Bab 8
“Bu, tahun ini aku datang lebih
cepat.”
Aku berbicara dengan batu nisan sambil membersihkan sekitar kuburan.
Hari ini adalah hari peringatan
kematian ibuku.
Tepat tiga tahun sudah berlalu sejak ibuku meninggal.
Sampai saat ini, aku tidak
pernah bisa mengambil cuti kerja hanya karena hari itu adalah hari kematian
ibuku.
Namun, karena aku sudah memutuskan
untuk mengunjungi makam pada hari itu juga, jadi aku selalu datang pada malam
hari. Oleh karena itu, ini pertama kalinya aku bisa mengunjungi makam di siang
hari.
Selain itu, ada satu hal yang
menggangguku. Meskipun hanya aku satu-satunya kerabat ibu, tapi ketika aku
mengunjungi makamnya, entah mengapa selalu ada bunga yang ditaruh di atasnya.
Aku berasumsi bahwa bunga-bunga
itu masih segar dan baru saja diberikan pada hari itu.
Hal itu sudah berlangsung
selama dua tahun terakhir.
“Sepertinya aku lebih cepat
hari ini. Aku penasaran siapa orangnya, ya.”
Ibuku mungkin mempunyai teman
dekat juga, tapi aku sama sekali tidak tahu tentang hubungan pertemanannya.
Dan setiap kali aku datang,
bunga tertentu belum diletakkan.
Setelah membersihkan batu
nisan, memberikan dupa, dan meletakkan persembahan di atas meja.
“Lihat, ini tamagoyaki favorit
ibu. Tahun ini aku bisa membawanya dengan baik, bu.”
Persembahan hari ini adalah
tamagoyaki yang aku buat pagi ini. Aku membawanya dalam tupperware.
Tamagoyaki adalah hidangan
andalanku, resep yang diajarkan ibu sebelum dia meninggal.
Ketika aku masih kecil, aku
selalu membuatnya untuk ibu yang selalu pulang larut malam.
Pada awalnya, aku tidak pandai
membuatnya, dan hasilnya seperti telur orak-arik. Akhirnya, meskipun bentuknya
agak berantakan dan terkadang gosong, ibuku selalu memujiku.
Aku merasa sangat senang ketika
dipuji sehingga aku membuat begitu banyak tamagoyaki keesokan harinya hingga
meja seluruhnya tertutup tamagoyaki.
Ibuku bahkan tidak mengkritikku
karena hal itu, dan bahkan berkata, “Ini pesta tamagoyaki,” dan tersenyum
gembira.
Ketika aku mengatakan kepada
Nene-chan bahwa ini pertama kalinya bagiku, tapi maksudku itu adalah pertama
kalinya aku memberikannya kepada orang lain selain keluargaku.
Aku senang ketika Nene-chan
mengatakan bahwa masakan yang diajarkan ibuku sangat lezat.
“Tidak hanya tamagoyaki saja,
tapi sekarang aku bisa membuat berbagai macam makanan seperti nikujaga, daging
babi rebus, dan banyak lagi. Aku ingin ibu mencobanya juga.”
Aku ingin tahu apakah ibuku
akan memujiku jika aku memakannya.
Lalu aku teringat ketika memasak bersama Nene-chan.
Di belakangku, terdengar suara
pelan, seperti ada sesuatu yang menginjak ranting.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk
menyadari bahwa itu adalah langkah kaki seseorang.
“Arata-san.”
Tidak
mungkin, pikirku dan melihat ke belakang.
“Jadi, kamu sudah datang, ya.”
Ibu Nene-chan, Fujisaki Tomoko-san,
berdiri di sana dengan berpenampilan kimono dan memegang sebuket bunga.
Meskipun merasa sedikit kecewa
karena tidak sesuai dengan bayanganku, aku memberi hormat kepadanya.
“Ibu mertua, sudah lama tidak
bertemu."
“Wah, kamu masih memanggilku
ibu mertua, ya.”
“Maaf. Bukan ibu mertua, tapi
Tomoko-san, kan?”
Karena aku sering memanggilnya
ibu mertua dalam percakapan dengan Nene-chan, jadi aku secara refleks
memanggilnya begitu.
“Tidak apa-apa, aku merasa
senang Arata-san memanggilku ibu mertua. Tapi sekarang sudah berbeda ya…”
Aku tidak bisa menjawab apa
pun, dan Tomoko-san menatap ke arah kejauhan.
“Arata-san, sekali lagi aku minta
maaf. Keluarga Fujisaki sudah menyebabkan banyak masalah untukmu.”
Tomoko-san membungkuk dengan
tulus.
“Tomoko-san, tolong angkat
kepalamu. Aku sudah menerima permintaan maafmu sejak saat itu. Selain itu, aku
sudah menyelesaikannya melalui Seiji-san, jadi kamu tidak perlu meminta maaf
lagi.”
“Tapi aku sungguh-sungguh minta
maaf.”
Meskipun aku memberitahunya
bahwa aku tidak mempermasalahkannya, Tomoko-san masih tidak mengangkat wajahnya
untuk sementara waktu.
Mengapa keluarga Fujisaki
begitu banyak meminta maaf padaku selain Himeno-san?
Karena merasa tidak tahan
dengan situasi tersebut, aku memutuskan untuk mengubah suasana dengan bertanya.
“Apa jangan-jangan Tomoko-san
datang untuk mengunjungi makam ibuku?”
“Ya.”
Demi menanggapi pertanyaanku,
akhirnya Tomoko-san mengangkat wajahnya dan menjawab.
“Terima kasih. Namun, jika
dibiarkan begitu saja, bunga-bunga cantik ini akan layu. Bisakah Anda menempatkannya
di sana?”
“...Benar juga ya.”
Tomoko-san bergerak ke depan
batu nisan dan menempatkan bunga sebagai persembahan.
Setelah itu, dia menyalakan
kemenyan dan berdoa. Aku merasa gerakan Tomoko-san sangat cantik, mirip dengan
Nene-chan.
“Terima kasih. Kupikir ibuku
juga akan senang. Tapi aku tidak pernah tahu bahwa Tomoko-san akan datang
mengunjungi makam ibuku. Apa jangan-jangan sebelumnya juga berasal dari
Tomoko-san?”
Aku ingin memastikannya sekali
lagi.
“Ya, setelah mendengar tentang
ibu Arata-san, aku datang mengunjunginya setiap tahun.”
“Oh, begitu ya. Seharusnya kamu
memberitahuku.”
“Tidak, ini bukan sesuatu yang
perlu diberitahu juga. Lagipula, aku datang ke sini bukan untuk mendapatkan
terima kasih dari Arata-san, aku datang karena aku ingin berada di sini.”
Meskipun aku berpikir bahwa aku
bisa mengucapkan terima kasih jika dia memberitahuku, aku juga merasa setuju
dengan yang dikatakan Tomoko-san.
Aku sudah bercerita kepada Himeno
dan orangtuanya, Tomoko-san dan Seiji-san, tentang keadaan keluargaku sebelum kami
bertunangan.
Aku mengatakan bahwa aku
hanyalah anak haram, dan bahwa ibuku telah meninggal.
Meskipun sebelumnya Tomoko-san
pernah bertanya tentang lokasi makam ibuku, aku tidak pernah membayangkan bahwa
dirinya akan mengunjungi makam ibuku.
“Aku senang mendengarnya. Tapi
mengapa kamu datang ke makam ibuku? Bukannya ibuku dan Tomoko-san tidak saling
kenal?”
Itulah yang membuatku
penasaran.
“Meskipun kami tidak saling
kenal, karena dia adalah ibu dari Arata-san, sudah seharusnya aku memberikan
salam padanya, bukan?”
Dengan sangat alami, Tomoko-san
mengatakannya seolah-olah itu hal yang wajar.
“Apa iya...”
“Ya. Selain itu, karena ibu
dari Arata-san telah membesarkanmu menjadi orang yang baik, maka saya datang
setiap tahun untuk mengucapkan terima kasih.”
Tomoko-san melanjutkan sambil
menatap batu nisan makam ibuku.
“Tapi hari ini aku datang untuk
meminta maaf kepada ibumu. Aku minta maaf karena putriku telah menyakiti putra
kesayanganmu...”
“Tidak apa-apa. Ibuku tidak
akan marah atas hal seperti itu. Malahan dia mungkin akan merasa kesulitan jika
kamu terus-terusan minta maaf, Tomoko-san.”
“Begitu ya... Jadi kebaikan
Arata-san sepertinya diwarisi dari ibumu, ya?”
Tomoko-san menyeka air mata
yang menetes di sudut matanya dengan sapu tangan.
Aku menatap batu nisan sambil
berpikir, ‘Apak aku mirip dengan ibu?
Jika iya, aku merasa senang,’
“Dari tadi aku merasa penasaran,
apa Arata-san sendiri yang membuat tamagoyaki ini?”
“Ya, benar. Jika Tomoko-san
tidak keberatan, kamu boleh mencicipinya.”
Aku merasa lebih baik jika ada
orang yang memakannya daripada membiarkan persembahan itu begitu saja.
“Eh, apa boleh?”
Suasana yang begitu tegang
sebelumnya menjadi lebih santai dan Tomoko-san tersenyum cerah.
Sejak awal dia adalah orang
yang lembut seperti sinar matahari, mungkin dia merasa canggung selama ini.
Aku sudah menyiapkan sumpit
yang bisa dibelah untuk memakannya sendiri, jadi aku memberikannya kepada
Tomoko-san.. Kemudian Tomoko-san membawa tamagoyaki ke mulutnya.
“Tamagoyaki ini enak sekali.”
“Haha, terima kasih.”
Setelah satu suap, kata-kata pujian
langsung keluar.
Aku tanpa sadar tersenyum ketika melihat reaksinya yang sangat mirip dengan Nene-chan.
“Aku tidak keberatan jika
Tomoko-san memakan semuanya.”
“Benarkah? Terima kasih
banyak.”
Melihat Tomoko-san dengan
gembira memakan Tamagoyaki membuatku sadar bahwa mereka berdua memang ibu dan
anak.
Meski demikian, dia terlihat
seumuran denganku ketika aku melihatnya seperti ini.
Dia terlihat begitu muda dan
cantik sehingga sulit dipercaya bahwa dia adalah ibu dari dua anak perempuan.
“Terima kasih untuk
makanannya.”
“Tidak, sama-sama.”
Saat Tomoko-san selesai makan,
dia terlihat puas. Senang rasanya melihat orang lain menikmati makanan yang aku
buat.
“Arata-san tuh ternyata pandai
memasak ya, tingkat kematangan yang pas, kaldunya memiliki aroma yang halus,
dan rasanya tetap enak meskipun sudah dingin.”
“Tidak, tidak, aku masih tidak
seberapa dibandingkan dengan Tomoko-san.”
Tomoko-san terlihat kaget
ketika mendengar jawaban santaiku.
“Apa maksudnya itu...?”
“Ehmm, jadi, di dalam bekal
yang dibuat Tomoko-san untukku, ada tamagoyaki dengan daun bawang, ‘kan?
Rasanya begitu enak jadi aku harus lebih berusaha lagi.”
Aku menambahkan penjelasan,
bertanya-tanya apakah ceritaku sudah melenceng dan tidak dimengerti, tapi wajah
Tomoko-san yang mendengarkan justru menjadi semakin bingung.
“Bekal yang aku buat? Maaf, aku
sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Arata-san.”
Tomoko-san memiringkan kepalanya
dengan heran dan melanjutkan.
“Lagipula, aku tidak bisa memasak
sama sekali, tau.”
Mendengar hal yang sulit
dipercaya ini, aku spontan bertanya balik.
“... Apa itu benar?”
“Iya, aku sedikit malu untuk
mengatakannya. Aku agak kikuk menggunakan tanganku jadi aku tidak bisa
memasak.”
Apa maksudnya ini, aku masih
gagal memahaminya. Detak jantungku mulai berdetak semakin cepat.
“Begitu ya... Tomoko-san, ada
hal lain yang ingin aku tanyakan, jadi kalau kamu tidak keberatan, boleh aku
bertanya beberapa hal lagi?”
“Tentu saja, silakan.”
“Terima kasih.”
Setelah mendapat persetujuan,
aku akan memeriksa satu per satu.
“Apa Himeno-san bisa memasak?”
“Himeno, ya? Menurutku dia juga
tidak bisa memasak. Dia bahkan lebih buruk dalam memasak daripada aku... Dia
tidak hanya gagal, dia malah menciptakan sesuatu yang keterlaluan.”
Di masa lalu, Himeno-san sering
membuatkanku bekal makan siang buatan sendiri, tapi apa itu berarti bukan dia
sendiri yang membuatnya?
“Satu-satunya di keluarga kami yang
bisa memasak hanyalah Nene, dan biasanya sudah ada koki di rumah, jadi aku menyerahkan
urusan memasak kepada mereka.”
Ketika aku memiliki pertanyaan
di kepalaku, Tomoko-san mengambil inisiatif untuk menjawabnya.
Memang benar bahwa keluarga
Fujisaki, yang mengendalikan kelompok besar, memiliki juru masak sendiri dan
tidak memasak sendiri, jadi mungkin yang mereka cari dari pasangannya adalah
kualitas lain daripada memasak.
Aku ingin menanyakan satu hal
yang menarik dari pernyataan Tomoko-san.
“Nene-chan bisa memasak?”
“Ya, dia sangat pandai dalam
hal itu. Dia mendapat bimbingan dari kepala koki dan belajar memasak dari
neneknya. Selain itu, sejak dia masuk SMA, dia selalu membawa bekalnya
sendiri.”
Ternyata Nene-chan pandai dalam
memasak. Aku tidak menyadarinya karena dia selalu menyebut nama ibunya dan
bersikap seolah dia tidak biasa memasak.
Namun, sering kali ada banyak
adegan di mana dia memilih bahan-bahan di supermarket atau mengajariku cara
memasak tanpa melihat resepnya. Jadi, bukan karena dia telah menghafalnya, tetapi
karena tubuhnya mengingatnya.
“Jadi, Tomoko-san, kamu tidak
pernah menulis resep masakan?”
“Iya tidak pernah. Aku bahkan tidak
bisa memasak, jadi menulis resep adalah sesuatu yang tidak bisa aku
lakukan."
Aku memeriksanya hanya untuk
memastikan, tapi jawaban yang kuharapkan muncul kembali. Bisa mengikuti resep
dengan tepat saja sudah lumayan sulit, namun membuat resep membutuhkan
kemampuan yang lebih mahir.
Kalau dipikir-pikir lagi,
tulisan tangan di resep itu mirip dengan tulisan tangan di buku catatan belajar
Nene-chan.
Ada beberapa hal yang bisa aku
sadari jika aku memikirkannya dengan cermat.
“Apa yang sebenarnya ingin kamu
tanyakan kepadaku tadi, Arata-san? Tidak, aku mungkin bisa menebaknya sedikit...
Apa ada sesuatu yang terjadi, Arata-san? Tolong ceritakan kepadaku.”
Tomoko-san bertanya sambil
menatap lurus ke arah mataku.
Setelah menarik napas
dalam-dalam, aku memutuskan untuk menceritakan kepadanya apa yang terjadi
baru-baru ini.
“Tomoko-san, tolong jangan
marah dan dengarkan aku. Sehari setelah kejadian pernikahan, Nene-chan datang
ke rumahku sambil membawa bekal makan siang. Dan dia mengatakan bahwa itu dari
permintaanmu, Tomoko-san.”
“Wah, masa!”
Ekspresi Tomoko-san sangat
terkejut dan dia menutup mulutnya dengan tangan.
Tentu saja dirinya terkejut
karena namanya dicaplok tanpa sepengetahuannya.
“Keesokan harinya, tidak,
setiap hari setelah itu, dia datang ke rumahku dengan membawa kotak makan
siangnya.”
“Dasar gadis itu, kupikir ada
yang tidak beres dengan anak itu baru-baru ini, tapi dia malah menerobos masuk
ke rumahmu. Aku sekali lagi meminta maaf atas ketidaknyamanan yang disebabkan
oleh keluarga Fujisaki. Aku tidak tahu bagaimana harus meminta maaf kepadamu,
Arata-san. ...Aku akan memberitahu anak itu untuk tidak merepotkanmu lagi.”
“Tolong jangan memarahi
Nene-chan. Dan kamu juga tidak perlu meminta maaf padaku, Tomoko-san.”
Aku menenangkan Tomoko-san yang
kebingungan, dan melanjutkan.
“Pada awalnya, aku merasa
terganggu karena kupikir akan terasa canggung jika aku bertemu dengan keluarga
mantan tunanganku, dan aku tidak boleh menerimanya meskipun itu sebagai tanda
simpati karena kami sudah tidak menjalin hubungan. Tapi sekarang setelah
kupikir-pikir lagi, aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kejadian itu
tidak terjadi.”
Aku merenungkan kembali
hari-hari itu.
Rasa bento yang lembut dan
hati-hati, keseimbangan nutrisi, dan kehangatan orang-orang sangat membantuku
yang kelelahan.
Dan fakta bahwa Nene-chan
datang ke rumahku keesokan harinya, memang benar bahwa itu merupakan sumber
dukungan emosional yang besar.
“Aku akan sangat menghargainya
jika kamu berkata demikian.”
Tomoko-san mungkin mengerti
meskipun wajahnya masih terlihat cemas.
“Oh iya, Tomoko-san tidak
memintanya untuk mengambil fotoku karena ingin melihat keadaanku, kan?”
“Tidak, aku mungkin memang yang
memintanya."
Hah, jadi dia beneran yang
meminta fotoku, ya?
“Aku tidak tahu kalau yang
dimaksud alah Arata-san. Meskipun begitu, fufu, anjing hitam berukuran besar
yang terlihat menakutkan namun sebenarnya lembut dan lucu... persis seperti
yang dia katakan.”
“Uhmm, apa maksudnya?”
“Maaf, itu hanya pembicaraanku
saja.”
Tomoko-san tersenyum
seolah-olah mengingat sesuatu sambil meletakkan tangannya di bibirnya.
Aku ingin mendengarkannya lebih
dalam, tapi aku menundanya dan melanjutkan.
“Jadi, apa itu berarti
Tomoko-san juga tidak menyiapkan celemek untukku?”
“Celemek? Sebenarnya benda
apaan itu?”
“Maksudnya yang ini, apa kamu
mengenalinya?”
Ketika dia bertanya kepadaku,
aku menunjukkan foto di ponselku untuk mengonfirmasinya. Aku selalu berpikir
bahwa jika menerima sesuatu seperti bekal, aku harus mengucapkan terima kasih
kepadanya.
“Ara~ara~, jadi kalian berdua
memasak bersama? Sepertinya hubungan kalian terlihat sangat dekat ya.”
“Bukan begitu, ini… itu...”
Karena tidak ada foto celemek
sendiri, jadi aku hanya memiliki foto saat aku mengenakannya, dan sayangnya aku
menunjukkan foto selfie yang diambil oleh Nene kepada ibunya, Tomoko-san.
Aku buru-buru menyembunyikan
ponselku ke dalam saku.
Sungguh memalukan sekali, suhu
tubuhku meningkat dan keringat aneh mulai keluar.
Ngomong-ngomong, foto itu
sebenarnya dikirim oleh Nene-chan melalui Bluetooth.
Aku tidak bisa menolaknya karena
dia terus-menerus mengirimkannya kepadaku sampai aku menyetujuinya.
“Sayangnya aku tidak mengenali
celemek itu. Tapi setelah melihat foto itu, aku merasa lega melihat bahwa
Arata-san tidak marah.”
Tomoko-san mengelus dadanya
karena merasa lega.
Aku menyadari dari percakapan
kami sebelumnya bahwa Tomoko-san mungkin benar-benar tidak tahu apa-apa.
Aku menyadari bahwa itu semua
hanya ulah Nene-chan sendiri, jadi aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih
lanjut.
“Boleh aku bercerita sedikit?”
“Tentu saja, ada apa?”
Karena cuma aku yang terus
bertanya, kali ini aku memutuskan untuk mendengarkan cerita dari Tomoko-san.
“Aku ingin menceritakan tentang
Nene selama beberapa tahun terakhir.”
Aku penasaran tentang cerita
Nene-chan dari sudut pandang ibunya, Tomoko-san.
Tomoko-san lalu melanjutkan
ceritanya, mungkin karena dia menganggap keheninganku sebagai persetujuan.
“Nene telah menjadi sangat
lugas, dia mengejar apa yang ingin dia lakukan, dan mulai menolak hal-hal yang
tidak disukainya atau tidak ingin dia lakukan dengan memberikan alasan yang
tepat. Sebagai ibunya, itu adalah hal yang menggembirakan. Meskipun jika itu
berujung pada dia yang menerobos masuk ke dalam rumah Arata-san, itu adalah sesuatu
yang membuatku malu...”
“Tidak, jangan khawatir tentang
itu.”
“Terima kasih. Sebelumnya, aku
merasa sulit untuk melihat jati diri Nene yang sebenarnya karena sampai saat
ini dia cenderung menyesuaikan diri dengan orang lain tanpa terlalu menunjukkan
dirinya sendiri dan memenuhi harapan orang-orang di sekitarnya.”
Jadi Nene-chan sebelumnya
seperti itu?
Ketika menyajikan hidangan yang
gagal, dia selalu mengatakan dengan jujur bahwa itu tidak enak, dan bukan
sekadar merasa sungkan dengan orang lain, dia adalah gadis yang bisa
menyuarakan pendapatnya dengan memikirkan orang lain.
“Dia memutuskan untuk
melanjutkan pendidikan dari sekolah khusus perempuan yang telah dia ikuti sejak
SD hingga SMP ke SMA Amagamine, dia juga merubah penampilannya setelah masuk SMA,
dia mendapatkan lebih banyak teman baik, mencoba mandiri dengan memulai
pekerjaan paruh waktu, dan bahkan mulai belajar memasak. Dan yang terpenting,
dia mulai lebih banyak tersenyum.”
Tomoko-san tersenyum bahagia di
bawah sinar matahari yang menembus pepohonan.
“Kalau dipikir-pikir sekarang,
itu terjadi tiga tahun lalu. Arata-san, kupikir pertemuannya denganmu adalah
pemicu dari perubahan dalam diri Nene.”
Memangnya apa yang sudah
kulakukan untuk menjadi pemicu perubahan dalam diri Nene-chan?
“Dia benar-benar terlihat
bahagia akhir-akhir ini, itu karena dia bertemu denganmu, Arata-san. Tapi
beberapa hari terakhir ini dia terlihat kurang sehat, mungkin Nene tidak
mengunjungi rumahmu?”
“Ya, mungkin...”
“Begitu rupanya. Jadi, memang
begitulah yang terjadi.”
“Apa maksudmu, Tomoko-san?”
“Mohon maaf, tapi ini hanya
sekedar imajinasiku saja, jadi aku akan menahan diri untuk memberi informasi
yang tidak pasti kepadamu, Arata-san. Jika memungkinkan, silakan tanyakan
langsung kepada gadis itu.”
Kurasa itu ada benarnya juga.
Itu hanya apa yang dirasakan
Tomoko-san dan bukan yang dipikirkan Nene-chan, jadi akan salah jika membicarakannya
secara sembarangan.
Jika memang begitu, mengapa
Nene-chan datang ke rumahku?
Tanpa diminta oleh siapapun,
apa alasan dia membuat bekal makan siang dan datang ke rumahku setiap hari?
Dan apa alasan dia berhenti
datang?
Ketika aku memikirkan hal itu,
aku tiba-tiba sangat ingin bertemu dengan Nene-chan.
Aku ingin melihat wajahnya dan
mendengarkan ceritanya.
“Umm, Tomoko-san, apa Nene-chan
ada di rumah?”
“Tidak, tumben-tumbennya dia
bilang akan pergi keluar hari ini.”
Jadi dia pergi keluar ya, tapi karena
hari ini adalah hari libur, aku yakin bisa menemukannya jika aku mencarinya.
“Apa kamu akan pergi menemui
Nene?”
“Ya. Aku ingin bertemu dengannya
dan mendengarkan ceritanya, serta mengucapkan terima kasih kepada Nene-chan.
Kalau begitu aku akan permisi dulu.”
Aku mulai berlari tanpa
menanyakan informasi kontak Nene-chan kepada Tomoko-san.
Karena aku ingin bertemu
dengannya secepat mungkin.
Aku juga merasa bisa bertemu
dengannya meskipun tidak mengetahui informasi kontaknya.
Karena ini mengenai Nene-chan,
dia mungkin berada di tempat itu..
Karena hari ini adalah—
Saat aku turun dari stasiun,
matahari senja mewarnai langit dengan warna merah jingga. Perjalanan dari makam
ibuku ke tempat tujuan cukup jauh, dan membutuhkan waktu yang lama untuk
menempuh perjalanan dengan kereta api.
Apa
Nene-chan masih di sana? Mungkin dia sudah pulang meskipun aku pergi ke tempat
itu?
Karena tidak bisa menahan
keinginan, aku terus berlari sekuat tenaga setelah melintasi pintu keluar
stasiun.
Detak jantungku berpacu sangat
cepat karena aku terus-menerus berlari, cuaca panas karena waktunya sudah
memasuki musim panas membuat keringatku bercucuran.
Aku mendengar dengungan
jangkrik dari jauh. Padahal sekarang masih belum musim panas, tapi mungkin ada
beberapa yang keluar lebih awal.
Jangkrik itu mungkin tidak akan
pernah melihat jangkrik yang lain, dan mungkin hanya bernyanyi sendirian selama
sisa hidupnya.
Dan akhirnya, aku merasa lega
ketika melihat tujuan di depanku.
Di ujung pandanganku, rambut
hitam dan merah berkibar, memantulkan sinar matahari terbenam.
Dia juga tampak terkejut ketika
melihatku berlari ke arahnya.
Aku merasa lega, karena
sebelumnya aku khawatir dia akan lari begitu kami bertemu, tapi sepertinya aku tidak
perlu mengkhawatirkan itu.
“Nene-chan, ternyata kamu di
sini.”
Aku memanggilanya sambil
menghela nafas berat setelah sampai di depannya.
“Arata-san, kenapa kamu ada di
sini?”
“Karena hari ini adalah hari pertama
di mana aku dan Nene-chan bertemu.”
Tempat di mana aku dan
Nene-chan berada adalah jembatan tempat kami bertemu untuk pertama kalinya
setelah Nene-chan pulang dari tempat kerjanya.
Tempat ini merupakan tempat
pertama kali aku bertemu dengan Nene-chan.
Dan hari ini adalah hari
pertama kami bertemu, jadi kupikir mungkin dia akan berada di sini.
“Selain itu, kamu pernah bilang
sendiri bahwa kamu sangat menghargai tempat ini, ‘kan?”
Nene-chan pernah berkata bahwa
dia suka mampir dalam perjalanan pulang dan menikmati pemandangan di tempat ini.
Meskipun Nene-chan terlihat
bingung, aku tetap melanjutkan.
“Hari ini, aku bertemu dengan
ibu Nene-chan.”
“Begitu ya...”
Nene-chan dengan cepat memahami
situasi dari sikapku dan kata-kataku, dia lalu menundukkan kepalanya sambil
berbisik pelan.
“Jadi kamu sudah mendengar
semuanya ya?”
“Yeah, benar.”
“Jika memang begitu, lantas
mengapa kamu datang ke sini?”
Nene-chan menoleh ke arahku dengan
ekspresi wajah yang sangat menyakitkan.
Aku harus mengatakan sesuatu
pada Nene-chan.
“Aku ingin mengucapkan terima
kasih.”
“Kenapa? Padahal Nene selalu
berbohong kepada Arata-san, bukan?”
“Itu sama sekali tidak penting.
Semua yang Nene-chan lakukan untukku adalah nyata, dan meskipun itu semua
berawal dari kebohongan, tapi itu hanya masalah sepele. Itu sebabnya...”
────
Terima kasih.
Aku menundukkan kepalaku dan
mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Nene-chan.
“Tolong hentikan, Arata-san.
Nene bukanlah anak baik yang pantas menerima ucapan terima kasih. Justru Nene-lah
yang menjadi penyebab Arata-san tersakiti...”
Nene-chan sepertinya hampir
menangis saat dia mengucapkan kata-kata dengan penuh penyesalan.
“Ada satu hal yang kusesali.
Tiga tahun yang lalu, pada hari ini, seandainya saja Nene...”
“Berhenti, jangan bicara
seperti itu.”
Meskipun aku mencoba
menghentikannya, Nene-chan tetap melanjutkan.
“Seandainya saja Nene melompat dari
sini saat itu, mungkin Arata-san tidak akan terluka.”
Keheningan yang terasa
membuatnya seakan-akan waktu telah berhenti.
Kenangan dari hari itu kembali
memenuhi pikiranku.
Saat musim hujan telah berlalu
dan memasuki musim panas, di malam yang gelap dan panas.
Seorang gadis berdiri di atas
pagar jembatan.
Saat pertama kali aku
melihatnya, aku mengira kalau itu hantu atau semacamnya.
Karena jarak pandangku yang
begitu gelap, sosoknya yang berdiri di atas pagar seakan-akan melayang di
udara.
Itu adalah pemandangan yang
sangat tidak nyata.
Aku terpaku sejenak, tapi aku
akhirnya menyadari bahwa itu adalah sosok manusia dan aku mulai berlari ke
arahnya.
[Apa
yang sedang kamu lakukan!!]
Aku menarik tubuhnya yang sudah
tak bisa berdaya lagi.
Dan tanpa menjerit atau
melawan, dia hanya mengucapkan satu kalimat,
[Aku
ingin menghilang dari dunia ini.]
Dia mengucapkan kata-kata yang
memilukan.
Aku merasakan jantungku
berdegup kencang saat membayangkan apa yang mungkin terjadi sebelum kata-kata
itu keluar dari mulut gadis yang bahkan belum dewasa.
[Aku
mungkin tidak tahu apa-apa dan mungkin perkataanku terasa tidak bertanggung
jawab, tapi aku masih ingin kamu terus hidup]
Kemudian aku menghubungi polisi
untuk melindungi gadis itu.
Nene-chan tidak ingin berpisah
dariku, jadi aku tetap berbicara dengannya saat menunggu polisi datang dan
selama kami dipindahkan ke kantor polisi, bahkan sampai kedua orangtuanya
datang.
Dia tampaknya menjadi korban
pembullyan di sekolah.
Awalnya, masalah muncul ketika
ada dua kelompok teman dan dia harus memilih untuk bergabung dengan salah
satunya.
Perselisihan antar teman-teman
adalah hal biasa di SMP, tetapi karena sering terjadi, masalah ini menjadi
sangat rumit. Nene-chan memiliki teman baik di kedua kelompok tersebut sehingga
dia bermain dengan kedua kelompok, tetapi sikapnya tidak disukai oleh beberapa
orang, sehingga secara perlahan dia diasingkan dan tidak diizinkan bermain
dengan kedua kelompok tersebut.
Teman-teman yang dulunya dekat
dengannya juga takut diasingkan dari kelompok mereka sehingga mereka tidak mau
berhubungan dengan Nene-chan lagi. Selain diasingkan, dia juga mulai diperlakukan
dengan sangat buruk.
Dia terus menangis saat mencoba
bercerita, jadi aku tidak memaksanya untuk menceritakan lebih banyak.
“Pada hari itu, Nene
diselamatkan oleh Arata-san yang kebetulan lewat. Tapi hal tersebut membuatmu
jadi terlibat dengan keluarga Fujisaki dan... kejadian seperti itu terjadi.”
Awalnya, ada pembicaraan untuk
menjadikan Nene-chan sebagai tunanganku, tetapi karena usianya yang masih
sangat muda dan kondisi mentalnya yang belum stabil, jadi diputuskan bahwa aku akan
bertunangan dengan kakak perempuannya, Himeno-san.
“Seperti yang aku beritahu
kepada Yui-san, aku benar-benar ingin mendukung Arata-san yang menyelamatkan
Nene pada hari itu. Pada awalnya aku merasa takut ditolak….. jadi aku mencari
alasan untuk bertemu dengan Arata-san.”
Aku mendengarkan cerita Nene-chan
dengan diam.
“Pada awalnya, aku senang dan
bahagia bisa bertemu dengan Arata-san. Tapi perasaan bersalah semakin terasa
karena aku terus berbohong untuk bertemu denganmu. Aku ingin mengungkapkannya
suatu saat, tapi aku sangat takut ditolak sehingga aku bingung harus
bagaimana.”
Kata-kata Nene-chan menghilang
seakan-akan ditelan bumi.
Aku ingin menerima
pikiran-pikiran yang berputar-putar sesuai perasaannya tanpa konteks apa pun.
“Dan begitu aku menyadari bahwa
aku secara tidak langsung menjadi penyebab lukamu, aku jadi tidak tahu harus
bagaimana.”
Pada saat itu, Nene-chan
memberikan pengantar.
“Ketika aku mendengar dari
Yui-san bahwa dia mengajak Arata-san pergi ke Amerika, aku berpikir, jika kita
akan berpisah, maka sekaranglah waktunya. Dengan begitu, kebohongan Nene tidak
akan terbongkar, dan itu semua hanyalah demi melindungi diri sendiri. Aku
bukanlah gadis baik seperti yang dipikirkan Arata-san.”
Sekarang aku mengerti alasan
Nene-chan datang ke rumahku dan alasan dia berhenti datang.
“Kamu merasa kecewa, bukan?”
Dia bertanya padaku dengan
suara yang hampir menghilang. Salah. Nene-chan memiliki satu kesalahpahaman
besar.
“Tidak. Aku sama sekali tidak
merasa kecewa. Kadang-kadang hati seseorang berbohong dan tidak selalu logis,
karena aku juga seperti itu. Aku mengatakan pada hari itu bahwa aku ingin kamu
tetap hidup, bukan?”
“Yeah... kata-katamu sangat
berarti bagiku, jadi itulah sebabnya Nene berusaha keras, tau?”
“Aku senang mendengarnya. Tapi
aku merasa aneh mengucapkannya sendiri. Karena—”
Setelah jeda sejenak, aku pun berkata.
“Pada hari itu, aku juga berniat
untuk melompat dari sini.”
Tiga tahun yang lalu, hari ini.
Di kamar rumah sakit, aku hanya
memegang tangan yang sudah tidak kembali hangat.
[Bu...]
Di atas tempat tidur, ibuku terbaring
tanpa bergerak seolah-olah dia sedang tertidur.
Setelah semua beban yang dia
pikul, ibuku akhirnya berbaring di tempat tidur, menandakan akhir dari
hidupnya.
Apa itu sulit baginya, ataukah
menyenangkan? Melihat wajah ibuku yang tidur dengan tenang, aku merasa sedikit
mengerti jawabannya.
Ketika ibuku masih cukup kuat
untuk berbicara, dia pernah mengatakan sesuatu.
[Maaf
telah membuatmu kesulitan selama ini, mulai sekarang lakukanlah hal-hal yang kamu
sukai, Arata. Jadi kejarlah kebahagiaanmu...]
Aku menyayangi ibuku. Jadi, apa
yang kulakukan untuk ibuku adalah hal yang kusukai, namun mungkin ibu memiliki
pandangan yang berbeda.
Aku belajar dengan giat untuk kembali
ke rumah yang mengusir ibuku. Setelah ibuku terbaring di tempat tidur, aku
bekerja paruh waktu untuk menafkahi diriku sendiri dan membiayai pengobatannya.
Setelah itu, aku bergabung
dengan perusahaan Ichinose Shouji berdasarkan kemampuanku. Aku ingin membuktikan
diriku sendiri tanpa bergantung kepada siapapun.
Aku ingin membuat orang itu
mengakui diriku, dan melalui itu, aku ingin membuat ibuku diakui.
Aku ingin mengubah pandangan
masyarakat dan memadamkan bisikan-bisikan tak berdasar.
Meski itu terasa sulit, hal itu
perlahan-lahan menjadi kenyataan, tapi ibuku sudah tiada.
Hal tersebut membuatku putus
asa dan kehilangan semua harapan untuk hidup.
Dan hingga saat ini, pria yang
merupakan ayahku itu tidak pernah menampakkan wajahnya di kamar rumah sakit.
Aku tidak pernah mendengar
kabar darinya meskipun sudah mencoba menghubunginya.
Aku merasa bahwa kehidupan yang
selama ini aku perjuangkan demi ibuku tiba-tiba langsung memudar seketika.
Suara kembang api yang meledak
di udara seakan merasuki dan mendorongku.
Karena merasa tidak tahan lagi,
aku berlari keluar dari ruangan perawatan dan mengembara tanpa tujuan.
Sewaktu berjalan, aku teringat
akan jembatan yang tak jauh dari rumah sakit.
[...Sudahlah,
hidup ini sudah tidak berarti lagi.]
Saat aku memikirkan hal itu,
aku merasa langkahku menjadi lebih ringan.
“Aku terus berjalan dan di
ujung perjalanan itu, Nene-chan, kamu ada di sana.”
Nene-chan terkejut dan menutupi
mulutnya.
Dia pasti terkejut karena ini adalah
pertama kalinya dia mendengarnya.
“Aku sebenarnya berpikir untuk
melompat, tapi entah kenapa, aku ingin melihat gadis yang berada di depanku
tetap hidup. Aku tahu perasaan itu bertentangan, tapi aku tidak ingin melihat
nyawa hilang di depanku lagi.”
Kenangan hari itu bergelayut di
langit yang mulai gelap dari senja.
“Dan pada hari itu, aku
menyelamatkan Nene-chan, tapi sebenarnya akulah yang diselamatkan oleh
Nene-chan. Aku merasa harus berjuang setelah mengatakan ingin kamu tetap
hidup.”
“Jadi begitu rupanya...”
Nene-chan membuka mulutnya dan
mengucapkan dengan suara pelan.
“Iya, jadi aku harus
benar-benar bersyukur. Kamu tidak perlu khawatir telah melukaiku secara tidak langsung.
Karena pada hari itu, kamu sudah menyelamatkanku, Nene-chan.”
“Sepertinya ada banyak yang
tidak diketahui Nene...”
Aku memberi semangat pada
Nene-chan yang tampak sedih.
“Memang masih ada banyak hal
yang tidak kita ketahui. Bahkan aku tidak tahu kalau Nene-chan lah yang
membuatkan bekal untukku.”
“Aku minta maaf tentang hal
itu...”
“Kamu tidak perlu meminta maaf.
Yang penting adalah bagaimana kita menghadapinya setelah mengetahuinya.
Menurutku, sekarang belum terlalu terlambat. Itulah sebabnya aku datang untuk
mengucapkan terima kasih pada Nene-chan.”
Aku menatap Nene-chan sambil
berkata.
“Terima kasih banyak. Mungkin
aku telah menyelamatkan Nene-chan, tapi pada kenyataannya, aku diselamatkan dua
kali oleh Nene-chan. Itulah sebabnya, Nene-chan adalah gadis baik tak peduli
apa kata orang. Meskipun Nene-chan mengatakan hal buruk tentang dirimu sendiri,
aku akan tetap mengatakan bahwa kamu adalah gadis yang baik.”
“Arata-san...”
Setetes air mata jatuh mengalir
dari mata Nene-chan. Pemandangan itu terlihat seperti sesuatu yang indah dan
mirip dengan khayalan.
Namun, dengan
suara yang lebih rendah, aku memberitahunya.
“Aku punya sesuatu yang ingin
kukatakan padamu, Nene-chan.”
“Apa...?”
Aku kemudian melanjutkan di
hadapan Nene-chan yang terlihat ketakutan.
“Aku akan marah kalau kamu
tiba-tiba menghilang.”
“Hah...Eh?"
Nene-chan terlihat kaget ketika
mendengar kata-kata ‘marah’.
“Aku tidak bisa hidup tanpa
bekal makan siang itu lagi.”
“Eh~?”
"Karena bekal itu terlalu
enak. Rasanya pas banget dengan seleraku. Aku ingin dibuatkan setiap hari.”
“Se-Setiap hari? Itu sih mustahil.
Habisnya Arata-san akan pergi ke Amerika, ‘kan?”
Iya
‘kan?, tanya Nene-chan sambil memperhatikan wajahku.
“Aku memutuskan untuk tidak
pergi ke Amerika. Aku sudah memberitahukan hal itu kepada Yui-san.”
Ketika aku tidak bertemu dengan
Nene-chan, aku bertemu dan berbicara dengan Yui-san.
Meskipun pekerjaan di Amerika
terdengar menarik, aku dengan sopan menolaknya.
[Di
suatu tempat dalam hatiku, aku merasa hal ini akan terjadi. Jadi, aku
memutuskan untuk pulang]
Dengan kata-kata itu, Yui-san
pergi dengan ekspresi yang tampak lega.
“Aku memilih untuk hidup sesuai
keinginanku, bukan karena pilihan orang lain. Mungkin aku akan baik-baik saja
jika tetap pergi ke Amerika. Tapi aku merasa seperti hanya hidup tanpa tujuan.
Dan tentu saja, jika tidak ada Nene-chan, aku merasa tidak bersemangat...
Mungkin aku menjadi aneh...”
“Meskipun tadi marah, sekarang
malah sedih.”
Persis seperti yang dikatakan
Nene-chan.
Selain itu, perasaanku seperti
tersesat, sepertinya aku masih belum menemukan jalan yang benar.
“Duhhh, apa boleh buat deh, Arata-san
menjadi tidak bisa melakukan apa-apa tanpa adanya Nene. Jadi...”
────Arata-san, besok aku akan
menghiburmu lagi ya?
Penampilan Nene-chan yang
tersenyum tampak seperti bidadari yang mendarat di hadapannku. Gadis yang sedih
pada hari itu sudah tidak terlihat lagi.
“Arata-san—”
Pada saat Nene-chan hendak
mengucapkan sesuatu.
Setelah sekuntum bunga besar
yang menyelimuti langit malam bermekaran, terdengar suara menggema yang
menggetarkan hati.
“Ternyata ada pertunjukkan
kembang api.”
Kami terpesona oleh pemandangan
itu.
Meskipun sebelumnya aku bisa mendengar
kembang api dari kamar rumah sakit, tapi kali ini aku bisa melihatnya cukup
dekat dari atas jembatan ini.
“Nene-chan, kamu ingin
mengatakan apa tadi?”
“......Bukan apa-apa.”
Dia berbalik dan berusaha pergi
ke suatu tempat.
Ketika aku melangkah maju untuk
mengejarnya, Nene-chan berbalik dan mendekatiku seraya berkata.
“Hanya bercanda. Aku sangat
menyukaimu. Arata-san.”
Segera setelah itu, aku
merasakan ada sentuhan lembut di pipiku.
Kepalaku terasa kosong. Apa
panasnya kembang api sampai menular kepadaku?
“Aku sudah memutuskan untuk
mengatakan apapun yang ingin kukatakan. Aku tidak akan membiarkan kembang api menghalangi
perasaanku.”
Pipi Nene-chan terlihat merah
merona.
Itu mungkin bukan karena cahaya
kembang api yang menyinari wajahnya.
Tanpa disadari, kami berdua
sekarang bisa melihat pemandangan yang sebelumnya kami lihat dari atas
jembatan. Bukan di kegelapan malam yang dalam, melainkan di bawah cahaya
kembang api yang bersinar indah.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya