Bab 11 — 6 Agustus (Jumat) Asamura Yuuta
Waktu pagi
di hari kelima pembelajaran intensif.
Aku bangun
lebih awal dari biasanya.
Aku
melihat layar ponsel yang aku letakkan di sebelahku.
Pukul
05:57 pagi.
Waktunya masih
sebelum jam enam. Aku mengingat kalau kemarin juga aku tidur
setelah jam tiga pagi, tapi
pikiranku terasa segar.
Aku masih
mempunyai waktu dua jam sebelum sarapan. Rasanya setiap hari aku jadi bangun lebih pagi dari biasanya.
Tapi, ini bagus juga. Aku menyibak selimut ke atas, mencuci
muka, dan langsung mulai mempersiapkan pelajaran hari ini.
Kemarin
juga ada ujian.
Tapi, aku masih belum bisa menyelesaikannya
sesuai dengan yang kuinginkan.
Aku masih
bisa mendengar suara-suara pensil peserta lain yang ada di sekitarku.
Bukan hanya
itu saja. Setiap kali ada jam
pelajaran kelas, aku bisa
merasakan perbedaan dengan orang-orang di sekitarku.
Setiap kali ada jeda dalam pelajaran, mereka mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tajam kepada pengajar. Itu
bukan hanya masalah mendengarkan materi pelajaran dan asal mencatat saja.
Aku harus
memahami lebih banyak dan lebih
cepat dalam menyelesaikan soal, jika tidak, aku
tidak akan bisa mengalahkan mereka. Jika kalah, aku
akan gagal. Universitas Ichinose adalah universitas yang sulit untuk masuk. Dan
keluargaku juga bukan begitu berada. Apalagi aku dan Ayase-san sama-sama ingin melanjutkan kuliah di waktu yang sama,
jadi mana mungkin aku akan menjadi ronin di sini.
Tapi jika
aku menurunkan pilihan universitas, aku merasa kalau aku tidak
akan bisa bersanding dengan Ayase-san.
Dia pasti akan lulus.
Oleh karena
itu, aku tidak punya pilihan lain
selain berusaha lebih keras.
Ketika aku kehilangan konsentrasi, aku melihat jam dan menyadari kalau waktunya sudah
hampir menunjukkan jam sembilan.
Beberapa
menit lagi jam pelajaran kursus
akan dimulai.
Aku buru-buru
keluar dari kamar. Tidak lucu rasanya jika aku terlambat menghadiri pelajaran kursus karena aku
sudah melakukan persiapan.
Lift
masih ramai hari ini, tetapi aku
berhasil masuk ke dalam ruang kelas tepat waktu.
Sebelum aku sempat mengambil napas, pengajar masuk dan
pelajaran pertama hari kelima dimulai. Kegiatan pembelajaran
intensif sudah sampai pada pertengahan, dan mulai hari ini
adalah babak kedua.
Pelajaran kursus terus
berlanjut selama dua sesi hingga pukul 12, lalu tiba
waktunya untuk makan siang.
Perutku
mulai merasa lapar karena tidak sarapan. Meskipun makanan di kantin disajikan
dalam bentuk prasmanan (biaya tiga kali makan sudah termasuk dalam biaya
menginap), aku merasa akan mengantuk jika makan terlalu
banyak dalam kondisiku yang seperti sekarang.
Setelah
mengambil roti dan susu, aku
menghabiskan waktu untuk meninjau kembali kosa kata dan mempersiapkan
pelajaran. Belakangan ini, porsi makananku selalu seperti ini.
Aku
menghadiri jam pelajaran sore. Dengan jeda istirahat, empat
sesi pelajaran selama 90 menit berlangsung dari pukul 13:00 hingga 20:00, dan
setelah semuanya selesai, akhirnya tiba waktunya untuk makan malam.
Perutku
mulai berbunyi keras karena aku hanya makan camilan sejauh ini.
“Seperti yang diharapkan... kurasa aku akan makan kari saja untuk malam ini.”
Aku
berkeliaran di sekitar kantin sambil bergumam sendiri.
Aku
mengambil kari dan jus jeruk, lalu mencari tempat duduk yang kosong.
Ketika aku mendengar ada seseorang yang memanggilku,
aku mendongak dan melihat
Fujinami-san mengisyaratkanku untuk duduk di kursi kosong yang ada di depannya. Aku duduk di sana sambil mengucapkan
terima kasih, dan sambil memutar halaman buku kosakata, aku makan malam sambil menyatakan
permintaan maaf.
Setelah
sekitar 5 menit, aku selesai
makan. Ketika aku berkata “Baiklah,” sambil berdiri dari kursi, Fujinami-san tampak terkejut.
“Mau
bagaimanapun juga, bukannya porsi segitu masih tidak membuatmu kenyang, ‘kan?:
“Tidak,
aku sudah cukup kenyang.”
Ketika aku
menjawab demikian, entah mengapa Fujinami-san menatap
wajahku saya dengan penuh perhatian.
“Umm...maaf,
mungkin aku menanyakan sesuatu yang kurang sopan, tapi apa kamu tidur dengan nyenyak?”
“Eh,
itu sih tentu saja.”
“Tapi, ada
lingkaran hitam di sekitar matamu, tau?”
Aku mengucek
mataku. Aku
tidak pernah berpikir bahwa hanya dengan mengurangi sedikit waktu tidur selama
beberapa hari dapat menyebabkan hal seperti itu, tapi
rasanya memang sedikit menggangguku ketika ada orang lain yang mengatakannya.
Yah, kupikir itu baik-baik saja.
Aku
ingin segera kembali ke kamar dan melanjutkan belajar. Aku merasa sudah membuat banyak kemajuan hari ini.
“Begitu.
Baiklah, aku akan lebih berhati-hati.
Sampai jumpa.”
Setelah
mengatakan itu, aku berdiri
sambil masih memegang nampan.
“Kamu
akan membawanya ke mana?”
“Eh,
hah? Oh, ya, benar juga. Ini bukan
kantin sekolahan.”
Di kantin
tempat pembelajaran intensif ini mempunyai peraturan kalau kita boleh
meninggalkan nampan setelah selesai makan. Aku melupakannya.
Saat aku hendak pergi setelah meninggalkan nampan di
meja, aku dihentikan oleh Fujinami-san.
“Asamura-san,
apa kamu membawa kamus bahasa Inggris?"
“Eh?
Oh, iya, aku membawanya untuk jaga-jaga.”
“Tolong
pinjamkan kepadaku nanti. Aku ingin menggunakannya untuk
sedikit persiapan.”
“Tidak
masalah. Kalau kamu mau, aku
bisa mengambilkannya sekarang.”
“Kamu bisa
melakukannya nanti. Aku tidak ingin merepotkanmu sekarang. Jika
ada urusan seperti peminjaman kamus, aku akan datang ke sana.”
Kamar
hotel dipisahkan berdasarkan gender. Namun,
tampaknya peminjaman barang seperti kamus diizinkan jika memberi tahu terlebih
dahulu.
Setelah
memberitahunya nomor kamarku, aku
membuat mencatat mental
di sudut pikiranku untuk
menyiapkan kamus.
“Baiklah,
kalau begitu, selamat malam.”
“...Ya.
Sampai jumpa lagi.”
Aku
bangkit dari tempat dudukku, berpikir bahwa itu
adalah jawaban blak-blakan yang sepertinya bukan jawaban khas Fujinami-san.
Kalau dipikir-pikir, rasanya sudah lama sejak terakhir kali aku berbicara
dengan Fujinami-san, padahal kami berdua berada di kamp pelatihan yang sama,
dan kami hanya bertemu sesekali.
Faktanya,
ini adalah pertama kalinya dalam beberapa hari aku berbicara
dengan seseorang.
Satu-satunya
komunikasi yang kulakukan dengan Ayase-san
hanyalah melalui pesan
singkat dan tidak ada panggilan telepon.
“Aku
ingin mendengar suaranya.”
Aku terkejut
dengan kata-kata yang aku ucapkan tadi. Tidak, aku tidak punya waktu luang untuk
itu. Saat ini, aku harus
fokus belajar sebanyak mungkin meskipun itu cuma
semenit.
Sekarang
masih jam 8 malam, jadi aku
bisa belajar selama dua jam ke depan.
Setibanya
di kamar, aku membuka
buku soal matematika.
◇◇◇◇
Suara
notifikasi smartphone membuyarkan konsentrasiku.
Saat aku
melihat bilah notifikasi yang muncul sejenak,
sepertinya itu dari Ayase-san.
Biasanya
dia mengirim pesan sebelum tidur. Padahal hari ini belum terlalu, aku penasaran apa terjadi
sesuatu dengannya? Saya menjadi penasaran dan
hendak mengambil smarphone-ku ketika aku mendengar ketukan kecil di
pintu.
……Kira-kira siapa ya.
Saat aku
melihat melalui lubang intip dengan penuh tanda
tanya, aku melihat Fujinami-san
berdiri di sana.
Aku buru-buru membuka pintu kamarku. Oh
iya, dia bilang kalau dia ingin meminjam kamus. Uhmm…….
“Maaf,
aku akan mengambil kamusnya sekarang.”
“Tidak,
yang lebih penting, boleh aku masuk sebentar?”
“Ah,
iya, tentu. Aku tidak keberatan.”
“Terima
kasih. Aku akan terlihat mencurigakan jika
aku berdiri di lorong terlalu lama. Itu akan sangat membantu.”
Dia
memasuki ruangan sembari berbicara demikian.
“Kamu ingin
meminjam kamus bahasa Inggris, ‘kan? Tunggu sebentar—”
“Ah,
jangan terlalu terburu-buru begitu.
Lagipula, itu cuma sebagai alasan
saja.”
Hah?
“Alasan?”
“Aku
merasa penasaran, jadi kupikir aku ingin
berbicara sedikit denganmu. Yah, biasanya aku berusaha sebisa mungkin untuk
tidak ikut campur dalam urusan orang lain. Tapi ya
lagipula kita bukan sama sekali orang asing.”
Sambil
mengatakan itu, Fujinami-san menghampiriku dan menatap wajahku.
“Haa.... ini
sih sudah parah sekali.”
“Hah? Apanya?”
“Kondisi
wajahmu terlihat sangat buruk. Sudah berapa hari kamu
tidak tidur?”
“Tidak,
aku tidur dengan benar, kok.”
“Kalau hari
ini?”
“Aku
tidur selama dua jam.”
“Kemarin?”
“...Aku
tidur selama dua jam, bukan, tiga jam.”
“Aku
benar-benar kaget. Durasi tidur
segitulah yang disebut tidak tidur.”
Fujinami-san menghela nafas panjang,
meletakkan tangannya di dahi, dan menggelengkan kepalanya.
Aku
tidak mengerti mengapa dia begitu terperangah. Karena aku benar-benar tidak mengantuk. Aku bahkan tidak tertidur selama jam pelajaran.
“Tidak,
tapi aku sama sekali tidak merasa
mengantuk.”
“Jadi dengan kata lain, itu bukan karena kamu tidak tidur, tapi kamu tidak bisa tidur, ya?”
“Tapi aku
merasa kalau keadaanku lumayan baik. Jarang sekali aku
bisa berkonsentrasi pada pelajaran
sebanyak ini.”
“Hee~.
Kalau begitu, kurasa nilai ujian simulasimu
sudah meningkat. Kamu belum mendapatkan hasilnya kembali, tapi kurasa kamu
sudah melakukan penilaian secara mandiri,
bukan?”
“Itu sih…”
Aku hanya
bisa
terdiam.
Itu hanya
ujian simulasi keduaku selama pembelajaran intensif, tetapi
ujian kemarin mungkin ujian terburuk
yang pernah aku lakukan
dalam hal penilaian mandiri. Rumus-rumus yang kupikir
sudah menghafalinya, ternyata benar-benar hilang, dan aku salah menghitung alokasi waktu,
sehingga aku bahkan
tidak menyelesaikan setengah dari bagian kedua dari ujian tersebut.
“Haah. Yah,
aku yakin kamu tidak suka mendengarku
mengatakan hal seperti ini, tapi—”
“Ah,
tidak. Um... bagaimana kalau kamu
bisa duduk dulu?”
Aku
menawarkan kursi yang baru saja kududuki
kepada Fujinami-san, yang tampaknya masih ingin membicarakan sesuatu.
Akan tetapi,
Fujinami berkata, “Aku tidak
berniat untuk berlama-lama, jadi aku
akan tetap seperti ini” dan
berdiri di depanku tanpa
duduk.
“Jadi,
mengapa kamu kelihatan begitu tergesa-gesa?”
“Eh...”
Memangnya
aku terlihat tergesa-gesa?
“Kalau tidak
salah perguruan tinggi pilihanmu adalah Universitas Ichinose, ‘kan? Aku menyadari kalau ujian masuknya sangat sulit,
tapi dengan kondisimu yang
saat ini, apa kamu
benar-benar memahami pelajaran dengan baik? Aku merasa
kalau itu akan lebih efisien jika kamu melakukannya dengan lebih rileks.”
“Tetapi
jika aku tidak melakukan hal ini, aku tidak akan bisa mengejar ketertinggalan
dari orang-orang di sekitarku.
Tidak, aku bahkan takkan bisa melampaui
mereka.”
“Orang-orang
di sekitarmu... maksudmu
orang-orang yang datang ke acara pembelajaran
intensif ini?”
Aku balas
mengangguk.
“Kupikir
siswa SMA yang datang ke pembelajaran intensif
seperti ini adalah mereka yang
terbaik dari yang terbaik. Tidak mengherankan
jika kamu merasa kesulitan untuk mengalahkan mereka. Tapi, memang ada gunanya untuk
membandingkan diri dengan mereka?”
“Tentu
saja ada. Karena ujian masuk adalah persaingan, sudah sewajarnya jika aku membandingkan diri. Dan jika aku tidak bisa mengalahkan lawan
selevel itu, Aku tidak
akan bisa masuk Universitas Ichinose.”
Aku
tidak berpikir bahwa semua orang yang datang ke pembelajaran
intensif ini adalah sainganku
untuk masuk ke Ichinose. Namun, tidak diragukan lagi
bahwa lawan selevel ini adalah saingan.
“Jadi begitu
rupanya. Mari kita ubah cara bertanyaku. Kenapa
kamu ingin masuk ke
Universitas Ichinose?”
“Eh,
itu sih, tentu saja—”
“Kamu
ingin masuk fakultas apa? Apa itu berkaitan
dengan pekerjaan yang ingin kamu
tekuni di masa depan? Apa ada alasan khusus mengapa kamu harus masuk Ichinose?”
“Itu sih...
tidak ada... alasan khusus...”
“Itulah
sebabnya aku merasa
jengkel. Jika kamu tidak
memiliki alasan khusus seperti
itu, maka sebenarnya tidak ada alasan khusus mengapa
kamu harus masuk ke Universitas Ichinose. Lantas, mengapa kamu begitu tergesa-gesa?”
Dia
menatapku dengan tatapan tajam.
Saat kami saling berpandangan dalam diam,
aku memalingkan pandanganku lebih dulu.
“Memang... tidak
ada alasan khusus mengapa harus masuk
Ichinose. Tapi, aku mempunyai
seseorang yang ingin aku jalani masa depan bersamanya.”
Ketika
aku mengatakan hal itu, Fujinami-san
mengangguk.
“Oh,
orang yang pernah kamu
ceritakan sebelumnya ‘kan. Begitu rupanya, jadi dia adalah seseorang yang kamu pikirkan begitu serius. Hal
yang cukup jarang terjadi di
zaman sekarang.”
“Memangnya sejarang
itu ya.”
“Menurutku
begitu. Remaja yang memikirkan hal-hal jauh ke depan seperti itu tidak terlalu
banyak di zaman sekarang.”
“Jauh ke depan...”
“Yeah.
Itu masih terlalu jauh sekali. Dalam era di
mana pernikahan di usia muda semakin langka, berpikir tentang pernikahan ketika
masih remaja itu mirip seperti bercerita tentang masa
depan yang tak kunjung datang, bukan?”
Itu adalah
ungkapan yang agak puitis.
“Selain itu,
kamu berharap untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi,
bukan? Bagaimana dengan dia?”
“Dia juga
ingin melanjutkan kuliah.”
“Jika
memang begitu, yah, kecuali kalian berdua
memutuskan untuk menikah karena terlanjur sudah hamil
duluan, kemungkinan besar akan setelah lulus, ‘kan? Jadi sekitar 4 atau 5 tahun
lagi. Oh, jika hanya mengenai kehidupan bersama, mungkin saja bisa dilakukan
sekarang juga.”
Jika hanya
masalah tinggal bersama, kami
sudah melakukannya... tidak, bukan itu maksudnya.
“Bukan
gaya hidup yang seperti itu yang
aku bicarakan.”
“Aku tahu,
aku tadi cuma bercanda. Kamu ingin menikahinya, bukan?”
“Me─”
Kata-kata
“menikah” masih terlalu abstrak bagiku.
Hanya dengan berpikir untuk mengucapkannya saja sudah membuat jantungku
berdebar.
“Yah,
ada orang yang tidak terlalu mempermasalahkan apakah mereka akan menikah secara
resmi atau tidak, tapi sepertinya Asamura-san
tergolong konservatif dalam hal itu, jadi jika kamu
ingin hidup Bersama dengannya, itu berarti kamu ingin menikahi pasanganmu,
bukan?”
“Yah,
mungkin...saja begitu.”
Aku belum
pernah memikirkannya secara spesifik.
Tapi, aku
mempunyai seseorang yang ingin aku dukung.
Meskipun
aku merasa kalau kita telah membangun hubungan saling
percaya sekarang, tapi perasaan
tidaklah abadi.
Tak ada
yang tahu apa yang akan terjadi seiring berjalannya waktu. Bahkan Shinjo pun
dalam waktu setengah tahun saja sudah tidak lagi merasakan perasaan romantis kepada Ayase-san.
Demi
terus mendapatkan kepercayaan darinya, aku
harus menetapkan standar yang lebih tinggi.
Untuk
tetap menjadi versi terbaik dari diriku sendiri dan
menjadi seseorang yang bisa memberikan dukungan, aku ingin bisa masuk ke
universitas yang lebih baik dan memilih tempat kerja yang lebih baik.
Aku mengungkapkan
perasaan jujurku.
Fujinami-san mendengarkan kata-kataku dengan
diam.
“Jika
tidak begitu, aku merasa tidak pantas baginya.”
“...Tidak
pantas?”
Aku mengedipkan mataku ketika merasa
seperti mengalami deja vu saat melihat Fujinami-san
miringkan kepalanya.
“Memangnya
tidak pantas itu buruk? Oh, tunggu sebentar. Sepertinya aku pernah merasakan
hal yang sama sebelumnya...”
Fujinami-san menatap langit-langit sebentar
sebelum kembali menatapku.
“Aku
ingat. Saat hari pertama pembelajaran intensif,
kamu juga mengungkapkan hal serupa.
Saat itu, ketika ditanya mengapa kamu
memilih Ichinose. Karena hanya setengah dari motivasimu, ia merasa 'malu'. Benar,
begitulah yang kamu katakan bukan,
Asamura-san?”
“Benar...
aku memang mengatakan begitu, tapi...”
“Mengapa
kamu harus membandingkan dirimu denganku?”
“Karena...
“
Fujinami-san yang menatapku dengan tajam, seketika mengangguk seolah menyadari
sesuatu.
“Begitu,
apa ini karena rasa rendah diri?”
Apa yang
dikatakan Fujinami-san
membuatku terkejut, sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikiranku.
“Afirmasi
diri adalah perasaan menegaskan keberadaan diri sendiri, bukan?”
“Secara
garis besarnya memang bisa dikatakan begitu.”
“Meskipun
dikatakan bahwa afirmasi dirimu
itu terlalu rendah...”
Sejujurnya,
aku tidak begitu mengerti apa yang sedang dia bicarakan.
Saat aku
memiringkan kepalaku, dia
mulai menjelaskan.
“Apakah
kamu percaya bahwa meskipun kamu merasa dirimu hanyalah sampah yang tak berguna
dan tidak bisa memberi apa pun kepada orang lain, kamu tetap bisa dicintai? 'Sampah'
di sini bisa berupa kata-kata negatif seperti 'tidak berbakat' atau 'penakut',
tetapi pada dasarnya, itu tentang menerima dirimu
sendiri apa adanya.”
“Menerima
diriku sendiri apa adanya...”
“Bisa
dibilang, ini tentang menilai diri sendiri tanpa bias.
Pada dasarnya, itu adalah langkah pertama. Pertama-tama, apakah kamu bisa
melakukannya. Dan apa kamu bisa menerima dirimu sendiri.”
Aku
terdiam saat mendengarnya.
Melihat
tanpa prasangka. Itu adalah hal yang selalu aku usahakan.
Setidaknya,
aku berusaha untuk tidak membiarkan prasangka menghiasi pandanganku terhadap
orang lain.
Namun,
bagaimana dengan diriku sendiri?
“Kupikir
Asamura-san memiliki bias dan distorsi dalam
pengenalan dirinya. Aku pikir kamu tipe orang yang sejak awal memiliki
penilaian diri yang rendah.”
“Penilaian
diri yang rendah... Kadang-kadang teman-temanku juga mengatakan hal yang sama
padaku, tapi...”
“Sudah
kuduga. Yah, kamu
kelihatannya seperti orang yang rendah hati, jadi aku rasa itu bagus untuk
sifat sosialmu, tapi saat kita pertama kali bertemu, kamu mengatakan bahwa kamu bukan orang yang banyak
bicara. Meskipun kamu
terlihat merendahkan diri sendiri, kamu tidak terlalu membandingkan dirimu
dengan orang lain, bukan?”
“Mungkin...
iya.”
“Karena
waktu itu, meskipun kamu sedang bersekolah di sekolah
bimbel, kamu masih bersedia menghabiskan waktu malam di
Shibuya bersamaku. Aku tidak merasa kamu begitu cemas melihat bahwa orang di
sekitarmu tampak lebih unggul daripada dirimu─benar, ‘kan? Dengan kata lain, kamu tidak terlalu
khawatir tentang membandingkan dirimu
dengan orang lain.”
Hal
yang dikatakan Fujinami membuatku merenung dan menggerutu.
Memang
benar, saat ujian reguler aku kalah dari Maru dan
Narasaka-san yang selalu mendapat nilai sempurna, tapi itu
tidak membuatku panik atau meningkatkan jam belajar secara signifikan.
Kalau dipikir-pikir lagi, aku
tidak ingat pernah membandingkan diriku dengan orang lain dan merendahkan
diriku sendiri. Meskipun tidak selalu demikian, namun saat memasuki SMA, aku
telah menjadi pribadi yang memandang orang lain sebagai orang lain dan diriku
sebagai diriku sendiri.
Sebenarnya,
aku tidak punya pilihan selain menjadi seperti itu. Jika tidak, dengan
kegagalan dalam ujian masuk SD dan SMP, aku pasti akan tenggelam dalam
penilaian diri yang rendah.
Alasan
mengapa aku memandang
dunia dengan cara yang netral sebagai motto hidupku juga banyak dipengaruhi
oleh membaca berbagai novel yang beragam. Ada begitu banyak hiburan di mana
kelemahan berubah menjadi kelebihan, dan tren yang tidak menguntungkan
dibalikkan.
Apa aku─
benar-benar kehilangan kemampuan untuk melihat segala sesuatu secara netral?
“Ketika
aku memperlihatkanmu kehidupan malam di Shibuya kepadamu tahun lalu. Aku pikir
aku telah menunjukkan dunia di mana bahkan orang yang tidak berguna pun bisa
hidup dengan baik.”
“Aku merasa
kalau itu hal yang wajar. Pada dasarnya, penilaian
orang terhadapmu akan berubah seiring perubahan sudut pandang mereka, dan hidup
itu tidak berarti karena kamu memiliki nilai hidup, tapi kamu memiliki nilai
karena kamu hidup. Jadi, semua orang yang hidup pantas untuk menjalani kehidupan dengan
baik.”
Ketika
aku mengucapkannya, aku dibuat terkejut
dengan kata-kataku sendiri.
Jadi,
mengapa aku begitu khawatir tentang penilaian rendahku sekarang?
“Kamu
tampaknya berusaha melihat orang lain secara netral ketika menilai mereka.
Tapi, ada distorsi dalam penilaian
dirimu sendiri. Rasa percaya diri yang rendah. Aku tidak tahu apa penyebabnya.”
“Itu
karena─”
Aku mulai
menyadari sedikit demi sedikit. Penilaian rendah terhadap diriku sendiri
berasal dari fakta bahwa prestasiku masa laluku
cukup mengecewakan sampai membuat ibu kandungku marah. Aku
merasa bahwa nilai diriku begitu rendah sehingga aku kehilangan hak untuk
menerima kasih sayang ibu kandungku. Aku merasa bahwa diriku memiliki nilai
yang begitu rendah sehingga aku kehilangan kasih sayang ibu kandungku.
“Apa
karena hal itulah yang menyebabkanmu
menurunkan penilaian dirimu saat ini, dan menjadi faktor yang membuat rasa
percaya dirimu semakin rendah?”
Aku
terdiam.
“Tapi...”
Namun
jika aku terus menerima situasi saat ini
dengan pasrah, aku tidak akan pernah bisa mengejar Ayase-san.
“Kamu masih
punya alasan untuk berkata 'tapi'?”
Fujinami-san menghela nafas dan melakukan
tindakan yang tak terduga.
Dia
mendekatiku dengan seketika,
lalu tiba-tiba mendorong dadaku dengan tegas sehingga aku terjatuh tanpa daya
dari tempat duduk di ranjang yang tidak memiliki sandaran.
Aku
berusaha menyeimbangkan diri saat tanganku berayun di udara. Lalu, kedua
pergelangan tanganku dipegang dan diikat seperti sedang dipasangi borgol. Lalu,
lengan saya ditekuk dan dipaksa menekan pergelangan tanganku sendiri ke dada.
Aku
dibuat seperti sedang berdoa, namun situasinya lebih condong ke arah yang lain.
“Kalau
ini adegan dalam drama polisi, mungkin saat ini mereka akan berteriak 'Aku sudah mengamankan
tersangka!'”
Dia
tersenyum sambil mengatakan itu. Sambil sedikit membungkuk, wajah cantik
Fujinami-san terlihat mendekati wajahku. Di balik wajahnya, aku bisa
melihat detektor asap di langit-langit kamar. Dengan jarak yang begitu dekat,
Fujinami-san berkata,
“Dengan
begini, kamu tidak akan bisa belajar meskipun ingin melakukannya.”
“Tidak, kamu pasti sedang bercanda, ‘kan?”
“Yah,
dengarkan saja dulu. Aku
tahu bahwa melakukan hal seperti ini tidak akan ada gunanya, tapi aku hanya
ingin kamu membayangkannya sedikit
saja.”
Sambil
berkata demikian, dia menekan pergelangan tanganku
yang terikat dengan erat.
Sakit,
sakit, sakit. Selain memiliki postur tubuh yang lebih tinggi dariku, Fujinami-san juga terlihat memiliki kekuatan lengan dan kekuatan cengkeram yang
cukup. Dia benar-benar mengamankan diriku dengan kuat.
“Membayangkan...?”
“Aku ingin tahu
bagaimana pendapatmu jika seseorang yang penting bagimu,
mengganggu belajarmu dengan
cara yang tidak menyenangkan seperti ini?”
Bagaimana Fujinami-san yang berada di hadapanku
sekarang adalah Ayase-san?
“Kupikir
Ayase-san tidak akan
melakukan hal seperti ini.”
“Oh,
jadi itu namanya, ya... Jadi bagaimana jika gadis yang bernama Ayase-san...”
“Ah,
bukan, karena itu adalah nama belakangnya.”
“Eh?”
Dengan
ekspresi konyol, Fujinami-san secara
refleks (mungkin) melepaskan pegangannya pada pergelangan
tangan yang dia genggam.
Sambil
menggosok pergelangan tanganku, aku bangkit dari atas
kasur.
“Namanya
Saki. Yah, menurutku bukan itu masalahnya sekarang...”
“Kamu
memanggil calon pasangan yang ingin kamu nikahi dengan nama belakang?”
“Ya,
kenapa?”
“.....Eh?
kamu pasti bohong, ‘kan?”
“Tidak.”
“Memangnya
dia tidak marah?”
“Dia
juga memanggilku dengan nama belakangku.”
Di rumah,
kami berdua saling memanggil dengan panggilan
Yuuta-niisan dan Saki, tapi pada
dasarnya siswa menghabiskan waktu bersama di rumah dalam waktu yang singkat,
jadi secara total, mungkin sekarang lebih banyak “Ayase-san” dan “Asamura-kun”.
Di dalam
hatiku, aku masih memanggilnya “Ayase-san”.
Fujinami-san
kemudian menghela nafas paling keras hari itu untuk pertama kalinya dalam
beberapa hari.
“Meskipun
aku tidak ingin mencampuri urusan percintaan orang lain, tapi apa sih yang sedang kalian lakukan?
Tindakan kalian tidak mirip seperti
perilaku pasangan kekasih yang
sedang mempertimbangkan pernikahan. Jangan
bilang kalau kalian berdua bahkan belum mencium satu sama
lain.”
“Tentu
saja tidak.”
“Kalau lebih
dari itu?:
“Apa aku
harus memberitahumu?”
“Tidak
perlu. Sudah cukup. Aku sudah mendapat gambaran
besar dari jawabanmu. Lebih penting, tentang jawaban
sebelumnya tadi.”
Fujinami-san berkata sambil mengambil langkah
mundur.
“Bagaimana
kalau pacarmu yang menghalangimu belajar?”
Aku memikirkannya dengan serius.
Pada dasarnya, ada kemungkinan bahwa dia takkan melakukan hal seperti itu. Namun, jika Ayase-san tiba-tiba masuk ke kamarku dan mencoba mengganggu belajarku dengan paksa... Kurasa dia tidak perlu benar-benar membatasi tanganku. Itu hanya sebatas perumpamaan. Dia bisa saja mengambil pensilku, atau melemparkan buku pelajaran yang terbuka.
“Aku
mungkin akan mencoba memahami alasan di balik tindakannya.”
“Yah kurasa
itu tipikal dirimu, karena kamu masih
tidak marah dan bahkan mengatakan ‘kamu pasti bercanda, ‘kan?’.
Kurasa kamu masih terlalu santai. Bagaimana jika dia mendadak menamparmu dengan paksa?”
“Sama
saja. Aku akan mencoba memahami alasan di balik tindakannya sebelum marah.”
“Tapi,
jika itu dilakukan oleh orang asing tak dikenal,
kamu pasti akan marah, kan?”
“Ya,
tentu saja.”
Jika
tiba-tiba dipukul di pipi saat berjalan di jalanan,
kupikir aku akan terkejut lebih dulu daripada marah.
“Kamu
tidak akan marah pada pacarmu. Jadi,
kamu tidak akan membenci pasanganmu karena itu, ‘kan?
Jadi, mengapa menurutmu dia akan membencimu karena melakukan sesuatu yang tidak
dia sukai? Mengapa kamu berpikir bahwa dia akan membencimu karena itu?”
“Eh...”
Jujur,
aku terkejut oleh pertanyaan itu.
Aku belum
pernah memikirkan hal seperti itu.
“Contohnya saja begini, jika kamu belajar sampai
pingsan dan tidak bisa mengikuti ujian, atau jika kamu sakit saat ujian dan
mendapat nilai merah tanpa alasan yang jelas. Apa pasanganmu akan marah tanpa
mendengarkan alasanmu?”
“Itu...”
Sejenak,
aku terdiam.
Aku ingin
mengatakan bahwa itu tidak mungkin.
Namun,
aku kebingungan karena tidak tahu jawabannya.
Aku
berusaha keras saat mengikuti ujian masuk SD dan SMP. Setidaknya, aku merasa
telah melakukan yang terbaik pada saat itu. Aku yakin ibu kandungku akan senang jika aku lulus
ujian. Aku juga ingin membuatnya bahagia.
Namun─ pada kenyataannya, kemampuanku masih
tidak cukup. Jika dikatakan bahwa kegagalanku disebabkan oleh
ketidakcukupan usaha, aku tidak bisa melawan. Saat ujian semakin dekat, aku
kehilangan nafsu makan, sulit tidur malam, dan pergi mengikuti ujian dalam
keadaan yang sangat lemah. Ayahku menyarankan
agar aku istirahat lebih banyak karena kesehatanku lebih penting, tapi aku
terlalu takut untuk beristirahat.
Aku gagal
dalam ujian.
Aku
kehilangan kasih sayang ibu kandungku.
Saat aku
gagal dalam ujian masuk SMP, aku disaksikan dengan tatapan yang menyiratkan “lagi-lagi” dan ibu kandungku menghela nafas besar di depanku
sebelum menggelengkan kepalanya,
menyuruhku pergi ke tempat lain karena dia tidak ingin melihat wajahku lagi.
Beberapa
waktu kemudian, perceraian orang tuaku resmi
terjadi, dan ibu pergi.
Untuk
mendapatkan kasih sayang dari orang lain, aku harus menunjukkan hasil yang
memenuhi harapan mereka. Aku mulai sangat sadar akan hal ini. Karena aku tidak
suka mendapat harapan─ maka aku mulai menjauhi orang lain.
“Kamu
tidak bisa menjawabnya? Nah,
coba gantikan dengan orang lain selain pacarmu...
coba pikirkan teman atau orang tua.”
“Teman...”
Jika itu Maru. Untuk
beberapa alasan, dia mungkin akan menatapku
dan bertanya, “Ada
masalah apa?” karena
dia akan menghargaiku cukup tinggi. Ayahku... jika aku berjuang seperti dulu,
dia mungkin akan berkata, “Kamu
sudah berusaha sebaik mungkin, jadi jangan
terlalu khawatir.”
Setidaknya
Maru dan Ayahku akan mendengarkan
alasanku jika aku bertindak berbeda.
“Jika
ada seseorang yang bisa menerimamu tanpa marah pada saat itu, itu berarti kamu sudah membangun afirmasi diri pada dirimu sendiri. Jika
tidak ada yang bisa kamu bayangkan, itu menunjukkan rasa meragukan diri yang
kuat. Bagaimana? Apa ada seseorang?”
“Yah...
tidak banyak sih.”
“Oh,
bukannya itu bagus. Lebih baik daripada
tidak sama sekali. Ngomong-ngomong, aku malah
tidak bisa membayangkan siapa-siapa.”
Aku
terdiam.
Namun,
ketika aku kembali mengingat ceritanya,
Fujinami-san adalah anak yang ditolak oleh
keluarga dan sanak saudaranya.
“Tidak
ada yang pernah memberitahuku
bahwa aku pantas untuk hidup. Saat aku diambil oleh orang tua angkatku yang sekarang, aku merasa sangat tersiksa. Aku adalah anak yang kasar dan
bengis. Kulit saya kasar, cara bicaraku
kotor. Aku bahkan tidak suka berfoto
bersama teman-teman sekelas. Aku
tidak bisa membayangkan bahwa seseorang akan mencintai diriku dalam keadaan seperti itu.”
Setelah berhenti sejenak, Fujinami-san kembali melanjutkan.
“Ketika
ibu angkatku memberi
nasihat kepada saya, perkataanya
sangat tegas. Dia berkata, 'Jangan pernah berharap ada orang yang mencintaimu'.”
Hal tersebut
terjadi setelah dia diadopsi oleh orang tua angkatnya yang sekarang.
Wanita
yang menjadi pengasuhnya, seorang wanita tangguh di gang-gang belakang Shibuya,
mengatakan hal ini:
[Kota
ini kejam, jadi jangan berharap ada seseorang
yang mencintaimu.]
Dia berbicara dengan nada seakan-akan memberitahu
kebenaran dunia kepada gadis kecil yang masih berusia sekolah SMP, tanpa mengucapkan kata-kata
manis karena dia masih anak-anak.
[Jika
kamu terus-menerus gampang terpengaruh
oleh pendapat orang lain, kamu tidak akan bisa bertahan di sini. Bergantung
pada kasih sayang orang lain adalah sia-sia. Jangan pernah berharap pada kasih
sayang dari orang lain. Jika kamu benar-benar menginginkan cinta, cukup cintai
dirimu sendiri saja.]
Dan
Fujinami-san mulai berhenti berharap pada orang
lain.
“Apa
menurutmu menentukan tindakanmu berdasarkan bagaimana orang lain melihatmu,
sama saja dengan menyerahkan kendali hidupmu kepada orang lain? Sampai SMP, aku
juga berusaha keras untuk memenuhi harapan orang lain. Sayangnya, hasilnya
membuatku harus pergi meninggalkan
rumah.”
Aku
merasakan hal yang sama.
Meski ada
perbedaan dalam tingkatnya. Namun, baik dia maupun diriku sama-sama menderita karena tidak
bisa memenuhi harapan orang lain.
“Aku menjalani
hidup untuk kebaikan diriku sendiri. Aku merasa lebih tenang
setelah memulai dengan pemikiran itu. Karena itu untuk diriku sendiri, aku
tidak perlu peduli dengan pendapat orang lain terhadap hasilnya. Meskipun aku
memberikan seruan semacam ceramah padamu yang seumuran, aku tidak perlu
khawatir tentang apakah aku akan dibenci atau tidak.”
Demi pihak
lain.
Demi
seseorang.
Demi
orang lain.
Demi
keluarga.
Demi
kekasih.
“─Kamu sebaiknya menghentikan pemikiran
seperti itu,. Setidaknya saat ini, kamu terjebak dalam situasi sulit karena
pemikiran itu. Jika kamu bersama seseorang yang
membencimu dan menyangkal hasil hidupmu yang hanya untuk
dirimu sendiri, kurasa tidak
ada gunanya menjalin hubungan dengan
seseorang seperti itu, bukan?”
“Aku
tidak menjalin hubungan karena masalah nilai atau
semacamnya.”
Fujinami-san menghela nafas setelah aku mengucapkan kata-kata tersebut
dan kemudian diam.
Aku bisa
memahami apa yang dia katakan.
Tapi....
“Aku
memahami apa yang ingin kamu sampaikan.
Namun, berusaha keras untuk memenuhi harapan bukanlah hal yang buruk.”
Aku tidak
bisa bersikap seenaknya seperti dirinya.
Mungkin
karena aku masih mengingatnya dengan jelas.
Raut wajah
senang ayahku saat aku lulus ujian masuk SMA Suisei.
Wajahnya
Ayase-san yang menunggu di Pantai Palawan
saat aku datang menghampirinya.
Ekspresi
kebahagiaan saat aku berhasil memenuhi
harapannya masih jelas terpatri di dalam benakku.
“Ini tentang
hidupmu sendiri, loh?”
“Itulah
sebabnya karena ini tentang hidupku sendiri. Bukannya
menjalani kehidupan hanya untuk dirimu sendiri saja terasa membosankan?”
Kami berdua sama-sama terdiam seolah mencari kata-kata selanjutnya.
Kemudian tiba-tiba,
telepon genggamku berbunyi dengan suara canggung.
Itu suara
pemberitahuan pesan masuk.
Saat aku
melirik, aku melihat kata “Ayase” pada bilah notofokasi.
Aku ingat bahwa ada pemberitahuan sebelum Fujinami-san datang. Mungkin dia khawatir
karena tidak mendapat balasan dariku.
“Kamu boleh
melihatnya, kok.”
Aku diam-diam mengambil smartphone-ku.
“URL
video...?”
Sepertinya
tautan tersebut mengarahkan ke situs
streaming video, tapi apa yang ingin dia tunjukkan? Ketika aku melihat pesan, di sana hanya tertulis “Aku merekomendasikan ini”.
“Jika
itu dari pacarmu, silakan saja. Baik itu balasan atau obrolan,
jangan terlalu pedulikan aku. Dengan
ini aku─”
“Oh,
tidak, mungkin ini bukan hal yang
penting─”
Suara
musik mulai terdengar dari video yang aku ketuk.
Musiknya
pelan seperti suara hujan. Suara yang samar-samar dan sayup-sayup...
“Lo-fi
hip hop?”
“Aku
pernah menunjukkannya
kalau genre musik begitu lumayan bagus untuk menemani belajar...
tapi, ini...”
Dengan
nada yang santai, melodi yang lembut, dan sedikit jumlah nada, musik ini memberikan kesan seperti
mendengarkan musik klasik, meskipun aku tidak yakin
kalau itu perumpamaan yang tepat.
Aku lalu memeriksa pesan pertama untuk memahami maksudnya.
“【Aku
menemukan mantra yang akan membantumu tidur nyenyak. Menurutku kamu sudah
melakukan yang terbaik, tapi tolong jangan memaksakan dirimu terlalu keras】...ya.”
Lagu yang
membawa rasa nostalgia mengalir dari ponsel dan mengisi seisi ruangan. Suara yang masuk ke
telinga meresap ke dalam tubuhku
setelah menggetarkan gendang telinga, lalu menghilang.
Ketika
aku memejamkam mataku, aku bisa membanyangkan wajah
tersenyum Ayase-san muncul
di pikiranku.
Kemudian,
aku membuka mata.
Aku
merasa bisa melihat wajah Fujinami-san
dengan lebih tenang sekarang. Aku akhirnya
menyadari bahwa dia memiliki ekspresi yang sama seperti
saat Maru, Ayase-san, atau ayahku mengatakan, “Jangan memaksakan diri,” dengan penuh kekhawatiran.
“Terima
kasih atas masukan yang
sangat berharga. Aku merasa lebih tenang sekarang.”
“Begitu ya.
Bukannya berarti aku melakukan itu
untukmu. Aku hanya datang untuk mengatakan apa yang ingin aku sampaikan.”
Sikap
Fujinami-san mungkin ada benarnya karena dia hanya ingin
mengatakan beberapa patah kata,
karena seseorang yang dikenalnya tampak mengerikan.
Namun,
mungkin juga karena dia merasakan rasa sakit yang sama di masa lalu, atau
karena dia teringat akan dirinya di masa lalu.
“Baiklah,
tolong berikan segera.”
Fujinami
mengulurkan tangannya ke arahku.
“Eh?”
“Kamus bahasa Inggris. Karena aku butuh alibi.”
“Bukannya itu cuma sekadar alasan saja?”
“Kebohongan membutuhkan kenyataan. Jika
kita mengabaikan hal-hal seperti itu, maka realitas akan terabaikan dan tidak
ada yang akan percaya. Aku tidak ingin dicurigai masuk ke kamar seorang pria di
tengah malam tanpa alasan yang jelas.”
Aku
mengangguk sambil
memberikan kamus Bahasa Inggris kepadanya, dan Fujinami-san pergi meninggalkan kamarku sambil
mengatakan, “Aku akan
mengembalikannya besok.”
Saat
punggungnya menghilang di balik pintu,
aku menggumamkan ucapan 'terima
kasih' kepadanya.
Aku
tinggal sendirian di kamar, duduk di atas tempat tidur sambil terus memutar
video yang direkomendasikan Ayase-san kepadaku dalam mode berulang.
Penyadaran
Fujinami-san menyentuh titik yang
menyakitkan.
Aku merasa
bahwa keinginanku untuk memenuhi harapan Ayase-san
bukanlah hal yang
buruk. Namun, keyakinan bahwa aku akan dibenci jika tidak memenuhi harapan
tersebut hanyalah pandangan subjektifku.
Ayase-san seharusnya berbeda dari ibu
kandungku─ setiap orang berbeda. Dan yang lebih penting dari itu semua─.
Daripada
berusaha memenuhi harapan orang lain, aku harus lebih banyak memikirkan tujuan
ujianku sendiri.
Aku
mengingat kembali perkataan Fujinami-san yang mengatakan bahwa dirinya hanya menjalani kehidupan untuk dirinya sendiri.
Aku merasa
kalau itu terlalu kesepian.
Namun── pertama-tama
yang harus aku lakukan adalah berusaha
untuk diriku sendiri. Itu harus menjadi prioritas utama.
“Mungkin
aku memang terlalu terburu-buru...”
Aku
bergumam sambil menatap langit-langit.
Sambil
mendengarkan musik seperti lagu pengantar tidur yang mengalir dari ponsel, aku
tanpa sadar sudah tertidur lelap.
Wajah gadis
yang tidak bisa kutemui di balik
tidur tanpa mimpi, tampak
tersenyum bahagia.