Otonari no Tenshi-sama Jilid 8 Bab 6 Bahasa Indonesia

Bab 6 — Tekanan dari Seorang Teman

 

“Kamu lagi membaca apa?”

“Buku panduan untuk pekerjaan paruh waktuku. Kido mengatakan padaku bahwa lebih baik jika aku membacanya dan mempelajari semuanya terlebih dahulu, jadi dia membawakannya untukku.”

Itsuki mendekati Amane, karena melihat Amane sedang membaca buku yang berisi panduan dan instruksi untuk melakukan pekerjaan paruh waktunya. Ayaka tyang memberikannya kepadanya, berkata, “Akan lebih baik bagimu untuk mempelajari ini terlebih dahulu untuk membantumu bersiap-siap untuk bekerja, iya ‘kan?”

Di dalamnya terdapat kompilasi pengetahuan yang ia perlukan untuk mempelajari pekerjaannya, termasuk dasar-dasar layanan pelanggan, menu, penanganan peralatan, nama dan rasa yang berbeda dari setiap jenis biji kopi, dan sebagainya.

Berkat menguasai sejumlah hal mendasar selama festival sekolah, Amane tidak terlalu sulit untuk menghafal cara menangani pelanggan dan isi menu. Meski demikian, rupanya masih terasa sulit untuk membiasakan diri dengan berbagai jenis kopi, rasa, dan asal biji kopi dengan cukup baik untuk menjelaskannya kepada pelanggan saat ditanya tentang hal itu, jadi Amane membaca buku panduan kapan pun dia punya waktu.

“Memangnya boleh membawa barang-barang semacam itu ke luar toko?” tanya Itsuki.

“Sepertinya aman-aman saja,” jawab Amane. “Karena buku ini hanya berisi penjelasan tentang layanan pelanggan dan cara menggunakan peralatan. Sepertinya Kido sudah mendapat izin karena tidak ada rahasia dagang di dalamnya. Selain itu, akan lebih baik bagiku untuk belajar lebih cepat daripada nanti untuk kafe ini, kan?”

Ayaka mungkin berusaha keras untuk membantu Amane karena dia merasa bertanggung jawab untuk merujuknya pada pekerjaan itu, tetapi ia menduga bahwa itu juga berasal dari kepercayaannya pada kemampuan Amane untuk mengingat semuanya tanpa banyak kesulitan.

Amane tidak bisa bergantung pada Souji untuk segalanya, yang seharusnya rekan sesama pekerja. Sebaliknya, Amane merasa bahwa ia harus menjadi karyawan yang terlatih dengan baik dan melayani kafe sesegera mungkin.

Selain itu, mana mungkin ia mengundang Mahiru untuk datang mengawasinya, dan melihatnya melakukan pekerjaan yang ceroboh, jadi keinginannya untuk memenuhi harapan Mahiru memberinya alasan lain untuk rajin membaca buku panduan berulang kali. Kebetulan, Mahiru yang biasanya menghabiskan waktu istirahatnya dengan Amane, hari ini tidak terlihat, mungkin karena pertimbangan setelah melihat Amane berkonsentrasi.

Saat Amane melanjutkan membaca baris-baris teks dalam buku panduan ke dalam ingatannya, Itsuki tampak kehabisan kata-kata dan menghela nafas.

“Kamu benar-benar berkomitmen dalam hal-hal seperti ini, huh?” puji Itsuki. “Meski kurasa masuk akal rasanya ketika kamu menganggapnya sebagai kekuatan cinta.”

“Berisik.”

Motivasinya memang terlihat jelas, jadi Amane benar-benar tidak bisa menyangkal apa yang Itsuki katakan, tapi mendapati hal itu dikatakan oleh orang lain membuat rasa malunya meluap, dan membuatnya secara naluriah membentak balik. Tapi Itsuki hanya tertawa tanpa terganggu sedikitpun.

“Tapi, tak pernah disangka kalau Amane yang dulunya lemah lembut dan tidak ramah akan berubah sebanyak ini... Cinta benar-benar luar biasa, ya. Benar-benar bisa mengubah orang.”

“Dari tadi kamu selalu mengejekku melulu, apa kamu mencoba membuatku kesal?”

“Tidak, tidak sama sekali. Hanya saja... yah, bagaimana aku menjelaskannya... Aku terpesona melihat betapa mengharukannya semua ini.”

“Mengapa kamu tidak terus terpesona sampai kamu buta? Maka aku tidak akan tahan denganmu yang datang untuk melihat aku bekerja.”

“Itu sangat kejam! Aku juga ingin melihat penampilanmu saat kamu bekerja keras!”

“Kamu benar-benar mengatakan itu, ketika kamu bahkan tidak mau menunjukkan padaku dimana kamu bekerja?”

Meskipun Itsuki mengolok-oloknya, Amane tahu kalau Itsuki juga memiliki pekerjaan paruh waktu. Namun, Amane tidak tahu di mana temannya itu bekerja, atau apa yang dia kerjakan. Itsuki biasanya jujur dan berpikiran terbuka, tapi untuk beberapa alasan, ia tidak terlalu sering membicarakan topik pekerjaannya.

Walau tidak sampai di tingkat merahasiakannya, rasanya Itsuki juga tidak ingin menyinggung masalah itu, jadi Amane tidak berniat untuk menggali terlalu dalam, tapi mungkin mengorek sedikit tidak apa-apa.

Ketika ia mendongak dari buku panduan dan menoleh pada temannya, Itsuki tertawa kecil dan menghindari topik tersebut, berkata, “Apa, aku? Yah...”

“Kamu bilang kamu ingin datang menemuiku bekerja di tempat kerja paruh waktuku, tetapi kamu bahkan belum memberitahuku dimana kamu bekerja paruh waktu, apalagi berpikir untuk mengajakku bersamamu, kan?”

“Nyahaha, yah, aku tidak punya kewajiban untuk memberitahumu, jadi...”

“Maksudku, aku tidak menyangkal hal itu, tetapi dalam hal ini, itu membuatku khawatir kalau kamu mungkin melakukan sesuatu yang mencurigakan.”

“Mana mungkin aku akan melakukannya!” Itsuki berseru.

"Kalau begitu, setidaknya ceritakan padaku. Pekerjaan apa yang kamu lakukan?"

“Apaaaaa? Baiklah, kurasa aku bisa memberitahumu... Aku bekerja di toko bunga. Seorang kenalanku yang memiliki toko itu..."

"...... Bunga? Kamu?”

Itsuki terlihat canggung saat ia berhadapan dengan Amane, yang hanya bisa membelalakkan matanya pada bidang pekerjaan tak terduga yang baru saja Itsuki akui.

“Sudah kuduga bakalan begitu,” Itsuki mengantisipasi respon Amane. “Aku tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu karena aku tahu kamu akan bereaksi seperti itu. Aku tahu orang-orang akan mengatakan bahwa itu tidak sesuai dengan imejku.”

“Aku tidak mengatakan sampai segitunya, tapi ...... Kamu tidak pernah berbicara tentang bunga sebelumnya.”

“Dalam situasi apa aku akan mulai berbicara tentang bunga? Pertama-tama, aku belum menjadi seorang ahli. ... Pada intinya, pekerjaan ini pun hampir disetujui oleh ayahku, karena berurusan dengan bunga berkaitan dengan mempelajari seni kadou*. Dia menolak memberiku izin untuk bekerja paruh waktu di tempat lain.” (TN: Seni merangkai bunga)

Rasa frustrasi Itsuki, serta kepada siapa rasa frustrasi itu ditujukan, terlihat jelas dari caranya mencemooh, dan hanya mengerutkan alisnya yang bisa dilakukan Amane sebagai tanggapan.

Peraturan di sekolah Amane menetapkan bahwa jika seorang siswa ingin mendapatkan pekerjaan paruh waktu, mereka harus terlebih dulu mendapatkan persetujuan dari wali murid dan menyerahkan dokumennya sebelum memulai.

Untungnya, Amane dengan mudah bisa mendapatkan izin dari Shuuto, jadi ia bisa mengurus prosedur dalam waktu singkat, tetapi dalam kasus Itsuki, Daiki memiliki keputusan akhir apa Itsuki akan diizinkan untuk bekerja atau tidak, dan ayah Itsuki sama sekali tidak kooperatif.

Bahkan dari sudut pandang Amane, Ayah Itsuki adalah orang yang sangat ketat, dan merasa bahwa Daiki tidak akan terlalu mendukung gagasan seorang siswa mendapatkan pekerjaan paruh waktu, bersikeras bahwa tugas siswa adalah belajar. Menurut Itsuki, pada awalnya Daiki tidak mengizinkannya untuk bekerja. “Bahkan setelah banyak berkompromi, rasanya masih sulit untuk membuatnya setuju, tau?” Itsuki menggerutu.

Amane berpikir bahwa mungkin lebih baik tidak menanyakan kesulitan seperti apa yang harus dilalui Itsuki untuk membuat ayahnya setuju. Itsuki lalu terus lanjutkan.

“Maksudku, bukannya aku tidak punya masalah dengan bekerja dengan bunga itu sendiri... hanya saja... aku benci diperingati terus mengenai hal-hal yang sepele. Lagian, aku sudah SMA, iya ‘kan? Kenapa dia mengeluh tentang aku yang mendapatkan uang sakuku sendiri? Selain itu, manajer mengenal ayahku, jadi dia selalu mendapat laporan tentang bagaimana keadaanku. Manajer bersimpati padaku, jadi aku yakin dia tidak akan memberikan laporan yang berbahaya."

“Memangnya kamu memiliki sesuatu yang sangat ingin kamu beli sampai-sampai harus melakukan semua itu, hanya untuk bekerja paruh waktu?” tanya Amane.

Sejauh yang Amane ketahui, Itsuki bukanlah orang yang boros, dirinya juga bukan tipe orang yang menghabiskan uang dalam jumlah yang tidak masuk akal untuk bersenang-senang. Ia pergi keluar untuk makan cepat saji dan karaoke dari waktu ke waktu, tapi selain itu, Amane tidak pernah melihatnya secara jelas menumpuk pengeluaran. Pertama-tama, Itsuki tampaknya mendapatkan uang saku yang cukup banyak, bahkan ketika memperhitungkan biaya makan siangnya.

Amane berpikir bahwa jika Itsuki masih harus bekerja meski dengan keadaan seperti itu, ia pasti berencana untuk membeli sesuatu yang cukup mahal, tapi Itsuki hanya menggelengkan kepalanya.

“Tidak, aku sedang menabung agar aku bisa keluar dari rumah orang tuaku jika terpaksa.”

“... Wow... Maaf.”

Amane menyadari bahwa dirinya menyentuh topik yang sensitif, jadi ia langsung meminta maaf, tetapi Itsuki hanya memberinya senyuman pahit sebagai balasannya.

“Aku sengaja tidak membicarakannya karena aku tahu kamu akan meminta maaf seperti itu. Yah, pada akhirnya, ini hanya akunya saja yang keras kepala, dan jika kamu bilang aku terlalu terburu-buru, aku takkan bisa menyangkalnya.”

“....Apa keadaannya masih seburuk itu antara kamu dan Daiki-san?" Amane bertanya dengan suara rendah setelah memeriksa untuk memastikan bahwa Chitose tidak ada di kelas.

Untungnya, karena teman-teman sekelas mereka sedang mengobrol, Itsuki mungkin satu-satunya yang mendengar pertanyaan Amane.

Amane sengaja mengecilkan suaranya karena khawatir Chitose akan mengetahui percakapan mereka melalui teman sekelas mereka, tapi Itsuki hanya memberikan senyum yang tampak riang pada sikap perhatian Amane. Saat ia mengerti bahwa senyum Itsuki bukanlah senyum kebahagiaan, melainkan senyum kesusahan, Amane hampir tidak tahan melihat ekspresinya.

“Keadaannya tidak terlalu banyak berubah.” Itsuki menjawab. “Yah, karena aku menjadi sangat liar di masa pemberontakanku antara masa SMP dan SMA, jadi kami hampir tidak pernah berbicara satu sama lain.”

Mungkin itu tidak terlalu mengejutkan, tapi sepertinya hanya ada sedikit percakapan yang terjadi di antara mereka bahkan setelah mereka tiba di rumah. Amane khawatir kalau-kalau ia melakukan sesuatu yang tidak perlu di festival budaya dan membuat hubungan Itsuki dengan ayahnya menjadi semakin retak, tetapi dari cara Itsuki bersikap, tampaknya tidak demikian.

“Selama kita masih bersekolah, orang tua kita memiliki kendali penuh atas hidup kita, jadi jika mereka benar-benar membatasi kebebasan kita, tidak banyak yang bisa kita lakukan. Pada dasarnya ini adalah kasus lebih baik aman daripada menyesal,” kata Itsuki.

“..... Tetap saja, aku benar-benar tidak berpikir bahwa Daiki-san akan melakukan sesuatu yang tidak manusiawi seperti memaksamu melakukan apa pun yang dia perintahkan dengan menyandera uang sekolah atau biaya hidupmu.”

Memang benar kalau orang-orang di sekitarnya pun memiliki kesan bahwa Daiki, secara kasarnya, adalah seorang pria keras kepala yang tidak berkompromi dengan keyakinannya, tetapi pada saat yang sama, Amane menganggapnya sebagai orang dewasa bijaksana dengan rasa tanggung jawab yang cukup kuat.

Jika beliau adalah tipe orang yang menggunakan alasan seperti itu untuk menutup argumen dari putranya sambil mengambil kendali penuh atas setiap aspek kehidupannya, Amane tidak akan membiarkan fakta bahwa dia adalah orang luar dalam masalah ini menghentikannya untuk secara langsung memprotes cara-cara kerasnya, tapi faktanya adalah bahwa terlepas dari pembatasan yang sesekali dia lakukan terhadap kegiatan Itsuki, tingkatannya tidak pernah sampai pada pemaksaan.

Mereka telah sampai pada titik di mana tidak ada yang mau bergeming dari posisi mereka, meskipun mereka mungkin juga tidak akan memaksakan pendapat satu sama lain. Kemungkinan besar karena memahami hal ini, Itsuki hanya bisa menghela napas panjang karena jengkel.

"Ya, ayahku memang orang yang keras kepala, tapi aku ragu dirinya akan melakukan sesuatu yang benar-benar kejam sebagai manusia. Meskipun begitu, mungkin saja akan terjadi sesuatu yang membuatku tidak punya pilihan selain keluar dari sana secepatnya, dan aku akan membutuhkan uang, bukan? Lagipula, aku tahu betapa keras kepalanya orang tua itu.”

“...... Kamu juga sama-sama orang keras kepala,” kata Amane.

“Ceritakan padaku tentang hal itu, kawan. Tapi memang begitulah aku.”

Sekilas Itsuki mungkin terlihat sembrono, tetapi pada kenyataannya, ia adalah orang yang perhatian, dapat diandalkan, dan tabah. Dia biasanya berbicara dengan santai, tetapi Amane tahu betul bahwa kata-kata itu dibangun di atas penderitaan di masa-masa sulit.

Cara Itsuki menolak untuk tunduk pada kehendak ayahnya, menunjukkan bahwa Itsuki juga keras kepala dengan caranya sendiri. Amane berpikir, kurasa dia mirip dengan ayahnya dalam hal itu, tapi mana mungkin Amane akan mengatakan itu di hadapan Itsuki sekarang.

“Hei, hei, kalian berdua lagi ngobrolin apaan sih sampai-sampai muka kalian suram begitu?” Chitose mendekati mereka, dan memperhatikan ekspresi serius mereka.

“Hm? Ah, aku hanya membicarakan tentang bagaimana Amane mengalami kesulitan dengan pekerjaan paruh waktunya dan semacamnya.”

Karena Itsuki mengubah topik pembicaraan agar Chitose tidak melanjutkan pembicaraan semula, demi menghormatinya, Amane ikut meladeninya. “Ya, aku memasukkan namaku untuk beberapa shift, jadi...”

“Serius? Jika kau membuat Mahirun kesepian karena bekerja sepanjang waktu, aku akan membuatnya jatuh cinta padaku, oke?”

“Itu akan menjadi masalah. Tentu saja aku akan memastikan aku tidak akan mengabaikannya.”

“Bagus. Pastikan kamu melakukannya," kata Chitose, tiba-tiba bersikap sok dan songong.

“Memangnya kamu pikir kamu ini siapa?”

“Aduh.” Chitose bertingkah seolah-olah dia adalah otoritas atas semua hal tentang Mahiru, jadi Amane menyentil dahinya, dan dia menempel pada Itsuki, menangis, “Ikkuuunnn~,” pura-pura tak berdaya. Itsuki menepuk-nepuk kepalanya, sambil berkata, “Cup, cup, cup,” sambil tertawa ringan. Tampaknya mereka telah berhasil menghilangkan rasa canggung yang selama ini menggantung di udara.

Chitose mengusap dahinya dan berpura-pura merajuk, meskipun Amane tidak terlalu melakukannya dengan keras, dan menjulurkan lidahnya untuk menanggapi tatapan dingin Amane.

“Ayolahhhhh. Jangan membuat wajah seperti itu,” desak Chitose.

“Itu salahmu sendiri karena terbawa suasana,” balas Amane.

“Ayolah~, apa masalahnya, kita di sini hanya membicarakan Mahirun dan aku. Yah, terserahlah. Aku menantikan saat kamu mengundang kami untuk bertemu denganmu di tempat kerja!”

“Tiba-tiba aku merasa tidak ingin mengundang kalian.”

“Kenapa tidak?! Kami hanya ingin melihat sosok gagah teman kami!”

“Kalau begitu, bisakah kamu bersumpah tidak akan mengejekku dengan seringai menyebalkan di wajahmu itu?”

Usai mendengar itu, Chitose langsung mengalihkan pandangannya, dan saat Amane memelototinya lebih keras, dia tidak melihat kemana-mana kecuali kembali ke arahnya.

“Kurasa aku takkan melakukan ...... sesuatu... seperti... itu?"

“Jangan berpikir kalau aku akan percaya ketika kamu bahkan tidak bisa menatap mataku, apalagi menjawab tanpa keraguan?”

“Habisnya~ Ini adalah kesempatan langka untuk membuat Amane menggunakan senyum profesionalnya pada kita. Kamu ingin melihatnya juga, kan, Yuu-chan?”

“Hahaha, baiklah, ya.”

Yuuta mengangguk sambil tersenyum lembut, mendekat sebelum ada yang menyadarinya, mungkin karena melihat kelompok kecil Amane yang sedang berkumpul. Bahkan Yuuta mulai berkumpul entah mengapa, membuat Amane yang meringis tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.

“Kamu bilang kamu ingin melihat senyum layanan pelangganku, tapi ...... kalian sudah sering melihatnya beberapa hari yang lalu,” kata Amane.

“Tapi kamu mendapat keuntungan karena kamu bersama Mahirun saat itu. Ditambah lagi, kami tidak berada di pihak yang dilayani saat itu.”

“Kalian ini...”

“Ayolahhhhhh~Tidak ada salahnya, ‘kan, Yuu-chan?”

“Ya~”

“Kenapa kalian begitu kompak dalam hal seperti ini?” Amane mengeluh. “Tidak adil jika hanya aku yang disorot dan ditertawakan, terutama dengan semua orang yang menyembunyikan situasi pekerjaan mereka ... dan sekarang setelah kupikir-pikir, Kadowaki bahkan tidak bekerja di mana pun sama sekali karena ia sibuk dengan klub lari, ya.”

Sebagai jagoan tim atletik, Yuuta disibukkan oleh partisipasinya dalam klub olahraga, jadi tentu saja ia tidak punya waktu untuk bekerja paruh waktu. Klub atletik di sekolahnya memiliki pola latihan yang tepat dan masuk akal, alih-alih pola pikir tradisional, yaitu berlatih terus sampai kamu ambruk. Namun demikian, untuk bekerja paruh waktu di atas itu, bahkan pada hari istirahat mereka, akan sangat melelahkan. Jika Amane berada di posisi Yuuta, mendapatkan pekerjaan paruh waktu akan menjadi hal terakhir yang dipikirkannya.

Sedangkan untuk Chitose, sepertinya orang tuanya tidak memberikan izin untuk bekerja paruh waktu.

Tampaknya, dia mendapat teguran dengan kata-kata yang tidak mengenakkan saat dia bertanya, diberitahu bahwa dia tidak bisa bekerja paruh waktu saat nilainya buruk. Amane takkan mencampuri urusannya dan memarahinya atau apa pun, tapi ia diam-diam setuju kalau orang tua Chitose ada benarnya.

“Yuu-chan, kamu terlihat sangat cocok bekerja di kafe atau semacamnya, bukan?” kata Chitose.

“Aku bisa dengan mudah membayangkannya,” Amane menimpali. “Kadowaki selalu bersikap sopan.”

“Mengesampingkan apa aku akan benar-benar bekerja atau tidak, bukannya bagus untuk tersenyum secara teratur untuk mencerahkan tempat itu?” Yuuta menjawab sambil membalas pertanyaan.

“Yah, kurasa itu ada benarnya. Ketika aku melihatmu tersenyum, itu membuat suasana... lebih tenang, menurutku...? Ya.” Amane berkata, meraba-raba kata-katanya.

“Kenapa itu malah berubah menjadi pertanyaan?” Yuuta bertanya.

“Jangan terlalu dipikirkan,” jawab Amane.

Amane menyarankan agar topik itu disudahi. Hal ini sebagian besar karena ia merasa bahwa sejumlah orang dari berbagai macam jenis, yang berada di sekitar Yuuta, cukup cemburu sehingga ia merasa seperti dikelilingi oleh binatang buas. Namun demikian, Yuuta sama sekali tidak bisa disalahkan atas hal ini, dan tidak ada yang bisa dilakukannya, jadi lebih baik tidak menggali lebih dalam lagi.

Di antara teman-teman sekelasnya, meski kecemburuan anak laki-laki terhadap Yuuta telah mereda akhir-akhir ini dan para gadis tidak lagi memperebutkannya seperti sebelumnya, hal ini hanya terjadi di dalam kelas mereka sendiri. Ada banyak gadis dari kelas lain yang menaruh perasaan pada Yuuta yang mendekatinya secara romantis, dan Amane dapat merasakan dengan jelas masalah yang muncul karena menjadi populer, hanya dengan menonton sebagai pengamat.

Jika Yuuta benar-benar mendapatkan pekerjaan di kafe, dirinya akan menjadi populer bahkan di luar sekolah, dan tidak sulit untuk membayangkan para gadis mengerumuninya dari berbagai penjuru. Itu mungkin alasan besar lain mengapa Yuuta tidak mencoba mendapatkan pekerjaan paruh waktu.

“Yah, terlepas dari semua itu, aku harap kamu cepat terbiasa dengan pekerjaanmu sehingga kamu bisa mengundang kami untuk menemuimu di tempat kerja.”

“.....Jadi kamu sudah bertekad bulat untuk datang juga ya, Kadowaki?”

“Yah, ya, kurasa begitu. Ini kesempatan langka untuk melihat sisi lain dari teman kita, saat dia sedang bekerja, jadi tentu saja aku ingin ikut. Bukannya kamu juga setuju, Itsuki?”

Itsuki mengerang, “Ugh, kamu diam-diam menekanku juga sekarang.”

Karena Itsuki belum memberitahu Amane di mana dirinya bekerja sampai sekarang, Amane berasumsi bahwa ia juga belum memberitahu Yuuta, dan sepertinya memang begitu.

Namun, rupanya Chitose tahu di mana Itsuki bekerja setidaknya, dan hanya menyaksikan Itsuki menjadi sasaran tekanan diam dari tatapan teman-temannya dengan ekspresi jengkel di wajahnya, bergumam, “Yah, Ikkun bahkan tidak ingin aku mendekati pekerjaannya, jadi...”

“Yah duh, kamu juga tidak ingin terlihat berakting dengan serius, kan?!” Itsuki menanggapi.

“Bung, itu sama saja dengan mengakui kalau kamu tidak pernah serius, kamu yakin mau mengakuinya?” timpal Amane.

“Yah, aku memang sedikit pemalas, sih~”

“... Tentu saja.”

Terlepas dari sikapnya yang biasanya riang, semua orang di sini tahu bahwa ada yang lebih dari Itsuki daripada itu. Hal ini berlaku pada Yuuta juga, jadi ia hanya mengangkat bahu, mengabaikan masalah itu sambil melemparkan senyum masam pada Itsuki. Namun, senyumnya yang biasa kembali dengan cepat, saat ia mengembalikan tatapannya pada yang lain.

“Pokoknya,” Yuuta memulai lagi. “Aku akan menantikan untuk melihatmu bekerja di tempat kerja paruh waktumu, Fujimiya.”

“Senyummu masih terasa menakutkan...”

“Hahaha.”

Terlepas dari keberatannya, Amane merasakan Yuuta yang diam-diam memohon untuk tidak meninggalkannya, dan Amane sedikit bergidik sambil mencoba membuat mereka semua menghentikan topik tersebut dengan menyarankan agar mereka semua menunda pembicaraan ini sampai nanti.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama