Otonari no Tenshi-sama Jilid 8.5 Bab 2 Bahasa Indonesia

Penerjemah: Maomao

Bab 2 — Orang Yang Terlihat Mirip Namun Sedikit Berbeda

 

Hari itu adalah hari libur biasa. 

Mahiru hampir kehabisan sampo yang biasa ia gunakan setiap hari, dan pergi keluar untuk mengisi kembali stoknya. Saat dia keluar, dia juga mampir ke salon kecantikan langganannya untuk merawat dan memangkas rambutnya.

Dalam perjalanan pulang, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah kafe. Meskipun tempat itu penuh, kemungkinan karena hari libur, ia mencari-cari tempat yang kosong, dan melihat wajah yang tidak asing lagi, sedang duduk di pojokan. Namun, Mahiru tidak yakin apakah ia harus menyapanya. Kalau dia adalah Chitose, ia akan dengan mudah menyapa, tetapi ini adalah seseorang yang jarang dia ajak berinteraksi secara langsung.

Sejujurnya, kami tidak terlalu dekat.

Orang yang dimaksud adalah Yuuta. Mahiru tidak dapat memahami jarak di antara mereka ketika mereka bertemu seperti ini di sebuah kafe.

Sejujurnya, baginya, dia adalah teman Amane, Chitose, dan Itsuki. Statusnya tidak lebih dari itu.

Meskipun mereka berbicara secara normal saat bertemu, namun jika ditanya, Itsuki akan merasa sulit untuk menyebutnya sebagai temannya. Itsuki sudah agak jauh, dan Yuuta, sebagai teman Itsuki, bahkan lebih jauh lagi.

Bisa dibilang, hubhungan mereka hanyalah temannya dari teman. Dan meskipun jelas bahwa ia bukan orang yang jahat, Mahiru juga tidak bisa mengatakan bahwa mereka dekat. Hubungan mereka hanya sebatas itu, dan mereka tidak cukup dekat untuk memulai percakapan saat bertemu di tempat umum.

Hmm.

Sambil memegang nampannya dengan kedua tangan, Mahiru ragu-ragu sejenak, tetapi setelah mempertimbangkan bahwa ia mungkin akan menghalangi pelanggan di sekelilingnya jika ia melanjutkannya, ia dengan ragu-ragu mendekati Yuuta. Dia duduk di meja untuk dua orang, sambil membaca dengan tenang.

Halo, Kadowaki-san.

Eh? Oh, Shiina-san. Halo.

Mahiru menyapa Yuuta, tapi wajahnya terangkat sedikit terkejut karena tiba-tiba disebut namanya.

Karena hari itu adalah hari libur, Yuuta mengenakan pakaian kasual yang bahkan menurut Mahiru, membuatnya terlihat cukup tampan. Hanya dengan mengangkat kepalanya saja sudah membuat heboh wanita-wanita lain di kafe itu. Melihat orang-orang di sekitarnya bereaksi saat dia mengubah ekspresi terkejutnya menjadi senyum lembut, Mahiru berpikir dia juga pasti mengalami kesulitan.

Keluar belanja hari ini?

Iya, aku mampir sebentar untuk istirahat dan kebetulan melihatmu ada di sini.

Dia menggoyangkan tas belanja di tangannya untuk menunjukkannya, yang mana Yuuta mengangguk mengerti.

Ah, aku mengerti. Mau pakai kursi di sini saja? Sepertinya tidak ada yang lain yang kosong.

Terima kasih banyak, aku akan menerima tawaran itu.

Meskipun dia merasa mungkin itu agak kurang sopan atau tidak malu-malu, Mahiru setuju dan mengambil kursi di hadapannya.

Mengingat status mereka di sekolah, berbagi meja seperti ini mungkin agak berisiko. Lagipula, sangat mungkin ada siswa lain dari sekolah mereka yang berada disini.

Tetapi, tidak ada tempat duduk lain yang kosong, dan hasil pemindaian cepat di sekeliling kafe menunjukkan bahwa tidak ada tempat duduk yang tersedia dalam waktu dekat. Ini adalah pilihan yang tidak bisa dihindari.

Sambil meletakkan nampannya, Mahiru menarik napas dalam-dalam. Yuuta sudah tersenyum, menarik kertas-kertas lepas ke arahnya yang ada di atas meja. Ada juga buku-buku pelajaran dan kotak pensil. Ia jelas-jelas sedang belajar sendirian.

Begini, Kadowaki-san... Kayaknya kamu sedang libur dari kegiatan klub. Apa kamu sekarang lagi belajar?

Iya. Aku berpikir untuk melakukannya di rumah, sayangnya kakak-kakakku cukup berisik.

Kakak-kakakmu?

Mahiru ingat bahwa dia pernah mendengar dari Amane kalau Yuuta memiliki kakak perempuan, tapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak melebarkan matanya pada kata 'berisik', yang diucapkan Yuuta dengan nada yang agak bermasalah.

Dia tidak tahu tentang keluarganya, tapi sulit membayangkan bahwa kakak perempuan Yuuta, yang cukup tenang untuk ukuran seorang siswa SMA, bisa begitu bermasalah.

Melihat Mahiru berkedip berulang kali karena tidak percaya, Yuuta menambahkan,

Sulit dipercaya, kan? Aku tahu, kok.

Dia menawarkan senyum pahit.

... Ini bukanlah sesuatu yang harus aku bilang kepada wanita lain, tapi yah, kalau kamu seorang pria dengan banyak saudara perempuan, kamu pasti akan berada dalam situasi di mana kamu tidak bisa melawan mereka. Kamu sering kalah jumlah dan tidak punya pilihan selain mendengarkan apa yang mereka inginkan... dan kamu terpaksa untuk bekerja keras.

Jadi keluarga seperti itu memang ada, ya?

Mahiru, yang merupakan anak tunggal, tentu saja tidak bisa memahami bagaimana rasanya memiliki seorang kakak perempuan. Kecuali, yang dia tahu, ibunya memiliki anak di tempat lain.

Lebih dari itu, dia tidak begitu memahami konsep seperti apa keluarga pada umumnya, jadi dia tidak tahu bagaimana saudara kandung biasanya berinteraksi satu sama lain. Bahkan ketika orang-orang menyebutkan bahwa ada hierarki, hal itu tidak sesuai dengannya.

Setiap keluarga berbeda, tapi dalam kasusku, kakak-kakakku sedikit agak berkemauan keras...

Mahiru tertawa kecil.

Kamu adalah orang yang lembut dan sopan, Kadowaki-san. Aku menduga kamu pasti akhirnya menuruti keinginan kakak-kakakmu.

Kamu memang pandai memilih kata-kata, ya?

Aku pikir pemilihan yang positif akan lebih tepat.

Apapun itu, faktanya tetap saja Yuuta merasa terganggu. Dia pikir tidak baik untuk bersimpati padanya dengan cara yang negatif, jadi dia mengambil jalan untuk memujinya. Sebagai tanggapan, ia memberikan ekspresi yang agak tidak nyaman.

Dia terlihat tidak menyimpan perasaan tidak enak terhadap saudara-saudaranya, jadi seolah-olah dia tidak membenci mereka. Mengetahui hal ini, Mahiru menyimpulkan bahwa ia mungkin tidak salah langkah.

Lagi pula, selalu ada tugas yang dibebankan kepadaku kalau aku tinggal di rumah, dan aku tidak dalam suasana hati yang cukup serius untuk belajar di perpustakaan, jadi aku datang ke sini untuk beristirahat.

“Begitu ya.

Mahiru mengerti apa yang ia katakan, tetapi masih ada sesuatu yang tidak pas.

Tapi, apa ini bisa benar-benar dianggap sebagai 'waktu istirahat'?

Sambil melihat sekeliling, Mahiru menyadari bahwa ada beberapa wanita muda yang sering mencuri pandang ke arah mereka dan berbisik satu sama lain. Dia tidak tertarik untuk mendengar isi pembicaraan mereka, tetapi kemungkinan besar mereka sedang membicarakan Yuuta.

Dia sepertinya mengerti apa yang dimaksud Mahiru, karena dia menunjukkan senyum tipis.

Hmm, mungkin iya, lagipula aku sudah terbiasa dengan situasi begini.

Kamu ternyata juga punya masalahmu sendiri, Kadowaki-san.

Hahaha, tidak sebanyak kamu, Shiina-san.

Dalam hal ini, aku hanya bisa jawab, 'Aku juga sudah terbiasa.'

Kita berdua punya masalah kita sendiri, kan?

Benar. Ini cukup bermasalah.

Mahiru dan Yuuta mirip dalam hal ini.

Meskipun mereka berdua tersenyum pahit saat disebut seperti itu, mereka dikenal dengan julukan Malaikat dan Pangeran, dan keduanya adalah individu yang sangat hebat.

Mereka cenderung menerima perhatian yang tidak diinginkan dari lawan jenis dan sering didekati atau dikagumi. Melihat situasi saat ini, Mahiru merasa seolah-olah mereka memiliki pengalaman yang mirip.

Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa Mahiru sengaja bertindak seperti itu, sementara Yuuta kemungkinan besar hanya menjadi dirinya sendiri. Tidak mungkin Yuuta memiliki sisi tersembunyi seperti Mahiru.

“Jadi, Shiina-san, kamu menganggapnya sebagai masalah?”

“Oh? Tapi aku tidak mengatakan apa yang aku anggap bermasalah.”

“Aku juga tidak.”

Mahiru terkekeh.

Dia mengira mereka agak mirip, tetapi mereka mungkin juga memiliki kepribadian yang terlihat mirip. Meskipun Yuuta tidak terlihat selicik Mahiru, dia juga tidak terlihat sebagai orang yang benar-benar polos atau terus terang, ada lebih banyak dari itu. Senyum yang mereka tukarkan menyampaikan pemahaman bersama untuk tidak menyelidiki lebih dalam.

“Ngomong-ngomong, melanjutkan permainan tebak-tebakan ini tidak akan membawa kita ke mana-mana, jadi jangan menyelidiki lebih jauh. Itu tidak sopan. Selain itu, memang benar kalau kamu juga memiliki masalah sendiri, Shiina-san. Jadi mari kita katakan kita berdua mengalami kesulitan.”

“Setuju.”

Mahiru merasa sedikit lega bahwa Yuuta dengan cepat meninggalkan topik itu, mengatakan bahwa tidak ada gunanya menggali lebih dalam urusan masing-masing. Namun, dia merasa tidak boleh lengah sepenuhnya.

Mengetahui bahwa dia cocok dengan Amane, yang tidak suka bersosialisasi dan agak waspada, Mahiru tahu tidak ada masalah. Ditambah lagi, dia menganggap karakter Yuuta sangat tinggi, bahkan hanya sebagai seseorang yang terkadang dia lihat di sekolah.

Dia bahkan merahasiakan kencan Golden Week nya dengan Amane ketika mereka kebetulan bertemu, dan memperlakukannya dengan tenang tanpa banyak reaksi untuk statusnya sebagai Malaikat. Oleh karena itu, dia menganggapnya sebagai orang yang cukup baik.

Namun, dia mendapati dirinya sedikit berhati-hati di sekitarnya. 

Suatu kali, dia mendapat kesan bahwa Amane kesulitan bergaul dengan orang lain, tetapi orang yang benar-benar kesulitan bergaul dengan orang lain adalah Mahiru sendiri.

Beroperasi di bawah prinsip bahwa seseorang tidak boleh mudah mempercayai orang lain, dia mempertahankan tembok tipis yang tidak terlihat untuk melindungi ruang pribadinya saat bertindak sebagai malaikat. Mungkin itulah sebabnya dia tidak bisa sepenuhnya mempercayainya. Mahiru tidak membencinya, melainkan, dia hanya tidak mengenalnya dengan baik, membuatnya menjadi teka-teki di benaknya.

Tidak menyadari penilaian internal Mahiru, Yuuta menatapnya dengan senyum lembutnya yang biasa.

“Jadi, apa kamu keluar dengan Shirakawa-san hari ini, Shiina-san?”

“Tidak, aku keluar sendiri hari ini. Chitose-san sepertinya punya rencana dengan Akazawa-san, dan kami tidak selalu bersama.”

Tentu saja, Chitose adalah teman sebaya terdekatnya, tetapi mereka tidak selalu melakukan segalanya bersama-sama. Chitose memiliki banyak teman lain, dan dia terkadang menghabiskan waktu bersama mereka atau dengan pacarnya, Itsuki.

Mahiru sudah memeriksa jadwal Chitose untuk hari itu dan bahkan tidak mengundangnya. Tidak masuk akal untuk menyusahkannya hanya untuk berbelanja perawatan rambut, dan dia juga tidak ingin mengganggu waktunya dengan pacarnya.

“Ahhh, kalau tidak salah Itsuki memang menyebutkan sesuatu seperti itu. Hanya saja aku selalu membayangkan kamu dan Shirakawa-san itu selalu bersama.”

“Hehe, kami belum berinteraksi selama itu sebenarnya.”

“Mungkin itu karena dampak yang kuat? Kapan pun Shirakawa-san melihatmu, dia selalu seperti, ‘Mahiruuun!’ dan berlari ke arahmu.” 

“Memang, dia sangat memperhatikanku.”

Mahiru, sebenarnya, diurus dengan baik oleh Chitose yang ramah. Karena Chitose cukup proaktif dalam mendekatinya, orang-orang di sekitar mereka dengan cepat memiliki kesan bahwa mereka sangat dekat. 

Cara mereka memperlakukan satu sama lain menunjukkan bahwa mereka sudah berteman selama bertahun-tahun, tetapi pada kenyataannya, mereka baru berteman sejak awal tahun. Secara ketat dalam hal waktu, tidak banyak yang sebenarnya sudah berlalu.

“Aku melihat kalian berdua dekat, tapi aku rasa itu belum lama, ya? Di tahun pertama kita, baik kamu dan Shirakawa-san berada di kelas yang berbeda… Kapan kalian mulai dekat?” 

“Aku percaya kita mulai dekat sekitar awal tahun ini.”

“Ah, jadi sudah kurang dari setengah tahun.” 

“Aku sangat bersyukur dia begitu baik padaku.”

Mengapa Chitose menyukainya masih menjadi misteri, bahkan bagi Mahiru. Namun dia telah diselamatkan berkali-kali oleh sikap Chitose yang tulus dan ceria. Ada saat-saat ketika Chitose sedikit terlalu energik, tetapi itu adalah bagian dari pesonanya.

“Iya, Shirakawa-san benar-benar menyukaimu. Aku sering mendengar tentangmu darinya.”

Ya ampun… apa sih yang dilakukan Chitose-san.”

Mahiru tidak menyangka Chitose akan berbicara tentang dirinya bahkan kepada Yuuta dan tidak bisa menahan diri untuk menegurnya, meskipun dia tahu Chitose tidak ada di sana.

Dia sudah menunjukkan sisi dirinya kepada Chitose yang tidak akan dia tunjukkan kepada Yuuta, jadi Mahiru benar-benar khawatir tentang apa yang mungkin sudah Chitosw katakan. Namun, Yuuta memandangnya dengan cara yang sama seperti biasanya, jadi dia ingin percaya bahwa Chitose tidak mengisi kepalanya dengan ide-ide aneh.

Aku harus berbicara dengan Chitose-san nanti…

Mahiru menyesap kopi au lait-nya yang sekarang sudah cukup dingin.

Sementara itu, Yuuta menatapnya dengan ekspresi lembut.

“…Aku terkejut kamu bisa secara normal berbicara denganku.”

“Apa maksudmu?”

Dia bertanya sebagai tanggapan setelah melembabkan bibirnya.

Yuuta terdiam, berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat.

“Hmm, cara terbaik untuk mengatakannya…”

Kata-katanya terdengar sedikit menghindar.

“Yah, aneh bagiku untuk mengatakannya, tapi kita ini tidak terlalu dekat kan, Shiina-san? Bagimu, aku mungkin hanya teman dari seorang teman. Aku pikir mungkin akan canggung kalau kita sedang berduaan seperti ini.”

Mahiru berkedip beberapa kali, terkejut bahwa Yuuta menyebutkan sesuatu yang juga dia khawatirkan. Namun, matanya memiliki tatapan penuh perhatian yang hampir bermasalah, disertai dengan senyum samar. Ini meyakinkannya sedikit, dan dia sedikit mengurangi kewaspadaannya kepada Yuuta.

“Yah, rasanya akan bohong jikla aku tidak mencemaskan hall tersebut, tapi aku cukup menyadari orang seperti apa kamu itu, Kadowaki-san.”

“Aku bersyukur kamu bisa paham. Aku sepenuhnya berasumsi kalau kamu itu menganggapku tidak menyenangkan, Shiina-san.”

“‘Tidak menyenangkan? Bagaimana?”

“Yah, lebih seperti ‘Akan menimbulkan masalah jika aku terlibat dengan pria ini, jadi lebih baik jauhin dia,’ semacam itu?”

Seperti yang dicurigai Mahiru, Yuuta adalah individu yang cerdas dan peka. Dia peka terhadap pendapat orang lain. Alasan mereka berdua menjaga jarak satu sama lain adalah untuk menghindari masalah yang mungkin akan terjadi. Tentu saja, Mahiru tidak tertarik padanya dengan cara itu, yang merupakan faktor terbesar, tetapi dia juga curiga bahwa terlibat dengannya bahkan secara santai akan menimbulkan masalah.

Menjadi seorang gadis yang populer di kalangan laki-laki dan Yuuta menjadi seorang laki-laki yang populer di kalangan gadis, persahabatan mereka yang potensial dapat mengundang kecemburuan yang tidak diinginkan dan berpotensi membahayakan salah satu dari keduanya. Tidak sulit untuk membayangkan spekulasi negatif yang akan datang terbang ke arah mereka.

Jika bukan karena Amane berteman dengan Yuuta, dia bahkan tidak akan mempertimbangkan ide untuk berbagi meja seperti ini. Karena dia ingin menghindari menambah kekhawatiran yang tidak perlu, dia mungkin akan memilih untuk menjaga jarak, dan membiarkan anjing tidur tetap tidur.

Meskipun keduanya cukup populer untuk mendapatkan nama panggilan yang memalukan, kemungkinan Yuuta juga menjaga jaraknya karena alasan yang sama. Namun, dari sudut pandang Mahiru, penjelasan yang lebih meyakinkan hanyalah bahwa keduanya tidak terlalu tertarik satu sama lain.

“Aku mengerti. Memang ada hal-hal yang harus diwaspadai, tapi itu tidak membuatmu menjadi orang yang tidak aku sukai kok, Kadowaki-san.”

“…Kurasa itu benar.”

“Sementara kita menjaga jarak tertentu untuk menghindari rumor yang tidak perlu, bukan berarti aku punya pemikiran khusus tentangmu.”

Bahkan sekarang, aku masih agak waspada di sekitarnya.

Ia terlihat sedikit cerdik, pikir Mahiru, meskipun dia tidak menganggap kepribadian Yuuta tidak menyenangkan. Faktanya, dia menganggapnya sebagai jenis yang lebih disukai. Meskipun dia pada umumnya tidak suka berinteraksi dengan orang lain, dia menganggap sifatnya dapat diterima, setidaknya sejauh mengadakan percakapan seperti ini.

“Baiklah, terima kasih.”

“Sebaliknya, aku sebenarnya bertanya-tanya apakah kamu yang memiliki keraguan tentangku.”

“Tidak kok.”

“Kurasa, itu bagus.”

Mahiru mengerti bahwa dia hampir tidak pernah berbicara dengannya, karena pertimbangan pengaruhnya. Tapi dia juga memperhatikan bahwa bahkan ketika orang lain tidak melihat, sikap Yuuta hampir tidak berubah. Dia bisa merasakan sedikit rasa canggung darinya di waktu-waktu tertentu, yang membuatnya bertanya-tanya apakah Yuuta memiliki beberapa keraguan tentangnya.

Namun, Yuuta malah menurunkan alisnya sebagai tanggapan atas pertanyaannya, tampak bermasalah. Rupanya, dia tidak mengenai sasaran — sebaliknya, ekspresi wajah Yuuta menunjukkan bahwa dia tidak mengharapkan Mahiru mengungkapkannya dengan cara itu.

Apakah aku hanya salah paham? pikir Mahiru, merevisi evaluasinya dengan desahan lembut.

“Ngomong-ngomong, apa kamu baik-baik saja untuk minum teh denganku?”

“Hmm?”

Saat dia menghela napas, berpikir bahwa dia masih jauh, Mahiru menerima pertanyaan yang tidak terlalu dia pahami. Dia akhirnya menjawab dengan suara normalnya, yang mengejutkan Yuuta, jadi ketika Mahiru membersihkan tenggorokannya dan bertanya lagi, “Dengan cara apa?” dia mengenakan senyum canggung yang berbeda dari sebelumnya.

“Maksudku, apa kamu tidak… perlu pergi ke Fuji— …pulang ke rumahnya segera? Atau tidak apa-apa untuk tidak ke sana?”

Yuuta sengaja menghindari menggunakan nama, mungkin karena pertimbangan pengaturan publik. Tapi dalam kasus itu, Mahiru berharap dia tidak bertanya sama sekali. Dia hampir menumpahkan kopi au lait-nya karena shock.

Bertemu dengan tatapan Yuuta dengan hati-hati agar tidak mengungkapkan kegelisahannya, Mahiru menemukan Yuuta menatapnya kembali dengan ekspresi aneh yang ingin tahu.

“Ke-Kenapa kamu malah mengatakan itu?”

“Hah? Yah, kalian selalu bersama, kan?”

“Ba-Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu?”

“Yah, sejujurnya, itu terlihat cukup jelas… Dengan cara kalian memperlakukan satu sama lain, siapa pun yang melihat kalian berdua bersama pasti sadar kalau kalian selalu bersama, tahu?”

Yuuta sudah diberitahu bahwa Mahiru sering memasak makanan di rumah Amane, dan telah memahami bahwa mereka berteman dekat. Tapi Mahiru sama sekali tidak mengharapkannya untuk menyiratkan bahwa mereka selalu bersama.

Memang, Mahiru sering berada di rumah Amane, hampir sampai ke titik di mana itu terasa seperti rumah keduanya. Dia bahkan menghabiskan sebagian besar waktunya di sana di luar waktu makan. Amane juga tidak pernah menolaknya—sebaliknya, mereka secara alami mulai menerima ini sebagai rutinitas mereka. Namun, diberitahu oleh seseorang yang tidak benar-benar terlibat dengan mereka datang sebagai kejutan besar baginya.

Kemudian, secara halus diingatkan bahwa orang lain sudah menangkap perasaannya terhadap Amane adalah kejutan lain. Hampir merintih, Mahiru harus berjuang untuk mempertahankan ekspresi biasanya, apakah dia berhasil atau tidak.

“…Bukan berarti aku di sana s-setiap hari.”

“Masih lebih dari yang aku harapkan. Mungkin seperti enam hari seminggu, kan?”

“Aku tidak akan menyangkal itu. Kami membagi biaya makanan, jadi tentu saja, kami akhirnya makan bersama.”

Yuuta mengangguk dengan serius.

“Wajar saja Shiina-san untuk bersamanya sepanjang waktu.”

Mahiru, tidak bisa menahan responsnya lebih lama lagi, menatapnya dengan curiga.

“Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan, Kadowaki-san?”

“Hah? Tidak ada yang istimewa, sungguh. Kalau ada satu hal yang harus aku katakan, kamu terlihat jauh lebih hidup sekarang daripada saat aku melihatmu di sekolah.”

“Apa semua orang di sekolah juga merasa seperti itu?”

“Mungkin, tapi itu sedikit berbeda dibandingkan saat kamu sedang bersama Shirakawa-san.”

Mahiru menutup bibirnya, tidak bisa menawarkan balasan. Yuuta kemudian melambaikan tangannya dengan lembut dengan tatapan lembut, seolah untuk meyakinkannya.

“Bukan berarti aku ingin mempermasalahkannya atau apa pun itu. Aku hanya berpikir kalau mungkin saja kamu lebih suka menghabiskan waktu dengannya daripada denganku. Apa kamu tidak khawatir karena sudah membuat dia cemburu?”

Tampaknya Yuuta khawatir dengan caranya sendiri, tetapi bagi Mahiru, kata-kata seperti itu buruk untuk hatinya.

Cemburu, dari semua hal…

Asal tahu saja, Amane bukanlah tipe orang yang cemburu dengan siapa Mahiru berinteraksi. Kepribadiannya seperti apa adanya, dia tidak pernah cemburu pada sesuatu atau seseorang yang bukan miliknya.

Orang yang selalu cemburuan justru Mahiru.

“Andai saja dia melakukannya, aku tidak akan mengalami kesulitan seperti ini.”

“Hahaha.” 

“Di sisi lain, apa kamu percaya dia akan cemburu, Kadowaki-san?”

“Hmm, aneh untuk mengatakan ini karena aku yang memulainya, tapi aku tidak berpikir dia akan cemburu. Jika semisalnya kamu mengatakan kepadanya kalau kamu minum teh denganku, dia mungkin hanya bilang, Oh, begitu ya.”

“…Rupanya kamu sangat memahaminya.”

“Apa sebelumnya juga seperti itu?”

“Iya, aku pernah berbicara dengan Akazawa-san. Sebelum ada sedikit pun kecemburuan, dia hanya khawatir apakah kami sudah berbicara tentang hal-hal yang tidak perlu.”

“Kedengarannya seperti sangat menggambarkan sifatnya.”

“Bukan seperti dia akan cemburu, jadi itu bukan masalah.” 

“Jika ada, aku merasa kamu akan menjadi orang yang cemas tentang hal-hal seperti itu, Shiina-san.”

Dia bisa membaca orang dengan sangat mudah seperti itu. Mungkin aku harus menganggapnya sebagai orang yang sulit dihadapi setelah semuanya? Mahiru tidak bisa tidak memikirkan hal itu.

Tidak seperti Amane, yang terus terang dan lugas meskipun sikap tenangnya yang biasa, atau Itsuki, yang selalu terlihat melihat gambaran yang lebih besar sambil mengenakan senyum santai, Yuuta adalah pemikir yang dalam, tipe yang menyembunyikan pikirannya di balik senyumnya—lawan yang merepotkan jika membuatnya menjadi musuh.

Itsuki juga bisa sulit untuk berinteraksi, tetapi dia jelas berada di pihak Amane dan memiliki motif yang mudah dipahami, membuatnya lebih mudah untuk berinteraksi dengannya. Tapi dia tidak bisa membaca posisi Yuuta.

Dia akhirnya menatapnya dengan tatapan mempelajari untuk menyelidiki niatnya, yang ditanggapi Yuuta dengan alis yang diturunkan dan senyuman.

“Maaf, aku tidak bermaksud menggodamu. Hanya saja, ketika menyangkut dia, kamu itu mudah dibaca.”

“…Apa benar-benar terlihat sejelas itu?”

“Yup.”

Yuuta mengangguk tanpa ragu sejenak.

Karena sudah tidak dapat menahannya, Mahiru dengan halus menekan pipinya dan menghela nafas pelan.

“Aku harus lebih berhati-hati, masih terlalu cepat soalnya.”

“Cepat, ya?”

“Benar, cepat.”

“Semoga waktu yang tepat untukmu akan segera datang, Shiina-san.”

Sementara Mahiru bertanya-tanya apakah ada makna yang tersembunyi di balik kata-kata Yuuta, kemungkinan itu hanya dukungan murni darinya. Bukan berarti dia punya ruang untuk mengeluh, dia juga memiliki sedikit kegelapan tentang dirinya di mata orang lain. Meskipun begitu, dia masih kesulitan membaca pikirannya dan menyipitkan matanya sedikit.

“…Maaf karena sudah bertanya seperti ini, tapi apakah kamu pernah diberitahu kamu itu orangnya sulit dibaca?”

“Apa kamu juga sering mendapatkannya, Shiina-san?”

Dengan sedikit tawa, Mahiru menjawab, “Orang-orang sering mengatakan itu, sih. Tapi yah, mereka hanya bilang saat dibelakangku saja.”

Memang, Mahiru tidak dalam posisi untuk mengkritik Yuuta dalam hal itu.

Dia mempertahankan topengnya sebagai Malaikat, dan memperlakukan semua orang dengan hormat, kebaikan, dan kesopanan. Ketika dikatakan oleh mereka yang tidak menyukainya, kalimat itu seperti menyebutnya bermuka dua, tetapi tidak ada yang bisa dilakukan Mahiru tentang itu.

Dia terbiasa dibicarakan dengan buruk. Meskipun dia menerima kata-kata pujian dari banyak orang, dia juga menerima kata-kata iri, cemburu, dan dendam. Sejak membangun persona Malaikatnya, itu benar-benar hanya terjadi di belakang punggungnya, tetapi bahkan saat itu, masih ada yang memfitnahnya sambil memastikan dia bisa mendengar mereka saat dia sendirian.

Dia mengerti bahwa semakin terang cahayanya, semakin gelap bayangan yang dilemparkan. Itulah sebabnya dia tidak pernah berusaha mengubah aspek dirinya itu, juga tidak percaya dia bisa melakukannya.

Aku sudah terbiasa dengan itu.

Aku sudah pasrah dengan itu.

Tanpa mengubah ekspresinya, dia menempatkan perasaan itu ke dalam senyumnya, menyampaikannya tanpa kata-kata.

Pada saat ini, senyum Yuuta menjadi gelap. “Jadi kamu sudah menyadarinya, ya?”

“Ya, aku sudah sadar tentang hal itu.” 

“…Kamu benar-benar lebih sulit dariku, Shiina-san.”

“Yah, aku terbiasa dengan itu.”

Mungkin dia seharusnya tidak, tetapi itu sudah menjadi rutinitas sampai-sampai terasa seperti kehidupan sehari-hari. Itu sudah menjadi kehidupan sehari-harinya.

“Tidak perlu berpikir berat tentang itu. Faktanya, segalanya akan menjadi lebih buruk kalau kamu mencoba mengubahnya.”

“Aku tidak cukup bodoh untuk menambah bahan bakar ke api.”

“Terima kasih untuk keputusan bijakmu.”

Yuuta memiliki akal sehat untuk tetap menjadi orang luar dan dia mengetahui pengaruhnya sendiri dengan sangat baik. Itu merupakan kelegaan bagi Mahiru. Dia pasti tahu bahwa itu bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan rasa keadilan saja.

“Pastikan untuk memberitahukannya sebelum itu menyakitimu.”

“Poin yang bagus. Aku akan memikirkannya.”

Yuuta menawarkan nasihat terbaik yang dia bisa. Namun, Mahiru tidak berniat mengandalkan Amane kecuali benar-benar perlu.

Namun, itu menghibur untuk mengetahui bahwa dia memiliki seseorang untuk dituju, dan dia bisa melihat bahwa saran Yuuta datang dari tempat yang penuh perhatian. Dengan itu, Mahiru mengangguk dengan tulus dan menghabiskan kopi au laitnya yang sudah lama dingin.

 

 

Pada saat Mahiru menyelesaikan beberapa belanjaan tambahan setelah berpisah dengan Yuuta, itu sudah malam. Saat dia kembali ke rumah, atau lebih tepatnya, ke tempat Amane, sensasi hangat memenuhi dadanya saat melihat Amane dengan rajin menyiapkan makan malam. Masih tidak menyadari kepulangannya, dia bekerja keras di dapur menangani sayuran sendiri, mengikuti resep yang ditinggalkan Mahiru untuknya.

Akhir-akhir ini, dia memakai celemeknya dengan percaya diri. Melihatnya mengukur bahan-bahan dan meneliti resepnya, rasa sayang yang tidak terlukiskan muncul di dalam dirinya, membuat tersenyum.

“Aku pulang.”

Amane, yang terlalu tenggelam dalam tugasnya, terlihat melompat saat mendengar suaranya. Dia melihat ke arahnya dan saat mata mereka bertemu, dia menawarkan senyum hangat.

Alis matanya kemudian melorot dengan cara meminta maaf.

“Ah, selamat datang. Maaf, aku terlalu fokus sampai-sampai tidak menyadarinya.”

“Aku sudah menduganya. Itu terlihat jelas saat melihatmu.”

Mahiru tidak bermaksud menyalahkannya. Sebaliknya, melihatnya memasak sendiri memenuhi hatinya dengan kehangatan, bahkan, dia merasakan kebahagiaan dan kegembiraan yang tulus dari situasi itu.

“Padahal kamu bisa menungguku kembali ke rumah. Aku juga sudah mengirimimu pesan kalau aku akan segera pulang, lho?”

“Aku belum memeriksa ponselku, maaf. Tetap saja, bukankah akan lebih mudah bagimu kalau aku menyiapkan beberapa hal sebelum kamu kembali?”

Mahiru merasakan campuran rasa gatal dan kegembiraan saat dia kemudian tertawa, menambahkan,

“Masakan hari ini pasti membutuhkan waktu lama untuk kamu siapkan, kan? Dengan perlunya marinasi dan semuanya.”

Amane sudah menempuh perjalanan panjang, dari awalnya hanya mengandalkan dia untuk mengurus semuanya hingga kemudian membantu, dan sekarang bahkan mengambil inisiatif untuk memasak, pertumbuhannya luar biasa. Jika Amane dari enam bulan yang lalu bisa melihatnya sekarang, dia akan kagum.

“Terima kasih,” gumam Mahiru pelan kepada Amane, yang sangat pengertian untuk memastikan jalan-jalannya menyenangkan. Namun, Amane sendiri merasa ini agak lucu, mengatakan, “Biasanya itu kalimatku.”

“Aku benar-benar menyukai tentangmu itu.” katanya dengan penuh pertimbangan, meletakkan barang-barang yang baru dibeli di sofa.

Saat dia mengikat rambutnya kembali dan kembali ke dapur tempat Amane berada, dia mendapatinya menatapnya dengan tajam karena satu dan lain alasan.

“Ada apa?”

“Tidak, hanya saja rambutmu terlihat lebih halus hari ini. Yah, itu selalu halus sih, tapi hari ini sangat berkilau.”

“…Apa aku tadi menyebutkan kemana aku pergi hari ini?”

Mahiru sudah mengatakan kepada Amane bahwa dia akan pergi berbelanja tetapi tidak menyebutkan mengunjungi salon kecantikan. Itu wajar untuk melihat perubahan pada rambut seseorang setelah mereka mengunjungi salon kecantikan, tetapi jika mereka tidak diberitahu, maka itu adalah sesuatu yang hanya akan diperhatikan oleh seseorang yang memperhatikan dengan teliti.

Mahiru tidak pernah bermalas-malasan dalam merawat rambutnya, jadi perawatannya di salon kecantikan tidak membuat perubahan dramatis pada penampilannya. Meskipun kualitas rambutnya membaik, teksturnya yang terutama berubah.

“Huh? Yah, aku pikir aku tidak boleh menyelidikinya, jadi aku tidak meminta detail apa pun. Hanya saja rambutmu terlihat lebih anggun dari biasanya dengan diikat. Sangat halus, dan cantik.”

“Kamu benar-benar melihatnya dengan teliti, ya?”

“…Jadi, apa kamu pergi ke salon kecantikan?”

Setelah mendengar Mahiru menegaskan bahwa kualitas rambutnya membaik, yang membantunya memahami ke mana dia pergi, Amane dengan mudah memujinya, mengatakan, “Kamu terlihat lebih cantik.” Mengalihkan pandangannya, Mahiru sekali lagi berterima kasih padanya, dengan lembut menjawab, “Terima kasih banyak.”

Amane, yang tampaknya tidak menyadari adanya perubahan pada ekspresi Mahiru, memeriksa resep yang ditempel di kulkas dan terkekeh, “Mungkin aku juga harus pergi ke sana dalam waktu dekat.”

Mahiru merasa bimbang antara terkesan dengan komentar Amane yang santai dan jeli dan keinginan untuk mengeluh tentangnya. Berusaha untuk tidak mengatakan apa-apa, dia mencuci tangannya dan berdiri di sampingnya. Saat dia kagum dengan persiapan Amane, sebuah keterampilan yang sekarang tampaknya telah dia sempurnakan, dia memeriksa langkah selanjutnya dalam resep dan mengintip ke dalam kulkas.

“Apa kamu menikmati jalan-jalanmu?”

Menanggapi pertanyaan yang datang dari sampingnya, Mahiru tersenyum kecil.

“Iya, senang sekali bisa keluar sendiri sesekali.”

“Itu bagus. Kamu tidak benar-benar sering keluar akhir-akhir ini, kan?”

“Yah, pada dasarnya, aku lebih suka orang yang di dalam ruangan. Jika tidak ada alasan khusus untuk keluar, aku biasanya tinggal di rumah. Aku tidak punya energi untuk keluar hanya demi mencoba mencari sesuatu untuk dilakukan.”

“Haha, aku sepenuhnya mengerti. Aku juga tidak akan keluar tanpa alasan soalnya.”

“Kamu lebih suka menonton film atau bermain game di rumah kan, Amane-kun?”

“Ya, persisnya. Aku lebih suka tipe santai.”

Meskipun Amane lebih suka orang yang di dalam ruangan daripada Mahiru, tidak seperti dia menghabiskan semua hari liburnya dengan terkurung. Dia bermain dengan Itsuki dan yang lainnya, atau berlari sebagai bagian dari latihannya. Dia juga melakukan beberapa aktivitas fisik, jadi dia tidak bisa dikategorikan murni sebagai tipe orang yang suka dirumah saja. 

“Kebetulan, aku bertemu Kadowaki-san hari ini dan kami mengobrol sebentar.” 

“Oh, begitu ya. Dia kan tidak punya kegiatan klub hari ini. Apa yang dia lakukan?”

“…Sungguh, kamu sangat memahaminya.”

Kata-kata Mahiru tidak ditujukan kepada Amane, yang berdiri di hadapannya.

[Hmm, rasanya aneh untuk mengatakan ini karena aku yang memulainya, tapi aku tidak berpikir dia akan melakukannya. Bahkan kalau kamu mengatakan kepadanya bahwa kamu minum teh denganku, dia mungkin hanya akan mengatakan, Oh, begitu ya.]

Mahiru mengingat apa yang dikatakan Yuuta di kafe. Kenyataannya persis seperti yang dia prediksi, membuatnya merasa sedikit frustrasi.

“Hah, maksudmu apa?”

“Tidak ada. Aku kebetulan melihatnya belajar di kafe dan kami berbagi meja. Dia bilang kalau dia melakukannya di rumah, saudara perempuannya akan memaksanya mati-matian.”

“Haha, dia memang pernah bilang kakak perempuannya cukup berisik. Pasti benar-benar sesuatu kalau Kadowaki yang mengatakannya.”

Amane, sebagai temannya, tahu lebih banyak tentang Yuuta daripada Mahiru tetapi tampaknya belum pernah bertemu saudara perempuannya. Membayangkan situasinya, Amane tampak menganggapnya lucu.

“…Ada apa?”

Melihat Mahiru melamun, Amane bertanya dengan nada khawatir.

Dia menggelengkan kepalanya pelan.

“…Aku hanya berpikir bahwa, yah, Kadowaki-san bukan seseorang yang seharusnya kamu remehkan.”

“Apa dia melakukan sesuatu?” 

“Tidak, itu seperti…karena kita berada dalam kategori orang yang sama, ada…perasaan aneh yang tegang di antara kita saat kita bersama…”

Dia tidak mungkin mengatakan bahwa dia merasa itu tidak adil, jadi Mahiru dengan lembut menggambarkan apa yang dia rasakan hari ini. Amane tampaknya lebih atau kurang mengerti, menjawab, “Ah, seperti kalian berdua saling merasakan satu sama lain, kan?”

“Kita berdua punya posisi kita sendiri, jadi menjadi menakutkan untuk melakukannya tanpa sadar.”

“Aku mengerti maksudmu, tapi Kadowaki itu orang baik, lho?”

“Aku mengerti itu. Aku mengerti, tapi aku takut pada orang yang baik hati tanpa syarat. Individu yang bertindak tanpa mengharapkan sesuatu sebagai imbalan lebih sulit untuk dihadapi daripada mereka yang melakukannya.”

Tanpa diragukan lagi, Yuuta adalah orang yang baik.

Meskipun dia adalah tipe orang yang membuat orang berpikir dia menyembunyikan sesuatu, Mahiru merasakan bahwa itu bukan sesuatu yang jahat. Tentu saja, dia sulit dibaca, tetapi Mahiru percaya bahwa dia mungkin orang yang baik. Tetapi baginya, yang telah sampai ke titik ini dengan tidak mudah menerima orang lain, dia masih tidak bisa sepenuhnya mempercayainya.

Dia tahu dia bijaksana dan memiliki karakter yang luar biasa, dan kemungkinan mendukung hubungannya dengan Amane dengan niat baik. Namun, dia tidak bisa menahan diri untuk mencoba membaca di antara baris-baris, bahkan jika dia tidak merasakan sesuatu yang tersembunyi.

“Aku mengerti apa yang ingin kamu sampaikan, tapi aku tidak berpikir kamu harus berhati-hati seperti itu.”

“Aku mengerti itu, kok.”

Namun, Mahiru terbiasa waspada terhadap orang lain.

“Baiklah, kalau kamu tidak menyukainya, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk berinteraksi dengannya. Mungkin aku juga harus waspada sedikit.”

“Tidak, bukannya aku tidak menyukainya. Hanya saja…”

“Hanya?” 

“…Ada hal-hal yang aku anggap sedikit…”

Anehnya, tingkat pemahaman Yuuta tentang Amane yang mengganggunya. Yuuta baru mulai berinteraksi dengan Amane sejak sekitar awal tahun ajaran baru, tetapi yang mengejutkannya, dia sudah tampak memiliki pemahaman yang tepat tentang Amane. Gagasan bahwa orang lain dapat mengklaim perannya sebagai orang yang paling memahami Amane membuatnya tidak nyaman, meskipun dia tahu dia bukanlah miliknya.

“Apa itu perasaan buruk?”

“Tidak, bukan seperti itu…itu hanya sesuatu yang kupikirkan dengan egois. Bukannya aku tidak menyukainya atau apa.”

“Aku mengerti. Tidak, kompatibilitas adalah hal yang penting, jadi tidak bisa dihindari.”

“Maksudku…sepertinya, Kadowaki-san tampaknya memahamimu dengan sangat baik, Amane-kun…” 

“Benarkah?”

“Iya, benar.”

“…Kenapa kamu malah cemberut?” 

“Aku tidak...”

Aku tidak cemburu pada Kadowaki-san atau semacamnya. Itu pasti tidak mungkin.

Mahiru meyakinkan dirinya sendiri seperti itu saat dia menambahkan bumbu yang sudah diukur Amane sebelumnya ke dalam panci, dan Amane memiringkan kepalanya dengan heran.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama