Hanayome wo Ryakudatsu Jilid 1 Bab 2 Bahasa Indonesia

Penerjemah: Maomao

Bab 2

 

Di pagi hari, aku mengikat dasiku di depan cermin.

“Orang itu bilang kalau aku dipecat, tapi karena aku belum menerima surat pemecatan, jadi seharusnya pemecatan itu tidak berlaku, ‘kan?”

Orang yang kumaksud adalah ayahku.

Aku masih mengingat kejadian di hari pernikahanku, saat calon istriku dibawa kabur dan ayahku yang memarahiku di ruang tunggu menyatakan kalau aku dipecat.

Aku bekerja di departemen pengembangan sistem di perusahaan ayahku, Ichinose Shoji.

Ichinose Shoji adalah salah satu dari delapan besar perusahaan dagang di Jepang, namun tidak termasuk dalam lima besar.

Ayahku yang tidak puas dengan hal tersebut berambisi untuk meningkatkan ukuran perusahaan.

Perusahaan ayah tunanganku, Himeno-san, yaitu Grup Fujisaki, adalah perusahaan besar yang jauh melebihi Ichinose Shoji. Dan, Grup Fujisaki sedang mencari seorang pria untuk dijadikan meneruskan perusahaan.

Jika aku, seseorang yang dianggap tidak perlukan, bisa dipaksa masuk untuk memperkuat hubungan, itu pasti sesuai dengan keinginan ayahku.

Pernikahan antara diriku dan Himeno-san sebenarnya hanyalah pernikahan bisnis.

Memang, sejak pertunangan hingga menjelang pernikahan, kerjasama perusahaan ayahku dengan Grup Fujisaki dalam bisnis mulai meningkat.

Mungkin ada rencana untuk mengendalikanku yang akan mewarisi Grup Fujisaki setelah menikah, untuk membesarkan perusahaan ayahku.

Namun, ambisi tersebut hancur berantakan.

Alasannya sudah jelas, karena pernikahan antara aku dan Himeno-san sudah dibatalkan.

Pernikahan antara putri dan putra dari dua perusahaan besar, Grup Fujisaki dan Ichinose Shoji, telah mengundang banyak eksekutif perusahaan untuk merayakannya.

Karena kejadian semacam itu terjadi di sana, aku sudah menduga bahwa orang yang lebih peduli pada reputasinya sendiri akan marah.

Meski begitu, tanpa mengucapkan kata-kata hiburan kepadaku yang adalah anaknya, dia malah mengatakan, “Bukankah pihak sebelah juga memiliki tanggung jawab?” Itu benar-benar di luar dugaanku.

“Orang itu, mungkin dia tidak pernah menganggapku sebagai anaknya, melainkan hanya sebagai pion sampai akhir.”

Di sela-sela persiapan, aku mengambil cangkir kopi dan membawanya ke meja.

“Yah, aku juga tidak pernah menganggapnya sebagai ayah sih.”

Aku bergumam sendirian sambil duduk di kursi dan meminum kopi.

Sebagai seseorang yang sudah terbiasa dengan kerja lembur dan kerja di hari libur, aku minum kopi untuk membangunkan tubuhku dan mengonsumsi kafein itu sudah menjadi rutinitas harianku. 

“Ini lebih tentang pekerjaan. Yah, aku sekarang mendapat libur beberapa hari, tapi apa mereka baik-baik saja ya?”

Aku sedang cuti untuk pernikahanku. Ini membantuku mendapat hari libur setelah pernikahan juga.

Orang itu, yang bermental pembisnis, menganggap cuan adalah segalanya. Dan kami, bagian pengembangan sistem, adalah mesin yang akan membuat semuanya sendiri jika diberi instruksi.

Karena pandangan atasan seperti itu dan fakta bahwa bagian kami baru saja didirikan dalam beberapa tahun terakhir, bagian pengembangan sistem cenderung diremehkan dalam perusahaan. Bagian ini selalu berada di ambang batas karena dioperasikan dengan spesifikasi dan jadwal yang tidak masuk akal, serta dengan tenaga kerja dan anggaran yang sedikit.

Untuk mengubah situasi itu, kami mulai mengembangkan sebuah sistem dan akhirnya hampir selesai dan mulai berjalan dengan baik. Tapi kemudian, aku mendapat pengumuman pemecatan yang mendadak.

Jika aku benar-banar akan dipecat, setidaknya aku harus melakukan serah terima pekerjaan.

Aku tidak memiliki ikatan dengan orang itu atau perusahaannya, tetapi aku memiliki rasa keakraban dengan semua orang di departemenku dan tidak ingin menyusahkan mereka.

Sambil memikirkan hal itu, aku menyesap kopi sekali lagi, dan tepat pada saat itu...

Ding dong──

Suara interkom terdengar di dalam rumah.

“Siapa sih yang datang pagi-pagi begini?”

Eh? Rasanya aku mengucapkan kata-kata itu juga kemarin.

Dengan rasa penasaran, aku bangkit dari kursi dan menatap layar interkom.

Di sana tergambar seorang gadis cantik yang kukenali. Hari ini juga, warna merah di dalam rambut hitamnya terlihat menonjol, dan choker hitam di lehernya tampak longgar, menunjukkan betapa ramping dan halusnya dia.

Jika ada yang berbeda dari kemarin, mungkin tambahan rompi rajut dan pita yang dia pakai.

“Selamat pagi, Kakak ipar.”

Dengan nada yang sama seperti kemarin, Nene-chan menyapa dengan tenang.

“Nene-chan, ada apa kamu kemari?”

“Aku membawakan bekal.”

Nene-chan mengangkat kotak bekal yang didekorasi dengan karakter kartun agar terlihat di kamera.

“Eh, kamu membawanya hari ini juga?”

“Iya, ibu senang karena kakak ipar memuji bekal kemarin, jadi ibu membuatnya lagi.”

Begitu rupanya, jadi ucapan terima kasihku kemarin justru menjadi bumerang.

Dan Nene-chan harus membawakannya lagi, aku merasa telah menyusahkan dia.

“Terima kasih sudah repot-repot membawanya ke sini.”

Tidak mungkin aku tidak menerimanya.

Namun, membuat Nene-chan repot-repot membawakannya sampai ke sini juga membuatku merasa tidak enak.

“Aku akan turun untuk mengambilnya, jadi tunggu di sana sebentar─”

“Kakak ipar.”

Nene-chan memanggilku dengan sedikit terburu-buru. Tidak, ini pasti karena lag pada interkom. Tidak mungkin Nene-chan memotong pembicaraan.

“Eh?”

“Selain bekal, aku datang untuk mengembalikan sesuatu.”

Nene-chan menyimpan kembali kotak bekalnya dan mengambil sesuatu yang tampak familiar. Itu adalah kaos yang aku pinjamkan kepadanya kemarin.

Ternyata, aku tidak menyadari kalau dia belum mengembalikannya kemarin. Apakah dia dengan baik hati membawanya pulang, mencucinya, lalu mengembalikannya hari ini? Dia memang gadis yang baik sekali.

“Karena aku sudah meminjamnya, jadi aku harus mengembalikannya, kan?”

“Tidak, itu sebenarnya...”

Aku ingin mengatakan bahwa dia tidak perlu mengembalikannya, tetapi ketika melihat wajah Nene-chan yang terlihat menyesal dengan ujung alisnya turun, aku jadi memikirkan kembali.

Kalau aku mengambilnya, mungkin itu akan terkesan memaksa kebaikan padanya. Karena Nene-chan yang baik hati itu, dia mungkin akan merasa harus membalasnya.

Sebaiknya aku menerima tawarannya dengan ikhlas.

“Maaf aku mengganggu sebentar.”

Aku hanya berencana untuk menerima sweater itu di pintu, tetapi Nene-chan bertanya, “Apa kamu bisa makan bekalnya sekarang?”

Rupanya, ibu mertuaku memintanya untuk melihat bagaimana aku memakan bekal tersebut dan ingin diberitahu tentang itu.

Bagi orang yang membuatnya, mungkin melihat orang lain memakannya lebih menyenangkan daripada hanya mendengar 'Rasanya enak'.

Demi memenuhi permintaan ibu mertuaku, aku memutuskan untuk mengundang Nene-chan masuk ke rumah.

Meskipun merasa malu karena dilihat Nene-chan, dengan memakannya sebagai sarapan, aku bisa mengembalikan kotak bekalnya hari ini juga, jadi itu pas.

Aku lupa mengatakannya kemarin karena ada banyak hal yang terjadi, tapi aku harus memberitahunya untuk berhenti membuatkan bekal untukku lagi.

Aku sebenarnya sangat bersyukur, tetapi membuat ibu mertuaku repot-repot lagi dan meminta Nene-chan untuk membawakannya lagi rasanya jadi sungkan.

Karena aku dan keluarga Fujisaki hanyalah orang asing.

“Aku akan mengembalikan ini dulu, terima kasih.”

Saat aku menerima kaos dari Nene-chan, aroma wangi dan lembut menyebar ke sekeliling.

Mungkin itu aroma pelembut kain, berbeda sekali dengan yang aku gunakan. Apa aroma yang aku cium saat bangun juga seperti ini?

Sambil berpikir tentang itu, aku menuju ke lemari di kamarku untuk menyimpan kaos tersebut.

Kemudian, aku kembali ke ruang tamu dengan langkah cepat dan duduk di meja.

Langkah cepat itu mungkin karena ada bagian diriku yang sebenarnya ingin menikmati bekal itu.

Aku merasa heran pada diriku sendiri yang ingin menikmati bekal, meskipun aku sudah berniat meminta untuk berhenti membuatnya.

Namun, sebanyak itu bekal yang aku makan kemarin telah merangsang indera pengecapku dan memuaskan hatiku.

Lalu, aku menyatukan tangan dan berterima kasih pada bekal di depanku.

“Selamat makan.”

Saat membuka bekal dua lapis itu, di lapis pertama terdapat lauk seperti tsukune ayam, saba no tatsuta-age, dan hijiki no nimono. Di lapis kedua terhampar nasi putih dengan satu buah umeboshi di tengah, dikelilingi oleh wijen hitam yang ditaburkan.

“Bekal hari ini juga terlihat sangat lezat.”

Kenangan kemarin muncul dan secara tidak sadar membuatku ngiler.

Mari kita mulai dari tsukune ayam. Tersusun rapi di atas tusuk kecil, itu membuat suasana hatiku menjadi lebih baik.

Ada etika dalam makan, tapi makan sambil tusuk masih menancap itu terasa lebih bergaya.

“Teksturnya yang lembut dengan rasa daging yang kaya, dipadukan dengan saus manis dan asin yang lezat. Ditambah lagi daun bawang kecil dan wijen putih ini menjadi aksen yang menyenangkan.”

Lalu aku menyantap nasi putih itu.

“Bumbu ini, membuat nasi putih jadi lebih nikmat. Benar-benar lezat.”

“Kalau ditambah kuning telur, pasti akan lebih enak lagi.”

“Tsukune dengan kuning telur memang kombinasi terbaik.”

Aku membayangkan tsukune yang berkilauan dicampur dengan kuning telur. Kemanisan dan keasinan dari saus yang dipadukan dengan kelembutan kuning telur, hanya membayangkannya saja sudah terasa enak.

“Tapi karena ini bekal, sulit untuk menambahkan kuning telur terpisah ya?”

“Itu memang sangat disayangkan.”

Karena aku sibuk dengan persiapan pernikahan dan pekerjaan, bahkan telur pun tidak ada di kulkas rumahku, jadi sayang sekali itu tidak mungkin.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kakak ipar makan di rumah kami saja?”

“Eh? Itu terlalu berlebihan. Aku sudah puas hanya dengan mendapatkan bekal.”

“Hmm.”

Dari situ, Nene-chan tidak mengatakan apa-apa lagi dan hanya menatapku.

Suasana menjadi agak aneh, tapi aku mencoba untuk tidak memikirkannya dan melanjutkan makan sabano tatsuta-age.

“Kulitnya yang renyah, saba yang lembut dengan bumbu dasar yang kuat, sangat lezat.”

Ini juga membuat nasi putih jadi semakin laris.

“Menambahkan parutan lobak dan ponzu juga enak lho.”

"”tu juga ide yang bagus.”

Makan dengan oroshi ponzu yang menyegarkan pasti akan lezat.

Aku suka kulit yang renyah, tapi kulit yang sedikit lembek juga punya kelezatannya sendiri.

“Tapi itu juga sulit kalau untuk bekal, kan?”

“Iya, sih.”

Meminta topping untuk bekal memang percuma.

Ah, rasanya frustrasi sekali ketika ada ide tetapi tidak bisa merealisasikannya.

“Kalau begitu, kamu bisa makan di rumah kami saja.”

Tsukune yang dicampur dengan kuning telur atau tatsuta-age dengan oroshi ponzu memang terdengar sangat menggoda.

Tapi, memangnya di dunia ini apakah ada seseorang yang akan pergi ke rumah mantan tunangan untuk meminta itu?

“Tidak, itu terlalu berlebihan, jadi aku akan menolak dengan sopan.”

“Hmm.”

Kemudian, sekali lagi Nene-chan tidak mengatakan apa-apa dan hanya menatapku.

Setelah beberapa saat, dia tampak seperti teringat sesuatu dan wajahnya berubah cerah.

“Kakak ipar, bolehkah aku mengambil foto?”

“Eh? Foto?”

“Iya, ibu bilang untuk mengambil foto.”

Hanya dengan dilihat Nene-chan saat aku makan saja sudah cukup membuatku malu, apalagi harus berfoto segala?

“Tidak, itu sih─”

“Nene mungkin akan dimarahi...”

“Silakan ambil fotonya sesukamu.”

Aku berniat menolak, tapi tekadku ternyata goyah.

Apakah ada pria yang mampu menolak wajah sedih seorang gadis cantik seperti dirinya?

Jika hanya dengan satu atau dua foto bisa membuat wajahnya cerah kembali, itu sama sekali tidak masalah.

“Tapi, Nene-chan, apa ini benar-benar diperlukan?”

“Eh? Aku hanya mau mengambil foto, kenapa?”

“Memangnya kita perlu berdekatan seperti ini?"

“Kakak ipar tuh bicara apaan sih? Kita ‘kan mau foto selfie, jadi tentu saja harus berdekatan lah.”

Nene-chan dan aku berada dalam jarak di mana bahu kami hampir bersentuhan.

Aroma wangi dan lembut yang sama dari kaos yang baru dia kembalikan menggelitik hidungku. Rambut hitam dan merah Nene-chan yang indah jatuh lembut di atas bahuku.

Kupikir dia hanya akan mengambil foto diriku saat makan, bukan selfie bersama Nene-chan. Ini sesuatu yang tidak kudengar sebelumnya.

“Baiklah, aku akan mengambil fotonya.”

“Ah, iya.”

Proses mengambil foto berlangsung sangat alami sehingga tanpa perlawanan, semuanya selesai dalam sekejap.

Karena aku tidak terbiasa difoto, aku tidak tahu wajahku terlihat seperti apa. Meski wajahku tidak penting dan tidak perlu khawatir, aku tetap bertanya.

“Wajahku tidak kelihatan aneh, ‘kan?”

“Uwaah...”

Nene-chan menggumamkan sesuatu sambil melihat ponselnya.

Seperti yang kuduga.

“Kalau begitu, hapus saja dan kita ambil lagi.”

“Tidak, jangan dihapus."

Kenapa? Mungkin, karena wajahku aneh, dia merasa merepotkan untuk mengambil foto lagi.

Meskipun begitu, aku berhasil menghabiskan bekal itu.

“Terima kasih atas makanannya.”

“Selamat menikmati.”

Nene-chan kelihatan tampak puas.

Dia pasti berpikir, 'Akhirnya dia selesai makan.' Dia harus melihat om-om tua sedang makan karena permintaan ibunya, itu adalah reaksi wajar.

“Bagaimana rasanya untuk hari ini, kakak ipar?”

“Tentu saja enak. Lagipula, sehabis makan aku tidur lagi dan tidak makan apa-apa sampai pagi, jadi ini sangat membantu.”

“......Tidak makan apa-apa setelah itu?”

Nene-chan memperlihatkan ekspresi terkejut seakan-akan dia tidak bisa mempercayainya.

“Hmm, tapi tidak apa-apa. Aku sering tidak makan seharian karena sibuk bekerja.”

“Itu sama sekali tidak baik.”

Nene-chan mengerutkan dahinya dengan ekspresi cemas.

Apa dia menganggapku sebagai pekerja profesional bahkan tidak bisa mengatur makananku sendiri? Itu memang benar, jadi aku tidak bisa berkata apa-apa.

“Begini, bisakah kamu menyampaikan kepada ibu mertua kalau dia tidak perlu repot-repot membuat bekal lagi?”

“Eh, kenapa? Apa itu menyusahkan Kakak ipar?”

“Bukan menyusahkan sih, tapi aku merasa tidak enak kepada ibu mertua karena dia harus repot-repot membuat bekal untukku."

“Begitu ya. Tapi, kira-kira apa ibu akan berhenti membuatnya kalau mendengar cerita tadi?”

Orang normal pasti akan khawatir jika mendengar seseorang sering tidak makan sehari penuh. Apalagi orang sebaik ibu mertua, jawabannya pasti mudah.

“Kurasa tidak. Jadi, aku akan senang jika kamu tidak memberitahunya.”

“Tidak bisa. Nene harus melaporkan keadaan kakak ipar.”

Dengan bibir yang tertutup rapat, Nene-chan menjawab seolah telah mengambil keputusan.

Aku sudah melakukan kesalahan.

“Kakak ipar hanya minum kopi padahal tidak makan sehari penuh juga, kan?”

“Eh, ini seperti bensin bagi pekerja, jadi ini bagus untuk mengusir kantuk.”

“Hee, apa Nene juga boleh meminumnya?”

Mungkin dia tertarik karena aku menyebutnya sebagai pengusir kantuk. Mungkin Nene-chan merasa mengantuk karena dia datang ke sini pagi-pagi untuk memberikan bekal.

Sepertinya aku akan disalahkan untuk banyak hal, jadi aku memutuskan untuk menerima permintaannya.

“Yah, tidak masalah. Aku akan menyiapkannya sekarang.”

“Tidak perlu, aku tidak bisa minum satu cangkir penuh kok. Yang itu saja sudah cukup.”

Dan yang ditunjuk Nene-chan adalah cangkir kopi yang sudah aku minum tadi dan sekarang sudah benar-benar dingin.

“Ini kopi yang tadi aku minum, kamu beneran mau meminumnya?”

“Iya, apa ada yang salah dengan itu?”

Jika ditanya apanya, yang terpikir adalah apakah gadis seusianya tidak keberatan meminum dari cangkir yang sudah diminum om-om tua. Namun, ketika dia menatapku dengan pandangan bingung, aku merasa seakan-akan justru aneh jika aku yang terlalu mempermasalahkannya.

“Tidak, kalau Nene-chan merasa tidak keberatan, maka tidak ada masalah.”

“Terima kasih.”

Kemudian Nene-chan mengeluarkan tisu dari tasnya dan memasukkannya ke bibirnya.

“Maaf, aku tahu ini tidak sopan.”

Mungkin dia tidak ingin warna lipstiknya menempel di cangkir, gerakannya yang tidak sering kulihat dari seorang wanita membuatku terkejut.

Setelah itu, Nene-chan memegang cangkir dan menyesap sedikit.

“Memang benar-benar bikin mata melek.”

Setelah mengatakan seperti itu, dia menunjukkan ekspresi pahit dan menjulurkan lidahnya sedikit. Tingkahnya yang seperti anak kecil itu terlihat imut dan menggemaskan.

Rasa pahitnya bukan yang membuat mata terbuka lebar. Bagi seorang anak, kopi hitam mungkin bukan sesuatu yang enak.

“Kalau begitu, aku harus pergi sekarang.”

Suara Nene-chan membuatku melirik jam tangan dan ternyata waktunya sudah lumayan siang.

“Aku juga.”

Aku berdiri untuk mencuci kotak bekal dan cangkir, lalu memakai jas, mengambil tas, dan keluar dari rumah.

Di tengah jalan, Nene-chan menawarkan untuk mencucinya, tapi aku menolak dengan sopan.

Kemudian, kami berdiri bersama di pintu keluar apartemen.

“Terima kasih untuk hari ini juga, Nene-chan. Tolong sampaikan rasa terima kasihku kepada ibu mertua juga.”

“Iya, aku mengerti.”

“Aku akan pergi ke arah sini.”

Saat aku hendak berjalan ke arah yang berlawanan dengan Nene-chan.

“Kakak ipar.”

“Iya?”

“Hati-hati di jalan ya.”

Sinar matahari pagi menerangi Nene-chan, dan senyumnya terlihat berkilauan. Rasanya seperti aku melihat sesuatu yang berharga.

Tidak pernah kubayangkan akan datang hari dimana aku berterima kasih pada matahari yang biasanya kusumpahi setiap pagi.

“Iya, aku pergi dulu.”

Senyumnya begitu menyilaukan sehingga aku harus mengalihkan pandangan dan beranjak pergi, tapi dia memanggilku lagi.

“Kakak ipar. Aku lupa mengatakannya, tapi kamu terlihat keren dengan setelan jas itu.”

“Terima kasih.”

Aku ingin membalas dengan sesuatu, tapi berkata, “Seragammu juga terlihat sangat cocok” jelas-jelas terdengar aneh, jadi aku hanya bisa mengatakan,

“Kamu juga, hati-hati di jalan.”

Aku hanya bisa membalas dengan kalimat biasa itu.

“Selamat beraktivitas.”

Meski berkata begitu, Nene-chan tidak meninggalkan tempat itu.

Aku tidak bisa terus berdiri diam di sana, jadi aku melanjutkan langkahku.

Saat aku berbelok di sudut persimpangan, rasa ingin tahu membuatku menoleh ke belakang, dan Nene-chan masih berada di sana, menatap ke arahku.

Ketika dia menyadari aku menoleh, dia tersenyum malu dan melambaikan tangan kecilnya, itu adalah pemandangan yang berkesan.

 

◇◇◇◇

 

“Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini...”

Keesokan harinya di pagi hari.

Aku terbaring di sofa dengan pakaian olahraga, menghabiskan waktu dengan santai.

Seharusnya ini adalah saat-saat dimana aku harus bersiap untuk pergi ke kantor, tetapi mulai hari ini aku tidak perlu melakukan itu lagi.

Sebenarnya, itu sudah terjadi sejak kemarin.

Setelah berpisah dengan Nene-chan kemarin, aku mencoba pergi ke kantor, tetapi begitu aku masuk, aku dihentikan di bagian meja resepsionis.

“Maafkan kami, Ichinose-sama. Kami tidak dapat mengizinkan anda masuk.”

Begitulah kata wanita resepsionis yang familiar dengan wajah sedihnya.

Dari pembicaraan, mungkin dia mengetahui bahwa aku telah dipecat, dan orang luar tidak diizinkan masuk. Semua prosedur sudah selesai, dan dokumen terkait rencananya akan dikirim ke rumahku.

Karena dokumen itu sudah berada di tangan mereka, aku jadi langsung menerimanya.

Aku merenung sambil melihat dokumen. Meski aku mengajukan keberatan, mungkin itu akan diabaikan. Sudah pasti mereka telah mempersiapkan segalanya, ia adalah orang seperti itu.

Aku hanya bisa terkesima dengan seberapa cepat mereka bertindak hanya pada saat-saat seperti ini.

Lalu, aku menahan diri untuk tidak tenggelam dalam pikiran tentang kenapa hal itu bisa terjadi...

Untuk saat ini, kenyataannya adalah aku sudah kehilangan pekerjaanku.

“Jadi aku benar-benar dipecat, ya?”

Aku bergumam dan mengangkat wajahku, dan tanpa sadar ada petugas keamanan berdiri di kedua sisiku.

Mungkin mereka berdiri di sana untuk segera menangkapku jika aku mulai membuat keributan.

Secara emosional, aku memang ingin mengamuk. Namun, kalau aku melakukannya, itu hanya akan memberikan keuntungan kepada orang itu.

Mengamuk atau bahkan mendorong petugas keamanan hanyalah tindakan kriminal, dan akhirnya aku yang akan tertangkap.

Dalam situasi ini, aku tidak tahu kapan aku bisa dituduh melakukan penyusupan ilegal, jadi aku memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.

Suara wanita resepsionis yang mengatakan “Maafkan kami,” masih terngiang di telingaku saat aku pergi.

 

Setelah itu, semuanya berlangsung dengan cepat.

Setelah kembali ke rumah, aku menghubungi anggota timku dan menyelesaikan sebagian serah terima.

'Sebagian' karena ada aturan yang mengatakan aku tidak boleh membawa pulang komputer kantor, dan karena aku tidak memiliki komputer di rumah, aku hanya bisa menangani apa yang aku ingat sebaik mungkin, jadi itu tidak sempurna.

Memang tidak ada yang namanya serah terima yang sempurna, tapi jika aku punya komputer kantor, pasti prosesnya bisa lebih lancar.

Sudah beberapa kali aku menuntut peraturan yang tidak mengizinkan kerja jarak jauh di zaman sekarang ini, tapi selalu ditolak dengan alasan konservatif bahwa pekerjaan harus dilakukan dengan bertatap muka.

Reaksi rekan kerja dan junior saat aku menghubungi mereka jauh lebih tenang dari yang kubayangkan. Meskipun ada kemarahan terhadap perusahaan, yang mereka sampaikan padaku hanyalah kata-kata penghiburan.

“Senpai, akulah yang paling tahu betapa kerasnya Senpai bekerja. Sejujurnya, aku tidak tahu apakah kami bisa melanjutkannya tanpa Senpai, tapi sistem itu akan selesai sebentar lagi. Jika sudah selesai, akan ada perbaikan besar. Jadi, tolong biarkan kami yang menyelesaikan, dan senpai bisa istirahat sekarang.”

Setelah menghubungi juniorku, dia segera meneleponku dan memberi semangat, yang sejujurnya membuatku merasa sedikit malu.

Mungkin dia sudah menduga situasinya karena dia hadir di upacara itu.

Aku mengucapkan terima kasih dan mengajaknya.

“Kalau sudah tenang, ayo kita makan bersama.”

“Eh! Makan berdua dengan senpai?”

Dia memberikan penekanan yang kuat pada bagian 'berdua', jadi aku menambahkan, “Jangan khawatir, rekan kerja lain juga akan ikut.”

Itu berbahaya, aku hampir saja disalahpahami sebagai atasan yang melakukan pelecehan seksual. Meskipun aku bukan lagi atasan mereka.

“Baiklah.”

Setelah dia menjawab, telepon langsung diakhiri.

Tidak heran jika dia sibuk dan tidak ingin membuang-buang waktu.

Walaupun aku dipecat, sepertinya aku akan mendapat uang pesangon. Meskipun jumlahnya tidak banyak, mungkin itu semacam uang pemutusan hubungan kerja. Yah, walaupun uang cuti yang telah terkumpul takkan cair.

Aku juga akan mendapatkan tunjangan pengangguran jika aku mengurusnya, dan sebenarnya aku tidak terlalu kekurangan uang. Aku juga tidak berencana untuk hidup mewah.

Namun, aku bingung bagaimana menghabiskan waktu luang yang terlalu mendadak ini.

Aku diberitahu untuk 'istirahat', tapi aku tahu itu tidak berarti memperlambat kecepatan kerja dan hidup santai.

Dulu, aku pernah berpikir secara samar, 'Hidup sendirian dengan tenang itu juga rasanya tidak terlalu buruk', tapi sekarang saat situasi seperti ini, aku tidak tahu harus mulai dari mana.

Itulah satu-satunya hal yang akhirnya terlintas dalam pikiranku.

Aku mengingat kejadian tadi malam, melihat ke arah dapur, dan menggumam lagi.

“Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini...”

Ding dong──

Pengunjung pada jam ini, mungkin saja.

Saat aku mengintip gambar di interkom, Nene-chan sedang berdiri di sana.

“Selamat pagi, Kakak ipar”

“Iya, bekal.”

Salah, sejak kapan 'bekal' menjadi salam?

Aku terbatuk sedikit untuk memperbaiki kata-kataku.

“Iya, selamat pagi.”

“Ini dia, bekal yang sudah ditunggu-tunggu.”

Sambil mengangkat bekalnya, Nene-chan terlihat seperti tersenyum.

Dia pasti mendengar kalimat keceplosan tadi.

“Apa aku boleh masuk? Oh, kakak ipar hari ini tidak mengenakan setelan ya.”

“Ah, ada beberapa hal yang terjadi.”

Saat dia masuk dan melihat aku tidak memakai setelan di hari kerja, Nene-chan mengedipkan matanya dan bertanya.

Aku merasa telah melakukan kesalahan, tetapi aku menjawabnya dengan sedikit samar.

“Apa aku boleh tanya apa yang terjadi?”

“Ini bukan cerita yang patut didengar oleh Nene-chan sih.”

“Orang yang bilang seperti itu tidak akan mendapatkan bekalnya.”

Apa, aku tidak bisa makan bekal dari ibu mertua?

Bekal itu telah menjadi semacam tali kehidupan bagiku, dan kalau itu terputus rasanya sedikit berat.

Namun, ini juga bisa jadi kesempatan untuk meminta ibu mertua berhenti membuat bekal dan mengakhiri hubungan dengan keluarga Fujisaki.

Sambil berpikir seperti itu, Nene-chan bergumam pelan.

“Iya, bekal.”

“Eh?”

Aku teringat kesalahan bicara yang aku lakukan tadi dan merasa panas di seluruh tubuh.

“Kakak ipar, kamu tadi sempat bilang 'bekal', ‘kan?”

“Kedengarannya memalukan, jadi tolong hentikan.”

“Kamu bilang begitu tanpa sadar karena kamu sangat menantikan bekal, kan?”

“Itu memang benar. tapi...”

“Lebih baik mengaku saja, kamu mungkin merasa lebih lega.”

Nene-chan menunjukkan senyum penuh arti sambil menggoyangkan bungkusan bekal ke kiri dan kanan.

Rasanya seolah-olah aku sedang diinterogasi. Seperti seorang tersangka yang sedang dipancing untuk mengaku dengan tawaran katsudon.

Namun, aku tidak akan menyerah pada godaan itu.

“Kamu dipecat dari pekerjaanmu, kan?”

“Bagaimana kamu bisa tahu itu...”

Aku terkejut dan hampir terengah-engah, tapi sudah terlambat.

Aku terguncang oleh sesuatu yang tidak terduga.

“Maaf ya. Aku tanpa sengaja mendengarnya pada hari itu ketika kakak ipar berbicara dengan ayahmu.”

Nene-chan menunduk dengan wajah murung.

Kemudian aku menyadarinya, dia pasti mendengar insiden di ruang tunggu itu.

“Tidak, Nene-chan tidak bersalah sama sekali. Suara teriakan orang itu memang cukup keras, jadi wajar kalau kamu mendengarnya.”

Nene-chan hendak mengatakan sesuatu tapi aku terus berbicara tanpa memedulikannya.

“Iya, walaupun memalukan, tapi aku memang sudah dipecat, sih~. Meskipun merasa sedih, mungkin ini malah waktu yang tepat untukku untuk beralih pikiran. Sekarang aku jadi lebih bebas untuk melakukan banyak hal, kok!”

Aku khawatir tentang anggota timku, tapi untuk membuat Nene-chan merasa lebih baik, aku mengatakan seperti itu.

“Jadi, karena aku punya waktu luang, aku mencoba belajar memasak kemarin dan membuat nikujaga, tapi ternyata sulit sekali. Aku memasaknya terlalu lama dan bagian bawah pancinya hangus. Jadi sekarang aku sedang merendamnya untuk dicuci dan meninggalkannya di dapur, tapi mungkin  panci itu sudah tidak bisa digunakan lagi. Tidak menyangka akan jadi seperti itu. Aku juga tidak tega membuang masakannya, jadi aku meninggalkannya di sana tapi hasilnya benar-benar buruk.”

Ya, aku mencoba memasak kemarin tapi gagal.

Aku malu untuk mengatakannya tapi aku ingin menggunakan cerita ini untuk meredakan suasana.

“Niku-jaga buatan kakak ipar...”

Nene-chan bergumam pelan seolah ingin mencobanya.

“Eh, kamu ingin mencobanya?”

Aku bermaksud mengubah cerita ke arah guyonan dengan cara sarkas kepada diriku sendiri, tapi tidak menyangka akan berubah seperti ini.

“Iya.”

“Tapi rasanya tidak enak lho?”

“Tidak apa-apa.”

Aku telah berhasil meredakan suasana, jadi rasanya tidak baik kalau aku menolaknya sekarang.

“Baiklah. Aku akan memanaskannya dulu, jadi tunggu sebentar ya.”

Aku yang sudah tidak bisa mengundurkan diri mengambil nikujaga dari kulkas, memanaskannya di microwave, dan menyajikannya di meja.

Sementara itu, Nene-chan dengan rajin membuka bekalnya.

Di depanku ada bekal, dan di depan Nene-chan ada nikujaga buatanku.

Kami berdua menempelkan tangan dan mengucapkan bersama-sama.

““Selamat makan.””

Kemudian, masing-masing dari kami mengulurkan sumpit dan aku mengambil lauk dari bekal sementara Nene-chan membawa niku-jaga ke mulutnya.

“Enak.”

Setelah satu suapan, suara kami diucapkan secara serentak lagi.

Makanan yang dibuat ibu mertua seperti biasa memiliki rasa yang lembut dan enak. Tapi, niku-jaga yang aku masak terlalu lama sampai hangus itu rasanya enak?

Sambil melirik ke samping, aku melihat Nene-chan membuat wajah pahit dan mengatakan,

“...tidak enak.”

Aku terkejut sejenak, tapi sebenarnya reaksinya itu cukup wajar.

“Aku bilang juga apa, ‘kan? Jadi kamu tidak perlu memaksakan diri.”

“Tidak, aku akan memakan semuanya.”

Setelah mengatakan itu, Nene-chan perlahan tapi pasti terus melanjutkan makannya.

Kemarin, saat aku mencoba memasak sendiri, aku menyadari dua hal. Bahwa memasak itu sulit, dan bekal ini terlalu enak.

“Terima kasih atas makanannya.”

Aku telah menyelesaikan dua lapis bekal, sementara Nene-chan hanya makan satu mangkuk kecil. Meskipun begitu, kami selesai makan pada saat yang sama.

“Aku minta maaf karena sudah memberimu makan sesuatu yang aneh.”

“Tidak apa-apa, aku yang ingin memakannya. Kakak ipar tidak perlu khawatir.”

“Begitukah...”

Meskipun begitu, tidak berubah fakta bahwa aku merasa bersalah.

Setelah menutup mulutnya dengan sapu tangan, Nene-chan bertanya kepadaku.

“Kakak ipar terlihat seperti sudah lama hidup sendiri, tapi apa kakak ipar tidak sering memasak?”

“Aku sih jarang memasak. Biasanya aku makan makanan yang tidak perlu dimasak. Ah, tapi bukan berarti makanan instan, tapi lebih ke arah makanan seperti natto, tahu, atau makanan olahan lain yang minim pengolahan...”

Sambil berbicara, aku merasakan tatapan Nene-chan menjadi tajam, dan entah mengapa aku mulai berbicara bertele-tele seperti sedang memberi alasan.

Semasa kuliah, aku sibuk dengan belajar dan bekerja paruh waktu, dan setelah terjun ke dalam masyarakat untuk menjadi pekerja kantoran, aku tenggelam dalam pekerjaan, jadi aku merasa sayang menghabiskan waktu untuk memasak. Oleh karena itu, natto adalah makanan yang bisa dimakan dengan cepat, murah, dan enak, jadi sangat berguna bagiku.

“Hmm. Itu niat yang baik kalau kamu berpikir ingin mulai memasak sendiri.”

“Tapi lihat hasilnya seperti ini.”

Aku teringat niku-jaga yang aku masak kemarin, dan tanpa sengaja membuat wajah pahit meski tidak memakannya.

Tiba-tiba, Nene-chan memberikan saran yang tidak pernah aku duga sebelumnya.

“Kalau begitu, bagaimana kalau aku mengajarimu memasak?”

“Eh?”

Aku terkejut dan bertanya lagi.

“Aku akan mengajarimu memasak. Ah, maksudku, aku akan bertanya resep kepada ibu, dan kita akan membuatnya bersama-sama sesuai resep itu...”

Tampaknya ini bukan kesalahpahaman.

Mengajar memasak pasti lebih merepotkan daripada membuatnya sendiri. Terlebih lagi, tidak ada alasan bagi Nene-chan untuk menyisihkan waktunya untuk seseorang seperti aku.

Sekarang pun, dia sudah datang ke rumah orang tua yang tidak ingin dia kunjungi, dan ini akan menambah beban di atasnya.

Namun, jika aku bisa memasak, mungkin kekhawatiran ibu mertua akan mereda, dan dia tidak perlu lagi membuat bekal. Dengan begitu, Nene-chan juga akan terbebas dari permintaan ibu mertua.

“......Bolehkah aku memintanya?”

Aku memutuskan untuk menerima tawarannya dan meminta bantuan darinya.

Dari situ kami mulai merencanakan. Karena aku punya waktu yang fleksibel dan aku yang meminta diajarkan, kami menyesuaikan jadwal sesuai dengan Nene-chan.

Nene-chan punya sekolah dan pekerjaan paruh waktu, jadi kami memutuskan untuk memulai pelajaran memasak pada Sabtu minggu depan.

Selama waktu hingga pelajaran memasak dimulai, Nene-chan terus mengunjungi rumahku setiap pagi dengan membawa bekal.

Kupikir hanya di hari kerja, tapi ternyata dia juga datang di akhir pekan sebelum pergi bermain dengan teman atau sebelum bekerja paruh waktu membawa bekal.

Waktunya selalu di pagi hari. Dia tampaknya sibuk di siang dan sore hari. Itu wajar untuk seorang gadis SMA yang sedang di masa pubernya.

Aku sangat bersyukur karena satu dari tiga kali makan dalam sehari menjadi sangat memuaskan, tapi aku masih khawatir bahwa aku mungkin memberikan beban kepadanya.

Lalu, sesekali Nene-chan berkata, “Aku harus menunjukkan bagaimana keadaanmu pada ibu,” dan dia mengambil foto kami, entah mengapa selalu selfie bersama.

Aku mulai terbiasa dengan difoto.

Aku bersyukur tapi entah kenapa itu juga membuatku bingung, dan hari-hari seperti itu berlanjut.

 

◇◇◇◇

 

Aku duduk di sebuah meja untuk empat orang di sebuah restoran kecil milik perseorangan yang terasa tenang.

“Mari kita bersulang untuk merayakan kesempatan langka kita berkumpul seperti ini!”

Lelaki yang tampak ringan di depanku mengangkat gelasnya saat memimpin toast.

“Bersulang,” kataku, mengetukkan gelas dengan yang lainnya.

“Ah, minum di restoran setelah sekian lama memang terasa luar biasa. Ayo Arata, kamu harus minum lebih banyak.”

Wanita yang duduk di sebelahku mencoba menenangkan lelaki yang tampaknya bersemangat itu.

“Berhentilah, Ootori-san, Senpai itu tidak terlalu kuat kalau soal minum.”

“Tidak apa-apa, Kitagawa. Aku baik-baik saja kalau sedikit.”

“Benarkah? Tolong beritahu saja kalau kamu merasa tidak nyaman, ya.”

Lelaki di depanku adalah Ootori Kyohei. Dia seumuran denganku, mantan rekan kerja, dan salah satu dari sedikit teman yang kumiliki sejak SMA.

Ia seringkali tampak tidak serius, tetapi sebenarnya ia orang yang baik yang selalu perhatian terhadap sekitarnya.

Gadis yang duduk di sebelahku adalah Kitagawa Ibuki, junior yang dua tahun lebih muda dariku dan juga bawahan langsungku.

Dia memiliki rambut pendek dan tampak cerdas, tapi kadang-kadang melakukan hal-hal yang tidak terduga.

Dia cerdas dan punya kemampuan yang baik sehingga di tahun ketiganya dia sudah bisa dipercaya dengan berbagai tanggung jawab.

Aku datang untuk makan malam yang sudah aku janjikan sebelumnya.

“Ngomong-ngomong, Arata, kenapa kamu juga pakai setelan jas? Apa kamu mulai bekerja di tempat baru?”

“Tidak, aku belum mendapatkan pekerjaan. Tapi karena biasanya aku datang ke sini setelah bekerja, dan karena kalian berdua memakai setelan, rasanya akan tidak nyaman kalau aku saja yang memakai pakaian biasa.”

Faktanya, karena aku selalu sibuk bekerja, setelan jadi pakaian sehari-hariku, dan aku tidak memiliki banyak pakaian biasa.

Mungkin sekarang aku akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk memakai pakaian biasa, aku harus mulai memperhatikannya.

“Oi, oi, kamu malah mengkhawatirkan itu ya? Padahal kamu sudah bebas sekarang, jangan terlalu terikat dengan berbagai hal.”

Kyohei menepuk-nepuk bahuku dengan semangat.

Aku sudah dipecat dan seharusnya dalam kesulitan, tapi dia mengatakan aku sudah bebas. Dia memang orang yang baik hati.

“Itu benar, Senpai. Aku sudah bilang sebelumnya, 'tolong istirahatlah sebentar', ‘kan?”

Kitagawa yang menunduk dari bawah menajamkan kata-katanya.

“Terima kasih, kalian berdua.”

Mereka berdua tahu tentang situasiku. Kyohei hampir tahu semuanya, sementara Kitagawa tahu sebagian besar.

Aku merasa malu karena telah menyebabkan mereka khawatir, tapi pada saat yang sama, aku merasa beruntung memiliki orang-orang di sekitarku.

“Bagaimana dengan pekerjaanmu?”

“Batas waktunya yang ketat dan spesifikasi yang berantakan seperti biasa, tapi berkat serah terima dari Senpai, kami bisa mengatasinya. Kalau tidak, kami tidak akan bisa datang minum seperti ini.”

Kitagawa meneguk sangria dari tangannya.

“Bagaimana kabarmu belakangan ini, Arata? Meski kejadian itu terjadi, kamu terlihat cukup baik. Bahkan, wajahmu terlihat lebih segar dari sebelumnya. Sepertinya kamu makan dengan baik ya?”

“Yah, tidak sepenuhnya pulih sih, tapi berkat kalian aku bisa beristirahat dengan tenang. Ngomong-ngomong, apa sebelumnya wajahku terlihat buruk?"

Itu sedikit mengejutkan.

“Apa kamu tidak menyadarinya? Akhir-akhir ini malah terlihat parah, loh. Rasanya kamu bisa pingsan kapan saja.”

“Benar sekali. Aku sering khawatir karena Senpai tampaknya bisa melewati beberapa hari tanpa makan, tapi melihat wajahmu sekarang membuatku lega.”

Aku sibuk dengan pekerjaan dan persiapan pernikahan, jadi tampaknya aku cukup dalam kondisi yang buruk. Dan akhirnya aku benar-benar jatuh sakit...

Untungnya Nene-chan ada di sana untuk membantuku.

“Kamu membuatku khawatir tahu? Dengar nih, Arata, Ibuki-chan sampai mendatangi rumahmu untuk──”

“Tunggu sebentar, Ootori-san!”

“Apa yang terjadi dengan Kitagawa?”

Aku teringat saat aku jatuh sakit dan hampir melewatkan cerita mereka.

Melihat ke arah Kitagawa, dia tampaknya sedikit memerah.

Mungkin efek alkohol sudah mulai terasa setelah dia meneguknya tadi.

“Tidak, sebenarnya tidak ada apa-apa.”

“Ah, aku jadi penasaran.”

Kyohei tertawa kecil dan mengalihkan topik pembicaraan.

“S-Senpai, kamu belum menyentuh niku-jaga ini setelah satu suapan. Kamu sangat suka yang dari sini kan? Apa mungkin kamu sebenarnya masih belum punya selera makan...”

Setelah Kitagawa mengingatkanku, aku baru sadar.

“Aku punya selera makan sih.”

Aku bingung, bertanya-tanya mengapa.

“Kalau kamu tidak makan, aku akan menghabiskannya.”

Sambil mengabaikanku, Kyohei dengan cepat mengambil potongan niku-jaga.

“Ngomong-ngomong, kamu dengar belum? Sepertinya Miyoshi-san akan pulang ke Jepang untuk sementara waktu.”

“Orang itu akan kembali? Bukannya dia seharusnya tetap di luar negeri...”

“Katanya ada urusan mendesak di Jepang, jadi dia akan kembali dari Amerika.”

Miyoshi-senpai punya urusan mendesak di Jepang? Apa yang terjadi?

Kitagawa, yang tampak tidak mengerti situasinya, membuka mulut untuk berbicara.

“Maaf, Miyoshi-san itu siapa ya?”

“Dia adalah atasan langsung Arata sebelumnya. Orang yang sangat pandai dalam pekerjaannya sehingga dia direkrut dan pergi ke Amerika. Itu hampir bersamaan dengan masuknya kamu, Ibuki-chan. Jadi wajar kalau kamu tidak tahu.”

“Senpai-ku ya...”

“Arata yang baru masuk dulu sama sekali tidak bisa mengerjakan pekerjaannya, Arata sering kali diajari oleh Miyoshi-san.”

"Ah, bahkan sekarang pun tidak ada hari dimana aku tidur dengan kaki mengarah ke Amerika."

“Eh, aku tidak bisa membayangkan senpai yang tidak bisa bekerja. Ootori-san, ceritakan lebih banyak tentang Senpai saat masih baru masuk kerja!”

Meskipun aku mencoba menghentikannya, Kyohei tidak berhenti bercerita, dan Kitagawa mendengarkan dengan penuh minat.

Apa yang membuat mereka begitu tertarik?

Suasana minum kami terasa menyenangkan. Jika aku malu dan itu membuat semuanya menjadi lebih seru, mungkin itu tidak terlalu buruk.

Lagipula, besok adalah hari dimana aku akan diajari memasak, jadi aku harus berhati-hati untuk tidak minum terlalu banyak.

 

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama