Chapter 4 — Air Mata
Ding~dong~dang~dong──
Bel sekolah berbunyi untuk
mengumumkan berakhirnya waktu bersih-bersih. Alisa mendengarnya dari tempat
tidurnya di ruang UKS.
『Jika
kamu merasa tidak enak badan~ gimana kalau istirahat dulu sebentar di ruang UKS~?』
Alisa, yang dilempar ke tempat
tidur secara paksa oleh Nonoa yang mengatakan hal itu, masih tidak bisa
beranjak dari tempat tidurnya bahkan ketika rapat OSIS dimulai.
(Apa
ini yang disebut membolos....?)
Jika memang demikian, ini
pertama kalinya dalam hidupnya.
Alisa samar-samar memikirkan
hal tersebut di dalam benaknya dan menertawakan dirinya sendiri.
Membolos merupakan suatu
perilaku yang benar-benar tidak dapat dimaafkan. Mustahil. Itu adalah aib bagi
kehidupannya. Meski Alisa berpikir begitu, tapi dia tidak bisa mengumpulkan
tenaga untuk bangun.
Hatinya dipenuhi dengan emosi
yang berat sehingga bahkan tidak ada ruang untuk menghina perilakunya sendiri.
『Yuki
adalah orang yang paling kusayangi dan orang yang paling berharga bagiku di
dunia ini. Perasaanku padanya belum pernah goyah sedikit pun』
Perkataan Masachika yang dia dengar
dari atas tangga, masih terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Dirinya bahkan ingin
berpikir kalau dia hanya salah dengar.
Namun, pemandangan Masachika
yang sedang bermain piano di festival budaya sekolah dan cara dia menatap Yuki
selama festival olahraga ...... tidak memungkinkan Alisa untuk melarikan diri
dari kenyataan.
(Ah,
mungkin saja mereka berdua...)
Mereka mungkin sudah lama
saling mencintai, tapi hubungan mereka kandas karena keadaan keluarga. Yuki
adalah putri satu-satunya dari keluarga terpandang, dan Masachika berasal dari
keluarga kelas menengah. Karena status keluarga mereka yang tidak setara, mereka
tidak diperbolehkan berpacaran meskipun mereka saling menyukai satu sama lain...
Kalau dipikir-pikir seperti itu, ekspresi wajah Masachika saat bertemu dengan
ibu Yuki di festival olahraga mulai terasa masuk akal.
(Jadi,
sesuatu yang disembunyikan Masachika-kun, maksudnya hal semacam itu….?)
Jika memang iya, betapa
konyolnya hal tersebut? Sejak awal, tidak ada ruang baginya untuk masuk di
antara mereka.
Perasaan Masachika terhadap
Alisa hanyalah rasa hormat dan kasih sayang yang dimiliki orang terhadap orang
lain, ...... dan tidak ada perasaan cinta sama sekali.
Namun, dia secara sepihak jatuh
cinta padanya, menjadi bersemangat, dan akhirnya merasa... sedih sendiri.
“Ugh!”
Dada Alisa menegang, dan dia
menelan ludahnya dengan keras, merasa seolah-olah dia hampir menjerit tanpa
sengaja.
Jangan menangis. Di balik tirai
UKS, masih ada Nonoa di sana. Alisa tidak ingin ada yang melihat dirinya yang
lemah dan menyedihkan karena menangisi masalah patah hatinya seperti ini.
(Benar,
ini cuma patah hati, lantas apa masalahnya? Aku beruntung bisa menyadarinya
lebih awal sehingga rasa sakitnya tidak terlalu parah.)
Alisa menyadari bahwa dirinya
sedang jatuh cinta, tapi kemudian dia segera menyadari bahwa perasaan cintanya
hanya bertepuk sebelah tangan. Dia merasa beruntung karena segera mengetahuinya
sebelum terlambat...
“Hiks, shh, hiks.”
Dia membungkus dirinya dengan
selimut dan membenamkan wajahnya di bantal untuk menahan isak tangis yang
membuncah dari kedalaman hatinya. Meski begitu, kata-kata itu mulai keluar
dengan sendirinya dari dadanya yang gemetar tak berdaya.
【Tidak, aku
tidak mau... 】
Dengan sedikit kebanggaan
terakhirnya, setidaknya agar tidak ada siapapun yang mengetahuinya. Alisa
diam-diam berbisik pelan sambil berusaha agar suaranya tidak bergetar.
【Aku menyukainya...Aku
menyukainya... 】
Emosi di dalam hatinya langsung
meluap. Alisa tidak bisa menghentikan kata-katanya sendiri.
Ada sesuatu, ada luka yang
sangat dangkal. Tapi semuanya sudah terlambat. Alisa sudah jatuh cinta padanya.
Dia tidak bisa membayangkan masa depan dengan orang lain selain Kuze Masachika.
Memikirkan Masachika yang menghilang di sampingnya saja sudah membuatnya merasa
seolah-olah hatinya akan hancur.
【Aku
mencintainya... 】
◇◇◇◇
“Terima
kasih banyak, Miyamae-sama. Berkat Anda, saya bisa meminta maaf dengan benar
kepada Masachika-sama.”
“Begitu
ya, syukurlah, aku senang mendengarnya. Atau lebih tepatnya, kalau menyangkut diriku,
kamu bisa memanggilku Nonoa saja. Aku juga tidak membutuhkan imbuhan ‘-sama’.”
“Kalau
begitu... Nonoa-san. Terima kasih banyak.”
“Iya,
kamu boleh curhat kepadaku kapan saja, oke~”
Saat bertukar pesan dengan
Ayano, Nonoa mendengar suara Alisa yang samar-samar terdengar dari balik tirai.
(Hmm~...Sudah
kuduga, tipe orang yang menahan emosi adalah orang yang membosankan.)
Suara yang sangat tertekan
secara emosional, tidak menyampaikan apa yang ada dalam pikiran Alisa.
Apa yang dicari Nonoa adalah
gairah yang murni, intens, dan penuh ketulusan. Dia ingin melihat ledakan emosi
kuat yang akan mengguncang hatinya yang tidak bergairah ini.
Tetapi dirinya tahu bahwa
ledakan emosi yang nyata tidak akan menggetarkan hatinya, karena dia sudah
mencobanya berkali-kali. Kalau begitu, dia merasa penasaran bagaimana dengan Alisa,
seseorang yang memiliki tingkat persahabatan tertentu dengannya, meski tidak
sedekat Sayaka...
(Yah,
yang paling penting adalah Kuzecchi. Meski membosankan, aku tetap harus
melakukan beberapa serangan.)
Lebih baik melakukan persiapan
sebanyak-banyaknya. Demi alasan itu juga...
(Sekarang,
mari kita lanjutkan dengan sentuhan akhir~.)
Memanfaatkan kelemahan
seseorang adalah dasar dari pengendalian pikiran. Saat ini, Nonoa meletakkan
tangannya di tirai, mencoba memperpendek jarak antara dirinya dan Alisa dengan
cepat….
Drrtttt—
Getaran smartphone di tangannya
mengumumkan ada pesan yang masuk.
“Nonoa-san,
apa kamu masih lagi bersih-bersih?”
Pengirim pesannya adalah Hikaru.
Melihat pesan tersebut, Nonoa jadi ingat kalau hari ini adalah hari dimana klub
musik ringan mengadakan latihan band.
(Hmm~...kurasa
hari ini aku akan libur dulu deh)
Dia melihat ke arah tempat
tidur UKS dan hendak membalasnya ketika ponselnya bergetar lagi.
“Kamu
tidak datang latihan di klub musik ringan hari ini?”
Pengirim pesan kali ini adalah
Sayaka. Begitu Nonoa melihat nama tersebut, dia meraih ponselnya dengan kedua
tangannya dan mengetik pesan dengan kecepatan tinggi.
“Aku
datang, kok? Apa kamu mungkin datang untuk melihatnya?”
“Iya,
meski sebentar.”
“Baiklah.
Aku akan segera ke sana~”
Akhirnya, setelah mengirimkan
stempel dengan simbol hati di bagian akhir, Nonoa memasukkan ponselnya ke dalam
saku dan memanggil dari balik tirai.
“Alissa~? Aku mau pergi ke klub
musik ringan dulu, ya~?”
Tidak ada tanggapan terhadap
panggilan itu. Namun, Nonoa tidak peduli dan, dengan berpura-pura menjadi teman
yang penuh perhatian, dia meninggalkan ruang UKS sembari dengan sengaja membuat
suara yang lebih keras.
(Baiklah,
aku harus cepat~♪)
Nonoa kemudian segera mulai
berlari pelan menyusuri lorong menuju ruang musik. Dalam benaknya, semua pemikiran
tentang Ayano dan Alisa sudah lenyap sepenuhnya.
◇◇◇◇
“Kalau begitu, terima kasih
atas kerja kerasmu.”
“Oh, kerja bagus~”
“Kerja bagus~”
“terima kasih atas kerja
kerasmu.”
Setelah menyelesaikan tugas
OSIS, Masachika meninggalkan ruang OSIS. Ia kemudian melihat ke koridor yang
gelap gulita dan mengerutkan kening.
(Pada
akhirnya, Alya tidak datang...)
Ada pesan di grup obrolan OSIS
yang mengatakan bahwa dia akan sedikit terlambat, tapi ia tidak pernah
mendengar kabarnya lagi. Bahkan ketika Maria mencoba meneleponnya, panggilannya
tidak bisa tersambung. Dia sudah tahu sebelumnya bahwa hari ini akan disibukkan
dengan berbagai tugas pasca festival olahraga.
Sulit membayangkan Alisa
melalaikan tugasnya pada saat seperti itu, dan semua anggota OSIS lebih mengkhawatirkannya
daripada marah. Selain itu, Masachika secara pribadi ......
(Aku
belum bisa berbicara banyak dengan Alya sejak festival olahraga.)
Masachika tidak punya banyak
waktu untuk memperhatikannya karena ada beberapa hal yang terjadi dengan
keluarganya, dan dirinya berpikir kalau Alisa mungkin telah menebak sesuatu dan
membiarkannya begitu saja. ...... Namun, jika dilihat dari ketidakhadirannya
yang tidak dapat dijelaskan di OSIS hari ini, rupanya hal tersebut bukanlah
satu-satunya yang menjadi alasan.
(Masha-san
bilang kalau dia akan menelepon lagi...Kurasa aku akan mencarinya sebentar
juga.)
Dengan pemikiran tersebut,
Masachika memutuskan untuk berkeliling ke tempat-tempat yang ada dalam
pikirannya sebelum pulang ke rumahnya.
“Tidak ada, ya...”
Setelah melewati ruang kelas
dan ruang guru, Masachika mengintip ke ruang musik kedua dan bergumam pada
dirinya sendiri di lorong.
(Rasanya
bakal konyol jika sebenarnya dia sudah ada di rumah sekarang...)
Masachika tahu sendiri bahwa
itu tidak mungkin terjadi. Justru karena ia mengetahui hal ini yang membuatnya
jadi semakin khawatir.
(...Untuk
saat ini, ayo pergi memeriksa ruangan kelas sekali lagi.)
Saat ia sedang memikirkan hal
ini, Masachika bertemu dengan seseorang yang tidak terduga.
“Oh, rupanya ada kamu ya,
Kuze?”
Orang yang memanggilnya dengan
nada teatrikal adalah ketua klub piano, Kiryuuin Yushou. Sebulan yang lalu, ia
menyebabkan keributan di festival sekolah yang melibatkan seluruh sekolah, dan
sebagai hukumannya, sepupunya, Sumire, memaksanya untuk menggunduli kepalanya,
dan menskorsnya dari sekolah selama sebulan. Masachika mengerutkan kening
ketika melihat orang yang pernah berseteru dengannya di festival sekolah.
Sejak awal, ia tidak pernah
menyukai Yushou yang narsis dan egois, tapi lebih dari itu, dia juga yang
menciptakan banyak sejarah kelam di festival sekolah. Di tambah lagi, ia sedang
mengkhawatirkan Alisa saat ini...
“Baiklah kalau begitu, sampai
jumpa.”
Masachika hanya melirik ke
arahnya dan dengan cepat berjalan melewatinya. Tetapi,
“Yah, tunggu dulu sebentar.”
Yushou dengan cepat berjalan di
depan Masachika dan entah mengapa, ia bersandar ke dinding dan menatapnya
dengan tatapan samping. Pipi Masachika berkedut dengan jengkel ketika melihat
tingkah laku Yushou yang teatrikal, membuatnya bertanya-tanya apa dirinya
terlalu banyak membaca manga shoujo atau menonton drama romantis, tapi ia
berhasil menahan kekesalannya dan berkata,
“Hei...Kurasa aku dan kamu
tidak memiliki hubungan di mana kita bisa berbicara secara normal, ‘kan?...Jadi,
apa yang kamu inginkan?”
“Hmm? Yah, bukan apa-apa sih.”
“Kayaknya kepalamu gatel ingin
dipukul ya, dasar pria botak yang berpitak.”
Pipi Yushou berkedut ketika
mendengar julukan yang tidak kenal ampun itu.
Namun sayangnya, reaksinya
lebih berupa tawa daripada kemarahan, seakan-akan dia sendiri sudah menyadari bahwa
julukan tersebut memang benar adanya.
Bagaimanapun juga, kepala Yushou yang sudah dicukur habis oleh Sumire, telah menumbuhkan sejumlah rambut yang
cukup banyak selama masa penangguhan, tetapi di sebagian tempat, rambut di kulit
kepala Yushou lambat untuk pulih. Penipisan rambut dalam pola bintik-bintik
adalah suatu kondisi yang dikenal sebagai 'kebotakan
berpitak'.
Yushou berhasil menahan tawa
pada julukan tersebut, yang hanya bisa digambarkan sebagai terlalu akurat, dan
mengangkat bahunya sambil merentangkan tangannya dengan cara yang berlebihan.
“Yare~yare, beraninya
mengolok-olok ciri fisik orang...beginilah sebabnya rakyat jelata...”
“Aku tidak ingin dikomentari
oleh seseorang yang menyebut orang lain sebagai rakyat jelata.”
Tentu saja, bahkan Masachika
tidak berniat menertawakan mereka yang terlahir seperti itu, atau yang dipaksa
menjadi seperti itu karena penyakit atau kecelakaan.
Namun, penampilannya tersebut
disebabkan oleh kesalahan Yushou sendiri. Sebagai seseorang yang telah
menyebabkan banyak masalah di masa lalu dan saat ini merasa jengkel karenanya,
Masachika ingin mengatakannya sebanyak itu.
(Atau
lebih tepatnya, ia malah memanggilku rakyat jelata…..apa orang ini tidak
menyadari bahwa Yuki dan aku adalah kakak beradik?)
Tiba-tiba, Masachika teringat
bahwa kejadian semacam ini juga pernah terjadi.
Walaupun mereka mempunyai nama
keluarga yang sama di masa lalu, sebagian besar orang tidak akan membuat
kesimpulan dengan berpikir bahwa mereka mungkin bersaudara karena hal itu.
Kebanyakan orang akan mengira itu hanya kebetulan, atau paling tidak mereka akan
mengira kalau mereka berdua adalah saudara jauh. Sebaliknya, justru Nonoa lah
orang yang tidak normal karena langsung menyadari bahwa mereka adalah kakak
beradik.
Saat Masachika memikirkan hal
semacam itu, Yushou, yang sepertinya sudah kembali tenang, mulai berbicara
kepadanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Apa itu benar mengingat ada
rumor yang mengatakan kamu kamu ikut membantu klub musik tiup, mengingat kamu
berada di sini setelah sepulang sekolah?”
“...Dari siapa kamu mendengarnya?
Rumor seperti itu.”
Masachika mempertanyakan
informasi yang seharusnya hanya diketahui segelintir orang, tanpa membenarkan
atau menyangkalnya. Lalu, Yushou menjawabnya seolah-olah itu hal yang sepele.
“Aku ini ketua klub piano, tau?
Karena kami berada di klub musik yang sama, tentu saja aku bisa mengetahui
rumor semacam itu.”
“Oh gitu ya...tapi sayangnya,
aku hanya sedang mencari seseorang. Kalau gitu, sampai nanti.”
Masachika mencoba melewati
Yushou lagi, dengan hanya mengatakan seperlunya saja. Namun,
“Apa orang yang sedang kamu
cari itu adalah Kujou Alisa?”
Kata-kata yang diucapkan Yushou menghentikan langkahnya. Masachika kemudian melirik Yushou dengan campuran
kecurigaan dan kehati-hatian.
“Jangan memasang wajah seperti
itu. Aku cuma kebetulan melihat Kujou masuk ke ruang UKS bersama Miyamae.”
“Bersama Nonoa...?”
Masachika mengerutkan kening
saat nama orang yang baru saja terlintas di benaknya muncul. Namun,
bagaimanapun juga, dirinya yakin kata-kata Yushou adalah informasi yang berguna,
jadi ia dengan enggan berterima kasih padanya.
“...Terima kasih, itu sangat
membantuku. Kalau gitu, sampai jumpa.”
Dan kali ini, dirinya mencoba
menyeberang di depan Yushou, tapi...
“Yah, tunggu dulu napa,
Kuze.....kamu serius berencana akan menyambut Miyamae yang itu ke dalam anggota
OSIS angkatanmu?”
Masachika menjawab pertanyaan
tersirat ini, sambil berpikir, 'Nih orang
nyebelin banget'.
“…Jika kami berhasil terpilih, maka
iya.”
Menanggapi jawaban singkat dari
Masachika, Yushou dengan jelas tersenyum mengejek.
“Kamu serius? Menurutku kamu
bukan tipe orang yang cukup gila sampai rela memasukkan makhluk berbahaya seperti
itu ke dalam anggotamu sendiri.”
Mendengar kata-kata Yushou,
Masachika sejenak tak bisa berkata apa-apa. ......dirinya langsung terdiam.
Reaksinya itu sendiri merupakan
bukti bahwa Masachika sendiri mengakui bahwa argumen Yushou ada benarnya.
“Kamu tidak benar-benar
berpikir kalau Miyamae merupakan orang yang bisa dipercaya untuk berada di
pihakmu, kan? Jika memang itu masalahnya, kamu sungguh membuat kesalahan
besar.”
Yushou dengan tajam memahami pemikiran
Masachika dan sepenuhnya menyangkalnya.
“Miyamae tidak memihak siapa
pun. Bagi wanita itu, hanya ada dua jenis orang di dunia ini. Objek pengamatan
yang penting dan objek pengamatan yang bisa dihancurkan. Itu saja. Hanya itu
saja."
“...Apa dia terlihat seperti
itu bagi orang yang sinis seperti kamu?”
“Orang yang sok baik seperti
kamu tidak terlihat seperti itu?”
Mulut Masachika bergerak dengan
getir saat perkataan sarkasmenya dibalas dengan sinis. Meski begitu...sebagai
seseorang yang mengakui Nonoa sebagai teman, Masachika takkan diam saja
menerima kata-kata Yushou, dan tetap berusaha membantahnya.
“Kiryuuin…orang yang kamu kenal
adalah Nonoa yang dulu, iya ‘kan? Dia juga sudah terlibat dengan berbagai
orang, mengalami berbagai hal, dan sudah berubah sedikit demi sedikit. Dia yang
sekarang berbeda dengan Nonoa yang pernah kamu kenal di masa lalu.”
“Dari sudut pandangku, dia sama
sekali tidak berubah. Jika kamu berpikir kalau dia berbeda, itu semua karena
dia sengaja menunjukkan kepadamu kalau dia sudah berubah.”
“Kamu..…”
Masachika semakin marah kepada
Yushou yang terus-menerus memperlakukan Nonoa sebagai makhluk jahat. Namun,
Yushou hanya mengangkat bahunya seolah-olah dirinya sudah pasrah dengan
tanggapan Masachika.
“Astaga, meskipun aku sudah
memberitahumu sejauh ini, tapi kamu masih belum paham saja, ya.”
Saat ia mengatakan itu sambil menggelengkan
kepalanya, Yushou menjauhkan punggungnya dari dinding dan berjalan melewati
Masachika.
“Satu hal lagi.
Ketidakmampuanmu untuk percaya pada kebaikan orang lain adalah kelemahan
terbesarmu, Kuze.”
Hanya itu yang dikatakan Yushou saat mereka berpapasan dan pergi menjauh.
Kata-kata itu membuat Masachika
sedikit merenungkannya, tapi ia tetap merasa jengkel karena Yushou seenaknya
saja memberitahunya hal itu, jadi Masachika melontarkan kata-kata itu ke
punggung Yushou yang pergi.
“Ketidakmampuanmu untuk
melepaskan sikap bersandiwara bahkan dengan kepala begitu adalah kelemahan
terbesarmu, Kiryuuin.”
“!!”
Masachika segera menuju ke
ruang UKS, mengabaikan keadaan Yushou yang berjalan terhuyung-huyung. Sementara
itu, kata-kata Yushou masih berputar-putar di kepalanya.
(Ia
ingin mengatakan bahwa alasan Nonoa terlihat berbeda adalah karena ...... itu
semua adalah aktingnya??)
Sungguh konyol sekali. Dirinya
tidak perlu mendengarkan kata-kata penjahat sesat itu. Memangnya siapa yang
akan ia percayai, temannya, Nonoa ,atau musuhnya, Yushou?
Meskipun Masachika berpikir
seperti itu, keraguan itu masih tidak bisa hilang dari hatinya.
Masachika tidak dapat
menyangkal bahwa di suatu tempat di pikirannya, ada bagian dari dirinya yang
menyetujui argumen Yushou. Kecurigaan yang pernah tumbuh, mengakar kuat di
kepalanya dan menyerang pikirannya.
(Nonoa
dan Alya pergi ke ruang UKS bersama-sama...? Apa Alya sedang tidak enak badan?
Mengapa Nonoa, yang berada di kelas dan klub yang berbeda, bersama Alya? Jangan
bilang kalau Nonoa melakukan sesuatu kepada Alya……)
Di bangku taman hiburan tempat
mereka pergi untuk merayakan keberhasilan konser selama festival budaya
sekolah, tatapan dan kata-kata yang ditunjukkan Nonoa kepadanya kembali
terlintas di benak Masachika.
Masachika tidak tahu seberapa
seriusnya perkataannya, dan ia juga tidak tahu seberapa banyak akal sehat yang
bisa diterima Nonoa.
Namun, bila berbicara
menggunakan pengetahuan umum….. jika seorang gadis tertarik pada laki-laki (Masachika) dan ada gadis (Alisa) yang lebih dekat dengan
gebetannya daripada dirinya, bukannya dia akan merasakan rasa permusuhan
terhadap gadis saingannya itu?
(Jika
Nonoa memang orang yang begitu... Tidak, tapi Nonoa belum pernah mendekatiku
dengan cara apa pun sejak saat itu. Lah, tapi! Bukannya beberapa waktu yang
lalu aku memutuskan untuk membuang prasangkaku terhadap Nonoa?!)
Masachika menepis pikiran
meragukan temannya dengan rasa malu dan benci pada dirinya sendiri.
[Ketidakmampuanmu
untuk percaya pada kebaikan orang lain adalah kelemahan terbesarmu.]
Segera setelah itu, Masachika
segera mengabaikan peringatan Yushou yang terlintas di benaknya dan segera
menuju ke ruang UKS. Untuk berbicara dengan Alisa dan sepenuhnya menghilangkan
kecurigaan ini. Atau bisa dibilang, ia berharap bisa begitu.
“Permisi.”
Masachika mengetuk pintu geser
dan melangkah ke ruang UKS sambil menekan kegelisahannya. Kemudian, guru
perawat yang sedang duduk di depan mejanya tiba-tiba mendongak.
“Ara...apa jangan-jangan mau
menemui Kujou-san?”
“Ah, ya. Um...”
“Dia di sebelah sana. Aku baru
saja ingin membangunkannya, jadi kebetulan sekali.”
Setelah berkata demikian, guru
perawat itu membuka satu-satunya tirai yang tertutup dan masuk ke dalam.
“Kujou-san,
bagaimana keadaanmu sekarang? Kuze-kun datang menjemputmu, loh?”
Sesudah suara guru perawat
berkata begitu, Masachika mendengar suara-suara yang saling membisikkan sesuatu.
Setelah beberapa saat kemudian, guru itu keluar dengan ekspresi meminta maaf di
wajahnya.
“Maafkan aku, Kuze-kun. Aku
tahu kamu sudah bersusah payah datang ke sini.....Tapi Kujou-san bilang dia
akan pulang setelah beristirahat sedikit lama lagi, jadi kuharap kamu tidak
keberatan.”
“Ehh?”
Itu adalah cara penolakan yang
tidak langsung. Masachika, yang tidak pernah menyangka akan ditolak untuk
bertatap muka, merasa kecewa. Tetapi...
(Yah,
tapi...jika orangnya sendiri tidak menyukainya...)
Rasanya pasti akan merepotkan
orang lain jika ia hanya mengutamakan perasaannya sendiri. Jika Alisa mengatakan
dia tidak mau bertemu dengannya, ia harus menghormati keinginannya.
“Ah, kalau begitu...Saya akan
menelepon kakak perempuannya.”
“Benar juga, itu mungkin ide
yang bagus.”
Masachika mengeluarkan
ponselnya untuk menelepon Maria agar Alisa setidaknya bisa pulang ke rumah
dengan baik.
──Apa
kamu ingin melarikan diri lagi?
Suara seperti itu bergema di
dalam kepala Masachika. Ketika tangannya berhenti mendadak tanpa sadar, hal
yang muncul di dalam benaknya adalah wajah Yuki. Senyum palsu yang ditunjukkan
Yuki ketika mereka berbelanja.
“.....”
Dirinya berpura-pura tidak
melihatnya. Dirinya pura-pura tidak menyadarinya. Walaupun ia bisa merasakan
kalau Yuki sangat kesakitan.
Ia melarikan diri dengan alasan
yang bodoh dan mementingkan dirinya sendiri, seperti mengatakan kalau dirinya
hanya menghormati keinginan dan kehendak adik perempuannya.
Sekarang…bukannya dirinya
mencoba untuk melakukan hal yang sama lagi?
(Apa
ini tindakan yang benar ketika aku mengetahui bahwa Alya jelas-jelas berada
dalam kondisi yang tidak biasa dan kemudian mundur dan berkata 'Ya baiklah, aku
mengerti' karena dia menolakku? Bukannya... aku sudah berjanji kepadanya!)
Hari itu ketika dirinya memutuskan
untuk ikut berkampanye pemilihan bersama Alisa. Bahwa dirinya akan berdiri di sampingnya
dan mendukungnya. Ia takkan pernah meninggalkannya sendirian lagi. Itulah yang dirinya
janjikan.
Masachika tidak mau mengingkari
janjinya lagi...
“Alya!”
Masachika meninggikan suaranya,
tergerak oleh emosi yang meledak di dadanya, yang tidak bisa digambarkan
sebagai kemarahan terhadap dirinya sendiri maupun rasa tanggung jawab.
Sambil memasukkan ponsel ke
dalam sakunya, ia dengan cepat menyelinap melewati guru perawat yang terbelalak
kaget dan membuka tirai.
Kemudian, tanpa menghiraukan
guru di belakangnya yang menahannya, Masachika melangkah masuk ke dalam tirai.
◇◇◇◇
Dirinya bermimpi.
Saat Alisa menangis di tempat
tidur, Masachika datang menjemputnya. Dan ia mengatakan. Itu semua hanya kesalahpahaman. Orang yang terpenting bagiku adalah
kamu. Ia mengatakan itu dan kemudian memeluknya dengan lembut. Ahh, sungguh
mimpi yang indah dan menyenangkan...
“──jou-san. Kujou-san.”
Alisa pun terbangun saat
tubuhnya terguncang. Yang dilihatnya adalah sebuah bantal yang diterangi secara
remang-remang oleh cahaya yang menerobos seprai putih bersih.
“Kujou-san, bagaimana keadaanmu
sekarang? Kuze-kun datang menjemputmu, loh?”
“!!”
Mendengar perkataan guru
perawat, hati Alisa sedikit tersentak dan langsung terdiam..
Secara intuitif, dia menyadari.
Meskipun Masachika datang menjemputnya, seperti dalam mimpi, itu tidak akan
sama dengan yang ada di dalam mimpi.
Alisa tahu. Itu semua hanyalah
mimpi. Tapi saat ini...dia tidak ingin melihat kenyataan dulu.
“...Saya akan pulang sendiri setelah
istirahat sebentar, jadi bisakah anda menyuruhnya untuk pergi?”
“Eh... be-begitu... Jadi, aku
hanya perlu menyuruhnya pergi?”
“Ya”
“Apa kamu baik-baik saja? Apa
kamu butuh aku mengambilkan sesuatu atau...”
“Tidak perlu, saya baik-baik
saja.”
Alisa menjawab singkat dan
membungkus dirinya dengan erat di dalam selimut, seakan menolak untuk menjawab
pertanyaan lebih lanjut.
Emosi tak terkendali yang
berkecamuk di dadanya telah mereda begitu ia tertidur. Sebaliknya, yang kini
memenuhi seluruh tubuh Alisa adalah perasaan hampa yang tidak berdaya.
Hampa dan sia-sia. Semuanya
terasa hampa. Apa yang sudah dirinya lakukan. Alisa tidak dapat melihat makna
dari apa yang dia lakukan sekarang.
Tidak, pada kenyataannya,
mungkin itu tidak ada artinya. Semuanya menjadi tidak berguna, tidak berharga,
dan tidak berarti...
“Alya!”
Di sana, namanya dipanggil
dengan lantang, dan Alisa melonjak kaget. Segera setelah itu, dengan suara
tirai ditarik, ada tanda bahwa seseorang—— tidak, Masachika berdiri di dekatnya.
“Alya...? Apa ada sesuatu yang
terjadi?”
“Tu-Tunggu, Kuze-kun! Jangan seenaknya
masuk ke ranjang orang sakit tanpa izin---"
“Sensei, bisakah Anda menunggu
sebentar? Jika Alya bersikeras untuk menyuruh saya pergi, saya akan segera
pergi.”
Guru perawat itu menelan ludah
mendengar kata-kata Masachika. Kemudian, melalui selimut yang menyelimuti
dirinya, suara Masachika yang penuh perhatian bisa terdengar.
“Alya... kamu baik-baik saja? Bisakah
kamu menjelaskan apa ada sesuatu yang terjadi?”
Suaranya begitu lembut. Suara
yang menyampaikan bahwa dia benar-benar mengkhawatirkan Alisa.
Tapi, suara itu pun mulai
terdengar hampa sekarang.
(Kebaikan
itu bukan hanya untukku saja, bukan...?)
Pikiran yang tidak masuk akal
itu muncul di benaknya dan dengan cepat menghilang bagaikan buih. Kalau bukan hanya untukku, lalu apa? Omong
kosong. Tak berarti. Semua pemikiran ini juga...
“Jangan bilang, Nonoa sudah melakukan
sesuatu...padamu?”
“...?”
Namun, tanda tanya muncul di
kepala Alisa saat mendengar suara serius Masachika. Akibatnya, otak yang
tadinya lesu mulai kembali berfungsi normal.
“Aku baru saja diberitahu Kiryuuin
bahwa kamu dan Nonoa sedang bersama—”
“...Salah.”
“Eh?”
Masachika terkejut ketika Alisa
akhirnya merespons dengan benar.
“Nonoa-san tidak ada hubungannya...
Dia hanya membantuku karena aku merasa tidak enak badan.”
“Eh, a-ah, begitu ya. Ah, jadi
semua ini hanyalah kesalahpahamanku, ya...”
Mendengar suara penuh
penyesalan dan rasa malu, Alisa dengan lembut mengangkat seprai dan menatap sebelah
matanya untuk melihat Masachika berjongkok di samping tempat tidur, menutupi
wajahnya dengan kedua tangannya.
“Sialan…aku jadi sangat malu….awas
saja tuh anak….aku takkan pernah memaafkannya….”
Saat melihat Masachika yang
sepertinya telah melakukan kesalahan, tawa tiba-tiba keluar dari tenggorokan Alisa.
Dan kemudian, ketika dia merasakan Masachika mendongak dan menatapnya dengan “Hmm?”, Alisa segera menarik turun selimutnya
untuk menghalangi pandangannya.
(Apa
sih... yang aku tertawakan….?)
Berlawanan dengan pikirannya yang
dipenuhi oleh pertanyaan semacam itu, sudut bibirnya malah terangkat. Masachika
memegangi kepalanya dengan wajah tersipu malu tapi entah mengapa hal itu begitu
lucu baginya saat ini.
“Alya...?”
Suara Masachika yang bertanya
dengan keheranan memanggil Alisa, yang tubuhnya gemetar tanpa suara di bawah
selimut.
Mendengar hal itu, Alisa
menjawab dengan suara acuh tak acuh, berusaha keras menekan emosinya.
“Bukan apa-apa... aku hanya
mendengar beberapa hal yang tidak menyenangkan."
“Hal yang tidak menyenangkan...
Apa itu jangan-jangan tentang kekalahanmu dalam pertandingan kavaleri tempo
hari?”
Masachika membuat asumsi yang
keliru dari kata-kata Alisa yang ambigu. Hal ini tidak hanya mengejutkan bagi
Alisa sendiri, tetapi juga membuatnya terdiam karena tidak tahu bagaimana dia harus
menanggapinya. Dan bagaimana Masachika menafsirkan keheningan tersebut semakin
membuatnya salah paham.
“Memang benar kalau kekalahan
dalam pertandingan kemarin merupakan pukulan berat bagi kita. Tapi, karena tim
kita memberi kesan bahwa Sumire-senpai dan Elena-senpai menjadi pendukung kita,
jadi bisa dibilang secara keseluruhan itu bukanlah hasil yang buruk. Karena
kita terus meraih kesuksesan sejauh ini, mungkin ada banyak orang yang
mengatakan berbagai hal tentang kita untuk sementara waktu, tapi kita tidak
perlu ambil pusing dengan hal seperti itu—“
Masachika salah paham karena mengira
bahwa Alisa menjadi tidak enak badan karena diserang oleh pendukung-pendukung
Yuki. Ia berbicara dengan sangat serius. Namun, hal itu malah terasa sangat
lucu.
(Sungguh,
ia sama sekali tidak menyadarinya...)
Menurutmu,
siapa yang sudah menyebabkanku merasakan kekecewaan yang mendalam seperti ini?
Saat memikirkan hal tersebut,
tiba-tiba Alisa menyadari bahwa hal semacam ini sudah sering terjadi
sebelumnya.
Masachika selalu bertingkah
seolah-olah ia mengetahui segalanya tentang Alisa... tapi pada hal-hal yang
paling penting, ia sama sekali tidak menyadarinya. Hal terasa terasa sangat
lucu baginya, seolah-olah dia berhasil mengakali Masachika dan membuatnya
merasa senang...
(Fufu,
sungguh... kamu sama sekali tidak mengerti apa-apa~)
Aku
senang bahwa kamu tidak menyadari perasaanku. Aku juga merasa benci karena kamu
tidak menyadari perasaanku.
Di balik selimut, Alisa menenggelamkan
dirinya dalam pikiran yang saling bertentangan saat mendengarkan Masachika
mencoba yang terbaik untuk berbicara. Meski demikian, rasa bahagia
perlahan-lahan memenuhi tubuhnya saat ia berpikir bahwa Masachika melakukan
yang terbaik untuk mengucapkan kata-kata demi dirinya.
Walaupun kata-kata tersebut
melenceng dari sasaran. Karena kebaikan yang Masachika curahkan saat ini hanyalah....
untuk Alisa..
(Aku
merasa sedih karena…. belahan jiwamu bukanlah aku...)
Bagi Alisa, belahan jiwanya
adalah Masachika, tetapi tidak demikian sebaliknya. Hal ini sangat menyedihkan
baginya, hingga membuatnya merasa sangat menderita dan kesakitan. Namun... itu juga
karena dia tidak bisa menyerah.
(Jadi...
untuk saat ini, mari biarkan perasaan ini dipendam sejenak)
Masachika tertarik dan ingin
mendukung Kujou Alisa karena dirinya adalah gadis yang tegar dan berpandangan
ke depan. Dia tidak bisa terus merasa depresi dan meratapi situasinya seperti
ini.
Suatu saat nanti, ketika Masachika
akan berpaling padanya. Alisa harus terus berdiri tegar. Itulah yang diinginkan
Masachika. Karena itulah...
“Jumlahnya semakin bertambah,
tau? Bahkan aku pun...”
Saat Masachika terus-menerus
mencoba memberinya semangat, Alisa mengisyaratkannya dengan tangan kanannya
yang tersembunyi di bawah selimut.
“Ada apa?”
Masachika mencondongkan
tubuhnya ke depan dengan ragu-ragu saat Alisa mengisyaratkannya lagi dengan
diam. Masachika, yang tampaknya mengira bahwa ia sedang diundang ke dalam
percakapan rahasia, mendekatkan wajahnya ke area kepala Alisa.
“Ada apa...?”
Ketika suara heran Masachika
terdengar begitu dekat, Alisa tiba-tiba bangkit. Dia kemudian dengan cepat
menarik selimut ke atas kepala Masachika yang terkejut.
“Uwah...!”
Masachika secara refleks menutup
matanya ketika berusaha menopang tubuhnya dengan kedua tangannya di atas tempat
tidur. Alisa lalu memeluk kepalanya dengan erat ke dadanya.
Kemudian, dia dengan pelan mencium rambut hitam Masachika yang lembut dan berbisik.
Tidak seperti kata-kata yang
pernah diucapkan tanpa disadari seperti dulu. Kali ini, dengan sepenuh hati dan
perasaan cinta yang meluap-luap.
Setelah mengungkapkan
perasaannya secara diam-diam, Alisa memejamkan matanya dan membiarkan perasaan
cintanya tenggelam jauh ke dalam hatinya.
Kemudian, ketika Alisa perlahan-lahan
melepaskan pelukannya, Masachika mengangkat wajahnya, dan pandangan mata mereka
saling bertaut di balik selimut putih. Masachika mengernyitkan kening dengan
penuh kebingungan, seakan-akan ia masih tidak mengerti dari maksud pelukan
Alisa yang begitu tiba-tiba.
“Uhmm….tadi itu apaan?”
Ketika Masachika menunjukkan
ekspresi kekanak-kanakan sesuai usianya, Alisa menunjukkan tawa yang lebih
menantang, seolah-olah dia telah melepaskan semua bebannya.
“Aku hanya merasa bersyukur
karena kamu tidak peka... Sudahlah, semuanya baik-baik saja.”
Saat Alisa menyibak selimut itu
dengan tegas, cahaya neon di ruang UKS mulai menyilaukan pandanganya. Alisa
sedikit memicingkan matanya untuk menahan cahaya yang terang, dan ketika dia
membuka matanya lagi, dia langsung mengerjap ketika melihat guru perawat
sekolah tersenyum tipis di belakang Masachika.
“Astaga, begini ya kalian
berdua... Kalian sadar dengan apa yang sudah kalian lakukan di depan guru?”
Alisa tidak bisa berkata
apa-apa mengenai hal ini, dan dia hanya bisa membuang muka karena rasa bersalah
dan malu. Kemudian, guru perawat itu menghela nafas panjang dan berkata.
“Yah...aku tidak bisa melihat
apa yang kalian lakukan, jadi aku akan memaafkannya kali ini. Ini, jika kamu
sudah merasa lebih baikan, pulanglah.”
“Y-ya...terima kasih.”
Alisa mengenakan sepatu dan
segera membawa tasnya saat diminta, lalu dengan sopan dia membungkukkan kepalanya
dan menuju pintu. Ketika mereka berdua melangkah ke arah pintu, guru perawat
itu menatap mereka dengan tajam sebelum berkata.
“Hanya untuk berjaga-jaga...
Jika kalian menggunakan tempat tidur ruang UKS untuk hal-hal ‘begituan’, kalian akan langsung
dikeluarkan dari sekolah, paham?”
“Kami tidak akan melakukannya!”
Setelah mendengar penolakan
tegas dari Masachika, Alisa akhirnya menyadari makna dari “hal-hal begituan”.
“Aku, aku tidak akan
melakukannya! Aku benar-benar tidak akan melakukannya!!”
Alisa berteriak dengan keras
seolah-olah sedang mengancam, tapi guru perawat itu hanya menatapnya dengan
tatapan lembut dan melambaikan tangannya. Meskipun bibirnya sedikit cemberut,
Alisa tetap memberi hormat pada guru sebelum meninggalkan ruang UKS. Setelah
Masachika menutup pintu geser di belakangnya, lampu-lampu di koridor mulai
menyala satu per satu.
“Haa... kalau begitu, ayo kita
pulang?”
“Ya...”
Alisa mengikuti Masachika yang
terlihat lelah menuju pintu depan. Selama perjalanan, peringatan dari guru
perawat tadi masih terngiang-ngiang di pikirannya.
(Melakukan
hal begituan... maksudnya, antara aku dan Masachika-kun?)
Alisa tanpa sadar membayangkan
pemandangan semacam itu dan wajahnya tiba-tiba memanas sembari mengigit
bibirnya dengan keras.
“Tidak mungkin!!”
“O-Ohh, ada apaan sih?”
Ketika Masachika tiba-tiba
tersentak kaget, Alisa terkejut dan memalingkan wajahnya karena malu sambil
bergumam dalam bahasa Rusia.
【Benar
sekali... hal-hal seperti itu hanya boleh dilakukan setelah menikah.... atau setidaknya
harus dilakukan setelah pertunangan... habisnya, mungkin saja kita akan memiliki bayi... dan sebenarnya, aku sendiri
hampir tidak pernah... 】
Alisa terus berdebat melawan
batinnya sendiri dengan wajah yang tegang karena marah dan malu. Sementara itu,
di sampingnya...
(Oh,
ada bintang cerah di sana~ Mungkin itu bintang Kejora~ Menakjubkan sekali ya~)
Begitu mendengar monolog Alisa
yang begitu jujur di sampingnya, Masachika mengalihkan pandangannya seolah-olah
sedang memandang jauh ujung alam semesta.