Gimai Seikatsu Jilid 10 Bab 7 Bahasa Indonesia

Bab 7 — 2 Agustus (Senin) Asamura Yuuta

 

 

Aku menelusuri jalan yang biasa kulalui menuju Stasiun Shibuya.

Ketika aku menggendong tas jinjing dengan barang bawaan di dalamnya, Ayase-san yang berjalan di sampingku bertanya kepadaku.

“Waktunya kurang lebih selama seminggu penuh, ‘kan?”

Aku mengangguk sebagai jawaban.

Lebih tepatnya, itu selama 8 hari. Dari hari Senin sampai Senin berikutnya. Yah, hari terakhir hanya setengah hari, dan hari ini juga baru dimulai dari sore, jadi aku bisa berangkat santai seperti ini di pagi hari.

“jadi begitu...”

Kelihatannya dia ingin mengatakan sesuatu. Kalau dipikir-pikir, ketika aku pergi meninggalkan rumah, ayahku sempat mengatakan, “Jangan terlalu memaksakan dirimu sendiri.”

Kurasa ia mungkin mencemaskan diriku.

“Jadi kita tidak akan bisa bertemu untuk sementara waktu, ya.”

“Karena sepertinya aku bisa membawa ponsel, sulit untuk berkomunikasi di siang hari. Tapi malam sebelum tidur. Pagi setelah bangun tidur, aku akan mengirim pesan LINE.”

“Oke... Tapi jika kamu sedang sibuk, jangan memaksakan diri. Aku akan sabar menunggumu.”

“Jangan khawatir. Aku merasa lebih lega dan tenang atau, bisa dibilang merasa  bahagia ketika mendengar suara Ayase-san.”

Lah, apa sih yang sebenarnya kukatakan saat berada di tengah keramaian siang bolong begini?

“Kalau begitu baiklah. Yah, aku juga khawatir kalau Asamura-kun terlalu tegang.”

Oh, sudah kuduga dia benar-benar mengkhawatirkanku.

“Tidak apa-apa. Lagipula ini hanya seminggu, jadi aku tidak akan memaksakan diri sampai-sampai membuatku sakit.”

“Apa iya? Aku merasa kalau Asamura-kun cenderung terlalu memaksakan diri...”

Ayase-san berjalan sambil melipat tangan di belakang pinggangnya. Hari ini sinar matahari terasa terik, jadi dia mengenakan topi yang agak besar. Bayangan topi jatuh di atas matanya sehingga ekspresinya sulit dilihat.

“Asamura-kun, sejak musim semi, kamu terus-menerus belajar dengan rajin, ‘kan?”

“Eh... benarkah?”

“Sebenarnya sejak dulu Asamura-kun sudah cukup rajin belajar. Posisi dudukmu juga tidak buruk.”

“Tapi aku tidak bisa bersaing dengan Maru. Apalagi denganmu, Ayase-san.”

Pada saat Ayase-san masih kesulitan dengan sastra jepang modern, aku hampir selalu menang dalam nilai keseluruhan, tetapi sekarang, sepertinya tidak ada mata pelajaran yang sulit bagi Ayase-san.

“Aku masih belum cukup baik...”

Meskipun aku belum pernah secara langsung menanyakan universitas tujuan Ayase-san, tapi dari kunjungannya ke acara Kampus Terbuka pada tahun lalu, mungkin dia sedang membidik Universitas Khusus Wanita Tsukinomiya. Jika benar begitu, dia memang tidak boleh lengah dengan nilainya saat ini.

“Aku juga harus berjuang lebih keras.”

Meskipun itu hanya ucapan sepele, tapi Ayase-san tiba-tiba memalingkan wajahnya ke arahku.

“Kenapa?”

“Eh?”

“Aku bilang... kenapa?”

“Eh, maaf... maksudnya apa?”

Tanpa sadar aku menjawab dengan bahasa formal, aku tidak pernah menyangka dia akan menanyakan hal itu.

"Aku punya universitas yang ingin aku incar, dan aku merasa sulit dengan nilai saat ini. Jadi aku berpikir untuk berusaha keras.”

Aku menanggapinya dengan mengangguk.

“Tapi, bagaimana dengan Asamura-kun?”

“Eh, karena... jika Ayase-san berjuang keras, aku harus berjuang dengan keras pula.”

“Tapi, bukannya itu tidak ada artinya? Bukannya itu aneh? Karena aku berjuang untuk diriku sendiri.”

Apa yang terjadi? Mengapa dia terlihat agak marah?

“Tentu saja, aku juga melakukannya untuk diriku sendiri. Karena aku masih merasa tidak pantas bagi Ayase-san...”

Aku masih merasa tidak pantas berdiri di sampingnya.

Bagi ku, itu adalah pemikiran yang wajar.

Namun, setelah mendengar perkataanku, Ayase-san tiba-tiba mengalihkan pandangannya.

Dia memandang ke depan dan terlihat seperti tengah merenung seakan-akan memikirkan sesuatu.

Meskipun kami berjalan berdampingan, tapi dia tidak melihat ke arahku. Baru pertama kalinya hal seperti ini terjadi.

Dari bibirnya, kata-kata keluar dengan gemetar.

“... Pantas?”

Namun, setelah gumaman itu, dia tidak mengeluarkan kata-kata lain, dan aku tidak tahu mengapa dia tiba-tiba terdiam begitu saja.

Dia akhirnya mengangkat wajahnya ketika stasiun Shibuya mulai terlihat.

“Baiklah, kalau begitu, aku akan pergi berbelanja dan setelah itu langsung pulang.”

Setelah mendengar itu, aku akhirnya menyadari bahwa karena aku tidak ada di sana, dia akan bertanggung jawab atas tugas makanku juga.

“Maaf, aku tidak bisa membantu dengan tugas memasak lagi.”

“Tidak masalah. Mungkin suatu saat nanti aku juga tidak ada di rumah, atau mungkin aku sakit dan harus istirahat, jadi cukup membalasnya nanti saat itu terjadi.”

“Tentu saja.”

Aku akan melakukannya tanpa diminta.

Ketika Ayase-san mengatakan, “Mungkin ada saatnya aku juga tidak ada di rumah,” rasanya seperti dia mengatakan itu dengan asumsi bahwa kami akan menjadi keluarga untuk waktu yang lama, dan itu membuatku senang.

“Kalau gitu, semangat untuk belajarnya, ya.”

Aku pun mengangguk.

“Aku pergi dulu.”

“Iya, hati-hati di jalan.”

Kami berpisah di depan stasiun dan aku langsung naik kereta dari Shibuya ke lokasi kamp pembelajaran. Program kursus musim panas khusus di sekolah bimbel diadakan di sebuah hotel sewaan yang dibangun di pantai teluk dan dirancang khusus untuk pembelajaran intensif.

 

◇◇◇◇

 

Aku menaiki kereta menuju selatan pusat kota.

Aku kemudian turun di stasiun di mana deretan hotel tinggi dibangun di daratan reklamasi di Teluk.

Tampaknya banyak siswa yang ikut serta dalam program kursus ini, tidak hanya dari sekolah bimbelku, tetapi juga dari sekolah bimbel lain. Dengan kata lain, mereka merekrut peserta dalam skala nasional.

Meskipun kupikir aku sudah berangkat dengan cukup santai, ternyata sudah melewati waktu siang.

Setelah mendaftar, aku mendapat kunci kamar. Aku iseng-iseng melihat brosur yang berisi informasi penting di lobi, dan tanpa kusadari, waktu upacara pembukaan semakin dekat. Melihat kerumunan besar di depan lift, tampaknya peserta pelatihan sedang berbondong-bondong datang. Astaga. Aku seharusnya meletakkan barang-barang berat di kamarku dulu sebelum menuju ke sana...

Aku tidak punya pilihan selain pergi ke upacara pembukaan dengan membawa barang bawaanku. Tempatnya adalah aula yang cukup besar.

Tempat duduknya tidak ditentukan secara khusus. Aula itu sekitar 80% penuh, tetapi aku berhasil menemukan tempat duduk yang kosong dan duduk di sana.

Aku sekali lagi dibuat berpikir bahwa ini adalah kamp pelatihan besar. Usia para peserta hampir sama, dan rasio laki-laki dan perempuan hampir sama, atau mungkin jumlah laki-lakinya sedikit lebih banyak. Banyak peserta yang mengenakan seragam sekolah masing-masing, sehingga terasa seperti pertemuan seluruh sekolah.

Aku merasa gugup saat melihat sekeliling tempat acara pembukaan.

Para peserta tidak banyak berbicara satu sama lain, dan setiap kali mereka memiliki waktu luang, mereka melihat buku kosakata atau melihat buku pelajaran sekolah bimbel.

Tidak lama kemudian, upacara pembukaan pun dimulai.

Seseorang yang tampaknya bertanggung jawab berdiri di depan ruang acara dan membicarakan beberapa hal yang perlu diperhatikan selama pembelajaran intensif.

Setelah upacara pembukaan selesai, aku hendak menuju ke kamarku ketika aku bangun dan kemudian aku mendengar sebuah suara.

“Oh, jadi kamu juga ikutan ya.”

Ketika aku berbalik setelah mendengar suara yang dikenal, wajah yang sudah tidak asing lagi sedang berdiri di sana.

“Oh, Fujinami-san, selamat siang.”

Pemilik suara tersebut adalah Fujinami Kaho.

Karena kami berdua bersekolah di sekolah bimbel yang sama, jadi seharusnya ada kemungkinan kalau kami bertemu, tetapi aku tidak pernah memikirkan kemungkinan itu sampai saat ini.

Sambil berbincang-bincang, aku dan Fujinami-san menuju ke depan lift, tetapi karena lift-nya begitu ramai, kami berdua kembali ke lobi sambil membawa barang bawaan kami.

“Pesertanya lumayan ada banyak juga ya.”

“Kupikir liftnya kurang cukup. Sepertinya lebih baik kalau kita lebih berhati-hati saat berpindah ke ruang belajar. Yah, mumpung masih ada waktu hingga kursus siang hari dimulai.”

Kami berdua lalu duduk di kursi lobi.

“Aku tidak pernah menyangka bahwa Fujinami-san juga akan ikut dalam pembelajaran intensif ini.”

Karena dia berencana melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, tentu saja dia bersekolah di sekolah bimbel, tetapi sejujurnya, aku bahkan tidak pernah bertanya tentang universitas yang ingin ditujunya.

Meskipun aku biasanya tidak suka bertanya-tanya tentang urusan orang lain, tapi kali ini aku merasa ingin bertanya.

“Fujinami-san, apa kamu tipe orang yang kesulitan ketika ditanya tentang universitas mana yang kamu inginkan?”

Pertama-tama kami harus saling memahami.

“Oh, bukan begitu. Yah, aku takkan menceritakan sembarangan kepada siapa pun. Universtas pilihan pertamaku adalah Waseho.”

“Waseho ya.”

Itu adalah universitas swasta terkemuka di dalam negeri. Kupikir dia pasti mengejar perguruan tinggi yang cukup bergengsi jika dia bahkan mengikuti program pembelajaran intensif.

“Fakultas hukum di sana adalah pilihan pertamaku.”

Jawaban Fujinami-san kembali membuatku terkejut. Aku mengetahui bahwa fakultas hukum adalah tempat di mana kamu belajar tentang hukum dan politik, tetapi aku tidak pernah menyangka kalau Fujinami-san tertarik dengan bidang tersebut.

“Mengapa kamu memilih fakultas hukum?”

“Karena aku ingin menjadi politisi.”

“Eh?”

“Tolong jangan langsung percaya begitu.”

Ketika dia mengatakan itu dengan wajah serius, aku jadi bingung apakah dia sedang bercanda atau serius.

“Setengahnya serius, sih. Yah, lebih dari menjadi politisi, sebenarnya aku ingin mendapatkan posisi di mana aku bisa terlibat dalam hukum dan politik.”

“Ehm...”

“Apa itu kedengarannya aneh?”

Sejujurnya, aku berpikir kalau citra Fujinami-san sangat jauh dari sosok yang biasa disebut politisi. Namun, itu hanya berdasarkan kesan visual. Aku seharusnya tidak menilai seseorang hanya dari penampilannya saja.

“Tidak, entah kenapa aku mengerti, mungkin...”

“Secara pribadi, aku punya alasan tersendiri untuk memilih fakultas itu.”

Dia memberitahuku alasannya memilih fakultas hukum dengan sedikit pengantar bahwa dia biasanya tidak banyak membicarakan hal seperti ini.

Meskipun aku sudah mendengar ceritanya beberapa kali, Fujinami-san tidak tinggal bersama orang tua kandungnya. Sejak kecil, karena berbagai alasan, dia tidak bisa tinggal di rumah dan bergantung pada seorang wanita yang berada di posisi hukum yang agak samar di Shibuya untuk bertahan hidup.

“Tetapi, di dunia ini ada orang yang tidak bisa bertahan hidup tanpa tempat seperti itu. Mereka akan terbakar matahari dan kulit mereka akan hangus terbakar hingga mati. Mereka baru bisa bernapas dengan lega saat mereka merangkak di dalam kegelapan malam,”

“Aku tidak bisa sembarangan bilang kalau aku memahaminya... tapi, kupikir aku bisa membayangkannya.”

Ketika aku pertama kali bertemu dengan Fujinami-san, dia pernah membawaku berjalan-jalan di malam hari di jalanan Shibuya.

Aku mengikuti Fujinami-san melewati lorong-lorong di mana biasanya takkan pernah aku lewati, di mana pejalan kaki mabuk berkeliaran dan wanita-wanita berpakaian mencolok berdiri tegak. Aku berusaha untuk tetap berada di dekat Fujinami-san yang memimpin jalan. Pada saat itu aku bisa melihat wajah lain dari kota yang biasanya ramai oleh para pemuda pada hari libur.

Itulah tempat di mana Fujinami-san dibesarkan.

“Mereka berada dalam posisi yang lemah secara politis. Jika hukum ditegakkan dengan serius terhadap mereka, mereka akan kehilangan tempat tinggal. Mereka dianggap sebagai orang yang manja karena tidak bisa hidup dengan bersih dan benar. Mereka hanya bisa bertahan dengan susah payah di celah-celah hukum, tanpa ada tempat lain untuk bernaung. Mereka hidup dengan 'kesepakatan' dengan lingkungan sekitar,”

“...Jadi itulah sebabnya kamu memilih jurusan hukum?”

Fujinami-san menjawab dengan mengangguk.

Dia berharap agar masyarakat tetap menjadi tempat di mana orang-orang yang berada di ambang batas seperti itu, yang tidak jatuh ke dalam dunia bawah tanah tetapi masih tergantung di 'sisi sini', tidak dikecualikan secara politis, dan di mana suasana 'kesepakatan' yang santai dapat terus berlanjut.

“Tetapi, baik atau buruk, dunia pasti akan terus berubah, bukan? Karena tidak ada yang abadi di dunia ini.”

“Benar sekali.”

Jika kita melihat kembali sejarah manusia, dari zaman prasejarah ke zaman kuno, dari zaman kuno ke abad pertengahan, dari abad pertengahan ke zaman modern, dan dari zaman modern hingga saat ini. Pembagian seperti itu dalam sejarah mengubah namanya karena ada perubahan yang signifikan dari era sebelumnya. Tentu saja, setelah zaman modern, zaman akan terus berlanjut, sehingga suatu saat zaman sekarang pun akan menjadi bagian dari masa lalu yang diberi nama.

“Aku tidak pernah memikirkan hal sebesar itu. Itu benar-benar skala yang besar.”

Dia tersenyum dengan getir.

“Nah, jika tren masyarakat mengarah ke arah yang akan menyusahkan orang-orang itu, aku tidak ingin mengabaikannya begitu saja, jadi aku ingin berada dalam posisi untuk melawan. Itulah yang aku pikirkan secara samar-samar. Aku juga sudah banyak berhutang budi. Selain sebagai politisi, aku merasa tidak perlu melakukannya sekarang.”

“Kalau begitu, apa tujuan aslimu?”

“Kurasa untuk sementara waktu tujuanku saat ini adalah menjadi seorang pengacara. Jika aku lulus dari universitas yang bagus dan memiliki pengetahuan hukum, aku tidak akan kesulitan dalam mencari pekerjaan. Selain itu, dengan lulus dari Universitas Waseho, aku juga bisa dengan mudah membangun relasi setelah lulus, sehingga pilihanku akan semakin banyak.”

Aku akhirnya mengangguk setuju setelah memahaminya dengan baik.

Pada saat yang sama, aku berpikir, “Luar biasa, dia benar-benar memikirkannya dengan serius.”

“Jadi, setelah mendengarkan ceritaku sampai sejauh ini, bagaimana denganmu sendiri?”

“Eh? ... Ah, ya.”

Aku sedikit terbata-bata. Setelah mendengar rencana masa depan yang jelas dari Fujinami-san, aku merasa agak malu untuk mengungkapkan pendapatku sendiri.

“Aku tidak memikirkannya dengan begitu rinci. Aku hanya sekadar ingin kuliah di universitas yang lebih baik dan bekerja di perusahaan yang lebih baik.”

“Apa ada perguruan tinggi tertentu yang sedang kamu incar?”

Tidak ada, itulah yang ingin kukatakan. Namun, ketika Fujinami-san menyebutkan Waseda, tiba-tiba nama institusi pendidikan swasta lainnya muncul di pikiranku.

“Mungkin Keiryo?”

“Oh, itu pilihan bagus.”

“Ah, bukan, tunggu sebentar.”

Aku lupa betapa mahalnya biaya kuliah di universitas swasta. Karena ini tentang ayahku, jika aku benar-benar ingin berkuliah di sana, dia mungkin akan berusaha keras untuk mengumpulkan biaya kuliah, tetapi sebaiknya aku mencoba menghindarinya.

“Mungkin Universitas Ichinose?”

“Itu universitas negeri, ‘kan? Itu juga pilihan bagus.”

Meskipun Fujinami-san memberikan tanggapan yang positif, sebagai orang yang mengungkapkannya, itu hanya merupakan tujuan yang muncul begitu saja dalam pikiranku, jadi rasanya agak malu untuk menerima pujiannya dengan tulus.

Tapi memang benar bahwa ketika aku benar-benar ingin berhasil dalam persaingan ujian, tidak ada gunanya jika aku tidak mempunyai tujuan yang konkret.

“Yah, meskipun aku merasa kalau itu tidak sepenuhnya cocok, sih.”

“Jadi, mengapa kamu memilih Universitas Ichinose?”

Ketika ditanya sekali lagi, kali ini aku kebingungan untuk menjawabnya. Mau tidak mau aku hanya bisa menjawabnya dengan jujur.

Aku hanya ingin menambah pilihanku untuk masa depan. Hanya setengah dari motivasi Fujinami-san, jadi rasanya agak malu untuk mengatakannya dengan jelas.”

“Malu?”

Fujinami-san mengucapkan kata-kata tersebut dengan pelan.

Aku merasakan sesasi déjà vu ketika mendengar gumaman itu. Bukankah seseorang di suatu tempat pernah menggumamkan sesuatu yang mirip dengan itu beberapa waktu lalu?

Fujinami-san memiringkan kepalanya beberapa kali saat mendengar perkataanku, tetapi dia tiba-tiba berdiri dan berkata, “Sepertinya sudah hampir kosong”, dan dengan cepat menuju ke lift. Dia bahkan tidak menoleh ke arahku.

Aku juga segera berdiri dan mengejarnya, tapi saat aku menyusulnya, pintu lift sudah tertutup, dan lift yang ditumpanginya akan mulai bergerak menuju lantai atas. Lift yang dia naiki bergerak naik lebih dulu daripada diriku.

Yah, karena kami berada di pembelajaran intensif yang sama, jadi mungkin kami akan bertemu lagi.

Aku masuk ke dalam kamar yang telah ditentukan, meletakkan barang bawaanku, dan mulai menyiapkan diri untuk kelas sore.

Tiba-tiba aku teringat, setelah memeriksa brosur, sepertinya ada Wi-Fi yang tersedia di hotel, jadi aku akan mengirim pesan LINE kepada Ayase-san bahwa aku sudah tiba dengan selamat.

Mungkin dia khawatir.

Yah, karena aku tidak pergi ke luar negeri atau ke pegunungan di pedesaan, jadi mungkin dia tidak terlalu khawatir.

“Ups, kalau tidak cepat-cepat lift-nya akan penuh lagi.”

Karena tampaknya lebih baik bergerak dengan santai, jadi aku memutuskan untuk meninggalkan kamar sedikit lebih awal.

Aku mempunyai jadwal pelajaran yang cukup padat hingga waktu makan malam pukul 20:00. Meskipun makan malamku akan menjadi agak terlambat, tapi ini mirip seperti saat aku bekerja paruh waktu di toko buku, dan karena ada istirahat yang lebih panjang daripada waktu istirahat di sekolah, aku merasa bisa menyantap sesuatu meskipun hanya camilan kecil karena lobi hotel dilengkapi dengan kafe.

Sekarang, jadwalku sepenuhnya terisi dengan belajar, sesuai dengan apa yang bisa disebut sebagai ‘membenamkan diri dalam belajar’.

Mungkin karena aku sudah menyatakan tujuanku untuk masuk Universitas Ichinose, aku merasa kalau tujuanku yang tadinya masih samar-samar tiba-tiba menjadi lebih jelas. Menyatakan dengan kata-kata membuatnya terasa nyata. Mungkin Ayase-san memiliki tujuan untuk masuk Universitas Wanita Tsukinomiya. Dan kemudian, jika dia bekerja keras, dia mungkin bisa mencapai tujuannya.

Aku tidak boleh kalah.

Ketika aku berpisah dengan Ayase-san, kata-kata semangat dari Ayase-san kembali terngiang di benakku.

“Kalau gitu, semangat untuk belajarnya, ya.”

Aku memperkuat semangatku dan memperbarui tekadku.

 

◇◇◇◇

 

Pukul 8 malam. Setelah jam pelajaran terakhir hari ini selesai, tibalah waktunya untuk makan malam.

Ketika makan malam di kantin, aku bertemu dengan Fujinami-san lagi dan kami makan bersama, meskipun kami tidak banyak berbicara dan hanya makan dengan tenang.

Setelah kembali ke kamar dan mandi di bak mandi yang disediakan, waktunya sudah hampir menjelang lampu dimatikan.

Ketika aku melihat ponsel, ada satu pesan masuk dari Ayase-san. Itu adalah balasan atas pemberitahuan bahwa aku sampai dengan selamat.

“Aku senang kamu tiba dengan selamat.” Balasnya.

“Kira-kira seperti apa tempatnya di sana?” imbuhnya.

“Hari pertama sudah berakhir. Kupikir ini adalah lingkungan yang bagus. Aku tidak punya kegiatan lain selain belajar. Aku juga bisa memahami beberapa hal yang sebelumnya tidak aku mengerti.”

Setelah menulis sampai di situ, aku merasa seperti hanya bercerita tentang diriku sendiri.

“Bagaimana denganmu, Ayase-san?”

Aku mengirimbkannya setelah ada tambahan singkat.

“Aku belajar dan bekerja paruh waktu.”

Mungkin itu artinya tidak ada hal khusus yang terjadi?

Setelah menunggu sebentar, pesan tambahan datang.

“Tidak ada yang istimewa. Semuanya masih sama seperti biasanya.”

Sepertinya tidak ada yang spesial dari sisi Ayase-san juga.

Setelah itu, pesan singkat yang mengatakan “Semangat ya untuk belajarnya” dikirim, dan itu tampaknya menjadi akhir percakapan. Yah, sekarang sudah larut malam juga sih. Aku mengirim stiker [Selamat malam] sebelum berbaring di tempat tidur.

Meskipun jadwal pelajaran hari ini dimulai dari sore, tapi mulai besok pagi jadwal harianku akan penuh dengan kursus pembelajaran intensif.

Waktu bangun dijadwalkan pada jam 7 pagi. Sarapan di kantin harus selesai sebelum jam 9 pagi saat jadwal kursus dimulai, jadi aku harus bangun paling lambat jam 8 pagi. Aku harus tidur sekarang.

Aku berbaring dan memejamkan mataku.

Hanya dengan pertukaran pesan singkat dengan Ayase-san, semangatku sudah pulih cukup banyak—— sepertinya aku bisa tidur nyenyak.

Aku pun tertidur sambil berpikir bahwa aku akan tetap melakukan yang terbaik mulai besok.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama