Chapter 1 — Emosi Membara Toudo Tsuyoshi
Gadis
itu, yang tadinya menangis dan meringkuk, kemudian berdiri. Di bangku di dekat pusat
perbelanjaan. Seorang gadis bernama Tanaka menyeka air matanya dengan lengan
bajunya.
“Maaf
Toudo, aku pulang duluan.”
Tanaka
pulang lebih dulu. Itu akan menjadi solusi terbaik
saat ini karena situasinya sedang tidak stabil.
Sejujurnya, aku juga
berada pada batasku. Tubuhku terasa sakit sampai-sampai
hampir hancur dan hatiku terasa
seperti akan dihancurkan.
Entah
kenapa, Tanaka pulang sambil menangis. Aku
tidak tahu alasan dia menangis.
Namun, melihatnya menangis membuatku merasa aneh. Dadaku terasa sakit padahal seharusnya aku sudah meresetnya.
Walau
seharusnya aku tidak terlalu memedulikannya, tapi
aku tidak ingin membiarkannya pulang
sendirian.
“Kenapa
bisa begini? Apa tindakan resetnya tidak lengkap?”
Berpikir
cepat tidak ada gunanya. Itu karena rasanya seperti membakar otak Anda. Bahkan
jika aku berpikir lambat, aku tidak bisa menyatukannya dengan baik.
Aku
duduk sendirian di bangku dalam keadaan linglung ketika
seseorang mendekatiku. Setiap
pori-pori di tubuhku langsung merinding.
Tubuhku yang tadinya tidak mampu bergerak, kini masuk
ke dalam keadaan waspada.
Seorang
wanita dewasa dan ...... seekor anjing. Aku mengenali
mereka.
“Ara, aku belum pernah melihatmu dalam keadaan seperti ini sejak upacara kelulusanmu.
Kamu memang anak yang bermasalah. ... Apa kamu sudah melakukan
reset dengan benar?”
“...Eri,
kenapa kamu bisa ada di
sini?”
“Aku
selalu mengawasimu. Tanaka-san, dia
adalah gadis yang baik. Dia sangat berbakat sampai-sampai aku ingin merekrutnya.”
Rasa
dingin menyelimuti tubuhku.
Ketakutan dan kesetiaan sudah tertanam dalam tubuh dan pikiranku. Aku
sudah mencoba untuk
melawannya berkali-kali.
Wanita yang ada di depanku sekarang adalah Eri, orang dewasa dari sekolah SD itu. Aku tidak tahu nama aslinya. Tapi semua orang memanggilnya dengan panggilan Eri.
Aku ‘pastinya’ tidak bisa memberontak melawan Eri. Itu adalah
aturan umum di dunia kamo, dan
merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Pengetahuan yang tertanam tidak
akan berubah meskipun memori di-reset atau dihapus.
Aku tidak
sendirian. Seharusnya aku memiliki hubungan dengan beberapa siswa lain. Aku tidak ingat dengan jelas
karena memoriku tidak lengkap, tapi aku yakin hal itu
benar.
Tempat di
mana anak-anak yang memiliki kekuatan serupa denganku berkumpul.
Nama 'Toudo'
memiliki arti khusus di sekolah SD
itu.
Dan, hanya aku satu-satunya manusia yang
secara bawaan bisa menggunakan 'reset'.
Bagi
semua siswa di sana, menentang Eri berarti menyerah pada hidup.
Ketika
berhadapan dengan Eri, aku menyadari bahwa aku bukan manusia biasa.
Kepalaku
yang sering di-reset terasa ada yang hilang. Pertanyaan-pertanyaan muncul dan
kemudian dengan cepat menghilang. Aku
tidak bisa menahan keraguanku sebagai
keraguan.
Apa ini yang disebut kutukan? Aku bisa merasakan dengan jelas keberadaan rantai yang
mengikat hatiku. Seperti kutukan ilmiah yang terukir di dalam jiwaku.
Tapi——aku telah berjanji pada Tanaka. 'Masa
muda yang dimulai dari reset'. Meskipun
aku bahkan melupakan kenangan, menghapus
memori, atau bahkan kehilangan simpati— perasaan
yang terukir di dalam jiwa
tidak akan pernah hilang.
Aku akan
menjalani masa muda yang normal.
Oleh karena itu—
“Hentikan,
jangan sentuh temanku.”
Hatiku
berdebar kencang. Bagiku, Tanaka adalah gadis yang tidak aku kenal saat ini.
Tapi, aku takkan memaafkan siapapun yang menyakiti gadis itu. Bahkan jika itu 'Eri'—
Perlawanan
pertama yang ditujukan pada Eri. Pada saat itu, aku merasakan rasa sakit
seperti jantungku diremas dengan erat.
Tidak ada ruang untuk menahan sensasi itu. Atau, aku tidak
perlu menahannya. Rasa sakit adalah bukti bahwa aku masih hidup. Aku bisa
menahannya. Tapi, ini... rasa sakitnya begitu
menyakitkan sampa-sampai bisa menyebabkan
kematian.
“Oh,
luar biasa. Kamu memberontak padaku sebentar. Apa itu menyakitimu? Kamu telah
menghapus ingatanmu tentang gadis itu.
Haha, kamu bisa melupakan hal-hal yang sia-sia. Jika itu adalah cara otakmu tumbuh dari
eksperimen ini.”
Anjing
yang berada di sebelah Eri menatapku. Aku masih samar-samar mengingatnya.
Temanku yang pertama di sekolah dasar. Anjing
yang agak mirip dengan Michiba.
Kenangan bersama yang pernah kami
lalui. Aku masih mengingatnya. Tapi, aku tidak merasakan adanya kasih sayang.
Aku
bangkit dari tempat dudukku.
“Oh,
kamu bisa berdiri?”
“Jika
kamu menganggapku tidak berguna,
menghilanglah. Aku tidak ingin melihat wajahmu
sekarang, Eri.”
“Kasar
sekali... Kalau kamu meminum
obat ini, mungkin kamu akan merasa sedikit lebih baik. Ayo minum.”
Eri
mengeluarkan sebotol
obat dari sakunya. Aku
mengenal obat itu. Itu adalah obat yang sering aku minum setelah melakukan
reset. Meskipun disebut sebagai obat penenang jiwa, sebenarnya itu tidak
begitu. Instingku memberitahuku. Itu bukanlah
sesuatu yang seharusnya diminum.
“Tidak
perlu.”
“Tidak
boleh, cepat duduk di bangku dengan manis dan
minumlah.”
Sensasi
kuat muncul dari belakang. Seseorang mencoba menahanku dari belakang. Tubuhku langsung bereaksi tanpa sadar. Aku tidak
bisa mengendalikan tubuhku. Aku melancarkan pukulan belakang ke arah ruang
kosong.
Pukulanku
meleset.
“...Tadi itu
berbahaya sekali, Toudo. Jika bukan aku, orang lain mungkin sudah mati.”
Seorang
pria berambut panjang berdiri di sana.
Darah menetes dari pipinya, mungkin karena
pukulanku menyerempet pipinya.
Aku
pernah melihat pria ini. Di bingkai foto di apartemenku. Di bawah fotoku bersama Hanazono, ada
satu foto yang disembunyikan.
Foto
tersebut menunjukkan diriku di sekolah SD dan... orang asing lainnya. Aku
merasa aneh ketika melihat foto itu, jadi aku menyembunyikannya. Aku pernah
berpikir untuk membuangnya, tapi aku selalu menahan diri.
Aku tahu
bahwa selain diriku, ada
anak-anak lain di sekolah dasar itu. Aku hanya tidak berusaha 'mengenali' mereka saja.
Pria
berambut panjang di depan mataku benar-benar ada dalam foto tersebut. Ia
adalah orang nyata. Hawa
kehadirannya jelas-jelas berbeda dari orang biasa. Jika
aku menunjukkan kelemahan, aku akan kalah.
“Tolong
jangan berkelahi. Shimafuji hanya mengawalku.”
Pria yang
dipanggil Shimafuji itu
hanya diam. Tatapan matanya
memperhatikan setiap gerakanku. Aku tidak akan bisa mengalahkannya kecuali aku
serius. Aku bisa menghitung kemampuannya dari gerakan yang menghindari
pukulanku sebelumnya. Ia juga
mungkin menyembunyikan senjata di dalam pakaiannya. Jadi, aku harus
mengendalikannya terlebih dahulu—
“Woof!
Haa haa!!”
Anjing
itu bermain-main di sekitar kakiku.
Aku bingung dan tidak tahu bagaimana harus bereaksi.
Aku
ragu-ragu menaruh tangan di atas kepala anjing. Anjing itu terlihat senang seraya mengibaskan-ngibaskan ekornya.
...Pikiranku
menjadi lebih tenang. Dunia ini bukanlah yang aku inginkan. Kekerasan bukanlah
solusi. Aku sudah mempelajari hal itu
di masa sekolah SMP.
“Eri,
maaf. Aku benar-benar tidak memerlukan obat itu. ...Aku hanya ingin tetap
seperti ini.”
Eri tidak
berkata apa-apa. Dia hanya menatapku dengan senyum tipis di wajahnya.
“Ya tidak
masalah. Jika itu akan membuatmu tumbuh, itu sudah cukup.
Ayo kita pergi, Shimafuji.”
“Baik,
dimengerti. ...Toudo, sampai jumpa
lagi.”
Eri, si anjing, dan Shimafuji pergi meninggalkanku.
Aku
menghela nafas dan duduk kembali di bangku.
“...Apa
aku benar-benar bisa menjalani
masa muda yang normal? Seorang pria tolol yang kehilangan ingatannya dan
emosinya saat di-reset. Aku bahkan tidak mengerti perasaan orang lain. Apa aku
benar-benar manusia yang utuh?”
Aku merenungkan kembali semua kenangan yang ada
dalam ingatanku. Sejauh ini hidupku
penuh dengan kegagalan. Aku tidak suka mencela diriku
sendiri. Tapi, sejak masa SMP,
aku merasa berbeda. Satu-satunya temanku adalah Hanazono. Aku dijauhi oleh
teman-teman sekelasku.
“Mungkin
semuanya akan lebih mudah jika semuanya
di-reset.”
Aku
merasakan kehadiran seseorang. Aku tahu bau ini.
“Dasar bodoh,
tentu saja itu tidak akan mudah.”
“Hime?”
Mengapa
Hime ada di sini? Aku merasa pernah bertemu dengannya di pusat perbelanjaan.
...Aku tidak bisa mengingat detailnya. Aku tidak bisa mengingat dengan jelas.
Ini adalah efek samping dari menghapus ingatan gadis bernama Tanaka.
“...Aku
mengetahuinya dengan baik, kok. Toudo,
kamu sudah berkembang jauh lebih baik
dari sebelumnya. Jadi jangan terlalu sedih.”
“Mengapa
Hime bisa tahu sesuatu yang tidak kumengerti?”
“Karena
aku melihatnya sendiri. Aku sudah mengenal Toudo sejak masa SMP.”
“Aku
dari masa SMP, ya... Itu
adalah masa yang mengerikan. Tapi meski sudah di SMA, aku sama sekali tidak berubah.”
“Tidak,
itu tidak benar.”
Aku
bisa merasakan ada semacam emosi
di balik kata-kata penolakan itu. Namun, aku tidak bisa memahaminya. Hime dan
aku hanyalah teman sekolah biasa.
Bahkan baru-baru ini aku tidak bisa 'mengenali'-nya.
Aku selalu menganggapnya sebagai orang asing.
“Kamu
berbeda dengan Hanazono. Kita tidak selalu bersama. Tapi mengapa kamu bisa
tahu?”
“Acha,
jadi nama Hanazono benar-benar diungkit ya. Haha,
aku beneran kalah ya. ...Meskipun kamu melupakannya, tapi aku
masih ingat semuanya. Bukannya itu
saja sudah cukup?”
“Hime?”
“Duhh,
tolong jangan panggil aku 'Hime' lagi.
Aku adalah Hiratsuka Sumire.
Panggil aku Sumire.”
“Ba-Baiklah,
Hiratsuka. Apa yang kamu ketahui tentang aku?”
“Kenapa
tiba-tiba menggunakan nama belakang?”
“Ti-Tidak,
bukannya langsung memanggil nama depan tuh... memalukan, bukan?”
Ada
sedikit keheningan sejenak. Hime...
Hiratsuka tertawa terbahak-bahak.
“Ahaha,
Toudo, kamu benar-benar pria yang menarik.
Tapi serius, sekolahku cukup dekat dengan sekolahmu. Hei, bagaimana kalau kapan-kapan kita pergi ke Shinjuku
nanti?”
“Ti-Tidak.
Aku tidak bisa pergi jalan-jalan dengan
gadis yang tidak kukenal...”
“Hah?
Bukankah kita sudah saling mengenal! Bu-Bukannya
aku sedang mengajakmu kencan oke!”
“Aku
merasa kalau Hiratsuka membenciku ketika waktu di sekolah SMP.”
“Ah, itu... maaf. Uh, aku harus
pulang sekarang. Apa kamu sudah bisa bergerak?”
Aku
memeriksa kondisiku. Rasa sakitnya
sudah agak mereda. Aku mungkin sudah cukup pulih untuk bisa bergerak. Rasa
sakit di dalam tubuh dan perdarahan hampir seperti halusinasi, sebenarnya tidak
ada kerusakan fisik. Itu hanya persepsi otak. Tapi rasa sakit itu nyata. Rasa
sakit yang mungkin bisa membuat orang biasa mati.
Dampak
dari mencoba melawan Eri jauh lebih buruk daripada melampaui batas dari reset.
Hiratsuka
yang hendak pergi tiba-tiba mengatakan sesuatu padaku, seolah-olah dia baru saja mengingatnya.
“...Terkadang, kamu bisa begitu jatuh
cinta pada seseorang, meski hanya sehari atau
bahkan
dalam beberapa jam, tau?”
“Apa
yang sedang kamu bicarakan?”
“Hehe,
aku yakin kalau kamu pasti
akan baik-baik saja, Toudo!
Karena kamu mempunyai teman-teman yang penting!
Seperti Hanazono dan Tanaka-san!”
Hiratsuka
tersenyum dan pergi begitu saja.
Aku
benar-benar bingung dengan apa yang dia katakan. Bagaimanapun juga, aku dan
Hiratsuka hanyalah teman sekolah
biasa di masa SMP, dan
baru saja bertemu lagi setelah sekian lama.
Rupanya,
Hiratsuka pernah jatuh cinta pada seseorang.
...Aku
bahkan tidak mengerti perbedaan antara cinta dan suka. Jatuh cinta pada
seseorang. Merasa suka pada seseorang. Jika semuanya bisa dihapus, apa artinya
semua itu?
Namun, hanya ada satu hal yang aku pahami, bahwa
Hiratsuka adalah orang baik.
“Hiratsuka,
aku tidak begitu mengerti tapi terima kasih.”
Aku
berteriak ke arah punggung Hiratsuka. Hiratsuka tidak menoleh dan pergi begitu
saja. Mungkin dia tidak mendengarnya.
Punggungnya terlihat sedikit gemetar, tapi mungkin itu hanya imajinasiku saja.
Rasanya
seperti hatiku yang hampir terlepas dari kekacauan sehari-hari telah kembali
normal.
Aku
bangkit dari bangku, menyeret kaki yang mati rasa, menuju stasiun kereta bawah
tanah.
Ponselku
bergetar.
“Balas
pesanku, dasar bodoh!!”
Aad pesan
dari Hanazono. Meskipun kata-katanya kasar, aku merasa lega.
—— Ada
banyak masalah yang menumpuk.
Pertama-tama, aku harus melengkapi kembali ingatanku tentang gadis yang bernama Tanaka.
Gadis
itu adalah gadis yang terlalu
baik.
Jangan
membuatnya bersedih,
hanya itulah yang
diingat tubuhku.
Aku tidak
ingin ada yang mengetahui kalau aku
kehilangan ingatanku. Merasa kesepian karena dilupakan orang lain adalah hal
yang sangat menyedihkan. Dadaku terasa sakit sekali. Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku juga
tidak bisa berkonsultasi tentang hal ini
dengan Hanazono. ... Pasti Hanazono juga akan merasa
sedih.
Aku memiliki
buku catatan di rumah yang
menuliskan tentang tindakanku. Aku harus melihatnya dan mencari
informasi untuk memahami hubunganku dengan Tanaka.
Itu adalah tanggung jawabku sendiri. Tapi,
bagaimana aku harus menanggapi
Hanazono?
Aku
menatap ponselku sambil berjalan. Waktu terus berlalu. Aku merasa gelisah
karena tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat.
Aku tidak
bisa memikirkannya ketika
aku naik kereta. Bahkan setelah sampai di stasiun, bahkan setelah sampai di
depan apartemen... Ah—
“Kamu
terlambat! Dan kenapa kamu tidak membalas pesanku, dasar bodoh!”
Meskipun
aku tidak bisa membalas pesannya meskipun aku berpikir sebanyak apapun,
kata-kata tersebut keluar
begitu saja.
“—Hanazono,
aku pulang... Aku sangat ingin bertemu denganmu,
Hanazono.”
“Hah? Hei, a-apa yang terjadi denganmu!?
...Eh, apa kamu
sedang menangis?”
Aku
meraih bahu Hanazono. Aku tidak menangis sama sekali. Ini hanya karena aku
lelah sehingga keringatku keluar.
Aku ingin
mengatakan itu, tapi kata-kataku
tidak mau keluar.
“...Menjadi biasa tuh memang sulit, ya.”
Hanazono
menepuk-nepuk punggungku dengan pelan tanpa berkata apapun.
Pada saat
itu, aku merasa penyesalan yang sangat mendalam. Aku telah mereset hubungan
yang telah aku bangun dengan Hanazono. Sebuah
tindakan yang tidak bisa aku perbaiki.
Sekarang
aku benar-benar memahami keanehanku sendiri di
sini.
Entah
mengapa, aku merasa keringatku bercucuran semakin
deras.
—Dan kemudian, aku teringat tentang reuniku dengan Hanazono setelah
lulus dari sekolah SD.
◇◇◇◇
Satu-satunya
barang yang tersisa di apartemen kosong
itu hanyalah bingkai foto.
Setelah
lulus dari sekolah dasar, aku membereskan
barang bawaanku dan
memikirkan masa depanku.
Ingatanku tentang waktu sebelum dan
sesudah kelulusan masih kabur. Tapi aku
merasa ada sesuatu yang besar telah terjadi.
Aku
masih merasakan sensasi yang membekas karena sudah
menggunakan reset terbesar yang pernah ada.
Perasaan
kehilangan yang begitu mendalam dan
menyakitkan masih terasa di dalam dadaku. Aku
merasa kehilangan sesuatu yang penting. Meskipun seharusnya
kehilangan ingatan, tapi aku masih
mengingat momen yang tidak pernah hilang. Aku mendapati diriku sedang menggendong 'seseorang
gadis' yang berlumuran darah dan tidak bergerak.
Aku
berteriak sekencang-kencangnya.
Aku tidak tahu mengapa aku berteriak. Meskipun aku mereset berulang kali, tapi rasa sakit di dadaku tidak pernah hilang. Aku memilih untuk menghancurkan diri
sendiri dengan mereset berulang kali. Itulah sebabnya
aku menjadi manusia yang hancur.
“Mengapa
cuma adegan itu yang tidak pernah hilang dari
ingatanku meskipun
aku sudah mereset berulang kali? Itu
tidak penting. Tidak masalah jika aku
tidak 'mengenali' itu. Yang terpenting sekarang adalah memahami situasi saat
ini. Pertama-tama—”
Mengikuti
instruksi dari Eri, aku kembali ke rumah.
Tempat di
mana rumahku dulu
berada, sekarang berubah
menjadi sebuah apartemen. Orang tuaku
yang menjualku tidak pernah ditemukan di mana pun. Menurut cerita yang kudengar dari Eri, mereka bangkrut, melarikan
diri pada malam hari, dan pergi ke tempat yang jauh. Aku sudah tidak tertarik dengan mereka.
Bagaimanapun juga, Eri memintaku
untuk tinggal di sana. Apa yang dikatakan Eri adalah mutlak. Dengan hanya
mendengarkan apa yang dia katakan, aku
bisa hidup dengan damai. Mulai sekarang, aku harus pergi ke sekolah SMP biasa dan menjalani kehidupan
yang normal.
Aku
tidak mengerti apa arti dari 'normal'.
Karena pengetahuanku hanya sebatas di sekolah SD itu.
Sebuah
ruangan kosong di apartemen. Aku
perlu membeli barang-barang sehari-hari untuk hidup sendiri. ... Aku tidak ingat pernah diajarkan hal seperti itu. Namun,
ini pasti merupakan salah satu bentuk bertahan hidup. Jadi, yang kulakukan hanya perlu membeli buku
petunjuk dan hidup sesuai dengan buku
tersebut.
Pada
hari itu, kehidupan sehari-hariku
dimulai.
Aku
tidak memahami apa itu kebebasan. Tidak ada
yang memberi perintah kepadaku.
Jika ada sesuatu yang tidak kusukai,
aku bisa melakukan reset.
Kehidupan
sehari-hari adalah pengalaman yang belum pernah aku alami,
dan itu sangat menyakitkan.
Aku tidak
tahu bagaimana cara menggunakan uang dan membuat pegawai toko terkejut. Aku tidak pernah menyadari betapa
sulitnya berbicara dengan orang lain. Aku selalu merasa cemas karena bisa diserang oleh seseorang kapan saja.
Dalam
perjalanan pulang dari berbelanja, aku didekati oleh seorang gadis yang tidak
kukenal. Aku tidak
tahu siapa diirinya, tapi
dia gadis yang sangat cantik dan aku
merasa nostalgia ketika melihatnya.
Itu perasaan yang sangat langka bagiku.
Tapi dia tampak marah.
Wajahnya
merah padan dan dia terlihat seakan-akan
hendak memukulku.
“Mengapa
kamu tiba-tiba menghilang...?
Kamu benar-benar
menjengkelkan.”
“Maaf, kamu siapa?”
“H-Hah? Aku ini teman masa kecilmu, Hanazono
Hana! Apa kamu sedang
mengejekku?”
Nama [Hanazono] muncul
di benakku. Aku
mengenali nama tersebut.
“...Ah,
Hanazono, ya. Maaf,
aku hanya mengingat
namamu saja....”
“Apa kamu marah padaku? Mengapa kamu memasang wajah
seperti itu? Apa kamu
tidak senang bertemu denganku lagi?”
“Tidak
terlalu……”
“Kamu
benar-benar tidak mengingat
apa-apa... Bahkan janji kita juga... Padahal aku baru
saja berhasil mengingatnya... Dasar bodoh, bodoh, bodoh, bodoh!”
Mengapa gadis ini terlihat sedih? Aku tidak bisa memahaminya.
Aku yakin
pasti ada sesuatu yang terjadi dengan gadis ini ketika aku masih di TK sehinggat aku mereset ingatanku.
Sekarang aku hanya bisa menganggapnya sebagai
orang asing. Namun, aku masih mengingat namanya. Itu adalah kasus yang jarang terjadi bagiku.
“Kamu
mau masuk ke SMP mana?”
“Aku?
Aku akan masuk ke SMP
Bancho.”
“Begitu ya,
berarti sama denganku. Kalau
begitu, aku akan menjemputmu besok, jadi harap tunggu saja!”
“Ti-Tidak, kenapa...”
Hanazono
mengatakan hal tersebut dan berjalan pergi. ...... Aku dibuat bingung.
Tapi bukankah kami
bertetangga? Jika kami
bertetangga, kami harus
akur.
Keesokan
paginya, aku
meninggalkan apartemenku untuk
menghadiri upacara masuk.
Hanazono sudah berdiri menunggu di depan rumahku.
“Hah?
Kenapa kamu malah memakai
pakaian biasa?!
Cepat ganti seragammu!”
“Selamat
pagi,
Hanazono. ...Apa itu seragam?”
“Jangan memberi salam dengan enteng begitu!
Lah, kamu juga tidak membawa apa-apa...
Apa yang terjadi dengan tas sekolahmu?”
“Hmm,
aku hanya disuruh untuk pergi ke
sekolah SMP saja. Apa aku memerlukan seragam dan tas juga? Aku dalam masalah. Aku belum menerima barang seperti itu.”
“Awawawa...apa yang harus kita lakukan?”
“Tidak
masalah. Aku juga
memakai pakaian biasa di sekolah SD.”
“Tunggu dulu, Toudo!!”
Aku pergi
menghadiri upacara masuk sekolah dengan
pakaian kasual, dan semua orang di sekitarku
menatapku dengan tatapan tercengang. Para guru memarahiku, tetapi kepala sekolah memarahi mereka dan membiarkanku lolos begitu saja.
Rupanya, hanya kepala sekolah saja yang
mengetahui situasiku.
Aku
meminjam seragam cadangan dari ruang staf dan menuju ke ruang kelasku. Ujung celananya kurang
panjang. Celananya juga terlalu ketat.
Entah
kenapa aku merasa gugup. Mungkin karena aku belum
pernah berada di tempat di mana ada begitu banyak orang yang sebaya denganku.
—— Aku
penasaran, kira-kir apa aku bisa mendapatkan teman?
Aku
selalu sendirian. Jadi aku punya
harapan kalau aku bisa mendapat teman.
Ketika aku membuka
pintu kelas, aku terpana melihat banyaknya jumlah siswa.
Aku mendengar
suara bisik-bisik.
“Jadi dia berandalan yang
datang dengan pakaian biasa.”
“Maksudku
, wajahnya kelihatan
menakutkan .”
“Orangnya kelihatan suram dan
terlihat seperti berandalan, jadi lebih baik jangan terlibat dengannya.”
Hanazono
sedang duduk di kursi dekat jendela. Aku merasa lega
karena kami berada di kelas yang sama.
Entah
kenapa, Hanazono memalingkan mukanya
dariku dan wajahnya memerah. Aku
tidak mengerti apa maksudnya.
“Toudo-kun, untuk sementara, silakan
duduk di sini sekarang. Sensei
akan menjelaskan tentang sekolah
sekarang.”
Aku
hendak menuju ke tempat duduk Hanazono,
tapi aku tidak punya pilihan selain duduk di sisi
dekat lorong.
Di
sebelahku ada seorang anak laki-laki dengan kepala plontos. ...
Haruskah aku menyapanya? Ya, semuanya adalah pengalaman.
Mari kita menyapanya.
“Namaku Toudo. Senang berkenalan denganmu.”
“...”
Tidak ada
respon yang jelas dari siswa laki-laki. Kata-kataku pasti sudah tersampaikan dengan jelas. Ada
suasana kesal dan kejengkelan darinya.
Pada waktu
itu aku tidak begitu mengerti alasannya.
Belakangan
aku mengetahui bahwa ...... dia
menganggapku sebagai
gangguan dan mengabaikanku.
Itu adalah pengalaman pertamaku
diabaikan, dan aku merasa sangat sedih. Kesedihan dan kesepian yang belum
pernah kurasakan sebelumnya.
Meskipun
ada banyak siswa, aku sekali lagi— sendirian.
◇◇◇◇
Sudah berapa
lama waktu berlalu? Rasanya hanya
berlalu sejenak. Rasanya
tidak lebih dari beberapa detik telah berlalu. Kesadaranku telah kembali ke dunia nyata setelah mengenang masa SMP.
... Aku tidak boleh bermanja pada Hanazono.
“Maafkan
aku, Hanazono. Bukan hanya kamu,
tapi aku bahkan mereset Tanaka juga.”
“Sudah
kuduga...apa ada sesuatu yang
terjadi? Lagi pula, kamu memang menyukai
Haru-chan, ‘kan?”
Aku
menyembunyikan fakta bahwa aku
telah kehilangan ingatanku. Hal itu demi tidak menciptakan siklus kesedihan.
Rasa bersalah mencengkeram hatiku.
“Aku
melakukannya agar aku tidak membuat Tanaka sedih... Tapi apa ini benar-benar
hal yang baik untuk dilakukan?”
“Je-Jelas-jelas
itu tidak bagus! ... Itu sangat menyedihkan.
Baik Haru-chan maupun kamu.”
Tangan
Hanazono berhenti menepuk-nepuk punggungku. Kemudian dia menyentuh punggungku
dengan lembut.
Seolah-olah
dia memelukku. Meski aku
tidak punya ingatan tentang ibuku, aku merasa seperti sedang dipeluk oleh
ibuku.
“Aku masih belum tumbuh dewasa sejak dulu. Sudah
kuduga, menjalani kehidupan yang normal merupakan hal yang sulit.”
“Itu
tidak benar!!”
Perkataan
Hanazono terdengar tegas dan
penuh kekuatan.
“Kamu tidak
seperti dulu lagi. Sudah sangat berbeda. Jadi setidaknya...kamu harus melampaui
resetmu. Karena aku juga bisa melakukannya! Aku akan mendukungmu
.... Lain kali, tolong bicarakan dulu baik-baik denganku, oke?”
Aku menanggapinya
dengan anggukan kecil. Itu karena aku tidak bisa
membuat suaraku berfungsi dengan baik.
Dia bahkan
bisa melampaui reset? Hal itu tampaknya meragukan. Begitu ya,
apa karena reset membuat orang lain menderita? Aku tidak ingin menyakiti diriku
sendiri, jadi aku menyakiti orang lain untuk melindungi diriku sendiri.
Ketika aku
menyadari kenyataan itu, air
matakku mengalir tanpa henti dari mataku. Dadaku terasa sakit. Rasanya begitu menyakitkan, aku merasa seperti hampir
hancur oleh rasa bersalah.
Jika aku mereset, semuanya akan menjadi
lebih mudah. Tapi, aku tidak
akan pernah mereset lagi. Ini adalah penderitaan yang diperlukan sebagai
manusia.
“Berbeda
denganku, Haru-chan adalah gadis yang baik, jadi kamu harus mendapatkannya
kembali!”
“....Tapi
Hanazono juga gadis yang sangat
baik.”
“Bo-Bodoh!? Kita sedang membicarakan tentang Haru-chan sekarang....
Bodoh, kamu itu benar-benar bodoh...”
Sambil
meneteskan air mata, Hanazono sekali lagi memukul dadaku. Meskipun tidak terasa
sakit, tapi entah mengapa rasanya sangat menyakitkan.
Setiap
kali Hanazono memukul dadaku, rasanya seperti ada sesuatu
yang hancur di dalam diriku.
Meskipun aku
seharusnya telah meresetnya, aku tidak ingin melihat Hanazono
menangis.
——Hancurkan
reset itu.
Saat aku mendengar suara itu, tiba-tiba aku mendengar bunyi yang mirip seperti kaca pecah. Bunyi itu berasal dari
dalam tubuhku. Sesuatu
di dalam hatiku terasa
terkoyak bersama dengan rasa sakit yang luar biasa.
Pada saat
yang sama, “saklar” di dalam diriku menyala.
Kesadaranku mendadak berubah.
Di dalam
catatan pikiranku, ada
kenangan masa kecilku dan
Hanazono semasa TK. Itu adalah kenanganku bersama Hanazono yangtidak kukenal. Emosi yang terukir di
dalam jiwaku. Emosi tersebut menggerogoti dan
mengoyak hatiku.
Aku menyeka “air
mata”ku sendiri,
mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka
air mata Hanazono. Sesuatu di dalam diriku
telah berubah. Ini bukanlah teori.
Naluriku sendiri yang memberitahuku.
“...Hana-chan,
maafkan aku karena sudah
mereset.”
“Eh...
Tsuyoshi?”
Naluriku mulai berbicara dengan
sendirinya. Pikiranku menjadi
kacau balau. Namun...
Aku
dengan lembut menyentuh punggung Hanazono. Aku ingin
memeluknya dengan erat. Aku sendiri terkejut dengan keinginan
untuk merangkulnya. Kupikir aku bebas dari hasrat fisiologis.
“Bo-Bodoh! Jangan mendadak memanggilku
Hana-chan. Rasanya begitu memalukan tau! Ji-Jika kamu sudah merasa lebih baik,
aku akan pulang!”
Hanazono
pergi dengan wajah memerah...
Apa rasanya memalukan bagi pria dan wanita yang sudah dekat untuk saling bersentuhan?
...Hmm,
itu tentu saja memalukan. Itu adalah perasaan
paling memalukan yang pernah aku rasakan.
Aku
memasuki apartemen sambil berterima kasih pada Hanazono.
Aku
mengambil bingkai foto di apartemen.
Saat aku
mengeluarkan foto yang menampilkan diriku dan Hanazono, sebuah foto tersembunyi
muncul di belakangnya.
Foto
tersebut menampilkan diriku, dua gadis, dan dua anak laki-laki.
Aku tidak
mengingat siapa mereka. Namun, aku mengenali mereka. Inderaku bisa
merasakannya. Mereka adalah keberadaan yang menghabiskan waktu bersama denganku
di sekolah SD yang seperti neraka.
Aku tidak
mengingatnya karena pemikiranku yang masih belum dewasa.
... Apa aku
berteman dengan mereka?
Pria
berambut panjang di foto itu disebut bernama Shimafuji. Ia jelas-jelas mempunyai
kemampuan di luar batas manusia biasa.
Itulah ciri-ciri
dari seseorang yang terus menerima pelatihan khusus.
Ia memanggilku
dengan nama Toudo. Aku merasa ia mengenalku. Aku bisa merasakan sesuatu di
dalam suara kerasnya. Rasa sayang, keheranan, kerinduan...
Kami pasti
akan bertemu lagi suatu hari. Jika ada kesempatan, aku akan bertanya pada saat
itu.
Namun, saat
ini, aku tidak memerlukan hal-hal yang tidak biasa. Aku belum mendapat
permintaan dari Eri sejak aku kelas satu SMA. Melindungi kehidupan sehari-hari
lebih penting daripada itu. Prioritas utamaku adalah melengkapi kenanganku
dengan Tanaka.
Aku menuju
ke dapur dan menyeduh kopi. Awalnya, rasanya pahit dan tidak enak sama sekali,
tapi sekarang aku menyukai pahitnya kopi.
Aku
menuangkan kopi ke dalam cangkir yang kuterima dari Hanazono, duduk di samping
Pomekichi, dan mulai memikirkan tentang gadis yang bernama Tanaka sambil
melihat buku catatanku.
“Aku harus
terus melangkah maju. Demi orang-orang yang berharga bagiku. Aku harus melangkah
maju, demi mendapatkan kembali. Aku harus melangkah maju, supaya aku bisa
berubah—”
Meskipun itu
hanyalah kata-kata gumamanku sendiri, kalimat tersebut menusuk ke dalam relung
hatiku....