Bab 7 — 2
Agustus (Senin) Asamura Yuuta
Aku menelusuri jalan yang biasa
kulalui menuju Stasiun Shibuya.
Ketika aku menggendong tas
jinjing dengan barang bawaan di dalamnya, Ayase-san yang berjalan di sampingku
bertanya kepadaku.
“Waktunya kurang lebih selama
seminggu penuh, ‘kan?”
Aku mengangguk sebagai jawaban.
Lebih tepatnya, itu selama 8
hari. Dari hari Senin sampai Senin berikutnya. Yah, hari terakhir hanya
setengah hari, dan hari ini juga baru dimulai dari sore, jadi aku bisa
berangkat santai seperti ini di pagi hari.
“jadi begitu...”
Kelihatannya dia ingin
mengatakan sesuatu. Kalau dipikir-pikir, ketika aku pergi meninggalkan rumah,
ayahku sempat mengatakan, “Jangan terlalu memaksakan dirimu sendiri.”
Kurasa ia mungkin mencemaskan
diriku.
“Jadi kita tidak akan bisa bertemu
untuk sementara waktu, ya.”
“Karena sepertinya aku bisa
membawa ponsel, sulit untuk berkomunikasi di siang hari. Tapi malam sebelum
tidur. Pagi setelah bangun tidur, aku akan mengirim pesan LINE.”
“Oke... Tapi jika kamu sedang sibuk,
jangan memaksakan diri. Aku akan sabar menunggumu.”
“Jangan khawatir. Aku merasa
lebih lega dan tenang atau, bisa dibilang merasa bahagia ketika mendengar suara Ayase-san.”
Lah, apa sih yang sebenarnya kukatakan
saat berada di tengah keramaian siang bolong begini?
“Kalau begitu baiklah. Yah, aku
juga khawatir kalau Asamura-kun terlalu tegang.”
Oh, sudah kuduga dia
benar-benar mengkhawatirkanku.
“Tidak apa-apa. Lagipula ini
hanya seminggu, jadi aku tidak akan memaksakan diri sampai-sampai membuatku sakit.”
“Apa iya? Aku merasa kalau Asamura-kun
cenderung terlalu memaksakan diri...”
Ayase-san berjalan sambil
melipat tangan di belakang pinggangnya. Hari ini sinar matahari terasa terik,
jadi dia mengenakan topi yang agak besar. Bayangan topi jatuh di atas matanya
sehingga ekspresinya sulit dilihat.
“Asamura-kun, sejak musim semi,
kamu terus-menerus belajar dengan rajin, ‘kan?”
“Eh... benarkah?”
“Sebenarnya sejak dulu
Asamura-kun sudah cukup rajin belajar. Posisi dudukmu juga tidak buruk.”
“Tapi aku tidak bisa bersaing
dengan Maru. Apalagi denganmu, Ayase-san.”
Pada saat Ayase-san masih
kesulitan dengan sastra jepang modern, aku hampir selalu menang dalam nilai
keseluruhan, tetapi sekarang, sepertinya tidak ada mata pelajaran yang sulit
bagi Ayase-san.
“Aku masih belum cukup baik...”
Meskipun aku belum pernah
secara langsung menanyakan universitas tujuan Ayase-san, tapi dari kunjungannya
ke acara Kampus Terbuka pada tahun lalu, mungkin dia sedang membidik Universitas
Khusus Wanita Tsukinomiya. Jika benar begitu, dia memang tidak boleh lengah
dengan nilainya saat ini.
“Aku juga harus berjuang lebih
keras.”
Meskipun itu hanya ucapan
sepele, tapi Ayase-san tiba-tiba memalingkan wajahnya ke arahku.
“Kenapa?”
“Eh?”
“Aku bilang... kenapa?”
“Eh, maaf... maksudnya apa?”
Tanpa sadar aku menjawab dengan
bahasa formal, aku tidak pernah menyangka dia akan menanyakan hal itu.
"Aku punya universitas
yang ingin aku incar, dan aku merasa sulit dengan nilai saat ini. Jadi aku
berpikir untuk berusaha keras.”
Aku menanggapinya dengan
mengangguk.
“Tapi, bagaimana dengan
Asamura-kun?”
“Eh, karena... jika Ayase-san
berjuang keras, aku harus berjuang dengan keras pula.”
“Tapi, bukannya itu tidak ada
artinya? Bukannya itu aneh? Karena aku berjuang untuk diriku sendiri.”
Apa
yang terjadi? Mengapa dia terlihat agak marah?
“Tentu saja, aku juga
melakukannya untuk diriku sendiri. Karena aku masih merasa tidak pantas bagi
Ayase-san...”
Aku masih merasa tidak pantas
berdiri di sampingnya.
Bagi ku, itu adalah pemikiran
yang wajar.
Namun, setelah mendengar
perkataanku, Ayase-san tiba-tiba mengalihkan pandangannya.
Dia memandang ke depan dan terlihat
seperti tengah merenung seakan-akan memikirkan sesuatu.
Meskipun kami berjalan
berdampingan, tapi dia tidak melihat ke arahku. Baru pertama kalinya hal
seperti ini terjadi.
Dari bibirnya, kata-kata keluar
dengan gemetar.
“... Pantas?”
Namun, setelah gumaman itu, dia
tidak mengeluarkan kata-kata lain, dan aku tidak tahu mengapa dia tiba-tiba terdiam
begitu saja.
Dia akhirnya mengangkat
wajahnya ketika stasiun Shibuya mulai terlihat.
“Baiklah, kalau begitu, aku akan
pergi berbelanja dan setelah itu langsung pulang.”
Setelah mendengar itu, aku
akhirnya menyadari bahwa karena aku tidak ada di sana, dia akan bertanggung
jawab atas tugas makanku juga.
“Maaf, aku tidak bisa membantu
dengan tugas memasak lagi.”
“Tidak masalah. Mungkin suatu
saat nanti aku juga tidak ada di rumah, atau mungkin aku sakit dan harus istirahat,
jadi cukup membalasnya nanti saat itu terjadi.”
“Tentu saja.”
Aku akan melakukannya tanpa
diminta.
Ketika Ayase-san mengatakan,
“Mungkin ada saatnya aku juga tidak ada di rumah,” rasanya seperti dia
mengatakan itu dengan asumsi bahwa kami akan menjadi keluarga untuk waktu yang
lama, dan itu membuatku senang.
“Kalau gitu, semangat untuk
belajarnya, ya.”
Aku pun mengangguk.
“Aku pergi dulu.”
“Iya, hati-hati di jalan.”
Kami berpisah di depan stasiun
dan aku langsung naik kereta dari Shibuya ke lokasi kamp pembelajaran. Program kursus
musim panas khusus di sekolah bimbel diadakan di sebuah hotel sewaan yang
dibangun di pantai teluk dan dirancang khusus untuk pembelajaran intensif.
◇◇◇◇
Aku menaiki kereta menuju selatan
pusat kota.
Aku kemudian turun di stasiun
di mana deretan hotel tinggi dibangun di daratan reklamasi di Teluk.
Tampaknya banyak siswa yang
ikut serta dalam program kursus ini, tidak hanya dari sekolah bimbelku, tetapi
juga dari sekolah bimbel lain. Dengan kata lain, mereka merekrut peserta dalam
skala nasional.
Meskipun kupikir aku sudah
berangkat dengan cukup santai, ternyata sudah melewati waktu siang.
Setelah mendaftar, aku mendapat
kunci kamar. Aku iseng-iseng melihat brosur yang berisi informasi penting di
lobi, dan tanpa kusadari, waktu upacara pembukaan semakin dekat. Melihat
kerumunan besar di depan lift, tampaknya peserta pelatihan sedang berbondong-bondong
datang. Astaga. Aku seharusnya meletakkan barang-barang berat di kamarku dulu
sebelum menuju ke sana...
Aku tidak punya pilihan selain
pergi ke upacara pembukaan dengan membawa barang bawaanku. Tempatnya adalah
aula yang cukup besar.
Tempat duduknya tidak
ditentukan secara khusus. Aula itu sekitar 80% penuh, tetapi aku berhasil
menemukan tempat duduk yang kosong dan duduk di sana.
Aku sekali lagi dibuat berpikir
bahwa ini adalah kamp pelatihan besar. Usia para peserta hampir sama, dan rasio
laki-laki dan perempuan hampir sama, atau mungkin jumlah laki-lakinya sedikit
lebih banyak. Banyak peserta yang mengenakan seragam sekolah masing-masing,
sehingga terasa seperti pertemuan seluruh sekolah.
Aku merasa gugup saat melihat
sekeliling tempat acara pembukaan.
Para peserta tidak banyak
berbicara satu sama lain, dan setiap kali mereka memiliki waktu luang, mereka
melihat buku kosakata atau melihat buku pelajaran sekolah bimbel.
Tidak lama kemudian, upacara
pembukaan pun dimulai.
Seseorang yang tampaknya
bertanggung jawab berdiri di depan ruang acara dan membicarakan beberapa hal
yang perlu diperhatikan selama pembelajaran intensif.
Setelah upacara pembukaan
selesai, aku hendak menuju ke kamarku ketika aku bangun dan kemudian aku mendengar
sebuah suara.
“Oh, jadi kamu juga ikutan ya.”
Ketika aku berbalik setelah
mendengar suara yang dikenal, wajah yang sudah tidak asing lagi sedang berdiri
di sana.
“Oh, Fujinami-san, selamat
siang.”
Pemilik suara tersebut adalah
Fujinami Kaho.
Karena kami berdua bersekolah
di sekolah bimbel yang sama, jadi seharusnya ada kemungkinan kalau kami
bertemu, tetapi aku tidak pernah memikirkan kemungkinan itu sampai saat ini.
Sambil berbincang-bincang, aku
dan Fujinami-san menuju ke depan lift, tetapi karena lift-nya begitu ramai,
kami berdua kembali ke lobi sambil membawa barang bawaan kami.
“Pesertanya lumayan ada banyak
juga ya.”
“Kupikir liftnya kurang cukup.
Sepertinya lebih baik kalau kita lebih berhati-hati saat berpindah ke ruang
belajar. Yah, mumpung masih ada waktu hingga kursus siang hari dimulai.”
Kami berdua lalu duduk di kursi
lobi.
“Aku tidak pernah menyangka
bahwa Fujinami-san juga akan ikut dalam pembelajaran intensif ini.”
Karena dia berencana
melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, tentu saja dia bersekolah di sekolah
bimbel, tetapi sejujurnya, aku bahkan tidak pernah bertanya tentang universitas
yang ingin ditujunya.
Meskipun aku biasanya tidak
suka bertanya-tanya tentang urusan orang lain, tapi kali ini aku merasa ingin
bertanya.
“Fujinami-san, apa kamu tipe
orang yang kesulitan ketika ditanya tentang universitas mana yang kamu
inginkan?”
Pertama-tama kami harus saling
memahami.
“Oh, bukan begitu. Yah, aku takkan
menceritakan sembarangan kepada siapa pun. Universtas pilihan pertamaku adalah
Waseho.”
“Waseho ya.”
Itu adalah universitas swasta
terkemuka di dalam negeri. Kupikir dia pasti mengejar perguruan tinggi yang
cukup bergengsi jika dia bahkan mengikuti program pembelajaran intensif.
“Fakultas hukum di sana adalah
pilihan pertamaku.”
Jawaban Fujinami-san kembali
membuatku terkejut. Aku mengetahui bahwa fakultas hukum adalah tempat di mana
kamu belajar tentang hukum dan politik, tetapi aku tidak pernah menyangka kalau
Fujinami-san tertarik dengan bidang tersebut.
“Mengapa kamu memilih fakultas
hukum?”
“Karena aku ingin menjadi
politisi.”
“Eh?”
“Tolong jangan langsung percaya
begitu.”
Ketika dia mengatakan itu
dengan wajah serius, aku jadi bingung apakah dia sedang bercanda atau serius.
“Setengahnya serius, sih. Yah, lebih
dari menjadi politisi, sebenarnya aku ingin mendapatkan posisi di mana aku bisa
terlibat dalam hukum dan politik.”
“Ehm...”
“Apa itu kedengarannya aneh?”
Sejujurnya, aku berpikir kalau
citra Fujinami-san sangat jauh dari sosok yang biasa disebut politisi. Namun,
itu hanya berdasarkan kesan visual. Aku seharusnya tidak menilai seseorang
hanya dari penampilannya saja.
“Tidak, entah kenapa aku
mengerti, mungkin...”
“Secara pribadi, aku punya
alasan tersendiri untuk memilih fakultas itu.”
Dia memberitahuku alasannya
memilih fakultas hukum dengan sedikit pengantar bahwa dia biasanya tidak banyak
membicarakan hal seperti ini.
Meskipun aku sudah mendengar
ceritanya beberapa kali, Fujinami-san tidak tinggal bersama orang tua
kandungnya. Sejak kecil, karena berbagai alasan, dia tidak bisa tinggal di
rumah dan bergantung pada seorang wanita yang berada di posisi hukum yang agak
samar di Shibuya untuk bertahan hidup.
“Tetapi, di dunia ini ada orang
yang tidak bisa bertahan hidup tanpa tempat seperti itu. Mereka akan terbakar
matahari dan kulit mereka akan hangus terbakar hingga mati. Mereka baru bisa
bernapas dengan lega saat mereka merangkak di dalam kegelapan malam,”
“Aku tidak bisa sembarangan
bilang kalau aku memahaminya... tapi, kupikir aku bisa membayangkannya.”
Ketika aku pertama kali bertemu
dengan Fujinami-san, dia pernah membawaku berjalan-jalan di malam hari di jalanan
Shibuya.
Aku mengikuti Fujinami-san
melewati lorong-lorong di mana biasanya takkan pernah aku lewati, di mana
pejalan kaki mabuk berkeliaran dan wanita-wanita berpakaian mencolok berdiri
tegak. Aku berusaha untuk tetap berada di dekat Fujinami-san yang memimpin
jalan. Pada saat itu aku bisa melihat wajah lain dari kota yang biasanya ramai
oleh para pemuda pada hari libur.
Itulah tempat di mana Fujinami-san
dibesarkan.
“Mereka berada dalam posisi
yang lemah secara politis. Jika hukum ditegakkan dengan serius terhadap mereka,
mereka akan kehilangan tempat tinggal. Mereka dianggap sebagai orang yang manja
karena tidak bisa hidup dengan bersih dan benar. Mereka hanya bisa bertahan
dengan susah payah di celah-celah hukum, tanpa ada tempat lain untuk bernaung.
Mereka hidup dengan 'kesepakatan' dengan
lingkungan sekitar,”
“...Jadi itulah sebabnya kamu
memilih jurusan hukum?”
Fujinami-san menjawab dengan
mengangguk.
Dia berharap agar masyarakat
tetap menjadi tempat di mana orang-orang yang berada di ambang batas seperti
itu, yang tidak jatuh ke dalam dunia bawah tanah tetapi masih tergantung di
'sisi sini', tidak dikecualikan secara politis, dan di mana suasana 'kesepakatan' yang santai dapat terus
berlanjut.
“Tetapi, baik atau buruk, dunia
pasti akan terus berubah, bukan? Karena tidak ada yang abadi di dunia ini.”
“Benar sekali.”
Jika kita melihat kembali
sejarah manusia, dari zaman prasejarah ke zaman kuno, dari zaman kuno ke abad
pertengahan, dari abad pertengahan ke zaman modern, dan dari zaman modern
hingga saat ini. Pembagian seperti itu dalam sejarah mengubah namanya karena
ada perubahan yang signifikan dari era sebelumnya. Tentu saja, setelah zaman
modern, zaman akan terus berlanjut, sehingga suatu saat zaman sekarang pun akan
menjadi bagian dari masa lalu yang diberi nama.
“Aku tidak pernah memikirkan
hal sebesar itu. Itu benar-benar skala yang besar.”
Dia tersenyum dengan getir.
“Nah, jika tren masyarakat
mengarah ke arah yang akan menyusahkan orang-orang itu, aku tidak ingin mengabaikannya
begitu saja, jadi aku ingin berada dalam posisi untuk melawan. Itulah yang aku
pikirkan secara samar-samar. Aku juga sudah banyak berhutang budi. Selain sebagai
politisi, aku merasa tidak perlu melakukannya sekarang.”
“Kalau begitu, apa tujuan
aslimu?”
“Kurasa untuk sementara waktu
tujuanku saat ini adalah menjadi seorang pengacara. Jika aku lulus dari
universitas yang bagus dan memiliki pengetahuan hukum, aku tidak akan kesulitan
dalam mencari pekerjaan. Selain itu, dengan lulus dari Universitas Waseho, aku
juga bisa dengan mudah membangun relasi setelah lulus, sehingga pilihanku akan
semakin banyak.”
Aku akhirnya mengangguk setuju
setelah memahaminya dengan baik.
Pada saat yang sama, aku
berpikir, “Luar biasa, dia benar-benar
memikirkannya dengan serius.”
“Jadi, setelah mendengarkan ceritaku
sampai sejauh ini, bagaimana denganmu sendiri?”
“Eh? ... Ah, ya.”
Aku sedikit terbata-bata.
Setelah mendengar rencana masa depan yang jelas dari Fujinami-san, aku merasa agak
malu untuk mengungkapkan pendapatku sendiri.
“Aku tidak memikirkannya dengan
begitu rinci. Aku hanya sekadar ingin kuliah di universitas yang lebih baik dan
bekerja di perusahaan yang lebih baik.”
“Apa ada perguruan tinggi tertentu
yang sedang kamu incar?”
Tidak
ada,
itulah yang ingin kukatakan. Namun, ketika Fujinami-san menyebutkan Waseda,
tiba-tiba nama institusi pendidikan swasta lainnya muncul di pikiranku.
“Mungkin Keiryo?”
“Oh, itu pilihan bagus.”
“Ah, bukan, tunggu sebentar.”
Aku lupa betapa mahalnya biaya
kuliah di universitas swasta. Karena ini tentang ayahku, jika aku benar-benar
ingin berkuliah di sana, dia mungkin akan berusaha keras untuk mengumpulkan biaya
kuliah, tetapi sebaiknya aku mencoba menghindarinya.
“Mungkin Universitas Ichinose?”
“Itu universitas negeri, ‘kan?
Itu juga pilihan bagus.”
Meskipun Fujinami-san
memberikan tanggapan yang positif, sebagai orang yang mengungkapkannya, itu
hanya merupakan tujuan yang muncul begitu saja dalam pikiranku, jadi rasanya agak
malu untuk menerima pujiannya dengan tulus.
Tapi memang benar bahwa ketika
aku benar-benar ingin berhasil dalam persaingan ujian, tidak ada gunanya jika
aku tidak mempunyai tujuan yang konkret.
“Yah, meskipun aku merasa kalau
itu tidak sepenuhnya cocok, sih.”
“Jadi, mengapa kamu memilih
Universitas Ichinose?”
Ketika ditanya sekali lagi, kali
ini aku kebingungan untuk menjawabnya. Mau tidak mau aku hanya bisa menjawabnya
dengan jujur.
Aku hanya ingin menambah pilihanku
untuk masa depan. Hanya setengah dari motivasi Fujinami-san, jadi rasanya agak
malu untuk mengatakannya dengan jelas.”
“Malu?”
Fujinami-san mengucapkan kata-kata
tersebut dengan pelan.
Aku merasakan sesasi déjà vu ketika
mendengar gumaman itu. Bukankah seseorang di suatu tempat pernah menggumamkan
sesuatu yang mirip dengan itu beberapa waktu lalu?
Fujinami-san memiringkan
kepalanya beberapa kali saat mendengar perkataanku, tetapi dia tiba-tiba
berdiri dan berkata, “Sepertinya sudah
hampir kosong”, dan dengan cepat menuju ke lift. Dia bahkan tidak menoleh
ke arahku.
Aku juga segera berdiri dan
mengejarnya, tapi saat aku menyusulnya, pintu lift sudah tertutup, dan lift
yang ditumpanginya akan mulai bergerak menuju lantai atas. Lift yang dia naiki
bergerak naik lebih dulu daripada diriku.
Yah, karena kami berada di
pembelajaran intensif yang sama, jadi mungkin kami akan bertemu lagi.
Aku masuk ke dalam kamar yang
telah ditentukan, meletakkan barang bawaanku, dan mulai menyiapkan diri untuk
kelas sore.
Tiba-tiba aku teringat, setelah
memeriksa brosur, sepertinya ada Wi-Fi yang tersedia di hotel, jadi aku akan
mengirim pesan LINE kepada Ayase-san bahwa aku sudah tiba dengan selamat.
Mungkin dia khawatir.
Yah, karena aku tidak pergi ke
luar negeri atau ke pegunungan di pedesaan, jadi mungkin dia tidak terlalu
khawatir.
“Ups, kalau tidak cepat-cepat
lift-nya akan penuh lagi.”
Karena tampaknya lebih baik bergerak
dengan santai, jadi aku memutuskan untuk meninggalkan kamar sedikit lebih awal.
Aku mempunyai jadwal pelajaran
yang cukup padat hingga waktu makan malam pukul 20:00. Meskipun makan malamku
akan menjadi agak terlambat, tapi ini mirip seperti saat aku bekerja paruh
waktu di toko buku, dan karena ada istirahat yang lebih panjang daripada waktu
istirahat di sekolah, aku merasa bisa menyantap sesuatu meskipun hanya camilan
kecil karena lobi hotel dilengkapi dengan kafe.
Sekarang, jadwalku sepenuhnya
terisi dengan belajar, sesuai dengan apa yang bisa disebut sebagai ‘membenamkan diri dalam belajar’.
Mungkin karena aku sudah
menyatakan tujuanku untuk masuk Universitas Ichinose, aku merasa kalau tujuanku
yang tadinya masih samar-samar tiba-tiba menjadi lebih jelas. Menyatakan dengan
kata-kata membuatnya terasa nyata. Mungkin Ayase-san memiliki tujuan untuk
masuk Universitas Wanita Tsukinomiya. Dan kemudian, jika dia bekerja keras, dia
mungkin bisa mencapai tujuannya.
Aku tidak boleh kalah.
Ketika aku berpisah dengan
Ayase-san, kata-kata semangat dari Ayase-san kembali terngiang di benakku.
“Kalau
gitu, semangat untuk belajarnya, ya.”
Aku memperkuat semangatku dan
memperbarui tekadku.
◇◇◇◇
Pukul 8 malam. Setelah jam
pelajaran terakhir hari ini selesai, tibalah waktunya untuk makan malam.
Ketika makan malam di kantin,
aku bertemu dengan Fujinami-san lagi dan kami makan bersama, meskipun kami
tidak banyak berbicara dan hanya makan dengan tenang.
Setelah kembali ke kamar dan
mandi di bak mandi yang disediakan, waktunya sudah hampir menjelang lampu
dimatikan.
Ketika aku melihat ponsel, ada
satu pesan masuk dari Ayase-san. Itu adalah balasan atas pemberitahuan bahwa
aku sampai dengan selamat.
“Aku
senang kamu tiba dengan selamat.” Balasnya.
“Kira-kira
seperti apa tempatnya di sana?” imbuhnya.
“Hari
pertama sudah berakhir. Kupikir ini adalah lingkungan yang bagus. Aku tidak
punya kegiatan lain selain belajar. Aku juga bisa memahami beberapa hal yang sebelumnya
tidak aku mengerti.”
Setelah menulis sampai di situ,
aku merasa seperti hanya bercerita tentang diriku sendiri.
“Bagaimana
denganmu, Ayase-san?”
Aku mengirimbkannya setelah ada
tambahan singkat.
“Aku
belajar dan bekerja paruh waktu.”
Mungkin itu artinya tidak ada
hal khusus yang terjadi?
Setelah menunggu sebentar,
pesan tambahan datang.
“Tidak
ada yang istimewa. Semuanya masih sama seperti biasanya.”
Sepertinya tidak ada yang spesial
dari sisi Ayase-san juga.
Setelah itu, pesan singkat yang
mengatakan “Semangat ya untuk belajarnya” dikirim, dan itu tampaknya menjadi
akhir percakapan. Yah, sekarang sudah larut malam juga sih. Aku mengirim stiker
[Selamat malam] sebelum berbaring di
tempat tidur.
Meskipun jadwal pelajaran hari
ini dimulai dari sore, tapi mulai besok pagi jadwal harianku akan penuh dengan
kursus pembelajaran intensif.
Waktu bangun dijadwalkan pada
jam 7 pagi. Sarapan di kantin harus selesai sebelum jam 9 pagi saat jadwal
kursus dimulai, jadi aku harus bangun paling lambat jam 8 pagi. Aku harus tidur
sekarang.
Aku berbaring dan memejamkan
mataku.
Hanya dengan pertukaran pesan
singkat dengan Ayase-san, semangatku sudah pulih cukup banyak—— sepertinya aku
bisa tidur nyenyak.
Aku pun tertidur sambil berpikir
bahwa aku akan tetap melakukan yang terbaik mulai besok.