Bab 7 — Pekerjaan Paruh Waktu Pertamanya
Seminggu telah berlalu sejak
pekerjaan paruh waktu Amane ditetapkan, dan ia menerima pesan dari Fumika si
pemilik toko, yang memberitahukan bahwa seragamnya telah disiapkan dan jadwal
kerjanya juga sudah diputuskan.
Setelah berdiskusi, mereka
memutuskan bahwa Amane akan bekerja tiga hari di hari kerja dan satu hari di
akhir pekan, dengan total empat hari per minggu. Sebagai pelajar kelas 2 SMA,
Amane harus memikirkan ujian masuk yang akan datang, jadi ia memastikan bahwa
jam kerjanya tidak akan mengganggu studinya. Kemungkinan besar, dirinya akan
memiliki jadwal yang sama dengan siswa yang berpartisipasi dalam kegiatan
ekstrakurikuler dan sejenisnya.
Dengan ujian masuk yang akan
diadakan tahun depan, Amane tidak berniat untuk mengambil jalan pintas dengan
studinya, dan jadwal kerjanya saat ini tampaknya tidak menimbulkan masalah.
(Cukup
sulit untuk menyeimbangkan semuanya tanpa membuat kompromi apa pun)
Di samping menjalankan
kewajibannya sebagai pelajar, Amane harus belajar keras dan melakukan persiapan
untuk ujian yang akan datang, dan dirinya sekarang memiliki pekerjaan paruh
waktu. Amane dulunya tidak punya kegiatan yang lebih baik untuk mengisi
waktunya sebelum bertemu Mahiru, jadi dari sudut pandang Amane, jadwal barunya terlihat
sangat padat.
Meski demikian, ia tidak
terlalu mencemaskan itu, karena ia memiliki tujuan yang jelas dalam pikirannya
dan lebih dari siap untuk berusaha keras mencapainya. Dirinya memang merasa
sibuk, tapi hal itu masih sepadan dengan rasa kepuasan yang lebih besar.
Sambil menyemangati dirinya sendiri,
ia bergumam dalam hati, “Aku akan
berusaha keras,” sambil menuliskan rencana masa depannya dalam jadwalnya.
✧ ✦ ✧
“Baiklah kalau begitu, aku
mulai bekerja hari ini, jadi kamu bisa pulang lebih dulu.”
Hari ini adalah hari pertama
Amane mulai bekerja, dan ia memberitahukan hal tersebut pada Mahiru setelah
pulang sekolah. Dia tampak kesepian saat dia tersenyum pada Amane.
Meskipun hati Amane sedikit
sakit saat melihatnya, tidak ada yang bisa dia lakukan. Dirinya sudah mantap
mengambil pekerjaan itu untuk mengamankan senyum Mahiru, jadi ia takkan merasa
bimbang lagi sekarang.
Meskipun Mahiru tidak tahu
alasan di balik pekerjaan paruh waktunya, dia mengerti bahwa Amane telah
membuat keputusan yang tegas dan mengambil inisiatif, jadi dia menghormati keinginannya.
Mahiru tidak ingin melakukan apa pun yang akan membuatnya ragu-ragu dalam
mengambil keputusan.
Walau begitu, sifatnya yang
penuh pengertian hanya membuat Amane merasa semakin cemas.
(Tidak
diragukan lagi, dia pasti akan merasa kesepian...)
Mahiru bukan hanya tipe orang
yang selalu mengutamakan orang lain, tapi begitu dia berkomitmen, dia sangat
perhatian, memaksakan dirinya sendiri dengan keras, dan dengan cepat mengalah
pada keinginan orang lain daripada keinginannya sendiri, karena kepeduliannya
pada orang lain dan keadaannya.
Meski beberapa orang akan
menganggap kerendahan hatinya sebagai suatu sifat kebajikan, namun hal itu
dapat dengan mudah membuatnya stres tanpa dia sadari, sehingga Amane memutuskan
untuk lebih memperhatikannya sekarang setelah ia memulai pekerjaan paruh
waktunya.
“Oh, kamu mulai bekerja hari ini,
Amane? Wow! Semoga berhasil!”
Sambil melihat wajah Mahiru
yang sedikit menunduk dengan sedikit rasa bersalah di dalam hatinya, Chitose
memberikan kata-kata penyemangat. Sepertinya dia akan meninggalkan sekolah
bersama Mahiru.
Mungkin Chitose menyadari bahwa
Mahiru merasa sedikit kesepian, karena dia sudah memberikan perhatian lebih
pada Mahiru sejak Amane memutuskan untuk mencari pekerjaan. Ia menghargai
Chitose yang meluangkan waktu untuk memperhatikan Mahiru, tapi pandangannya
yang sesekali sembunyi-sembunyi membuatnya sedikit takut.
“Sebaiknya kamu jangan
membuntutiku,” Amane memperingatkan.
“Aku ... tidak akan pernah
melakukan hal seperti itu, oke?” Chitose meyakinkan, meskipun dengan sedikit
menunda.
“Aku tidak bisa menaruh
kepercayaan padamu sekarang, terutama dengan jeda tadi.”
Chitose bertingkah sedikit
mencurigakan karena nadanya yang hampir seperti robot, tapi Amane berpikir
bahwa jika dia memperingatkannya terlebih dahulu, Chitose takkan berusaha keras
untuk mengikutinya.
Chitose bukanlah tipe orang
yang suka melakukan hal-hal yang tidak disukai orang lain, tapi rasa penasarannya
yang besar terkadang mendorongnya untuk mencoba menyelidiki secara diam-diam.
Mengetahui hal itu, Amane tidak bisa menerima begitu saja perkataannya. Amane
tahu bahwa tindakannya sering kali menguntungkan orang lain, tapi dirinya lebih
suka kalau Chitose tetap diam karena yang dia lakukan hanyalah bekerja paruh
waktu.
“….. Kamu bisa datang
berkunjung setelah aku terbiasa dengan pekerjaan ini, tapi tolong tunggu sampai
saat itu,” pinta Amane. “Aku tidak ingin kalian melihat kemampuan layanan
pelangganku saat masih terlihat kikuk.”
“Meski kamu bilang begitu, tapi
kamu terlihat sangat menghayati peran itu saat di festival budaya kemarin,”
kata Chitose.
“Tugas yang kulakukan cukup
mendasar, bukan? Ditambah lagi, berkat saran Kido lah semuanya bisa berjalan
lancar.”
“... Sepertinya aku akan segera
mengunjungi tempat kerja paruh waktumu, Amane-kun,” Mahiru menimpali setelah
beberapa saat terdiam. “Kamu memang cepat belajar. Aku akan menantikannya.”
Setelah membelai pipi Mahiru, Amane
kemudian mengusap lembut rambutnya yang lembut dan halus, sambil mencoba untuk
melihat Mahiru dengan tatapan lemah lembut. Mata berwarna karamel Mahiru
melebar karena terkejut, dan ekspresi Amane melembut saat ia menatapnya dengan
saksama.
“Pokoknya, aku akan melakukan
apa yang aku bisa untuk membiasakan diri, dan aku akan berusaha untuk pulang
dengan cepat,” kata Amane, mencoba meyakinkannya.
“......Aku bersedia menunggu
berapa lama pun, tapi tolong kembalilah secepatnya.”
“Mengerti,” jawab Amane dengan
nada lirih. “Aku akan menantikan makan malam nanti, jadi aku akan melakukan
yang terbaik.”
Sekedar pemberitahuan,
teman-teman sekelas mereka sudah tahu bahwa Amane dan Mahiru tinggal
bersebelahan, tapi tetap saja rasanya masih memalukan jika teman-teman sekelas
mereka tahu kalau mereka sering makan malam bersama setiap malam seolah-olah
itu adalah hal yang paling alami di dunia, jadi mereka berbicara dengan nada
pelan. Namun, Chitose menyeringai lebar saat dia berdiri di dekat mereka, dan
bahkan Itsuki bersiul pada mereka sambil bercanda.
Sementara itu, Amane memilih
untuk memberi Itsuki tamparan ringan dengan punggung tangannya.
“Ow!”
Itsuki berpura-pura
terhuyung-huyung, jatuh secara melodramatis ke arah Chitose sambil bersandar
padanya. Tapi Chitose, yang tampaknya fokus pada ekspresi wajah malu-malu
Mahiru, dengan teatrikal mendorong Itsuki dan berkata, “Ikkun, kamu terlalu
berat,” yang hanya mengundang cibiran dari Itsuki yang nakal.
Amane tertawa melihat tingkah
mereka berdua, dan tak lama kemudian Mahiru pun ikut tertawa. Sekarang dengan
sedikit malu, Itsuki kemudian mulai mencolek Amane dari samping untuk
membalasnya.
✧ ✦ ✧
Meskipun enggan untuk
menghentikan percakapan mereka yang hidup, Amane akhirnya meninggalkan sekolah
untuk pergi ke tempat kerja paruh waktunya.
Karena ini hari pertamanya,
jadi jadwalanya diatur untuk bekerja dengan Souji, teman sekolahnya sekaligus
pekerja paruh waktu senior. Mungkin Ayaka juga memiliki andil dalam hal ini,
karena ketika mereka berpapasan di lorong, dia tersenyum dan berkata, “Jadi,
tolong jaga Sou-chan mulai sekarang!”
Yang ada justru Amane lah yang
perlu dijaga, tapi ia mengangguk dengan sukarela setelah melihat senyum Ayaka
yang tampak polos.
Dirinya dan Souji telah
memutuskan untuk bertemu di pintu masuk sekolah sebelum pergi ke kafe bersama,
tetapi bahkan setelah melihat Amane berjalan ke arahnya, Souji mempertahankan
ekspresi yang terlihat tenang, membuatnya sulit untuk menebak apa yang ia
pikirkan.
“Aku akan mengandalkanmu mulai
hari ini,” kata Souji.
“Aku juga. Aku mungkin akan
merepotkanmu sampai aku mendapatkan lebih banyak pengalaman...”
“Aku yakin kalau kamilah yang
sering merepotkanmu. Ayaka cukup bersemangat ketika merekomendasikanmu.”
“T-Tidak, semua itu berkat
dirinya aku bisa mendapatkan pekerjaan ini,” Amane berusaha menjelaskan rasa
terima kasihnya. “Entah aku merasa berhutang budi padanya atau tidak, aku tidak
akan marah padanya karena hal seperti ini.”
Undangan Ayaka datang pada saat
yang tepat. Amane berhasil mendapatkan pekerjaan di tempat dengan gaji yang
layak dan rekan kerja yang dikenal yang bahkan bisa memahami keadaannya sebagai
pelajar. Amane merasa sangat bersyukur atas apa yang telah dilakukannya.
Ayaka mengajukan permintaan
yang cukup khas ketika Amane menyebutkan bahwa ia ingin melakukan sesuatu
sebagai balasannya, dengan mengatakan, “Biar
kubantu kamu membentuk otot sesuai keinginan Shiina-san.” Walaupun wajahnya
sedikit berkedut saat mendengar tanggapannya, namun Amane memutuskan untuk
menerima tawaran itu.
Amane hanya bisa tercengang
tidak yakin apakah fakta bahwa ia memiliki Yuuta dan Ayaka sebagai pelatih
latihannya adalah sesuatu yang bisa ia tertawakan. Untuk saat ini, ia merasa puas
dengan pengaturan itu selama itu membuat Mahiru bahagia.
Souji mengusap-usap rambutnya
yang keriting dan bergumam, “Kuharap begitu,” sambil menghela nafas. Amane
tidak yakin apakah Souji menyadari percakapannya dengan Ayaka atau tidak.
Bagaimanapun juga, ia tampaknya
mengalami kesulitan untuk menghadapi luapan emosi Ayaka. Kecintaannya pada otot
terdengar keras dan jelas, bahkan bagi seseorang seperti Amane, yang belum
terlalu lama mengenalnya. Souji, sebagai teman masa kecil dan pacarnya, pasti
mengalami hal yang jauh lebih buruk.
(Secara
keseluruhan, aku yakin dia adalah gadis yang baik di lubuk hatinya...)
Amane memahaminya sebagai
seorang gadis yang ramah dan bersahaja yang kebetulan juga cukup terampil dan
baik hati untuk menghitung untung dan rugi dengan benar, jadi ia tidak berburuk
sangka padanya, tetapi perjuangan pacarnya, Souji, terlihat jelas. Souji
tampaknya menyadari sorot mata Amane, saat ia menghela napas lebih dalam.
Sambil terus bercakap-cakap,
Amane dan Souji tiba di stasiun. Meskipun ia harus naik kereta untuk pergi ke
tempat kerjanya, namun jaraknya hanya sekitar dua pemberhentian dari stasiun
terdekat. Karena rumah Itsuki dan Chitose lebih jauh lagi, ia mungkin bisa
pulang ke rumah dari shiftnya sebelum Mahiru bosan menunggu. Kafe tersebut juga
tidak jauh dari stasiun, jadi perjalanan pulang pergi seharusnya tidak menjadi
masalah.
“Apa rumahmu bisa ditempuh
dengan berjalan kaki dari sekolah, Fujimiya?” Souji bertanya, melihat Amane
mengisi uang ke kartu IC-nya karena dia tidak memiliki tiket komuter.
“Ya. Apartemenku tidak terlalu
jauh dari sekolah kita, lho.”
“Oh, bagus tuh. Sepertinya kamu
bisa tidur dengan rumahmu yang dekat dengan sekolah.”
“Yah, aku pikir aku punya lebih
banyak kelonggaran dalam hal pergi ke sekolah, tapi kadang-kadang Mahiru datang
dan membangunkanku...”
Di masa lalu, dia akan bangun
dengan cukup waktu luang jika hari itu bukan hari libur, tapi sejak Mahiru
mulai datang untuk membuatkannya sarapan, ia punya lebih banyak waktu luang di
pagi hari. Meskipun Amane bisa bangun tanpa bantuannya, ia diam-diam menikmati
saat-saat bahagia saat bangun dengan suara Mahiru, jadi Amane sesekali
memintanya untuk membangunkannya. Karena dia sering datang ke rumahnya untuk
membuatkan sarapan saat dia sedang tidur, tampaknya hal itu tidak menambah
beban kerjanya.
“Tak disangka,” gumam Souji.
“Kupikir kamu tipe orang yang sangat bertanggung jawab, Fujimiya.”
“Jika itu yang kamu pikirkan,
maka aku pasti terlihat cukup rapi akhir-akhir ini. Aku sebenarnya sangat
berantakan, jujur saja.”
Meskipun kehidupan pribadinya
sudah tidak terlalu kacau dibandingkan dengan masa lalu, Amane masih sangat
bergantung pada Mahiru, jadi ketika diberi label sebagai orang yang bertanggung
jawab, ia hanya bisa memiringkan kepalanya. Tentu saja, Amane tidak menyerahkan
segalanya pada Mahiru, dan melakukan apa yang ia bisa lakukan, tetapi bebannya
masih signifikan.
Meskipun dia benar-benar
berhati-hati dan penuh perhatian sekarang, Amane masih menganggap dirinya agak
memanjakan diri sendiri. Ia bertemu dengan Souji saat festival budaya, jadi
Amane pasti menjaga penampilannya agar terlihat sebagai tipe orang yang
bertanggung jawab oleh Souji.
“Standar kami untuk menjadi 'berantakan' adalah dua hal yang
berbeda di sini,” kata Souji. “Jika kita berbicara tentang menjadi berantakan,
maka lihat saja Ayaka...”
“Kido? Berantakan?”
“Ayaka terlihat bisa diandalkan
dan terorganisir, kan? Tetapi di rumah, dia benar-benar lalai dan
bermalas-malasan. Meski aku tidak berhak mengatakanya begitu sih.”
“Jujur saja, aku tidak bisa
membayangkannya.”
“Yah, Ayaka selalu bersikap
baik saat keluar rumah, dan dia bahkan akan berusaha menjagaku. Tapi begitu dia
lengah, dia akan lebih santai daripada aku. Dia terlihat mandiri di luar, tapi
beda lagi ceritanya kalau dia sudah ada di dalam rumah
“... Sepertinya dia hanya ingin
dimanjakan olehmu, Kayano,” simpul Amane. “Bukankah justru karena kamu adalah
pacarnya, jadi dia bersikap seperti itu?”
Amane pernah melihat Ayaka
melakukan kesalahan ceroboh sesekali, tetapi masih menganggapnya sebagai wanita
yang bisa diandalkan dengan kepribadian yang kuat dan bakat untuk menjadi
perhatian. Fakta bahwa dia tidak menunjukkan sisi santai di luar dan hanya
menunjukkannya pada pacarnya, Souji, pasti berarti memiliki makna tertentu.
Souji berkedip. Setelah
berpikir sejenak, ia menatap tanah dengan ekspresi malu-malu.
“... Tunggu sebentar, apa itu
bisa dianggap sebagai diam-diam pamer?” Souji menyadari. “Maaf.”
“J-Jangan meminta maaf, aku
tidak terganggu dengan itu..." Amane ragu-ragu.
Ia mengalihkan pandangannya,
karena melihat ekspresi malu Souji membuatnya merasa canggung juga. Amane
berpikir bahwa mungkin ia secara tidak sadar telah membual tentang dirinya
sendiri dengan cara yang sama, jadi saat ekspresinya menegang karena rasa
malunya sendiri, ia mencoba untuk menjaga bibirnya agar tidak bergetar.
✧ ✦ ✧
Amane tanpa sadar berjalan
dengan Souji saat mereka bersenda gurau, dan dalam sekejap mata, mereka tiba di
tempat kerja mereka: kafe. Tempat tersebut akan menjadi tempat pertama kalinya
Amane bekerja dengan benar, dan ia sempat merasa gugup, tetapi Souji, entah
sengaja atau tidak, memasuki kafe dengan Amane di belakangnya tanpa ragu-ragu.
Dengan suara lonceng yang cukup
bernostalgia berdentang di belakangnya, Amane menginjakkan kakinya di dalam
kafe untuk pertama kalinya sebagai karyawan. Mereka disambut oleh seorang
karyawan pria yang tampaknya anak kuliahan. Amane tidak ingat pernah melihatnya
pada kunjungan sebelumnya.
Sekilas, ia adalah seorang
pemuda yang lebih tua dan terlihat bergaya dengan mengenakan seragam pelayan
yang akan segera dikenakan oleh Amane.
“Selamat datang, Kayano-kun.
Apa pemuda ini karyawan baru yang kita bicarakan?”
“Ya. Kami berada di shift yang
sama, jadi ini bekerja dengan sempurna.”
Souji mengangguk pada karyawan
pria yang lain, yang sepertinya sudah menyadari situasi dan menyapa mereka
berdua dengan senyuman ramah. Kemudian, ia mengantar Amane ke depan dan menuju
lorong yang mengarah langsung ke bagian belakang kafe. Souji menoleh ke
belakang untuk melihat ke belakang, dan Amane mengikutinya. Dia melihat sekilas
seorang pelanggan pria yang lebih tua memasuki kafe.
“Ada pelanggan, jadi ayo kita
ganti baju dulu,” kata Souji. “Maaf, Miyamoto-san, kami akan menyapamu dengan
baik nanti.”
“Dimengerti,” jawabnya. “Sampai
jumpa lagi, anak baru.”
Miyamoto, begitulah pria itu
dipanggil, dengan ceria mengedipkan mata pada Amane, yang membawa dirinya
dengan sedikit canggung karena kegugupannya, lalu mengalihkan perhatiannya pada
pelanggan yang baru saja masuk. Melihat Miyamoto melambaikan tangannya di
belakang punggungnya saat mereka kehilangan kesempatan untuk berkenalan, Amane
dan Souji menuju ruang ganti karyawan di belakang.
“Loker ini milikmu, Fujimiya.
Dan ini kuncinya. Seragammu ada di dalam loker, jadi silakan ganti baju.”
Sang pemiliki kafe, Fumika,
rupanya telah mempercayakan Souji untuk menjaga Amane, jadi Souji memberikan
kunci loker pada Amane dan mulai berganti pakaian, melepas blazernya. Amane
melakukan hal yang sama, mengenakan seragam kerjanya. Seragam yang sudah
disiapkan dan sudah disesuaikan dengan ukurannya terlebih dahulu, sangat pas
dengan tubuh Amane.
Baju yang Amane kenakan
sekarang merupakan model pakaian yang relatif sederhana yang hanya terdiri dari
kemeja putih, rompi hitam, celemek pelayan yang serasi dan celana panjang,
mirip dengan apa yang dikenakan oleh karyawan pria bernama Miyamoto ketika
mereka bertemu sebelumnya. Lehernya dihiasi dengan dasi hitam, dan meskipun
pakaiannya lebih kasual daripada seragam pelayan yang ia kenakan saat festival
budaya, namun tetap saja itu adalah pakaian yang halus dan pas untuk seorang
pelayan.
Karena ia bekerja sebagai
pelayan pelanggan dan tidak boleh memancarkan suasana yang suram, Amane menata
rambutnya dengan cara yang segar untuk mencerahkan ruangan, tetapi ia merasa
cemas, apa pakaian itu cocok dengan pakaiannya. Memeriksa cermin ukuran penuh di
ruang ganti, ia bingung dengan pemandangan yang tidak dikenalnya. Souji, di
sisi lain, sudah mengenakan seragamnya dan berdiri dengan postur yang
berwibawa.
Mungkin Souji sudah terbiasa
mengenakan seragam itu karena ia terlihat percaya diri, tidak seperti Amane, yang
merasa seolah-olah seragam itu kurang pas. Souji, yang biasanya tidak terlihat
terlalu energik tetapi agak mengantuk, sekarang memiliki ekspresi wajah yang
sedikit lebih fokus, mungkin karena dia dalam mode kerja.
“... Apa aku tidak terlihat aneh
dengan pakaian ini?” Amane mau tak mau merasa malu.
“Kelihatannya oke-oke saja di
mataku. Aku yakin Shiina-san akan senang melihatmu mengenakannya.”
Mungkin Souji sudah paham kalau
Mahiru jatuh cinta pada Amane, dan meskipun kata-katanya tidak dimaksudkan
untuk meledeknya, kata-kata itu dilontarkan dengan penuh canda.
“A-Aku tidak berencana untuk
menunjukkan ini pada Mahiru, setidaknya tidak dalam waktu dekat...”
“Aku punya firasat bahwa
Shiina-san akan kecewa.”
“Ya, dia sudah kecewa. Tapi aku
berhasil meyakinkannya untuk menerima penantian ini.”
Amane berencana untuk
membiasakan diri dengan pekerjaan itu sesegera mungkin, untuk membatasi
kemungkinan kekacauan dan kesalahan, dan menyuruhnya menunggu sampai saat itu.
Ia kemudian tersenyum kecil, dan begitu juga dengan Souji.
"Giliranmu— apa Kido senang
melihatmu mengenakan seragam?” Amane bertanya balik.
“Ayaka lebih suka membuka baju
daripada berdandan.”
“Oh...”
Langsung memahami, raut wajah
Amane menunjukkan bahwa ia cukup yakin kalau ia mengerti sepenuhnya, dan Souji
hanya bisa menghela nafas dan tersenyum pahit sebagai tanggapan.
“... Bukannya Ayaka tidak
tertarik melihatku berdandan. Hanya saja fetishnya menghalangi,” Souji
menjelaskan.
“Yah, aku tidak bisa menyangkal
bahwa kamu punya otot yang mengesankan. Ada rahasia untuk itu?”
Setelah berganti pakaian
bersama, Souji secara alami memperlihatkan kulitnya, dan otot-ototnya lebih
menonjol daripada yang bisa dibayangkan hanya dengan melihatnya berpakaian.
Namun demikian, otot-ototnya
tidak terlalu besar, tetapi justru memberi kesan tegas dan kencang, seakan-akan
dia diukir seperti patung kuno yang terbuat dari marmer. Amane jadi merasa
terkesan ketika melihatnya.
(Tidak
heran kalau Kido jatuh cinta padanya...)
Meskipun Yuuta, yang memiliki
tubuh atletis proporsional, dan Kazuya, yang tampak lebih terlatih, sebanding,
fisik Souji tampaknya memiliki jenis keindahan fisik yang berbeda.
“Ayaka akan dengan senang hati
memberimu ikhtisar yang lebih baik daripada yang bisa aku berikan. Dia juga
akan memberitahumu lebih banyak daripada yang kamu minta.”
“Oh... Ya, itu masuk akal...”
Amane dengan sepenuh hati setuju.
Bahkan, Amane bisa dengan mudah
membayangkan Ayaka dengan antusias membicarakannya sambil mengayunkan kuncir
kudanya dan tersenyum dengan mata cerah dan ekspresi kegirangan, yang
membuatnya tanpa sadar mengeluarkan senyum yang sedikit tegang.
Ayaka tidak pernah bisa
mengerem begitu dia mulai membicarakan sesuatu yang disukainya, dan dia sering
kali ingin mengajari Amane tentang daya tarik otot. Namun, bahkan Amane pun
memiliki batasan dalam mempelajari sesuatu yang bukan hobinya, dan ia akan
menghargai jika Ayaka bisa menjaga agar tidak berlebihan.
“... Apa kamu ingin berolahraga
juga, Fujimiya?”
"Ya, aku mau. Lebih baik
bagiku untuk terlihat bugar, dan aku berani bertaruh kalau itu akan membuat
Mahiru senang juga... Meskipun itu karena putri
kecilmu suka mengajarinya banyak hal.”
“Aku minta maaf soal itu.
Sungguh.”
"T-Tidak usah, aku sama
sekali tidak keberatan karena itu bisa memberiku alasan lain untuk memperbaiki
diri.”
Souji tampak berkontradiksi
saat ia meminta maaf atas nama pacarnya karena dengan antusias memberitakan
kehebatan otot, jadi Amane mengangkat bahunya dan melambaikan topik itu dengan
tangannya untuk meyakinkan temannya.
✧ ✦ ✧
“Ah, aku minta maaf karena
tidak bisa menyambutmu saat kamu datang...,” Fumika meminta maaf dengan
cemberut.
Amane dipandu oleh Souji ke
dapur yang digunakan untuk menyiapkan makanan ringan untuk para pelanggan, dan diajari
di mana semua peralatan berada serta bagaimana cara menggunakannya. Kemudian
Fumika, yang datang kemudian, meminta maaf kepadanya dengan raut wajah yang
sedikit tertekan.
“Aku memang ingat kalau kamu
akan datang hari ini... meskipun mengetahui bahwa Souji-kun bersamamu membuatku
merasa nyaman. Tapi selamat datang sekali lagi, Fujimiya-kun. Seragammu sangat
cocok untukmu, dan itu menyenangkan. Kelihatannya saran Ayaka-san sangat tepat”
“Intuisi Ayaka selalu tepat,
tapi itulah yang membuatnya sangat aneh,” gumam Souji pelan, dan Amane hampir
tertawa, tapi ia menahannya, dan hanya menundukkan kepalanya pada Fumika.
“Aku akan berada dalam
pengawasanmu ke depannya, dan aku sangat senang bisa bekerja sama denganmu,”
kata Amane dengan sopan.
“Sama-sama, jadi senang bisa
bekerja denganmu,” balas Fumika. “Um... kalau boleh tahu, apa kamu sudah sempat
bertemu dengan anggota staf kami yang lain?”
“Sejauh ini hanya Miyamoto-san,”
Souji dulu yang menimpali. “Dan dia belum bertemu dengan Oohashi-san. Aku yakin
dia sedang membuat kopi di belakang meja tadi, jadi dia belum berkenalan
dengannya.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau
kita mulai dengan perkenalan? Sepertinya tidak ada pesanan yang tertunda, jadi
sekarang adalah waktu yang tepat. Lagipula, kalian semua akan bekerja bersama
satu sama lain ke depannya,” saran Fumika sambil tersenyum lembut.
Dia kemudian memberi isyarat
pada Souji, menginstruksikan, “Bertukar tempat dengan Miyamoto-san dan staf
lainnya di depan untuk sementara waktu,” dan memanggil karyawan lainnya,
terdengar tenang saat dia berdiri di dekat pintu.
Souji meyakinkan Amane dengan
menepuk punggungnya, lalu pergi ke depan untuk melayani pelanggan.
Menggantikan Souji di dapur
adalah dua orang: pria bernama Miyamoto yang telah berbincang dengan Souji
sebelumnya, dan seorang wanita yang tampaknya berusia awal dua puluhan yang
memiliki gaya rambut tergerai dan bergelombang dengan panjang sedang dan tinggi
badan mengesankan yang jarang terlihat pada wanita. Wanita tersebut tampak
seperti anak kuliahan dan memancarkan aura kedewasaan, berdiri setidaknya satu
kepalan tangan lebih tinggi daripada Chitose. Tingginya kemungkinan lebih dari
170 cm.
Mempertimbangkan apa yang dikatakan
Souji, wanita ini mungkin adalah 'Oohashi'.
“Oh! Kamu pasti orang yang
dibawa Kayano-chan tadi! Ia bilang kita akan segera mendapatkan lebih banyak
pekerja paruh waktu. Senang berkenalan denganmu!”
Wanita itu tersenyum santai dan
mendekati Amane, mengamatinya dengan penuh ketertarikan saat dia
mengelilinginya.
Karena wanita itu berbadan
jangkung, wajahnya pasti dekat dengan wajah Amane saa mendekatinya. Amane tidak
bisa mendorongnya menjauh tanpa bersikap kasar, karena dia seniornya dan seorang
wanita, jadi yang bisa Amane lakukan hanyalah mengertakkan gigi karena bingung.
Melihat Amane yang tampak
bermasalah, Miyamoto menghela napas dengan jengkel dan mencengkeram tengkuk
wanita itu, menariknya menjauh. Amane membeku melihat kejadian yang tiba-tiba
itu, dan sambil tetap memegang tengkuk wanita itu, Miyamoto memberinya senyuman
yang menyegarkan.
“Maaf untuk itu— aku yakin itu
mengejutkan. Namaku Miyamoto Daichi, dan orang ini Oohashi Rino. Jika kamu
mengalami masalah, jangan ragu untuk bertanya pada kami.”
“Jangan memperkenalkanku
seperti itu! Percaya atau tidak, saat ini aku sedang mengalami beberapa
masalah! Dijambak seperti ini, maksudku!” Rino memprotes. “Masalah besar!”
“Kalau begitu, sebaiknya kamu
menyapanya dengan baik terlebih dahulu. Percakapan akan dimulai dari sana.”
Setelah memarahi Oohashi, yang
terlihat frustrasi, Miyamoto kemudian dengan enggan melepaskan pakaiannya. Dia
kemudian membetulkan kerah bajunya yang acak-acakan dan menoleh ke arah Amane
sambil tersenyum ramah.
“Maafkan aku karena telah
mengagetkanmu, aku Oohashi Rino, seniormu. Itu membuatmu menjadi juniorku, jadi
jangan ragu untuk mengandalkanku kapan saja, Kouhai-kun.”
“Kamu lebih baik jangan
mengandalkannya. Dia sering membuat segalanya berantakan.”
“Ayolah, itu sangat tidak etis,
Daichi. Tidak perlu kasar seperti itu,” Rino membalas.
“Katakan padaku, sudah berapa
kali aku harus membereskan masalahmu...? Sudah berapa kali kamu membuat masalah
bagi pelanggan kita?”
“Sudah kubilang kalau aku
sedang memperbaiki semua itu! Dan aku minta maaf! Itu tidak sengaja!”
"Ya, itu tidak disengaja,
dan saya akui bahwa itu tidak terduga, tetapi kamu mengakui kalau kamu
menyebabkan terlalu banyak masalah secara umum, bukan?”
Miyamoto berbicara dengan tegas
dan lembut seolah-olah berbicara pada seorang anak kecil, tidak mengijinkan
adanya bantahan, dan meskipun kata-katanya cukup lembut, matanya tidak
tersenyum. Amane menyimpulkan bahwa Oohashi telah mengacaukannya dengan cukup
parah, karena ia kesulitan mengangkat kepalanya. Akhirnya, “Aku sudah paham!”
Dia mengalah dengan berteriak.
(Apa
yang harus aku lakukan...)
Menyaksikan keduanya saling
berdebat, nyaris seperti pertengkaran sepasang kekasih, Amane merasa tidak tau
harus bereaksi seperti apa. Namun demikian, Miyamoto tampaknya tersadar dan
dengan canggung mengusap pipinya, sambil berkata, “Maaf, kami terbawa suasana
dan mengabaikanmu.”
“Pokoknya, kembali ke topik tadi.
Kita semua adalah rekan kerja mulai hari ini, jadi mari kita akur, oke?”
“Ya. Ehm, Miyamoto-san dan Oohashi-san,
‘kan? Aku minta maaf karena belum memperkenalkan diri. Namaku Fujimiya Amane.”
“Oh, begitu, begitu. Jadi Fujimiya-chan,
ya? Aku mengerti, dengan keras dan jelas.”
“... Dia cenderung menggunakan
'-chan' cukup banyak, jadi bersabarlah, Fujimiya-kun.”
“Ba-Baiklah, kamu bisa memanggilku
apapun yang kamu suka...”
Amane tidak berniat untuk
meributkan nama panggilan itu, tapi mau tak mau ia merasa itu sedikit aneh
mengingat usia dan penampilannya. Miyamoto menghela nafas saat melihat Oohashi
dan mengalihkan pandangannya pada Fumika, yang telah memperhatikan situasi
dengan tenang.
“Jadi, apa yang harus kita
lakukan untuk Fujimiya-kun hari ini?” tanyanya.
“Pertama-tama, aku ingin ia
mengenal cara kerja kafe ini. Penting baginya untuk belajar bagaimana cara bersantai
dan memahami seluk beluk pekerjaan sebelum memulai pekerjaan pelayanan,” jelas
Fumika. “Sepertinya ia sudah membaca buku panduan, dan dengan Souji-kun yang
telah mengajarinya juga, aku ingin ia memprioritaskan untuk menyelaraskan
pengetahuannya dengan lingkungan kerja yang sebenarnya saat ini. Untungnya, ini
adalah hari kerja, jadi kami belum memiliki banyak pelanggan.”
“Aku minta maaf atas semua
masalah ini,” Amane menawarkan permintaan maaf.
“Tidak perlu minta maaf. Jarang
sekali ada orang yang bisa langsung menjadi lancar dalam bekerja, terutama saat
mereka baru memulai. Kami memiliki cukup staf hari ini, jadi tidak perlu terlalu
terburu-buru,” ujar Fumika mencoba menghiburnya.
“Jika kamu bertanya kepadaku
apa kita memiliki cukup staf, Pemilik, aku akan mengatakan bahwa hal itu bisa
diperdebatkan. Rasanya kita hampir tidak bisa mengelola dengan shift kerja yang
ada saat ini... Kafe ini bukan yang terbesar, jadi kita hanya bisa mengimbangi
dengan jumlah karyawan yang ada saat ini. ... Tapi, itulah mengapa bergabungnya
kamu dengan kami sangat membantu, Fujimiya-kun.”
Miyamoto menepuk bahu Amane
dengan penuh semangat sambil menyeringai, membuat Fumika tersenyum hangat
sambil memperhatikan mereka.
✧ ✦ ✧
Amane menaiki lift menuju
apartemennya, merasakan kelelahan yang sangat membebani dirinya. Rekan kerja
seniornya telah melatihnya dengan baik, tapi ketika dirinya tiba di rumah, itu
sudah waktu yang biasanya digunakannya untuk mandi dan tidur. Amane hanya bisa
menghela napas panjang dan dalam.
Meskipun hanya bekerja selama
sekitar empat jam, Amane merasa sangat lelah, kemungkinan besar karena lingkungan
dan tugasnya yang masih terasa asing. Walau ia tidak melakukan kesalahan besar (atau lebih tepatnya, tidak dipercayakan
dengan tugas apa pun yang bisa menyebabkan kesalahan besar), namun
pengalaman pertama kali dan rasa gugup selalu berjalan seiring.
Untungnya, rekan-rekan
kerjanya, meskipun unik, namun semuanya baik hati dan membantu Amane yang belum
berpengalaman. Suasana yang tenang dan lembut membuatnya menjadi tempat kerja
yang sangat menyenangkan.
Tetap saja, yang namanya
melelahkan tetap saja melelahkan.
Setelah eluar dari lift dan
berjalan menuju apartemennya dengan langkah yang lebih berat dari biasanya,
Amane membuka pintu seperti biasa-hanya untuk melihat Mahiru bergegas ke
arahnya dari lorong yang menuju ruang tamu. Menyadari kedatangannya yang
tergesa-gesa, Amane mengerjap kaget.
(Apa
yang terjadi? Dia terlihat sangat terburu-buru.)
Mahiru menanggapi
keterkejutannya dengan senyuman lega.
“Selamat datang di rumah,
Amane-kun.”
“Aku pulang. Kamu tidak perlu
berlari seperti itu. Maafkan aku karena membuatmu menunggu.”
Amane sudah mengira kalau Mahiru
sedang menunggunya pulang selama ini. Meski dirinya telah memberitahukan kapan ia
akan kembali, membuatnya menunggu sendirian mungkin akan membuatnya sedih.
Sejak mereka mulai berpacaran, Mahiru lebih sering berada di rumah Amane di
luar waktu mandi dan tidur, sehingga kehadirannya telah menjadi hal yang biasa.
Tiba-tiba saja sendirian secara alami akan membuatnya merasa kesepian.
“T-Tidak, bukan seperti itu.
Aku punya banyak hal yang harus dilakukan ketika kamu pergi, Amane-kun.”
“Maksudmu kamu punya banyak hal
yang harus dilakukan, jadi kamu tidak kesepian?”
“...Y-Yah, ini dan itu cerita
yang berbeda.”
Amane tak bisa menahan tawa
melihat wajah memerah Mahiru yang memalingkan wajahnya. Menyadari tawa Amane, dia
menggembungkan pipinya sedikit. Terlepas dari ekspresi kesal yang berusaha
Mahiru tampilkan, rasa cintanya terpancar dengan sedikit rasa manis.
Saat Mahiru berpaling dengan
cemberut, Amane memasuki rumah dan melepas sepatunya tanpa menyembunyikan
senyumnya. Menuju kamar mandi untuk mencuci tangan, ia melihat lampu di ujung
sana menyala. Ketika ia menoleh ke arah Mahiru, wanita itu berdiri di sana dan
tiba-tiba terlihat dalam suasana hati yang lebih baik.
“Apa kamu ingin makan malam
dulu? Atau mungkin mandi?” tanyanya.
Cara bicara Mahiru, dengan
sedikit pengulangan, bisa terdengar seperti sapaan pengantin baru. Amane hampir
saja menjawabnya tanpa berpikir panjang, tetapi berhasil menahan diri pada saat
yang tepat. Mahiru mungkin tidak menyadari apa yang dikatakannya, dan itu hanya
membuatnya terlihat semakin menggemaskan. Tentunya, jika Amane mengatakan apa
yang dipikirkannya, pipi Mahiru pasti akan langsung memerah.
Memutuskan untuk tidak
mengatakan apapun untuk saat ini, karena itu bisa membuatnya jadi membeku kaget,
Amane menelan dorongan tersebut dan hanya tersenyum pada Mahiru, yang seperti
biasa tersenyum dengan anggun, terlihat sangat senang mempercayakan segalanya
padanya.
“Kamu pasti juga lapar, Mahiru.
Bagaimana kalau kita makan malam dulu?”
“Tentu, kalau begitu aku akan
menyiapkan makan malam kita. Aku membuatkanmu dashimaki tamago sebagai hadiah
karena telah bekerja keras di hari pertamamu di pekerjaan barumu.”
“Luar biasa! Itu adalah salah
satu hadiah yang manis.”
Ketika Amane pulang ke rumah,
kamar mandi dan makan malam sudah disiapkan, dan bahkan hidangan favoritnya pun
sudah disiapkan. Amane benar-benar menjalani kehidupan yang penuh kebahagaiaan.
“Fufu. Kamu mudah sekali merasa
senang, bukan?”
“Karena itu salah satu makanan
favoritku. Rasanya selalu begitu lezat dan kamu membuatnya sesuai dengan
seleraku, ditambah lagi ada bonus tambahan karena disiapkan olehmu, Mahiru.
Tentu saja aku sangat menghargai kerja kerasmu. Terima kasih seperti
biasa."
Pertama-tama, ini bukan masalah
mudah merasa senang. Amane tahu betul bahwa butuh usaha keras bagi Mahiru untuk
membuatnya secara khusus untuknya, dan fakta bahwa ia membuatkan sesuatu
untuknya saja sudah lebih dari cukup.
Di atas semua itu, rasanya
sangat lezat, membuatnya menjadi hadiah yang sangat mewah.
Amane sangat bersyukur karena
pacarnya tidak hanya memasak untuknya setiap hari, tetapi juga mempertimbangkan
kesukaannya. Dirinya diingatkan sekali lagi bahwa Mahiru merupakan pasangan
yang benar-benar tak ternilai.
(Aku
harus membalasnya atas pengabdiannya...)
Amane mencuci tangannya dan
menuju ruang tamu, tetapi tiba-tiba, Mahiru menempel di punggungnya.
Ia mencoba berbalik untuk melihat
ekspresinya, tetapi karena Mahiru menekan wajahnya dengan kuat ke punggungnya,
upayanya jadi sia-sia. Yang bisa Amane ketahui hanyalah bahwa Mahiru terlihat
malu.
Saat Mahiru mengusap dahinya ke
arahnya, dia memeluknya erat-erat, meremas perutnya.
(...
Astaga, untung saja aku sudah berolahraga.)
Amane tertawa kecil, dan Mahiru
sepertinya menyadari hal ini melalui nafasnya dan guncangan perutnya, jadi dia
menampar perutnya.
“... Aku menghargai bahwa kamu
berterima kasih, tapi serangan mendadak itu terlarang,” ucap Mahiru.
“Jadi jika aku memberitahumu
terlebih dahulu, bisakah aku menghujanimu dengan pujian?” Amane menggoda. “Apa
itu masih dalam batasan?”
“I-Itu akan mengganggu dengan caranya
sendiri”" Mahiru berpisah darinya saat ia mengatakan itu. “... Suatu hari
nanti, aku akan membalikkan keadaan,” ucapnya dengan gembar-gembor dan bergegas
pergi ke dapur dengan raut wajah penuh tekad.
(Heh,
sungguh cara yang berani untuk keluar dari masalah ini...)
Amane diam-diam tertawa kecil
pada pelariannya yang berani dan kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian.
✧ ✦ ✧
"Ngomong-ngomong,
bagaimana pekerjaan paruh waktumu?"
Saat mereka menyantap makan
malam, yang tampaknya telah dipersiapkan dengan hati-hati sesuai dengan masakan
Jepang, Mahiru bertanya dengan ekspresi yang sedikit gelisah, seolah-olah dia
merasa khawatir.
Meskipun dia berusaha untuk
tidak terlalu mencampuri keputusan Amane, dia tampak khawatir karena hari ini
merupakan hari pertama Amane bekerja.
“Mm, tidak ada masalah.
Maksudku, aku tidak diberi tanggung jawab besar di hari pertama. Para senior
juga tampak seperti orang-orang yang baik, dan menurutku itu tempat yang baik
untuk bekerja.”
“Ap iya...? Aku turut senang mendengarnya.
Syukurlah jika itu tempat yang nyaman untuk bekerja. Aku akan khawatir jika itu
adalah semacam tempat kerja rodi...”
“Kido merekomendasikannya,
ditambah lagi Kayano bekerja di sana dan dia tidak pernah mengeluh, jadi kurasa
kita tidak perlu mengkhawatirkan hal itu.”
Pada awalnya, Fumika adalah
orang yang menjalankan bisnis ini. Sebagai kerabatnya, Ayaka akan dengan cepat
menyadari adanya masalah, dan dia tidak akan membiarkan Souji bekerja di sana
jika dia mengetahui adanya praktik yang buruk. Oleh karena itu, Amane memulai
pekerjaan paruh waktu dengan perasaan tenang.
Meskipun Ayaka baru saja mulai
berbicara dengannya, Amane menganggap Ayaka sebagai gadis yang baik hati,
terlepas dari kebiasaannya yang suka mengajari Mahiru tentang hobi dan
kesukaannya yang aneh itu.
Adapun pemiliknya, Fumika,
adalah seorang wanita yang sangat baik dan rendah hati (menurut Souji) selama orang-orang di sekelilingnya tidak melakukan
atau mengatakan apa pun yang dapat menyulut semangat kreatifnya. Seharusnya
tidak ada masalah dalam bekerja di sana.
“Kamu tidak perlu khawatir,
Mahiru. Sepertinya semuanya akan berjalan lancar. Dan mereka bersedia menyesuaikan
jam kerjaku agar sesuai dengan jadwalku,” lanjutnya.
“... Syukurlah. Aku puas selama
kamu termotivasi untuk melakukan yang terbaik, Amane-kun. Aku hanya bisa
mengawasi dan mendukungmu.”
“Itu saja sudah lebih dari
cukup bagiku. Bisa pulang ke rumah dengan makanan yang lezat dan mandi air
hangat saja sudah membuatku bahagia. Terima kasih, seperti biasa,” Amane
mengucapkan terima kasih sekali lagi, merasa bersyukur dan beruntung bisa
menerima dukungan seperti itu.
“... Untuk bisa melihat
bagaimana kamu bekerja secepatnya, Amane-kun, aku akan membantu dengan cara
sekecil apapun yang aku bisa.”
“... Memangnya itu benar-benar
sesuatu yang sangat ingin kamu lihat?”
Amane menanggapi motif
tersembunyinya dengan nada yang sedikit tidak percaya, dan Mahiru mengangguk
dengan tegas.
“Wajar kalau aku ingin melihat
penampilan pacarku saat dia bekerja. Dan mengingat seragam yang Kido-san
tunjukkan padaku ketika berbicara tentang Kayano-san, sepertinya itu juga cocok
untukmu, Amane-kun...”
“Menurutmu begitu...?”
“Asal kamu tahu saja, aku tidak
sabar untuk melihatnya, oke?”
“Tapi itu memalukan bagiku. Aku
belum siap untuk dilihat orang lain...”
Bukannya ia tidak menyukai ide
itu sepenuhnya, tapi menunjukkan sisi lain dari dirinya yang berbeda dari biasanya
pada Mahiru membuatnya merasa sangat malu.
Walau begitu, dari sudut
pandang Mahiru, hal itu justru menambah daya tariknya. “Kesenjangan itu
membuatnya lebih baik,” atau begitulah katanya, terlihat bersemangat untuk
melihat sisi lain dari diri Amane yang biasanya tidak dia lihat, jadi saat ini
ia sedang memainkan permainan menunggu.
“... Meskipun jika kamu
benar-benar tidak menyukai ide itu, aku bisa menerima keputusanmu,” katanya.
“Bukannya aku tidak
menyukainya, tapi... Apa melihat senyumku yang melayani pelanggan benar-benar terlihat
menarik?”
“Karena itu sesuatu yang
biasanya tidak pernah kamu lakukan, jadi aku ingin melihatnya lagi, Amane-kun.”
“Aku akan melakukannya sebanyak
yang kamu inginkan jika kamu benar-benar ingin melihatnya, Mahiru...”
“... Itu tidak masuk hitungan.
Itu tetaplah senyuman yang diperuntukkan untukku, jadi itu tidak sama.”
Ketika Mahiru mengatakan itu, Amane
menyadari kalau perkataannya tepat sasaran. Amane tidak bisa menyangkal telah
memberikan perlakuan khusus pada Mahiru, dan ia memiliki kepercayaan diri untuk
memberikan senyuman yang ditujukan hanya untuknya.
“Selain itu, Amane-kun, aku
hanya ingin melihatmu yang sedang bekerja keras.”
“... Aku akan melakukan yang
terbaik untuk membiasakan diri sesegera mungkin,” ucapnya.
Usai mendengar hal itu, Amane tidak
punya pilihan lain selain berusaha lebih keras lagi. Jika kekasih tercintanya
ingin melihatnya bekerja sebagai karyawan penuh, ia akan berusaha sekuat
tenaga.
Belum lagi, semakin cepat ia
terbiasa, semakin banyak keuntungan yang diperoleh toko, dan dengan begitu,
Amane bisa lebih percaya diri.
Aku
sungguh cowok yang gampangan karena langsung begitu bersemangat hanya dengan
satu atau dua kata dari Mahiru, Amane mengejek dirinya
sendiri, tetapi kilauan kecil di matanya dan senyum penuh harap meluluhkan
kritik yang dilontarkannya secara sadar.