Epilog
Keseharian yang normal dan damai
telah kembali seperti semula.
Di pagi hari, aku memikirkan
hal demikian sambil menyantap bekal yang dibuat oleh Nene-chan.
Meskipun seharusnya sudah
banyak yang berubah sejak hari itu, tapi aku tersenyum getir melihat hal ini
menjadi kebiasaan tanpa disadari.
Nene-chan berada di sampingku
dan memperhatikanku yang sedang makan.
Namun, ada yang berbeda dari
biasanya.
“Apa kamu begitu menyukainya
sampai-sampai terus memeluknya sepanjang waktu?”
“Yeah, aku merasa tenang saat memeluknya
karena dia begitu besar dan hangat. Apa aku enggak boleh jika aku terus
memeluknya?”
“Tidak juga, kamu bebas melakukan
apa yang kamu suka, Nene-chan.”
Aku dengan mudah memaafkannya
setelah dia memandangku dengan mata merahnya.
Melihatnya memeluk dengan penuh
perhatian membuatku tersenyum.
“Baiklah, aku akan melakukannya.
Terima kasih telah mengambil boneka ini untukku.”
Nene-chan berkata demikian
sambil memeluk boneka 'Dekakawa' dan
menggosokkan pipinya ke boneka itu.
Aku melihat sisi feminim yang
lucu dari Nene-chan yang biasanya bertingkah seperti orang dewasa.
Boneka ini adalah hadiah yang
aku menangkan dari permainan mesin capit saat Nene-chan berhenti datang ke
rumahku, dan hari ini akhirnya aku memberikannya padanya.
Dia terus bertingkah seperti
ini sejak aku memberikannya.
“Kamu berhasil mengambilnya
dengan baik, Arata-san. Pasti sulit untuk mendapatkannya, ‘kan?”
“Yah, tidak peduli berapa kali
aku mencobanya, koinnya langsung masuk dan hilang begitu saja, tapi kebetulan
ada anak laki-laki baik hati yang memberiku petunjuk sehingga aku bisa
mengambilnya. Aku merasa tidak akan bisa mengambilnya sendiri.”
“Oh, rupanya ada orang yang baik
juga ya.”
Kalau dipikir-pikir, aku lupa
menanyakan nama anak laki-laki itu.
Mungkin aku bisa bertemu lagi
jika pergi ke pusat permainan.
“Karena aku sudah menemukan
triknya, mari pergi ke pusat permainan lagi. Aku akan mengambil boneka baru
untukmu.”
“Kamu yakin?”
“Tentu saja, karena kita sudah
berjanji untuk pergi bersama-sama lagi, ‘kan?”
“Terima kasih, Arata-san.”
Nene-chan terlihat gembira
seakan-akan dia sudah memikirkan apa yang akan diambilnya.
Aku sedikit menyesal telah
berbicara begitu sombong hanya setelah mengambil sekali.
Tapi, jika aku mengikuti
petunjuk anak laki-laki itu, seharusnya aku bisa mengambilnya dengan baik lagi
nanti.
Setelah percakapan berhenti,
suasana hening yang menyenangkan pun terjadi. Beberapa saat kemudian, Nene-chan
melihat sekeliling ruangan.
“Di rumah ini, ada banyak hal yang
sudah bertambah, ya?”
“Yeah, benar juga.”
Aku juga melihat sekeliling
ruangan setelah dikatakan begitu. Dari kamar yang sederhana dan hanya untuk
tidur, sedikit demi sedikit barang-barang mulai bertambah. Celemek yang
tergantung di dapur, piring dan sumpit di lemari, manga yang aku pinjam dari
Nene-chan, botol selai, hingga botol shochu.
“Aku merasa seperti ada banyak
hawa keberadaan Arata-san mengalir di rumah ini daripada sebelumnya.”
“Yah, karena keberadaan Nene-chan,
aku bisa mengekspresikan diriku sedikit demi sedikit. Nene-chan yang membuat
rumah ini hidup, sehingga bisa dibilang kamu adalah jantung dari rumah ini,
mungkin?”
“Nene adalah jantung rumahnya
Arata-san...”
“Maaf, aku tiba-tiba mengatakan
sesuatu yang aneh.”
“Tidak, aku senang kok. Seperti
yang kuduga, Arata-san memang membutuhkan Nene, iya ‘kan?”
Senyum indahnya bak bidadari
itu telah menyelamatkanku berkali-kali.
Tanpa kusadari, keberadaan
Nene-chan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hariku.
Seriusan, aku selalu ditolong
oleh gadis ini.
“Terima kasih atas makanannya.”
“Sama-sama.”
Setelah menghabiskan bekal
makan siang, ada kesegaran dalam pertukaran kata yang biasa-biasa saja.
Begitu ya, rasanya memang
berbeda ya. Aku tersenyum kecil setelah menyadari alasannya.
“Apa ada yang salah?”
“Oh, aku merasa ini pertama
kalinya aku bisa mengatakan langsung kepada orang yang membuatnya. Terima kasih
selalu membuatkannya untukku, Nene-chan.”
Selama ini aku selalu berterima
kasih kepada ibu Nene-chan, tapi aku merasa senang karena hari ini akhirnya aku
bisa mengucapkannya langsung kepadanya.
“Eh, ah..... ya, jangan
khawatir. Jadi... masakan apa yang kamu inginkan besok?”
Karena aku memujinya secara
langsung, Nene-chan yang tersipu-sipu dengan wajah memerah segera mengalihkan
pembicaraan dengan canggung.
“Apa pun boleh.”
“Apa pun...”
Sial. “Apapun boleh” adalah kata-kata yang paling membuat koki kesulitan
ketika diucapkan kepada mereka.
“Enggak, bukan begitu maksudku.
Maksud dari apapun boleh artinya aku merasa semua masakannya terasa enak jika
dibuat oleh Nene-chan.”
“Kamu licik sekali, Arata-san.”
Nene-chan menggembungkan
pipinya dengan wajah cemberut.
Mungkin dia salah paham bahwa
aku sedang mengalihkan perhatiannya. Padahal masakan yang dibuat Nene-chan
benar-benar lezat.
“Kalau kamu sudah kepikiran
hidangan apa yang ingin dimakan, beri tahu aku ya. Aku akan membuatnya besok.”
“Yeah, aku akan memberitahumu
saat itu tiba.”
Hari itu kami bertukar nomor
kontak untuk pertama kalinya.
Meskipun kami sudah lama
bersama, tapi rasanya agak canggung bagi kami berdua karena baru saling
bertukar nomor telepon.
“Sudah waktunya aku berangkat
sekolah, Arata-san, tolong minta satu tegukan.”
“Silakan.”
Aku memberikan secangkir kopi
yang masih tersisa satu tegukan kepada Nene-chan.
“Fyuh, rasanya bikin mata
melek. Apa ini menggunakan biji dari kafe Nene?”
“Yeah, benar. Memangnya ada
yang berbeda, ya?”
“Entah mengapa rasanya lebih enak
daripada saat minum di kafe.”
“Hmm, sebenarnya aku tidak
melakukan apa pun yang khusus, sih.”
Mungkin cara menyeduhnya yang
berbeda. Aku tidak yakin apakah aku bisa menyeduh lebih enak daripada di kafe.
“Baiklah, kalau begitu Nene
pergi berangkat dulu, ya.”
Aku mengantar Nene-chan yang
berdiri dengan membawa tas sekolahnya hingga ke pintu depan.
Saat aku hendak mengucapkan “Selamat
jalan” kepada Nene-chan yang memakai sepatu pantofel, tiba-tiba pipi Nene-chan
menyentuh dadaku, lalu tangannya melingkari pinggangku dan dia memelukku erat-erat.
“Aku memang menyukai boneka,
tapi aku lebih menyukaimu, Arata-san.”
Kemudian, setelah melepaskan
pelukannya, Nene-chan berkata, “Aku pergi berangkat dulu” sambil melompat
keluar dari pintu dengan semangat.
Aku terdiam sejenak, tapi aku
berhasil mengucapkan “Selamat jalan” kepadanya.
Memang benar bahwa Nene-chan
telah berubah sejak pertama kali kami bertemu, dan aku merasa dia juga kembali berubah
sejak hari itu.
Seperti Nene-chan yang tumbuh,
aku juga harus tumbuh. Aku harus melakukan yang terbaik agar bisa berdiri di
depan Nene-chan sebagai orang dewasa yang keren.
Sebagai langkah pertama, aku
punya ide.
Ya, besok aku akan membuatkan
sarapan untuk Nene-chan.
Aku segera menghubungi
Nene-chan dan ponselku langsung bergetar. Aku memicingkan mata saat melihat
layar ponsel.
Saat aku memeriksa ponselku,
ada pesan balasan dari Nene-chan yang menampilkan, “Benarkah? Kalau begitu, aku ingin makan tamagoyaki!”.
Meskipun aku terkejut dengan
kecepatan balasannya, aku membayangkan bagaimana Nene-chan memakan tamagoyaki
dengan lahap, dan tanpa sadar merasakan kalau wajahku tersenyum secara alami
saat memikirkan keimutannya.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya