Penerjemah: Maomao
BAB 1 — Masa
Kini, di Bulan Juni: Dengan Satu Dorongan, Dalam Satu Pikiran
Miyu menatap cermin, merapikan
poni dan memeriksa apakah riasannya berantakan. Sebuah ritual di waktu
istirahat yang selalu ia lakukan. Seperti biasa, aku hanya bisa kagum karena ia
tidak pernah bosan melakukannya.
“Kupikir aku akan punya pacar
setelah masuk SMA. Tapi, sadar-sadar sudah Juni di tahun kedua SMA, sungguh.”
Meskipun riasan Miyu tergolong
tebal, ia tidak terkesan berlebihan dan ia selalu berhasil terlihat sangat
menggemaskan setiap hari. Sungguh mengagumkan.
Aku merasa mungkin jika
riasannya sedikit lebih tipis, ia akan lebih disukai oleh para pria, tapi Miyu
bukan tipe yang berdandan demi pria, ia berdandan tebal karena itulah yang ia
ingin lakukan.
Keterusterangan seperti itulah
yang membuat Miyu, yang akrab dipanggil “Miyu-chan” oleh semua orang, menjadi
populer di kalangan pria maupun wanita. Dan ia memang banyak dikagumi.
“Miyu pasti punya standar yang
tinggi, kan? Kamu kan sering ditembak. Kenapa tidak memilih dari mereka?”
Aku bertanya dengan lesu sambil
berbaring di meja, hanya menghadapkan wajahku ke Miyu yang duduk di bangku
depan.
“Tidak mungkin lah. Aku tidak
bisa berpacaran dengan seseorang yang tidak aku suka.”
“――Kamu itu sebenarnya cukup
polos, ya? Eh, apa jangan-jangan sekarang kamu suka sama seseorang?”
“Tidak ada!”
“Kalau begitu, memang tidak mungkin
kamu punya pacar, kan?”
Saat aku dengan kejam
menyampaikan kenyataan itu, Miyu mengerucutkan bibirnya.
“Dimana yah ada cowok ganteng
yang baik hati, penuh pengertian, dan dewasa!? Tidak ada gunanya didekati oleh
orang lain selain itu!”
“……Haa.”
Melihat Miyu yang berteriak
tentang kriteria yang agak sulit ditemukan di kalangan siswa SMA pria, aku
hanya bisa tersenyum getir.
“Itu sindiran buat aku yang jarang
didekati, ya, Miyu-san?”
“Eh, tapi kan baru-baru ini,
kamu sempat dapat nomor telepon dari seorang cowok yang tidak kamu kenal, di
toko yang dijalankan keluargamu itu.”
“Uh...? Ah, iya, sepertinya
begitu.”
Saat ini, aku tinggal di rumah
bibiku yang mengelola toko roti di lantai dasar.
Bibiku bernama Natsumi, dan aku
biasa memanggilnya Nat-chan.
Memang, saat aku membantu
Nat-chan di toko, ada seorang pelanggan yang kelihatannya mahasiswa
memberikanku selembar kertas yang tertulis nomor kontaknya.
Sepertinya, aku pernah menceritakan
hal itu kepada Miyu.
Sampai Miyu mengatakannya, aku
sudah melupakan kejadian itu.
“――Ah, memang benar. Tidak ada
gunanya didekati oleh seseorang yang tidak kita minati. Aku mengerti apa yang
Miyu katakan.”
“Benar, kan? Ai juga pasti punya
standar yang tinggi, kan?”
“Haha……”
Aku hanya tersenyum samar
mendengar kata-kata Miyu.
Bukan soal memiliki standar
yang tinggi... Aku ini, sepertinya bukan tipe yang cocok dengan cinta.
――Mungkin,
aku tidak akan pernah benar-benar terlibat dalam cinta dengan seluruh hati dan
jiwa.
Bukan hanya cinta, mungkin juga
untuk semua hal lainnya.
“Ah, ngomong-ngomong, Ai.”
“Hm?”
“Study tour... kamu mau
bagaimana?”
Miyu bertanya dengan wajah yang
sedikit cemas.
Tujuan study tour yang direncanakan
bulan Juli adalah――Osaka.
Dan baik perjalanan pergi
maupun pulang akan menggunakan shinkansen.
Miyu adalah sahabatku sejak
sekolah dasar. Tentu saja, dia tahu apa masa lalu yang aku pikul.
Mungkin, tidak ada orang di
sekolah ini yang tidak tahu tentang keadaanku.
Ada beberapa teman sekelas dari
sekolah dasar selain Miyu, dan namaku mungkin sedikit lebih terkenal
dibandingkan siswi SMA biasa.
Ketika terjadi kecelakaan itu,
aku adalah satu-satunya yang selamat, “gadis keajaiban”― begitulah media
memperkenalkan keberadaanku dengan penuh semangat.
Tentu saja, aku tidak pernah
menginginkan hal itu, tapi aku yang masih anak-anak saat itu, tidak bisa
menolaknya secara terang-terangan.
――Satu-satunya
yang selamat adalah seorang gadis di kelas lima SD. Orang tuanya meninggal
dalam kecelakaan itu, tapi gadis itu berjuang keras untuk hidup.
Cerita inspiratif seperti itu
sangat disukai oleh masyarakat umum.
Nah, belakangan ini sudah
jarang ada wartawan yang berkeliling di sekitarku. Bahkan, kalau ada yang
datang, Nat-chan akan mengusir mereka.
――Jadi,
mungkin semua orang di sekolah tahu bahwa aku ini adalah “Gadis Keajaiban”.
Bisa kubayangkan dengan mudah
bagaimana teman-teman sekelas di SD dan SMP berbicara tentangku di belakang,
“Yoshizaki-san itu, dia adalah gadis keajaiban yang terkenal itu kan?”
Aku sering melihat mereka
berbisik-bisik “Itu dia, anak yang selamat dari kecelakaan itu!” sambil melirik
ke arahku, dan banyak orang yang melihatku dengan pandangan simpati saat
berbicara denganku.
Sampai SMP, ada kalanya aku
mendengar kata-kata sinis seperti “Cih, sok berpura-pura sebagai heroin
tragedi!”.
Di masa SD dan awal-awal SMP,
aku sering murung karena shock dari kecelakaan itu, sampai-sampai aku tidak
bisa berbicara dengan teman-temanku dengan gembira seperti sebelum kecelakaan
terjadi.
Mungkin sikapku yang seperti
itu terlihat menyebalkan bagi anak-anak lain.
Tapi, setelah masuk SMA,
sepertinya semua orang tidak peduli dengan hal itu, dan tidak ada lagi yang
berkata apa-apa padaku.
Mungkin juga karena aku tidak
ingin mendengar sindiran lagi, jadi sejak masuk SMA, aku berpura-pura
seolah-olah kecelakaan itu tidak pernah terjadi.
――Setidaknya
untuk di permukaan.
“Hmm... aku masih
memikirkannya.”
“Begitu ya?”
“Sensei juga bilang boleh
memikirkannya sampai mepet. Nat-chan juga bilang tidak perlu khawatir tentang
uang, katanya boleh memutuskan sampai detik terakhir.”
Baik Osaka maupun shinkansen,
aku tidak pernah berhubungan lagi sejak kecelakaan itu.
Sudah enam tahun berlalu, dan
ingatanku tentang itu sudah mulai kabur.
Aku tidak yakin bagaimana
reaksiku jika dihadapkan dengan sesuatu yang berkaitan dengan kecelakaan itu.
Makanya aku ragu-ragu.
Aku mempertimbangkan
kemungkinan panik, jadi aku berpikir mungkin lebih baik jika aku membatalkan
keikutsertaanku.
Tapi, jika aku tidak jadi ikut
study tour, aku khawatir nanti malah menjadi bahan pembicaraan di kelas.
Sudah cukup sering aku mendapat
pandangan aneh, aku tidak ingin menjadi pusat perhatian lebih dari ini.
“Yah, aku sih pengennya pergi
study tour bareng Ai... Tapi, jangan memaksakan diri ya.”
“――Iya.”
Miyu mungkin terlihat mencolok,
tapi dia sebenarnya baik hati.
Dia berteman denganku tanpa ada
perubahan meskipun sebelum dan sesudah kecelakaan.
――Padahal, bagian dalam diriku
sudah berubah drastis, seolah-olah aku menjadi orang lain setelah kecelakaan
itu.
☆☆☆
“Aku pulang―”
Ketika aku membuka pintu masuk,
bel di atas pintu berdering dengan suara ‘kring-kring’,
sementara aroma roti yang harum langsung menusuk hidungku.
“Selamat datang―”
Nat-chan melambaikan tangannya
dengan penuh semangat dari balik meja kasir.
Mungkin karena masih sebelum
jam empat sore, tidak ada pelanggan di dalam toko.
Kalau sudah agak malam,
biasanya akan ada antrian di depan kasir.
Nat-chan, yang lulus dari
sekolah khusus pembuatan roti dan magang di toko roti selama dua tahun, membuka
toko rotinya sendiri saat usia 22 tahun.
――Itu
sebelum kecelakaan terjadi.
Sekarang dia sudah berusia 29
tahun. Nat-chan yang selalu ceria dan menggemaskan ini lebih muda sekitar
sepuluh tahun dari ibuku.
Sejak aku masih kecil, dia
sudah menyayangiku seperti kakak kandung.
Dan saat hari pemakaman orang
tuaku, ketika aku diperlakukan seperti beban oleh kerabat, Nat-chan
melindungiku dan dengan tegas mengatakan, “Aku yang akan mengurusnya!”
Saat itu, ada kerabat yang
mengatakan hal buruk seperti “Pasti dia membelanya karena ingin uang asuransi
doang!” kepada Nat-chan.
Meski aku masih anak-anak kelas
lima SD, aku berpikir, tidak seharusnya mereka bicara seperti itu di depanku.
Tapi, Nat-chan dengan
bersemangat menjawab, “Betul sekali! Karena uang asuransi itu diperlukan agar
anak ini bisa hidup bahagia! Aku akan mengambilnya tanpa sungkan!”
Penjualan toko rotinya sedang
laris, jadi sepertinya tidak ada rencana untuk menggunakan uang asuransi itu
untuk saat ini.
Aku ingat Nat-chan pernah
mengatakan, “Suatu hari nanti, kalau Ai menikah dan membangun keluarga baru,
aku berencana memberikan uang yang ditinggalkan ayah dan ibumu.”
――Itu membuatku senang, tapi
kemungkinan besar kesempatan hari itu tidak akan datang, dan perasaan
bersalahku atas hal itu tidak bisa kukatakan kepada Nat-chan.
☆☆☆
“Nanti bisa bantu toko lagi?”
Nat-chan bertanya dengan senyum
yang ramah.
Aku hampir setiap hari membantu
toko, terutama di kasir dan menata roti di rak.
Ya, tentu saja, aku berhutang
budi kepadanya.
“―Iya. Ah, tapi setelah selesai
mengerjakan PR boleh?”
“Boleh. Bisa mulai bantu
sekitar jam lima sore? Soalnya nanti banyak pelanggan.”
“Oke.”
Aku menjawab sambil tersenyum
kembali pada Nat-chan.
Lalu Nat-chan melihatkan
senyumnya, tapi matanya terlihat sedikit serius.
“......Ah, apa kamu sudah siap
untuk besok?”
―Besok adalah tanggal 11 Juni.
Enam tahun sejak kecelakaan itu, yang dimana itu terjadi di tanggal 11 Juni.
Ini akan menjadi peringatan
ketujuh untuk orang tuaku.
Setiap tahun, keluarga korban
berkumpul di lokasi kecelakaan dan mengadakan pertemuan untuk mendoakan roh
para korban.
Sebagai anak yang kehilangan
orang tuanya, tentu saja aku juga selalu hadir.
“Iya, aku siap.”
Aku menatap mata Nat-chan dan
mengatakan dengan tenang. Nat-chan hanya mengangguk dengan ekspresi lega,
“Begitu ya?”
Lalu, aku masuk ke area tempat
tidur melalui pintu di belakang kasir, berjalan di koridor, menaiki tangga, dan
masuk ke kamarku.
Meskipun aku berencana untuk
segera mengerjakan PR, begitu masuk ke kamarku, aku merasa lelah seketika dan
tanpa sadar terjun ke tempat tidur.
Kemudian aku berbaring
telentang dan menatap langit-langit dengan pandangan kosong.
――Pada hari itu, tiba-tiba ayah
dan ibu pergi untuk selamanya.
Padahal setiap hari sebelumnya
penuh kebahagiaan dan kesenangan... tanpa ada tanda-tanda, semuanya hancur
berkeping-keping.
Dari hari itu, besok genap enam
tahun.
Aku telah menjadi apatis
terhadap segala hal, tidak memiliki gairah untuk apa pun, dan menjalani
hari-hari dengan pikiran yang melayang-layang.
Tidak ada lagi ayah dan ibu
yang akan merasa senang meski aku berusaha keras dalam olahraga, belajar, atau
apapun itu.
Aku pikir Nat-chan akan senang,
tapi dia juga mungkin tiba-tiba akan pergi.
Apa gunanya bersemangat dalam
sesuatu?
―Atau
jatuh cinta pada seseorang.
Suatu hari itu mungkin saja
menjadi tidak berarti lagi.
Aku telah melihat banyak orang
yang kehilangan keluarga mereka yang dicintai karena kecelakaan itu.
Ada beberapa keluarga yang
kehilangan semua anggota keluarganya.
Orang-orang yang kehilangan
kekasih yang hampir menikah, menangis tersedu-sedu.
Orang tua yang kehilangan anak
laki-laki mereka yang masih sekolah dasar, yang sedang dalam perjalanan
sendirian untuk mengunjungi keluarga sepupu mereka.
Kecelakaan pada hari itu
menghancurkan kebahagiaan yang telah dibangun tanpa ada peringatan apa pun,
dalam sekejap, dengan kejam.
―Hal seperti itu mungkin
terjadi lagi suatu hari nanti.
Mungkin dalam waktu dekat. Atau
mungkin besok. Atau mungkin dalam beberapa detik lagi.
Itulah sebabnya, aku hanya menjalani
hari-hari dengan monoton.
Hidup dengan biasa-biasa saja,
tanpa kelebihan dan kekurangan, aku menjadi seperti itu secara alami.
Aku tidak lagi melakukan renang
yang dulu sangat kusukai sejak kecelakaan itu.
Bahkan di kelas, aku menolak
untuk berpartisipasi. Tidak mungkin aku bisa termotivasi.
Beberapa waktu setelah
kecelakaan itu, ketika hatiku sedikit tenang, aku pernah berpikir bahwa mungkin
ayah dan ibu sedang memperhatikan dari surga, jadi aku harus berusaha hidup dan
mencoba berenang dengan sepenuh hati lagi.
Tapi, tidak peduli seberapa
keras aku berusaha, tidak peduli seberapa baik hasil yang aku dapat di
kompetisi, ayah dan ibu yang akan senang untukku, tidak ada di sisiku.
Mungkin tidak ada surga. Bahkan
jika ada, jika tidak ada di sisiku, itu tidak memiliki arti sama sekali.
Dengan pemikiran seperti itu,
aku tidak bisa memulai kembali renang, dan perlahan-lahan aku mulai menyerah
pada segalanya.
Dan saat aku mulai menyerah,
aku menemukan bahwa cukup mudah untuk terlihat bahagia dan bersenang-senang
dengan teman-teman di permukaan, berbincang dan bermain bersama.
Karena, aku tidak perlu merasa
senang atau sedih terhadap setiap kejadian yang terjadi. Hanya dengan mengikuti
arus situasi di sekitar, itu membuatnya lebih mudah.
Sekitar waktu aku duduk di
kelas dua SMP, aku mulai menghabiskan hari-hariku tanpa makna seperti itu.
Kadang-kadang, aku merasa
seolah tidak ada arti untuk hidup dan ingin menghilang, tapi aku tidak memiliki
motivasi atau keberanian untuk melakukan bunuh diri.
Aku berpikir bunuh diri akan membuat
Nat-chan merasa bersalah.
Tapi aku――tidak masalah kapan
pun aku mati. Aku seharusnya sudah mati enam tahun yang lalu.
Itulah sebabnya aku menjadi
seperti cangkang kosong, menjalani hari-hari yang tak berwarna.
Kadang aku berpikir, alangkah
baiknya jika ada orang asing yang datang dan menusukku dengan pisau.
Tapi aku tidak ingin merasakan
sakit, jadi sebaiknya langsung ke jantung. Dengan sekali tusukan.
―Ya,
jika bisa, aku ingin mati secepatnya.
☆☆☆
Keesokan harinya, saat aku
terbangun, pipiku basah oleh air mata. Aku merasa baru saja bermimpi, tapi aku
tidak ingat mimpinya.
“―Lagi?” pikirku.
Kadang-kadang, aku mengalami
hal seperti ini. Aku tahu itu mungkin mimpi tentang kecelakaan itu.
Mimpi tentang waktu yang tidak
aku ingat, dari tepat setelah kecelakaan sampai aku terbangun di tempat tidur
rumah sakit.
Aku melihat ke ponsel di
samping bantal dan itu lima menit sebelum alarm yang kusetel seharusnya
berbunyi.
Aku mematikan alarm dan mencoba
bangun.
―Namun.
Pada saat itu, kepalaku terasa
pusing dan aku merasa vertigo. Aku juga merasakan kedinginan dan tenggorokanku
sakit.
Aku mengetuk layar ponselku dan
mengirim pesan kepada Nat-chan dengan tangan yang bergetar, “Sepertinya aku
kena flu.”
Lalu, dengan langkah cepat,
Nat-chan langsung masuk ke kamar dengan membawa termometer.
Dengan raut wajah yang sangat
khawatir, Nat-chan bertanya padaku.
“Flu!? Kamu baik-baik saja!?”
“Umm... aku merasa kedinginan
dan sakit kepala. Tapi aku tidak mual kok.”
“Ayo kita ukur suhu badanmu!”
Aku menerima termometer dari
Nat-chan dan mengapitkannya di bawah ketiak. Setelah bunyi bip elektronik,
angka yang muncul di layar adalah...
“―Aduh. 38,1°.”
Aku berkata sambil tersenyum
pahit.
“Tidak, kamu tidak boleh pergi
ke pertemuan peringatan hari ini. Kamu harus istirahat.”
“......Iya.”
Aku merasa bersalah kepada ayah
dan ibu, tapi dengan demam tinggi seperti ini, tidak mungkin bagiku untuk
bertemu orang lain. Aku menyetujui dengan suara lemah.
“Aku akan merawatmu, dan juga
aku tidak akan pergi ke pertemuan peringatan itu. Apa mau pergi ke dokter saja?
Kamu bisa makan sesuatu?”
“Eh, tidak perlu, kamu tidak
harus melakukan itu. Kamu pergi saja kesana!”
Nat-chan juga pasti ingin
memberi penghormatan untuk kakak perempuannya, yaitu ibuku. Lagipula, aku tidak
merasa sakit yang cukup parah sampai perlu dirawat. Pasti, setelah sehari
istirahat, aku akan merasa lebih baik.
Sebenarnya, kemarin cuaca cukup
dingin untuk musim ini, dan sementara aku sedang berpikiran kosong tentang
pertemuan peringatan hari ini setelah mandi, aku tertidur tanpa selimut.
Pasti itu penyebab flu yang
umum, jadi tidak perlu terlalu khawatir.
“Tapi... aku khawatir tentang
kamu, Ai.”
“Aku benar-benar baik-baik saja
kok. Aku tidak sampai tidak bisa bergerak. ―Kalau kami berdua tidak pergi, ayah
dan ibu pasti akan khawatir.”
Ketika aku berkata demikian,
Nat-chan diam sejenak sebelum mengangguk dengan ekspresi serius.
“―Itu benar juga. Kalau begitu,
aku akan pergi. Tapi jika ada apa-apa, kamu harus segera menghubungi aku, oke?”
“Iya. Tolong sampaikan salamku
kepada ayah dan ibu.”
“Baiklah.”
Nat-chan tersenyum dengan
senyumnya yang biasa yang ramah.
Lalu dia mengatakan, “Ada
yogurt dan jeli di kulkas. Ada juga apel di lemari. Kalau kamu bisa makan,
jangan lupa dimakan.” sebelum meninggalkan kamarku.
Dari luar, aku bisa mendengar
suara mesin mobil yang ringan. Sepertinya Nat-chan sudah berangkat.
Setelah itu, mungkin karena
demam, aku segera mengantuk lagi.
☆☆☆
――Dan saat aku menyadarinya
lagi, air mata sekali lagi mengalir dari sudut mataku. Tentu saja, aku tidak
ingat isi mimpinya.
Di antara waktu itu, aku sempat
makan sedikit jeli yang ada di kulkas, tapi aku lemas sepanjang hari,
berganti-ganti antara tidur dan terjaga.
Dan setiap kali aku bangun, aku
menemukan air mata. Frekuensinya terlalu sering. Mungkin karena hari ini adalah
peringatan ketujuh.
Aku bertanya-tanya, apa yang
aku lakukan dalam mimpi yang tidak kuingat itu, dan tentang apa aku bisa
menangis.
Aku sudah beberapa kali
merasakan pertanyaan seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku segera
setelah kecelakaan itu.
Aku benar-benar ingin tahu, dan
pernah berusaha keras dengan seluruh kemampuanku untuk menghidupkan kembali
kenangan itu, tapi aku tidak bisa mengingat apapun dan semuanya berakhir
sia-sia.
Toh, bahkan kenangan tentang
saat kecelakaan yang masih aku ingat pun kabur, terlalu tidak nyata.
Dalam keadaan seperti itu,
tidak mungkin aku bisa mengingat apa yang telah hilang dari ingatanku.
Mungkin, kalau aku menciptakan
kembali situasi yang sama dengan saat kecelakaan, aku bisa mengingat sesuatu.
Ya, kalau aku naik shinkansen
lagi.
Tapi, aku tidak pernah memiliki
keberanian untuk naik kembali “shinkansen” yang telah mengambil nyawa ayah dan
ibu.
Aku bahkan tidak tahu apakah
kenangan yang hilang itu bernilai cukup untuk diusahakan kembali.
Dokter dan komite penyelidikan
kecelakaan pernah mengatakan padaku, “Mungkin karena itu adalah peristiwa yang
sangat traumatis, insting pertahanan manusia membuatmu melupakan ingatan itu.”
Mungkin itu benar. Mungkin aku
melihat mayat orang tuaku dalam keadaan mengenaskan, atau melihat orang-orang
yang masih hidup setelah kecelakaan itu meninggal di depan mataku.
Jika itu memang kenanganku, aku
juga tidak ingin mengingatnya.
――Tapi.
Terkadang aku merasa seperti
aku telah melupakan sesuatu yang sangat penting... entah kenapa, aku memiliki
perasaan seperti itu.
Namun, aku yang menderita
sindrom apati dan menjadi seperti cangkang kosong ini, akhirnya berpikir “ah,
sudahlah.” dan tidak lagi peduli sampai aku bermimpi tentang itu lagi.
――Berapa kali sudah aku mengulangi
hal ini selama enam tahun?
――Meskipun aku menghabiskan
hari itu dengan tidur lalu menangis dan terbangun, tidur dan menangis lagi,
pada sore hari, demamku tiba-tiba mereda dan sakit kepalaku pun mereda.
Saat kondisiku mulai membaik
dan aku terbaring di sofa ruang tamu, Nat-chan pulang.
“Selamat datang, Nat-chan.”
“Loh kamu tidak tidur di kamar?
apa kamu baik-baik saja?”
Sambil menurunkan tas belanjaan
ke lantai, dia menatap wajahku dengan seksama.
Mungkin dia membeli bahan
makanan untuk membuat sesuatu yang bisa aku makan meskipun aku sedang flu.
“Iya, aku sudah hampir sembuh.”
Aku menjawab sambil tersenyum
sedikit dan masih terbaring.
“Benarkah? Syukurlah. Aku akan
membuatkan bubur ya.”
“Terima kasih. ―Bagaimana
pertemuan peringatan itu?”
Ketika aku bertanya, Nat-chan
yang telah masuk ke dapur dan memegang panci menjawab,
“Iya. Alurnya kurang lebih sama
seperti tahun lalu. Ada biksu yang melantunkan sutra dan kita melepaskan
lampion ke sungai dekat sana. ...Kamu ingin ikut?”
“――Tidak.”
Jika aku pergi, bukan berarti ayah
atau ibu akan ada di sana.
Sebagai satu-satunya yang
selamat, aku hanya akan diwawancarai atau dikejar-kejar kamera tanpa alasan,
membuat acara itu tidak nyaman.
Aku mengerti bahwa sebagai
keluarga korban, kehadiranku diharapkan, tapi sebenarnya, aku tidak ingin
pergi.
“......Ah, tapi sebenarnya...”
Nat-chan terlihat seperti
teringat sesuatu.
“Hm?”
“Orangnya, sepertinya lebih
sedikit dari tahun lalu. Tahun demi tahun jumlahnya semakin berkurang.”
“Begitu ya?”
Sudah enam tahun sejak
kecelakaan itu. Relatif wajar jika keluarga korban yang hadir pada peringatan
pertama mulai kurang hadir pada peringatan ketujuh. Semua orang punya kehidupan
sehari-hari mereka sendiri.
――Ya,
sudah enam tahun berlalu.
Bagi banyak orang, itu sudah
menjadi peristiwa masa lalu. Di antara keluarga korban, pasti ada yang telah
memutuskan untuk melanjutkan hidup mereka sehari-hari.
Sedangkan aku, bagaimana dengan
hatiku?
Sejak hari itu, waktuku seolah-olah
berhenti dalam kebekuan.