Ujung
pena itu bergerak di atas kertas, menghasilkan suara gesekan yang sedikit
terbata-bata saat mengisi halaman kosong. Amane berusaha untuk tidak melihat
apa yang ditulis oleh Mahiru dan pena bolpoin tipisnya, ia melirik ke arahnya.
Mahiru duduk di sebelah Amane dan Mahiru dengan diam mengisi bagian dari buku
tebal dengan tinta.
Setelah
makan malam dan setelah pekerjaan membersihkan selesai, Amane dan Mahiru akan
bersantai bersama. Namun, itu tidak berarti mereka selalu dekat satu sama lain.
Bahkan teman sekelas mereka dan lucunya, Itsuki juga salah paham tentang itu.
Sepertinya orang-orang berpikir Amane dan Mahiru selalu saling menggoda
sepanjang waktu.
Dalam
kenyataannya, itu jauh dari kebenaran. Mereka masing-masing melakukan apa yang
harus mereka lakukan sendiri-sendiri. Mereka tidak selalu bersama atau saling
mengawasi. Meskipun mereka berbagi ruangan yang sama, mereka menghabiskan waktu
mereka dengan melakukan aktivitas yang mereka sukai dan mengisi waktu mereka
dengan damai. Hari ini juga tidak terkecuali. Meskipun Mahiru sudah mengamankan
tempatnya di sebelah Amane, dia tetap fokus pada tugasnya sendiri yaitu dengan
tenang menulis sesuatu.
Amane
tidak mencoba mengintip apa yang sedang ia tulis. Bahkan bagi orang lain, akan
tidak sopan untuk melakukannya. Namun, dia bisa tahu kalau dia sedang menulis
sesuatu. Sebelumnya dia sudah menulis ringkasan dan evaluasi untuk resep-resep
masakan, tetapi ini sepertinya bukanlah buku jenis seperti itu. Sekilas, ini
terlihat seperti buku yang lebih mewah dengan sampul kulit.
"Apa
yang sedang kamu tulis?"
Meskipun
merasa buruk karena mungkin akan mengganggunya, Amane tidak bisa menahan rasa
ingin tahunya karena melihatnya begitu fokus menulis. Mahiru langsung menoleh
ke atas, menunjukkan ekspresi bingung.
Kemudian,
dia menyadari pandangan Amane yang berkeliling di tangan-tangannya dan memahami
pikirannya.
"Ah.
Ini... mungkin bisa disebut sebagai buku harian? Aku rasa aku harus mencatat
apa yang terjadi hari ini mumpung aku masih ingat."
"Ah,
aku sudah menduganya kalau kamu orangnya rajin."
Amane
bertanya-tanya apa yang sedang Mahiru tulis, dan ternyata itu adalah sebuah
buku harian. Memang, setelah mendengar jawabannya, buku di depannya terlihat
seperti buku harian. Buku itu tidak terlihat cantik atau lucu yang seperti
disukai oleh Gadis SMA. Sebaliknya, itu adalah sesuatu yang kokoh dan berbobot,
yang sangat mirip dengan Mahiru.
Buku itu
terlihat terawat dengan baik dan juga memiliki sejarahnya sendiri. Jelas itu
tidak terlihat seperti sesuatu yang baru saja Mahiru mulai gunakan.
"Apa
kamu selalu menulis di buku harian itu setiap hari?"
"Tidak,
aku tidak menulisnya sesering itu, kok. Aku hanya melakukannya ketika ada
sesuatu yang terjadi. Aku rasa ini bisa disebut sebagai kebiasaanku sejak
kecil?"
"Yah,
bukankah itu bagus? Kalau kamu mencatat apa yang terjadi setiap hari, kamu
pasti akan lebih mudah mengingatnya suatu saat nanti."
"Iya.
Walaupun ada baik dan buruknya juga."
Amane
tidak benar-benar memiliki buku harian, tetapi jika ada sesuatu yang layak
dicatat, Amane akan segera mencatatnya di aplikasi penjadwalan di ponselnya.
Sering kali itu berguna ketika sedang ingin mengingat kembali.
"Aku
sih menganggapnya sebagai cara yang baik untuk mengurutkan emosi dan
kenangan."
Mahiru
mulai menjelaskan.
"Dengan
mencatat pengalamanku di sini, aku bisa dengan cepat mengingat kembali
kejadian-kejadian masa lalu. Aku bahkan menulis tentang saat kita pertama kali
bertemu... yah, saat kita pertama kali berbicara."
"Aku
bertaruh kamu menulis sesuatu seperti Ada yang salah dengan orang ini? ,
kan?"
Mereka
mulai berbicara satu sama lain saat dimana suatu hari Amane memberikannya
sebuah payung. Melihat ke belakang, dia sadar bahwa dia tidak meninggalkan
kesan pertama yang baik. Sikapnya ragu-ragu dan cara bicaranya singkat. Mahiru
kemungkinan memiliki pemikiran ini saat itu.
Meskipun
Mahiru sendiri tidak banyak berbicara, dia sendirian di hari itu mungkin
setelah interaksi yang kurang menyenangkan dengan ibunya. Sangat alami jika dia
tidak dalam mood terbaik ketika orang asing yang sama sekali tidak dia kenal
mendekatinya saat itu dengan cara berbicara yang langsung tanpa basa-basi.
Apa aku
tidak bisa melakukan sesuatu untuk memperbaiki sikapku ini?
Semakin
dia merenung tentang itu, semakin penyesalan mulai menghampirinya. Tapi Mahiru
menoleh dan tertawa kecil melihat wajahnya.
"Hehe.
Aku tidak akan menyangkal itu, tapi itu bukan perasaan negatif juga. Aku sudah
melihat bagaimana kamu bersikap acuh di sekolah, jadi aku sudah tahu apa yang
ingin kamu lakukan. Juga, sepertinya kamu tidak memiliki motif tersembunyi saat
menawariku payung waktu itu."
"Jadi,
berakhir dengan baik juga, kurasa?"
"Iya.
Bahkan, aku merasa lebih aman karena kamu bersikap seperti itu... Pasti mengganggu
ketika orang asing tiba-tiba bersikap baik padamu, kan? Menakutkan memiliki
seseorang yang tidak kamu kenal mencoba masuk ke dalam hidupmu seperti
itu."
"Iya,
aku juga berpikir begitu, sih."
Untuk
Mahiru pada titik itu dalam hidupnya, mempercayai orang lain pasti menjadi hal
yang sulit. Karena dia mengerti nilai dan posisinya sendiri, dia sepertinya
selalu menjaga orang lain pada jarak tertentu dan tidak pernah membiarkan
mereka mendekat.
"Ujung-ujungnya,
sikap yang kamu perlihatkan menjadi dasar bagiku untuk mempercayaimu dan itu
sangat membantuku membangun kepercayaan kalau tidak apa-apa bagiku untuk
terlibat denganmu. Jadi itu bukanlah hal yang buruk."
"Aku
senang mendengarnya, tapi mungkin lebih baik kalau aku bisa mendekatimu dengan
cara yang berbeda sih."
Amane
mengakuinya, dia sadar akan betapa tidak ramahnya dia dulu.
Namun,
Mahiru hanya tertawa kecil.
"Aku
tidak akan menyangkal kalau wajah serius dan sikap acuhmu sangat terlihat jelas
waktu itu, Amane-kun."
"Aku
minta maaf."
"Aku
tidak menyalahkanmu, kok."
Mahiru
menutup mulutnya dengan lembut sambil melepaskan tawa kecil yang hampir
terdengar seperti bisikan.
Amane
tidak bisa tidak mengirimkan tatapan tajam ke arahnya, tapi senyum Mahiru hanya
semakin dalam. Dia memalingkan kepalanya dalam kekalahan.
Mahiru
masih tertawa walaupun dia sudah tidak mengejek Amane. Saat pertama kali
bertemu dengannya, Mahiru memiliki bagian dari kesulitannya sendiri, jadi
sedikit ejekan ringan tidak mengganggu untuk Amane. Meskipun begitu, itu tidak
berarti dia menikmatinya. Dengan menghela nafas kecil, dia dengan ringan
menggerakkan ujung jarinya ke bawah punggungnya sebagai balas dendam. Dia bisa
merasakan tubuhnya sejenak bergetar sebagai respons.
Namun,
Mahiru tampaknya tidak keberatan dan dengan lembut mengetuk paha Amane dengan
tangannya seolah-olah untuk membalas. Kemudian dia kembali ke buku harian
miliknya dan penanya kembali bergerak dengan mulus di halaman buku itu. Amane
tidak bisa tidak bertanya apakah dia menulis tentang pertukaran kecil mereka barusan.
Dia
merasa rumit, membayangkan Mahiru di masa depan mengejeknya tentang apa yang
sudah dia tulis. Namun, dia tidak memiliki hak untuk menghentikannya dan
mengamati dengan bibir terkatup saat dia dengan gembira melanjutkan menulis di
buku harian-nya.
Mahiru
tidak menulis setiap hari, juga tidak mengisi seluruh halaman setiap kali. Tapi
sampul kulit yang sudah tua itu adalah bukti dari kebiasaannya yang sudah lama.
Dilihat dari jumlah halaman yang sudah terisi, jelas kalau dia sudah menjaga
buku harian itu selama bertahun-tahun. Koleksi halaman itu telah tumbuh bersama
Mahiru dalam perjalanannya, baik dalam jumlah maupun kedewasaan.
"Kamu
penasaran, Amane-kun?"
Mahiru
bertanya sambil mencondongkan kepalanya, menyadari pandangan Amane saat dia
mengamati penanya bergerak di atas halaman.
"Yah,
bakalan bohong sih kalau aku mengatakan tidak penasaran dengan itu, tapi aku
bisa bayangin itu semua adalah kenangan dan emosi pribadi yang sudah kamu pilih
untuk dicatat. Baik hal yang baik maupun yang buruk. Kalau kamu tidak ingin
orang lain melihatnya, aku tidak akan memaksa untuk masalah itu."
Amane
menganggap dirinya sedikit posesif, tapi itu tidak berarti dia memiliki hak
untuk mengikat seseorang hanya berdasarkan perasaannya. Dia tidak berniat
menyakiti pacarnya demi mengutamakan emosinya, juga tidak percaya bahwa
mengetahui segalanya adalah hal yang baik. Itu sepenuhnya adalah pilihan Mahiru
untuk berbagi atau menyembunyikan bagian dirinya itu.
Amane
tidak memiliki suara dalam hal itu.
"Aku
yakin mungkin ada hal-hal yang kamu ingin rahasiakan, dan aku tidak benar-benar
berpikir aku harus membaca itu. Hanya karena aku pacarmu, tidak berarti aku
memiliki hak untuk melihat segalanya. Setiap orang memiliki satu atau dua hal
yang mereka lebih suka simpan untuk diri mereka sendiri."
"Amane-kun,
kamu itu orangnya pengertian sampai-sampai bikin orang lain repot, ya?"
“...”
Amane
merasa seolah-olah dia tidak percaya padanya, dan dia bingung dengan reaksinya.
Namun, mengerti bahwa keheranannya tidak dimaksudkan dengan cara yang
merendahkan, dia memilih untuk tidak mengeluh lebih lanjut.
"Aku
itu bukan kamu, Mahiru. Aku tidak mungkin mengetahui semua tentangmu, juga aku
tidak berpikir aku harus tahu. Kamu juga pasti memiliki hidupmu dan rahasiamu
sendiri, kan?"
"Hehe,
Aku paham...tapi apa kamu tidak pernah menjadi penasaran hanya demi penasaran
itu sendiri, Amane-kun?"
"Aku
tidak merasa aku perlu untuk melihatnya. Selama kamu bisa memberitahuku hal-hal
yang bisa kamu ceritakan padaku, aku sudah cukup."
Ketika
Amane secara teguh menunjukkan rasa hormat karena keinginannya, Mahiru membuat
suara "Hmm" dan mulai membalik-balik halaman buku harian miliknya.
"Saat
kamu menyebutkan hal-hal yang 'ingin aku bagikan', itu sulit untuk
dijawab."
Halaman
kehidupan Mahiru, yang didokumentasikan dengan ujung jarinya yang halus,
berbalik satu per satu dengan sekali geser, setiap halaman mengungkapkan lalu
menyembunyikan huruf-huruf yang tampak sedikit lebih bulat dari sekarang, jelas
ditulis oleh seorang anak.
"Seolah-olah
aku menulis sesuatu yang menarik. Ini bahkan tidak seperti buku harian, tahu?
Mungkin lebih seperti hanya catatan sederhana, seperti laporan semacam itu. Aku
mengira halaman yang paling mirip buku harian adalah sesuatu yang aku tulis
saat masih SMP. Secara emosional, aku belum dewasa, jadi kalau ada sesuatu yang
buruk terjadi, aku menaruh semua yang aku rasa tidak puas ke dalam buku
harianku daripada memikirkannya di dalam kepala."
"Kalau
melakukan itu membuatmu terlihat belum dewasa, terus orang-orang yang melepaskan
kemarahan secara sepihak harusnya seperti bayi atau sesuatu?"
"Yah,
ada saatnya orang tidak dapat mengendalikan emosi mereka sendiri dan
mengarahkan frustrasi mereka pada orang lain."
"Sulit
untuk menyangkal kalau mereka bertingkah seperti anak kecil yang menginginkan
orang lain untuk menghibur mereka."
"Aku
yakin pasti itu benar."
"Kenapa
kamu malah terlihat begitu murung setelah mendengar itu, Amane-kun?"
"Tidak,
hanya saja aku merasa seolah-olah aku mungkin memiliki sisi itu, mungkin?"
Amane
umumnya bukan tipe orang yang mudah marah, dan dia jarang menghabiskan waktu
yang cukup dengan orang lain untuk memiliki kesempatan untuk melampiaskan
kemarahan. Namun, sekarang dia mengambil waktu sejenak untuk mempertimbangkan
kemungkinan bahwa dia mungkin melampiaskan frustrasinya pada orang lain tanpa
dia sendiri menyadarinya.
Orang
sering tidak sadar akan hal itu ketika mereka melakukannya, jadi dia merasa
bahwa berhati-hati bisa berfungsi sebagai pengaman, baik untuk saat ini maupun
untuk masa depan. Mahiru tampaknya merenungkan ini sejenak dan dia
memikirkannya lebih dalam.
"Amane-kun
yang melampiaskan emosinya... itu mungkin sangat menyenangkan."
"Harusnya
kamu bilang tidak!"
"Aku
hanya bercanda."
"Hanya
bercanda, kan?"
"Yah,
bayangin itu saja bisa aku merasa itu lucu."
"Tidak
peduli bagaimana kamu melihatnya, bereaksi seperti itu hanya akan menjadi
penyalahgunaan emosi, tahu? Aku ragu itu bisa disebut 'lucu'..."
Hanya
membayangkan dirinya sendiri melampiaskan emosinya dan mengarahkannya pada
Mahiru membuat Amane merasa mual. Mungkin dianggap lucu untuk seorang anak,
tapi penampilan Amane, meskipun masih muda, dia sudah dekat dengan sosok dewasa
yang terhormat, dan dia pasti sudah berusaha bertingkah sebanyak mungkin
seperti orang dewasa.
Tidak ada
seorang pun yang ingin melihat orang seperti itu berteriak dan berteriak hanya
karena mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mahiru mungkin tidak
benar-benar ingin melihat Amane mengekspresikan emosinya secara terbuka. Mahiru
kemungkinan besar tidak akan menyetuji sifatku yang benar-benar tidak dewasa.
"Bagaimanapun
juga, Amane-kun. Aku tidak berpikir kamu itu tipe orang yang meluapkan
frustrasimu kepada orang lain. Lagipula, kamu bisa cukup merendahkan diri. Kamu
bahkan sering meremehkan diri sendiri, dan merasa putus asa tanpa ada yang
tahu, kan?"
"Ugh."
"Dan
ketika sesuatu yang buruk terjadi, kamu pasti benar-benar merasa sedih dan
bahkan cenderung menyalahkan diri sendiri karena itu. Bahkan jika orang lain
benar-benar salah, kamu masih akan fokus pada kekuranganmu sendiri."
"...Jarang
banget ada waktu dimana orang lain benar-benar merasa seratus persen
salah."
Seperti
yang Mahiru katakan, Amane cenderung menyusut, berpikir bahwa mungkin kesalahan
ada pada dirinya, meskipun tidak sampai pada titik penarikan total.
"Bahkan
jika itu bukan seratus persen, ada banyak kali ketika sembilan puluh sembilan
koma sembilan persen kesalahan ada di orang lain, loh?"
"Yah,
mungkin juga sih. Tapi..."
"Sementara
aku percaya aku tipe yang sama denganmu, aku mencoba untuk lebih berpikir
sempit tentang itu. Aku sebenarnya juga ingin merenungkan tindakanku, tapi aku
tidak menemukan alasan untuk apa aku minta maaf. Aku tidak ingin menghabiskan
seluruh waktuku terjebak dalam rasa bersalahku."
Itu
mungkin pilihan terbaik karena Mahiru bisa membuat penilaian yang tegas seperti
itu, dan Amane merasa itu mengagumkan.
"Yah,
walaupun aku sempat bilang begitu, aku yang dulu tidak hampir sebaik itu dalam
mengatur emosiku, dan aku kekurangan pesona. Aku bahkan tidak bisa mengeluarkannya
dan ni benar-benar menunjukkan betapa mudanya aku."
"Kekurangan
pesona, kah?"
"Kenapa
kamu terus-terusan mempertanyakan bagian itu?"
"Mungkin
ada sesuatu ingin diartikan oleh bidadari yang menggemaskan ini?"
Mahiru
tampaknya tidak sadar akan itu tapi tindakan dan cara bicaranya begitu menarik
sehingga Amane tidak bisa tidak bertanya-tanya apa yang sebenarnya Mahiru
bicarakan.
Mahiru
tampaknya berpikir itu alami bagi orang untuk menggambarkan perilakunya sebagai
Bidadari karena sengaja. Tapi ketika semua itu diambil dan hanya dengan Mahiru,
sendirian dengan Amane, perilakunya menjadi tidak jelas.
Kadang-kadang,
dia akan bertindak dengan cara yang provokatif, mungkin didorong oleh seseorang
tertentu, tapi selain itu, Mahiru adalah dirinya sendiri. Gaya dan pilihan kata
yang menawan sepertinya akan terhitung jika dilakukan oleh orang lain. Meskipun
menakutkan kalau dilihat secara langsung.
"Siapa
ya dulu banget pernah bilang aku tidak lucu?"
Mahiru
mengingat pertukaran di masa lalu.
"Dulu
aku tidak tahu tentang itu."
Amane
merasa menyesal untuk penilaian sebelumnya, dan rasa bersalah itu muncul
kembali sekarang setelah Mahiru mengungkitnya.
"...Seperti
yang pernah kamu bilang, Amane-kun, aku pikir aku memang kekurangan pesona
waktu itu."
"Tidak.
Kalau aku sekarang melihat kamu di masa lalu, aku pasti akan berpikir kamu itu
sangat lucu, tahu?"
"Itu
kalau kamu yang melihatku melalui kacamata, kan?"
"Aku
pikir kamu tetap bakalan lucu meskipun tidak memakai kacamata."
Bagi
Amane, yang sekarang mengenal Mahiru apa adanya, Mahiru yang menolak untuk
membuka hatinya kepada siapa pun dan selalu memakai topeng Malaikatnya untuk
menjauhkan orang yang tidak Mahiru kenal.
Persona
Malaikat Mahiru adalah taktik bertahan hidup yang dia gunakan untuk melindungi
dirinya secara emosional, dan meskipun Amane tidak berniat untuk mengomentari
hal itu, melihat betapa lebih santai dan penuh kasihnya Mahiru saat ini
membuatnya meragukan mereka bahkan orang yang sama.
Amane
sama sekali tidak berniat mengejeknya. Dia hanya menemukan Mahiru sangat
menarik dan dan tersenyum santai. Sebaliknya, Mahiru mengembungkan pipinya
seperti balon sebagai tanggapan atas komentarnya.
Gestur
agak kekanak-kanakan itu sangat menggemaskan, mendorong Amane untuk
menambahkan, "Sekarang, kamu mirip seperti tupai." Sebuah tepukan
ringan melayang ke sampingnya sebagai respons.
Cara
Mahiru mengekspresikan ketidakpuasannya, seperti biasa, menarik.
Amane
tahu perilaku ini hanya diperuntukkan bagi dia, yang membuatnya semakin
spesial.
"...Dan
sekarang, kamu bertingkah seperti anak kucing yang jujur dan ingin dimanja,
tidak seperti saat kita pertama bertemu."
"Apa
aku boleh mengulanginya?"
"Kamu
tidak perlu lagi, kan?"
Mungkin
tepat untuk mengatakan bahwa kebutuhan akan topengnya sudah hilang. Mahiru
tidak perlu lagi berpura-pura di sekitar Amane. Dia membiarkan dirinya lebih
sering mengekspresikan sisi lembutnya karena dia percaya bahwa orang-orang di
sekitarnya akan menerima dirinya yang apa adanya.
Kepercayaan
itu, kasih sayang yang diarahkan padanya, membuatnya lebih bahagia dari apapun.
"Aku
tidak perlu memakai topeng saat aku sedang bersamamu, Amane-kun."
"Kamu
memang tidak memakainya sejak awal kita bertemu."
"Yah,
maaf."
"Maaf..."
"...Kamu
boleh mengelus kepalaku sebagai permintaan maaf, tahu?"
Saat Mahiru
menawarkan kepalanya dalam antisipasi elusan yang akan datang dan hampir
membuat Amane tertawa, dia dengan patuh mengelus rambut sutranya yang halus.
Rambutnya terawat baik, seperti biasa, menyerupai benang flaks, dan terasa
sangat lembut. Tidak hanya itu, rambutnya juga wangi, meninggalkan aroma yang
menyegarkan namun manis di udara.
Menggerakkan
jarinya dengan hati-hati melalui rambutnya yang tergerai menutupi bahunya,
ekspresi tidak senangnya perlahan-lahan melunak seolah-olah mengeluarkan lebih
banyak kebahagiaan.
"Apakah
ini sesuai dengan keinginanmu, nyonyaku?"
"Iya."
Sesuai
dengan katanya, Mahiru menunjukkan ekspresi yang terang-terangan gembira, yang
membuat Amane tidak bisa tidak membayangkannya dengan ekor dan
mengibas-kibaskannya dengan bersemangat.
"Hmm,
kucing? Atau mungkin anjing...?"
"Kamu
bilang sesuatu?"
"Tidak."
Karena
takut mengatakan terlalu banyak mungkin akan merusak moodnya, dia menelan
pikirannya dan terus mengelus kepala Mahiru dengan lembut. Menerima
sentuhannya, Mahiru tampaknya mengabaikan komentar sebelumnya dan dengan lembut
bersandar padanya.
Buku
harian itu tetap berada di tangannya, menegaskan keberadaannya.
"Kamu
tidak mau menulisnya?"
Amane
bertanya-tanya.
"...Setelah
ini, aku berniat menulis tentang bagaimana Amane-kun sekali lagi
memperlakukanku seperti binatang."
"Pasti
di masa depan kamu bakalan berpikir aku orangnya buruk, kan?"
Mahiru
tertawa kecil.
"Kalau
kamu kebetulan tidak ingat, kamu mungkin akan bertanya-tanya apa yang sedang
kamu lakukan."
Deskripsi
tentang peristiwa sebelumnya sudah diputuskan saat Mahiru dengan lembut melacak
jarinya di sepanjang buku harian untuk menemukan di mana dia berhenti.
"Aku
ingin menciptakan berbagai macam kenangan. Seperti buku harian yang sudah aku
simpan sejauh ini, aku ingin mengumpulkan dan menyatukannya semua."
Dengan
itu, Mahiru menggulir halaman buku itu lagi, menatap huruf-huruf yang sedikit
pudar, ditulis dengan tinta yang telah berubah warna karena usia, dan kembali
ke masa lalu, menatap langsung melalui halaman pada kenangan-kenangan waktu itu
dalam hidupnya.
"Saat
aku tidak bersamamu, aku tidak benar-benar merasa terpenuhi. Aku baru menyadari
itu sekarang, Amane-kun."
Mahiru
mengungkapkan ini tidak dengan penyesalan atau ketidakpuasan, tidak dengan
kepahitan atau kesedihan, tetapi hanya dengan nada yang penuh renungan dan
nostalgia yang juga tercermin dalam tatapan matanya yang jernih dan bahagia.
Dengan itu, dia dengan tenang menutup matanya, menggulir ke halaman lain yang
pasti sudah dia tulis sejak lama.