Otonari no Tenshi-sama Jilid 8 Bab 7 Bahasa Indonesia

 Bab 7 — Pekerjaan Paruh Waktu Pertamanya

 

 

Seminggu telah berlalu sejak pekerjaan paruh waktu Amane ditetapkan, dan ia menerima pesan dari Fumika si pemilik toko, yang memberitahukan bahwa seragamnya telah disiapkan dan jadwal kerjanya juga sudah diputuskan.

Setelah berdiskusi, mereka memutuskan bahwa Amane akan bekerja tiga hari di hari kerja dan satu hari di akhir pekan, dengan total empat hari per minggu. Sebagai pelajar kelas 2 SMA, Amane harus memikirkan ujian masuk yang akan datang, jadi ia memastikan bahwa jam kerjanya tidak akan mengganggu studinya. Kemungkinan besar, dirinya akan memiliki jadwal yang sama dengan siswa yang berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler dan sejenisnya.

Dengan ujian masuk yang akan diadakan tahun depan, Amane tidak berniat untuk mengambil jalan pintas dengan studinya, dan jadwal kerjanya saat ini tampaknya tidak menimbulkan masalah.

(Cukup sulit untuk menyeimbangkan semuanya tanpa membuat kompromi apa pun)

Di samping menjalankan kewajibannya sebagai pelajar, Amane harus belajar keras dan melakukan persiapan untuk ujian yang akan datang, dan dirinya sekarang memiliki pekerjaan paruh waktu. Amane dulunya tidak punya kegiatan yang lebih baik untuk mengisi waktunya sebelum bertemu Mahiru, jadi dari sudut pandang Amane, jadwal barunya terlihat sangat padat.

Meski demikian, ia tidak terlalu mencemaskan itu, karena ia memiliki tujuan yang jelas dalam pikirannya dan lebih dari siap untuk berusaha keras mencapainya. Dirinya memang merasa sibuk, tapi hal itu masih sepadan dengan rasa kepuasan yang lebih besar.

Sambil menyemangati dirinya sendiri, ia bergumam dalam hati, “Aku akan berusaha keras,” sambil menuliskan rencana masa depannya dalam jadwalnya.

 

   

 

“Baiklah kalau begitu, aku mulai bekerja hari ini, jadi kamu bisa pulang lebih dulu.”

Hari ini adalah hari pertama Amane mulai bekerja, dan ia memberitahukan hal tersebut pada Mahiru setelah pulang sekolah. Dia tampak kesepian saat dia tersenyum pada Amane.

Meskipun hati Amane sedikit sakit saat melihatnya, tidak ada yang bisa dia lakukan. Dirinya sudah mantap mengambil pekerjaan itu untuk mengamankan senyum Mahiru, jadi ia takkan merasa bimbang lagi sekarang.

Meskipun Mahiru tidak tahu alasan di balik pekerjaan paruh waktunya, dia mengerti bahwa Amane telah membuat keputusan yang tegas dan mengambil inisiatif, jadi dia menghormati keinginannya. Mahiru tidak ingin melakukan apa pun yang akan membuatnya ragu-ragu dalam mengambil keputusan.

Walau begitu, sifatnya yang penuh pengertian hanya membuat Amane merasa semakin cemas.

(Tidak diragukan lagi, dia pasti akan merasa kesepian...)

Mahiru bukan hanya tipe orang yang selalu mengutamakan orang lain, tapi begitu dia berkomitmen, dia sangat perhatian, memaksakan dirinya sendiri dengan keras, dan dengan cepat mengalah pada keinginan orang lain daripada keinginannya sendiri, karena kepeduliannya pada orang lain dan keadaannya.

Meski beberapa orang akan menganggap kerendahan hatinya sebagai suatu sifat kebajikan, namun hal itu dapat dengan mudah membuatnya stres tanpa dia sadari, sehingga Amane memutuskan untuk lebih memperhatikannya sekarang setelah ia memulai pekerjaan paruh waktunya.

“Oh, kamu mulai bekerja hari ini, Amane? Wow! Semoga berhasil!”

Sambil melihat wajah Mahiru yang sedikit menunduk dengan sedikit rasa bersalah di dalam hatinya, Chitose memberikan kata-kata penyemangat. Sepertinya dia akan meninggalkan sekolah bersama Mahiru.

Mungkin Chitose menyadari bahwa Mahiru merasa sedikit kesepian, karena dia sudah memberikan perhatian lebih pada Mahiru sejak Amane memutuskan untuk mencari pekerjaan. Ia menghargai Chitose yang meluangkan waktu untuk memperhatikan Mahiru, tapi pandangannya yang sesekali sembunyi-sembunyi membuatnya sedikit takut.

“Sebaiknya kamu jangan membuntutiku,” Amane memperingatkan.

“Aku ... tidak akan pernah melakukan hal seperti itu, oke?” Chitose meyakinkan, meskipun dengan sedikit menunda.

“Aku tidak bisa menaruh kepercayaan padamu sekarang, terutama dengan jeda tadi.”

Chitose bertingkah sedikit mencurigakan karena nadanya yang hampir seperti robot, tapi Amane berpikir bahwa jika dia memperingatkannya terlebih dahulu, Chitose takkan berusaha keras untuk mengikutinya.

Chitose bukanlah tipe orang yang suka melakukan hal-hal yang tidak disukai orang lain, tapi rasa penasarannya yang besar terkadang mendorongnya untuk mencoba menyelidiki secara diam-diam. Mengetahui hal itu, Amane tidak bisa menerima begitu saja perkataannya. Amane tahu bahwa tindakannya sering kali menguntungkan orang lain, tapi dirinya lebih suka kalau Chitose tetap diam karena yang dia lakukan hanyalah bekerja paruh waktu.

“….. Kamu bisa datang berkunjung setelah aku terbiasa dengan pekerjaan ini, tapi tolong tunggu sampai saat itu,” pinta Amane. “Aku tidak ingin kalian melihat kemampuan layanan pelangganku saat masih terlihat kikuk.”

“Meski kamu bilang begitu, tapi kamu terlihat sangat menghayati peran itu saat di festival budaya kemarin,” kata Chitose.

“Tugas yang kulakukan cukup mendasar, bukan? Ditambah lagi, berkat saran Kido lah semuanya bisa berjalan lancar.”

“... Sepertinya aku akan segera mengunjungi tempat kerja paruh waktumu, Amane-kun,” Mahiru menimpali setelah beberapa saat terdiam. “Kamu memang cepat belajar. Aku akan menantikannya.”

Setelah membelai pipi Mahiru, Amane kemudian mengusap lembut rambutnya yang lembut dan halus, sambil mencoba untuk melihat Mahiru dengan tatapan lemah lembut. Mata berwarna karamel Mahiru melebar karena terkejut, dan ekspresi Amane melembut saat ia menatapnya dengan saksama.

“Pokoknya, aku akan melakukan apa yang aku bisa untuk membiasakan diri, dan aku akan berusaha untuk pulang dengan cepat,” kata Amane, mencoba meyakinkannya.

“......Aku bersedia menunggu berapa lama pun, tapi tolong kembalilah secepatnya.”

“Mengerti,” jawab Amane dengan nada lirih. “Aku akan menantikan makan malam nanti, jadi aku akan melakukan yang terbaik.”

Sekedar pemberitahuan, teman-teman sekelas mereka sudah tahu bahwa Amane dan Mahiru tinggal bersebelahan, tapi tetap saja rasanya masih memalukan jika teman-teman sekelas mereka tahu kalau mereka sering makan malam bersama setiap malam seolah-olah itu adalah hal yang paling alami di dunia, jadi mereka berbicara dengan nada pelan. Namun, Chitose menyeringai lebar saat dia berdiri di dekat mereka, dan bahkan Itsuki bersiul pada mereka sambil bercanda.

Sementara itu, Amane memilih untuk memberi Itsuki tamparan ringan dengan punggung tangannya.

“Ow!”

Itsuki berpura-pura terhuyung-huyung, jatuh secara melodramatis ke arah Chitose sambil bersandar padanya. Tapi Chitose, yang tampaknya fokus pada ekspresi wajah malu-malu Mahiru, dengan teatrikal mendorong Itsuki dan berkata, “Ikkun, kamu terlalu berat,” yang hanya mengundang cibiran dari Itsuki yang nakal.

Amane tertawa melihat tingkah mereka berdua, dan tak lama kemudian Mahiru pun ikut tertawa. Sekarang dengan sedikit malu, Itsuki kemudian mulai mencolek Amane dari samping untuk membalasnya.

 

   

 

Meskipun enggan untuk menghentikan percakapan mereka yang hidup, Amane akhirnya meninggalkan sekolah untuk pergi ke tempat kerja paruh waktunya.

Karena ini hari pertamanya, jadi jadwalanya diatur untuk bekerja dengan Souji, teman sekolahnya sekaligus pekerja paruh waktu senior. Mungkin Ayaka juga memiliki andil dalam hal ini, karena ketika mereka berpapasan di lorong, dia tersenyum dan berkata, “Jadi, tolong jaga Sou-chan mulai sekarang!”

Yang ada justru Amane lah yang perlu dijaga, tapi ia mengangguk dengan sukarela setelah melihat senyum Ayaka yang tampak polos.

Dirinya dan Souji telah memutuskan untuk bertemu di pintu masuk sekolah sebelum pergi ke kafe bersama, tetapi bahkan setelah melihat Amane berjalan ke arahnya, Souji mempertahankan ekspresi yang terlihat tenang, membuatnya sulit untuk menebak apa yang ia pikirkan.

“Aku akan mengandalkanmu mulai hari ini,” kata Souji.

“Aku juga. Aku mungkin akan merepotkanmu sampai aku mendapatkan lebih banyak pengalaman...”

“Aku yakin kalau kamilah yang sering merepotkanmu. Ayaka cukup bersemangat ketika merekomendasikanmu.”

“T-Tidak, semua itu berkat dirinya aku bisa mendapatkan pekerjaan ini,” Amane berusaha menjelaskan rasa terima kasihnya. “Entah aku merasa berhutang budi padanya atau tidak, aku tidak akan marah padanya karena hal seperti ini.”

Undangan Ayaka datang pada saat yang tepat. Amane berhasil mendapatkan pekerjaan di tempat dengan gaji yang layak dan rekan kerja yang dikenal yang bahkan bisa memahami keadaannya sebagai pelajar. Amane merasa sangat bersyukur atas apa yang telah dilakukannya.

Ayaka mengajukan permintaan yang cukup khas ketika Amane menyebutkan bahwa ia ingin melakukan sesuatu sebagai balasannya, dengan mengatakan, “Biar kubantu kamu membentuk otot sesuai keinginan Shiina-san.” Walaupun wajahnya sedikit berkedut saat mendengar tanggapannya, namun Amane memutuskan untuk menerima tawaran itu.

Amane hanya bisa tercengang tidak yakin apakah fakta bahwa ia memiliki Yuuta dan Ayaka sebagai pelatih latihannya adalah sesuatu yang bisa ia tertawakan. Untuk saat ini, ia merasa puas dengan pengaturan itu selama itu membuat Mahiru bahagia.

Souji mengusap-usap rambutnya yang keriting dan bergumam, “Kuharap begitu,” sambil menghela nafas. Amane tidak yakin apakah Souji menyadari percakapannya dengan Ayaka atau tidak.

Bagaimanapun juga, ia tampaknya mengalami kesulitan untuk menghadapi luapan emosi Ayaka. Kecintaannya pada otot terdengar keras dan jelas, bahkan bagi seseorang seperti Amane, yang belum terlalu lama mengenalnya. Souji, sebagai teman masa kecil dan pacarnya, pasti mengalami hal yang jauh lebih buruk.

(Secara keseluruhan, aku yakin dia adalah gadis yang baik di lubuk hatinya...)

Amane memahaminya sebagai seorang gadis yang ramah dan bersahaja yang kebetulan juga cukup terampil dan baik hati untuk menghitung untung dan rugi dengan benar, jadi ia tidak berburuk sangka padanya, tetapi perjuangan pacarnya, Souji, terlihat jelas. Souji tampaknya menyadari sorot mata Amane, saat ia menghela napas lebih dalam.

Sambil terus bercakap-cakap, Amane dan Souji tiba di stasiun. Meskipun ia harus naik kereta untuk pergi ke tempat kerjanya, namun jaraknya hanya sekitar dua pemberhentian dari stasiun terdekat. Karena rumah Itsuki dan Chitose lebih jauh lagi, ia mungkin bisa pulang ke rumah dari shiftnya sebelum Mahiru bosan menunggu. Kafe tersebut juga tidak jauh dari stasiun, jadi perjalanan pulang pergi seharusnya tidak menjadi masalah.

“Apa rumahmu bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari sekolah, Fujimiya?” Souji bertanya, melihat Amane mengisi uang ke kartu IC-nya karena dia tidak memiliki tiket komuter.

“Ya. Apartemenku tidak terlalu jauh dari sekolah kita, lho.”

“Oh, bagus tuh. Sepertinya kamu bisa tidur dengan rumahmu yang dekat dengan sekolah.”

“Yah, aku pikir aku punya lebih banyak kelonggaran dalam hal pergi ke sekolah, tapi kadang-kadang Mahiru datang dan membangunkanku...”

Di masa lalu, dia akan bangun dengan cukup waktu luang jika hari itu bukan hari libur, tapi sejak Mahiru mulai datang untuk membuatkannya sarapan, ia punya lebih banyak waktu luang di pagi hari. Meskipun Amane bisa bangun tanpa bantuannya, ia diam-diam menikmati saat-saat bahagia saat bangun dengan suara Mahiru, jadi Amane sesekali memintanya untuk membangunkannya. Karena dia sering datang ke rumahnya untuk membuatkan sarapan saat dia sedang tidur, tampaknya hal itu tidak menambah beban kerjanya.

“Tak disangka,” gumam Souji. “Kupikir kamu tipe orang yang sangat bertanggung jawab, Fujimiya.”

“Jika itu yang kamu pikirkan, maka aku pasti terlihat cukup rapi akhir-akhir ini. Aku sebenarnya sangat berantakan, jujur saja.”

Meskipun kehidupan pribadinya sudah tidak terlalu kacau dibandingkan dengan masa lalu, Amane masih sangat bergantung pada Mahiru, jadi ketika diberi label sebagai orang yang bertanggung jawab, ia hanya bisa memiringkan kepalanya. Tentu saja, Amane tidak menyerahkan segalanya pada Mahiru, dan melakukan apa yang ia bisa lakukan, tetapi bebannya masih signifikan.

Meskipun dia benar-benar berhati-hati dan penuh perhatian sekarang, Amane masih menganggap dirinya agak memanjakan diri sendiri. Ia bertemu dengan Souji saat festival budaya, jadi Amane pasti menjaga penampilannya agar terlihat sebagai tipe orang yang bertanggung jawab oleh Souji.

“Standar kami untuk menjadi 'berantakan' adalah dua hal yang berbeda di sini,” kata Souji. “Jika kita berbicara tentang menjadi berantakan, maka lihat saja Ayaka...”

“Kido? Berantakan?”

“Ayaka terlihat bisa diandalkan dan terorganisir, kan? Tetapi di rumah, dia benar-benar lalai dan bermalas-malasan. Meski aku tidak berhak mengatakanya begitu sih.”

“Jujur saja, aku tidak bisa membayangkannya.”

“Yah, Ayaka selalu bersikap baik saat keluar rumah, dan dia bahkan akan berusaha menjagaku. Tapi begitu dia lengah, dia akan lebih santai daripada aku. Dia terlihat mandiri di luar, tapi beda lagi ceritanya kalau dia sudah ada di dalam rumah

“... Sepertinya dia hanya ingin dimanjakan olehmu, Kayano,” simpul Amane. “Bukankah justru karena kamu adalah pacarnya, jadi dia bersikap seperti itu?”

Amane pernah melihat Ayaka melakukan kesalahan ceroboh sesekali, tetapi masih menganggapnya sebagai wanita yang bisa diandalkan dengan kepribadian yang kuat dan bakat untuk menjadi perhatian. Fakta bahwa dia tidak menunjukkan sisi santai di luar dan hanya menunjukkannya pada pacarnya, Souji, pasti berarti memiliki makna tertentu.

Souji berkedip. Setelah berpikir sejenak, ia menatap tanah dengan ekspresi malu-malu.

“... Tunggu sebentar, apa itu bisa dianggap sebagai diam-diam pamer?” Souji menyadari. “Maaf.”

“J-Jangan meminta maaf, aku tidak terganggu dengan itu..." Amane ragu-ragu.

Ia mengalihkan pandangannya, karena melihat ekspresi malu Souji membuatnya merasa canggung juga. Amane berpikir bahwa mungkin ia secara tidak sadar telah membual tentang dirinya sendiri dengan cara yang sama, jadi saat ekspresinya menegang karena rasa malunya sendiri, ia mencoba untuk menjaga bibirnya agar tidak bergetar.

 

   

 

Amane tanpa sadar berjalan dengan Souji saat mereka bersenda gurau, dan dalam sekejap mata, mereka tiba di tempat kerja mereka: kafe. Tempat tersebut akan menjadi tempat pertama kalinya Amane bekerja dengan benar, dan ia sempat merasa gugup, tetapi Souji, entah sengaja atau tidak, memasuki kafe dengan Amane di belakangnya tanpa ragu-ragu.

Dengan suara lonceng yang cukup bernostalgia berdentang di belakangnya, Amane menginjakkan kakinya di dalam kafe untuk pertama kalinya sebagai karyawan. Mereka disambut oleh seorang karyawan pria yang tampaknya anak kuliahan. Amane tidak ingat pernah melihatnya pada kunjungan sebelumnya.

Sekilas, ia adalah seorang pemuda yang lebih tua dan terlihat bergaya dengan mengenakan seragam pelayan yang akan segera dikenakan oleh Amane.

“Selamat datang, Kayano-kun. Apa pemuda ini karyawan baru yang kita bicarakan?”

“Ya. Kami berada di shift yang sama, jadi ini bekerja dengan sempurna.”

Souji mengangguk pada karyawan pria yang lain, yang sepertinya sudah menyadari situasi dan menyapa mereka berdua dengan senyuman ramah. Kemudian, ia mengantar Amane ke depan dan menuju lorong yang mengarah langsung ke bagian belakang kafe. Souji menoleh ke belakang untuk melihat ke belakang, dan Amane mengikutinya. Dia melihat sekilas seorang pelanggan pria yang lebih tua memasuki kafe.

“Ada pelanggan, jadi ayo kita ganti baju dulu,” kata Souji. “Maaf, Miyamoto-san, kami akan menyapamu dengan baik nanti.”

“Dimengerti,” jawabnya. “Sampai jumpa lagi, anak baru.”

Miyamoto, begitulah pria itu dipanggil, dengan ceria mengedipkan mata pada Amane, yang membawa dirinya dengan sedikit canggung karena kegugupannya, lalu mengalihkan perhatiannya pada pelanggan yang baru saja masuk. Melihat Miyamoto melambaikan tangannya di belakang punggungnya saat mereka kehilangan kesempatan untuk berkenalan, Amane dan Souji menuju ruang ganti karyawan di belakang.

“Loker ini milikmu, Fujimiya. Dan ini kuncinya. Seragammu ada di dalam loker, jadi silakan ganti baju.”

Sang pemiliki kafe, Fumika, rupanya telah mempercayakan Souji untuk menjaga Amane, jadi Souji memberikan kunci loker pada Amane dan mulai berganti pakaian, melepas blazernya. Amane melakukan hal yang sama, mengenakan seragam kerjanya. Seragam yang sudah disiapkan dan sudah disesuaikan dengan ukurannya terlebih dahulu, sangat pas dengan tubuh Amane.

Baju yang Amane kenakan sekarang merupakan model pakaian yang relatif sederhana yang hanya terdiri dari kemeja putih, rompi hitam, celemek pelayan yang serasi dan celana panjang, mirip dengan apa yang dikenakan oleh karyawan pria bernama Miyamoto ketika mereka bertemu sebelumnya. Lehernya dihiasi dengan dasi hitam, dan meskipun pakaiannya lebih kasual daripada seragam pelayan yang ia kenakan saat festival budaya, namun tetap saja itu adalah pakaian yang halus dan pas untuk seorang pelayan.

Karena ia bekerja sebagai pelayan pelanggan dan tidak boleh memancarkan suasana yang suram, Amane menata rambutnya dengan cara yang segar untuk mencerahkan ruangan, tetapi ia merasa cemas, apa pakaian itu cocok dengan pakaiannya. Memeriksa cermin ukuran penuh di ruang ganti, ia bingung dengan pemandangan yang tidak dikenalnya. Souji, di sisi lain, sudah mengenakan seragamnya dan berdiri dengan postur yang berwibawa.

Mungkin Souji sudah terbiasa mengenakan seragam itu karena ia terlihat percaya diri, tidak seperti Amane, yang merasa seolah-olah seragam itu kurang pas. Souji, yang biasanya tidak terlihat terlalu energik tetapi agak mengantuk, sekarang memiliki ekspresi wajah yang sedikit lebih fokus, mungkin karena dia dalam mode kerja.

“... Apa aku tidak terlihat aneh dengan pakaian ini?” Amane mau tak mau merasa malu.

“Kelihatannya oke-oke saja di mataku. Aku yakin Shiina-san akan senang melihatmu mengenakannya.”

Mungkin Souji sudah paham kalau Mahiru jatuh cinta pada Amane, dan meskipun kata-katanya tidak dimaksudkan untuk meledeknya, kata-kata itu dilontarkan dengan penuh canda.

“A-Aku tidak berencana untuk menunjukkan ini pada Mahiru, setidaknya tidak dalam waktu dekat...”

“Aku punya firasat bahwa Shiina-san akan kecewa.”

“Ya, dia sudah kecewa. Tapi aku berhasil meyakinkannya untuk menerima penantian ini.”

Amane berencana untuk membiasakan diri dengan pekerjaan itu sesegera mungkin, untuk membatasi kemungkinan kekacauan dan kesalahan, dan menyuruhnya menunggu sampai saat itu. Ia kemudian tersenyum kecil, dan begitu juga dengan Souji.

"Giliranmu— apa Kido senang melihatmu mengenakan seragam?” Amane bertanya balik.

“Ayaka lebih suka membuka baju daripada berdandan.”

“Oh...”

Langsung memahami, raut wajah Amane menunjukkan bahwa ia cukup yakin kalau ia mengerti sepenuhnya, dan Souji hanya bisa menghela nafas dan tersenyum pahit sebagai tanggapan.

“... Bukannya Ayaka tidak tertarik melihatku berdandan. Hanya saja fetishnya menghalangi,” Souji menjelaskan.

“Yah, aku tidak bisa menyangkal bahwa kamu punya otot yang mengesankan. Ada rahasia untuk itu?”

Setelah berganti pakaian bersama, Souji secara alami memperlihatkan kulitnya, dan otot-ototnya lebih menonjol daripada yang bisa dibayangkan hanya dengan melihatnya berpakaian.

Namun demikian, otot-ototnya tidak terlalu besar, tetapi justru memberi kesan tegas dan kencang, seakan-akan dia diukir seperti patung kuno yang terbuat dari marmer. Amane jadi merasa terkesan ketika melihatnya.

(Tidak heran kalau Kido jatuh cinta padanya...)

Meskipun Yuuta, yang memiliki tubuh atletis proporsional, dan Kazuya, yang tampak lebih terlatih, sebanding, fisik Souji tampaknya memiliki jenis keindahan fisik yang berbeda.

“Ayaka akan dengan senang hati memberimu ikhtisar yang lebih baik daripada yang bisa aku berikan. Dia juga akan memberitahumu lebih banyak daripada yang kamu minta.”

“Oh... Ya, itu masuk akal...” Amane dengan sepenuh hati setuju.

Bahkan, Amane bisa dengan mudah membayangkan Ayaka dengan antusias membicarakannya sambil mengayunkan kuncir kudanya dan tersenyum dengan mata cerah dan ekspresi kegirangan, yang membuatnya tanpa sadar mengeluarkan senyum yang sedikit tegang.

Ayaka tidak pernah bisa mengerem begitu dia mulai membicarakan sesuatu yang disukainya, dan dia sering kali ingin mengajari Amane tentang daya tarik otot. Namun, bahkan Amane pun memiliki batasan dalam mempelajari sesuatu yang bukan hobinya, dan ia akan menghargai jika Ayaka bisa menjaga agar tidak berlebihan.

“... Apa kamu ingin berolahraga juga, Fujimiya?”

"Ya, aku mau. Lebih baik bagiku untuk terlihat bugar, dan aku berani bertaruh kalau itu akan membuat Mahiru senang juga... Meskipun itu karena putri kecilmu suka mengajarinya banyak hal.”

“Aku minta maaf soal itu. Sungguh.”

"T-Tidak usah, aku sama sekali tidak keberatan karena itu bisa memberiku alasan lain untuk memperbaiki diri.”

Souji tampak berkontradiksi saat ia meminta maaf atas nama pacarnya karena dengan antusias memberitakan kehebatan otot, jadi Amane mengangkat bahunya dan melambaikan topik itu dengan tangannya untuk meyakinkan temannya.

 

   

 

“Ah, aku minta maaf karena tidak bisa menyambutmu saat kamu datang...,” Fumika meminta maaf dengan cemberut.

Amane dipandu oleh Souji ke dapur yang digunakan untuk menyiapkan makanan ringan untuk para pelanggan, dan diajari di mana semua peralatan berada serta bagaimana cara menggunakannya. Kemudian Fumika, yang datang kemudian, meminta maaf kepadanya dengan raut wajah yang sedikit tertekan.

“Aku memang ingat kalau kamu akan datang hari ini... meskipun mengetahui bahwa Souji-kun bersamamu membuatku merasa nyaman. Tapi selamat datang sekali lagi, Fujimiya-kun. Seragammu sangat cocok untukmu, dan itu menyenangkan. Kelihatannya saran Ayaka-san sangat tepat”

“Intuisi Ayaka selalu tepat, tapi itulah yang membuatnya sangat aneh,” gumam Souji pelan, dan Amane hampir tertawa, tapi ia menahannya, dan hanya menundukkan kepalanya pada Fumika.

“Aku akan berada dalam pengawasanmu ke depannya, dan aku sangat senang bisa bekerja sama denganmu,” kata Amane dengan sopan.

“Sama-sama, jadi senang bisa bekerja denganmu,” balas Fumika. “Um... kalau boleh tahu, apa kamu sudah sempat bertemu dengan anggota staf kami yang lain?”

“Sejauh ini hanya Miyamoto-san,” Souji dulu yang menimpali. “Dan dia belum bertemu dengan Oohashi-san. Aku yakin dia sedang membuat kopi di belakang meja tadi, jadi dia belum berkenalan dengannya.”

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita mulai dengan perkenalan? Sepertinya tidak ada pesanan yang tertunda, jadi sekarang adalah waktu yang tepat. Lagipula, kalian semua akan bekerja bersama satu sama lain ke depannya,” saran Fumika sambil tersenyum lembut.

Dia kemudian memberi isyarat pada Souji, menginstruksikan, “Bertukar tempat dengan Miyamoto-san dan staf lainnya di depan untuk sementara waktu,” dan memanggil karyawan lainnya, terdengar tenang saat dia berdiri di dekat pintu.

Souji meyakinkan Amane dengan menepuk punggungnya, lalu pergi ke depan untuk melayani pelanggan.

Menggantikan Souji di dapur adalah dua orang: pria bernama Miyamoto yang telah berbincang dengan Souji sebelumnya, dan seorang wanita yang tampaknya berusia awal dua puluhan yang memiliki gaya rambut tergerai dan bergelombang dengan panjang sedang dan tinggi badan mengesankan yang jarang terlihat pada wanita. Wanita tersebut tampak seperti anak kuliahan dan memancarkan aura kedewasaan, berdiri setidaknya satu kepalan tangan lebih tinggi daripada Chitose. Tingginya kemungkinan lebih dari 170 cm.

Mempertimbangkan apa yang dikatakan Souji, wanita ini mungkin adalah 'Oohashi'.

“Oh! Kamu pasti orang yang dibawa Kayano-chan tadi! Ia bilang kita akan segera mendapatkan lebih banyak pekerja paruh waktu. Senang berkenalan denganmu!”

Wanita itu tersenyum santai dan mendekati Amane, mengamatinya dengan penuh ketertarikan saat dia mengelilinginya.

Karena wanita itu berbadan jangkung, wajahnya pasti dekat dengan wajah Amane saa mendekatinya. Amane tidak bisa mendorongnya menjauh tanpa bersikap kasar, karena dia seniornya dan seorang wanita, jadi yang bisa Amane lakukan hanyalah mengertakkan gigi karena bingung.

Melihat Amane yang tampak bermasalah, Miyamoto menghela napas dengan jengkel dan mencengkeram tengkuk wanita itu, menariknya menjauh. Amane membeku melihat kejadian yang tiba-tiba itu, dan sambil tetap memegang tengkuk wanita itu, Miyamoto memberinya senyuman yang menyegarkan.

“Maaf untuk itu— aku yakin itu mengejutkan. Namaku Miyamoto Daichi, dan orang ini Oohashi Rino. Jika kamu mengalami masalah, jangan ragu untuk bertanya pada kami.”

“Jangan memperkenalkanku seperti itu! Percaya atau tidak, saat ini aku sedang mengalami beberapa masalah! Dijambak seperti ini, maksudku!” Rino memprotes. “Masalah besar!”

“Kalau begitu, sebaiknya kamu menyapanya dengan baik terlebih dahulu. Percakapan akan dimulai dari sana.”

Setelah memarahi Oohashi, yang terlihat frustrasi, Miyamoto kemudian dengan enggan melepaskan pakaiannya. Dia kemudian membetulkan kerah bajunya yang acak-acakan dan menoleh ke arah Amane sambil tersenyum ramah.

“Maafkan aku karena telah mengagetkanmu, aku Oohashi Rino, seniormu. Itu membuatmu menjadi juniorku, jadi jangan ragu untuk mengandalkanku kapan saja, Kouhai-kun.”

“Kamu lebih baik jangan mengandalkannya. Dia sering membuat segalanya berantakan.”

“Ayolah, itu sangat tidak etis, Daichi. Tidak perlu kasar seperti itu,” Rino membalas.

“Katakan padaku, sudah berapa kali aku harus membereskan masalahmu...? Sudah berapa kali kamu membuat masalah bagi pelanggan kita?”

“Sudah kubilang kalau aku sedang memperbaiki semua itu! Dan aku minta maaf! Itu tidak sengaja!”

"Ya, itu tidak disengaja, dan saya akui bahwa itu tidak terduga, tetapi kamu mengakui kalau kamu menyebabkan terlalu banyak masalah secara umum, bukan?”

Miyamoto berbicara dengan tegas dan lembut seolah-olah berbicara pada seorang anak kecil, tidak mengijinkan adanya bantahan, dan meskipun kata-katanya cukup lembut, matanya tidak tersenyum. Amane menyimpulkan bahwa Oohashi telah mengacaukannya dengan cukup parah, karena ia kesulitan mengangkat kepalanya. Akhirnya, “Aku sudah paham!” Dia mengalah dengan berteriak.

(Apa yang harus aku lakukan...)

Menyaksikan keduanya saling berdebat, nyaris seperti pertengkaran sepasang kekasih, Amane merasa tidak tau harus bereaksi seperti apa. Namun demikian, Miyamoto tampaknya tersadar dan dengan canggung mengusap pipinya, sambil berkata, “Maaf, kami terbawa suasana dan mengabaikanmu.”

“Pokoknya, kembali ke topik tadi. Kita semua adalah rekan kerja mulai hari ini, jadi mari kita akur, oke?”

“Ya. Ehm, Miyamoto-san dan Oohashi-san, ‘kan? Aku minta maaf karena belum memperkenalkan diri. Namaku Fujimiya Amane.”

“Oh, begitu, begitu. Jadi Fujimiya-chan, ya? Aku mengerti, dengan keras dan jelas.”

“... Dia cenderung menggunakan '-chan' cukup banyak, jadi bersabarlah, Fujimiya-kun.”

“Ba-Baiklah, kamu bisa memanggilku apapun yang kamu suka...”

Amane tidak berniat untuk meributkan nama panggilan itu, tapi mau tak mau ia merasa itu sedikit aneh mengingat usia dan penampilannya. Miyamoto menghela nafas saat melihat Oohashi dan mengalihkan pandangannya pada Fumika, yang telah memperhatikan situasi dengan tenang.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan untuk Fujimiya-kun hari ini?” tanyanya.

“Pertama-tama, aku ingin ia mengenal cara kerja kafe ini. Penting baginya untuk belajar bagaimana cara bersantai dan memahami seluk beluk pekerjaan sebelum memulai pekerjaan pelayanan,” jelas Fumika. “Sepertinya ia sudah membaca buku panduan, dan dengan Souji-kun yang telah mengajarinya juga, aku ingin ia memprioritaskan untuk menyelaraskan pengetahuannya dengan lingkungan kerja yang sebenarnya saat ini. Untungnya, ini adalah hari kerja, jadi kami belum memiliki banyak pelanggan.”

“Aku minta maaf atas semua masalah ini,” Amane menawarkan permintaan maaf.

“Tidak perlu minta maaf. Jarang sekali ada orang yang bisa langsung menjadi lancar dalam bekerja, terutama saat mereka baru memulai. Kami memiliki cukup staf hari ini, jadi tidak perlu terlalu terburu-buru,” ujar Fumika mencoba menghiburnya.

“Jika kamu bertanya kepadaku apa kita memiliki cukup staf, Pemilik, aku akan mengatakan bahwa hal itu bisa diperdebatkan. Rasanya kita hampir tidak bisa mengelola dengan shift kerja yang ada saat ini... Kafe ini bukan yang terbesar, jadi kita hanya bisa mengimbangi dengan jumlah karyawan yang ada saat ini. ... Tapi, itulah mengapa bergabungnya kamu dengan kami sangat membantu, Fujimiya-kun.”

Miyamoto menepuk bahu Amane dengan penuh semangat sambil menyeringai, membuat Fumika tersenyum hangat sambil memperhatikan mereka.

 

   

 

Amane menaiki lift menuju apartemennya, merasakan kelelahan yang sangat membebani dirinya. Rekan kerja seniornya telah melatihnya dengan baik, tapi ketika dirinya tiba di rumah, itu sudah waktu yang biasanya digunakannya untuk mandi dan tidur. Amane hanya bisa menghela napas panjang dan dalam.

Meskipun hanya bekerja selama sekitar empat jam, Amane merasa sangat lelah, kemungkinan besar karena lingkungan dan tugasnya yang masih terasa asing. Walau ia tidak melakukan kesalahan besar (atau lebih tepatnya, tidak dipercayakan dengan tugas apa pun yang bisa menyebabkan kesalahan besar), namun pengalaman pertama kali dan rasa gugup selalu berjalan seiring.

Untungnya, rekan-rekan kerjanya, meskipun unik, namun semuanya baik hati dan membantu Amane yang belum berpengalaman. Suasana yang tenang dan lembut membuatnya menjadi tempat kerja yang sangat menyenangkan.

Tetap saja, yang namanya melelahkan tetap saja melelahkan.

Setelah eluar dari lift dan berjalan menuju apartemennya dengan langkah yang lebih berat dari biasanya, Amane membuka pintu seperti biasa-hanya untuk melihat Mahiru bergegas ke arahnya dari lorong yang menuju ruang tamu. Menyadari kedatangannya yang tergesa-gesa, Amane mengerjap kaget.

(Apa yang terjadi? Dia terlihat sangat terburu-buru.)

Mahiru menanggapi keterkejutannya dengan senyuman lega.

“Selamat datang di rumah, Amane-kun.”

“Aku pulang. Kamu tidak perlu berlari seperti itu. Maafkan aku karena membuatmu menunggu.”

Amane sudah mengira kalau Mahiru sedang menunggunya pulang selama ini. Meski dirinya telah memberitahukan kapan ia akan kembali, membuatnya menunggu sendirian mungkin akan membuatnya sedih. Sejak mereka mulai berpacaran, Mahiru lebih sering berada di rumah Amane di luar waktu mandi dan tidur, sehingga kehadirannya telah menjadi hal yang biasa. Tiba-tiba saja sendirian secara alami akan membuatnya merasa kesepian.

“T-Tidak, bukan seperti itu. Aku punya banyak hal yang harus dilakukan ketika kamu pergi, Amane-kun.”

“Maksudmu kamu punya banyak hal yang harus dilakukan, jadi kamu tidak kesepian?”

“...Y-Yah, ini dan itu cerita yang berbeda.”

Amane tak bisa menahan tawa melihat wajah memerah Mahiru yang memalingkan wajahnya. Menyadari tawa Amane, dia menggembungkan pipinya sedikit. Terlepas dari ekspresi kesal yang berusaha Mahiru tampilkan, rasa cintanya terpancar dengan sedikit rasa manis.

Saat Mahiru berpaling dengan cemberut, Amane memasuki rumah dan melepas sepatunya tanpa menyembunyikan senyumnya. Menuju kamar mandi untuk mencuci tangan, ia melihat lampu di ujung sana menyala. Ketika ia menoleh ke arah Mahiru, wanita itu berdiri di sana dan tiba-tiba terlihat dalam suasana hati yang lebih baik.

“Apa kamu ingin makan malam dulu? Atau mungkin mandi?” tanyanya.

Cara bicara Mahiru, dengan sedikit pengulangan, bisa terdengar seperti sapaan pengantin baru. Amane hampir saja menjawabnya tanpa berpikir panjang, tetapi berhasil menahan diri pada saat yang tepat. Mahiru mungkin tidak menyadari apa yang dikatakannya, dan itu hanya membuatnya terlihat semakin menggemaskan. Tentunya, jika Amane mengatakan apa yang dipikirkannya, pipi Mahiru pasti akan langsung memerah.

Memutuskan untuk tidak mengatakan apapun untuk saat ini, karena itu bisa membuatnya jadi membeku kaget, Amane menelan dorongan tersebut dan hanya tersenyum pada Mahiru, yang seperti biasa tersenyum dengan anggun, terlihat sangat senang mempercayakan segalanya padanya.

“Kamu pasti juga lapar, Mahiru. Bagaimana kalau kita makan malam dulu?”

“Tentu, kalau begitu aku akan menyiapkan makan malam kita. Aku membuatkanmu dashimaki tamago sebagai hadiah karena telah bekerja keras di hari pertamamu di pekerjaan barumu.”

“Luar biasa! Itu adalah salah satu hadiah yang manis.”

Ketika Amane pulang ke rumah, kamar mandi dan makan malam sudah disiapkan, dan bahkan hidangan favoritnya pun sudah disiapkan. Amane benar-benar menjalani kehidupan yang penuh kebahagaiaan.

“Fufu. Kamu mudah sekali merasa senang, bukan?”

“Karena itu salah satu makanan favoritku. Rasanya selalu begitu lezat dan kamu membuatnya sesuai dengan seleraku, ditambah lagi ada bonus tambahan karena disiapkan olehmu, Mahiru. Tentu saja aku sangat menghargai kerja kerasmu. Terima kasih seperti biasa."

Pertama-tama, ini bukan masalah mudah merasa senang. Amane tahu betul bahwa butuh usaha keras bagi Mahiru untuk membuatnya secara khusus untuknya, dan fakta bahwa ia membuatkan sesuatu untuknya saja sudah lebih dari cukup.

Di atas semua itu, rasanya sangat lezat, membuatnya menjadi hadiah yang sangat mewah.

Amane sangat bersyukur karena pacarnya tidak hanya memasak untuknya setiap hari, tetapi juga mempertimbangkan kesukaannya. Dirinya diingatkan sekali lagi bahwa Mahiru merupakan pasangan yang benar-benar tak ternilai.

(Aku harus membalasnya atas pengabdiannya...)

Amane mencuci tangannya dan menuju ruang tamu, tetapi tiba-tiba, Mahiru menempel di punggungnya.

Ia mencoba berbalik untuk melihat ekspresinya, tetapi karena Mahiru menekan wajahnya dengan kuat ke punggungnya, upayanya jadi sia-sia. Yang bisa Amane ketahui hanyalah bahwa Mahiru terlihat malu.

Saat Mahiru mengusap dahinya ke arahnya, dia memeluknya erat-erat, meremas perutnya.

(... Astaga, untung saja aku sudah berolahraga.)

Amane tertawa kecil, dan Mahiru sepertinya menyadari hal ini melalui nafasnya dan guncangan perutnya, jadi dia menampar perutnya.

“... Aku menghargai bahwa kamu berterima kasih, tapi serangan mendadak itu terlarang,” ucap Mahiru.

“Jadi jika aku memberitahumu terlebih dahulu, bisakah aku menghujanimu dengan pujian?” Amane menggoda. “Apa itu masih dalam batasan?”

“I-Itu akan mengganggu dengan caranya sendiri”" Mahiru berpisah darinya saat ia mengatakan itu. “... Suatu hari nanti, aku akan membalikkan keadaan,” ucapnya dengan gembar-gembor dan bergegas pergi ke dapur dengan raut wajah penuh tekad.

(Heh, sungguh cara yang berani untuk keluar dari masalah ini...)

Amane diam-diam tertawa kecil pada pelariannya yang berani dan kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian.

 

   

 

"Ngomong-ngomong, bagaimana pekerjaan paruh waktumu?"

Saat mereka menyantap makan malam, yang tampaknya telah dipersiapkan dengan hati-hati sesuai dengan masakan Jepang, Mahiru bertanya dengan ekspresi yang sedikit gelisah, seolah-olah dia merasa khawatir.

Meskipun dia berusaha untuk tidak terlalu mencampuri keputusan Amane, dia tampak khawatir karena hari ini merupakan hari pertama Amane bekerja.

“Mm, tidak ada masalah. Maksudku, aku tidak diberi tanggung jawab besar di hari pertama. Para senior juga tampak seperti orang-orang yang baik, dan menurutku itu tempat yang baik untuk bekerja.”

“Ap iya...? Aku turut senang mendengarnya. Syukurlah jika itu tempat yang nyaman untuk bekerja. Aku akan khawatir jika itu adalah semacam tempat kerja rodi...”

“Kido merekomendasikannya, ditambah lagi Kayano bekerja di sana dan dia tidak pernah mengeluh, jadi kurasa kita tidak perlu mengkhawatirkan hal itu.”

Pada awalnya, Fumika adalah orang yang menjalankan bisnis ini. Sebagai kerabatnya, Ayaka akan dengan cepat menyadari adanya masalah, dan dia tidak akan membiarkan Souji bekerja di sana jika dia mengetahui adanya praktik yang buruk. Oleh karena itu, Amane memulai pekerjaan paruh waktu dengan perasaan tenang.

Meskipun Ayaka baru saja mulai berbicara dengannya, Amane menganggap Ayaka sebagai gadis yang baik hati, terlepas dari kebiasaannya yang suka mengajari Mahiru tentang hobi dan kesukaannya yang aneh itu.

Adapun pemiliknya, Fumika, adalah seorang wanita yang sangat baik dan rendah hati (menurut Souji) selama orang-orang di sekelilingnya tidak melakukan atau mengatakan apa pun yang dapat menyulut semangat kreatifnya. Seharusnya tidak ada masalah dalam bekerja di sana.

“Kamu tidak perlu khawatir, Mahiru. Sepertinya semuanya akan berjalan lancar. Dan mereka bersedia menyesuaikan jam kerjaku agar sesuai dengan jadwalku,” lanjutnya.

“... Syukurlah. Aku puas selama kamu termotivasi untuk melakukan yang terbaik, Amane-kun. Aku hanya bisa mengawasi dan mendukungmu.”

“Itu saja sudah lebih dari cukup bagiku. Bisa pulang ke rumah dengan makanan yang lezat dan mandi air hangat saja sudah membuatku bahagia. Terima kasih, seperti biasa,” Amane mengucapkan terima kasih sekali lagi, merasa bersyukur dan beruntung bisa menerima dukungan seperti itu.

“... Untuk bisa melihat bagaimana kamu bekerja secepatnya, Amane-kun, aku akan membantu dengan cara sekecil apapun yang aku bisa.”

“... Memangnya itu benar-benar sesuatu yang sangat ingin kamu lihat?”

Amane menanggapi motif tersembunyinya dengan nada yang sedikit tidak percaya, dan Mahiru mengangguk dengan tegas.

“Wajar kalau aku ingin melihat penampilan pacarku saat dia bekerja. Dan mengingat seragam yang Kido-san tunjukkan padaku ketika berbicara tentang Kayano-san, sepertinya itu juga cocok untukmu, Amane-kun...”

“Menurutmu begitu...?”

“Asal kamu tahu saja, aku tidak sabar untuk melihatnya, oke?”

“Tapi itu memalukan bagiku. Aku belum siap untuk dilihat orang lain...”

Bukannya ia tidak menyukai ide itu sepenuhnya, tapi menunjukkan sisi lain dari dirinya yang berbeda dari biasanya pada Mahiru membuatnya merasa sangat malu.

Walau begitu, dari sudut pandang Mahiru, hal itu justru menambah daya tariknya. “Kesenjangan itu membuatnya lebih baik,” atau begitulah katanya, terlihat bersemangat untuk melihat sisi lain dari diri Amane yang biasanya tidak dia lihat, jadi saat ini ia sedang memainkan permainan menunggu.

“... Meskipun jika kamu benar-benar tidak menyukai ide itu, aku bisa menerima keputusanmu,” katanya.

“Bukannya aku tidak menyukainya, tapi... Apa melihat senyumku yang melayani pelanggan benar-benar terlihat menarik?”

“Karena itu sesuatu yang biasanya tidak pernah kamu lakukan, jadi aku ingin melihatnya lagi, Amane-kun.”

“Aku akan melakukannya sebanyak yang kamu inginkan jika kamu benar-benar ingin melihatnya, Mahiru...”

“... Itu tidak masuk hitungan. Itu tetaplah senyuman yang diperuntukkan untukku, jadi itu tidak sama.”

Ketika Mahiru mengatakan itu, Amane menyadari kalau perkataannya tepat sasaran. Amane tidak bisa menyangkal telah memberikan perlakuan khusus pada Mahiru, dan ia memiliki kepercayaan diri untuk memberikan senyuman yang ditujukan hanya untuknya.

“Selain itu, Amane-kun, aku hanya ingin melihatmu yang sedang bekerja keras.”

“... Aku akan melakukan yang terbaik untuk membiasakan diri sesegera mungkin,” ucapnya.

Usai mendengar hal itu, Amane tidak punya pilihan lain selain berusaha lebih keras lagi. Jika kekasih tercintanya ingin melihatnya bekerja sebagai karyawan penuh, ia akan berusaha sekuat tenaga.

Belum lagi, semakin cepat ia terbiasa, semakin banyak keuntungan yang diperoleh toko, dan dengan begitu, Amane bisa lebih percaya diri.

Aku sungguh cowok yang gampangan karena langsung begitu bersemangat hanya dengan satu atau dua kata dari Mahiru, Amane mengejek dirinya sendiri, tetapi kilauan kecil di matanya dan senyum penuh harap meluluhkan kritik yang dilontarkannya secara sadar.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama