Chapter 8 —
Persahabatan
“...En-Entah kenapa, aku jadi
merasa gugup sekarang.”
Takeshi meninggikan suaranya ketika
melihat ke arah gedung apartemen tempat Alisa tinggal.
Pada hari ulang tahun Alisa. Masachika,
yang telah tiba di sana untuk bertemu dengan Takeshi dan Hikaru, menatap
Takeshi dengan keheranan karena badannya tidak mau diam dan tatapannya mengarah
kesana-kemari karena gugup.
“Kita bukan satu-satunya tamu
yang diundang, jadi tidak perlu begitu gugup, 'kan?”
“Tapi ini pertama kalinya aku
masuk ke rumah seorang gadis... setidaknya sejauh yang aku ingat.”
“Hal semacam itu, aku juga
sama, kok...”
Ketika Masachika mengatakan itu
sambil mengingat ingatannya, Takeshi memelototinya dengan tajam.
“Jangan bohong, kamu pasti pernah
pergi ke rumah Suou-san, ‘kan?”
“Ah... ya, itu sih... tidak
dihitung.”
“Mana mungkin lah! Satu-satunya
tempat yang dianggap tidak dihitung adalah rumah kerabat!!”
Mereka memang kerabat. Lebih
dari sekadar kerabat, mereka berdua justru kakak beradik yang sedarah. Tanpa
bisa mengungkapkan kebenaran tersebut, Masachika hanya mengangkat bahu. Lalu,
Takeshi memegang kepalanya dengan ekspresi kesal seolah-olah ingin mengatakan 'Aku tidak punya teman yang senasib'.
“Aaaaaaaaaaaahhh~ apa yang
harus kulakukan jika membuat kesalahan! Atau, memangnya pantas bagi pria masuk
ke rumah seorang gadis dan menggunakan toiletnya?”
“Kurasa itu tidak masalah,
mungkin. Yah, meskipun aku bisa memahami kenapa kamu merasa gugup.”
“Ah~ aku sudah tidak tahan
lagi, jadi aku akan menggunakan toilet di minimarket di sebelah sana. Bisa tolong
jaga barang-barangku?”
“Eh? Yah, aku enggak keberatan
sih.”
Sambil menerima barang-barang
Takeshi, Masachika melihat punggungnya saat ia berjalan cepat menuju minimarket.
“…Apa tuh anak benar-benar
berniat menahan kencing sepanjang pesta?”
“Haha, itu benar-benar khas
Takeshi banget, sih.”
Saat Hikaru dan Masachika
bertukar senyum masam, dari kejauhan terlihat dua orang dengan postur tubuh
yang dikenal mendekati mereka.
“Eh...? Oh, apa itu Ketua dan
Sarashina-senpai?”
“Oh? Ah, mungkin ya.”
Ketika Masachika memicingkan
matanya sambil memperhatikan sosok tersebut dengan seksama, kemudian seseorang
yang tampak seperti Touya melambaikan tangannya dengan ringan. Ketika dirinya
memberi salam balik, sosok tersebut semakin mendekat, dan akhirnya terlihat
jelas bahwa itu Touya dan Chisaki. Touya datang sambil menggandeng tangan
Chisaki dengan alami, lalu mengangkat tangan lainnya sedikit ke arah Masachika.
“Ohh~, kamu datangnya cepat
juga ya, Kuze. Ada apa? Kenapa kamu berdiri di sini?”
“Selamat malam. Bukan apa-apa,
aku hanya sedang menunggu temanku.”
Kemudian, saat mereka sedang
saling menyapa dengan melibatkan Hikaru, tiba-tiba Takeshi kembali dari
minimarket... dan ia berhenti sejenak ketika melihat Touya dan Chisaki.
“Oh, kalau tidak salah, kamu
Maruyama, ‘kan? Senang bertemu denganmu, mungkin?”
“Ah, iya... Namaku Maruyama.”
Setelah Touya menyapanya,
Takeshi dengan malu-malu menundukkan kepala. Kemudian, ia perlahan-lahan
mendekati Masachika dan Hikaru, lalu menatap mereka berdua dengan ragu.
“Astaga, buat apa kamu gugup di
sini sebelum masuk ke rumah, sih.”
“Meski kamu bilang begitu,
bagiku mereka seperti sosok yang tinggi di atas awan...”
“Sampai segitunya? Yah~ mereka
berdua memang lebih tinggi darimu.”
“Ini bukan masalah tinggi badan,
tau!”
Takeshi yang dengan lihai
merespons dengan suara pelan membuat Touya tertawa ceria.
“Hahaha, kamu benar-benar
mengatakan sesuatu yang lucu. Kalau bicara tentang sosok tinggi di atas awan,
bukannya Kuze adalah mantan wakil ketua OSIS di SMP?”
“Yah, iya juga sih...”
“Aku juga tidak jauh berbeda
dengan Kuze dalam hal posisi. Jadi jangan terlalu gugup begitu. Berbeda dengan
Chisaki, aku tidak akan memperlakukanmu seperti makanan.”
“Aku juga tidak akan
memperlakukan mereka seperti makanan! Aku hanya akan berusaha memahami mereka!”
“Jenis penyiksaan macam apa itu?
Oh, sebaiknya memang tidak perlu dijelaskan.”
Masachika tanpa sadar
memberikan komentar dan segera menariknya kembali. Sambil berbincang-bincang
seperti itu, mereka berlima menuju ke pintu masuk apartemen. Setelah melewati
pintu masuk otomatis, mereka berhenti di depan panel interkom dan saling
bertatapan.
“Ketua, apa kamu saja yang mau
memanggilnya?”
“Tidak, kurasa seharusnya kamu saja
yang melakukannya, kan? Karena kamu adalah orang yang paling dekat dengan adik
Kujou.”
Sebagai perwakilan karena
sepakat dengan tiga orang lainnya, Masachika memasukkan nomor kamar dan menekan
tombol panggilan. Ketika suara panggilan berdering dua kali, terdengar bunyi
panggilan tersambung dan suara Alisa terdengar.
“Selamat
datang. Silakan masuk.”
Setelah suara itu, pintu yang
mengarah ke lobi terbuka. Panggilan telepon segera terputus dan Masachika serta
yang lainnya memasuki apartemen.
“Takeshi, bukannya kamu terlalu
gugup?”
Saat menunggu lift, Masachika
berbalik mendengar suara dari belakang, melihat Hikaru yang tersenyum getir
ketika menatap Takeshi yang jelas-jelas tampak gelisah. Melihat ke arah mereka,
Touya juga ikutan tersenyum sedikit bermasalah dan menepuk bahu Takeshi.
“Benar banget, kamu bisa
bertingkah seperti biasa saja, Maruyama.”
“Tidak, meskipun kamu berkata
begitu, Ketua... Ayah Alya-san adalah orang Rusia, 'kan? Jika dipikir-pikir, ada
kemungkinan aturan di Jepang bisa dianggap melanggar etiket...”
“Kamu terlalu khawatir, Takeshi.
Alya pernah bilang kalau ayahnya juga mengerti hal tersebut jadi tidak masalah,
tau?”
“Alya-san mungkin bilang begitu,
tapi... secara umum, banyak yang bilang kalau para ayah akan lebih keras pada
teman laki-laki putrinya, ‘kan?”
Masachika menjadi tertegun
ketika mendengar perkataan tersebut. Dirinya langsung berpikir bahwa
kemungkinan itu benar adanya. Namun, lift turun tepat waktu sehingga Masachika
masuk seraya berpura-pura tenang.
“Ngomong-ngomong, apa kamu tahu
sesuatu tentang ayah Alisa-san, Masachika? Katanya kamu pernah bertemu ibunya,
‘kan?”
“Aku cuma kebetulan bertemu
dengannya ketika ada pertemuan antara guru dan wali murid. Tapi, sejauh ini aku
belum pernah bertemu ayahnya dan tidak terlalu mendengar banyak cerita... Aku
hanya tahu namanya saja.”
“Kenapa kamu cuma tahu namanya
saja?”
“Uhmm, itu...”
Saat Masachika hendak menjawab
pertanyaan Hikaru, lift tiba di lantai yang dituju, jadi Masachika turun
setelah membawa yang lainnya turun terlebih dahulu.
“Jadi... yang mana?”
“Karena kamar nomor satu ada di
sini, jadi yang lainnya di sebelah sana, ‘kan?”
Saat berjalan sambil mengikuti Touya dan Chisaki yang mulai berbicara seperti itu, Masachika memberikan penjelasan kepada Hikaru.
“Nama tengah orang Rusia pada
umumnya diambil dari nama ayah. Secara kasar, untuk anak laki-laki ditambahkan 'Vich' dari nama ayah, sedangkan untuk
anak perempuan ditambahkan 'Vna'.
Secara teknis, tergantung pada nama spesifik, namanya bisa bervariasi jadi
Evich, Ovich, Evna, atau Ovna...”
“Wah begitu ya~, jadi... karena nama tengah Alya-san adalah Mikhaylovna, jadi Mikhaylo?”
“Tidak, mungkin lebih ke
Mikhail.”
“Oh, begitu ya.”
“Jadi begitulah kenapa aku
hanya tahu namanya saja...”
Pada saat itu, Touya dan
Chisaki berhenti, lalu menoleh ke arah Masachika. Mereka kemudian melihat papan
nama di depan mereka yang bertuliskan 'Kujou'.
“Ah, jadi aku yang harus
membuka pintu ya.”
Dengan didorong oleh tatapan
seniornya, Masachika menuju pintu. Kemudian, Chisaki berbicara kepada Takeshi
yang tampaknya masih tegang.
“Maruyama-kun, kamu masih
gugup, ya? Tidak apa-apa kok. Kalau kamu tetap merasa tegang, bayangkan saja
kalau mereka adalah tomat.”
“Kalau begitu, rasanya
seakan-akan aku seperti menjadi kentang... tapi ya, aku akan mencoba yang
terbaik.”
“Yeah, tak peduli apakah mereka
gelandangan, presiden, atau penjahat berbahaya, jika kamu menghantam mereka,
isi merahnya akan tumpah sama saja. Jika kamu berpikir begitu, tidak ada yang
perlu ditakuti, ‘kan?”
“Yeah, tapi aku lebih takut
kepada Sarashina-senpai yang berpikiran seperti itu.”
“Maruyama-kun... kamu harus mempunyai keyakinan
mutlak pada kekuatan tempurmu. Dan keyakinan bahwa kamu bisa membunuh kapan
saja, itulah yang akan memberikan ketenangan batin, tau.”
“Aku bukan orang dari suku
petarung...”
(Hmm~
karena papan namanya hanya bertuliskan nama Kujou saja, mungkin mereka tidak menggunakan
nama keluarga terpisah ya~ jadi begitu rupanya~)
Sambil berpura-pura tidak
mendengar percakapan yang mencurigakan di belakangnya, Masachika menekan bel
pintu. Kemudian, pintu segera terbuka dan Alisa pun muncul.
“Selamat datang. Terima kasih
sudah mau hadir kemari.”
“Tentu, terima kasih telah
mengundangku juga. Selamat ulang tahun, Alya.”
“Terima kasih.”
Karena Alisa memberi jalan
dengan setengah badan, jadi Masachika berjalan melewati sampingnya dan masuk ke
pintu depan. Kemudian, di pintu depan, ada seorang wanita lembut yang sudah
tidak asing lagi. Ibunya Alisa, Akemi... dan...
(Besar
banget!?)
Di sebelahnya, berdiri seorang
pria berbadan besar dan jangkung, yang membuat Masachika hampir terkejut.
“...”
Pria itu memandangnya dengan mata biru yang sama dengan Alisa, tapi memiliki kilauan yang keras. Masachika menatapnya dengan tegang sambil menengadahkan kepalanya.
Perawakannya besar. Tingginya
melebihi 190 cm, bahkan mungkin mendekati dua meter. Dan tubuhnya besar.
Lehernya tebal. Rahangnya kuat. Meskipun penampilannya sendiri hampir tampak seperti aktor aksi terkenal dari luar negeri... tapi karena
penampilannya yang rapi, dengan bibir mengerut, pria itu terlihat cukup
menakutkan.
(Kenapa
ekspresi serius? Ia menyambutku... atau tidak?)
Ketika pertanyaan itu muncul di
benak Masachika, kata-kata Takeshi tadi kembali terlintas dalam pikirannya.
『Pada
umumnya, para ayah cenderung keras pada teman laki-laki putrinya, kan? 』
Keringat dingin mulai mengalir
di punggungnya. Pada saat itu, di dalam pikiran Masachika... entah mengapa,
sosok kecil kakek dari pihak ayahnya, Tomohisa, tiba-tiba muncul dengan berpakaian
jubah putih layaknya dewa.
“Hohoho,
jangan khawatir, Masachika. Orang Rusia umumnya tidak terlalu banyak tersenyum.
Meskipun mereka terlihat serius seperti itu, bukan berarti dia marah, kan?”
(Seriusan?
Kakek, kenapa kamu menggunakan kata “ja” di akhir kalimat?)
Sambil mengomentari chibi
Tomohisa di dalam pikirannya, Masachika mempercayai kata-katanya dan setelah
kembali pulih dari kebekuan yang berlangsung kurang dari satu detik, ia
tersenyum dan memberi salam kepada Akemi.
“Maaf sudah mengganggu. Sudah
lama tidak bertemu.”
“Selamat datang, sudah lama
enggak ketemu, ya~. Oh, kamu bisa menggantungkan jaketmu di sana, oke?”
“Oh, iya.”
Sambil berpikir dalam hati, “Eh? Kalau disini harus melepas jaket,
buat apa aku beli jaket?” Masachika menggantungkan jaketnya di rak
gantungan. Setelah mengenakan sandal yang sudah disediakan, Alisa yang menutup
pintu berdiri di samping Akemi.
“Izinkan aku untuk
memperkenalkan mereka. Dia adalah ibuku. Dan ini ayahku.”
“Namaku Akemi. Selain Kuze-kun,
kurasa ini pertama kalinya aku bertemu dengan kalian, ya. Silakan santai saja
hari ini. Oh, ini adalah suamiku, Mikhail.”
Setelah diperkenalkan oleh
Akemi, ayah Alisa yang sebelumnya diam dan bermuka serius mulai berbicara.
“Selamat… datang.”
Dengan suara pelan, ia mengucapkan
satu kata dalam bahasa Jepang yang sedikit kaku. Ekspresinya masih terlihat
serius.
(Ia
tidak marah... ? Dengan ekspresi yang begitu? Seriusan?)
Tampaknya bukan hanya Masachika
saja yang merasa bingung dan kesulitan dengan sikap suami yang dingin, bertolak
belakang dengannya istri yang lembut. Semua orang merespons salam Mikhail
dengan ragu-ragu seraya memberi jawaban seperti “Ah, tidak perlu...” atau "Maaf
mengganggu...”. Semua orang terlihat merasa tertekan dengan sikap Mikhail
yang mengintimidasi.
“(...Jangan khawatir, aku masih
bisa menghabisinya...)”
Di sisi lain, Masachika merasa
kalau dirinya mendengar ucapan gelap yang mencurigakan dari Chisaki yang
tampaknya memperhatikan Mikhail dengan cermat. Namun, Masachika memilih untuk
mengabaikan hal ini. Mungkin maksudnya adalah bahwa dia bisa menyapa dengan
senyum? Yup, pasti begitu.
“Aku akan memperkenalkannya,
ini adalah Kuze-kun. Ia duduk di sebelahku di kelas dan menjadi pasanganku
dalam kampanye pemilihan.”
“Oh, halo, salam kenal.”
Setelah diperkenalkan oleh
Alisa, Masachika kembali menyapa kepada Akemi. Dan dalam hatinya, dirinya sudah
bersiap-siap dengan semangat saat berdiri di depan Mikhail yang memandangnya
dengan diam.
“…..”
(Seriusan,
ini beneran serem!)
Mungkin berkat pengenalan Alisa
yang mengatakannya sebagai 'pasanganku',
entah kenapa suasananya terasa lebih menekan... atau itulah yang dirasakan
Masachika. Meskipun begitu, Masachika tetap tersenyum berseri-seri dan
memberikan salam singkat, “Senang bertemu
dengan Anda, Alisa-san selalu banyak membantu saya”, dan Mikhail diam-diam
mengulurkan tangan kanannya ke arahnya.
(Oh,
bersalaman, ya?)
Dengan cepat menyadari hal itu,
Masachika meraih tangan yang diulurkan oleh Mikhail...
(Wah!?)
Tangan mereka saling bersalaman
dengan tenaga yang melebihi perkiraan, dan itu membuat Masachika tanpa sadar
mengangkat alisnya.
(Ap-Apa
maksudnya ini? Jangan bilang ia akan meremas tanganku dengan senyuman yang
sering terjadi dalam manga, kan!?)
Ketika Masachika membayangkan
tangannya yang sedang bersalaman hampir saja mengeluarkan suara retak,
tiba-tiba chibi Tomohisa, yang dalam penampilan seperti dewa, lagi-lagi muncul di
dalam pikirannya untuk memberi penjelasan.
“Hohoho, jangan terlalu berpikir keras begitu, Masachika. Jabat tangan orang Rusia memang biasanya lebih kuat daripada orang Jepang.”
(Benarkah?
Ini beneran tidak ada maksud tertentu? Serius?)
Meski Masachika sempat curiga
dengan penjelasan Tomohisa yang tidak bisa dipercaya, namun sebagai bukti dari
ucapan kakeknya, Mikhail dengan mudah melepaskan pegangan tanpa menambahkan
kekuatan genggamannya.
“Kamu bisa pergi ke sana duluan
ya? Masha, Sayaka-san, dan Nonoa-san juga sudah berada di sana.”
“Oh, oke.”
Kemudian atas dorongan Alisa,
Masachika memberi hormat ringan sebelum menuju ke arah yang ditunjukkan oleh
Alisa. Saat melewati lorong dan membuka pintu, ia tiba di ruang tamu yang luas
di mana Maria, Sayaka, dan Nonoa sedang duduk santai di sofa dan menoleh ke
arahnya.
“Ah, Kuze-kun selamat datang~”
“Selamat malam.”
“Akhirnya kamu datang juga,
Kuzecchi~”
“Maaf mengganggu... kalian
berdua datangnya cepat sekali ya.”
Saat Masachika mendekati
mereka, ia melirik cepat ke arah barang bawaan Sayaka dan Nonoa. Setelah
memastikan bahwa keduanya masih membawa sesuatu yang tampaknya sebagai hadiah
ulang tahun untuk Alisa, ia bertanya dengan pelan untuk memastikan.
“Ngomong-ngomong, kapan kalian
berdua akan memberikan hadiah? Jika kalian sudah menentukannya, aku juga
akan menyelaraskan waktu dengan itu...”
Orang yang menjawab pertanyaan
tersebut bukanlah Sayaka atau Nonoa, melainkan Maria.
“Hadiah baru akan diberikan
setelah makan, saat kuenya sudah disajikan.”
“Oh, begitu ya.”
Setelah memahami hal tersebut,
orang lain mulai datang satu per satu melalui pintu depan, jadi Masachika
berbagi informasi itu secara diam-diam.
“Sisanya tinggal Yuki dan
Ayano, ya...”
Setelah sekilas melihat jam
dinding yang menunjukkan bahwa masih ada sepuluh menit tersisa sampai pesta dimulai
pada pukul 6 sore. Masachika sedikit heran karena Yuki, yang biasanya datang
tepat waktu, sedikit terlambat kali ini.
(Yah,
karena dia naik mobil, sih. Mungkin dia terjebak macet atau tidak tahu jalan ke
sini...)
Meskipun Masachika mencoba
untuk merasa yakin dengan alasan itu, lima menit sudah berlalu tanpa kemunculan
kedua orang tersebut. Akhirnya bel pintu berbunyi, hanya tiga menit sebelum
pukul 6 sore.
“Tumben-tumbennya mereka berdua
bisa terlambat ya?”
Chisaki berkomentar begitu ketika
melihat Alisa dan keluarganya yang pergi menyambut kedatangan mereka. Saat yang
lainnya mengangguk setuju, suara pintu depan terbuka dan tertutup, lalu
beberapa saat kemudian pintu ruang tamu terbuka.
“?”
Akan tetapi, orang yang muncul
hanyalah Ayano. Di belakangnya, Alisa dan orang tuanya yang pergi menyambut
kedatangan mereka. Sementara Masachika masih merasa keheranan, Ayano membungkuk
hormat.
“Saya benar-benar minta maaf
atas keterlambatan saya.”
"Tidak apa-apa kok~?
Waktunya masih... Oh, tepat pukul 6 sore sekarang.”
“Terima kasih banyak atas
perhatiannya. Dan mengenai Yuki-sama... Sebenarnya, dia mendapat urusan
mendadak yang tidak bisa ditunda, jadi dengan sangat menyesal, dia tidak bisa
hadir hari ini.”
“Eh?”
Masachika tanpa sadar bersuara
kaget karena terkejut dengan keputusan Yuki yang tiba-tiba tidak bisa
menghadiri pesta ulang tahun temannya. Kemudian, tanpa menunggu lama, Maria
segera merespons sambil meletakkan tangannya di pipi.
“Ara~ jika dia sampai bilang
begitu, sepertinya Yuki-chan memang memiliki urusan mendesak yang sangat
penting ya~”
Terkejut dengan komentar itu,
Masachika segera memberikan tindak-lanjut kepada Yuki dan Ayano.
“Benar. Mungkin karena urusan
itulah yang membuatmu baru datang di menit-menit terakhir?”
“...Iya.”
“Ah, begitu ya. Pasti sulit ya.
Aku jadi merasa kasihan pada Yuki, dia sebenarnya sangat menantikan acara ini.”
Saat Masachika menyiratkan
dengan halus menegaskan bahwa Yuki juga tidak menginginkan hal tersebut, Nonoa
mengangguk mengerti.
“Yah, situasi keluarga Yuki
memang lumayan spesial~ dan mungkin ada urusan mendesak yang diluar dugaan
kita~”
Selanjutnya, orang-orang lain juga menyatakan bahwa “meskipun sangat disayangkan, tapi mau bagaimana lagi”. Selain itu, Alisa sendiri juga setuju tanpa ada tanda-tanda tersinggung sama sekali, sehingga suasana tetap baik dan ketidakhadiran Yuki diterima.
Sambil menepuk dadanya dengan lega,
Masachika diam-diam bertanya pada Ayano.
“(Jadi, apa yang sebenarnya
terjadi?)”
Masachika berasumsi bahwa
sebagai keluarga, Ayano mungkin akan bisa menjelaskan isi dari urusan mendesak
tersebut... Namun, tidak seperti yang diharapkannya, Ayano menundukkan kepalanya
dengan sedikit meminta maaf.
“(Maafkan saya. Saya tidak bisa
memberitahu Anda juga)”
“(E-Eh...? Be-Begitu ya)”
Meskipun agak terkejut,
Masachika dengan enggan mundur. Pada saat itu, Alisa tiba-tiba bersuara.
“Baiklah, bagaimana kalau kita
mulai saja sekarang...?”
Bintang utama acara hari itu
menarik perhatian semua orang yang hadir di sana. Alisa membungkuk kepada semua
orang dan melihat sekeliling dengan emosi yang mendalam pada semua orang yang
berkumpul. Kemudian, dengan senyum yang lembut layaknya bunga mekar, dia
berkata,
“Terima kasih banyak telah
berkumpul untuk ulang tahunku hari ini. Aku berharap jika kalian semua bisa
menikmatinya sampai akhir.”
Kata-kata tersebut disambut
dengan tepuk tangan yang meriah dari Masachika.
“Selamat ulang tahun, Alya!”
“Selamat!”
“Selamat ulang tahun!”
Pesta ulang tahun Alisa pun dimulai
dengan ucapan selamat dan tepuk tangan serta senyuman malu dari Alisa.
◇◇◇◇
(Ah
ya, benar, rasanya seperti ini. Entah bagaimana, aku jadi merasa nostalgia...)
Sekitar 30 menit setelah semua
orang duduk di tempat duduknya, pesta pun dimulai. Di atas meja terdapat
berbagai hidangan yang disiapkan Alisa dengan bantuan Akemi. Di antara mereka, Masachika
tengah merenung dengan perasaan aneh di hadapan borscht buatan Alisa.
Sebelum liburan musim panas,
Alisa pernah membuatkan borscht untuk Masachika yang sedang terbaring sakit.
Meskipun kali ini ada daging sapi di dalamnya, dan bahan-bahannya sedikit
berbeda, rasa asam dan manis yang unik yang tidak bisa ditemukan di tempat lain
masih tetap sama.
(Yup,
rasanya sungguh lezat)
Setelah meminum seluruh borscht
di mangkuknya, sepiring penuh hidangan disodorkan dari arah sampingnya.
“Terima kasih banyak...”
Masachika sedikit menundukkan
kepalanya dan melirik ke sampingnya. Di sana berdiri seseorang dengan wajah
besi yang masih sama menakutkan. Meskipun dia tetap diam, dia terus menyajikan
makanan tanpa henti.
(Hei,
apa maksudnya ini!? Apa aku disambut dengan baik!? Atau apakah aku sedang
diuji!? Atau ia menyajikan hidangan yang tidak disukainya!?)
Masachika melihat ke sekitarnya
seolah-olah ingin meminta bantuan, tetapi Maria dan Akemi di meja yang sama
sedang asyik berbicara, sementara Ayano diam-diam menyantap pasta.
(Kenapa
malah jadi begini...?)
Sambil melirik meja sebelah yang
sedang ramai dengan suara riuh dan semarak, Masachika mengeluh tanpa
menunjukkan ekspresi.
Alasan utama mengapa hal ini
terjadi adalah karena meja dibagi menjadi dua. Awalnya, karena jumlah orangnya
banyak, yaitu total dua belas orang, meja makan tidak cukup untuk menampung
semuanya. Selain itu, di samping meja sofa, ada meja rendah lipat yang
dikelilingi bantal dan bantal duduk, semacam tempat duduk tatami, yang
disiapkan.
Jadi, Alisa duduk di meja makan
tempat di adakannya pesta ulang tahun. Pesta dimulai dengan orang tuanya duduk
di kedua sisinya, Ayano duduk di sebelah Akemi, sedangkan Masachika duduk di
sebelah Mikhail, sementara tujuh orang lainnya duduk di tempat duduk tatami.
Pada saat ini, Masachika sejujurnya berpikir, “Apa aku benar-benar harus duduk di sebelah ayahnya?” Namun…. jika ia harus memilih dua orang dari mereka, ia juga merasa bahwa dirinya dan Ayano
adalah pasangan yang tepat, jadi ia menerimanya. Masalahnya adalah... Alisa
yang duduk di meja makan tiba-tiba pindah ke tempat duduk tatami beberapa menit
yang lalu.
(Yah,
tentu saja, sebagai bintang utama hari ini? Sudah sepatutnya dia berinteraksi
dan menerima ucapan selamat dari semua orang yang datang.)
Dirinya memang mengerti
logikanya. Melihat Alisa yang tersenyum bahagia dikelilingi oleh teman-temannya
membuat Masachika juga seharusnya merasa senang... tetapi ayah Alisa yang
berada di sebelahnya sedikit menakutkan. Dan dirinya sudah merasa cukup kenyang
dengan semua hidangan yang ditawarkan secara berturut-turut.
(Umm,
hidangan ini namanya Beef Stroganoff. ‘kan? Aku tahu namanya tapi ini baru
pertama kalinya aku mencobanya...)
Masachika menyendok jamur dan
daging sapi yang terendam dalam sup krim berwarna putih kecoklatan, membawanya
ke mulutnya. Setelah mengunyah daging yang lebih lembut dari yang diharapkan,
Masachika mengangkat alisnya dengan keterkejutan.
(Hm?
Dengan nama Beef Stroganoff yang sulit diucapkan, kupikir itu akan menjadi
hidangan daging yang lebih berat... tapi ini seperti isi croquette? Atau lebih
tepatnya, seperti hamburger panggang...?)
Bagaimanapun juga, makanan itu
pasti akan membuat perut terasa kenyang. Jika dirinya bisa menyelesaikan porsi
yang ada sekarang, mungkin akan sulit untuk menghadapi porsi berikutnya.
Terlebih lagi jika ada kue ulang tahun masih menanti.
(Jadi,
aku harus menolaknya kali ini, tapi...)
Rasanya masih agak menakutkan. Masachika
merasa takut karena tidak bisa memahami niat Mikhail yang kadang-kadang
memberikan porsi besar.
Sejak masih kecil, Masachika
telah dilatih secara intensif untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya,
mengantisipasi karir masa depannya yang menjadi seorang diplomat di masa depan.
Dari pengalaman tersebut, Masachika tahu betapa pentingnya mencoba
berkomunikasi dan bahwa kebanyakan orang akan memahami jika ia berbicara dengan
mereka. Meskipun ia meyakini kalau ia bisa berbicara dengan penuh senyum ketika
berhadapan tokoh politik ternama atau CEO perusahaan besar yang karismatik,
Masachika memiliki keyakinan bahwa dirinya bisa menjalin hubungan yang baik.
Namun, hanya karena ia memiliki
kemampuan untuk melakukannya, bukan berarti dirinya ingin melakukannya.
Meskipun Masachika bisa berbicara dengan ramah, tapi bukannya berarti ia tidak
merasa takut di dalam hatinya. Meskipun memiliki banyak kenalan di sekolah, Masachika
sebenarnya tidak memiliki banyak teman dekat karena ia bukan tipe orang yang
aktif dalam memperluas lingkaran pertemanan. Singkatnya, ia tidak ingin
bersusah payah untuk menjadi akrab dengan orang yang tidak dikenal, dan ia juga
tidak ingin berbicara dengan orang yang terlihat menakutkan.
(Tapi
yah, mana mungkin aku bisa terus begitu...)
Masachika menyadari bahwa
Mikhail di sebelahnya sedang mencoba untuk menyajikan lebih banyak hidangan,
jadi Masachika berbicara dengan suara mantap.
“Ah, saya sudah cukup kenyang.
Terima kasih banyak.”
Ketika Mikhail berbalik,
Masachika merasa kalau dirinya sedang diamati oleh Mikhail dari atas dengan
tajam, hal itu membuat Masachika merasa agak gugup di dalam hatinya. Namun,
dirinya sama sekali tidak gentar dan terus melanjutkan.
“Maaf, ngomong-ngomong…. bolehkah
saya tahu nama lengkap Anda?”
Mendengar pertanyaan Masachika,
Mikhail memiringkan kepalanya sedikit sebelum menjawab.
“Mikhail Makarovich Kujou.”
Karena intonasi bahasa Rusia
yang halus, mungkin sulit bagi orang lain selain Masachika untuk langsung
memahaminya. Namun, tanpa menunjukkan tanda-tanda kesusahan, Masachika tetap
tenang dan menjawab,
“Terima kasih banyak. Kalau
begitu, Mikhail Makarovich.”
Melihat reaksi Mikhail yang
sedikit terkejut dengan cara Masachika memanggilnya, Masachika merasa senang.
(Sip,
bagus! Untuk saja aku mengingatnya! Panggilan sopan untuk orang Rusia bukanlah
'Mister' atau '-san', melainkan namanya + nama tengah!)
Setelah merasa sudah memahami
situasinya dengan baik, Masachika pun memulai percakapan.
“Nama keluarga anda sama dengan
istri anda, apa anda mengubahnya saat menikah?”
Mikhail mengangguk untuk
menanggapi pertanyaan Masachika.
“Jadi begitu rupanya. Saya
pikir dalam pernikahan internasional, biasanya suami istri memilih untuk menggunakan
nama keluarga yang berbeda. Apakah ada alasan khusus untuk itu?”
Tapi saat pertanyaan berlanjut...
Mikhail tetap diam. Tanpa berkata-kata, ia memalingkan wajahnya, Melihat reaksi
tersebut, Masachika yang sebelumnya lancar bicara merasa wajahnya merah padam.
(Sialannnnn!
Aku salah memilih topik pembicaraan!)
Masachika, yang bertanya dengan
jujur tentang hal yang membuatnya penasaran, mungkin saja telah menyentuh topik
yang sensitif. Dengan mempertimbangkan hal itu, Masachika mencoba mencari topik
pembicaraan berikutnya dengan cermat...
“A...”
Mikhail mulai berbicara, dan Masachika
langsung mengangkat wajahnya. Kemudian, Mikhail berbicara dalam bahasa Jepang
yang canggung.
“Arisa, gakko wa, do,
desuka...?”
“...Ah... Jadi, Anda bertanya
tentang bagaimana Alisa di sekolah?”
Ketika Masachika menanyakan
kembali, Mikhail balas mengangguk. Sedikit lega karena pihak lain telah
menyinggung masalah ini, Masachika mulai berbicara sambil melihat ke arah Alisa.
“...Ya, dia terkenal sebagai
siswa yang sangat rajin dan serius. Dia seorang pekerja keras, sangat
berdedikasi dalam segala hal, dan saya pikir itulah yang membuat orang-orang di
sekitarnya juga menghormatinya.”
Masachika terus melanjutkan
sambil berpikir di dalam hati, “Untung
saja aku tidak ditanya langsung di depan orangnya”.
“Oleh karena itu, kadang-kadang
dia terlalu sempurna dan terlihat sulit didekati... Tapi belakangan ini dia
semakin akrab dengan orang-orang di sekitarnya dan sepertinya memiliki lebih
banyak teman untuk diajak berbicara.”
Saat Masachika terus berbicara,
Mikhail tetap diam. Ia hanya diam, dan menatap Masachika dengan tajam... Masachika
merasa wajahnya memanas di dalam hati.
(Mengapa
ia terus diam? Mengapa dia diam saja setelah aku memulai pembicaraan!?)
Masachika berkeringat dalam
hati, berpikir bahwa mungkin ini bukanlah hal yang ingin didengar Mikhail.
Kemudian, tiba-tiba chibi Tomohisa kembali muncul untuk menyela.
“Hohoho,
jangan khawatir, Masachika. Orang Rusia berbeda dengan orang Jepang; mereka
mendengarkan lawan bicara tanpa memberikan respons atau menganggukkan kepala
seperti orang Jepang.”
(Apa
pengetahuan itu benar-benar tepat!? Kamu tidak mengatakan hal-hal yang
sembarangan saja sejauh ini, ‘kan!?”)
Ketika sudah sampai pada titik
ini, terdengar seolah-olah ia hanya berusaha keras untuk memberikan dukungan, Masachika
mencengkeram chibi Tomohisa di dalam pikirannya, menggoyangkan-goyangkan sambil
terus berbicara.
“Uhmm, pada awal semester
pertama, dia tidak begitu pandai berbicara di depan umum, tapi di festival
sekolah dia berbicara dengan sangat percaya diri... dan sepertinya dia tidak
lagi takut berbicara di depan orang, dan menjadi semakin diandalkan sebagai
kandidat ketua OSIS selanjutnya. Selain itu, dia juga berpikiran terbuka,
menghormati dan menerima orang-orang dengan tipe yang berbeda darinya, dan
sejujurnya saya sangat menghormatinya tentang hal tersebut.”
Mikhail masih tetap diam,
sementara Masachika terus berbicara tanpa henti. Ia menggunakan kapasitas otaknya
secara penuh, berusaha keras agar kata-katanya tidak terputus. Dirinya bahkan
tidak menyadari bahwa suaranya semakin keras, dan bukan hanya Mikhail saja yang
mendengarkan ceritanya.
“Hee~ tak disangka kalau
Kuze-kun benar-benar berpikir seperti itu tentang Alya-chan~.”
Saat Masachika sedang memuji
hal-hal yang patut dihormati tentang Alisa, suara Akemi terdengar, dan Masachika
langsung menutup mulutnya, lalu dengan gerakan kikuk menoleh ke arah suara
tersebut. Kemudian, Akemi yang duduk di kursi depannya, tersenyum bahagia
sambil meletakkan tangannya di pipinya, sementara Maria dan Ayano mendengarkan
dengan penuh perhatian. Saat Masachika tiba-tiba menoleh, ia menyadari bahwa
ruang tatami juga tiba-tiba menjadi hening, banyak pandangan yang sebagian
tertarik dan sebagian mencibir. Ada satu orang yang tersipu malu dengan wajah
menghadap ke bawah dan pipinya memerah hingga mencapai telinganya.
(Ah,
mati--)
Pada saat pikirannya mendadak
kosong, Akemi yang tertawa kecil menatap ke arah Mikhail.
“Fufu, entah mengapa aku jadi
ikut merasa senang. Iya ‘kan, Sayang?”
Mikhail mengangguk sebagai
jawaban atas pertanyaan istrinya. Sambil memicingkan matanya dengan lembut, Akemi
berkata pada Masachika.
“Maaf ya, Kuze-kun. Orang ini
hanya bisa berbicara bahasa Jepang sederhana dan agak canggung dalam
berbicara... pasti sulit untuk diajak bicara, ‘kan? Alya-chan belum pernah membawa
teman sebanyak ini sebelumnya, jadi sepertinya ia sedikit lebih gugup dari
biasanya.”
“Eh, hah, ehm...”
“Terima kasih banyak sudah
berusaha berbicara dengannya, ya? Sayang, kamu juga merasa senang, ‘kan?”
Ditanya demikian oleh Akemi,
Mikhail menatap Masachika dan berkata.
“Aku… merasa…sangat..senang.”
“Ah, tidak, itu bukan hal yang
besar...”
Sambil membalas dengan senyuman
canggung, Masachika berteriak sekuat tenaga di dalam hatinya.
(Lah!
Jadi ia cuma tidak bisa bicara bahasa Jepang dengan lancar + tidak pandai
berkomunikasi saja tohhhhh~~~~~~~!!!!!)
Ketika chibi Tomohisa mencoba
terbang dengan senyum menipu di wajahnya, ia digaplok ke tanah oleh Masachika dengan kasar. Sementara itu, si setan kecil Yuki yang tertawa terbahak-bahak
juga lenyap ke suatu tempat di pikirannya.
Sambil memandang ke arah Masachika
yang menahan rasa malunya, Alisa bergumam pelan seraya menundukkan kepalanya.
Dia terlihat malu sekaligus senang.
【Sungguh,
kamu benar-benar bodoh】