Gimai Seikatsu Jilid 10 Bab 11 Bahasa Indonesia

 Bab 116 Agustus (Jumat) Asamura Yuuta

 

 

Waktu pagi di hari kelima pembelajaran intensif.

Aku bangun lebih awal dari biasanya.

Aku melihat layar ponsel yang aku letakkan di sebelahku.

Pukul 05:57 pagi.

Waktunya masih sebelum jam enam. Aku mengingat kalau kemarin juga aku tidur setelah jam tiga pagi, tapi pikiranku terasa segar.

Aku masih mempunyai waktu dua jam sebelum sarapan. Rasanya setiap hari aku jadi bangun lebih pagi dari biasanya.

Tapi, ini bagus juga. Aku menyibak selimut ke atas, mencuci muka, dan langsung mulai mempersiapkan pelajaran hari ini.

Kemarin juga ada ujian.

Tapi, aku masih belum bisa menyelesaikannya sesuai dengan yang kuinginkan.

Aku masih bisa mendengar suara-suara pensil peserta lain yang ada di sekitarku.

Bukan hanya itu saja. Setiap kali ada jam pelajaran kelas, aku bisa merasakan perbedaan dengan orang-orang di sekitarku. Setiap kali ada jeda dalam pelajaran, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam kepada pengajar. Itu bukan hanya masalah mendengarkan materi pelajaran dan asal mencatat saja.

Aku harus memahami lebih banyak dan lebih cepat dalam menyelesaikan soal, jika tidak, aku tidak akan bisa mengalahkan mereka. Jika kalah, aku akan gagal. Universitas Ichinose adalah universitas yang sulit untuk masuk. Dan keluargaku juga bukan begitu berada. Apalagi aku dan Ayase-san sama-sama ingin melanjutkan kuliah di waktu yang sama, jadi mana mungkin aku akan menjadi ronin di sini.

Tapi jika aku menurunkan pilihan universitas, aku merasa kalau aku tidak akan bisa bersanding dengan Ayase-san. Dia pasti akan lulus.

Oleh karena itu, aku tidak punya pilihan lain selain berusaha lebih keras.

Ketika aku kehilangan konsentrasi, aku melihat jam dan menyadari kalau waktunya sudah hampir menunjukkan jam sembilan.

Beberapa menit lagi jam pelajaran kursus akan dimulai.

Aku buru-buru keluar dari kamar. Tidak lucu rasanya jika aku terlambat menghadiri pelajaran kursus karena aku sudah melakukan persiapan.

Lift masih ramai hari ini, tetapi aku berhasil masuk ke dalam ruang kelas tepat waktu.

Sebelum aku sempat mengambil napas, pengajar masuk dan pelajaran pertama hari kelima dimulai. Kegiatan pembelajaran intensif sudah sampai pada pertengahan, dan mulai hari ini adalah babak kedua.

Pelajaran kursus terus berlanjut selama dua sesi hingga pukul 12, lalu tiba waktunya untuk makan siang.

Perutku mulai merasa lapar karena tidak sarapan. Meskipun makanan di kantin disajikan dalam bentuk prasmanan (biaya tiga kali makan sudah termasuk dalam biaya menginap), aku merasa akan mengantuk jika makan terlalu banyak dalam kondisiku yang seperti sekarang.

Setelah mengambil roti dan susu, aku menghabiskan waktu untuk meninjau kembali kosa kata dan mempersiapkan pelajaran. Belakangan ini, porsi makananku selalu seperti ini.

Aku menghadiri jam pelajaran sore. Dengan jeda istirahat, empat sesi pelajaran selama 90 menit berlangsung dari pukul 13:00 hingga 20:00, dan setelah semuanya selesai, akhirnya tiba waktunya untuk makan malam.

Perutku mulai berbunyi keras karena aku hanya makan camilan sejauh ini.

Seperti yang diharapkan... kurasa aku akan makan kari saja untuk malam ini.

Aku berkeliaran di sekitar kantin sambil bergumam sendiri.

Aku mengambil kari dan jus jeruk, lalu mencari tempat duduk yang kosong.

Ketika aku mendengar ada seseorang yang memanggilku, aku mendongak dan melihat Fujinami-san mengisyaratkanku untuk duduk di kursi kosong yang ada di depannya. Aku duduk di sana sambil mengucapkan terima kasih, dan sambil memutar halaman buku kosakata, aku makan malam sambil menyatakan permintaan maaf.

Setelah sekitar 5 menit, aku selesai makan. Ketika aku berkata Baiklah, sambil berdiri dari kursi, Fujinami-san tampak terkejut.

“Mau bagaimanapun juga, bukannya porsi segitu masih tidak membuatmu kenyang, ‘kan?:

Tidak, aku sudah cukup kenyang.

Ketika aku menjawab demikian, entah mengapa Fujinami-san menatap wajahku saya dengan penuh perhatian.

“Umm...maaf, mungkin aku menanyakan sesuatu yang kurang sopan, tapi apa kamu tidur dengan nyenyak?

Eh, itu sih tentu saja.

“Tapi, ada lingkaran hitam di sekitar matamu, tau?

Aku mengucek mataku. Aku tidak pernah berpikir bahwa hanya dengan mengurangi sedikit waktu tidur selama beberapa hari dapat menyebabkan hal seperti itu, tapi rasanya memang sedikit menggangguku ketika ada orang lain yang mengatakannya. Yah, kupikir itu baik-baik saja.

Aku ingin segera kembali ke kamar dan melanjutkan belajar. Aku merasa sudah membuat banyak kemajuan hari ini.

“Begitu. Baiklah, aku akan lebih berhati-hati. Sampai jumpa.

Setelah mengatakan itu, aku berdiri sambil masih memegang nampan.

Kamu akan membawanya ke mana?

Eh, hah? Oh, ya, benar juga. Ini bukan kantin sekolahan.”

Di kantin tempat pembelajaran intensif ini mempunyai peraturan kalau kita boleh meninggalkan nampan setelah selesai makan. Aku melupakannya.

Saat aku hendak pergi setelah meninggalkan nampan di meja, aku dihentikan oleh Fujinami-san.

Asamura-san, apa kamu membawa kamus bahasa Inggris?"

Eh? Oh, iya, aku membawanya untuk jaga-jaga.”

Tolong pinjamkan kepadaku nanti. Aku ingin menggunakannya untuk sedikit persiapan.

Tidak masalah. Kalau kamu mau, aku bisa mengambilkannya sekarang.

“Kamu bisa melakukannya nanti. Aku tidak ingin merepotkanmu sekarang. Jika ada urusan seperti peminjaman kamus, aku akan datang ke sana.

Kamar hotel dipisahkan berdasarkan gender. Namun, tampaknya peminjaman barang seperti kamus diizinkan jika memberi tahu terlebih dahulu.

Setelah memberitahunya nomor kamarku, aku membuat mencatat mental di sudut pikiranku untuk menyiapkan kamus.

Baiklah, kalau begitu, selamat malam.

...Ya. Sampai jumpa lagi.

Aku bangkit dari tempat dudukku, berpikir bahwa itu adalah jawaban blak-blakan yang sepertinya bukan jawaban khas Fujinami-san. Kalau dipikir-pikir, rasanya sudah lama sejak terakhir kali aku berbicara dengan Fujinami-san, padahal kami berdua berada di kamp pelatihan yang sama, dan kami hanya bertemu sesekali.

Faktanya, ini adalah pertama kalinya dalam beberapa hari aku berbicara dengan seseorang.

Satu-satunya komunikasi yang kulakukan dengan Ayase-san hanyalah melalui pesan singkat dan tidak ada panggilan telepon.

Aku ingin mendengar suaranya.

Aku terkejut dengan kata-kata yang aku ucapkan tadi. Tidak, aku tidak punya waktu luang untuk itu. Saat ini, aku harus fokus belajar sebanyak mungkin meskipun itu cuma semenit.

Sekarang masih jam 8 malam, jadi aku bisa belajar selama dua jam ke depan.

Setibanya di kamar, aku membuka buku soal matematika.

 

◇◇◇◇

 

 

Suara notifikasi smartphone membuyarkan konsentrasiku.

Saat aku melihat bilah notifikasi yang muncul sejenak, sepertinya itu dari Ayase-san.

Biasanya dia mengirim pesan sebelum tidur. Padahal hari ini belum terlalu, aku penasaran apa terjadi sesuatu dengannya? Saya menjadi penasaran dan hendak mengambil smarphone-ku ketika aku mendengar ketukan kecil di pintu.

……Kira-kira siapa ya.

Saat aku melihat melalui lubang intip dengan penuh tanda tanya, aku melihat Fujinami-san berdiri di sana.

Aku buru-buru membuka pintu kamarku. Oh iya, dia bilang kalau dia ingin meminjam kamus. Uhmm…….

Maaf, aku akan mengambil kamusnya sekarang.

“Tidak, yang lebih penting, boleh aku masuk sebentar?”

Ah, iya, tentu. Aku tidak keberatan.

Terima kasih. Aku akan terlihat mencurigakan jika aku berdiri di lorong terlalu lama. Itu akan sangat membantu.

Dia memasuki ruangan sembari berbicara demikian.

“Kamu ingin meminjam kamus bahasa Inggris, kan? Tunggu sebentar—

Ah, jangan terlalu terburu-buru begitu. Lagipula, itu cuma sebagai alasan saja.

Hah?

“Alasan?

Aku merasa penasaran, jadi kupikir aku ingin berbicara sedikit denganmu. Yah, biasanya aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak ikut campur dalam urusan orang lain. Tapi ya lagipula kita bukan sama sekali orang asing.

Sambil mengatakan itu, Fujinami-san menghampiriku dan menatap wajahku.

“Haa.... ini sih sudah parah sekali.”

“Hah? Apanya?

“Kondisi wajahmu terlihat sangat buruk. Sudah berapa hari kamu tidak tidur?

Tidak, aku tidur dengan benar, kok.

“Kalau hari ini?

Aku tidur selama dua jam.

Kemarin?

...Aku tidur selama dua jam, bukan, tiga jam.

“Aku benar-benar kaget. Durasi tidur segitulah yang disebut tidak tidur.”

Fujinami-san menghela nafas panjang, meletakkan tangannya di dahi, dan menggelengkan kepalanya.

Aku tidak mengerti mengapa dia begitu terperangah. Karena aku benar-benar tidak mengantuk. Aku bahkan tidak tertidur selama jam pelajaran.

Tidak, tapi aku sama sekali tidak merasa mengantuk.

“Jadi dengan kata lain, itu bukan karena kamu tidak tidur, tapi kamu tidak bisa tidur, ya?

“Tapi aku merasa kalau keadaanku lumayan baik. Jarang sekali aku bisa berkonsentrasi pada pelajaran sebanyak ini.

“Hee~. Kalau begitu, kurasa nilai ujian simulasimu sudah meningkat. Kamu belum mendapatkan hasilnya kembali, tapi kurasa kamu sudah melakukan penilaian secara mandiri, bukan?

“Itu sih

Aku hanya bisa terdiam.

Itu hanya ujian simulasi keduaku selama pembelajaran intensif, tetapi ujian kemarin mungkin ujian terburuk yang pernah aku lakukan dalam hal penilaian mandiri. Rumus-rumus yang kupikir sudah menghafalinya, ternyata benar-benar hilang, dan aku salah menghitung alokasi waktu, sehingga aku bahkan tidak menyelesaikan setengah dari bagian kedua dari ujian tersebut.

“Haah. Yah, aku yakin kamu tidak suka mendengarku mengatakan hal seperti ini, tapi—

Ah, tidak. Um... bagaimana kalau kamu bisa duduk dulu?”

Aku menawarkan kursi yang baru saja kududuki kepada Fujinami-san, yang tampaknya masih ingin membicarakan sesuatu.

Akan tetapi, Fujinami berkata, “Aku tidak berniat untuk berlama-lama, jadi aku akan tetap seperti ini dan berdiri di depanku tanpa duduk.

Jadi, mengapa kamu kelihatan begitu tergesa-gesa?

Eh...

Memangnya aku terlihat tergesa-gesa?

“Kalau tidak salah perguruan tinggi pilihanmu adalah Universitas Ichinose, ‘kan? Aku menyadari kalau ujian masuknya sangat sulit, tapi dengan kondisimu yang saat ini, apa kamu benar-benar memahami pelajaran dengan baik? Aku merasa kalau itu akan lebih efisien jika kamu melakukannya dengan lebih rileks.”

Tetapi jika aku tidak melakukan hal ini, aku tidak akan bisa mengejar ketertinggalan dari orang-orang di sekitarku. Tidak, aku bahkan takkan bisa melampaui mereka.

“Orang-orang di sekitarmu... maksudmu orang-orang yang datang ke acara pembelajaran intensif ini?

Aku balas mengangguk.

“Kupikir siswa SMA yang datang ke pembelajaran intensif seperti ini adalah mereka yang terbaik dari yang terbaik. Tidak mengherankan jika kamu merasa kesulitan untuk mengalahkan mereka. Tapi, memang ada gunanya untuk membandingkan diri dengan mereka?

Tentu saja ada. Karena ujian masuk adalah persaingan, sudah sewajarnya jika aku membandingkan diri. Dan jika aku tidak bisa mengalahkan lawan selevel itu, Aku tidak akan bisa masuk Universitas Ichinose.

Aku tidak berpikir bahwa semua orang yang datang ke pembelajaran intensif ini adalah sainganku untuk masuk ke Ichinose. Namun, tidak diragukan lagi bahwa lawan selevel ini adalah saingan.

“Jadi begitu rupanya. Mari kita ubah cara bertanyaku. Kenapa kamu ingin masuk ke Universitas Ichinose?”

Eh, itu sih, tentu saja—

“Kamu ingin masuk fakultas apa? Apa itu berkaitan dengan pekerjaan yang ingin kamu tekuni di masa depan? Apa ada alasan khusus mengapa kamu harus masuk Ichinose?

“Itu sih... tidak ada... alasan khusus...

“Itulah sebabnya aku merasa jengkel. Jika kamu tidak memiliki alasan khusus seperti itu, maka sebenarnya tidak ada alasan khusus mengapa kamu harus masuk ke Universitas Ichinose. Lantas, mengapa kamu begitu tergesa-gesa?

Dia menatapku dengan tatapan tajam.

Saat kami saling berpandangan dalam diam, aku memalingkan pandanganku lebih dulu.

“Memang... tidak ada alasan khusus mengapa harus masuk Ichinose. Tapi, aku mempunyai seseorang yang ingin aku jalani masa depan bersamanya.

Ketika aku mengatakan hal itu, Fujinami-san mengangguk.

Oh, orang yang pernah kamu ceritakan sebelumnya kan. Begitu rupanya, jadi dia adalah seseorang yang kamu pikirkan begitu serius. Hal yang cukup jarang terjadi di zaman sekarang.

“Memangnya sejarang itu ya.

“Menurutku begitu. Remaja yang memikirkan hal-hal jauh ke depan seperti itu tidak terlalu banyak di zaman sekarang.

Jauh ke depan...

Yeah. Itu masih terlalu jauh sekali. Dalam era di mana pernikahan di usia muda semakin langka, berpikir tentang pernikahan ketika masih remaja itu mirip seperti bercerita tentang masa depan yang tak kunjung datang, bukan?

Itu adalah ungkapan yang agak puitis.

“Selain itu, kamu berharap untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, bukan? Bagaimana dengan dia?

“Dia juga ingin melanjutkan kuliah.”

Jika memang begitu, yah, kecuali kalian berdua memutuskan untuk menikah karena terlanjur sudah hamil duluan, kemungkinan besar akan setelah lulus, kan? Jadi sekitar 4 atau 5 tahun lagi. Oh, jika hanya mengenai kehidupan bersama, mungkin saja bisa dilakukan sekarang juga.

Jika hanya masalah tinggal bersama, kami sudah melakukannya... tidak, bukan itu maksudnya.

Bukan gaya hidup yang seperti itu yang aku bicarakan.

“Aku tahu, aku tadi cuma bercanda. Kamu ingin menikahinya, bukan?”

“Me

Kata-kata menikah masih terlalu abstrak bagiku. Hanya dengan berpikir untuk mengucapkannya saja sudah membuat jantungku berdebar.

“Yah, ada orang yang tidak terlalu mempermasalahkan apakah mereka akan menikah secara resmi atau tidak, tapi sepertinya Asamura-san tergolong konservatif dalam hal itu, jadi jika kamu ingin hidup Bersama dengannya, itu berarti kamu ingin menikahi pasanganmu, bukan?

“Yah, mungkin...saja begitu.

Aku belum pernah memikirkannya secara spesifik.

Tapi, aku mempunyai seseorang yang ingin aku dukung.

Meskipun aku merasa kalau kita telah membangun hubungan saling percaya sekarang, tapi perasaan tidaklah abadi.

Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi seiring berjalannya waktu. Bahkan Shinjo pun dalam waktu setengah tahun saja sudah tidak lagi merasakan perasaan romantis kepada Ayase-san.

Demi terus mendapatkan kepercayaan darinya, aku harus menetapkan standar yang lebih tinggi.

Untuk tetap menjadi versi terbaik dari diriku sendiri dan menjadi seseorang yang bisa memberikan dukungan, aku ingin bisa masuk ke universitas yang lebih baik dan memilih tempat kerja yang lebih baik.

Aku mengungkapkan perasaan jujurku.

Fujinami-san mendengarkan kata-kataku dengan diam.

Jika tidak begitu, aku merasa tidak pantas baginya.

...Tidak pantas?

Aku mengedipkan mataku ketika merasa seperti mengalami deja vu saat melihat Fujinami-san miringkan kepalanya.

“Memangnya tidak pantas itu buruk? Oh, tunggu sebentar. Sepertinya aku pernah merasakan hal yang sama sebelumnya...

Fujinami-san menatap langit-langit sebentar sebelum kembali menatapku.

Aku ingat. Saat hari pertama pembelajaran intensif, kamu juga mengungkapkan hal serupa. Saat itu, ketika ditanya mengapa kamu memilih Ichinose. Karena hanya setengah dari motivasimu, ia merasa 'malu'. Benar, begitulah yang kamu katakan bukan, Asamura-san?

Benar... aku memang mengatakan begitu, tapi...

Mengapa kamu harus membandingkan dirimu denganku?

Karena...

Fujinami-san yang menatapku dengan tajam, seketika mengangguk seolah menyadari sesuatu.

“Begitu, apa ini karena rasa rendah diri?

Apa yang dikatakan Fujinami-san membuatku terkejut, sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikiranku.

Afirmasi diri adalah perasaan menegaskan keberadaan diri sendiri, bukan?

“Secara garis besarnya memang bisa dikatakan begitu.

Meskipun dikatakan bahwa afirmasi dirimu itu terlalu rendah...

Sejujurnya, aku tidak begitu mengerti apa yang sedang dia bicarakan.

Saat aku memiringkan kepalaku, dia mulai menjelaskan.

Apakah kamu percaya bahwa meskipun kamu merasa dirimu hanyalah sampah yang tak berguna dan tidak bisa memberi apa pun kepada orang lain, kamu tetap bisa dicintai? 'Sampah' di sini bisa berupa kata-kata negatif seperti 'tidak berbakat' atau 'penakut', tetapi pada dasarnya, itu tentang menerima dirimu sendiri apa adanya.

Menerima diriku sendiri apa adanya...

“Bisa dibilang, ini tentang menilai diri sendiri tanpa bias. Pada dasarnya, itu adalah langkah pertama. Pertama-tama, apakah kamu bisa melakukannya. Dan apa kamu bisa menerima dirimu sendiri.

Aku terdiam saat mendengarnya.

Melihat tanpa prasangka. Itu adalah hal yang selalu aku usahakan.

Setidaknya, aku berusaha untuk tidak membiarkan prasangka menghiasi pandanganku terhadap orang lain.

Namun, bagaimana dengan diriku sendiri?

“Kupikir Asamura-san memiliki bias dan distorsi dalam pengenalan dirinya. Aku pikir kamu tipe orang yang sejak awal memiliki penilaian diri yang rendah.

Penilaian diri yang rendah... Kadang-kadang teman-temanku juga mengatakan hal yang sama padaku, tapi...

“Sudah kuduga. Yah, kamu kelihatannya seperti orang yang rendah hati, jadi aku rasa itu bagus untuk sifat sosialmu, tapi saat kita pertama kali bertemu, kamu mengatakan bahwa kamu bukan orang yang banyak bicara. Meskipun kamu terlihat merendahkan diri sendiri, kamu tidak terlalu membandingkan dirimu dengan orang lain, bukan?

Mungkin... iya.

Karena waktu itu, meskipun kamu sedang bersekolah di sekolah bimbel, kamu masih bersedia menghabiskan waktu malam di Shibuya bersamaku. Aku tidak merasa kamu begitu cemas melihat bahwa orang di sekitarmu tampak lebih unggul daripada dirimu─benar, ‘kan? Dengan kata lain, kamu tidak terlalu khawatir tentang membandingkan dirimu dengan orang lain.

Hal yang dikatakan Fujinami membuatku merenung dan menggerutu.

Memang benar, saat ujian reguler aku kalah dari Maru dan Narasaka-san yang selalu mendapat nilai sempurna, tapi itu tidak membuatku panik atau meningkatkan jam belajar secara signifikan.

Kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak ingat pernah membandingkan diriku dengan orang lain dan merendahkan diriku sendiri. Meskipun tidak selalu demikian, namun saat memasuki SMA, aku telah menjadi pribadi yang memandang orang lain sebagai orang lain dan diriku sebagai diriku sendiri.

Sebenarnya, aku tidak punya pilihan selain menjadi seperti itu. Jika tidak, dengan kegagalan dalam ujian masuk SD dan SMP, aku pasti akan tenggelam dalam penilaian diri yang rendah.

Alasan mengapa aku memandang dunia dengan cara yang netral sebagai motto hidupku juga banyak dipengaruhi oleh membaca berbagai novel yang beragam. Ada begitu banyak hiburan di mana kelemahan berubah menjadi kelebihan, dan tren yang tidak menguntungkan dibalikkan.

Apa aku─ benar-benar kehilangan kemampuan untuk melihat segala sesuatu secara netral?

Ketika aku memperlihatkanmu kehidupan malam di Shibuya kepadamu tahun lalu. Aku pikir aku telah menunjukkan dunia di mana bahkan orang yang tidak berguna pun bisa hidup dengan baik.

“Aku merasa kalau itu hal yang wajar. Pada dasarnya, penilaian orang terhadapmu akan berubah seiring perubahan sudut pandang mereka, dan hidup itu tidak berarti karena kamu memiliki nilai hidup, tapi kamu memiliki nilai karena kamu hidup. Jadi, semua orang yang hidup pantas untuk menjalani kehidupan dengan baik.

Ketika aku mengucapkannya, aku dibuat terkejut dengan kata-kataku sendiri.

Jadi, mengapa aku begitu khawatir tentang penilaian rendahku sekarang?

Kamu tampaknya berusaha melihat orang lain secara netral ketika menilai mereka. Tapi, ada distorsi dalam penilaian dirimu sendiri. Rasa percaya diri yang rendah. Aku tidak tahu apa penyebabnya.

Itu karena─

Aku mulai menyadari sedikit demi sedikit. Penilaian rendah terhadap diriku sendiri berasal dari fakta bahwa prestasiku masa laluku cukup mengecewakan sampai membuat ibu kandungku marah. Aku merasa bahwa nilai diriku begitu rendah sehingga aku kehilangan hak untuk menerima kasih sayang ibu kandungku. Aku merasa bahwa diriku memiliki nilai yang begitu rendah sehingga aku kehilangan kasih sayang ibu kandungku.

Apa karena hal itulah yang menyebabkanmu menurunkan penilaian dirimu saat ini, dan menjadi faktor yang membuat rasa percaya dirimu semakin rendah?

Aku terdiam.

Tapi...

Namun jika aku terus menerima situasi saat ini dengan pasrah, aku tidak akan pernah bisa mengejar Ayase-san.

“Kamu masih punya alasan untuk berkata 'tapi'?

Fujinami-san menghela nafas dan melakukan tindakan yang tak terduga.

Dia mendekatiku dengan seketika, lalu tiba-tiba mendorong dadaku dengan tegas sehingga aku terjatuh tanpa daya dari tempat duduk di ranjang yang tidak memiliki sandaran.

Aku berusaha menyeimbangkan diri saat tanganku berayun di udara. Lalu, kedua pergelangan tanganku dipegang dan diikat seperti sedang dipasangi borgol. Lalu, lengan saya ditekuk dan dipaksa menekan pergelangan tanganku sendiri ke dada.

Aku dibuat seperti sedang berdoa, namun situasinya lebih condong ke arah yang lain.

Kalau ini adegan dalam drama polisi, mungkin saat ini mereka akan berteriak 'Aku sudah mengamankan tersangka!'

Dia tersenyum sambil mengatakan itu. Sambil sedikit membungkuk, wajah cantik Fujinami-san terlihat mendekati wajahku. Di balik wajahnya, aku bisa melihat detektor asap di langit-langit kamar. Dengan jarak yang begitu dekat, Fujinami-san berkata,

Dengan begini, kamu tidak akan bisa belajar meskipun ingin melakukannya.

Tidak, kamu pasti sedang bercanda, ‘kan?”

“Yah, dengarkan saja dulu. Aku tahu bahwa melakukan hal seperti ini tidak akan ada gunanya, tapi aku hanya ingin kamu membayangkannya sedikit saja.

Sambil berkata demikian, dia menekan pergelangan tanganku yang terikat dengan erat.

Sakit, sakit, sakit. Selain memiliki postur tubuh yang lebih tinggi dariku, Fujinami-san juga terlihat memiliki kekuatan lengan dan kekuatan cengkeram yang cukup. Dia benar-benar mengamankan diriku dengan kuat.

“Membayangkan...?

“Aku ingin tahu bagaimana pendapatmu jika seseorang yang penting bagimu, mengganggu belajarmu dengan cara yang tidak menyenangkan seperti ini?

Bagaimana Fujinami-san yang berada di hadapanku sekarang adalah Ayase-san?

“Kupikir Ayase-san tidak akan melakukan hal seperti ini.

Oh, jadi itu namanya, ya... Jadi bagaimana jika gadis yang bernama Ayase-san...

Ah, bukan, karena itu adalah nama belakangnya.

Eh?

Dengan ekspresi konyol, Fujinami-san secara refleks (mungkin) melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan yang dia genggam.

Sambil menggosok pergelangan tanganku, aku bangkit dari atas kasur.

Namanya Saki. Yah, menurutku bukan itu masalahnya sekarang...

“Kamu memanggil calon pasangan yang ingin kamu nikahi dengan nama belakang?

Ya, kenapa?

“.....Eh? kamu pasti bohong, kan?

Tidak.

“Memangnya dia tidak marah?

Dia juga memanggilku dengan nama belakangku.

Di rumah, kami berdua saling memanggil dengan panggilan Yuuta-niisan dan Saki, tapi pada dasarnya siswa menghabiskan waktu bersama di rumah dalam waktu yang singkat, jadi secara total, mungkin sekarang lebih banyak Ayase-san dan Asamura-kun.

Di dalam hatiku, aku masih memanggilnya Ayase-san.

Fujinami-san kemudian menghela nafas paling keras hari itu untuk pertama kalinya dalam beberapa hari.

Meskipun aku tidak ingin mencampuri urusan percintaan orang lain, tapi apa sih yang sedang kalian lakukan? Tindakan kalian tidak mirip seperti perilaku pasangan kekasih yang sedang mempertimbangkan pernikahan. Jangan bilang kalau kalian berdua bahkan belum mencium satu sama lain.

Tentu saja tidak.

“Kalau lebih dari itu?:

“Apa aku harus memberitahumu?

Tidak perlu. Sudah cukup. Aku sudah mendapat gambaran besar dari jawabanmu. Lebih penting, tentang jawaban sebelumnya tadi.

Fujinami-san berkata sambil mengambil langkah mundur.

“Bagaimana kalau pacarmu yang menghalangimu belajar?

Aku memikirkannya dengan serius.

Pada dasarnya, ada kemungkinan bahwa dia takkan melakukan hal seperti itu. Namun, jika Ayase-san tiba-tiba masuk ke kamarku dan mencoba mengganggu belajarku dengan paksa... Kurasa dia tidak perlu benar-benar membatasi tanganku. Itu hanya sebatas perumpamaan. Dia bisa saja mengambil pensilku, atau melemparkan buku pelajaran yang terbuka.

Aku mungkin akan mencoba memahami alasan di balik tindakannya.

“Yah kurasa itu tipikal dirimu, karena kamu masih tidak marah dan bahkan mengatakan ‘kamu pasti bercanda, ‘kan?’. Kurasa kamu masih terlalu santai. Bagaimana jika dia mendadak menamparmu dengan paksa?

Sama saja. Aku akan mencoba memahami alasan di balik tindakannya sebelum marah.

Tapi, jika itu dilakukan oleh orang asing tak dikenal, kamu pasti akan marah, kan?

Ya, tentu saja.

Jika tiba-tiba dipukul di pipi saat berjalan di jalanan, kupikir aku akan terkejut lebih dulu daripada marah.

“Kamu tidak akan marah pada pacarmu. Jadi, kamu tidak akan membenci pasanganmu karena itu, kan? Jadi, mengapa menurutmu dia akan membencimu karena melakukan sesuatu yang tidak dia sukai? Mengapa kamu berpikir bahwa dia akan membencimu karena itu?

Eh...

Jujur, aku terkejut oleh pertanyaan itu.

Aku belum pernah memikirkan hal seperti itu.

Contohnya saja begini, jika kamu belajar sampai pingsan dan tidak bisa mengikuti ujian, atau jika kamu sakit saat ujian dan mendapat nilai merah tanpa alasan yang jelas. Apa pasanganmu akan marah tanpa mendengarkan alasanmu?

Itu...

Sejenak, aku terdiam.

Aku ingin mengatakan bahwa itu tidak mungkin.

Namun, aku kebingungan karena tidak tahu jawabannya.

Aku berusaha keras saat mengikuti ujian masuk SD dan SMP. Setidaknya, aku merasa telah melakukan yang terbaik pada saat itu. Aku yakin ibu kandungku akan senang jika aku lulus ujian. Aku juga ingin membuatnya bahagia.

Namun─ pada kenyataannya, kemampuanku masih tidak cukup. Jika dikatakan bahwa kegagalanku disebabkan oleh ketidakcukupan usaha, aku tidak bisa melawan. Saat ujian semakin dekat, aku kehilangan nafsu makan, sulit tidur malam, dan pergi mengikuti ujian dalam keadaan yang sangat lemah. Ayahku menyarankan agar aku istirahat lebih banyak karena kesehatanku lebih penting, tapi aku terlalu takut untuk beristirahat.

Aku gagal dalam ujian.

Aku kehilangan kasih sayang ibu kandungku.

Saat aku gagal dalam ujian masuk SMP, aku disaksikan dengan tatapan yang menyiratkan lagi-lagi dan ibu kandungku menghela nafas besar di depanku sebelum menggelengkan kepalanya, menyuruhku pergi ke tempat lain karena dia tidak ingin melihat wajahku lagi.

Beberapa waktu kemudian, perceraian orang tuaku resmi terjadi, dan ibu pergi.

Untuk mendapatkan kasih sayang dari orang lain, aku harus menunjukkan hasil yang memenuhi harapan mereka. Aku mulai sangat sadar akan hal ini. Karena aku tidak suka mendapat harapan─ maka aku mulai menjauhi orang lain.

“Kamu tidak bisa menjawabnya? Nah, coba gantikan dengan orang lain selain pacarmu... coba pikirkan teman atau orang tua.

Teman...

Jika itu Maru. Untuk beberapa alasan, dia mungkin akan menatapku dan bertanya, Ada masalah apa? karena dia akan menghargaiku cukup tinggi. Ayahku... jika aku berjuang seperti dulu, dia mungkin akan berkata, Kamu sudah berusaha sebaik mungkin, jadi jangan terlalu khawatir.

Setidaknya Maru dan Ayahku akan mendengarkan alasanku jika aku bertindak berbeda.

Jika ada seseorang yang bisa menerimamu tanpa marah pada saat itu, itu berarti kamu sudah membangun afirmasi diri pada dirimu sendiri. Jika tidak ada yang bisa kamu bayangkan, itu menunjukkan rasa meragukan diri yang kuat. Bagaimana? Apa ada seseorang?

“Yah... tidak banyak sih.

Oh, bukannya itu bagus. Lebih baik daripada tidak sama sekali. Ngomong-ngomong, aku malah tidak bisa membayangkan siapa-siapa.”

Aku terdiam.

Namun, ketika aku kembali mengingat ceritanya, Fujinami-san adalah anak yang ditolak oleh keluarga dan sanak saudaranya.

Tidak ada yang pernah memberitahuku bahwa aku pantas untuk hidup. Saat aku diambil oleh orang tua angkatku yang sekarang, aku merasa sangat tersiksa. Aku adalah anak yang kasar dan bengis. Kulit saya kasar, cara bicaraku kotor. Aku bahkan tidak suka berfoto bersama teman-teman sekelas. Aku tidak bisa membayangkan bahwa seseorang akan mencintai diriku dalam keadaan seperti itu.

Setelah berhenti sejenak, Fujinami-san kembali melanjutkan.

Ketika ibu angkatku memberi nasihat kepada saya, perkataanya sangat tegas. Dia berkata, 'Jangan pernah berharap ada orang yang mencintaimu'.

 

Hal tersebut terjadi setelah dia diadopsi oleh orang tua angkatnya yang sekarang.

Wanita yang menjadi pengasuhnya, seorang wanita tangguh di gang-gang belakang Shibuya, mengatakan hal ini:

[Kota ini kejam, jadi jangan berharap ada seseorang yang mencintaimu.]

Dia berbicara dengan nada seakan-akan memberitahu kebenaran dunia kepada gadis kecil yang masih berusia sekolah SMP, tanpa mengucapkan kata-kata manis karena dia masih anak-anak.

[Jika kamu terus-menerus gampang terpengaruh oleh pendapat orang lain, kamu tidak akan bisa bertahan di sini. Bergantung pada kasih sayang orang lain adalah sia-sia. Jangan pernah berharap pada kasih sayang dari orang lain. Jika kamu benar-benar menginginkan cinta, cukup cintai dirimu sendiri saja.]

Dan Fujinami-san mulai berhenti berharap pada orang lain.

Apa menurutmu menentukan tindakanmu berdasarkan bagaimana orang lain melihatmu, sama saja dengan menyerahkan kendali hidupmu kepada orang lain? Sampai SMP, aku juga berusaha keras untuk memenuhi harapan orang lain. Sayangnya, hasilnya membuatku harus pergi meninggalkan rumah.

Aku merasakan hal yang sama.

Meski ada perbedaan dalam tingkatnya. Namun, baik dia maupun diriku sama-sama menderita karena tidak bisa memenuhi harapan orang lain.

“Aku menjalani hidup untuk kebaikan diriku sendiri. Aku merasa lebih tenang setelah memulai dengan pemikiran itu. Karena itu untuk diriku sendiri, aku tidak perlu peduli dengan pendapat orang lain terhadap hasilnya. Meskipun aku memberikan seruan semacam ceramah padamu yang seumuran, aku tidak perlu khawatir tentang apakah aku akan dibenci atau tidak.

Demi pihak lain.

Demi seseorang.

Demi orang lain.

Demi keluarga.

Demi kekasih.

Kamu sebaiknya menghentikan pemikiran seperti itu,. Setidaknya saat ini, kamu terjebak dalam situasi sulit karena pemikiran itu. Jika kamu bersama seseorang yang membencimu dan menyangkal hasil hidupmu yang hanya untuk dirimu sendiri, kurasa tidak ada gunanya menjalin hubungan dengan seseorang seperti itu, bukan?

Aku tidak menjalin hubungan karena masalah nilai atau semacamnya.

Fujinami-san menghela nafas setelah aku mengucapkan kata-kata tersebut dan kemudian diam.

Aku bisa memahami apa yang dia katakan.

Tapi....

Aku memahami apa yang ingin kamu sampaikan. Namun, berusaha keras untuk memenuhi harapan bukanlah hal yang buruk.

Aku tidak bisa bersikap seenaknya seperti dirinya.

Mungkin karena aku masih mengingatnya dengan jelas.

Raut wajah senang ayahku saat aku lulus ujian masuk SMA Suisei.

Wajahnya Ayase-san yang menunggu di Pantai Palawan saat aku datang menghampirinya.

Ekspresi kebahagiaan saat aku berhasil memenuhi harapannya masih jelas terpatri di dalam benakku.

“Ini tentang hidupmu sendiri, loh?”

“Itulah sebabnya karena ini tentang hidupku sendiri. Bukannya menjalani kehidupan hanya untuk dirimu sendiri saja terasa membosankan?”

Kami berdua sama-sama terdiam seolah mencari kata-kata selanjutnya.

Kemudian tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi dengan suara canggung.

Itu suara pemberitahuan pesan masuk.

Saat aku melirik, aku melihat kata Ayase pada bilah notofokasi. Aku ingat bahwa ada pemberitahuan sebelum Fujinami-san datang. Mungkin dia khawatir karena tidak mendapat balasan dariku.

“Kamu boleh melihatnya, kok.”

Aku diam-diam mengambil smartphone-ku.

URL video...?

Sepertinya tautan tersebut mengarahkan ke situs streaming video, tapi apa yang ingin dia tunjukkan? Ketika aku melihat pesan, di sana hanya tertulis “Aku merekomendasikan ini”.

Jika itu dari pacarmu, silakan saja. Baik itu balasan atau obrolan, jangan terlalu pedulikan aku. Dengan ini aku─

Oh, tidak, mungkin ini bukan hal yang penting─

Suara musik mulai terdengar dari video yang aku ketuk.

Musiknya pelan seperti suara hujan. Suara yang samar-samar dan sayup-sayup...

“Lo-fi hip hop?”

Aku pernah menunjukkannya kalau genre musik begitu lumayan bagus untuk menemani belajar... tapi, ini...

Dengan nada yang santai, melodi yang lembut, dan sedikit jumlah nada, musik ini memberikan kesan seperti mendengarkan musik klasik, meskipun aku tidak yakin kalau itu perumpamaan yang tepat.

Aku lalu memeriksa pesan pertama untuk memahami maksudnya.

Aku menemukan mantra yang akan membantumu tidur nyenyak. Menurutku kamu sudah melakukan yang terbaik, tapi tolong jangan memaksakan dirimu terlalu keras...ya.

Lagu yang membawa rasa nostalgia mengalir dari ponsel dan mengisi seisi ruangan. Suara yang masuk ke telinga meresap ke dalam tubuhku setelah menggetarkan gendang telinga, lalu menghilang.

Ketika aku memejamkam mataku, aku bisa membanyangkan wajah tersenyum Ayase-san muncul di pikiranku.

Kemudian, aku membuka mata.

Aku merasa bisa melihat wajah Fujinami-san dengan lebih tenang sekarang. Aku akhirnya menyadari bahwa dia memiliki ekspresi yang sama seperti saat Maru, Ayase-san, atau ayahku mengatakan, Jangan memaksakan diri, dengan penuh kekhawatiran.

Terima kasih atas masukan yang sangat berharga. Aku merasa lebih tenang sekarang.

“Begitu ya. Bukannya berarti aku melakukan itu untukmu. Aku hanya datang untuk mengatakan apa yang ingin aku sampaikan.

Sikap Fujinami-san mungkin ada benarnya karena dia hanya ingin mengatakan beberapa patah kata, karena seseorang yang dikenalnya tampak mengerikan.

Namun, mungkin juga karena dia merasakan rasa sakit yang sama di masa lalu, atau karena dia teringat akan dirinya di masa lalu.

Baiklah, tolong berikan segera.

Fujinami mengulurkan tangannya ke arahku.

Eh?

Kamus bahasa Inggris. Karena aku butuh alibi.

Bukannya itu cuma sekadar alasan saja?

Kebohongan membutuhkan kenyataan. Jika kita mengabaikan hal-hal seperti itu, maka realitas akan terabaikan dan tidak ada yang akan percaya. Aku tidak ingin dicurigai masuk ke kamar seorang pria di tengah malam tanpa alasan yang jelas.

Aku mengangguk sambil memberikan kamus Bahasa Inggris kepadanya, dan Fujinami-san pergi meninggalkan kamarku sambil mengatakan, Aku akan mengembalikannya besok.

Saat punggungnya menghilang di balik pintu, aku menggumamkan ucapan 'terima kasih' kepadanya.

Aku tinggal sendirian di kamar, duduk di atas tempat tidur sambil terus memutar video yang direkomendasikan Ayase-san kepadaku dalam mode berulang.

Penyadaran Fujinami-san menyentuh titik yang menyakitkan.

Aku merasa bahwa keinginanku untuk memenuhi harapan Ayase-san bukanlah hal yang buruk. Namun, keyakinan bahwa aku akan dibenci jika tidak memenuhi harapan tersebut hanyalah pandangan subjektifku.

Ayase-san seharusnya berbeda dari ibu kandungku─ setiap orang berbeda. Dan yang lebih penting dari itu semua─.

Daripada berusaha memenuhi harapan orang lain, aku harus lebih banyak memikirkan tujuan ujianku sendiri.

Aku mengingat kembali perkataan Fujinami-san yang mengatakan bahwa dirinya hanya menjalani kehidupan untuk dirinya sendiri.

Aku merasa kalau itu terlalu kesepian.

Namun── pertama-tama yang harus aku lakukan adalah berusaha untuk diriku sendiri. Itu harus menjadi prioritas utama.

Mungkin aku memang terlalu terburu-buru...

Aku bergumam sambil menatap langit-langit.

Sambil mendengarkan musik seperti lagu pengantar tidur yang mengalir dari ponsel, aku tanpa sadar sudah tertidur lelap.

Wajah gadis yang tidak bisa kutemui di balik tidur tanpa mimpi, tampak tersenyum bahagia.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama