Bab 5
“Selamat
pagi, kakak ipar.”
“Ya, selamat pagi.”
Seperti biasa, kami bertukar
salam melalui bel pintu.
Namun, Nene-chan sepertinya
terlihat lesu hari ini.
“Permisi, maaf sudah
mengganggu.”
“Ayo silakan masuk.”
Aku merasa seperti ada yang
berbeda darinya kali ini. Kemarin saat pulang, sepertinya Nene-chan terlihat
kesal jadi mungkin suasana hatinya tidak baik.
Namun, mengapa dia tetap
mengantarkan bekal seperti ini padaku?
“Nene-chan, kelihatannya kamu
sedang murung sekali hari ini? Apa semuanya baik-baik saja?”
“...Biarkan aku mengisi daya
dulu.”
Dia tidak menjawab
pertanyaanku. Apa aku benar-benar membuatnya marah? Namun, aku sama sekali tidak
memiliki petunjuk apa yang telah terjadi.
Karena tampaknya akan berakhir
buruk jika aku terlalu banyak menanyainya, jadi aku memutuskan untuk
mendengarkan permintaan Nene-chan. Mengisi daya, mungkin dia membicarakan soal
ponselnya.
“Kalau soal charger ponsel, kamu
boleh ambil yang ada di sana dan bisa menggunakannya sepuasmu.”
“Terima kasih.”
Nene-chan pergi menuju charger
dengan langkah ringan, menyambungkan kabel ke ponselnya sebelum kembali.
Aku membuka bekal yang
diberikan kepadaku di atas meja.
“Selamat makan.”
Menu utama dalam bekal itu
adalah saikyoyaki dari ikan saira.
Hari ini juga dibuat dengan teliti dan terasa hangat serta lezat.
Namun, aku merasa percakapan
hari ini terasa sedikit sepi. Baik aku maupun Nene-chan bukanlah orang yang
suka berbicara, tapi hari ini terasa sangat hening.
“Terima kasih atas makanannya.”
“Sama-sama.”
Ini juga menjadi rutinitas yang
akrab.
Setelah ada keheningan sejenak,
Nene-chan akhirnya memulai pembicaraan.
“Kakak ipar, boleh kita
berbicara sebentar?”
Akhirnya dia bicara.
“Aku ingin meminjam dasimu…..”
Aku menguatkan diriku untuk
dimarahi, tapi kata-kata selanjutnya sangat tidak terduga dan membuatku
terkejut.
“Dasi?”
Nene-chan mengangguk pelan.
Setelah kulihat-lihat lagi,
ternyata pita yang biasanya dipakainya tidak ada, dan lehernya terlihat rapi.
Mungkin karena aku tidak memiliki pita, jadi dia ingin menggunakan dasi sebagai
penggantinya.
Apa Nene-chan sedang sedih
karena lupa membawa sesuatu?
Aku menepuk dadaku merasa lega
karena ternyata suasana hatinya tidak sedang murung.
“Kalau soal dasi, aku punya.
Meskipun bukan yang sesuai dengan aturan sekolah, tapi apa itu oke bagimu?”
“Ya, dasi apa saja asalkan itu
dasi, tapi kalau ada dasi sekolah SMA maka itu bahkan jauh lebih bagus.”
“Oke, aku akan mencarinya.”
Demi menghibur Nene-chan yang
sedang sedih, aku pergi mencarinya.
Mungkin aku menyimpannya di
dalam kotak di bagian belakang lemari.
“Nene-chan, maaf sudah membuatmu
menunggu. Aku menemukannya, kebetulan aku punya dasi dari SMA Amagamine.”
“Eh, beneran ada?”
“Yeah, aku selalu menjaga
barang-barangku dengan baik sejak dulu. Aku tidak akan dengan mudah membuangnya
begitu saja.”
“Itu benar-benar hal yang baik.
Terima kasih sudah mencarikannya, Kakak ipar.”
“Sama-sama.”
Ketika aku memberikan dasi
kepadanya, wajah Nene-chan langsung cerah dan berseri-seri saat dia berkata,
“Hore”.
Nene-chan meninggalkan tempat
duduknya dan berdiri di depan cermin. Dia mencoba mengikat dasi itu di lehernya
tapi dia tampak kesulitan untuk mengikarnya.
Oh, mungkin dia tidak pernah
mengikat dasi sebelumnya karena dia selalu menggunakan pita.
“Coba sini aku bantu.”
Aku merasa kasihan dan
mendekati Nene-chan saat menerima dasi darinya.
Aku membungkuk sedikit agar
sejajar dengan matanya. Karena dia masih pelajar SMA, aku memutuskan untuk
membuat simpul dasi biasa, tapi hasilnya tidak memuaskan.
“Kalau melakukannya dari depan rasanya
agak sulit ya... Maaf, permisi ya.”
Aku bergerak ke belakang
Nene-chan dan mulai mengikatkan dasi ke lehernya. Dengan begini aku seharusnya
bisa mengikatnya dengan lancar karena aku sudah sering melakukannya. Beberapa
orang mungkin menyukai pakai dasi karena terkesan formal, tapi aku cukup
menyukainya.
“Baiklah, sudah selesai.”
Aku melihat dasi melalui
cermin. Ya, simpulnya terlihat rapi dengan lipatan yang bagus.
“Bagaimana? Kamu tidak merasa
sesak, ‘kan?”
“...Aku merasa sesak.”
Wajah Nene-chan terlihat
memerah ketika dia memalingkan kepalanya.
Melihat keadaannya, aku
buru-buru melonggarkan dasi, dan Nene-chan menahan dadanya sambil mengambil
napas dalam-dalam secara perlahan.
Aneh sekali, padahal aku tidak
mengikatnya terlalu kencang.
“Maaf.”
“Tidak apa-apa, jangan
khawatir. Terima kasih sudah mengikatkan untuk Nene.”
Setelah itu, Nene-chan terus memandangi
dasi yang terikat di cermin dan menyentuhnya berkali-kali untuk memeriksanya.
Mungkin karena biasanya dia menggunakan pita, sehingga dia merasa aneh dengan
penampilan dirinya yang mengenakan dasi.
Karena sudah waktunya dia
berangkat sekolah, aku memanggil Nene-chan yang tidak mau beranjak dari depan
cermin untuk mengantarnya di pintu masuk.
“Oh ya, apa ponselmu sudah
terisi penuh?”
“Yeah, sudah penuh.”
Nene-chan menjawab dengan ceria
sambil memberikan tanda peace kecil.
◆◆◆◆
SMA Amagamine.
“Oh, Fujisaki-san. Tolong
tunggu sebentar!”
Nene-chan dipanggil oleh guru
wali kelasnya, Kohinata Yuki, saat sedang menuju kelas berikutnya.
“Kohinata-sensei, apa ada
sesuatu yang perlu saya bantu?”
“Aku tidak mempunyai urusan
secara khusus. Aku hanya ingin meminta maaf karena kemarin aku tiba-tiba
menyapamu. Jadi Aku ingin mengucapkan permintaan maaf.”
Yuki menundukkan kepala kecilnya
dengan sopan.
“Anda tidak perlu meminta maaf.
Saya sama sekali tidak marah karena anda sudah mengganggu waktu saya yang
berharga.”
“Itu sih jelas-jelas kamu pasti
marah, kan!?”
Nene-chan terlihat murung,
tetapi Yuki tidak bisa menahan diri dari komentar pedas.
“Wah, Fujisaki-san sedang
berbicara dengan Kohinata-sensei. Sepertinya Fujisaki-san terlihat lebih tua,
ya?”
“Pastinya, tidak diragukan
lagi. Tapi, meskipun Kohinata-sensei bertubuh mungil, bagian dadanya
benar-benar dewasa sekali, iya ‘kan?”
“Benar juga. Kalau tidak salah
sebutannya gadis mungil berpayudara besar*? Ini pertama kalinya aku melihatnya
dalam hidupku.” (TN:
FYI, gadis yang semacam gini beneran ada loh di dunia nyata, karena ada cewek
yang kayak gitu di dekat lingkungan tempat tinggal mimin :v)
Seorang murid laki-laki yang
memperhatikan mereka dari kejauhan berbicara dengan suara pelan tentang hal-hal
yang kurang pantas.
Tidak mengherankan, Nene dan
Yuki sering menjadi topik pembicaraan di sekolah karena penampilan mereka.
“Saya sudah tidak marah lagi,
jadi tidak apa-apa.”
“Awawawa, jadi kamu masih
marah!? Maaf atas kejadian tadi!"
Yuki meminta maaf lagi, ketika
sepertinya percakapan telah selesai.
“Eh, Fujisaki-san, tumben-tumbennya
hari ini kamu mengenakan dasi.”
Yuki menyadari perbedaan pada Nene.
Meskipun Yuki masih baru
sebagai guru, tapi dia sangat peduli pada murid-muridnya dan merupakan guru
yang baik.
Penampilan, kepribadian, dan
sikap tulusnya membuatnya populer di kalangan murid dan orangtua.
SMA Amagamine memiliki seragam
standar, namun pada dasarnya peraturan mereka tidak terlalu ketat dan cukup
bebas.
Meskipun bebas, tidak banyak
murid yang datang dengan pakaian biasa; kebanyakan menunjukkan kepribadian
mereka melalui aksesori seperti pita atau kaos kaki pada seragam standar.
Nene biasanya selalu mengenakan
pita pada seragam standarnya. Jadi, ketika dia mengenakan dasi hari ini, hal
itu membuatnya terlihat mencolok.
“Masa?”
“Kamu biasanya memakai pita,
‘kan? ...Tunggu, itu! Bukannya itu dasi dari seragam SMA Amagamine yang lama!?”
Kebebasan dalam berpakaian
telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Jadi, jika lulusan melihatnya,
pola tersebut akan terasa akrab dan tetap teringat.
“Fujisaki-san, di mana kamu
mendapatkannya...?”
“Hmm, kira-kira saya
mendapatnya dari mana ya?”
Nene tersenyum dengan percaya
diri.
“Ma-Mana mungkin!! Jangan
bilang kalau itu dari Ichinose-sensei!?”
“Kohinata-sensei, suara anda
terlalu keras.”
“M-Maafkan aku!”
Yuki meminta maaf dengan sopan,
payudaranya yang besar selalu bergoyang setiap kali dia meminta maaf.
“Yah, apa yang dikatakan Sensei
Kohinata-sensei adalah jawaban yang benar. Selain itu, saya baru saja dibantu
untuk mengikatnya pagi ini.”
Seolah-olah ingin berkata 'Kelihatan rapi dan bagus, iya ‘kan?',
Nene membusungkan payudaranya yang tidak sebesar Yuki tetapi mempunyai bentuk
yang bagus.
“P-Pagi ini!? Aku penasaran, sebenarnya
hubungan seperti apa yang kamu miliki dengan Ichinose-sensei—”
“Permisi, saya harus pergi ke
pelajaran berikutnya.”
“A-Ah tunggu dulu sebentar!”
Nene memotong pembicaraan dan
menuju ke tempat tujuan.
Yuki berpikir di dalam hati sambil
melihat punggung Nene yang berjalan pergi.
“Hmm,
aku penasaran. Mungkin mereka berdua memiliki hubungan yang tidak biasa? Tapi
kemarin Ichinose-sensei dipanggil 'Kakak ipar'. Kira-kira apa itu maksudnya?
Semakin aku memikirkannya, aku malah semakin bingung. Tapi sungguh iri kalau boleh
dibantu mengikat dasi......”
Itu adalah strategi Nene untuk
memberikan sedikit informasi agar pihak lain menginterpretasikan informasi itu
sendiri.
Setelah berpikir sejenak, Yuki
tersadar dengan suara bel berbunyi.
“Ah! Aku juga harus pergi
mengajar!”
Dengan demikian, serangan balik
kecil dari Nene berakhir dengan kemenangannya.
◇◇◇◇
Sekitaran sore hari. Aku
berdiri di depan kedai kopi yang mempunyai tampilan retro.
“Kafe 'Kagen no Tsuki' seharusnya di sini.”
Aku membandingkan aplikasi peta
di ponselku dengan papan nama, untuk memastikan kalau aku telah sampai di
tujuan.
Tampilan kedai ini benar-benar
seperti kedai kopi, dengan kayu cokelat tua yang berkilauan dan dinding putih
yang harmonis. Lampu neon bertuliskan 'Kagen
no Tsuki' menyala di bagian bawah kaki, menambahkan nuansa nostalgia.
Aku bukanlah seseorang yang
sering pergi ke kedai kopi. Sebenarnya, ini pertama kalinya aku datang ke
tempat seperti ini.
Aku mengambil napas dalam-dalam
di depan pintu.
“Fyuh, entah kenapa rasanyajadi sedikit tegang.”
Ada alasan lain mengapa aku
merasa tegang. Sejujurnya, ini adalah tempat kerja Nene-chan.
Alasan aku berada di sini
adalah karena janji yang aku buat dengan Nene-chan ketika kami berbelanja
bersama di mal sebelumnya, bahwa aku akan mengunjungi tempat kerjanya.
“Aku tidak bisa membayangkan
seperti apa penampilan Nene-chan ketika dia bekerja.”
Ketika seorang pria besar
seperti aku terus berdiri di depan kedai kopi, itu pasti terlihat tidak sopan,
jadi aku memutuskan membuka pintu dengan penuh tekad.
Dengan bunyi 'kling', bel berbunyi dan aku melangkah
masuk.
“Selamat datang.”
Aku disambut dengan suara yang
ceria seperti lonceng. Suara akrab ini adalah milik Nene-chan.
“Kakak ipar, kamu benar-benar
datang kemari ya. Aku senang dengan kedatanganmu.”
Aku tak bisa berkata apa-apa
ketika Nene-chan berjalan mendekat ke arahku.
Atau bisa dibilang, aku
terpesona olehnya.
“Baiklah, aku akan mengantarmu
ke mejamu. Eh, kenapa kamu membeku begitu?”
Nene-chan mengenakan hiasan
kepala berenda putih di atas rambutnya yang hitam dan merah mengkilap, dia mengenakan
gaun panjang hitam hingga di bawah lutut dengan celemek putih di atasnya, dan
di kakinya yang dilapisi oleh stoking putih terhubung dengan sepatu hak hitam.
Dengan kata lain, dia mengenakan seragam pakaian maid klasik.
Karena terpukau oleh
kecantikannya yang seolah-olah keluar dari lukisan, aku merasa seperti dipukul
keras oleh keimutannya itu sehingga membuat pikiranku terhenti.
“Astaga, penampilanmu terlalu
imut.”
“Eh?”
Aku terkejut dengan kata-kata
yang keluar begitu saja dari mulutku.
Nene-chan terkejut dengan pernyataanku,
matanya melebar terkejut.
“Maaf, aku harap kamu bisa
melupakan yang tadi...”
“I-Iya...”
Wajahku terasa panas. Wajahku
pasti sudah merah merona karena malu.
Muka Nene-chan juga memerah,
dan dia mengibaskan tangannya di wajahnya.
Meskipun suasananya jadi canggung,
aku dipandu ke meja. Setelah duduk, aku bertanya tentang sesuatu yang membuatku
penasaran.
“Nene-chan. Maaf jika
pertanyaanku kurang sopan, tapi apakah tempat ini adalah maid cafe atau
semacamnya?”
“Tidak, bukan begitu, kok.
Karena seragamnya seperti pakaian maid, orang sering salah paham. Tapi
sebenarnya ini hanyalah kedai kopi biasa.”
“Oh begitu ya.”
Meskipun aku tidak pernah
berkunjung ke maid cafe, kesan yang
aku dapatkan dari tempat ini lebih tenang dan damai dari yang kubayangkan.
“Selamat datang kembali, tuan.”
Tiba-tiba, aku terpaku pada
tata karma kesopanan indah Nene-chan yang disertai dengan kata-kata standar,
sementara itu ada sorakan kecil yang terdengar dari sekeliling kami.
“Bukan kalimat salam biasa yang
seperti itu, tapi 'selamat datang',
bukan?”
“...Y-ya, benar.”
Kali ini, aku berhasil membuka
mulutku tanpa terpana. Aku hampir saja terkejut.
“Di restoran ini, semua makanan
dan minumannya sangat enak dan berkualitas tinggi, tahu? Dan hari ini manajer
restoran bilang akan memberikan layanan istimewa, jadi silakan makan apa pun
yang kamu suka.”
Aku hampir terpesona oleh
senyuman Nene-chan yang manis. Detak jantungku terus berdegup sejak masuk ke
dalam restoran.
“Aku sudah mendengarnya pagi
tadi, tapi apa memang benar-benar boleh?”
“Iya!”
Aku bisa melihat Nene-chan
dengan penampilan seperti ini, dan dia bahkan memberikan pelayanan istimewa.
Memangnya tempat ini seperti surga atau semacamnya?
“Ini daftar menunya, jadi
silakan panggil saja aku ketika sudah memilih ya?”
“Terima kasih.”
Dan kemudian Nene-chan bergerak
menjauh dari meja.
Meskipun aku sedang memikirkan makanan
apa yang akan dipesan sambil melihat menu, pandanganku tanpa sadar mengikuti
keberadaan Nene-chan. Tingginya dan keanggunan Nene-chan dalam pakaian maid
terlihat sangat cocok dan cantik.
Aku merasa terkesan dengan cara
dia menggunakan bahasa yang sopan saat berhadapan dengan pelanggan lain, tidak
seperti saat dia berhadapan denganku.
Meskipun ada karyawan lain yang
mengenakan pakaian yang sama, tapi penampilan Nene-chan terlihat jauh lebih
unggul. Cara berjalan, postur tubuh, sikap, cara berbicara, semuanya begitu
sopan dan indah.
Melihat saja tanpa memesan
apapun bisa membuat toko merasa terganggu, jadi aku mengangkat tanganku dan
memanggil Nene-chan.
“Apa kamu sudah memutuskan
pesananmu, Kakak ipar?”
“Aku akan memesan Omurice dengan Beef Stew dan Original Blend
Coffee.”
“Kopinya yang panas, ‘kan?”
“Iya.”
Meskipun musim panas sudah semakin
dekat dan cuaca mulai panas sedikit demi sedikit, aku tetap memilih kopi panas.
Nene-chan mengetahui hal itu
dan dengan alami memastikan apakah aku ingin kopi panas. Rasanya begitu nyaman.
Aku merasa penasaran dengan
kopi yang ada di kedai kopi ini. Jadi aku lumayan menantikannnya.
Saat menunggu pesananku datang,
aku dipanggil oleh seorang pelayan yang berbeda dengan Nene-chan.
“Apa kamu adalah Arata-san yang
sedang menjadi pembicaraan?”
Seorang wanita cantik nan
rupawan berdiri dalam pakaian bergaya pelayan pria.
“Aku tidak yakin apakah aku
menjadi topik pembicaraan, tapi namaku memang Arata. Dan Anda?”
“Oh, maafkan aku karena
mendadak mendekatimu. Senang bertemu denganmu, aku Tsukimi Yumi, yang
bertanggung jawab sebagai manajer di sini.”
Dia meletakkan tangannya di
dadanya dan membungkuk sedikit.
Aku langsung berdiri ketika
mendengar kata manajer.
“Senang bertemu denganmu juga,
namaku Ichinose Arata. Nene-chan sudah banyak membantuku. Dan terima kasih atas
pelayanannya hari ini.”
“Kamu tidak perlu begitu kaku
seperti itu. Aku hanya ingin melihatmu saja. Meski demikian, kamu benar-benar
tinggi ya? Bahkan aku harus mendongak untuk melihatmu.”
Tsukimi-san, yang terlihat
lebih tinggi dari rata-rata pria, menatapku sambil menempatkan tangannya di
atas matanya.
“Berapa tinggi badanmu,
Arata-san?”
“Tinggiku 186 cm.”
“Waduh, waduh, kamu mempunyai
tampang yang bagus dan postur tubuh yang lumayan juga. Nene-chan benar-benar
menemukan orang yang baik, ya.”
Tsukimi-san tersenyum tipis sambil
meletakkan jari di bibirnya. Gerakan itu bahkan terlihat keren bagiku yang
seorang pria.
Mungkin karena aku mengenal
salah satu karyawannya, jadi dia sangat ramah padaku.
Atau lebih tepatnya, menemukan?
Apa maksudnya itu?
“Oh, maaf sudah membuatmu
berdiri terus. Ayo~ silakan duduk.”
“Permisi.”
“Haha, kamu benar-benar orang
yang serius seperti yang kudengar. Oh iya. Arata-san, bukannya penampilan Nene-chan
terlihat imut saat dia mengenakan pakaian maid?”
“Eh, ya... dia sangat imut.”
Aku mengucapkan apa yang
kurasakan dengan jujur. Fakta bahwa Nene-chan terlihat imut adalah hal yang tak
terbantahkan.
Meski demikian, orang ini
memiliki gaya bicara dan jarak yang unik. Dia berbicara dengan ritmenya sendiri
sehingga aku tidak punya kesempatan untuk menyelipkan kata. Karena itu, aku
melewatkan kesempatan untuk bertanya pertanyaan yang terlintas tadi.
“Betul sekali. Kedai kopi kami
menjadi populer karena mempertahankan rasa tradisional sambil memiliki karyawan
yang imut dan pelayanan yang ramah. Nene-chan juga sangat berperan dalam
popularitas kedai ini dan kami sangat mengandalkannya.”
Aku senang ketika Nene-chan
dipuji. Namun, aku merasa bahwa orang ini juga berperan dalam popularitas kedai
ini.
Sejak tadi, beberapa pelanggan
wanita sesekali melirik ke arah kami.
“Maaf sudah membuatmu menunggu
lama, Kakak ipar. Manajer, apa yang sedang anda lakukan di sini?”
Sambil membawa hidangan dengan
kereta dorong, Nene-chan berhenti di depan manajer.
“Oh, Nene-chan. Aku hanya
sedang menyapa Arata-san.”
“...Arata-san?”
Nene-chan memiringkan kepalanya
sambil mengerutkan kening.
Aku bisa merasakan ada
ketegangan sengit di dalam suasana sekarang.
“Upss, menakutkan, menakutkan,
maksudku Ichinose-san. Karena Nene-chan selalu memanggilmu begitu, jadi aku
juga ikut memanggilmu begitu.”
“Ma-Manajer!”
Saat ketegangan sebelumnya hilang,
Nene-chan terlihat panik.
“Lebih penting daripada itu.
Ayo, cepat sajikan makanannya. Ichinose-san sudah menunggunya loh.”
“Lebih penting daripada itu...
haa sudahlah...”
Nene-chan sedikit terkejut dengan
sikap santai Tsukimi-san.
Mungkin dia selalu begini.
Nene-chan yang kembali fokus
menyajikan omurice dan kopi di depanku.
“Oh ya, Nene-chan, kamu boleh
sudahan lebih awal hari ini.”
“Eh?”
Nene-chan terkejut dengan tiba-tiba.
“Jangan khawatir, aku akan
membayar upah shiftmu dengan baik. Hari ini makan malam lah bersama
Ichinose-san. Tentu saja aku akan memberikan layanan gratis untukmu juga.”
“Apa itu boleh?”
“Tentu saja, karena ini bagian
dari tunjangan karyawan.”
Terima
kasih, Manajer, kata Nene sambil kembali ke belakang toko.
“Tsukimi-san, terima kasih atas
segalanya,” kataku sambil mengucapkan terima kasih sekali lagi kepadanya.
“Sama-sama. Selain itu, makanan
terasa lebih enak saat dimakan bersama orang lain, bukan? Baiklah, silakan
dibawa santai saja.”
Tsukimi-san mengedipkan mata
dengan tatapan dingin sebelum pergi. Dia orang yang unik tapi baik.
Aku merasa lega bahwa Nene-chan
bekerja di tempat yang baik.
Lalu, aku mengalihkan perhatianku
ke arah hidangan lezat di depanku dan segelas kopi, dan mulai menikmati makanan
itu dengan senang.
“Selamat makan!”
Aku berpikir untuk menunggu
Nene-chan, tapi dia bilang lebih baik dimakan selagi masih hangat, jadi aku
langsung mulai menikmati hidanganku.
Ada beberapa cara untuk
membungkus telur dalam omurice, tapi
di kafe ini mereka menggunakan cara Dress
Omurice.
Telur setengah matang melingkar
di atas nasi ayam yang tinggi, dibalut dengan lapisan telur alayaknya rok yang
indah.
Dikelilingi oleh beef stew yang
dituangkan dengan krim segar, disajikan dengan hiasan peterseli hijau yang
mencolok.
“Tampilan hidangannya sangat
menggugah selera. Aku bisa mengerti mengapa ini populer di kalangan anak muda.”
Selain dari karyawan-karyawannya
yang imut dan cantik, cara penyajian yang menarik dan fotogenik mungkin menjadi
kunci dari popularitas kedai kopi ini.
Tanpa menunggu lama, aku mulai
menyendok makanan itu ke mulut.
“Enak sekali.”
Hidangan berkualitas tinggi
yang dapat diketahui hanya dengan sekali suap. Ini jauh berbeda dengan masakan
yang hanya bertujuan untuk terlihat menarik.
Kematangan setengah matang
telurnya sangat sempurna, dan jamur di dalam nasi ayam memberikan perpaduan
rasa dan tekstur jamur yang lezat.
Meskipun beef stew-nya sendiri sudah luar biasa lezat sampai-sampai kamu
mungkin takkan terkejut jika itu dihidangkan di hotel, tapi tidak diragukan
lagi bahwa kombinasi ini akan terasa lebih lezat.
Setiap bagiannya dibuat dengan
teliti dan terasa adanya kepedulian dari tangan yang membuatnya.
Aku sebenarnya ingin makan
dengan kecepatan sedang untuk menunggu Nene-chan, tapi aku tidak bisa berhenti
menyendok makanan ini.
Mulutku terus meminta lebih,
satu sendok lagi, dua sendok lagi.
“Sekarang waktunya untuk
mencicipi kopinya.”
Setelah rasa kopi yang kaya
memenuhi mulutku, aku mencoba untuk membersihkan lidahku sejenak.
Aku meletakkan sendokku dan
mengambil cangkir untuk menyeruput kopi.
“... Kopinya juga enak sekali.”
Bukan kelezatan yang bisa
membuat mata melek, melainkan kelezatan yang halus dan membuatku ingin
merem-melek. Di balik cita rasa klasik yang dalam, ada sentuhan kesenangan yang
membuatnya tampak mewakili kedai ini.
Pandangan positifku terhadap
kedai ini langsung meningkat.
“Mungkin aku akan membeli biji
kopi untuk dibawa pulang.”
Kedai kopi ini juga menjual
biji kopi. Meskipun biasanya menggunakan mesin karena lebih praktis,
kadang-kadang mereka juga menyajikan kopi dengan cara tradisional, dari
menggiling biji hingga menyeduhnya sendiri. Rasanya begitu sesuai dengan seleraku
sehingga aku ingin membawa pulang beberapa biji kopi.
Sejenak setelah menghabiskan
hidangan omurice, aku menikmati sisa kopiku ketika Nene-chan datang mengenakan
seragam sekolahnya.
Sejak hari dia melupakan
pitanya, Nene-chan selalu memakai dasi yang kupinjamkan padanya.
“Maaf sudah membuatmu menunggu.
Eh, Kakak ipar sudah selesai makan ya? Cepat sekali.”
“Aku sebenarnya ingin makan
pelan-pelan, tapi rasanya terlalu enak jadinya keterusan...”
Aku menggaruk kepalaku dengan
sedikit malu ketika dikatakan bahwa aku makan dengan cepat, seolah-olah aku
adalah seseorang yang rakus.
“Syukurlah. Aku senang kamu puas
dengan makanannya.”
Nene-chan menjawab sambil
menyentuh dadanya.
"Oh, Nene-chan, bagus
sekali untukmu. Kamu mendapat pujian dari Ichinose-san untuk omurice yang kamu
buat sendiri.”
“Ma-Manajer!”
Tiba-tiba Tsukimi-san muncul
dari belakang Nene-chan.
“Kenapa kamu malah
menyembunyikannya begitu? Kalau aku yang membuatnya, aku langsung bilang 'aku yang bikin lho'.”
Tsukimi-san menyeringai sambil
melihat muka Nene-chan yang memerah.
Aku bertanya pada Nene-chan,
yang wajahnya memerah dan tetap diam.
“Jadi, Nene-chan yang membuat
ini?”
“I-Iya... Resepnya dari kedai
ini sih...”
“Wah, bukannya itu hebat! Aku
bahkan tidak bisa meniru cara memasak telur seperti itu.”
Meskipun ada resepnya,
kemampuan orang yang memasaklah yang menentukan hasilnya, jadi aku sangat
terkesan.
“Benar sekali. Kami mengajarkan
kedua hal kepada anak-anak yang ingin menjadi pelayan dan koki. Kalau bisa
mendapatkan masakan dari anak yang lucu, itu akan terasa istimewa. Baru-baru
ini bahkan ada yang ingin belajar cara menyeduh kopi juga, sepertinya aku
mengerti maksudnya sekarang.”
“Manajer...”
“Ups, sepertinya aku terlalu
banyak bicara lagi ya. Maaf mengganggu.”
Nene-chan menggembungkan
pipinya dengan imut menatap Tsukimi-san dan dia pun pergi dengan lembut.
Akhirnya, Nene-chan duduk di
meja.
“Umm, Nene-chan...”
“Hmm?”
“Kenapa kamu duduk di sampingku?
Kursi di depanku seharusnya kosong.”
Aku bertanya mengapa dia duduk
di sampingku meskipun tempat di depan kosong.
Rambut hitam dan merahnya yang
indah terulur hingga hampir menyentuh bahunya, dan ada aroma manis yang berbeda
dari hidangan.
“Oh.”
Setelah aku memberitahunya
begitu, Nene-chan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya karena malu.
Apa reaksi ini tidak disengaja?
Apakah ini karena dia selalu duduk di sebelahku di rumah?
“Maaf, aku akan pindah ya.”
Tepat ketika Nene-chan hendak
bangkit.
“Maaf sudah membuatmu menunggu.
Ini Napolitan dan Krim Sodanya.”
Dengan waktu yang kurang tepat,
hidangan yang mungkin dia pesan sebelum pulang kerja, dibawakan untukunya.
Nene-chan kehilangan kesempatan
untuk pindah dan akhirnya makan malam di sampingku.
Kami menghabiskan waktu yang
menyenangkan di dalam restoran yang tenang, mendengarkan cerita Nene-chan saat
baru bekerja paruh waktu dan cerita mengejutkan tentang Tsukimi-san.
◇◇◇◇
Ketika matahari terbenam, warna
cakrawala berubah menjadi lapisan biru dan jingga yang bercampur di perbatasan
malam. Aku dan Nene-chan berjalan di bawah langit seperti itu.
“Ayo pulang lewat jalan memutar.”
Dia mengajakku berjalan lebih
lama dari biasanya dari restoran ke stasiun.
“Nene-chan, terima kasih sudah
mengizinkanku mampir ke kafe tempatmu bekerja hari ini.”
Aku mengucapkan terima kasih
sekali lagi.
“Aku juga berterima kasih atas
kunjungan Kakak ipar.”
“Makanannya enak, dan meskipun
Tsukimi-san agak aneh, dia adalah manajer yang baik. Itu adalah kafe yang
bagus.”
“Ya, di sana memang tempat
kerja yang Nene banggakan.”
Nene-chan tersenyum dengan ekspresi
agak bangga di wajahnya, dia pasti merasa senang ketika tempat kerjanya dipuji.
Sejak saat itu, aku terkejut
ketika Tsukimi-san memberikan makanan gratis untuk dua orang.
Aku mengucapkan terima kasih
sekali lagi karena dia telah mengurus pembayarannya.
“Karena
hari ini aku melihat hal yang bagus, jadi jangan khawatir tentang masalah biayanya.”
Tsukimi-san berkata demikian
tanpa membuatku merasa berhutang budi.
Jadi aku membeli lebih banyak
biji kopi untuk sedikit berkontribusi pada kafe.
“Kakak ipar, lihat itu.”
Aku dikejutkan oleh suara Nene-chan.
Tanpa kusadari, kami berjalan
di atas jembatan yang melintasi sungai. Aku bisa melihat gradasi langit yang
indah terbentang di sana.
“Pemandangannya cukup bagus ya.”
“Benar, ‘kan? Nene suka
pemandangan ini, jadi aku sengaja sering melewati tempat ini.”
Selain
itu,
kata Nene-chan sambil jeda sejenak sebelum melanjutkan.
“——Tempat ini adalah tempat
pertama kali dimana Kakak ipar dan Nene bertemu.”
Kenangan dari saat itu muncul
kembali di tengah pemandangan yang dikenal.
Tapi, hari itu adalah malam
yang gelap.
“Sudah hampir tiga tahun sejak
pertama kali kita bertemu. Waktu berlalu begitu cepat, ya.”
“Ahh, benar juga.”
Sudah hampir tiga tahun sejak
hari itu.
“Berkat hari itu, Nene bisa
menjadi seperti sekarang. Aku juga menikmati sekolah dan pekerjaan paruh waktuku,
kok?”
“Aku bisa merasakan hal itu.”
Nene terlihat senang bersama
orang-orang saat dia bercakap-cakap sambil sarapan pagi.
Dia tidak lagi sendirian.
“Terima kasih banyak, Kakak
ipar.”
Nene-chan menoleh ke arahku
dengan tatapan serius.
“Ada apa sampai mendadak bilang
begitu?”
“Tidak apa-apa, aku hanya
merasa ingin mengucapkannya saja.”
Ada keheningan sesaat di antara
kami sejenak. Beberapa saat kemudian, kami melanjutkan langkah kami.
Saat kami berbincang-bincang
ringan, kami akhirnya tiba di stasiun.
“Oh, kita sudah sampai di
stasiun.”
“Meskipun kita mengambil jalan memutar,
kita sampai lebih cepat ya.”
“Fufu, benar juga.”
Nene-chan tersenyum saat
mendengar kata-kataku.
“Kalau begitu, Nene-chan,
sampai jumpa lagi.”
“Sampai jumpa lagi, Kakak ipar.”
Nene-chan melambaikan tangan
saat dia masuk melalui gerbang tiket stasiun.
Ketika aku melihat punggungnya,
tiba-tiba aku merasa ingin mengejarnya dan mengulurkan tangan.
Namun, tentu saja tanganku
hanya menggelayut di udara.
Aku menarik kembali tangan yang
mulai tidak nyaman dan memutuskan untuk pulang ke rumah.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya