Bab 6 —
Tekanan dari Seorang Teman
“Kamu lagi membaca apa?”
“Buku panduan untuk pekerjaan
paruh waktuku. Kido mengatakan padaku bahwa lebih baik jika aku membacanya dan
mempelajari semuanya terlebih dahulu, jadi dia membawakannya untukku.”
Itsuki mendekati Amane, karena
melihat Amane sedang membaca buku yang berisi panduan dan instruksi untuk
melakukan pekerjaan paruh waktunya. Ayaka tyang memberikannya kepadanya,
berkata, “Akan lebih baik bagimu untuk mempelajari ini terlebih dahulu untuk
membantumu bersiap-siap untuk bekerja, iya ‘kan?”
Di dalamnya terdapat kompilasi
pengetahuan yang ia perlukan untuk mempelajari pekerjaannya, termasuk
dasar-dasar layanan pelanggan, menu, penanganan peralatan, nama dan rasa yang
berbeda dari setiap jenis biji kopi, dan sebagainya.
Berkat menguasai sejumlah hal
mendasar selama festival sekolah, Amane tidak terlalu sulit untuk menghafal
cara menangani pelanggan dan isi menu. Meski demikian, rupanya masih terasa
sulit untuk membiasakan diri dengan berbagai jenis kopi, rasa, dan asal biji
kopi dengan cukup baik untuk menjelaskannya kepada pelanggan saat ditanya
tentang hal itu, jadi Amane membaca buku panduan kapan pun dia punya waktu.
“Memangnya boleh membawa
barang-barang semacam itu ke luar toko?” tanya Itsuki.
“Sepertinya aman-aman saja,”
jawab Amane. “Karena buku ini hanya berisi penjelasan tentang layanan pelanggan
dan cara menggunakan peralatan. Sepertinya Kido sudah mendapat izin karena
tidak ada rahasia dagang di dalamnya. Selain itu, akan lebih baik bagiku untuk
belajar lebih cepat daripada nanti untuk kafe ini, kan?”
Ayaka mungkin berusaha keras
untuk membantu Amane karena dia merasa bertanggung jawab untuk merujuknya pada
pekerjaan itu, tetapi ia menduga bahwa itu juga berasal dari kepercayaannya
pada kemampuan Amane untuk mengingat semuanya tanpa banyak kesulitan.
Amane tidak bisa bergantung
pada Souji untuk segalanya, yang seharusnya rekan sesama pekerja. Sebaliknya,
Amane merasa bahwa ia harus menjadi karyawan yang terlatih dengan baik dan
melayani kafe sesegera mungkin.
Selain itu, mana mungkin ia
mengundang Mahiru untuk datang mengawasinya, dan melihatnya melakukan pekerjaan
yang ceroboh, jadi keinginannya untuk memenuhi harapan Mahiru memberinya alasan
lain untuk rajin membaca buku panduan berulang kali. Kebetulan, Mahiru yang
biasanya menghabiskan waktu istirahatnya dengan Amane, hari ini tidak terlihat,
mungkin karena pertimbangan setelah melihat Amane berkonsentrasi.
Saat Amane melanjutkan membaca
baris-baris teks dalam buku panduan ke dalam ingatannya, Itsuki tampak
kehabisan kata-kata dan menghela nafas.
“Kamu benar-benar berkomitmen dalam
hal-hal seperti ini, huh?” puji Itsuki. “Meski kurasa masuk akal rasanya ketika
kamu menganggapnya sebagai kekuatan cinta.”
“Berisik.”
Motivasinya memang terlihat jelas,
jadi Amane benar-benar tidak bisa menyangkal apa yang Itsuki katakan, tapi
mendapati hal itu dikatakan oleh orang lain membuat rasa malunya meluap, dan
membuatnya secara naluriah membentak balik. Tapi Itsuki hanya tertawa tanpa terganggu
sedikitpun.
“Tapi, tak pernah disangka
kalau Amane yang dulunya lemah lembut dan tidak ramah akan berubah sebanyak
ini... Cinta benar-benar luar biasa, ya. Benar-benar bisa mengubah orang.”
“Dari tadi kamu selalu
mengejekku melulu, apa kamu mencoba membuatku kesal?”
“Tidak, tidak sama sekali.
Hanya saja... yah, bagaimana aku menjelaskannya... Aku terpesona melihat betapa
mengharukannya semua ini.”
“Mengapa kamu tidak terus
terpesona sampai kamu buta? Maka aku tidak akan tahan denganmu yang datang
untuk melihat aku bekerja.”
“Itu sangat kejam! Aku juga
ingin melihat penampilanmu saat kamu bekerja keras!”
“Kamu benar-benar mengatakan
itu, ketika kamu bahkan tidak mau menunjukkan padaku dimana kamu bekerja?”
Meskipun Itsuki
mengolok-oloknya, Amane tahu kalau Itsuki juga memiliki pekerjaan paruh waktu.
Namun, Amane tidak tahu di mana temannya itu bekerja, atau apa yang dia
kerjakan. Itsuki biasanya jujur dan berpikiran terbuka, tapi untuk beberapa
alasan, ia tidak terlalu sering membicarakan topik pekerjaannya.
Walau tidak sampai di tingkat merahasiakannya,
rasanya Itsuki juga tidak ingin menyinggung masalah itu, jadi Amane tidak
berniat untuk menggali terlalu dalam, tapi mungkin mengorek sedikit tidak
apa-apa.
Ketika ia mendongak dari buku
panduan dan menoleh pada temannya, Itsuki tertawa kecil dan menghindari topik
tersebut, berkata, “Apa, aku? Yah...”
“Kamu bilang kamu ingin datang
menemuiku bekerja di tempat kerja paruh waktuku, tetapi kamu bahkan belum
memberitahuku dimana kamu bekerja paruh waktu, apalagi berpikir untuk mengajakku
bersamamu, kan?”
“Nyahaha, yah, aku tidak punya
kewajiban untuk memberitahumu, jadi...”
“Maksudku, aku tidak menyangkal
hal itu, tetapi dalam hal ini, itu membuatku khawatir kalau kamu mungkin melakukan
sesuatu yang mencurigakan.”
“Mana mungkin aku akan
melakukannya!” Itsuki berseru.
"Kalau begitu, setidaknya
ceritakan padaku. Pekerjaan apa yang kamu lakukan?"
“Apaaaaa? Baiklah, kurasa aku
bisa memberitahumu... Aku bekerja di toko bunga. Seorang kenalanku yang
memiliki toko itu..."
"...... Bunga? Kamu?”
Itsuki terlihat canggung saat
ia berhadapan dengan Amane, yang hanya bisa membelalakkan matanya pada bidang
pekerjaan tak terduga yang baru saja Itsuki akui.
“Sudah kuduga bakalan begitu,”
Itsuki mengantisipasi respon Amane. “Aku tidak mengatakan apa-apa tentang hal
itu karena aku tahu kamu akan bereaksi seperti itu. Aku tahu orang-orang akan
mengatakan bahwa itu tidak sesuai dengan imejku.”
“Aku tidak mengatakan sampai
segitunya, tapi ...... Kamu tidak pernah berbicara tentang bunga sebelumnya.”
“Dalam situasi apa aku akan
mulai berbicara tentang bunga? Pertama-tama, aku belum menjadi seorang ahli.
... Pada intinya, pekerjaan ini pun hampir disetujui oleh ayahku, karena
berurusan dengan bunga berkaitan dengan mempelajari seni kadou*. Dia menolak memberiku izin untuk bekerja paruh waktu di
tempat lain.” (TN: Seni merangkai bunga)
Rasa frustrasi Itsuki, serta
kepada siapa rasa frustrasi itu ditujukan, terlihat jelas dari caranya
mencemooh, dan hanya mengerutkan alisnya yang bisa dilakukan Amane sebagai
tanggapan.
Peraturan di sekolah Amane
menetapkan bahwa jika seorang siswa ingin mendapatkan pekerjaan paruh waktu,
mereka harus terlebih dulu mendapatkan persetujuan dari wali murid dan
menyerahkan dokumennya sebelum memulai.
Untungnya, Amane dengan mudah
bisa mendapatkan izin dari Shuuto, jadi ia bisa mengurus prosedur dalam waktu
singkat, tetapi dalam kasus Itsuki, Daiki memiliki keputusan akhir apa Itsuki
akan diizinkan untuk bekerja atau tidak, dan ayah Itsuki sama sekali tidak
kooperatif.
Bahkan dari sudut pandang
Amane, Ayah Itsuki adalah orang yang sangat ketat, dan merasa bahwa Daiki tidak
akan terlalu mendukung gagasan seorang siswa mendapatkan pekerjaan paruh waktu,
bersikeras bahwa tugas siswa adalah belajar. Menurut Itsuki, pada awalnya Daiki
tidak mengizinkannya untuk bekerja. “Bahkan setelah banyak berkompromi, rasanya
masih sulit untuk membuatnya setuju, tau?” Itsuki menggerutu.
Amane berpikir bahwa mungkin
lebih baik tidak menanyakan kesulitan seperti apa yang harus dilalui Itsuki
untuk membuat ayahnya setuju. Itsuki lalu terus lanjutkan.
“Maksudku, bukannya aku tidak
punya masalah dengan bekerja dengan bunga itu sendiri... hanya saja... aku benci
diperingati terus mengenai hal-hal yang sepele. Lagian, aku sudah SMA, iya ‘kan?
Kenapa dia mengeluh tentang aku yang mendapatkan uang sakuku sendiri? Selain
itu, manajer mengenal ayahku, jadi dia selalu mendapat laporan tentang
bagaimana keadaanku. Manajer bersimpati padaku, jadi aku yakin dia tidak akan
memberikan laporan yang berbahaya."
“Memangnya kamu memiliki
sesuatu yang sangat ingin kamu beli sampai-sampai harus melakukan semua itu, hanya
untuk bekerja paruh waktu?” tanya Amane.
Sejauh yang Amane ketahui,
Itsuki bukanlah orang yang boros, dirinya juga bukan tipe orang yang
menghabiskan uang dalam jumlah yang tidak masuk akal untuk bersenang-senang. Ia
pergi keluar untuk makan cepat saji dan karaoke dari waktu ke waktu, tapi
selain itu, Amane tidak pernah melihatnya secara jelas menumpuk pengeluaran.
Pertama-tama, Itsuki tampaknya mendapatkan uang saku yang cukup banyak, bahkan
ketika memperhitungkan biaya makan siangnya.
Amane berpikir bahwa jika
Itsuki masih harus bekerja meski dengan keadaan seperti itu, ia pasti berencana
untuk membeli sesuatu yang cukup mahal, tapi Itsuki hanya menggelengkan
kepalanya.
“Tidak, aku sedang menabung
agar aku bisa keluar dari rumah orang tuaku jika terpaksa.”
“... Wow... Maaf.”
Amane menyadari bahwa dirinya
menyentuh topik yang sensitif, jadi ia langsung meminta maaf, tetapi Itsuki
hanya memberinya senyuman pahit sebagai balasannya.
“Aku sengaja tidak
membicarakannya karena aku tahu kamu akan meminta maaf seperti itu. Yah, pada
akhirnya, ini hanya akunya saja yang keras kepala, dan jika kamu bilang aku
terlalu terburu-buru, aku takkan bisa menyangkalnya.”
“....Apa keadaannya masih
seburuk itu antara kamu dan Daiki-san?" Amane bertanya dengan suara rendah
setelah memeriksa untuk memastikan bahwa Chitose tidak ada di kelas.
Untungnya, karena teman-teman
sekelas mereka sedang mengobrol, Itsuki mungkin satu-satunya yang mendengar
pertanyaan Amane.
Amane sengaja mengecilkan
suaranya karena khawatir Chitose akan mengetahui percakapan mereka melalui
teman sekelas mereka, tapi Itsuki hanya memberikan senyum yang tampak riang
pada sikap perhatian Amane. Saat ia mengerti bahwa senyum Itsuki bukanlah senyum
kebahagiaan, melainkan senyum kesusahan, Amane hampir tidak tahan melihat
ekspresinya.
“Keadaannya tidak terlalu
banyak berubah.” Itsuki menjawab. “Yah, karena aku menjadi sangat liar di masa
pemberontakanku antara masa SMP dan SMA, jadi kami hampir tidak pernah
berbicara satu sama lain.”
Mungkin itu tidak terlalu
mengejutkan, tapi sepertinya hanya ada sedikit percakapan yang terjadi di
antara mereka bahkan setelah mereka tiba di rumah. Amane khawatir kalau-kalau
ia melakukan sesuatu yang tidak perlu di festival budaya dan membuat hubungan
Itsuki dengan ayahnya menjadi semakin retak, tetapi dari cara Itsuki bersikap,
tampaknya tidak demikian.
“Selama kita masih bersekolah,
orang tua kita memiliki kendali penuh atas hidup kita, jadi jika mereka
benar-benar membatasi kebebasan kita, tidak banyak yang bisa kita lakukan. Pada
dasarnya ini adalah kasus lebih baik aman daripada menyesal,” kata Itsuki.
“..... Tetap saja, aku
benar-benar tidak berpikir bahwa Daiki-san akan melakukan sesuatu yang tidak
manusiawi seperti memaksamu melakukan apa pun yang dia perintahkan dengan
menyandera uang sekolah atau biaya hidupmu.”
Memang benar kalau orang-orang
di sekitarnya pun memiliki kesan bahwa Daiki, secara kasarnya, adalah seorang
pria keras kepala yang tidak berkompromi dengan keyakinannya, tetapi pada saat
yang sama, Amane menganggapnya sebagai orang dewasa bijaksana dengan rasa
tanggung jawab yang cukup kuat.
Jika beliau adalah tipe orang
yang menggunakan alasan seperti itu untuk menutup argumen dari putranya sambil
mengambil kendali penuh atas setiap aspek kehidupannya, Amane tidak akan
membiarkan fakta bahwa dia adalah orang luar dalam masalah ini menghentikannya
untuk secara langsung memprotes cara-cara kerasnya, tapi faktanya adalah bahwa
terlepas dari pembatasan yang sesekali dia lakukan terhadap kegiatan Itsuki,
tingkatannya tidak pernah sampai pada pemaksaan.
Mereka telah sampai pada titik
di mana tidak ada yang mau bergeming dari posisi mereka, meskipun mereka
mungkin juga tidak akan memaksakan pendapat satu sama lain. Kemungkinan besar
karena memahami hal ini, Itsuki hanya bisa menghela napas panjang karena
jengkel.
"Ya, ayahku memang orang
yang keras kepala, tapi aku ragu dirinya akan melakukan sesuatu yang benar-benar
kejam sebagai manusia. Meskipun begitu, mungkin saja akan terjadi sesuatu yang
membuatku tidak punya pilihan selain keluar dari sana secepatnya, dan aku akan
membutuhkan uang, bukan? Lagipula, aku tahu betapa keras kepalanya orang tua
itu.”
“...... Kamu juga sama-sama
orang keras kepala,” kata Amane.
“Ceritakan padaku tentang hal
itu, kawan. Tapi memang begitulah aku.”
Sekilas Itsuki mungkin terlihat
sembrono, tetapi pada kenyataannya, ia adalah orang yang perhatian, dapat diandalkan,
dan tabah. Dia biasanya berbicara dengan santai, tetapi Amane tahu betul bahwa
kata-kata itu dibangun di atas penderitaan di masa-masa sulit.
Cara Itsuki menolak untuk
tunduk pada kehendak ayahnya, menunjukkan bahwa Itsuki juga keras kepala dengan
caranya sendiri. Amane berpikir, kurasa
dia mirip dengan ayahnya dalam hal itu, tapi mana mungkin Amane akan
mengatakan itu di hadapan Itsuki sekarang.
“Hei, hei, kalian berdua lagi
ngobrolin apaan sih sampai-sampai muka kalian suram begitu?” Chitose mendekati
mereka, dan memperhatikan ekspresi serius mereka.
“Hm? Ah, aku hanya membicarakan
tentang bagaimana Amane mengalami kesulitan dengan pekerjaan paruh waktunya dan
semacamnya.”
Karena Itsuki mengubah topik
pembicaraan agar Chitose tidak melanjutkan pembicaraan semula, demi menghormatinya,
Amane ikut meladeninya. “Ya, aku memasukkan namaku untuk beberapa shift,
jadi...”
“Serius? Jika kau membuat
Mahirun kesepian karena bekerja sepanjang waktu, aku akan membuatnya jatuh
cinta padaku, oke?”
“Itu akan menjadi masalah.
Tentu saja aku akan memastikan aku tidak akan mengabaikannya.”
“Bagus. Pastikan kamu
melakukannya," kata Chitose, tiba-tiba bersikap sok dan songong.
“Memangnya kamu pikir kamu ini
siapa?”
“Aduh.” Chitose bertingkah seolah-olah
dia adalah otoritas atas semua hal tentang Mahiru, jadi Amane menyentil
dahinya, dan dia menempel pada Itsuki, menangis, “Ikkuuunnn~,” pura-pura tak berdaya. Itsuki menepuk-nepuk kepalanya,
sambil berkata, “Cup, cup, cup,” sambil tertawa ringan. Tampaknya mereka telah
berhasil menghilangkan rasa canggung yang selama ini menggantung di udara.
Chitose mengusap dahinya dan
berpura-pura merajuk, meskipun Amane tidak terlalu melakukannya dengan keras,
dan menjulurkan lidahnya untuk menanggapi tatapan dingin Amane.
“Ayolahhhhh. Jangan membuat
wajah seperti itu,” desak Chitose.
“Itu salahmu sendiri karena
terbawa suasana,” balas Amane.
“Ayolah~, apa masalahnya, kita
di sini hanya membicarakan Mahirun dan aku. Yah, terserahlah. Aku menantikan
saat kamu mengundang kami untuk bertemu denganmu di tempat kerja!”
“Tiba-tiba aku merasa tidak
ingin mengundang kalian.”
“Kenapa tidak?! Kami hanya
ingin melihat sosok gagah teman kami!”
“Kalau begitu, bisakah kamu
bersumpah tidak akan mengejekku dengan seringai menyebalkan di wajahmu itu?”
Usai mendengar itu, Chitose langsung
mengalihkan pandangannya, dan saat Amane memelototinya lebih keras, dia tidak
melihat kemana-mana kecuali kembali ke arahnya.
“Kurasa aku takkan melakukan
...... sesuatu... seperti... itu?"
“Jangan berpikir kalau aku akan
percaya ketika kamu bahkan tidak bisa menatap mataku, apalagi menjawab tanpa
keraguan?”
“Habisnya~ Ini adalah
kesempatan langka untuk membuat Amane menggunakan senyum profesionalnya pada
kita. Kamu ingin melihatnya juga, kan, Yuu-chan?”
“Hahaha, baiklah, ya.”
Yuuta mengangguk sambil
tersenyum lembut, mendekat sebelum ada yang menyadarinya, mungkin karena
melihat kelompok kecil Amane yang sedang berkumpul. Bahkan Yuuta mulai
berkumpul entah mengapa, membuat Amane yang meringis tidak tahu apa yang sedang
dipikirkannya.
“Kamu bilang kamu ingin melihat
senyum layanan pelangganku, tapi ...... kalian sudah sering melihatnya beberapa
hari yang lalu,” kata Amane.
“Tapi kamu mendapat keuntungan
karena kamu bersama Mahirun saat itu. Ditambah lagi, kami tidak berada di pihak
yang dilayani saat itu.”
“Kalian ini...”
“Ayolahhhhhh~Tidak ada
salahnya, ‘kan, Yuu-chan?”
“Ya~”
“Kenapa kalian begitu kompak
dalam hal seperti ini?” Amane mengeluh. “Tidak adil jika hanya aku yang disorot
dan ditertawakan, terutama dengan semua orang yang menyembunyikan situasi
pekerjaan mereka ... dan sekarang setelah kupikir-pikir, Kadowaki bahkan tidak
bekerja di mana pun sama sekali karena ia sibuk dengan klub lari, ya.”
Sebagai jagoan tim atletik,
Yuuta disibukkan oleh partisipasinya dalam klub olahraga, jadi tentu saja ia
tidak punya waktu untuk bekerja paruh waktu. Klub atletik di sekolahnya
memiliki pola latihan yang tepat dan masuk akal, alih-alih pola pikir
tradisional, yaitu berlatih terus sampai kamu
ambruk. Namun demikian, untuk bekerja paruh waktu di atas itu, bahkan pada
hari istirahat mereka, akan sangat melelahkan. Jika Amane berada di posisi
Yuuta, mendapatkan pekerjaan paruh waktu akan menjadi hal terakhir yang dipikirkannya.
Sedangkan untuk Chitose,
sepertinya orang tuanya tidak memberikan izin untuk bekerja paruh waktu.
Tampaknya, dia mendapat teguran
dengan kata-kata yang tidak mengenakkan saat dia bertanya, diberitahu bahwa dia
tidak bisa bekerja paruh waktu saat nilainya buruk. Amane takkan mencampuri
urusannya dan memarahinya atau apa pun, tapi ia diam-diam setuju kalau orang
tua Chitose ada benarnya.
“Yuu-chan, kamu terlihat sangat
cocok bekerja di kafe atau semacamnya, bukan?” kata Chitose.
“Aku bisa dengan mudah
membayangkannya,” Amane menimpali. “Kadowaki selalu bersikap sopan.”
“Mengesampingkan apa aku akan
benar-benar bekerja atau tidak, bukannya bagus untuk tersenyum secara teratur
untuk mencerahkan tempat itu?” Yuuta menjawab sambil membalas pertanyaan.
“Yah, kurasa itu ada benarnya.
Ketika aku melihatmu tersenyum, itu membuat suasana... lebih tenang, menurutku...?
Ya.” Amane berkata, meraba-raba kata-katanya.
“Kenapa itu malah berubah
menjadi pertanyaan?” Yuuta bertanya.
“Jangan terlalu dipikirkan,”
jawab Amane.
Amane menyarankan agar topik
itu disudahi. Hal ini sebagian besar karena ia merasa bahwa sejumlah orang dari
berbagai macam jenis, yang berada di sekitar Yuuta, cukup cemburu sehingga ia
merasa seperti dikelilingi oleh binatang buas. Namun demikian, Yuuta sama
sekali tidak bisa disalahkan atas hal ini, dan tidak ada yang bisa dilakukannya,
jadi lebih baik tidak menggali lebih dalam lagi.
Di antara teman-teman
sekelasnya, meski kecemburuan anak laki-laki terhadap Yuuta telah mereda
akhir-akhir ini dan para gadis tidak lagi memperebutkannya seperti sebelumnya,
hal ini hanya terjadi di dalam kelas mereka sendiri. Ada banyak gadis dari
kelas lain yang menaruh perasaan pada Yuuta yang mendekatinya secara romantis,
dan Amane dapat merasakan dengan jelas masalah yang muncul karena menjadi
populer, hanya dengan menonton sebagai pengamat.
Jika Yuuta benar-benar
mendapatkan pekerjaan di kafe, dirinya akan menjadi populer bahkan di luar
sekolah, dan tidak sulit untuk membayangkan para gadis mengerumuninya dari
berbagai penjuru. Itu mungkin alasan besar lain mengapa Yuuta tidak mencoba
mendapatkan pekerjaan paruh waktu.
“Yah, terlepas dari semua itu, aku
harap kamu cepat terbiasa dengan pekerjaanmu sehingga kamu bisa mengundang kami
untuk menemuimu di tempat kerja.”
“.....Jadi kamu sudah bertekad
bulat untuk datang juga ya, Kadowaki?”
“Yah, ya, kurasa begitu. Ini
kesempatan langka untuk melihat sisi lain dari teman kita, saat dia sedang
bekerja, jadi tentu saja aku ingin ikut. Bukannya kamu juga setuju, Itsuki?”
Itsuki mengerang, “Ugh, kamu
diam-diam menekanku juga sekarang.”
Karena Itsuki belum memberitahu
Amane di mana dirinya bekerja sampai sekarang, Amane berasumsi bahwa ia juga
belum memberitahu Yuuta, dan sepertinya memang begitu.
Namun, rupanya Chitose tahu di
mana Itsuki bekerja setidaknya, dan hanya menyaksikan Itsuki menjadi sasaran
tekanan diam dari tatapan teman-temannya dengan ekspresi jengkel di wajahnya,
bergumam, “Yah, Ikkun bahkan tidak ingin aku mendekati pekerjaannya, jadi...”
“Yah duh, kamu juga tidak ingin
terlihat berakting dengan serius, kan?!” Itsuki menanggapi.
“Bung, itu sama saja dengan
mengakui kalau kamu tidak pernah serius, kamu yakin mau mengakuinya?” timpal
Amane.
“Yah, aku memang sedikit
pemalas, sih~”
“... Tentu saja.”
Terlepas dari sikapnya yang
biasanya riang, semua orang di sini tahu bahwa ada yang lebih dari Itsuki
daripada itu. Hal ini berlaku pada Yuuta juga, jadi ia hanya mengangkat bahu,
mengabaikan masalah itu sambil melemparkan senyum masam pada Itsuki. Namun,
senyumnya yang biasa kembali dengan cepat, saat ia mengembalikan tatapannya
pada yang lain.
“Pokoknya,” Yuuta memulai lagi.
“Aku akan menantikan untuk melihatmu bekerja di tempat kerja paruh waktumu,
Fujimiya.”
“Senyummu masih terasa
menakutkan...”
“Hahaha.”
Terlepas dari keberatannya,
Amane merasakan Yuuta yang diam-diam memohon untuk tidak meninggalkannya, dan
Amane sedikit bergidik sambil mencoba membuat mereka semua menghentikan topik
tersebut dengan menyarankan agar mereka semua menunda pembicaraan ini sampai
nanti.