Bab 5 — 31 Juli (Sabtu) Asamura Yuuta
Pagi hari pada acara berkemah.
Sekitaran jam 5 pagi, Akiko-san
pulang kerja tepat ketika kami hendak meninggalkan rumah.
“Hati-hati di luar sana ya,
Yuuta-kun. Saki juga.”
Meskipun dia pasti lelah, dia
masih berusaha mengantarkan kami.
Ngomong-ngomong, ayahku masih
terlelap di balik selimut. Ketika mereka pergi berbulan madu (atau perjalanan pernikahan kembali), ia
sangat khawatir karena sudah meninggalkan kami sendirian di rumah, tapi kali ini
ia jauh lebih santai. Haruskah aku menganggapnya kalau tingkat kepercayaannya
kepada kami meningkat seiring berjalannya waktu?
Kami meninggalkan rumah setelah
memberitahu Akiko-san bahwa kami akan pergi.
Ketika aku melewati pintu masuk
dan keluar dari gedung apartemen, langit di atas tamoak berwarna putih. Di
sebelah barat, ada sedikit warna malam yang masih tersisa.
Kami menuju stasiun Shibuya.
Kami akan dijemput dengan mobil yang dikemudikan oleh Yomiuri-senpai di jalan
samping toko buku tempatku bekerja paruh waktu.
Pada jam 6 pagi, area depan
Stasiun Shibuya masih terlihat sepi, tanpa ada keramaian orang yang biasa aku
lihat.
Kami menyeberangi persimpangan
jalan dan berbelok ke salah satu sisi jalan.
Kira-kira ada di sebelah mana
mobil Yomiuri-senpai...
“Bukannya yang itu? Lihat, dia
bahkan melambaikan tangan.”
Mobil yang ditunjuk Ayase-san
diparkir menghadap ke sisi jalan di depannya. Mobil itu berwarna merah terang,
dengan banyak barang bawaan di belakangnya. Aku melihat wajah familiar di sisi
lain kaca depan. Dia adalah seorang wanita cantik berambut hitam yang terlihat
seperti boneka gaya Jepang—— Yomiuri Shiori-senpai.
Kozono-san juga sepertinya
sudah duduk di kursi belakangnya.
Dia sudah mengajak beberapa pekerja
paruh waktu lainnya, tapi pada akhirnya, hanya kami berempat yang bisa datang.
Sebagian besar mahasiswa yang sedang berlibur musim panas sudah mengisi jadwal
mereka dengan berbagai festival dan jalan-jalan, dan para pekerja paruh waktu
veteran menolak begitu saja, dengan alasan bahwa mereka tidak dapat mengimbangi
stamina fisik para anak-anak muda. Ada beberapa orang yang tampak tertarik,
namun karena adanya pergeseran shift, mereka enggan hadir, dan hanya kami yang
merencanakannya sejak awal lah yang bisa hadir.
Yomiuri-senpai membuka jendela
dan menyapa kami dengan, “Selamat pagi.”
"Kouhai-kun, kamu duduk di
depan, kalau Saki-chan di belakang, ya.”
Ayase-san sedikit tersentak sambil
berkata “Eh?” ketika mendengar
perkataan Yomiuri-senpai. Hmm? Apa dia tidak menyukainya? Namun, ekspresi
Ayase-san menghilang dalam sekejap, dan aku penasaran kalau itu hanya
imajinasiku saja. Dia dengan mudahnya naik ke kursi belakang.
Sambil sedikit memiringkan
kepalaku, aku melakukan apa yang diperintahkan dan duduk di kursi depan di
samping pengemudi.
Kozono-san kemudian berkata dari
arah belakangku, “Eh, Yomiuri-senpai,
bukannya kamu mencoba memonopoli Asamura-senpai?” Tapi padahal tidak ada
untungnya jika dia memonopoliku. Tidak, ini mungkin terasa seperti mainan yang
tidak membuatmu mengantuk.
Yomiuri-senpai dengan santainya
membuat alasan.
“Habisnya, jika kalian bertiga
duduk di kursi belakang, Asamura-kun akan berada dalam situasi harem yang
sempit, kan? Onee-san tidak akan menyetujui situasi yang membuat iri seperti
itu.”
“Memangnya Senpai merasa iri
dengan itu?”
Pada kenyataannya, kupikir
melakukan perjalanan jarak jauh dalam keadaan terjepit merupakan situasi yang
membuat siapapun tidak nyaman.
Selain itu, gambaran bahwa
seorang pria menikmati berdekatan dengan seorang wanita hanya terjadi dalam
cerita. Hal itu terjadi karena ada jaminan bahwa sang tokoh utama tidak akan
dibenci meskipun berada dalam situasi seperti itu, namun pada kenyataannya
tidak semudah itu.
Tapi yah, tentu saja, jika
pasangannya hanya sebatas dengan Ayase-san dan ditambah lagi kami sudah
berpacaran, jadi ceritanya mungkin bisa berbeda lagi, tapi….
“Sepertinya kamu lagi-lagi
memikirkan sesuatu yang rumit tanpa alasan, Kouhai-kun.”
“….Kupikir kamu saja yang
terlalu santai, Senpai.”
“Kurasa kamu tidak memiliki
banyak rasa hormatmu pada sopir.”
“Hehe. Sesuai seperti kata tuan
penguasa saja deh.”
Rasanya tidak enak juga kalau
dia mengemudikannya dengan kasar.
“Umu. Tak ada masalah.”
Setelah mengatakan hal ini
dengan nada sok, yang punya kuasa, atau Yomiuri Senpai, menyalakan mobil.
Kozono-san yang duduk di kursi
belakang tertawa kecil.
Aku tidak pernah menyangka
kalau kami akan melakukan lawakan komedi di pagi-pagi begini, tapi mau
bagaimana lagi. Satu-satunya di antara kami yang bisa mengemudi hanyalah
Yomiuri-senpai. Meskipun aku menjadi bahan tertawaan, jika senpai bisa
mengemudi dengan nyaman, sedikit ejekan pun bisa diterima.
“Asamura-kun, kepolosanmu yang
kayak cowok perjaka itu memang terasa menyegarkan seperti biasanya... itu bagus
ya!”
Hahhhh.
“Ke-Kenapa kamu bisa dengan
entengnya melakukan candaan jorok begitu! Itu sangat berbeda saat kita bekerja
paruh waktu tau!”
Sebagian besar penumpang di
dalam mobil adalah wanita. Tolong jangan langsung melontarkan candaan semacam
itu di pagi hari.
Selama dia tetap diam, dia akan
menjadi gadis camtik ideal yang ramah, sopan, dan anggun yang pandai melayani
pelanggan dan diterima dengan baik oleh pelanggan tetap. Tapi, mengapa ketika dia
bersama orang yang dekat dengannya, sosok pria tua kecil di dalam hatinya
muncul begitu saja.
“Ternyata Yomiuri-senpai tuh bisa
mengatakan hal seperti itu, ya.”
Kozono-san berkata demikian
dengan nada kagum. Tolong jangan menirunya.
“Bukan hanya itu saja loh. Aku
juga bisa mengatakan ini dan itu—”
“Kamu tidak perlu mengatakannya
juga kali.”
“Hehe. Kouhai-kun, kamu tidak
perlu menjadi pria sopan hanya karena ada banyak gadis, loh? Bertingkah sok
keren juga tidak terlalu buruk sih. Itu hak istimewa anak muda, kan? Namun,
seiring bertambahnya usia, semua orang akan menjadi pria paruh baya.”
“Bukan pria paruh baya, kalau perempuan
akan menjadi bibi tua—”
“Kasar banget sih! Mengatakan
gadis sebagai bibi tua!”
“Ah… maafkan aku. Aku akan
minta maaf untuk itu…”
Percuma saja, jika aku membalas
sedikit saja, dia akan melawannya sampai tiga kali lipat.
“Secara umum, di dalam mobil,
perbandingan pria dan wanita adalah 1:3, jadi hampir semua adalah wanita. Apa
salahnya membuat lelucon sedikit yang agak cabul!”
“Tolong jangan mengatakan 75%
sbagai hampir semuanya. Masih ada seperempat pria di dalamnya. Senpai, apa kamu
akan tetap bersikeras menyebut beberapa sebagai 'sebagian' jika jumlahnya kurang dari 10?”
Meskipun aku tidak menyebut nama, tapi
itu tentang Yoshida. Meski ia sendirian telah hampir menghabiskan sepuluh
manju dalam kemasan yang dia bawa, Maru marah besar kepadanya karena ia
bersikeras hanya memakannya beberapa saja.
"Baiklah, baiklah. Jangan
terlalu mempedulikan hal-hal kecil. Para siswa yang akan mengikuti ujian juga
butuh istirahat. Mari kita lupakan semua hal buruk hari ini dan
bersenang-senang!”
“Yahoooo~~!”
Orang yang langsung menjawab
dengan cepat adalah Kozono-san, seorang siswa kelas satu yang baru saja selesai
ujian.
“Ya, hari ini mari kita lupakan
soal ujian.”
“Bener banget. Santai saja.
Jika terus merenungkan hal-hal buruk, kebahagiaanmu akan melarikan diri, tau.”
Setelah Yomiuri-senpai
mengatakan itu, aku menghela nafas sambil bersandar di kursi penumpang.
Memang benar juga.
Hanya dengan alasan pasif untuk
membuat kenangan dengan senior yang sudah memberikan banyak bantuan, sayang
sekali jika kami mengakhiri perjalanan hari ini begitu saja.
──Aku
harus lebih menikmati acara berkemah ini.
Meskipun ini bukan hanya kami
berdua, tapi juga perjalanan singkat bersama kekasihku.
Menatap langit musim panas yang
biru dan awan putih di balik kaca depan, aku menarik napas dalam-dalam lagi.
Berusaha menyantaikan bahuku.
Mobil berangsur-angsur menjauh
dari stasiun Shibuya.
◇◇◇◇
Ada sebuah tempat terbuka di
pegunungan yang tampak seperti telah ditebang dari pepohonan. Ini adalah tempat
perkemahan di Nasu Shiobara di mana kami mendaftar untuk berkemah sehari.
Setelah memarkir mobil di
tempat parkir, hal pertama yang harus dilakukan adalah pergi ke meja
resepsionis untuk menyelesaikan proses pendaftaran.
Setelah memastikan ketersediaan
barang-barang yang bisa dipinjam, seperti pemanggang barbeque, bahan bakar, penjepit,
pisau, dan talenan, kami memutuskan untuk menurunkan barang bawaan dari mobil.
Tempat yang dipesan terletak
tidak jauh dari tempat mobil diparkir.
Sepertinya itu hanya area di
tanah yang dipisahkan oleh tali, dan kamu bisa menggunakannya selama masih
dalam jangkauan area berpagar tersebut.
“Saat bergerak, jangan memasuki
area lain meskipun saat itu sedang tidak ada penghuninya. Hati-hati.”
Yomiuri-senpai memberitahu
kami, dan kami pun mengangguk paham.
Kami membentangkan selembar
kain dan menurunkan semua barang bawaan di dalam mobil ke atasnya.
“Ah, ini adalah hari yang cerah
dan indah untuk berkemah.”
Yomiuri-senpai melihat ke
langit dan berkata demikian.
Kami juga ikut terpengaruh
dalam momen itu dan mendongak ke atas.
Langit di atas kepalaku
berwarna biru, dengan dua atau tigapasang awan musim panas melayang-layang di
udara. Udaranya terasa segar. Angin sepoi-sepoi yang sesekali berhembus terasa menyenangkan.
Aku merasa berada di pegunungan.
Aku menarik napas dalam-dalam.
“Oke, baiklah, mari kita mulai
dengan memasang terpalnya.”
Sebuah kain besar berwarna
coklat dibentangkan di atas rumput.
“Jadi ini yang namanya terpal.
Kamu memasangnya di atas kepalamu dan menggunakannya sebagai atap atau tempat
berlindung. Kita harus memasang tiang dan menariknya ke bawah dengan tali.”
“Ukurannya cukup besar, ya.”
Kira-kira ukurannya sekitar 4
meter di setiap sisi? Ukurannya hampir setara dengan sekitar 8 tikar tatami.
Itu berarti ukurannya hampir sama dengan luas kamarku.
“Sinar mataharinya cukup terik,
jadi ayo kita langsung pasang saja. Aku sudah mengirimi kalian video yang
menjelaskan cara memasangnya, apa kalian sudah melihatnya?”
Semua orang menanggapi dengan mengangguk.
“Yah, aku akan memberikan
instruksi yang lebih spesifik, jadi ayo cepat memasangnya.”
Sambil mengikuti instruksi
Yomiuri-senpai, entah bagaimana aku berhasil menyelesaikan pemasangan pasak.
Aku sedikit takut ketika aku memukul pasak palu kecil karena khawatir kalau
tanganku akan jadi salah sasaran.
Di bawah terpal, yang
dibentangkan untuk menyembunyikan langit biru, kami beristirahat di kursi mini
yang kami bawa masing-masing. Seraya mendengarkan angin yang bercampur dengan
gemerisik dedaunan, waktu berlalu tanpa terasa. Tanpa kusadari, hari sudah
hampir tengah hari.
“Kalau begitu aku akan meminjam
beberapa alat barbekyu dulu.”
Aku mengatakan demikian sambil
bangkit dari kursi mini, dan Yomiuri-senpai pun menyetujuinya.
“Daging! Semuanya, kita akan
makan daging!”
“Horee!”
Kozono-san terlihat senang.
◇◇◇◇
Saat para gadis sedang
menyiapkan makanan, aku bertugas menyalakan panggangan.
“Ah, Kouhai-kun. Ini, ini.”
“Iya?”
“Bahan bakar dan pemantik untuk
menyalakan api. Seperti biasa, kamu bisa menonton video referensi untuk melihat
cara menyalakan api, dan aku yakin kalau kamu bisa melakukannya. Jika ada
sesuatu yang kurang paham, jangan ragu-ragu untuk bertanya .Yah, aku akan
mengawasimu dari sini.”
Meja sederhana untuk memasak
ada di belakang punggungku, menghadap panggangan. Aku tidak bisa melihatmerekau
bekerja, tapi pekerjaanku terlihat sepenuhnya oleh mereka.
“Dan juga, ini sarung tangan.
Ini sarung tangan bekas sih, jadi jangan khawatir dan gunakanlah.”
“Terima kasih banyak.”
Aku mengenakan sarung tangan
dan mulai menyalakan api seperti yang diinstruksikan, meskipun aku pikir aku
memahaminya dengan menonton video, tapi mempraktikkannya adalah cerita yang
berbeda. Menurutku, dibutuhkan waktu dua kali lebih lama dari yang diharapkan
agar arangnya bisa terbakar dengan baik.
Sungguh melegakan bahwa mereka
bukan tipe orang yang suka marah-marah ketika tugasku sedikit melambat.
Jika dibandingkan dengan
kecerobohanku, Ayase-san yang bertanggung jawab atas masakan memang patut
diacungi jempol. Dia selalu berdiri di dapur setiap hari. Meskipun hanya
melihat sekilas dari sudut pandang, dia sangat cekatan dan tanpa kebimbangan.
Yomiuri-senpai dan Kozono-san juga berdecak kagum
“Saki-chan, kamu pandai dalam
menggunakan pisau ya.”
“Yah... aku hanya sering
menggunakannya.”
“Kalau tidak salah kamu sering
memasak di rumah? Jadi, bekal yang selalu kamu bawa itu juga kamu sendiri yang
membuatnya?”
“Eh?”
Ketegangan tidak hanya
dirasakan olehku, tapi sepertinya juga dirasakan oleh Ayase-san. Sambil
bertanya-tanya bagaimana dia akan menjawabnya, detak jantungku semakin cepat.
“Yah, kadang-kadang, tapi
keluargaku juga membuatkannya untukku.”
“Oh, muncul juga.”
“Hmm? Ada apaan, Erina-chan.”
“Ketika aku bertanya
sebelumnya, Ayase-senpai juga mengatakan hal yang sama. 'Keluargaku membuatkannya untukku.' Aku merasa itu cara bicara yang
unik. Saat itu Asamura-senpai juga mengatakan hal yang sama... mungkin ini
merupakan tren di antara kalian berdua, ya?”
“Hoho~, begitu ya, jadi begitu
rupanya. Ya, ini sungguh temuan yang sangat menarik, Watson-kun.”
“Watson? Siapa itu?”
“Bukan apa-apa. Aku hanya asal
mengoceh saja.”
Kozono-san yang bukan penggemar Sherlock menoleh dengan heran saat
bertanya, tetapi Yomiuri-senpai tidak memberikan jawaban. Yomiuri
Holmes-senpai, yang mengetahui bahwa aku dan Ayase-san adalah saudara tiri,
seharusnya bisa menebak makna dari pernyataan 'dibuat oleh keluarga.'
“Haa. Ehm, jadi, karena ibuku
yang membuat untukku. Aku hanya berpikir apakah Ayase-senpai berbeda.”
“Yah, mungkin ada keluarga di
mana semua anggota keluarga bertukar tugas dalam memasak.”
“Ah, begitu ya. Jadi begitu
maksudnya?”
“Ya, kurang lebih begitu.”
Ayase-san tidak menjawab lebih
lanjut.
“Yah, aku mengerti kalau Saki-chan
pandai memasak. Dan kurasa sayurannya juga sudah cukup. Ayo, Erina-chan, potong
daging yang ini!”
“Eh, ah, ya. Dagingnya besar
sekali, ya.”
Kozono-san sepertinya tidak
pernah memasak di rumah, dan cara memegang pisaunya sangat berbahaya.
Dia tampak kesulitan saat
menangani gumpalan daging.
Kita cenderung menganggap
memotong daging itu mudah, namun jika ketebalannya tidak merata, maka
kematangan dagingnya juga tidak merata, dan memotong seratnya akan membuatnya
lebih empuk dan mudah dimakan. Ada berbagai hal yang perlu diperhatikan. Aku
tidak mengetahui semua ini sampai aku mulai memasak sendiri.
Dia dibimbing oleh Yomiuri Senpai
di setiap langkah, dan terlihat sedikit panik.
Ketika aku melirik ke samping,
aku melihat dia dengan paksa menekan pisau ke atas talenan, hampir menjatuhkan dua
potong daging dari papan talenan.
Ayase-san, yang tidak tega
melihatnya, mengajarinya cara menggunakan pisau di sepanjang jalan.
Meski begitu, dengan ciri
khasnya yang berpikiran tunggal, dia terus berjuang mengiris daging walaupun
dengan keadaan sedikit panik.
“Sudah selesai!”
Ayase-san, yang meliriknya dari
samping, menghela nafas lega.
“Ya, ya. Bagus. Kalau begitu,
selanjutnya potong daging ini, ya.”
Kozono-san menyipitkan matanya
saat Yomiuri-senpai menepuk kepalanya.
“Ayase-san, kurasa sekarang
sudah waktunya untuk mulai memanggang.”
“Ah, iya.”
Ayase-san meletakkan sayuran di
piring kertas dan membawanya ke arah panggangan.
Sambil menunjukkan piringnya,
dia lalu berkata.
“Lebih baik memanggang bahan makanan
yang paling lama dimasak terlebih dahulu, seperti bawang bombay dan jamur
shiitake. Paprika hijau dan terong bisa matang dengan cepat, jadi kita bisa
memanggang itu di urutan terakhir.”
“Bagaimana dengan jagung? Aku
selalu mengira kalau jagung akan memakan waktu cukup lama.”
“Kupikir jagung akan lebih
cepat matang jika kamu mengarahkan permukaannya ke arah api. Jika kamu
menggunakan tongkol sebagai porosnya, maka itu akan memakan waktu yang cukup
lama.”
Menggunakan tongkol sebagai
poros...maksudnya menempatkan jagung seperti menara dan memanggangnya.
Aku tidak sempat kepikiran
tentang hal itu.
Menurut Ayase-san, bawang
bombay membutuhkan waktu lebih lama untuk dipanggang, sedangkan jagung lebih
merepotkan untuk dipanggang.
“Jagung harus sering digulung-gulung
untuk menghindari kematangan yang tidak merata, jadi itu mungkin memakan banyak
waktu. Selain itu, berhati-hatilah karena jagung akan menggelinding.”
“Oke.”
Saat aku mengatakan ini, aku
menaruhnya di atas panggangan dan hampir saja membuatnya menggelinding. Aku
buru-buru menahannya dengan penjepit, tapi Ayase-san menatapku dengan
tercengang.
“Dibilangin juga apa.”
“Maaf, maaf.”
Sambil meminta maaf, aku mulai
menata sayuran di atas panggangan.
“Selain itu, aku juga sudah menyiapkan
beberapa sayuran yang bisa langsung kamu makan.”
Ketika melihat ke arah tempat
yang dilihat oleh Ayase-san, aku bisa melihat wortel, mentimun, dan paprika
yang dipotong rapi seperti stik di ujung meja kecil.
“Kupikir kamu mungkin ingin
sesuatu yang segar-segar.”
“Terima kasih. Tapi, ini
dipotong begitu rapi, ya.”
Bawang bombay yang dipotong
bebentuk cincin utuh saat ditusukkan dengan tusuk sate, dan terong dipotong
dengan ketebalan yang sama.
“Benarkah? Kupikir itu biasa
saja.”
“Tidak, tidak. Menurutku, ini
sudah mencapai tingkat yang bisa membuatmu patut mendapat elusan kepala.”
Sambil mengingat interaksi
sebelumnya antara Kozono-san dan Yomiuri-senpai, aku mengatakan hal tersebut
dengan suara pelan, dan Ayase-san menjawab dengan berbisik, “Baka”.
“Ada apa dengan kepala?”
Ketika mendengar suara Senpai
Yomiuri, kami berdua tersentak dan meringkuk sesaat.
Tolong jangan berdiri di
belakangku tanpa suara.
“Eh? Apa maksudmu?”
“Bukannya apa-apa. Kami datang
untuk memanggang daging, tapi sepertinya sulit untuk bergabung karena kalian
berdua sedang asyik berdua ngobrol.”
“Tidak, tidak. Apa sih yang
senpai bicarakan?”
“Aku hanya mengajarinya cara
memanggang sayuran.”
Sambil berkata demikian,
Ayase-san menjauh dariku dan bergerak ke sisi yang berlawanan.
Yomiuri-senpai berada di
sebelah kananku, sementara Kozono-san datang ke sisi kiriku, sehingga aku
dikelilingi oleh mereka. Dengan jumlah orang seperti ini, rasanya sedikit
sesak.
Yomiuri-senpai berkata sambil
memberiku sepiring daging di atasnya.
“Yah, terserah saja sih.
Semuanya jadi sepele jika dibandingkan dengan daging!”
“Benar!”
“Ayo, mari kita memanggangnya!”
“Ya~~!”
Suara lantang Kozono-san
digaungkan oleh ucapan “oh” kecil dari Ayase-san.
Kamu tidak perlu memaksakan
diri untuk menyelaraskannya juga kali?
Aku begitu tenggelam dengan
tugas memanggang daging di piring ketika aku mendengar panggilan cinta yang
penuh gairah untuk daging datang dari kedua sisi.
Memanggang. Makan. Memanggang.
Makan. Daging. Sayuran. daging. Sayuran. Lebih banyak daging!
Entah kenapa, ini rasanya berbeda
dengan barbekyu yang aku tahu.
Memangnya kita harus memakan
sebanyak ini, ya?
“Tapi ini… rasanya memang enak
sih, tapi rasanya jadi membuatku ingin memakannya sambil ditemani nasi.”
“Aku tidak membawa penanak
nasi, sih. Jika aku punya mobil listrik yang bertenaga, aku bisa menggunakan penanak
nasi untuk menanak nasi. Yah, kurasa aku hanya akan makan satu kali, jadi
kurasa tidak masalah.”
“Rasanya akan sangat berguna
jika sampai memasak makanan juga. Atau lebih tepatnya, bukankah kita tidak
memerlukan tenda juga?”
“Kamu bisa merasa aman meskipun
pergi ke Isekai!”
Tidak, itu takkan berfungsi karena
tidak ada stasiun pengisian ulang baterai, bukan? Atau lebih tepatnya, rasanya
terlalu curang untuk membawa mobil listrik ke dunia lain.
“Kalau mau nasi, aku
membawanya, kok.” ucap Ayase-san.
Ehh? Kami
bertiga memandang ke arah Ayase-san secara bersamaan.
“Aku menduga kalau hal seperti
ini mungkin terjadi, jadi aku membawanya.”
Apa yang Ayase-san keluarkan
dari kotak makan siangnya adalah kotak bentonya yang biasa. Ketika dia membuka
tutupnya, di dalamnya terdapat bola-bola nasi yang bahkan tidak dibungkus
dengan rumput laut. Ketika aku menerima kotak yang disodorkan olehnya, ternyata
kotaknya masih dingin.
“Sejak kapan kamu menyiapkan
ini?”
Aku tanpa sengaja mengatakan
itu, dan kalimat yang tidak wajar itu membuatku panik. Kata-kata tersebut
seakan menunjukkan bahwa aku bisa mengetahui tentang persiapan perkemahan
Ayase-san.
Akan tetapi, baik
Yomiuri-senpai dan Kozono-san begitu terpaku dengan jejeran bola nasi di depan
mereka sehingga mereka sepertinya mengabaikan kalimat ceroboh yang aku ucapkan.
“Aku hanya membuatnya tanpa
menambahkan isian apa pun ke dalamnya. Oh, aku takut rusak di musim panas, jadi
aku membuatnya dengan sedikit garam. Aku membekukannya dan membawanya begitu
saja. Aku baru saja mengeluarkannya dari kotak pendingin.”
“Oh~. Begitu, sekarang kita
bisa membuat nasi kepal bakar.”
Ketika Yomiuri-senpai
mengatakan ini, Ayase-san mengangguk setuju.
Jumlahnya pas ada 4. Artinya,
satu per orang. Ayase-san biasanya menggulung semangkuk penuh bola nasi, jadi
mungkin itu adalah jumlah yang tepat untuk hidangan penutup.
“Baiklah, ayo kita selesaikan
dengan tambahan nasi. Ah, aku mau menambahkan sedikit kecap asin di atasnya.”
“Aku juga! Aku juga mau!”
“Kalau gitu, ayo kita panggang.
Bagaimana denganmu, Asamura-kun? Mau ditambah kecap asin juga?”
Kalimat tersebut diucapkan
karena dia tahu kalau aku membubuhkan kecap asin pada segala hal, tetapi
sepertinya kalimat tersebut tidak terlalu menarik perhatian semua orang.
Aku sekali lagi menyadarinya.
Saat kita menjalani kehidupan sehari-hari bersama orang lain, kita cenderung
melakukan sesuatu tanpa benar-benar menyadarinya.
“Iya, tolong ditambahkan.”
Setelah menambahkan bola nasi
bakar dan memakannya dengan sumpir, acara barbekyu pun berakhir tanpa hambatan.
◇◇◇◇
Setelah istirahat sejenak
karena kekenyangan, Yomiuri-senpai lalu menyatakan.
“Sekarang saatnya untuk memakai
baju renang yang sudah kamu tunggu-tunggu!”
“Aku merasa panik ketika
diminta membawa baju renang sebelum aku berangkat.”
“Kita berkemah di tepi sungai
dengan pemandangan di dekat air terjun, kan? Dan bahkan ada sauna luar ruangan.
Kita akan memakai baju renang dan menikmati semuanya! Atau itulah yang
kurasakan, kalian juga merasakan hal yang sama bukan??”
“Haa.”
Yomiuri-senpai terlihat sangat
bersemangat. Apa dia sangat menantikannya, ya?
“Aku sudah melakukan pemesanan.
Jadi kita punya waktu yang terbatas.”
“Ah, iya.”
“Sekarang, ayo ganti baju
renang dulu!”
Setelah mengangkat tinjunya ke
atas langit, Yomiuri-senpai mendekatiku dan berbisik pelan.
“Kamu pasti sudah
menantikannya, ‘kan? Tentang baju renang.”
“Enggak juga, kok.”
Jika aku mengatakan sesuatu
yang sembrono seperti “ya” di sini,
tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut akan dijadikan lelucon di kemudian
hari. Namun, aku tidak ingin mengeluh. Aku juga sudah menyiapkan pakaian renang
seperti yang diperintahkan.
Oleh karena itu, aku berganti
pakaian di ruang ganti dan pergi ke sauna.
Rupanya tidak ada pemisah
antara pria dan wanita, dan ruang saunanya adalah ruang sauna campuran.
Tempatnya dibangun seperti
bungalo yang diubah. Rupanya tempat ini hanya bisa digunakan setelah melakukan
pemesanan, dan kami dapat menggunakannya selama sekitar satu jam.
Setelah berganti pakaian, aku menunggu
di dalam. Yah, laki-laki biasanya lebih cepat dalam berganti pakaian. Rasanya
seperti aku hanya perlu melepas bajuku saja. Petugas sudah menyalakan kompor di
kamar dan melakukan persiapan. Kompor yang ditempatkan di dalam sangkar besi
adalah konstruksi sederhana dan praktis yang tidak bisa kamu lihat di tempat
lain kecuali kamu tinggal di negara-negara bagian utara. Di atasnya ada banyak
batu di dalam kotak logam. Batu-batu tersebut dipanaskan dengan sangat panas
sehingga siapa pun yang sembarangan menyentuhnya akan terbakar. Cerobong asap
yang menjulur ke atas, bengkok di bagian tengah dan mencuat keluar gubuk.
Setelah menunggu beberapa saat,
tiga gadis akhirnya masuk.
“Panas banget!”
“Tak disangka di dalamnya
luas...”
“Kouhai-kun, terima kasih sudah
menunggu.”
“Oh, iya”
Ekspresi Yomiuri-senpai
mendadak cemberut.
“Kouhai-kun! Reaksi yang begitu
sama sekali tidak bagus.”
“Hah?”
“Itu bukanlah reaksi seorang
anak cowok SMA yang melihat gadis-gadis muda mengenakan baju renang. Itu bukan
‘Ah, iya.’ Kamu akan membungkuk
sambil meneteskan air liur, menatap kami seakan-akan ingin melahap kami, dan
berseru, 'Uhyaaa, ini pemandangan yang
spektakuler!”
Senpai yang satu ini ngomong
apaan sih?
“Aku khawatir dengan senpai
yang bersikeras bahwa itu adalah reaksi standar anak SMA. Selain itu, menurutku
kata-kata tersebut sudah ketinggalan zaman."
“Membungkuk?”
“Kamu tidak perlu menanyakan
hal itu juga, Kozono-san.”
Ayase-san langsung menegurnya.
Kozono-san memiringkan kepalanya dengan bingung.
“Jadi, bagaimana kesanmu,
Kouhai-kun?”
“Biarpun kamu bilang itu hanya
kesan. Haa, baiklah, menurutku kalian semua terlihat bagus.”
Kozono-san mengenakan baju
renang tipe cross halter berwarna
cerah. Seorang model fesyen dapat mengenakannya dengan cara yang seksi, namun
penampilannya justru tetap terlihat sehat dan sesuai dengan usianya. Tentu saja
aku tidak berani mengatakannya secara langsung. Dia juga memakai pareo pendek
dengan bagian bawah yang berjumbai, jadi aku tidak perlu khawatir harus melihat
ke mana. Meski begitu, tipe baju renangnya masih lumayan terbuka, jadi aku
berharap kalau dia tidak melakukan banyak gerakan yang mencolok.
Yomiuri-senpai mengenakan apa
yang disebut bikini. Dia tampaknya mengenakan baju renang yang paling dewasa di
antara ketiganya.
Hal tersebut cukup mengejutkan
mengingat dia biasanya berpakaian sopan dan rapi seperti gadis sastrawan yang
pendiam. Wanita cantik berambut hitam dengan bikini yang berani ini akan sulit
didekati jika dia mengenakan kacamata hitam atau semacamnya. Itu sungguh menakutkan.
Apa jangan-jangan itulah yang dia incar?
“Hmm? Entah kenapa aku merasa
kalau kamu sedang memikirkan sesuatu yang tidak sopan. Dasar orang yang
diam-diam cabul.”
“Enggak, enggak, enggak.”
Karena aku melihat Ayase-san
memilih baju renangnya, jadi itu bukan hal yang tidak terduga.
Itu adalah baju renang yang
terpisah antara atasan dan bawahan, dengan warna biru yang sama seperti tahun
lalu. Atasannya adalah desain yang disebut
one-shoulder, dengan hanya satu bahu yang terbuka. Bahkan dalam kehidupan
sehari-hari, dia terkadang memakai busana yang hanya separuh bahunya terbuka,
dan aku sudah terbiasa melihatnya, jadi aku merasakan rasa lega yang aneh ketika
mengetahui kalau itu sangat menggambarkan Ayase-san. Dia juga mengenakan pareo
di pinggangnya yang juga asimetris di kedua sisinya.
Dia mengalami banyak kesulitan
dalam memilihnya, jadi menurutku itu cocok untuknya.
“Yah, menurutku tidak ada
salahnya.”
“Kurangnya reaksi inilah yang
menyebabkanmu tetap menjadi Kouhai-kun.”
“Asamura-senpai, Asamura-senpai.
Batu apa yang ada di atas kompor ini?”
“Hmm? Beginilah cara
menggunakannya.”
Aku mengambil segayung air yang
disiapkan di dekatnya dan memercikkannya ke batu. Air yang menyentuh batu yang
dipanaskan seketika berubah menjadi uap dan mengepul ke udara.
“Lah, Senpai, kamu menuangkan
terlalu banyak air!”
“Ups. Maaf, maaf. Tak kusangka
kalau jadinya lebih beruap dari yang kukira.”
Ruangan itu langsung dipenuhi
uap putih dan aku jadi sedikit panik.
Menurut Yomiuri-senpai,
tindakan memercikkan air ke atas batu di sauna jenis ini terkadang dilakukan
oleh petugas pengelola. Aku merenung bahwa seharusnya aku tidak boleh
mencobanya dengan sembarangan.
Uap yang terbentuk dengan cepat
menghilang dan jarak pandangku kembali menjadi jelas, tapi panas dan kelembapan
d dalam ruangan itu jadi meningkat secara signifikan.
Aku duduk di kursi yang terbuat
dari papan kayu di kedua sisi ruangan dengan dilapisi handuk yang terbentang
untuk mencegah luka bakar dan panas.
Ketika aku berkeringat sambil mengobrol
santai, aku merasa seolah-olah racun yang ada di dalam tubuhku terkuras bersama
berkeringat. Sauna sering dikatakan memiliki banyak kelebihan dan kekurangan
akhir-akhir ini, tetapi memang benar bahwa sekadar mengeluarkan keringat saja
sudah memberikan pengalaman yang menyegarkan dan terasa menyenangkan.
Tiba-tiba aku melihat ke arah
Ayase-san yang duduk di sampingku. Pada saat itu, butiran-butiran keringat
muncul di tengkuk lehernya dan mulai meluncur dari bahu menuju lengan atasnya.
Rambutnya yang tergerai
dibungkus dan disanggul dengan handuk. Rambut sisanya yang tidak terbungkus,
tertinggal di belakang telinganya yang basah dan lembab karena keringat. Ada
beberapa helai rambutnya menempel di pipinya, dan anehnya itu menarik
perhatianku. Aku merasakan kalau jantungku berdetak lebih cepat.
Kurasa aku pernah merasakan hal
yang sama ketika kami berjalan berdampingan di siang hari. Apa jangan-jangan aku memiliki semacam fetish terhadap keringat?
Aku memikirkan hal-hal konyol seperti itu.
“Hmm?”
Ada
apa?
Ayase-san sepertinya hendak mengatakan hal itu ketika menoleh ke arahku, tapi
aku buru-buru mengalihkan pandanganku.
“Ku-Kurasa aku hampir mencapai
batasku.”
Batas apa yang dimaksud? Tentu
saja yang dimaksud adalah panasnya ruangan sauna. Mari kita anggap seperti itu
saja.
Aku keluar dari pemandian sauna
dengan cepat.
Ada sungai selebar sekitar 4
atau 5 meter yang mengalir di dekat sauna, dan terdapat beberapa kursi di
tepiannya untuk beristirahat. Tampaknya kursi-kursi itu lebih nyaman daripada
kursi mini.
Di sebelah sauna ada pemandian
air dingin, tapi ternyata rutinitas di sini adalah berendam di sungai daripada
mandi air dingin.
Aku berjalan menuju sungai
terlebih dahulu untuk mencari tempat menyejukkan diri.
Dasar sungai yang berkerikil
sedikit mengiritasi telapak kakiku, tetapi itu tidak terlalu menyakitkan
sampai-sampai membuatku kesusahan untuk berjalan.
Arusnya tidak terlalu deras dan
tidak membuat kakiku terangkat dari tanah. Airnya dingin, tapi suhunya cukup
nyaman untuk musim sekarang. Aku menemukan batu besar yang datar dan memutuskan
untuk duduk di atasnya. Aku perlahan-lahan menurunkan tubuhku.
Ketika tubuh menjadi dingin,
kepala kita pun ikut mendingin. Tadi itu berbahaya sekali. Sungguh keterlaluan
jika sesuatu yang tidak senonoh terlintas di dalam pikiranku ketika aku berada
di tempat di mana tidak dimaksudkan untuk melakukan
itu...Kurasa aku harus lebih berhati-hati lagi.
Setelah menghembuskan napas,
aku mendongak ke atas langit dengan linglung. Dorongan lembut arus yang menerpa
tubuhku memberiku sensasi yang tidak bisa kualami jika berada di kamar mandi,
membuatku merasa seolah-olah aku berada di alam bebas.
Setelah beberapa saat,
Ayase-san, Yomiuri-senpai, dan Kozono-san keluar dari pondok sauna.
Yomiuri-senpai berusaha menyalip
dan melompati Ayase-san. Yah, dia berhenti tepat di depan sungai. Dia mengambil
air sungai dan menyiramkannya ke jari-jari kakinya, lalu berteriak.
“Uhyaaa~ dingin banget~!”
Yomiuri-senpai buru-buru
kembali ke darat.
“Yah, karena ini sungai.”
“Kira-kira kapan terakhir aku bermain
di sungai, ya… Rasanya jadi nostalgia banget.”
Sambil berkata demikian,
Yomiuri-senpai mulai membalikkan batu-batu di tepi sungai. Dia senang melihat
serangga kecil yang tadinya bersembunyi di bawahnya dengan cepat keluar dan
berkata, 'Oh, ada, ada'. Kozono-san
mengintip dari balik bahunya dengan gugup.
Jika hanya memotong pemandangan
bagian itu saja, mereka berdua tampak seperti bocah SD.
“Haaa...Panas sekali.”
Ayase-san perlahan-lahan duduk
di sampingku.
“Kerja bagus.”
“Ya. Tadi itu lumayan lelah.”
Sambil mengatakan itu,
Ayase-san dengan lembut mendekatkan dirinya ke arahku.
Dia mendekatiku begitu dekat
sampai-sampai baju renang kami hampir bersentuhan, dan aku khawatir kalau dia
bisa mendengar detak jantungku yang berpacu dengan cepat.
Aku menatapnya sekilas dan
berpikir, ‘bahunya begitu rapuh’. Samar-samar
aku berpikir begitu.
Ayase-san membuka mulutnya
dengan ekspresi sedikit tercengang.
“Ketika aku mencoba untuk
keluar lebih awal, Yomiuri-san mendadak mengatakan sesuatu seperti,’Ini adalah kompetisi ketahanan
sampai-sampai kamu harus memaksakan dirimu~’…. jadi aku tidak bisa langsung
keluar untuk sementara waktu.”
“Haha…”
Apa-apaam dengan acara
kontradiktif itu yang seperti kompetisi ketahanan yang sehat?
Apa itu berarti urutan
keluarnya mereka dari pondok sesuai dengan urutan kekalahan mereka dalam
kompetisi ketahanan? Kozono-san, tak disangka dia lumayan kompetitif juga.
Menurutku Ayase-san juga cukup keras kepala meski dia berpenampilan seperti
itu.
“Aku tidak mau terus menahannya
dan kehilangan waktu yang bisa kita habiskan bersama.”
……Terima
kasih banyak.
Saat aku menikmati kebahagiaan setelah
mendengarnya mengatakan itu, aku mendengar suara kegembiraan Kozono-san dan
mendongak ke arahnya.
“Jika dilihat-lihat lagi dari
dekat, mungkin itu memang kelihatan lucu.”
“Oh~, kalau yang di sini ada
banyak kelabang.”
“Ufufu. Mereka bergerak dengan
cepat!”
Tidak perlu waktu lama bagi
mereka untuk terbiasa, dan mereka berdua sudah berubah menjadi bocah SD. Kozono-san,
apa jangan-jangan dia menyukai serangga? Atau mungkin dia hanya mencoba menyesuaikan
diri dengan Yomiuri-senpai?
“Yomiuri-senpai, tolong
berhenti mengejutkanku dengan membalik batu secara acak.”
“Yah, kalau kamu sedang berada
di alam, kamu harus menikmatinya. Aku belum melihat banyak serangga sejak aku
datang ke sini, jadi aku merasa nostalgia. Lihat, lihat, Kozono-san, ada
kepiting kecil juga, tau.”
“Aku sudah cukup dengan
kepiting kecilnya. Kurasa mungkin aku ingin segera menyejukkan diri dulu——.”
Dia melirik sekilas ke arah kami.
Kemudian dia menghampiri tempat
dimana aku dan Ayase-san duduk.
“Kelihatannya sejuk dan
menyegarkan. Aku juga mau ikuta—”
Sambil mengatakan demikian,
badan Kozono-san bergoyang saat dia menginjak batu di tepi sungai tepat di
depan kami.
“Waahh!”
Sesosok tubuh kecil hendak
jatuh ke sungai tepat di depanku, jadi aku buru-buru berdiri. Aku menangkap
Kozono-san yang hampir terjatuh di hadapanku, dan mencoba menopangnya. Aku
berhasil menahan diri untuk tidak masuk ke dalam posisi berpelukan dengan
memegang pundaknya. Tetap saja, rasanya begitu berbeda dibandingkan memegang
keponakan yang masih SD, kulitnya begitu lembut dan buruk bagi hatiku dalam
cara yang berbeda.
“I-Itu menakutkan!”
“Kamu baik-baik saja?”
Aku langsung menopangnya dan
membantunya untuk duduk. Kozono-san yang masih terlihat panik dengan tangan di
dadanya, berkata dengan suara yang tersendat-sendat, “I-Iya, aku baik-baik saja.”
“Terima kasih, Asamura-senpai.”
“Tidak, itu tidak seberapa…
Hati-hati, tepian sungai biasanya licin.”
“Ya.”
“Tunggu, tunggu. Apa kamu
baik-baik saja!?”
“Iya, aku baik-baik, saja.”
Kozono-san menjawab dengan
senyuman di wajahnya saat Yomiuri-senpai bergegas mendekat dengan ekspresi
khawatir di wajahnya.
“Kozono-san, ini.”
“Ah, handukku. Maaf sudah
merepotkan, Ayase-senpai.”
Ayase-san dengan cepat
mengambil handuk yang hampir hanyut di sungai. Dia tidak sengaja melepaskan
handuk yang dia gunakan di sauna ketika tersandung tadi.
Aku merasa bersyukur karena aku
sudah disibukkan dengan menangkap Kozono-san. Handuknya itu hampir hanyut
begitu saja. Ngomong-ngomong, aku dan Ayase-san berada di atas batu besar di
pinggiran. Ini bukan sumber air panas, melainkan sungai, jadi menaruh kepala di
atas batu dan berendam di dalam sungai terlihat aneh dan tidak masuk akal. Itu
akan menjadi masalah jika terjatuh di tempat seperti ini.
“Terima kasih banyak,
Asamura-senpai. Senpai adalah penyelamat hidupku.”
“Kurasa itu terlalu berlebihan.”
Kalau kebetulan ada orang yang
akan terjatuh tepat di depan kita, aku yakin wajar-wajar saja kalau orang
langsung mengambil tindakan.
Yomiuri-senpai juga mengangguk
dan berkata,
“Yah, aku senang tidak terjadi
apa-apa. Karena ini acara yang menyenangkan, jadi aku ingin mengakhirinya
dengan kesenangan saja. Semuanya, harap lebih berhati-hati, ya.”
“Ya!”
Kozono-san menjawab dengan
riang.
“Senpai juga, oke?”
Aku berkata begitu kepada
Yomiuri-senpai.
Sekalipun kamu menjulurkan
lidahmu dengan imut, aku tidak akan tertipu.
Yomiuri-senpai dan Kozono-san
duduk di atas batu di tepi sungai dan mulai berbicara sambil menenangkan diri
dengan hanya jari kaki mereka yang terendam di sungai.
──Hah?
Dimana Ayase-san?
Kupikir dia sedang berada di
sampingku beberapa waktu yang lalu. Tapi aku tidak bisa menemukannya sekarang.
Dia ada dimana?
Aku membiarkan pandanganku
mengembara sampai ke seberang sungai.
Sedikit lebih jauh, Ayase-san
tiba-tiba memecahkan permukaan air dan melompat keluar. Aku menghela napas lega
ketika mengetahui bahwa dia hanya baru saja pergi menyelam. Aku tidak berpikir
kalau dia terseret arus, tapi karena aku tidak dapat melihatnya, jadi aku
sedikit panik sejenak. Kalau dipikir-pikir lagi, sungainya sendiri tidak cukup
dalam sampai bisa menenggelamkan seseorang jika kita tetap tenang.
Sepertinya dia berenang ke
dalam sungai yang sampai setinggi kepala.
Aku masih melihat dengan cemas
saat Ayase-san kembali menyelam tanpa suara. Setelah mengulanginya beberapa
kali, Ayase-san berdiri seperti semula, mungkin karena menyadari tatapanku, dan
berjalan ke arahku.
“Apa?”
“Ah, enggak...”
“Oii~! Kalian berdua, ayo kembali
ke sauna sekali lagi!”
Karena kami berdua dipanggil, Ayase-san
dan aku tidak punya pilihan selain keluar dari sungai. Sebelum kembali ke
pondok sauna, aku menghentikannya dengan pelan memanggil “Ayase-san”.
“Ehm...begini..”
“Yeah.”
“Tadi itu... itu... karena
keadaan tak terduga. Aku juga tidak menyentuh di tempat yang aneh-aneh."
“Hah?”
“Tidak, jadi itu... itu...”
Kita hidup di zaman yang mana
bantuan dianggap sebagai pelecehan seksual, era dimana kita hidup di era yang
begitu sempit.
Alasan
itu penting—begitulah yang kupikirkan.
“Karena orang yang kusukai
hanyalah Ayase-san.”
Aku berbisik dengan suara yang
hampir tidak terdengar oleh orang-orang di sekitar kami.
Aku mencoba untuk menjadi
sangat serius, tapi ketika Ayase-san melihat wajah seriusku, dia justru tidak
bisa menahan tawanya. Dia kemudian menunjukkan senyum masam.
“Aku sudah tahu meskipun kamu
tidak mengatakannya.”
Aku merasa lega saat mendengar
suara lembutnya.
“Yah, syukurlah kalau memang
begitu.”
“Lebih dari itu, aku merasa
terganggu dengan diriku sendiri yang tidak berguna.”
“Eh?”
Namun, Ayase-san tidak mencoba
menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang dia katakan.
Aku segera pergi ke pondok
sauna. Akibatnya, aku jadi memikirkan kata-kata Ayase-san sepanjang aku berada
di sauna untuk kedua kalinya... Aku bahkan sampai merasa pusing.
Kami kembali ke sungai yang
dingin, dan kali ini aku akhirnya membenamkan diri ke dalam air sampai setinggi
kepala.
Setelah menghabiskan banyak waktu
di sauna dan bermain di sungai, kami semua duduk bersantai sejenak, dan sinar matahari
mulai memudar sedikit demi sedikit.
Setelah melipat terpal dan
bersiap-siap untuk pulang, kami menuju meja resepsionis dengan mengucapkan
“Terima kasih banyak!” dan menyelesaikan formalitas untuk proses check-out. Kami masuk ke mobil Yomiuri-senpai
sambil mengatakan bahwa itu menyenangkan.
Pada saat kami mengucapkan
selamat tinggal pada Nasu Shiobara, matahari mulai menyelinap di langit dan
hampir menempel di tepi pegunungan yang menjulang tinggi di sebelah barat.
Matahari terbenam mungkin masih lama, namun hari sudah mulai gelap di daerah pegunungan.
Urutan tempat duduk dalam
perjalanan pulang, sama seperti ketika kami berangkat.
Aku duduk di samping
Yomiuri-senpai, yang bersenandung mengikuti alunan musik yang diputar, dan
menatap kosong ke arah pemandangan langit senja.
◇◇◇◇
Kami melaju di jalanan tol
dengan latar belakang pegunungan.
Area di sekeliling kami
sepenuhnya dipenuhi cahaya senja
Pemandangan yang berlalu adalah
pegunungan dan kota di kejauhan yang tenggelam dalam kegelapan, sementara sawah
musim panas yang belum dipanen masih terlihat hijau kekuningan karena bercampur
dengan warna senja.
Percakapan tentang betapa
menyenangkannya hari itu pada awalnya berlangsung meriah, tetapi perlahan-lahan
mereda saat kami diguncang oleh getaran jalan raya, dan setelah beberapa kali
istirahat, semua orang perlahan-lahan menjadi hening, mungkin karena kelelahan.
Semakin dekat dengan kota,
semakin banyak pula bangunan yang bisa terlihat.
Pada saat kami keluar dari
jalan tol, daerah itu benar-benar gelap.
Dua orang yang duduk di kursi
belakang sudah berhenti berbicara, dan ketika aku melihat ke kaca spion,
sepertinya mereka sedang tertidur.
“Makasih banyak untuk hari ini
ya, Kouhai-kun.”
Yomiuri-senpai berkata demikian
dengan suara pelan.
“Sejujurnya, aku tidak
melakukan apa pun.”
“Tidak, tidak. Memangnya kamu
pikir aku tidak menyadari kalau kamu berinisiatif dan melakukan banyak
pekerjaan berat?”
“Yah, kalau hanya itu saja
sih...”
Yomiuri-senpai lah orang yang mengatur
tempat perkemahan, dan dia juga yang menyediakan semua perlengkapan berkemah
untuk kami. Selain itu...
“Terima kasih banyak atas kerja
kerasmu sebagai pengemudi dalam perjalanan pulang pergi kita.”
“Yah, kurasa setidaknya aku
harus melakukan hal seperti ini. Aku sudah memaksamu untuk menemaniku bermain.
Aku juga lumayan menikmati perjalanannya.”
“Meski pada akhirnya kita
terjebak kemacetan pada menit-menit terakhir.”
Seperti yang diharapkan, arus lalu
lintas semakin meningkat saat kami mendekati Shibuya. Untuk sementara waktu,
sistem navigasi menunjukkan garis merah yang menandakan kemacetan lalu lintas.
Ketika akhirnya kupikir kami
berhasil melaju, laju mobil kami terjebak di lampu lalu lintas yang berwarna
merah.
“Lampu merah di sini beneran
lama banget.”
“Apa iya?”
Kurasa maksudnya adalah jalan
yang telah kami tempuh beberapa kali.
“Jadi...”
Puk,
tangan kirinya menepuk-nepuk lututnya.
“Aku akan merahasiakannya, jadi
katakan saja padaku, Kouhai-kun. Tidak, Asamura Yuuta-kun.”
Dia mencondongkan wajahnya
sedikit lebih dekat dan berbisik seolah-olah sedang melakukan percakapan
pribadi.
Suaranya sedikit lebih lembut
dan serius dari biasanya. Aku hanya bisa menelan ludahku karena perubahan
sikapnya.
“Apa maksudmu dengan,
mengatakan padamu?”
“Saat ini. Apa kamu berpacaran
dengan Saki-chan? Apa kalian sepasang kekasih?”
Aku dibuat sangat terkejut, dan
untuk sesaat suaraku jadi tercekat.
Aku tidak pernah menyangka akan
ditanyai pertanyaan seperti itu pada saat ini. Aku tidak pernah mendapat
tanda-tanda bahwa dia akan menanyakan pertanyaan seperti itu sampai sekarang.
Kenapa baru sekarang?
“Eeee…ummm...”
Aku tidak yakin bagaimana harus
menjawabnya. Aku memeriksa kursi belakang melalui kaca spion. Baik Ayase-san
dan Kozono-san tampak tertidur pulas. Mereka bahkan tidak bergerak.
“Setelah liburan musim panas
berakhir, kamu mungkin akan terlalu sibuk belajar untuk ujian masuk dan tidak
punya waktu untuk mengobrol santai denganku. Aku bisa bertanya padamu
kapan-kapan ketika kamu sedang shift tanpa kehadiran Saki-chan, tapi... Aku
juga akan berhenti dari pekerjaan paruh waktuku tahun ini, jadi setidaknya aku
ingin mengetahui jawaban atas pertanyaan yang membuatku penasaran.”
Yomiuri-senpai menatapku dengan
senyuman yang seolah-olah dirinya adalah teman yang sedang berbagi rahasia.
“Hal yang membuatmu
penasaran...”
Mengapa.
“Kamu pasti berpikir mengapa,
‘kan?”
“Eh... umm...”
Yomiuri-senpai menatapku dengan
ekspresi yang luar biasa serius. Tiba-tiba aku menyadari bibir merah terang itu
mengeluarkan kata-kata di dekat wajahku. Warna bibirnya sedikit lebih kemerahan
dari biasanya. Ah, dia memang seorang mahasiswa. Aku sekali lagi merasa bahwa
dia adalah wanita yang lebih dewasa dariku.
Jika aku menjawab di sini bahwa
Ayase-san adalah adik perempuanku, aku ingin tahu apa yang akan terjadi. Aku
tidak bisa memalingkan pandanganku dari bibirnya yang menghisap.
Aku merasa sangat menyesal saat
datang kemari.
Hal itu terjadi kemarin. Ketika
aku berbicara dengan Ayase-san tentang bagaimana mengungkapkan hubungan kami
berdua kepada Kozono-san, kami memutuskan untuk menunda pembahasan itu dan
memikirkannya bersama-sama nanti. Saat-saat seperti ini pasti akan datang.
Suatu saat nanti kami harus menyatakan dengan jelas kepada orang-orang terdekat
kami. Seharusnya aku sudah mengetahui hal ini di dalam pikiranku.
Jangan
membuat pilihan yang salah. Peringatan semacam itu berbunyi keras
dalam pikiranku.
“A...”
“A?”
“Aku dan, Ayase-san, adalah
sepasang kekasih.”
Ada sedikit keheningan yang
terjadi.
Tanpa kusadari, lampu lalu
lintas telah berubah menjadi hijau.
“Jadi begitu ya.”
Ketika kata-kata tersebut
diucapkan, wajah Yomiuri-senpai sudah menghadap ke depan, dan mobil mulai
bergerak perlahan.
“Tolong biarkan aku menginjak
pedal gas.”
Dia ini bicara apa? Mobil bisa bergerak
karena dia menginjak pedal gas.
Yomiuri-senpai tetap menghadap
ke depan sambil berkata,
“Sebagai Senpaimu, aku akan
memberikan satu nasihat padamu. Apa kamu tahu?”
“Apa?”
“Pria jadi lebih populer ketika
mereka memiliki kekasih. ... Jika kamu peduli dengan pacarmu, kamu harus berhati-hati
terhadap godaan.”
Aku sama sekali tidak paham.
Seharusnya keberadaan ada atau
tidaknya seorang pacar tidak mengubah siapa diriku, mengapa hal itu terjadi?
... Tidak, kurasa itu bohong,
kalau dibilang tidak ada perubahan.
Memang benar bahwa seiring
hubunganku dengan Ayase-san semakin dalam, kegugupanku saat berbicara dengan
wanita sedikit demi sedikit mulai mereda. Keberanian adalah hal besar. Selain
itu, karena mendapat saran tentang mode, mungkin penampilanku juga sedikit
lebih baik.
Namun, meskipun begitu, aku
tidak begitu yakin ketika dibilang kalau aku akan lebih populer. Namun begitu,
cara bicara Yomiuri-senpai kali ini tidak seperti candaan biasanya, setengahnya
terdengar serius.
Ngomong-ngomong, sepertinya
Ayase-san juga cemburu sampai pada tingkat tertentu terhadap berita
perselingkuhan.
Aku tidak ingin membuatnya
sedih, aku tidak ingin melukainya, dan aku tidak ingin disalahpahami.
Itulah sebabnya.
“...Aku akan mengingatnya
dengan baik.”
Aku memutuskan untuk menerima
nasehat berharga dari Yomiuri-senpai dengan tulus.
Bagus, ucap Yomiuri-senpai
sambil tersenyum puas dan kemudian fokus pada mengemudi. Dia tidak mengucapkan
sepatah kata pun sampai dia menghentikan mobilnya dan membangunkan dua orang yang
duduk di belakang.