan Ayaka, seaneh-anehnya
dia, tahu untuk tidak memberikan informasi kontak Amane tanpa seijinnya. Jadi
bahkan sekarang setelah prosedur untuk pekerjaan itu hampir selesai dan
berakhir, dia masih harus memainkan peran sebagai pembawa pesan.
“Tidak masalah.” Amane
meyakinkan. “Lagipula, aku tidak berharap untuk segera memulainya. Ngomong-ngomong,
tentang seragamnya...”
“Oh, seragamnya tidak seperti
yang kita pakai pada acara festival budaya tempo hari. Seragam kalian akan
lebih sederhana, seperti pakaian yang biasa dipakai para pelayan. Yang wanita
juga lebih sederhana. Mereka tidak berenda sama sekali, jadi jangan khawatir.”
“Sejujurnya, aku sedikit cemas
jika pakaiannya terlalu mencolok.”
Karena Fumika memilih untuk
menemui Amane pada hari kafe tutup, tampaknya sengaja, Amane tidak tahu seperti
apa seragam mereka. Tetapi, ia merasa lega mengetahui bahwa hal itu adalah
sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkannya.
Meskipun seragamnya di festival
budaya relatif tidak berhias, tapi pakaian tersebut masih sedikit mencolok.
Kemungkinan mengenakan sesuatu yang serupa setiap hari, akan terasa berat,
meskipun itu demi pekerjaannya.
Tetapi, preferensi pribadinya
bukanlah masalah utama. Lebih dari segalanya, jika ia ketahuan mengenakan
pakaian yang mencolok oleh salah satu temannya saat bekerja, hal itu hanya akan
menimbulkan masalah. Kepala Amane terasa pening hanya dengan membayangkannya
saja. Amane terhanyut dalam kegembiraan festival budaya, dan karena tahu bahwa
festival ini hanya berlangsung selama dua hari, jadi dirinya mengenakan seragam
yang diberikan kepadanya—tapi Amane masih merasa sedikit enggan membayangkan
mengenakan pakaian seperti itu setiap hari.
Syukurlah, Amane
merasa lega. Itu hanya pakaian pelayan
biasa. Kemudian, seolah-olah ada sesuatu yang tiba-tiba menyadarkannya,
“Oh, tunggu dulu—” Ayaka berseru tiba-tiba.
“—Uh, aku sudah memberitahukan
ukuranmu, Fujimiya-kun. Apa itu tidak apa-apa?”
“Aku tidak masalah dengan itu,
tapi bagaimana kamu mengetahuinya?”
“Aku mengingatnya dari pakaian
yang kamu kenakan di festival budaya, dan aku bisa tahu hanya dengan
melihatnya,” jelas Ayaka sambil tersenyum. “Aku bisa menentukan ukuran tubuh
seorang pria, bahkan ketika tertutup pakaian,” tambahnya, jadi mungkin itu
adalah teknik yang lahir dari kecintaannya terhadap otot.
“Katakan saja dengan jujur
kalau kamu jelas-jelas orang cabul,” kata Souji dengan kasar sambil mendengarkan
dari pinggir, tanpa berusaha menutupi kekesalannya.
“Sembarangan!” Ayaka membalas,
kini mulai merajuk. “Serius, ya ampun. ... Ah, asal kamu tahu saja, meskipun
aku bisa mengetahui gambaran umum dengan melihat, aku tidak bisa mengetahui
kualitas atau kepadatan otot mereka tanpa menyentuhnya... T-Tentu saja, aku tidak
akan melakukan pelecehan seksual pada siapa pun, oke? Aku hanya memeriksa
secara detail ketika diberikan persetujuan.”
“Be-Begitu ya... Yah, aku
senang itu membuatku tak perlu repot-repot memberitahumu ukuranku... mungkin?”
“Ayaka, lihat tuh, kamu membuatnya
bergidik ngeri. Fujimiya, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk meladeni
fetish gadis aneh ini.”
“Jangan memanggil seseorang
dengan sebutan 'gadis aneh'.” Ayaka berpura-pura marah, tapi ketika dia
bertatap mata dengan Amane, dia mengerutkan kening dengan canggung, terlihat
gelisah. “Aku minta maaf soal itu. Aku menunjukkan sisi aneh dari diriku.”
“Hah? Tidak juga. Karena itu
bukan hal yang baru...”
“Ugh... omonganmu sedikit
nyelekit juga. Tapi aku tidak bisa mengatakan apapun untuk membelanya... Aku
sudah bersikap seperti ini sejak festival budaya. Seolah-olah itu hal yang
normal juga...”
“Uhm— Yah, itu benar. Sudah
jelas bahwa kamu memiliki hobi yang berbeda dari orang-orang di sekitarmu,
Kido, dan aku mengerti itu. Tapi aku tidak akan mengatakan bahwa aku memiliki
masalah khusus dengan hal itu... Yah, tidak, kecuali jika hobi itu membahayakan
orang lain. Setiap orang memiliki selera dan minat mereka sendiri. Aku tidak
akan menganggapnya menyeramkan, dan juga tidak akan mengkritikmu karenanya.”
Beda lagi ceritanya jika Amane
menjadi korban karena seleranya itu, tetapi selama tidak ada masalah yang
muncul, ia tidak berniat—atau dalam hal ini, tidak punya hak untuk
mempermasalahkannya. Sudah pasti, bahwa setiap orang memiliki seleranya
masing-masing, dan selama tidak merugikan orang lain, mereka harus dihormati.
Pertama-tama, Amane tidak ingat pernah dibesarkan untuk mengucilkan orang lain
hanya karena mereka berbeda dengannya.
Terlebih lagi, Amane tidak bisa
menghilangkan perasaan bahwa Mahiru perlahan tapi pasti mengembangkan fetish
ototnya sendiri di belakang layar, jadi dia tidak bisa sepenuhnya
menyingkirkannya sebagai masalah orang lain. Mungkin akan lebih tepat jika ia
mengeluhkan pengaruh Ayaka dalam masalah ini, tapi karena Mahiru menikmatinya dan
hal itu membuat Ayaka menyukai lebih banyak aspek dalam dirinya, maka itu
seharusnya menjadi hal yang baik... mungkin.
Tentu saja, Amane tidak berniat
untuk menolak atau mempermalukan fetish otot Ayaka yang intens, karena ia
menganggap bahwa hal-hal yang membuat Ayaka bahagia bukanlah urusannya, tapi
wajar jika merasa sedikit tidak nyaman dengan hal itu.
“Aku bahkan tidak punya hak
untuk mengeluh tentang orang lain,” gumam Amane sambil mengambil dashimaki
tamago buatan Mahiru dengan sumpitnya. Ayaka, yang diliputi emosi, menepuk
pundak Amane sambil tersenyum lebar.
“Kamu benar-benar dibesarkan
dengan baik, Fujimiya-kun! Kamu benar-benar anak yang baik. Aku bisa mengerti
kenapa Shiina-san jatuh cinta padamu!”
“... Ayaka.”
"Apa yang membuatmu
cemburu, Sou-chan? Aku hanya menaruh perhatian padamu, jadi jangan
khawatir..."
“Tidak—bukan itu yang kumaksud.
Hanya saja Fujimiya terlihat sangat terpukul...”
Karena tepakan di bahunya,
dashimaki tamago milik Amane terlepas dari sela-sela sumpitnya dan jatuh ke
dalam kuah bakso asam manis yang terbuat dari sisa makanan kemarin.
Untungnya, sumpit itu tidak
jatuh ke selimut piknik atau pakaiannya. Tetapi, bagi orang seperti Amane, yang
lebih suka menikmati kombinasi bumbu yang lembut pada hidangan telurnya,
perubahan rasa itu tampaknya cukup mengejutkannya. Amane terdiam di tempat
untuk beberapa saat, dan Souji menganggapnya sebagai dia sedang tidak
bersemangat.
“M-Maaf! Aku tidak sengaja!”
Ayaka langsung panik saat melihat Amane menatap dashimaki tamago yang dilumuri
saus asam manis.
“T-Tidak, tidak masalah. Aku
masih bisa memakannya. Ini tidak menyentuh tanah atau apapun, dan saus ini juga
cukup lezat...”
“Tapi wajahmu mengatakan
sebaliknya! Aku sangat menyesal! Aku akan berlutut dan meminta Shiina-san untuk
membuatkan lagi untukmu nanti!”
“T-Tidak perlu. Semuanya
baik-baik saja.”
Sebenarnya, Amane tidak terlalu
mengeluh tentang hal itu, tapi dengan Ayaka meminta maaf dengan
sungguh-sungguh, ia tersenyum menyemangati Ayaka. Meskipun begitu, dia masih
menundukkan kepalanya untuk beberapa alasan, terlihat sangat meminta maaf.
✧ ✦ ✧
“Kamu benar-benar menyukai dashimaki tamago-mu ya, Amane-kun?” ucap
Mahiru dengan menyeringai.
Tampaknya mengetahui situasi
Ayaka secara keseluruhan, Mahiru tersenyum dan mengomentari hal itu ketika
mendapat kesempatan. Karena mereka berdua tidak memiliki rencana untuk pergi
keluar sepulang sekolah, mereka berjalan pulang bersama seperti biasanya.
Ketika memutuskan apa yang akan mereka makan untuk makan malam, Mahiru
menyebutkan apa yang Ayaka katakan padanya. “Aku sangat senang mendengarnya,” lanjutnya.
Mahiru terkikik karena merasa geli
dengan reaksi Amane, tapi karena dia tertawa dengan cara yang elegan, dia
menarik perhatian para penonton di dekatnya dan mereka dengan cepat menoleh ke
arahnya.
Amane meremas tangan mereka
yang saling bergandengan, mencoba membuatnya berhenti tertawa yang tidak perlu,
tetapi senyumnya tampaknya tidak mereda. Amane ingin sekali mencubit pipi
Mahiru, tapi karena ia memegang tasnya dengan satu tangan, dan memegang
tangannya dengan tangan yang lain, jadi ia tidak bisa melakukannya.
“Aku sering menaruhnya di dalam
bento-mu, kan? Aku memberimu sisa makanan pagi ini, dan terkadang aku juga
menyajikannya untuk makan malam, tau?”
“Aku tahu kalau kamu sering
membuatkannya untukku, tapi aku benar-benar ingin menikmatinya dengan benar
saat itu.” Amane sedikit merajuk saat menjawab.
“Astaga. Berkat itu, Kido-san
meminta maaf padaku dengan raut wajah yang sangat serius, dan dia bahkan
memintaku untuk membuatkan satu lagi untukmu.”
Ayaka sepertinya merasa
bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi, dan dia meminta maaf dengan
sungguh-sungguh, sampai-sampai menundukkan kepalanya di depan Mahiru.
Namun, Amane tidak ingin
menyalahkan Ayaka. Ia sendir yang merasa sedikit sedih atas sesuatu yang sangat
tidak penting, dan ditambah lagi, lauk itu bahkan tidak jatuh ke lantai. Hanya
perubahan kecil pada rasanya.
Amane tidak menyangka kalau
Ayaka akan meminta maaf, dan ia diberitahu bahwa Ayaka melakukannya saat Amane
tidak ada. Sekarang ia merasa tidak
enak, mengingat seberapa jauh Ayaka berusaha menebus kesalahan untuk hal
seperti itu.
“Aku merasa kasihan pada Kido. Kurasa
aku sudah melakukan sesuatu yang tidak masuk akal padanya— aku hanya pergi dan menjadi
sedikit kecewa sendiri.”
“Aku diberitahu bahwa kamu
memiliki raut wajah yang sangat serius, Amane-kun.”
“Yah, maksudku... itu adalah
dashimaki tamago buatanmu, Mahiru.”
“Aku bisa membuatnya untukmu
kapanpun kamu mau.”
“... Bahkan untuk makan malam?”
“Kita baru saja memutuskan apa
yang akan dimakan, tetapi kamu sudah ingin mengganti menunya? Apa boleh buat
deh, kamu kadang-kadang suka pilih-pilih makanan,” kata Mahiru, bertingkah sedikit
jengkel. Meskipun begitu, suaranya terdengar ceria dan agak bersemangat, jadi
dia tidak terlihat keberatan.
Mahiru memberinya senyum lembut
saat dia memperlakukannya seperti anak kecil, dan Amane, yang merasa sedikit
malu, memusatkan perhatiannya agar hal itu tidak terlihat di wajahnya.
“Oke. Kalau begitu, ayo kita
makan dashimaki tamago untuk makan malam nanti. Tapi sebagai gantinya, aku ingin
kamu memanjakanku sepuasnya.”
“Benarkah? Jika itu saja yang
kamu inginkan, maka aku tidak keberatan. Aku akan melakukannya bahkan tanpa
kamu minta.”
Jika Mahiru, yang pada dasarnya
adalah seorang wanita yang baik, ingin Amane untuk memanjakannya, dia dengan
senang hati akan menerimanya— faktanya, Amane akan melakukannya terlepas dia
memintanya atau tidak. Bahkan bisa dikatakan bahwa memanjakan Mahiru telah
menjadi salah satu hobinya.
Amane menyetujuinya tanpa pikir
panjang, dan Mahiru, yang mengusulkan ide itu sejak awal, tersentak.
“... Itu akan merepotkan dengan
caranya sendiri,” katanya.
“Kenapa begitu?”
“Itu ... karena kamu tidak tahu
bagaimana cara menahan diri, Amane-kun.”
“Menahan diri? Memangnya aku bersikap kasar seperti itu?”
“Aku tidak akan menyebutnya kasar,
tetapi... Hanya saja, ketika kamu memutuskan untuk memanjakan aku, kamu
melakukan segalanya...”
“Ya, harus menghormati
janjiku."
Sebagai seseorang yang melihat
segala sesuatunya sampai akhir setelah ia memutuskan sesuatu, kecuali ada
alasan kuat untuk tidak melakukannya, Amane lebih dari bersedia untuk
menyayangi Mahiru sebanyak yang dia inginkan, jika dia menginginkannya.
Meski Amane tidak akan melakukan
apapun yang akan membuat Mahiru tidak nyaman, tapi Amane berpikir kalau
memanjakannya adalah hal yang tepat untuk membuatnya meleleh karena senang.
“... Aku selalu berakhir dalam
kesulitan ketika kamu terlalu memanjakanku,”
Mahiru mengeluh, sebelum berbisik, “Kakiku jadi lemas dan aku kesulitan untuk
berdiri.”
Amane tidak bisa menahan tawa
kecil pada Mahiru. Dalam hal memanjakan, ia tidak pernah melangkah lebih jauh
dari sekadar mencium atau memeluk, tetapi Mahiru tampaknya menemukan tingkat
keintiman yang menantang.
Amane sering menyaksikan secara
langsung bagaimana dia akan menjadi lemas dan meleleh ketika Amane
memanjakannya secara berlebihan, tetapi Mahiru sendiri tidak menikmati hal itu.
Jika Amane mengatakan seberapa
menggemaskan dirinya, Mahiru akan tersipu malu dan berbisik, “Itu karena kamu terus
melakukannya tanpa henti,” dengan suara imut, merajuk, namun manja.
“Pokoknya, cobalah untuk tidak
berlebihan dalam memanjakan diri,” Mahiru mendesak. “Tolong perlakukan aku
seperti biasanya.”
“Meski kamu bilang begitu, tapi
aku selalu melakukannya dengan cara yang normal bagiku, kok.”
“... Jadi ini teknik yang
diturunkan melalui garis keturunan Fujimiya...”
“Aku tidak sehebat ayahku.”
Seperti yang bisa diduga, Amane
tidak memiliki keterampilan dan teknik memanjakan tingkat tinggi seperti
ayahnya, dan tidak bisa melakukannya sealami yang dilakukan ayahnya. Bagi
Amane, Shuuto adalah orang yang sangat baik, lembut, dan sangat menyayangi
keluarganya.
Shuuto tidak pernah memanjakan
keluarganya secara berlebihan dengan cara yang akan mempengaruhi kesehatan
fisik atau mental mereka seperti semacam racun. Tidak sesederhana itu.
Sebaliknya, ia sangat memperhatikan keluarganya, lebih dari siapa pun, dan tahu
kapan harus menjaga jarak dan dengan lembut mengawasi mereka ketika mereka
sangat membutuhkannya. Ia akan memanjakan mereka dengan cara yang bermanfaat
bagi mereka, dan selalu menawarkan cinta terdalam yang bisa diberikan.
Sejauh yang Amane ketahui, dirinya
ingin menjadi sedikit lebih pendiam dan lebih tenang daripada ayahnya, tetapi
cara Shuuto memperlakukan keluarganya adalah salah satu cita-cita Amane, dan
Amane bercita-cita untuk menjadi seperti Ayahnya.
Menurut pendapat Amane, Mahiru
memiliki rasa disiplin diri yang kuat dan cenderung bersikap keras, jadi Amane
merasa bahwa jika dirinya tidak memanjakannya dari waktu ke waktu, Mahiru
berisiko memaksakan diri sampai dia hancur. Amane, di sela-sela upayanya
mencoba meluluhkan hatinya, mencoba memanjakannya secukupnya, tetapi Mahiru
tampaknya menganggap hal itu sebagai kasih sayang yang berlebihan.
“Aku ingin sekali melihat
Shihoko-san mendengarmu mengucapkan kalimat itu, Amane-kun,” kata Mahiru. “Sayang
sekali dia sudah tidak ada di sini.”
“Kenapa kamu mengungkit-ungkit
Ibu? ... Yah, tidak mengherankan, mengingat dia harus kembali ke rumah.”
Mengingat orang tuanya harus
pergi bekerja besok, wajar saja kalau mereka sudah berangkat.
Segalanya sudah cukup ramai
karena festival budaya dan hari libur berikutnya, jadi sekarang, setelah Amane
teringat akan kepergian orang tuanya, ia merasa sangat sadar akan perbedaan
yang mencolok saat mereka tidak berada di sini.
“Aku akan merindukan mereka,”
gumam Mahiru.
“Pastinya. Lagipula, kamu
terlihat bersenang-senang saat Ayah dan Ibu datang.”
“Tentu saja aku
bersenang-senang. Aku juga mendengar cerita-cerita lama tentangmu, Amane-kun.”
“...Mungkin perlu dimanjakan
dengan porsi ekstra besar,” goda Amane, berusaha membalas dendam.
“Hah? I-Itu sedikit..."
Mahiru panik setelah mendengar
metode pembalasan yang dipilih Amane, yang telah memutuskan untuk memanjakannya
secara menyeluruh dalam upaya untuk mengungkapkan apa yang orang tuanya
katakan. Tapi Mahiru telah menyebabkan hal ini terjadi pada dirinya sendiri,
karena kecerobohannya.
Jika Amane tetap tidak sadar,
dia akan lebih lunak dalam memanjakannya, tetapi kapal itu sudah berlayar.
Sekarang,
bagaimana aku harus membalasnya...?
Amane tersenyum jahat,
memikirkan cara terbaik untuk membuatnya menyerah dan membeberkan apa saja yang
sudah diceritakan orang tuanya, wajah Mahiru berkedut sedikit saat dia
menyundul lengan atas Amane hingga mereka sampai di supermarket.
✧ ✦ ✧
“... E-Erm, kamu tahu,
Amane-kun..., aku yakin kamu harus bersikap lembut padaku.”
Setelah makan malam, Mahiru
menatap Amane dengan wajah merah padam saat Amane menyediakan layanan porsi ekstra besar untuk memanjakan
diri.
Mereka hanya duduk di sofa
bersama seraya Amane mengelus-elusnya, tapi wajah Mahiru sudah semerah apel
matang. Ia bahkan tidak menyentuhnya dengan cara yang sangat seksual atau
apapun, tapi wajah Mahiru sudah mendidih—mungkin karena Amane menatap wajahnya
sambil menepuk-nepuk kepalanya, atau karena Mahiru bersandar pada Amane sambil
beristirahat di pangkuannya.
“Kamu bilang aku harus bersikap
lunak padamu, tapi kamu masih belum memberitahuku apa yang kamu dengar dari
orang tuaku,” ejek Amane, memberikan tekanan.
“Se-Seperti yang sudah kubilang,
tidak ada cerita masa lalumu yang perlu kamu khawatirkan!”
“Dan secara spesifiknya?”
“...Misalnya ketika kamu masih
kecil, kamu berayun terlalu keras di ayunan, terbang, lalu menangis. Atau
ketika kamu mencoba mencium pipi Shihoko-san, tapi kamu terlalu memaksakan diri
dan tidak sengaja menabraknya...”
“Dannnnn itu sudah cukup. Aku
tidak akan mengampuni perbuatanmu itu.”
“Tidak mungkin...!”
Sebagai seorang anak, Amane
sering terpengaruh oleh antusiasme ibunya, yang mengakibatkan dirinya juga terbawa
suasana dan membuat kenakalan, tetapi hanya memikirkan Mahiru mengetahuinya
saja sudah sangat memalukan sehingga Amane menganggapnya sebagai bentuk hukuman
baru baginya.
Terutama, ketika cerita tentang
mencium pipi ibunya saat masih kecil, merupakan sesuatu yang tidak boleh diungkit-ungkit.
Topik itu adalah lambang dari sejarah kelam seseorang.
Jelas bahwa dibandingkan dengan
Mahiru, yang tengah disayangi, Amane jauh lebih malu, karena perbuatan masa
lalunya terungkap, dan lebih buruk lagi, hal itu hampir saja luput dari
perhatiannya.
Mencium ibunya hanyalah upaya
yang gagal, jadi itu bukan masalah. Namun, karena ini tentang Shihoko yang
sedang mereka bicarakan, maka tidak mengherankan jika dia akan melakukan ciuman
di pipi atau mencium dirinya sendiri, jadi Amane ingin menghindari topik itu,
kalau tidak, itu akan membuatnya pusing.
Daripada menyuruhnya untuk
tidak mengajukan pertanyaan yang tidak perlu, Amane menyelipkan jarinya di
sepanjang sisi tubuh Mahiru, menelusurinya dengan sentuhan yang paling lembut.
Mahiru bergidik dan pipinya bergetar saat dia menatap Amane.
Dia mungkin memohon untuk
berhenti, tentu saja, tapi Amane tidak berniat untuk berhenti karena ini adalah
'hukuman'nya. Amane berasumsi bahwa
Shihoko adalah orang yang mengangkat topik tersebut dalam percakapan, tetapi
tidak salah lagi bahwa Mahiru pasti mendengarkan dengan penuh ketertarikan.
Kamu
bersalah karena ikut meladeninya juga, adalah pesan yang disampaikan
Amane saat menggerakkan jari-jarinya dengan pelan dan lembut di sekujur tubuh
Mahiru.
Mahiru terlalu sensitif
terhadap gelitikan, jadi Amane menahan diri saat ia melakukannya, tetapi Mahiru
justru mengeluarkan jeritan dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya dan
berpegangan erat pada Amane. Dia tidak mencoba untuk lari, mungkin karena dia
akan kehilangan keseimbangan.
“Eek... Fuah— ak-aku minta
maaf!”
“... Apa ada lagi yang kamu
dengar?”
Demi mengorek semua cerita yang
tidak perlu yang telah diceritakan Shihoko padanya, Amane memutuskan untuk
berusaha lebih keras untuk meyakinkannya untuk membuka semua rahasianya, dan
dengan lembut menelusuri lekukan pinggangnya, seolah menggodanya dengan sebuah
bulu, membuat Mahiru menggeliat dan geli kesakitan sambil berusaha sekuat
tenaga untuk menahan tawanya.
“I-Itu saja yang dia katakan
padaku kali ini!”
“Kali ini...,” Amane memusatkan
perhatian pada kata-katanya.
“I-Itu hanya sebuah kiasan...”
“...Bahkan jika kamu
benar-benar telah menceritakan semuanya, aku merasa kamu berencana untuk
mendengar lebih banyak cerita seperti itu mulai sekarang, nona muda. Bukannya
itu tidak adil bahwa hanya sejarah kelamku saja yang terungkap?"
“T-Tapi, itu karena... aku
memiliki kekhawatiran yang lebih mendesak daripada sejarah kelam saat itu...”
“Yah, kalau sudah begini, jelas
tidak ada lagi yang bisa kukatakan,” pungkas Amane, menghentikan gelitikannya.
Amane mungkin secara tidak
sengaja telah mengingatkannya pada kenangan yang tidak menyenangkan. Mahiru
menganggap masa kecilnya sebagai masa di mana dia tidak menerima kasih sayang
maupun perlindungan dari orang tuanya, jadi mungkin itu topik yang lebih suka
untuk tidak disentuh, dan topik yang ia berusaha keras untuk tidak
mengingatkannya.
Merasa menyesal telah membahas
topik itu, Amane mengerutkan kening dengan cemas dan menatap Mahiru, dia
tersenyum samar seolah-olah bisa mengetahui jalan pikiran Amane.
“Tidak apa-apa. Kamu tidak
perlu mencemaskan itu,” Mahiru mencoba meyakinkannya, “Itu tidak terlalu
penting bagiku, dan aku puas dengan keadaanku yang sekarang. Hanya itu yang
terpenting.”
“Mahiru...,” Amane memanggil namanya dengan
cemas.
“Lagipula, aku adalah anak yang
penurut saat itu, jadi aku bukan anak nakal sepertimu, Amane-kun.”
“Yah, maaf saja kalau aku jadi
pembuat onar,” kata Amane menanggapi godaannya. “... Benar, aku tidak bisa
membayangkanmu bertingkah seperti gadis tomboi, Mahiru.”
Amane lalu menarik lembut pipi
Mahiru sebagai balasan saat ia mencoba membayangkan seperti apa Mahiru saat
masih kecil.
Memang, rasanya sulit
membayangkan Mahiru memiliki sisi tomboi dalam dirinya.
Tampaknya, bahkan sejak usia
yang begitu muda, Mahiru selalu bersikap baik untuk mendapatkan pengakuan dari
orangtuanya, yang berarti dia pasti jauh lebih pendiam dan penurut daripada
sekarang. Jauh lebih mudah membayangkan Mahiru yang suka berdiam diri, jadi
Amane penasaran ingin tahu seperti apa Mahiru yang lebih tomboi.
(...
Aku ingin tahu apa aku bisa melihat hal seperti itu jika kita memiliki anak
yang mirip dengan Mahiru)
Amane merasa bahwa anak mereka
akan tumbuh menjadi anak yang bijaksana, siapa pun orangtuanya, tetapi ia takkan
tahu sampai anak itu lahir.
Apa anak mereka akan menjadi
bijaksana, tomboi, atau nakal, mereka akan menjadi lucu dengan caranya sendiri.
Daripada menyerupai Amane yang tidak menarik, dirinya benar-benar lebih suka
mereka tumbuh dalam citra Mahiru.
Jika Itsuki mengetahui hal ini,
ia akan berkata, “Bukannya imajinasimu
terlalu jauh, bung?” Amane membayangkan situasi di kepalanya saat Mahiru
membenamkan wajahnya ke dadanya sambil tersenyum sendiri, menggosok-gosokkan
pipinya pada Amane.
“... Aku tidak terlalu imut
saat masih kecil, tau?” Mahiru menjelaskan. “Aku hanya berusaha menjadi anak
yang baik agar orang tuaku memujiku. Hal itu membuahkan hasil, karena aku bisa
melakukan banyak hal untuk anak seusiaku, tapi pada akhirnya, orang-orang masih
membicarakanku di belakangku bahwa aku tidak memiliki pesona sama sekali.”
“Oleh siapa?”
“Entahlah. Ibu dari seorang
anak yang kebetulan bermain denganku saat itu, mungkin.” Mahiru menjawab,
sebelum menyadari sesuatu. “.... Amane-kun, wajahmu. Perhatikan wajahmu.”
“Tapi— maksudku...”
Amane tak percaya orang-orang
akan menggunjing seorang anak ketika mereka berada dalam jarak pandang, jadi ia
tanpa sadar merengut dalam kengerian yang tersinggung, setelah itu Mahiru
mencoba menenangkannya.
Amane memiliki banyak hal yang
ingin ia katakan pada ibu tak dikenal yang terlalu mudah mengungkapkan pikiran
negatifnya, terlepas dari kenyataan bahwa anak-anak sangat rentan untuk
disakiti. Namun, apa pun yang dipikirkannya, karena itu adalah masa lalu, tidak
ada yang bisa dilakukannya.
Untungnya, Mahiru tidak
terlihat merenungkan situasi itu, dan sebaliknya, dia terlihat seperti menerima
kenangan itu dengan tenang, tetapi Amane masih kesal karena memikirkan hal itu
meninggalkan bekas luka yang membekas secara emosional.
“Kau tidak perlu
mengkhawatirkanku,” Mahiru mencoba meredakan kemarahan Amane. “Koyuki-san akan
memujiku karena aku imut di setiap kesempatan yang ada.”
“Koyuki-san, kerja bagus!”
Sambil mengacungkan jempol pada
orang tua pengganti Mahiru dalam benaknya, yang belum ia kenali, Amane mengelus
kepala Mahiru dan memeluknya saat Mahiru mengingat kembali saat-saat di masa
lalunya.
“Aku lebih baik-baik saja mengenai
hal itu daripada yang kamu kira, Amane-kun. Jauh lebih sulit bagiku untuk
mendengar hal seperti itu dari orang tuaku sendiri daripada dari orang asing.”
“... Mahiru.”
“Aku tidak ingin memikirkan
saat-saat menyedihkan di masa lalu, jadi mari kita tinggalkan itu. Tapi satu
hal yang bisa kukatakan dengan pasti adalah bahwa meskipun ada penderitaan dan
kesulitan di masa lalu, tapi karena pengalaman-pengalaman itulah aku bisa
bertemu dan menjadi lebih dekat denganmu seperti ini, Amane-kun.” Mahiru
tersenyum padanya, “Aku tidak ingin menyangkal masa lalu itu, jadi tolong
jangan melihatku seperti itu.”
Mahiru tertawa, menyebutnya
sebagai orang yang suka khawatiran, dan Amane menempelkan bibirnya ke dahinya
dan memeluknya lagi. Mahiru menggeliat-geliat dalam pelukannya sebelum
merilekskan dirinya dan menanamkan ciuman langsung ke bibir Amane.
“... Dan selain itu, aku merasa
baik-baik saja sekarang karena aku dicintai olehmu, Amane-kun,” lanjut Mahir.
Melihat Mahiru tersipu malu
dari dekat, Amane bergumam, “Kamu sungguh manis sekali.” Sekarang bertekad
untuk lebih memanjakannya, Amane dengan lembut memberinya ciuman lagi dan
membelai rambutnya.
Mahiru bersandar pada Amane dan
menatap wajahnya dengan tatapan melamun. Dengan penuh kerelaan atas belas
kasihan Amane, dia menyambut kemanjaan Amane dengan tangan terbuka.
Saat ia membayangkan dirinya
tersesat pada saat itu dan menghujani Mahiru dengan lebih banyak kasih sayang,
Amane mengingatkan dirinya sendiri untuk menahan diri dan tidak terbawa
suasana. Saat sedang begitu, ia beru mengingat sesuatu yang lupa ia katakan
kepada Mahiru.
“Aku akan memberitahumu
sekarang sebelum aku lupa lagi, tapi begitu aku mulai bekerja, aku pasti akan
pulang larut malam di hari kerja,” katanya. “Jadi jangan ragu untuk makan malam
duluan tanpa aku.”
Seharusnya
aku memberitahunya lebih awal. Amane berhenti membelai
kepala Mahiru sejenak saat ia mengatakannya, tetapi saat ia berbicara, mata
besar Mahiru berkedip kaget karena dia masih berada dalam pelukan Amane.
“Pihak kafe masih menentukan
jadwal kerjanya, tapi aku akan tetap di sana sampai mereka tutup, setidaknya
pada hari kerja. Aku berharap bisa pulang sekitar pukul sembilan, dan aku tidak
bisa membiarkanmu menunggu selama itu.”
“Aku tidak keberatan menunggu
jika hanya sampai saat itu,” jawab Mahiru dengan mantap.
Amane berencana untuk menyuruh
Mahiru makan terlebih dahulu, karena tidak baik membuat Mahiru harus
menunggunya sementara dia kelaparan. Namun, seolah-olah itu adalah hal yang
paling alami di dunia, Mahiru menjawab bahwa dirinya akan dengan senang hati
menunggu.
Amane tidak dapat melakukan apa
pun selain terlihat kebingungan, menatapnya dengan ekspresi yang mengatakan, Apa yang kamu bicarakan?
“Tidak, tidak. Kamu pasti akan
kelaparan kalau menungguku pulang,” kata Amane.
“Aku lebih suka mengisi hatiku
daripada perutku, jadi aku akan menunggumu, Amane-kun. Rasanya tidak menyenangkan
jika aku harus makan sendirian, jadi aku tidak keberatan menunggumu.”
“Aku akan pulang cukup malam,
tau?”
“Dibandingkan dengan banyak
orang lain di klub dan pekerjaan paruh waktu lainnya, waktu segitu belum
terlalu malam. ... Atau kamu tidak ingin aku menunggumu?”
“Tentu saja bukan begitu
maksudku,” Amane menutup kemungkinan kesalahpahaman. “Aku hanya tidak ingin
membuatmu menunggu.”
Amane merasa tidak enak karena
menciptakan situasi di mana Mahiru harus memasak makan malam dan kemudian diam
menunggu dengan kesepian. Amane berpikir akan lebih baik bagi kesehatannya jika
Mahiru makan terlebih dahulu, tetapi Mahiru tidak menunjukkan tanda-tanda
mengalah.
“Bukannya berarti aku tidak
melakukan apa-apa sambil menunggumu, tau? Jika aku harus menunggu, ada banyak
hal yang bisa kulakukan sementara itu: mandi, mengerjakan tugas, mengulas
materi pelajaran, atau bersih-bersih,” Mahiru membuat daftar tugas-tugasnya, mencoba
membuktikan maksudnya. “Ada banyak hal yang harus aku lakukan, yang akan
berubah hanyalah urutanku mengerjakannya.”
Mahiru terlihat tidak terganggu
dan hanya tersenyum. “Kamu benar-benar orang yang suka mengkhawatirkan,"
katanya sambil mencolek pipi Amane. “Karena kamu akan bekerja keras untuk
sesuatu yang benar-benar kamu inginkan, bagaimana mungkin aku tidak mendukungmu?
Yah, meski aku bilang begitu, tapi yang bisa aku lakukan hanyalah menyiapkan makanan
hangat dan mandi untukmu.”
“Aku sangat berterima kasih,
bahkan hanya untuk itu,” Amane menegaskan. "... Tapi yang paling aku nantikan
ialah saat di mana kamu menyambutku di rumah ketika aku kembali. Itu saja sudah
cukup untuk membuat hariku terasa menyenangkan.”
“Jika hanya dengan melihatku
bisa membuatmu ceria, maka itu adalah harga yang murah untuk dibayar.”
“... Tapi kamu tidak perlu
memaksakan diri, oke?” Amane bersikeras. “Sebaiknya kau mengurus dirimu sendiri
terlebih dahulu, oke?”
Mengenal
sifat Mahiru, dia akan memprioritaskanku bahkan jika dia punya sesuatu untuk
dilakukan, Amane mencatat, tetapi Mahiru menepis sarannya dengan
tertawa.
Meskipun Amane tidak berniat
untuk mengekang Mahiru, dia tampaknya menentang ide makan tanpa kehadirannya dan
tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mengubah keinginannya. Hal tersebut
menunjukkan seberapa besar Mahiru mencintai dan menyayanginya. Tentu saja Amane
merasa senang, tetapi masih tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ia ingin
Mahiru tidak terlalu memaksakan diri.
“Hal yang sama juga berlaku untukmu,
Amane-kun. Tolong jangan memaksakan dirimu untuk bekerja terlalu keras, oke?”
Mahiru menasehatinya. “Aku tidak tahu apa yang kamu inginkan, tapi kamu adalah
tipe orang yang selalu menyelesaikan sesuatu sampai tuntas setelah kamu
memutuskan sesuatu, jadi aku merasa khawatir padamu.”
“Aku takkan berlebihan. Lagipula,
aku tidak ingin membuatmu khawatir, Mahiru. Bukan itu yang ingin aku capai di
sini,” Amane meyakinkan.
“Aku hanya khawatir denganmu yang
bekerja paruh waktu, tapi...” Mahiru memotong perkataan Amane. “Kamu tidak
dikenal sebagai kupu-kupu sosial, Amane-kun.”
“Itu memang benar, tapi juga
sedikit kasar.”
Meskipun itu benar dan Amane
akan mengakuinya pada dirinya sendiri dan orang lain, ia akan bertanya-tanya
bagaimana harus bereaksi jika seseorang mengatakan hal itu padanya secara
langsung.
Ketika mendengar Amane menggerutu,
“Bukannya aku tidak punya kemampuan sosial,” dengan cara yang tidak menyangkal
apa yang dikatakannya, Mahiru menghela nafas pelan.
“Ketimbang dibilang tidak
memiliki keterampilan sosial, aku merasa lebih tepat untuk mengatakan bahwa
kamu tidak secara aktif melibatkan dirimu dalam situasi sosial lebih dari yang
diperlukan. Aku yakin kamu bisa melakukannya jika kamu mau berusaha,
Amane-kun.”
“Yah, bukannya berarti aku
mencoba bergaul dengan banyak orang— aku sudah merasa puas dengan lingkaran
pertemananku yang sedikit,” jawab Amane.
“... Tapi, kamu pasti bisa
melakukannya kalau kamu mau mencoba, bukan? Kamu bisa membalikkan saklar sosial
dalam pikiranmu, bukan?” Mahiru menghela nafas, mengucapkan kata-katanya dengan
terburu-buru.
“Kenapa kamu mendesah begitu?”
“... Aku hanya khawatir apa yang
akan terjadi jika kamu menjadi populer, Amane-kun...”
Amane tidak bisa menahan tawa
kecil pada kekhawatiran pacarnya yang benar-benar menggemaskan, dan Mahiru
menatapnya dengan ekspresi agak jengkel setelah mendengar tawanya.
“Kamu tidak perlu khawatir. Aku
sama sekali tidak populer,” kata Amane, mencoba meredakan kekhawatirannya.
“Kamu tidak sadar dengan apa
yang orang pikirkan tentangmu akhir-akhir ini, Amane-kun.”
“Dengar. Berdasarkan suasana
dan harga menu yang ditawarkan, pelanggan di kafe tempatku nanti bekerja adalah
pria-pria tua dan wanita-wanita tua yang sopan. Populer atau tidak populer— itu
tidak ada bedanya.”
Pelanggan yang lebih muda akan lebih
memilih kafe ritel yang terkenal, di mana mereka dapat makan dan minum dengan
nyaman meskipun suasananya agak riuh, daripada kafe yang tenang dan dimiliki
secara pribadi seperti tempat Amane bekerja. Dan setelah melihat harga-harga
item pada menu, ia bisa membuktikan bahwa harganya sedikit di luar anggaran
untuk rata-rata siswa SMA atau mahasiswa yang sedang bersantai menikmati
secangkir teh.
Meskipun demikian, rasa makanan
dan minuman di kafe tersebut berkualitas tinggi, dan suasananya yang tenang
membuatnya populer di kalangan pengunjung lanjut usia. Konon, sampai batas
tertentu, fakta bahwa pemilik kafe adalah seorang wanita cantik adalah alasan
yang cukup bagi beberapa pria yang lebih tua untuk mengunjungi kafe ini.
Seperti yang disebutkan oleh
Souji, kafe ini jarang sekali dikunjungi oleh gadis-gadis muda, dan hal ini
membuat Amane merasa lega, karena ia bisa bekerja dengan tenang. Dengan
demikian, kalaupun ia menjadi agak populer, itu akan terjadi pada seseorang yang
jauh lebih tua darinya— satu atau dua generasi lebih tua, pada kenyataannya,
dalam hal ini dirinya cenderung lebih seperti diperlakukan sebagai anak atau
cucu yang disayangi, bukan artian populer di kalangan gadis-gadis sebaya.
“Jadi, tidak ada yang perlu
kamu khawatirkan, Mahiru. Pemiliknya juga tampak seperti orang yang ramah.”
“... Kalau begitu, baiklah,”
jawabnya sedikit merajuk.
Kelihatannya Mahiru kurang
lebih merasa yakin dengan apa yang dikatakannya, dan Amane mengelus kepalanya
untuk mencoba menenangkannya. Meskipun Mahiru masih terlihat sedikit tidak
puas, dia tetap terlihat senang, dan akhirnya membiarkan Amane melakukan apa
yang ia inginkan.