Chapter 9 — Bertemu
“...Alya? Bukannya sekarang sudah waktunya mengumpulkan anggota lain untuk pertandingan kavaleri nanti?”
“Mungkin masih terlalu awal untuk itu.”
“Tapi, kita butuh semua anggota ‘kan….”
Perkataan Masachika memang benar. Meskipun dia memahaminya, Alisa menjawab dengan diam-diam sambil menutup rapat bibirnya. Kemudian, salah satu anggota panitia pelaksana memanggil mereka.
“Umm permisi, bisakah kamu membantuku sedikit membereskan tempat perlombaan?”
“Biar aku saja yang pergi.”
“Eh, oi, tunggu sebentar Alya…”
Masachika dengan cepat menghentikan pengajuan diri Alisa, tapi Alisa menyela dengan suara keras.
“Aku akan segera kembali.”
“…Baiklah, aku mengerti. Sementara itu, aku akan yang mengumpulkan anggota lainnya.”
“….Terima kasih, tolong ya.”
Alisa merasa sedikit bersalah karena Masachika mundur tanpa berkata apa-apa, tetapi dia pergi dengan cepat untuk membantu membereskan tempat perlombaan.
(Haa…. Apa sih yang sedang aku lakukan?)
Alisa dalam hati menertawakan dirinya sendiri atas tindakannya yang sangat tidak rasional. Tapi dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan Maria saat ini.
Dia tidak bisa melupakan adegan di mana Maria dan Masachika yang berlari sambil berpegangan tangan dalam lomba meminjam barang saat menuju garis finish. Hanya dengan mengingat adegan itu saja, sudah cukup untuk membuat perasaan marah atau jijik bergemuruh di dada Alisa.
(Duhh, apa-apaan sih)
Dia tahu bahwa Masachika hanya dipaksa untuk menggendong Maria karena topik meminjamnya memang seperti itu. Baik Masachika maupun Maria tidak melakukan kesalahan dalam hal ini. Meskipun dia memahaminya, tapi perasaan gelap dan gundah yang belum pernah dia rasakan sebelumnya masih menggelora di dalam dirinya.
Ketika Alisa melihat Maria berlari bersama Masachika sambil bergandengan tangan, dia hampir berteriak “Jangan bergandengan tangan segala!”. Dia merasa seolah-olah kenangannya yang menari tarian rakyat bersama Masachika pada festival sekolah tahun lalu, dan berlari sambil bergandengan tangan ketika melintasi festival musim panas di kuil telah dinodai oleh Maria. Kemarahan paling tidak masuk akal dan kelam yang belum pernah dia rasakan, membara di dadanya. Dan sekarang dia membenci dirinya sendiri karena memiliki perasaan seperti itu terhadap kakak perempuannya sendiri.
(Aku tahu... itu hanya sekedar paranoid saja. Masha sama sekali tidak salah)
Maria sama sekali tidak bersalah. Tidak salah...?
(Dia memang tidak salah, tapi tetap saja! Apa-Apaan dengan ekspresi Masha yang begitu! Dia bertingkah sok lengket, da-dasar tidak senonoh! )
Ketika mengingat kembali ekspresi gembira Maria yang digendong oleh Masachika, memicu peringatan keras dari keyakinan kesucian Alisa.
(Seorang gadis tuh…. tidak boleh membiarkan anak cowok menyentuh tubuhnya begitu saja! Hanya kepada orang yang mereka percayai sepenuhnya, mereka boleh melakukan hal seperti itu ... Padahal dia sudah mempunyai orang lain yang dia suka, melakukan hal seperti itu sangat tidak pantas ... Dan Yuki-san juga sama saja! )
Saat dia berpikir begitu, kemarahannya semakin memuncak, dan itu juga menyebar kepada Yuki-san yang meminta Maria untuk dibawa dengan cara digendong.
(Dia seharusnya tahu bahwa Masha sudah punya pacar, tetapi dia justru memberikan instruksi yang seperti itu ... Meski aturannya memang begitu, tapi tetap saja. Selain itu, Yuki-san juga terus-menerus melekat pada Masachika-kun ... Masachika-kun juga harus menolaknya sedikit lebih keras!)
Api kemarahannya semakin melebar, dan Alisa mendorong tali besar ke dalam gudang olahraga seolah-olah ingin melampiaskan kemarahannya yang membara.
“Makasih banyak, ya~ Kujou-san, kamu sangat membantuku.”
“... Tidak, karena aku juga anggota OSIS.”
“Begitu ya... Selamat berjuang dalam pertandingan kavaleri nanti! Aku akan mendukungmu!”
“Te-Terima kasih banyak...”
Mendapat dukungan yang tak terduga dari senior panitia pelaksana, Alisa tersenyum sambil merasa sedikit bingung. Kemudian, dia berusaha kembali ke lapangan dari gudang olahraga ... tetapi kakinya masih terasa berat. Meskipun api kemarahannya telah padam, rasa benci pada dirinya sendiri terus meningkat perlahan-lahan.
(Ah ... mungkin aku harus mencuci tanganku.)
Melihat tangannya yang sedikit kotor karena membereskan tali besar, Alisa menggunakan itu sebagai alasan untuk menuju ke kamar mandi terdekat.
Kemudian, setelah menyelesaikan urusannya, Alisa meninggalkan kamar mandi dan kembali ke halaman sekolah dengan perasaan enggan... Di tengah perjalanan, dia melihat seorang nenek berkeliaran sendirian di tempat yang jauh dari tempat duduk orang tua.
(? Kenapa beliau ada di tempat seperti ini...)
Setelah memiringkan kepalanya dan memastikan bahwa tidak ada orang lain di sekitarnya, Alisa mengambil keputusan dan berjalan mendekati nenek tersebut.
“Umm permisi, apa anda sedang mencari sesuatu?”
Ketika Alisa berbicara dengan sopan, Nenek itu tiba-tiba berbalik dan sedikit terkejut.
Dia mungkin berusia sekitar enam puluhan. Dia mengenakan blus warna cerah dengan jaket panjang bermotif bunga yang longgar. Meskipun pakaiannya agak mencolok, tetapi terlihat modis dan kesan wanita anggun yang lembut membuat Alisa merasa nyaman.
(Mungkin istri dari salah satu pimpinan perusahaan ...?)
Setelah mempertimbangkan sifat sekolahnya, Alisa menebak-nebak seperti itu, lalu nenek itu agak terkejut dan berkata dengan nada sedikit kaget.
“Oh, kamu ...”
“?”
“Ah, maaf ya? Aku sedang mencari mesin penjual otomatis ...”
“Oh, jika itu yang Anda cari, tempatnya ada di sana ... Biar saya yang memandu Anda ke sana.”
"Oh, kamu yakin? Terima kasih, ya.”
Alisa masih belum ingin kembali ke tempat Masachika, dan sambil merasa sedikit bersalah terhadap nenek yang melihat usulannya sebagai kebaikan murni, dia menuju mesin penjual otomatis terdekat.
“Hari ini mataharinya lebih terik dan lebih panas dari yang diperkirakan, bukan? Aku jadi ingin meminum minuman dingin.”
“Oh, begitu. Memang, cuaca hari ini tidak terasa seperti musim gugur.”
“Benar sekali, aku ingin tahu apakah ini juga disebabkan oleh pemanasan global.”
Mungkin dia tipe orang yang suka berbicara, nenek itu sepertinya tidak keberatan oleh ketidakmampuan Alisa untuk menjawab dengan cara yang jenaka, dan terus berbicara dengan senyuman lembut di wajahnya.
“Cucuku juga sama. Dia bilang kalau dia harus bolak-balik antara memakai seragam musim panas yang baru dan yang lama.”
“Ah… di kelas saya juga seperti itu. Saat ini, kami memiliki dua jenis pakaian musim panas, sehingga banyak orang yang menggantinya tergantung harinya.”
“Jadi begitu...tapi mulai bulan November, kamu akan mengenakan pakaian musim dingin, ‘kan? Aku ingin cuacanya jadi sedikit lebih sejuk.”
“Saya setuju.”
Mungkin karena suasananya yang tenang, Alisa pun sampai di mesin penjual otomatis tanpa merasa kesulitan untuk berbicara dengannya.
“Terima kasih banyak ya, aku akan membelikanmu sesuatu sebagai ucapan terima kasih.”
“Tidak, anda tidak perlu melakukannya.”
“Jangan sungkan-sungkan begitu. Ayo, kamu boleh memilih minuman yang kamu suka, oke?”
“Tidak, saya beneran baik-baik saja.”
Setelah berdebat beberapa kali, Alisa akhirnya mengalah dan menunjuk botol air mineral yang paling murah.
“Kalau begitu, yang ini...”
“Ara, kamu yakin memilih yang itu? Bukannya ada minuman lain seperti jus?”
“Tidak, karena masih ada perlombaan yang harus saya ikuti sekarang.”
“Ya, kurasa itu benar. Tapi bukannya lebih baik jika memilih minuman olahraga atau semacamnya?”
“Hal semacam itu meninggalkan perasaan ada sesuatu yang manis tersangkut di tenggorokan, jadi saya tidak terlalu suka…”
“Begitukah? Yah, kurasa tidak baik juga memaksakan kebaikan. Aku mengerti.”
Setelah mengatakan demikian, wanita tua itu memasukkan uangnya dan mulai menekan tombol.
“Umm, kalau Kakek minuman cola...”
“Apakah yang ini?”
“Oh terima kasih.”
Sambil memiringkan kepalanya sedikit ke arah pilihan si kakek, dia membantu menekan tombol di barisan paling atas. Alisa kemudian menerima sebotol plastik air mineral dan memainkannya di tangannya.
(Umm, kira-kira apa aku harus meminumnya di sini...)
Sambil memikirkan hal itu sejenak, tanpa sadar Alisa kehilangan waktu berpisah dan kembali ke jalan yang sama dengan nenek itu.
“Terima kasih banyak untuk bantuannya, ya.”
“Tidak…Membimbing orang tua juga tugas OSI-…Itu tugas panitia pelaksana.”
“Kamu benar-benar gadis yang baik... ditambah lagi, secantik ini. Aku ingin kamu menjadi istri cucuku.”
“Hahaha...”
“Ara, maaf ya, tadi itu hanya bercanda.”
“Tidak apa-apa….”
“Selain itu, gadis secantik kamu pasti sudah menjadi idaman banyak orang, ‘kan? Apa kamu memiliki seseorang yang kamu sukai?”
“Saya masih belum terlalu memikirkan hal seperti itu...”
“Begitu... yah, hal itu memang tidak perlu terburu-buru, bukan?”
Alisa merasa sedikit lega dengan ucapan santai nenek tersebut.
Perasaan kesepian dan keterasingan yang dirasakan di taman hiburan. Perasaan tidak nyaman, seolah-olah hanya dirinya saja satu-satunya yang tertinggal. Ucapan nenek itu seakan membawa angin sejuk yang jernih berhembus ke dalamnya.
(Jika orang ini…. dia mungkin bisa memberi jawaban atas masalahku...)
Dengan dorongan seperti itu, Alisa tanpa sadar mengungkapkan kekhawatirannya kepada nenek yang tak dikenal ini.
“Saya... sama sekali tidak mengerti. Tentang cinta ... apa bedanya dengan sekadar simpati?”
Alisa mengatakan itu dengan terbata-bata, dan nenek itu melihat wajahnya. Kemudian, mungkin merasakan sesuatu dari sisi wajahnya, dia berbalik ke depan dan berkata dengan ceria.
“Hmm, itu memang sulit. Aku juga, bahkan di usiaku yang sudah begini, masih tidak tahu jawabannya.”
“Eh, benarkah...?”
Meskipun dia sudah menikah dan memiliki cucu? Melihat tatapan Alisa yang mengandung keraguan seperti itu, nenek tersebut hanya tersenyum tanpa menoleh.
“Tentu saja, aku tahu tentang cinta. Tapi, aku tidak tahu definisi sepenuhnya. Karena menurutku, perasaan cinta itu berbeda-beda tergantung orangnya.”
“...”
Akhirnya, mereka sampai pada jawaban yang samar seperti itu. Ketika Alisa merasa sedikit kecewa, nenek itu dengan santai berkata.
“Pertama-tama, menurutku, 'cinta' bukanlah sebuah kata yang merujuk pada satu emosi saja.”
“? Bukannya cinta hanyalah cinta?”
“Ya, memang begitu. Tapi di dalam cinta, terdapat berbagai macam emosi yang berbeda, bukan?”
“...?”
Melihat keraguan Alisa, nenek itu terus berbicara perlahan.
“Kekaguman, rasa hormat. Atau mungkin persahabatan. Tentu saja, simpati yang kamu sebutkan tadi sebagai bentuk rasa suka sebagai manusia. Dan bagi sebagian orang, ada juga obsesi atau kebencian. Meskipun ini menjadi pembicaraan yang agak tidak enak didengar, tapi hasrat seksual juga termasuk.”
“Ha-Hasrat seksual...”
“Tapi, itu tetap menjadi bagian dari cinta, bukan? Menurutku, segala macam perasaan itu, semuanya dapat digabungkan dan disebut sebagai cinta ...”
“...”
Sejujurnya, cerita itu tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh Alisa. Menurut Alisa, persahabatan atau rasa hormat adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dari cinta, dan ia tidak bisa membayangkan bagaimana obsesi atau kebencian bisa termasuk dalam cinta.
(Bukannya cinta itu sesuatu yang lebih murni, berkilau, dan…. indah?)
Tentu saja, argumen keberatan yang samar-samar muncul di dalam kepalanya. Namun ... bagi Alisa, yang masih mencari tahu apa arti sebenarnya dari cinta, penafsiran nenek itu sangat segar.
Alisa juga mengenal perasaan seperti persahabatan atau rasa hormat. Jika cinta lahir ketika semua hal tersebut bersatu dan tumbuh, ...... maka, mungkin suatu hari nanti, mungkin dirinya akan bisa memahaminya juga.
“.... Itu sangat membantu. Terima kasih banyak.”
“Fufufu, benarkah? Baguslah kalau begitu. Yah, itu hanya pendapatku, jadi jangan terlalu serius dalam memikirkannya, ya?”
Wanita tua itu tertawa sambil berkata demikian, dan Alisa juga mengembalikan senyumnya ... dan pada saat itulah mereka sampai di kursi penonton.
“Umm, sudah saatnya bagi saya untuk pergi—”
Setelah mengatakan itu, Alisa hendak mengucapkan selamat tinggal kepada nenek tersebut.
“Oh, Asae-san! Kenapa kamu bisa bersama Kujou-san!?”
Dari arah diagonal belakang, Alisa terkejut ketika suara yang dia kenal memanggil namanya. Dan ketika dia melihat seorang pria tua yang kurus berdiri di atas lembaran plastik dan menatap ke arahnya, pipinya berkedut dengan kaku.
“Eh, ah, ka-kalau tidak salah…Masa—bukan, anda kakeknya Kuze-kun …”
“Oh, kamu masih mengingatku, ya. Maafkan aku karena kemarin tidak memperkenalkan diri dengan baik. Namaku Kuze Tomohisa, kakeknya Masachika.”
“Ah, nama saya Kujou Alisa...Hah!”
Dengan kata lain... saat Alisa berbalik, nenek itu menutup mulutnya dengan tangannya dan tersenyum penuh makna.
“Ya ampun, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Senang bertemu denganmu, namaku Kuze Asae.”
“Ku......”
Karena terlalu terlambat menyadari situasi, isi pikiran Alisa menjadi kacau balau.
(Neneknya Masachika-kunnnnnn!? Eh, tunggu sebentar, apa aku baru saja meminta nasihat tentang cinta dengan nenek Masachika-kun!?)
Dengan setengah panik, mungkin otaknya berusaha melarikan diri dari kenyataan, Alisa mulai menyadari hal yang lebih buruk lagi.
(Atau lebih tepatnya! Baju couple! Di usia segini! Baju couple!!)
Melihat Tomohisa yang mengenakan kemeja cerah dengan jaket bermotif bunga yang mencolok, Alisa berteriak kencang di dalam hatinya.
Tidak apa-apa sih. Baju tersebut memang terlihat modis dan mesra, menurutnya sangat bagus. Tapi ... jika kakek-neneknya berpakaian seperti itu, Alisa merasa tidak ingin berjalan bersama mereka.
Tapi kemudian, dia tiba-tiba menyadarinya saat melihat wajah nenek── wajah Asae lagi.
(Ya, waktu itu ... ketika aku memanggilnya!)
Reaksi Asae yang terlihat terkejut dan berkata “Oh, kamu ...”. Pada saat itu, Alisa mengabaikan reaksi itu sebagai rasa ingin tahu tentang rambut perak dan mata biru yang langka, tapi...
(Apa jangan-jangan dia sudah menyadarinya pada saat itu!?)
Alisa merasakan hal itu dan secara naluriah melihat ke arah Asae lagi. Asae tertawa dengan ekspresi sedikit meminta maaf. Dengan reaksi itu, dia mengerti semuanya, dan kemudian rasa malu yang jauh lebih besar daripada kemarahan meledak dalam diri Alisa.
“~~~~~…..!!”
Tubuh Alisa gemetar dan dia menjerit tanpa suara, dan kemudian dia melihat wanita yang duduk di sebelah Tomohisa.
(Apa dia adalah ibunda Masachika-kun──?)
Dia merasa aneh karena dia tahu bahwa orang tua Masachika ...
(Eh? Tapi, kalau tidak salah, orang tua Masachika-kun tuh—)
Alisa ingat kamar apartemen yang dia kunjungi berkali-kali, satu-satunya tempat di mana hanya Masachika saja yang berada di sana. Dan kemudian, dia mengingat percakapannya dengan Masachika ketika ia mengalami demam dan mengerutkan keningnya saat menatap wanita itu.
“....?”
Tiba-tiba, Alisa merasa familiar dengan wajah itu dan mengerutkan keningnya.
“Ah, dia ini ...”
Menyadari tatapan Alisa, Tomohisa menatap wanita di sebelahnya dan mulai mengatakan sesuatu ── ──seolah ingin menyela, wanita itu berdiri dan membungkuk.
“Senang bertemu denganmu. Aku ibu dari Suou Yuki, dan namaku adalah Suou Yumi.”
“Ah, Ibunda Yuki-san ... Senang bertemu dengan anda, saya Alisa Mikhaylovna Kujou dari OSIS yang sama dengan Yuki-san.”
“Ya, aku pernah mendengar tentangmu dari putriku...”
Melihat Yumi yang menjawab dengan nada yang canggung dan memalingkan pandangannya, Alisa menyadari identitas perasaan deja vu-nya tadi.
(Oh, begitu rupanya ... dia mirip dengan Yuki-san)
Ekspresi wajahnya yang tampak tidak memiliki semangat atau kepercayaan diri, terlihat sangat berbeda tampak dari Yuki, ... tapi fitur wajah mereka sangat mirip. Setelah memahami itu, Alisa merasa bingung.
(Mengapa kakek dan nenek Masachika-kun duduk bersama dengan ibunda Yuki-san…?)
Tomohisa menjawab dengan tertawa keras pada pertanyaan yang sangat wajar itu.
“Yahh, aku melihat Yumi-san datang sendirian. Jadi aku mengajaknya untuk bergabung bersama kami.”
“Haa ... Begitukah?”
Meskipun dia berkata begitu, Alisa masih merasa tidak yakin.
(Tidak peduli seberapa dekat hubungan mereka sebagai teman masa kecil…..apakah bahkan kakek-neneknya dan orang tuanya sampai bisa sedekat seperti ini?)
Alisa menjadi bingung dan tidak tahu harus berkata apa kepada Yumi yang hanya berdiri dalam diam. Kemudian, suara yang dikenalinya mendadak memanggilnya.
“Oii~ Alya, sekarang sudah saatnya ...”
Ketika dia mengangkat kepalanya, Masachika berjalan ke arah mereka sambil mengangkat tangannya. Ia mungkin datang ke sini karena melihat rambut perak Alisa. Kemudian, ketika dia melihat dua orang yang berada di sebelah Alisa, Masachika mengerutkan kening.
“Ugeh, mengapa kakek dan nenek bisa bersama dengan Alya ...?”
Kemudian, tatapan Masachika beralih ke wanita di sebelahnya... dan suasananya menjadi tegang.
“Ma-Masachika-kun?”
Alisa terkejut melihat Masachika, yang matanya melebar dan ekspresinya tampak kaku. Ketika mengikuti tatapannya, dia melihat bahwa Yumi juga menatap Masachika dengan ekspresi yang sama.
(Ehh, apa? Apa yang sebenarnya terjadi….)
Alisa tidak mengerti apa yang terjadi, dan hanya terus memandangi mereka berdua bergantian. Namun, situasi tegang itu langsung berakhir ketika Masachika mengalihkan pandangannya. Rasanya terasa begitu lama karena suasananya yang begitu ganjil, tapi kenyataannya baru sekitar lima detik berlalu.
“... Mereka semua sudah berkumpul di sana. Ayo pergi.”
“Eh ...ah, ya, baiklah ... Kalau begitu, umm, selamat tinggal.”
“Ya, selamat tinggal.”
“Umu, sampai jumpa lagi jika ada kesempatan ... Oh ya, Masachika! Ayo makan siang bersama nanti!”
“Tidak usah, karena aku akan makan dengan teman-temanku.”
Masachika bahkan tidak menoleh ke belakang saat Tomohisa memanggilnya, ia hanya menjawab dengan singkat dan berjalan pergi. Alisa bergegas mengejarnya karena perilakunya yang tidak seperti biasanya.
“Masachika-kun, apa yang terja——”
Namun ketika Alisa berjalan di sebelah Masachika, dirinya justru tersentak ketika melihat wajahnya. Di sana ada kemarahan, kebencian, dan kesedihan yang tercampur dalam ekspresi wajahnya. Alisa hanya terdiam saat melihat ekspresi yang sangat berbeda dari yang sering ditunjukkan oleh Masachika.
“...”
Masachika bahkan tidak mengatakan apa-apa ketika Alisa menatapnya dengan tatapan cemas, seolah-olah dirinya tidak punya waktu untuk memperbaiki sikapnya. Hal ini juga merupakan di luar karakternya sehingga Alisa merasa tidak tahu harus berkata apa.
(Sesuatu, apa ada sesuatu…. aku, tidak tahu….)
Kata-katanya terus berputar-putar di belakang kepala dan tenggorokannya. Dirinya harus mengatakan sesuatu. Tapi tidak ada ...... yang terlintas di benaknya. Jadi,
“!!”
Alisa memutuskan untuk diam-diam menempelkan botol plastik yang dipegangnya ke pipi Masachika.
“Dingin banget!”
Dinginnya botol plastik yang baru saja dibelinya membuat Masachika tersentak dan melepaskan diri. Dan kemudian, ketika Masachika yang menatapnya sambil mengerutkan kening dan menatapnya, Alisa mengatakan sesuatu yang muncul di pikirannya.
“Menurutku… itu tidak baik mengatakan hal seperti itu kepada kakekmu….”
Setelah mengatakannya dengan gagap, bahkan Alisa merasa malu dengan dirinya sendiri seraya berpikir, “Apa sih yang aku bicarakan?”. Setelah beberapa detik keheningan yang canggung bagi Alisa... Masachika tertawa kecil.
“Itu ada benarnya juga. Yah, mungkin kita bisa makan bersama kapan-kapan.”
Saat Masachika mengatakan itu dengan nada bercandanya yang biasa, ekspresinya tampak melembut. Meskipun merasa lega dengan hal itu…hati Alisa dipenuhi penyesalan karena tidak dapat menanyakan apa pun lagi tentang kejadian sebelumnya.
Sebenarnya dia ingin tahu lebih banyak. Mengapa Masachika bereaksi seperti itu ketika bertemu ibunda Yuki? Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?
Alisa ingin mengetahuinya. Dia ingin tahu dan memberikan kata-kata dukungan... Tapi dia memutuskan untuk menunggu.
(Karena suatu saat nanti… Masachika-kun sudah berjanji untuk menceritakannya kepadaku.)
Oleh karena itu, dia akan menunggu. Dia akan menunggu waktu yang tepat ketika Masachika bersedia menceritakan semuanya. Hingga saat itu tiba…. dirinya berusaha akan menjadi partner yang lebih bisa diandalkan. Dia akan menjadi partner yang bisa membuat Masachika bisa menceritakan penderitaannya.
(Oleh karena itu….aku tidak boleh kalah…)
Selain itu .... Alisa memiliki hal lain yang ingin disampaikan kepada Masachika.
Dengan memenangkan pertandingan kavaleri hari ini, dia akan memberitahu Masachika. Dan kemudian…
“Ah, Alissa sudah datang tuh~”
“Kamu cukup terlambat.”
“Terima kasih atas kerja kerasmu, Alya-san.”
“Kerja bagus.”
Teman-teman yang berjuang bersama dengannya. Sayaka, Nonoa, Takeshi, dan Hikaru.
“Ah, maaf~. Apa aku terlambat~?”
“Oh, apa aku terlambat? Waktunya masih aman, ‘kan?”
Maria, Elena. Dan……
“Ara, sepertinya kelompok kita datang yang terakhir, ya.”
Dengan tenang dan teguh, dia muncul dengan penuh percaya diri. Sambil mengibaskan gulungan rambut vertikalnya yang membanggakan.
Alisa menyambutnya dengan senyuman. Dia menanggapi senyuman Alisa dengan senyuman elegan dan kuat──
“Terima kasih atas kerja kerasmu, Biolet-senpai.”
“Namaku Sumire, tau!”
Dan menanggapi sapaan Masachika dengan tsukkomi yang tajam.
◇◇◇◇
Hal itu terjadi dua minggu yang lalu, ketika mereka mendiskusikan siapa yang akan diminta untuk bekerja sama setelah sepulang sekolah di kelas.
“... Kira-kira apa kita bisa meminta bantuan dari Kiryuuin-senpai?”
Masachika mengangguk perlahan-lahan setelah mendengar kata-kata Alisa.
“Menurutku... itu mungkin. Karena sepertinya Biolet-senpai juga cukup tertarik denganmu, Alya ...”
“Tertarik padaku? Kapan?”
“Itu loh, ketika dia datang dengan Kiryuuin untuk meminta maaf setelah festival sekolah berakhir ...”
Festival musim gugur hampir berakhir. Ketika Sumire mampir ke markas panitia pelaksanaan festival sekolah bersama Yushou, dia menjelaskan situasinya kepada ketua dan wakil ketua pelaksanaan festival serta beberapa anggota OSIS dan meminta maaf. Sumire bahkan meminta maaf secara pribadi kepada Alisa di tempat itu ...
[Senpai tidak perlu meminta maaf segala. Kiryuin-senpai sama sekali tidak terkait dengan kekacauan itu dan pada akhirnya aku berhasil melakukan pertunjukan konser tanpa gangguan. Terima kasih banyak atas bantuanmu dalam menenangkan kekacauan itu.]
Setelah mengatakan itu, Alisa menundukkan kepalanya sebagai bentuk terima kasihnya. Sumire tersenyum puas dan berkata, “Jika kamu memiliki masalah, aku akan siap membantumu” sebagai balasan.
“...Dia memang mengatakan kalau dia akan membantuku dan aku berniat mengandalkan hal tersebut, tapi itu tidak sama dengan ...... membuatnya tertarik padaku, bukan?”
“Tidak, aku pikir dia sangat tertarik padamu, loh? Selain itu, Biolet-senpai yang bertanggung jawab atas pernyataannya pasti tidak akan mengatakan 'Aku akan siap membantu' dengan begitu mudah.”
“Apa memang begitu?”
Alisa memiringkan kepalanya dengan ekspresi campuran antara setengah senang dan ragu. Masachika tersenyum masam dan menempatkan dagunya di tangannya.
“Yahh, benar juga ... jika kita bisa mendapatkan kerja sama penuh dari Biolet-senpai, kita mungkin bisa memobilisasi Empat Musim Bersaudari...”
“Empat Musim Bersaudari?”
“Ya, komite kedisiplinan…atau lebih tepatnya, mereka adalah empat orang yang terkenal di klub kendo putri ... meskipun mereka bukan benar-benar saudara kandung, sih. Mereka adalah pemain andalan, pemain kedua, pemain tengah, dan wakil kapten klub kendo putri, kecuali Sarashina-senpai yang merupakan kaptennya.”
“Haaah ...?”
“Biolet-senpai adalah wakil kapten dan posisi tertua dari keempat Musim Bersaudari, jadi mungkin dia bisa membantu kita? Jika keempat orang itu bekerja sama, itu akan menjadi kekuatan yang luar biasa dalam hal reputasi dan kekuatan... …Ah, maksudku, kamu juga melihatnya, bukan? Itu loh, selama kerusuhan petasan, mereka berhasil menangkap pelakunya ──”
◇◇◇◇
Dan kemudian… Alisa sendiri, bersama orang-orang yang bisa disebut sebagai anggota terbaik, berkumpul di sini.
Tiga siswi lainnya muncul mengikuti di belakang Sumire. Kemudian, mereka berbaris di kedua sisi Sumire dengan posisi… setengah badan.
Sumire sendiri juga sedikit membungkuk, lalu dia menjetikkan jarinya. Kemudian, gadis berpenampilan lincah dengan ekor kembar di sebelah kanannya, dengan bangga menyebutkan namanya.
“Shinbashi Ayame!”
Selanjutnya, gadis yang terlihat tomboy di sebelah ujung kanannya, membuka mulutnya sambil menutup salah satu matanya dengan tangannya.
“Oomori Kikyo!”
Selanjutnya, siswi berkacamata di ujung lain mendorong bingkai kacamatanya dan berkata.
“Kurasawa Hiiragi!”
Lalu, Sumire menyebutkan namanya sambil mengibaskan rambut gulungan vertikalnya.
“Kiryuuin Sumire!”
Akhirnya, keempat siswi itu berkumpul dan bersama-sama mengatakan,
““““Kami, Empat Musim Bersaudari, hadir di sini!!””””
Seolah-olah ada efek ledakan terjadi di belakang mereka, mereka muncul dengan gagah perkasa. Sambil melihat itu, Sayaka mengangguk perlahan sambil bertepuk tangan dengan puas. Terpancing oleh reaksinya, Takeshi juga ikut bertepuk tangan sambil memiringkan kepalanya.
“Yo~, Nonoa-chan. Pantatmu masih kelihatan montok seperti biasanya~ Boleh kusentuh enggak?”
“Lima puluh ribu yen.”
“Mahal banget! Eh, ngomong-ngomong, berapa lama?”
“Dua detik.”
“Cuma dua detik!? Ehm... Bisakah aku membayarnya dengan kartu kredit?”
“Jadi kamu tetap membayarnya, ya?”
Di tempat yang tidak jauh, Elena melakukan pelecehan seksual terhadap Nonoa, sementara Hikaru secara tidak sengaja memberikan komentar kepadanya.
“Uhm, Masha-san. Perutmu kelihatan lagi...”
“Ahh, duhhhhh~”
Setelah ditegur oleh Masachika yang memalingkan wajahnya sedikit, Maria mulai memperbaiki pakaiannya.
Ketika melihat teman-teman yang berkumpul….. Alisa mengamati mereka dan bergumam,
【Mungkin aku salah memilih orang. 】
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya