Kimizero Jilid 7.5 Bab 1 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — Naga di Taman Para Wanita

 

 

Namaku Kashima Ryuuto. 24 tahun. Aku adalah guru wali kelas di kelas 2-A di SMA Wanita Seirin.

Eh? Bukannya SMA Seirin itu sekolah campuran ya? Ditambah lagi, 24 tahun? Bukan sebagai siswa, tapi sebagai guru?

Aku bisa mendengar suara komentar semacam itu dari suatu tempat di dalam kepalaku, tapi pokoknya begitulah yang sedang terjadi sekarang.

 

Aku ingin menunjukkan sedikit kepada kalian mengenai kehidupan sehari-hariku mulai sekarang.

 

♧♧♧♧

 

Di sekolah wanita Seirin, ada geng gadis gyaru.

Mereka adalah sekelompok gadis-gadis cantik gyaru dan ceria yang dipimpin oleh gadis tercantik di sekolah, Shirakawa Luna. Ketika kelas berganti pada bulan April, aku akhirnya menjadi wali kelas mereka.

Sejujurnya, aku tidak terlalu menyukai geng ini.

Aku selalu menjadi anak yang pemalu sejak masa sekolah, dan meskipun aku hanya belajar dengan giat agar bisa lulus dari universitas swasta yang terkenal, aku tidak pernah beruntung dengan wanita, jadi tentu saja aku masih perjaka.

Bagiku, tidak peduli meskipun mereka masih SMA, aura gadis-gadis cantik yang berkilauan dan imut itu terlalu menyilaukan.

Rumor mengatakan bahwa ketika pria lajang dipekerjakan sebagai guru yang masih muda di sekolah khusus perempuan, para perekrut secara naif berasumsi bahwa pria ini tidak akan berani menyentuh murid perempuan. Sialan. Jika ada sekolah campuran lain yang mau mempekerjakanku dengan kondisi yang sama, aku akan dengan senang hati pergi ke sana.

Ini adalah dunia yang keras.

 

Hariku dimulai dengan banjir suara gadis-gadis SMA yang bernada tinggi.

Kashima-sensei, selamat pagi!

Dalam perjalanan mendaki bukit panjang yang mengarah dari stasiun menuju sekolah, para siswa memanggilku ketika mereka berpapasan denganku di jalan.

“Iya, selamat pagi.”

Ketika aku menjadi pelajar, aku merasa kesulitan untuk melakukan kontak mata dan berbicara dengan wanita, tetapi begitu aku menjadi orang dewasa yang bekerja dan terlibat dengan berbagai orang di tempat kerja, aku bisa melakukan percakapan sehari-hari dengan orang-orang dari semua jenis kelamin.

Setelah bertukar salam dengan para siswa, aku tiba di sekolah dan memasuki gedung sekolah.

Sebelum menuju ke ruang guru, aku memutuskan untuk pergi ke kelasku terlebih dahulu.

Itu adalah pengajaran dari seorang guru yang kupelajari selama aku magang mengajar.

Guru tersebut teringat akan sebuah kejadian di salah satu kelasnya dulu, di mana komentar-komentar yang memfitnah dituliskan di papan tulis sepulang sekolah tentang seorang siswa tertentu, dan dia kaget ketika melihat para siswa terkejut ketika mereka tiba di sekolah keesokan harinya. Dia memberitahuku bahwa aku akan bisa mengetahui apa ada sesuatu yang salah dengan kelas tersebut dengan melihat ruang kelas di pagi hari.

Ketika aku menjadi guru, saku mulai bisa memahami sedikit ajaran tersebut.

Ketika isi pikiran siswa dipenuhi dengan ketidaksabaran sebelum ujian, ruang kelas itu tampak kosong, tetapi barang bawaan yang tertinggal di sana mencuat dari loker, dan agak berantakan. Sehari setelah memenangkan Festival Olahraga, ada sisa-sisa pom-pom sorak sorai yang berserakan di mana-mana, dan ruang kelas dipenuhi dengan perasaan yang menggembirakan.

Hari ini aku mengunjungi ruang kelas yang kosong di pagi hari untuk mengetahui kondisi psikologis murid-murid di kelasku.

Masih ada beberapa waktu sebelum dimulainya sekolah, jadi jarang ada murid di dalam kelas saat ini. Murid-murid yang menyapaku dalam perjalanan ke sekolah tadi merupakan siswa yang datang lebih awal untuk kegiatan klub dan kegiatan lainnya.

Dari 365 hari dalam setahun, aku hanya pergi bekerja sekitar 250 hari. Pada 230 hari di antaranya, tidak ada perubahan yang signifikan di dalam ruang kelas.

Tapi hari ini, tampaknya, adalah salah satu dari 20 hari yang tersisa.

...Hmm?

Seperti biasa, aku melihat-lihat ruang kelas yang kosong dan hendak menuju ke ruang guru, tetapi aku merasakan perasaan tidak nyaman dan melihat dua kali ke dalam ruangan.

Ruang kelas di sekolah kami memiliki beranda di dekat jendela, dan para siswa diizinkan untuk pergi ke luar saat istirahat dan waktu-waktu lainnya.

Ada seorang siswa yang sedang berdiri di balkon.

Murid itu membelakangiku. Dia bersandar di pagar balkon, melihat ke arah halaman sekolah dan memegang ponsel di telinganya.

Karena penggunaan ponsel dilarang di sekolah (meskipun sebagian siswa tampaknya menggunakannya secara sembunyi-sembunyi), aku merasa gentar untuk memperingatkannya.

Hal ini dikarenakan siswa itu adalah Shirakawa Luna.

Dia adalah gadis paling cantik seangkatan dan tokoh sentral dalam geng gyaru yang tidak kusukai.

Rambutnya yang panjang, hampir berwarna kuning keemasan, dengan sekumpulan warna bagian dalam yang bercampur dengan angin, menunjukkan warna biru. Cara dia mengenakan seragam sekolahnya, dengan kardigan biru muda yang diikatkan di pinggangnya, memperjelas bahwa itu jelas-jelas dirinya.

Ngomong-ngomong, warna rambutnya itu jelas-jelas melanggar peraturan sekolah, tetapi tidak peduli seberapa banyak guru BK memperingatkannya, dia tidak akan mengubahnya, jadi si guru BK telah setengah menyerah pada gadis-gadis geng gyaru, dan akibatnya, dia tampaknya memiliki hak istimewa untuk diizinkan melakukannya.

Ketika aku mendekati jendela, pintu menuju balkon sedikit terbuka dan aku bisa mendengar suaranya.

Benarkah? Apa aku bisa mempercayai Shuuya kali ini?

Nada suaranya yang serius mengindikasikan bahwa itu pembicaraan yang serius.

Bahkan jika kamu mengatakan itu......Aku tidak bisa langsung memutuskannya. Karea aku benar-benar terluka, tau? Apalagi aku benar-benar percaya pada Shuya.....

Apa dia sedang berbicara dengan pacarnya? Atau mungkin dia sedang berbicara dengan temannya dan meminta nasihan tentang masalah percintaan?

Bagaimanapun, aku harus cepat-cepat menangkap kejadian itu dan mengambil tindakan pencegahan.

Aku meletakkan tanganku di pintu menuju balkon dan langsung menariknya.

Dengan suara berderak, Shirakawa Luna menoleh ke arahku dengan kaget.

“Ah! Maaf ya, ada sensei yang datang ke sini, jadi aku akan menutupnya!

Dia menatapku dengan ekspresi terkejut di wajahnya dan buru-buru menjauhkan ponselnya dari telinganya.

Setelah melihat itu, aku membuka mulutku.

“Memakai ponsel di sekolah itu dilarang, oke.

...Iya....

Dia menjawab dengan suara kecil.

Matanya yang tidak bisa diandalkan, seperti gadis kecil yang menunggu untuk dimarahi, menatapku dengan tatapan menengadah.

...Kalau begitu, sampai jumpa di wali kelas nanti.

“Eh!?”

Ketika aku hendak membalikkan badan, Shirakawa-san berseru dengan suara terkejut.

“Hmm?

Ketika aku menatapnya untuk menanyakan reaksinya, dia memiliki ekspresi terkejut di wajahnya.

“Apa kamu tidak menyita ponselku, Sensei?

...Apa kamu ingin aku menyitanya? Karena ini baru pertama, jadi aku hanya memperingatkanmu saja.

Dia tersenyum lega saat mendengar jawabanku.

Terima kasih banyak! Kashima-sensei, Kamu sangat baik sekali.

Aku tiba-tiba terkejut dengan senyumnya yang berbunga-bunga. Memang, panggilan gadis tercantik seangkatan bukanlah isapan jempol belaka.

Matanya yang besar, yang dipercantik dengan riasan wajah, dan kulitnya yang segar dan tembus cahaya, semuanya begitu mempesona sehingga dibutuhkan keberanian untuk menatapnya secara langsung. Setiap kali rambutnya berkibar tertiup angin, aroma bunga atau buah melayang di udara, menggelitik hidungku dengan manis.

Ketika aku masih kelas 1, aku melihat pesan LINE saat istirahat makan siang, dan guru olahraga, Onizuka-sensei, langsung merampasnya, dan aku dalam masalah sekaligus jengkel karena tidak bisa mendapatkannya kembali selama seminggu.

Shirakawa-san berkata dengan polosnya.

Aku kebingungan untuk bagaimana menanggapinya.

....Itu sebabnya, kamu jangan menggunakan ponselmu di sekolah lagi.

Ya, tapi kebetulan aku bangun pagi dan datang ke sekolah lebih awal, jadi aku tidak punya pilihan lain selain menjawab telepon di sini.

Shirakawa-san menengadah ke langit dengan wajah bermasalah.

Langit pada pagi hari di bulan Mei itu berwarna biru muda yang lebih biru dari kardigan yang dikenakannya dan matahari yang menyilaukan.

.... Pacarmu?

Karena merasa canggung untuk beranjak pergi, jadi aku bertanya demikian.

Ketika aku berpikir untuk menarik kembali pertanyaan itu karena merasa kalau aku bertanya terlalu privasi, tapi Shirakawa-san menatapku dan menggelengkan kepalanya.

Tidak, mantan pacar. Kami putus sebulan yang lalu. Ia berselingkuh dengan gadis lain.”

Wajahnya terlihat murung, dan dia sedikit menunduk.

Tapi ia mengatakan kepadaku kalau ia sudah putus dengan pasangan selingkuhnya, jadi ia memintaku buat CLBK.

...Jadi, apa yang akan kamu lakukan?

Hmm......Aku sedang memikirkan balasannya.

Dia terdiam ketika mengatakan itu, jadi aku mencoba sekali lagi untuk kembali ke kelas.

....Kalau begitu, aku akan pergi ke ruang guru.

Kemudian Shirakawa-san mendongakkan kepalanya.

“Ehh, Sensei takkan memberiku nasihat tentang masalah hubungan?

Dia berkata seolah-olah memprotes, dan merasa gentar di dalam hati.

....Karena aku tidak mempunyai banyak pengalaman untuk memberimu nasihat. Jika kamu ingin meminta saran atau nasihat, kamu bisa berbicara dengan guru lain.

Itu sudah menjadi batasku. Jika aku terlalu dalam membahasnya, aku mungkin akan menunjukkan pandangan cinta yang buruk yang tidak sesuai dengan usiaku, dan aku mungkin akan kehilangan martabatku sebagai seorang guru.

Kemudian, Shirakawa-san tiba-tiba mengalihkan tatapan menyelidik ke arahku yang membalas demikian.

...Hei, Kashima-sensei, jangan-jangan kamu masih perjaka, ya?

“Eh!? Ke-Ke-Kenapa kamu bertanya begitu!?”

Melihatku yang langsung bereaksi tanpa sadar, Shirakawa-san menyeringai seolah berkata, “Sudah kuduga.

Nikoru yang mengatakannya padaku, Bukankah Kashima tuh masih perjaka?' katanya.”

........

Saat aku terdiam karena tak bisa berkata apa-apa, Shirakawa-san mundur selangkah dan mengambil dua langkah lebih dekat untuk menutup jarak antara kami, dan dia tersenyum dengan tatapan menengadah.

Dia menatapku dengan ekspresi menggoda, dan merupakan gadis cantik sempurna dengan daya tarik yang membuatku merinding.

....Nee, sensei. Sebagai ucapan terima kasih sudah tidak merampas ponselku, bagaimana kalau aku mengajarimu tentang cara berhubungan s*ks?

“!!?”

Aku menatap wajahnya, bertanya-tanya apa yang dia bicarakan. Kemudian, ketika aku menurunkan pandanganku, aku meringis ketika menatap kecantikan wajahnya yang begitu sempurna sampai-sampai aku tidak percaya kalau dia masih anak SMA, dan aku semakin tersipu ketika melihat dua tonjolan yang mungkin masih dianggap terlalu besar untuk seukuran anak SMA, menjulang dari bagian kancing dadanya yang tidak dikancingkan.

.... Ja-Jangan mengolok-olok orang dewasa. Aku tidak cukup bermasalah sampai-sampai meminta anak SMA untuk mengajariku.

Kupikir aku berhasil menjawab dengan tenang, tapi suaraku sedikit meninggi.

Tapi, Shirakawa-san tidak menyadarinya dan menjauhkan dirinya.

“Iya, maafkan aku, sensei.

Lalu dia memberiku sedikit senyuman ramah.

.... Kashima-sensei itu orangnya serius banget ya.

Sambil mengatakan itu, dia menatap ke arah langit lagi.

Aku berharap aku bisa berpacaran dengan pria seperti Kashima-sensei. Karena aku merasa kalau ia akan memedulikanku dan menghargaiku dengan baik.

.........

Desas-desus tentang hubungan percintaan Shirakawa-san telah mencapai ruang staf di sana-sini. Misalnya saja dia sedang berjalan dengan seorang siswa laki-laki dari sekolah lain di depan stasiun, dan dia akan menggandeng pria lain setelah beberapa saat tidak bertemu dengannya.......Karena kami adalah sekolah khusus perempuan, jadi seharusnya dia tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bertemu dengan lawan jenis, tetapi kupikir jika dengan wajah secantik dirinya, rasanya takkan mengherankan jika ada banyak pria yang akan berbicara dengannya jika dia berjalan-jalan di sekitar kota.

....Bercanda, deh.

Melihat senyum manisnya saat dia tersenyum padaku seolah-olah ingin menyamarkan keinginannya, aku sepenuhnya fokus untuk menjaga wajahku tetap tenang.

 

Ketika aku berjalan cepat ke ruang guru, aku kembali mengingat apa yang baru saja kukatakan.

 

── Aku tidak cukup bermasalah sampai-sampai meminta anak SMA untuk mengajariku.

 

Aku sama sekali tidak dalam masalah, ───────!

Nyatanya, aku dalam masalah besar!!!?

Itu bahkan sudah ditahap tidak masuk akal!!

Aku terjun ke dalam dunia kerja dalam keadaan putus asa, dan tanpa kusadari, aku sudah berusia 24 tahun.

── Aku ingin berpacaran dengan pria seperti Kashima-sensei.

Jantungku berdegup kencang saat mengingat apa yang dikatakan Shirakawa-san tadi.

Tapi, berurusan dengan murid sendiri merupakan tindakan kurang ajar. Pertama-tama, menjalin hubungan percintaan dengan anak di bawah umur merupakan perilaku tidak bermoral dan melanggar hukum, dan jika ada murid dari sekolah yang mengetahuinya, aku tidak dapat menghindari pemecatan. Jika aku mendapat reputasi sebagai guru yang bermain-main dengan muridnya sendiri, aku bahkan mungkin takkan bisa mendapatkan pekerjaan baru.

Orang tuaku sudah menghabiskan banyak uang untuk membuatku menjadi lulusan sarjana dan menjadi guru, tetapi aku tidak bisa membiarkan sebuah hubungan cinta menghancurkan sisa hidupku. Aku tidak bisa mengambil risiko itu.

......Yah, tapi.

Mana mungkin Shirakawa-san, yang memiliki banyak pengalaman cinta, akan serius menganggapku sebagai calon pacarnya. Itu hanya sekedar ucapan terima kasih atau basa-basi karena aku tidak merampas ponselnya.

Aku merasa ngeri bahwa itu bisa dianggap sebagai ucapan terima kasih, tetapi rasanya aneh karena aku merasa kalau dia terlalu mengerti pesonanya sendiri sebagai seorang wanita, tapi mungkin hal itu biasa bagi seorang gadis cantik. Aku tidak tahu, sih.

 

Shirakawa Luna, dia sungguh gadis yang menakutkan.

 

♧♧♧♧

 

Tidak hanya Shirakawa Luna, ketika melihat para siswi di sekolah khusus perempuan, terkadang wanita bisa menjadi sangat menakutkan.

Mata pelajaran yang diampuku adalah Bahasa Jepang, dan aku mengajar mata pelajaran Bahasa Jepang kepada siswa kelas dua.

Pada jam pelajaran ketiga, ketika aku menuju kelas A sebagai wali kelas, aku menyadari ada sesuatu yang aneh ketika berjalan di koridor.

Pintu depan dan belakang kelas tertutup rapat dan ruangan kelas begitu sunyi. Biasanya, masih saja ada beberapa siswa yang berada di lorong meskipun bel sudah berbunyi, dan aku bisa melihat situasinya dari luar.

Di sisi lorong tidak ada jendela, dan pintunya juga berlapis kaca buram, sehingga jika seperti ini, satu-satunya cara untuk melihat ke dalam adalah dengan membuka pintu.

Apa ada sesuatu yang terjadi? Meskipun aku merasa curiga, jika semua siswa diam-diam bersiap untuk pelajaran, aku pikir itu patut diapresiasi, jadi aku menggenggam pintu dan membukanya.

Pada saat itu, pemandangan yang tak terduga muncul di depan mataku.

 

Badai bra.

 

Mungkin kamu tidak memahami apa yang kubicarakan, tapi tak kusangka, semua murid yang duduk di dalam kelas semuanya dalam keadaan setengah telanjang, mereka hanya mengenakan bra di bagian atas tubuh mereka.

Warna-warna bra yang beragam seperti pink, biru, kuning, putih, hitam... seperti banjir warna-warni dari pakaian dalam seperti tokusatsu, membakar di dalam retinaku dengan jelas.

Berbagai macam bra dengan berbagai ukuran dan desain renda serta embel-embel hadir di hadapan kami, dikenakan oleh gadis-gadis SMA yang sebenarnya.

Pandangan mereka langsung tertuju ke arahku yang masuk tiba-tiba.

““““““““““Kyaaa───!””””””””””

 

Terdengar jeritan bersamaan yang tidak dimengerti.

Ehhhhhhhh!? Ma-Maafkan aku!

Aku segera meminta maaf, buru-buru menutup pintu dengan cepat dan keluar ke lorong.

 

Jantungku berdebar kencang lagi.

Hentai! Kashima-sensei!”

Aku masih berganti pakaian, tolong jangan masuk!"

Pada jam kedua itu ada jam olahraga, tau!

Beberapa suara menusuk bisa terdengar dari dalam kelas.

“Ak-Aku mengerti......Aku akan menunggu kalian di sini, jadi cepat ganti baju kalian....

Aku hanya bisa menjawab dengan suara yang terdengar seperti nyamuk berdengung.

 

......Hmm? Tapi kalau dipikir-pikir lagi, bukannya ini aneh?

 

Ada jeda waktu lima belas menit antara periode jam kedua dan ketiga. Mengingat waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sana, rasanya sungguh aneh bahwa mereka belum selesai berpakaian.

Aneh juga bahwa mereka semua mengenakan bra, seolah-olah mereka semua sudah setuju untuk melakukannya.

Apa jangan-jangan ...... aku sedang dijebak?

....Fufu. Kashima, dia benar-benar tidak bisa masuk.

“Kalau kita tetap memakai bra seperti ini untuk waktu yang lama, bukannya jam pelajaran ketiga bakal cepat habis?

Beruntung banget! Aku lagi bosen ini, ayo kita main adu sumo jari?”

Maksudku, mau sampai kapan kita tetap seperti ini? Rasanya dingin sekali, tahu.”

“Padahal baru bulan Mei loh, mungkin agak terlalu cepat, ya?

Saat aku mendengarkan dengan seksama dan benar saja, aku bisa mendengar bisikan para siswa yang tertawa dengan cekikikan.

Jadi itulah yang terjadi...... Karena aku seorang guru laki-laki, jadi mereka pikir aku tidak akan bisa masuk kelas jika semua orang mengenakan pakaian dalam mereka.

.....O-Oii, apa masih belum?

Aku memanggil mereka untuk mencoba.

“““““““Masih belum!”””””””

Beberapa suara ceria menjawab panggilanku.

Ce-Cepat ganti baju, jjika tidak, aku tidak bisa memulai jam pelajaran.

“““““““Iya~”””””””

Ini gawat. Aku benar-benar diejek.

Tapi apa yang harus kulakukan dengan situasi ini?

Jika aku buru-buru masuk dan memulai kelas, aku akan menjadi guru mesum yang melihat pakaian dalam muridnya.

Apa aku harus meminta guru perempuan untuk membantuku? Aku merasa malu sebagai guru karena aku tidak bisa mengendalikan siswa di kelasku sendiri meskipun aku adalah guru wali kelas mereka......

Namun, karena aku sangat bermassalah jadi aku tidak punya pilihan selain kembali ke ruang guru.

Oh, rupanya Yamada, toh.

Di ruang guru ada Sekiya-sensei.

Sekiya-sensei adalah seorang guru biologi. Ia adalah senior di universitas yang sama denganku dan kami sudah saling kenal sejak kami berdua masih mahasiswa. Tapi untuk beberapa alasan, ia memanggilku dengan panggilan “Yamada.

Sekiya-sensei adalah pria lajang yang jangkung dan tampan yang masih berusia dua puluhan. Aku tidak tahu mengapa ia dipekerjakan di sekolah khusus perempuan. Tentu saja ia sangat populer di kalangan murid-murid.

“Ada apa? Bukankah kamu harus memulai pelajaranmu?

Itu ....

Sekiya-sensei bertanya padaku, dan aku memberitahunya apa yang baru saja terjadi.

“Aku tidak bisa memaksakan diri untuk masuk, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan...

Ah, kalau begitu biar aku saja yang pergi, kebetulan aku lagi bebas di jam ketiga ini.”

“Ehh!?

Sekiya-sensei juga laki-laki, jadi bagaimana caranya ia bisa mengatasi situasi ini?

Aku berjalan mengikutinya sambil memikirkan hal itu.

Ketika kami berdua tiba di depan kelas 2-A, Sekiya-sensei membuka pintu dan masuk ke dalam ruang kelas.

 

““““““““““Kyaaa───!””””””””””

 

Lihat, ayo kita mulai pelajarannya.”

Seperti yang sudah diduga, ada teriakan-teriakan yang terdengar, tetapi Sekiya-sensei melihat ke arah para siswa dari meja mengajarnya dengan wajah dingin.

Kenapa yang muncul malah Sekiya-sensei?

“Bukannya pelajaran saat ini adalah Bahasa Jepang!

“Itu karena kalian mengganggu kelas, jadi itulah sebabnya pelajarannya diganti menjadi biologi. Cepat pakai baju kalian.

Hei, jangan lihat-lihat! Dasar hentai!”

Aku tidak merasakan apa-apa saat ketika melihat bocah ingusan macam kalian telanjang, jadi jangan khawatir.

“Kejam banget!!

Sambil menggerutu, para siswa mulai mengenakan seragam mereka secara serempak. Ini hal yang aneh, para murid yang tadinya memamerkan pakaian dalam mereka tanpa takut padauk, sekarang dengan malu-malu menyembunyikan kulit telanjang mereka dari Sekiya-sensei, yang berdiri dengan bangga di podium.

Melihat para siswa telah selesai berganti pakaian, Sekiya-sensei meninggalkan ruang kelas dan menghampiriku di koridor.

“Nah sudah selesai, karena kamu takut pada saat-saat seperti ini, itulah sebabnya mereka jadi meremehkanmu.

“Ah, terima kasih banyak.....

Namun, aku tidak yakin kalau aku bisa merespons dengan cara yang sama seperti Sekiya-sensei saat berada dalam situasi yang sama.

 

Oh, bau antiperspirant wanita......

 

Di dalam kelas, di mana aku telah mendapatkan kembali rutinitas harianku, aku terganggu oleh bau unik ruang kelas segera setelah pelajaran olahraga, saat aku mulai menulis pelajaran aku di papan tulis.

Bagi pria perjaka sepertiku, setiap hari di sekolah khusus perempuan terlalu merangsang nafsu.

 

♧♧♧♧

 

Murid-murid di sekolah perempuan pada dasarnya tidak peduli dengan apa yang dilihat pria. Semua muridnya adalah perempuan dan sebagian besar staf pengajarnya adalah perempuan.

Tapi, itu adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa aku berada di depan mereka sebagai seorang pria.

Kadang-kadang mereka mengambil keuntungan dari itu dan melakukan hal-hal seperti terlambat ke kelas, tetapi sebagian besar waktu lainnya, aku tidak dianggap seperti ‘pria’ di mata mereka. Tidak ada kesadaran sedikit pun di antara para siswi bahwa mereka malu dilihat oleh Kashima-sensei.

Ya, di sini, hanya 'guru pria muda dan keren' seperti Sekiya-sensei yang bisa dianggap sebagai lawan.

Setidaknya di kelasku, selalu saja ada siswi yang tertidur, dan bahkan ada gadis yang bahkan tidur dengan bangga sembari membawa bantal tidur yang mereka bawa dari rumah di bawah wajah mereka.

Hei, apa kamu membawa gunting rambut?

Selama jam pelajaran, aku sedang menulis di papan tulis ketika mendengar suara bisikkan di belakangku. Suaranya begitu pelan seolah-olah mereka berusaha untuk tidak didengar olehku, tapi kesunyian ruang kelass membuat suaranya bisa terdengar sampai ke telingaku.

Aku ingin para siswa di seluruh dunia mengingatnya. Suara bisikan di kelas secara mengejutkan mencapai telinga para guru. Alasan mereka tidak memperhatikan karena guru yang pengecut seperti diriku berpura-pura tidak memperhatikannya.

“Ada kok, nih~.

“Makasih

Setelah aku selesai menulis di papan tulis, aku berbalik untuk melihat ke arah dari mana suara-suara itu datang.

Salah seorang gadis menaruh satu tangannya di atas buku pelajarannya yang terbuka, dan menjepit kedua jarinya dengan penjepit rambut berwarna perak, yang tampaknya ia pinjam dari siswa di dekatnya.

Ya, dia sedang merapikan bulu-bulu jarinya.

..........

Bukannya aku menjadi terlalu transparan?.

.....Oke, kalau begitu, silakan baca kelanjutannya....”

Aku berpura-pura tidak melihatnya, dan ketika aku mencoba mencalonkan seorang siswa untuk membaca dengan keras, indra penciumanku mendeteksi bau aneh.

Ini bau yang aneh, atau lebih tepatnya, ini mungkin masuk dalam kategori "bau yang enak," tapi itu bau yang seharusnya tidak boleh ada di dalam kelas......Benar, itu adalah bau siomay.

Ini bukan Shumai. Melainkan aroma gurih yang unik dari siomay” dengan kaldu kerang yang khas.

Ketika aku segera mencari di dalam ruang kelas, aku melihat seorang siswi di baris ketiga yang dengan tidak wajar menegakkan buku pelajaran di atas meja dan memasukkan kepalanya di dalamnya. Tangan kanannya sibuk bergerak seolah-olah sedang menyelipkan sesuatu ke dalam mulutnya.

Apa yang sedang dilakukannya adalah belajar dengan sangat giat? Tidak, dia malah sedang curi-curi makan selam jam pelajaran.

Ini juga hal yang harus diingat oleh semua siswa di seluruh negeri, bahwa guru juga menyadari ketika siswa sedang diam-diam makan di tengah pelajaran. Jika tidak ditegur, itu bisa jadi karena guru tersebut adalah orang yang tidak punya keberanian seperti diriku atau sibuk dengan kurikulum sehingga mengabaikan waktu untuk memberi peringatan.

“......”

Seluruh semangat mendidik dalam diriku gemetar putus asa saat aku melihat gadis-gadis itu melakukan aksi di belakang layar yang tidak akan pernah dilakukan jika Sekiya-sensei berdiri di sini.

 

Wahai Jepang, inilah kehidupan sehari-hariku.

 

Eh, Mari-mero, kamu punya 'itu' enggak?

Setelah pelajaran usai dan aku sedang bersiap-siap meninggalkan meja guru, seorang siswi mendekati siswi lain yang duduk di depan meja guru dan bertanya.

Ya, aku punya. Apa kamu melupakannya lagi, Akari-chan? Bukannya bulan lalu juga aku sudah memberikannya padamu?

“Habisnya tiba-tiba datang gitu saja sih~

Dia tertawa sambil memberikan alasan, dan siswi di depan meja guru, Kurose-san, memberikan pembalasan dengan memberikan pembalut yang diambil dari tasnya.

Meskipun aku berusaha untuk tidak melihatnya, aku tak sengaja melihatnya dengan jelas. Karena sudah beberapa kali aku melihat hal serupa sejak mulai bekerja di sekolah ini, bentuknya sudah sangat familiar bagiku.

“Ini, silakan.

Terima kasih, Marimero!

Siswi yang menerima pembalut... yaitu anggota dari geng gyaru, Tanikita-san, segera meninggalkan kelas dengan cepat.

Melihat adegan tersebut, siswi-siswi di kursi belakang Kurose-san mulai berbisik-bisik.

Eh, tadi, Kashima-sedang sedang menatap pembalut yang dikeluarkan Maria-chan dengan sangat jelas, lho.

Jijik banget ya, seharusnya ia lebih peka dan segera keluar saja.

...

Menyakitkan. Rasanya sangat menyakitkan. Hanya karena aku kebetulan melihatnya secara sekilas saat dia mengatakan itu, jika aku mengetahu apa yang dimaksud, seharusnya aku berpura-pura tidak melihatnya sejak awal.

Tapi tidak dapat dipungkiri kalau posisiku di sini sangat lemah karena jumlah pria yang jauh lebih sedikit.

 

♧♧♧♧

 

Di tengah kehidupan sehari-hari yang seperti itu, ada juga siswi yang tidak menganggapku seperti orang tak terlihat.

“Nee, nee, Kashima-sensei.

Siswi tersebut adalah Shirakawa Luna.

Sejak hari itu, dia selalu mendekatiku untuk berbicara tentang sesuatu.

Sebagian besar hanya salam biasa seperti “Selamat pagi” atau “selamat tinggal”, tetapi hari ini sepertinya ada yang berbeda.

Hmm, ya?

Setelah rapat harian selesai dan menjadi waktu pulang sekolah, aku berusaha mungkin menjawab dengan tenang dari meja guru.

Ada apa?

Kashima-sensei, apa kamu melihatku dalam keadaan memakai bra tadi?

Eh!?

Dia menanyakan sesuatu yang sangat tak terduga, aku langsung panik dan mengalihkan pandanganku darinya.

“Jadi, bagaimana?

Shirakawa-san menatapku dengan ekspresi yang sedikit malu-malu.

E-Eh...

Sejujurnya, aku tidak tahu. Mungkin aku melihatnya, tapi sebelum aku bisa mengenalinya satu per satu, aku panik dan langsung pergi ke lorong.

.... Ak-Aku tidak melihatnya.

Setekah mendengar itu, Shirakawa-san tiba-tiba terlihat kecewa.

Eh, masa?”

Lalu, dia bergumam pelan.

......Mungkin agak mengecewakan.

Eh?

Aku melihat wajahnya dengan bingung.

Dengan senyum malu-malu, Shirakawa-san berkata kepadaku.

.....Kalau itu Kashima-sensei, aku tidak masalah jika sensei yang melihatnya.

Eh!?

Sampai jumpa, Sensei!

Dia melambaikan tangannya dengan ceria kepadaku yang sedang bingung, lalu pergi dengan cepat meninggalkan kelas dengan tasnya.

......

Aku dalam keadaan linglung, tapi aku tersadar kembali oleh suara siswa lain yang berkata, Selamat tinggal.

Ah, iya...selamat tinggal.”

Ketika aku buru-buru bersiap pulang ke ruang guru, kata-kata Shirakawa-san tadi terus terngiang-ngiang di dalam kepalaku.

——Kalau itu Kashima-sensei, aku tidak masalah jika sensei yang melihatnya

Apa sih yang sebenarnya dia katakan. Sungguh tidak pantas, mengatakan hal seperti itu... kepada seorang guru seperti aku... Meskipun aku tidak ingin mempercayainya.... apa jangan-jangan dia menyukai diriku? Tapi, beberapa waktu yang lalu dia sedang mempertimbangkan untuk berbaikan dengan mantan pacarnya, dan pada dasarnya siswa dan guru tidak boleh berpacaran...

Saat aku memikirkan hal-hal semacam itu, aku hampir saja terbawa dalam khayalan tentang Shirakawa-san mengenakan bra yang tidak sempat kulihat tadi, dan aku buru-buru menggelengkan kepalaku.

"...Mungkin lebih baik pergi ke Fuzoku kali ya.

Untuk saat ini, aku berencana untuk menenangkan diri malam ini dengan membiarkan diriku terhibur oleh gyaru putih dari dunia fiksi.

 

♧♧♧♧

 

Selain Shirakawa-san, di antara geng gyaru juga ada gadis gyaru yang berkepribadian kuat lainnya.

Di antara mereka, yang paling mencolok setelah Shirakawa-san adalah Yamana Nikoru. Pakaian dan gaya rambutnya setingkat dengan Shirakawa Luna dalam hal melanggar peraturan sekolah, dan meskipun dia cantik, dia memiliki pandangan mata yang tajam dan memberikan kesan menakutkan, jadi aku diam-diam memanggilnya 'Oni Gyaru' di dalam benakku. Karena tinggi badannya dan penampilan yang mengesankan, sehingga dia benar-benar memberikan kesan tidak punya takut.

Dia dan Shirakawa-san sudah berteman baik sejak kelas satu, dan aku sering melihat mereka berdua bersama-sama selama istirahat atau setelah sekolah.

 

Pada hari itu, hujan deras turun tanpa hentu sejak pagi, dan aku pergi ke sekolah dengan perasaan sedikit murung di bawah langit yang gelap layaknya malam hari.

Setelah rapat rutin di ruang guru, tibalah waktunya untuk jam wali kelass pagi tiba, aku dengan malas bangun dari tempat dudukku dan menuju ke ruang kelas sendiri.

Setelah tiba di kelas A, aku membuka pintu depan yang dekat dengan meja guru, melangkah maju, lalu pada saat itu.....

 

Pluk!

 

Pandanganku terhalang dan sesuatu yang dingin menempel di wajahku.

Wuaah!?

Ketika aku mengambil benda putih yang basah kuyup seperti kain lap itu untuk melihatnya.

Apa ini...!?

Rupanya, itu adalah kaos kaki.

Ketika aku mendongak ke atas, ada gantungan yang tergantung di celah rel pintu. Kaos kaki itu digantung di sana, tepat di posisi wajahku.

“Ah, maafkan aku, Kashima.

Saat aku memegang kaos kaki yang basah itu dengan bingung, Yamana-san datang menghampiriku dan merebutnya dari tanganku.

“Kakiku menjadi basah saat berangkat ke sekolah, jadi aku mengeringkannya di sana. Kalau pintu depan tertutup, semua orang akan masuk dari pintu belakang.

Aku selalu masuk dari depan loh...?

Oh iya, ya, aku lupa.

......

Meskipun aku merasa diabaikan lagi dan merasa malu, Yamana-san dengan sigap menggantung kembali kaos kakinya di gantungan dan sedikit bergeser dari tengah pintu.

“Bukannya lebih baik menggantungnya di sana saja dari awal?

“Iya juga sih.

Yamana-san tertawa ceria mendengar komentarku.

Kaos kaki gombrang butuh waktu lama untuk kering, kan.

“Bener banget deh, hari hujan sungguh menyebalkan.

Kawan gyaru di dekatnya, Tanikita-san juga menimpali dan ikut tertawa bersama Yamana-san.

Pada saat itu, seseorang muncul di ruang kelas dari koridor di seberang pintu yang aku buka.

Apa yang terjadi? Apa Kelas A membuat masalah lagi?

Ternyata itu adalah Sekiya-sensei. Karena dia adalah wali kelas dari Kelas B yang berdekatan, jadi dia mungkin sedang lewat menuju ke kelasnya sendiri.

Lalu...

“Se-Sekiya-sensei...!?

Yamana-san yang berdiri di sampingku tampak terkejut ketikamelihat Sekiya-sensei. Wajahnya langsung memerah, dan sikap sombongnya yang biasa seketika berubah total menjadi sopan.

Melihat reaksi Yamana-san yang seperti itu, Sekiya-san bertanya heran ketika menatap wajahnya.

Yamana, ya? Jangan selalu merepotkan Kashima-sensei, oke?

Ak-Aku tidak merepotkannya, kok...!

Itu bohong! Dia benar-benar bikin masalah! Dia menggantungkan kaos kakinya yang basah kepadaku!

Aku ingin protes seperti itu, tapi setelah melihat reaksi Yamana-san yang mirip seperti gadis kasmaran, rasanya kasihan juga untuk melakukannya.

Sekiya-sensei segera pergi, tapi Yamana-san terus menatap kosong ke arah koridor untuk sementara waktu.

Melihat reaksi dan ekspresinya, bahkan aku yang biasanya tidak peka pun menyadari bahwa dia jatuh cinta pada Sekiya-sensei.

Kalau dipikir-pikir, Sekiya-sensei pernah menjadi wali kelasnya saat kelas satu. Di sekolah kami, pada dasarnya wali kelas dari kelas satu tidak akan sama hingga kelas tiga, jadi aku masih ingat siapa saja yang berada di kelas-kelas itu.

Saat diskusi pembagian kelas di kelas 2, entah bagaimana kebijakan para gadis gyaru sebaiknya ditempatkan di kelas Kashima-sensei yang masih muda dan mungkin bisa memahami anak muda dibuat, dan kelas A pun terbentuk dengan komposisi seperti itu. Aku jadi merasa rumit ketika memikirkannya. Mungkin guru lain juga merasa repot mengajar para gadis gyaru, jadi mereka menyerahkannya padaku yang paling muda. Itu namanya penyalahgunaan kekuasaan, bukan? si penyiar veteran di kepalaku berkata demikian, tapi sekarang sudah terlambat untuk berbuat apa-apa.

Lalu tiba-tiba,

Kamu baik-baik saja, Kashima-sensei?

Sebuah suara lembut memanggilku dan kain kering diletakkan di wajahku.

Saat aku melihat, Shirakawa-san sudah berada tepat di depanku.

“Aku minta maaf karena tidak sadar ada kaus kaki basah di sana.

Shirakawa-san menyeka wajahku sambil tersenyum.

...Te-Terima kasih...

Handuk kecil yang dipegang Shirakawa-san bergambar kelinci yang tidak terlalu lucu, dengan wajah seperti om-om tua.

...Eh, kamu tertarik dengan karakter ini, sensei?

Sepertinya aku terlalu lama memperhatikannya, jadi Shirakawa-san bertanya sambil tertawa.

“Seperti yang diharapkan dari Kashima-sensei! Hmm... 'Omega tinggi'?

Kalau mau bilang begitu, kamu harusnya billang 'mata jeli'.

Cara bicaranya sedikit aneh, sehingga 'Omega tinggi' terdengar seperti minyak ikan Omega yang tinggi, jadi aku membenarkannya. Shirakawa-san pun tertawa geli.

Ah iya, itu dia! Hebat sekali, Guru Bahasa Jepang memang beda!

“.....

Sebenarnya itu ungkapan yang umum diketahui, bukan hanya oleh guru bahasa Jepang tapi juga orang dewasa biasa. Tapi aku diam saja karena merasa sedikit senang ketika dipuji.

Tidak, percuma saja. Ketika aku berbicara dengan Shirakawa-san, aku merasa seperti bukan seorang guru, tetapi seorang pria.

Ini tidak baik. Ini benar-benar tidak baik. Aku sangat mengetahui itu.

Karakter ini disebut 'Osausa', loh!

Osausa......?”

“Bener banget! Itu singkatan dari ‘Ossan Usagi’.

“Be-Begitu ya....

“Kelihatan lucu banget, ‘kan?

Aku dibuat tertegun saat melihat tatapan mata Shirakawa-san yang berbinar-binar dan aku hanya bisa menganggukkan kepalaku.

“I-Iya....

Benarkah!? Hore!

Shirakawa tertawa polos seperti anak kecil.

Semua orang bilang kalau ‘Seleramu buruk  banget’! Padahal karakter ini lumayan populer di kalangan umum!”

Tidak, mau bagaimana kamu melihatnya, karakter itu punya wajah om-om tua.

Lunachi, bahkan karakter favoritmu adalah payah banget!

Yamana-san dan Tanikita-san tertawa dan meledeknya, sementara Shirakawa-san menunjukkan ekspresi seakan mengatakan, Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.

Apa maksudmu dengan 'bahkan' !?”

Meskipun sambil tertawa, teman-teman Shirakawa-san memandangnya dengan pandangan takjub ketika dia menyuarakan protes.

“Habisnya, pacar Lunachi selalu selingkuh iya, kan?

Yah, pada dasarnya laki-laki yang suka merayu di jalan memang begitu. Cara berkenalan mereka memang buruk. Makanya aku selalu bilang 'pikirkan baik-baik' sebelum berpacaran.

Ehhh~~~~~?!

Meskipun dikatakan begitu, Shirakawa-san sepertinya tidak bisa menerima begitu saja.

Tapi kan, mereka pada awalnya selalu bersikap manis sekali? Mereka bahkan bilang 'Cuma kamu satu-satunya yang kulihat' dengan wajah serius.

Sepertinya teman-teman Shirakawa sudah bosan mendengar argumennya, Yamana-san dan Tanikita-san hanya tersenyum masam. Terutama Yamana-san, dia menatap sahabatnya itu dengan pandangan khawatir, seolah berkata “Dasar gadis yang merepotkan.

Dengan wajah tidak puas kepada teman-temannya, Shirakawa-san menoleh ke arahku.

... Bagaimana menurutmu, Kashima-sensei?

Eh...

Melihatku yang kebingungan karena tiba-tiba ditatap, Yamana-san terkekeh.

Mana mungkin Kashima bisa memahami itu kali. Mungkin ia masih perjaka atau pemula polos, sih.

Kata-kata yang tepat sasaran itu menusuk dada seorang perjaka berusia 24 tahun sepertiku.

Kuh... Dasar Oni gyaru! Akan kuadukan sifat aslimu pada Sekiya-sensei nanti!

Meskipun begitu, mengamuk karena masalah sepele semacam itu bukanlah tindakan yang dewasa, jadi aku menelan kekecewaanku.

... Sudahlah, kalian semua duduk di tempat masing-masing. Ayo kita mulai jam wali kelas pagi ini.

Pada akhirnya, yang kuucapkan hanyalah kata-kata yang sangat wajar sebagai wali kelas.

Baiiik~...

Setelah mendengar itu, Shirakawa-san menuruti perkataanku dengan patuh, meskipun ada sedikit ekspresi ketidakpuasan terlihat di wajahnya.

 

♧♧♧♧

 

Hujan deras itu tidak berhenti hingga sore hari.

Aduh, masih basah nih. Benar-benar bikin males banget, padahal aku mau langsung ke tempat kerja.

“Ya, enggak masalah ‘kan, Nikorun. Toh, keluar nanti juga langsung basah lagi.

Iya, sih. Benar-benar sial banget.

Di ruang kelas setelah mata pelajaranku selesai, aku melihat Yamana-san yang mengenakan kaus kaki yang kelihatannya masih belum kering dengan benar meskipun sudah dijemur seharian, dan Tanikita-san yang menanggapinya dengan tawa. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu “Eh?

Shirakawa-san tidak ada.

Sosoknya yang biasanya selalu ada di dekat mereka berdua tidak terlihat di manapun di dalam kelas. Padahal belum sampai satu menit sejak jam pelajaran selesai.

Mungkin dia sedang ke toilet kali, ya.

“.....

Kemudian, aku menyadari bahwa aku terlalu mengkhawatirkan seorang siswa tanpa alasan, yang tidak pantas dilakukan oleh seorang wali kelas, jadi aku buru-buru meninggalkan ruang kelas.

 

Sekolah tempatku bekerja terletak di atas bukit, jadi saat pulang, aku harus turun menyusuri jalan menurun yang panjang untuk sampai ke stasiun. Setelah melewati jalur menurun yang landai dan sampai di dataran yang datar, itu artinya kami sudah dekat dengan area komersial di sekitar stasiun.

Saat aku berjalan di bagian ujung bukit dan hampir mendekati area sekitar stasiun, di tengah hujan yang masih turun, aku mendengar suara pembicaraan pria dan wanita yang terdengar tegang.

“Seriusan, sumpah! Mulai sekarang, cuma kamu satu-satunya untukku!"

Tidak bisa. Aku masih tidak bisa percaya pada Shuya.

Suara gadis itu membuatku tersentak, lalu aku melihat sumber percakapan itu.

Di dekat tiang listrik pinggir jalan, berdiri dua orang, satu pria dan satu gadis. Pria itu membawa payung plastik dan menghadap ke arahku, jadi aku bisa melihat seluruh penampilan pria itu.

Dia adalah seorang siswa SMA. Dari seragam yang dikenakan dengan longgar dan warna rambut yang mencolok, ia memberi kesan sebagai anak berandalan. Tubuhnya cukup tinggi dan wajahnya juga lumayan, jadi kemungkinan ia lumayan populer di kalangan anak perempuan.

Gadis itu memegang payung berwarna pink yang menghadap ke arahku, tapi hanya bagian bawah tubuhnya saja yang terlihat. Tetapi, sweater yang berwarna biru muda dan kaus kaki panjam hitam itu sangat familiar. Terlebih lagi, suaranya jelas-jelas milik Shirakawa Luna.

Tapi, Shuya, kamu memang hanya banyak omong saja. Selalu begitu.

Kali ini aku akan membuktikannya dengan tindakan! Lihat saja perubahan diriku ke depan!

Tapi, aku tak mau dikhianati lagi. Aku juga ingin mempercayainya, tapi... Apanya yang berubah?

Semuanya! Aku telah terlahir kembali!

Kalau itu memang benar, bagaimana caranya agar aku bisa percaya bahwa Shuya benar-benar berubah di sini dan sekarang?"

“Sudah kubilang, aku...

Pada saat itu, pandangan pria itu tertuju padaku.

Di tengah hujan yang membuat suasana suntuk ini, aku tanpa sadar berhenti berjalan dan memperhatikan perdebatan pasangan itu, di antara orang-orang yang buru-buru menuju stasiun. Tampaknya pemandangan itu terlihat aneh di mata pria tersebut.

...Kenalannya Luna?

Eh?

Ketika pria itu bertanya padaku, Shirakawa-san menoleh ke arahku.

Aku berpikir Gawat, tapi rasanya sudah terlalu terlambat untuk pergi begitu saja, jadi aku tetap berdiri di sana.

Mata Shirakawa-san membelalak kaget saat dia mengenaliku.

Ah, Kashima-sensei!

Mendengar hal itu, pria tersebut mengekspresikan keterkejutan di wajahnya.

Sensei!

“Benar, ia adalah guru wali kelasku.

.........

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sekarang sudah jam pulang sekolah, dan itu bukan pelanggaran peraturan sekolah jika Shirakawa-san berdiri dan berbicara di pinggir jalan dengan siswa dari sekolah lain.

Namun, sebagai wali kelas, rasanya bakal aneh untuk mengabaikannya, dan aku harus mengucapkan selamat tinggal sebelum berjalan menuju stasiun.

Alasan mengapa aku tidak bisa bergerak meskipun aku berpikir begitu adalah karena aku melihat kesungguhan yang melekat di wajah Shirakawa-san yang menatapku.

....Teman?

Mungkin akan terdengar kurang ajar jika menguping pembicaraan mereka, tetapi aku melihat mereka secara bergantian dan membuka mulut.

“Bukan, ia adalah mantan pacarku.

Shirakawa-san menatapku dan menjawab dengan tegas.

Tidak, uhmm....

Pria itu sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi ketika ia melihat Shirakawa-san yang mengatakannya, ia seketika terdiam.

Mantan pacar.”

Aku mengulangi jawabannya. Aku tidak tahu bagaimana harus melanjutkannya.

....Jadi ia bukan pacarmu lagi sekarang, ya.

Rasanya begitu canggung karena mereka berdua diam, jadi aku mengatakan sesuatu yang lebih jelas.

Shirakawa-san kemudian mengangguk lebar.

Itu benar, 'mantan pacar'. Bahkan mulai sekarang juga.

Begitu ya....

Kemudian, setelah mendengar percakapan kami, pria itu mulai terlihat gelisah.

....Ka-Kalau begitu sampai jumpa lagi! Aku senang bisa bertemu denganmu lagi setelah sekian lama!

Kemudian, ia pergi ke arah stasiun seolah-olah ingin melarikan diri.

....Aku justru tidak merasa senang sama sekali.

Setelah sosok pria itu menghilang dari pandangan, Shirakawa-san bergumam pada dirinya sendiri.

Lalu, dia mengangkat wajahnya dan tersenyum padaku.

Untung saja Sensei lewat sini.

Melihat senyumnya yang ramah dan penuh rasa terima kasih itu membuatku memalingkan muka karena terpesona.

...Kelihatannya mantan pacarmu memaksa untuk jadian lagi, ya.

Ketika aku mengatakan itu dengan wajah datar, Shirakawa-san mengangguk dengan ekspresi kaku lagi.

Iya. Padahal aku sudah bilang tidak mau, tapi karena ia tidak bisa menghubungiku lagi, jadi ia menguntit dan menunggu di gerbang sekolah. Aku melihatnya dari jendela kelas, jadi setelah jam pelajaran selesai, aku pergi untuk bilang 'jangan lakukan itu' tapi... dia tidak mau dengar... Aku cuma ingin menjauh dari sekolah, jadi aku berjalan sampai kemari.

Kalau dipikir-pikir, Shirakawa-san hanya membawa payung tanpa membawa tas seklahnya. Berarti tas sekolahnya masih tertinggal di kelas.

...Bagaimana dengan panggilan telepon yang kamu terima kemarin? Itu dari dia, kan?

Karena dia menerima telepon masuk, jadi aku bertanya apa dia masih menyimpan kontaknya.

Itu dari telepon umum, jadi aku angkat. Tapi sekarang aku tak mau angkat nomor yang tak kukenal. Aku juga sudah memblokir akunnya di LINE dan Instagram sejak aku putus dengannya.

Begitu rupanya, itu kedengarannya masuk akal dan bukan alasan yang dibuat-buat.

...Bukannya waktu itu kamu bilang kalau kamu 'sedang mempertimbangkannya', kan?

Iya. Aku sudah memikirkannya, tapi aku merasa masih tidak bisa. Aku tak bisa lagi percaya sepenuhnya pada pria yang pernah berselingkuh dariku.

Begitu ya...

Wajah Shirakawa-san terlihat sedih saat dia mengatakan itu, dan aku tak bisa berkata apa-apa lagi.

Shirakawa-san tiba-tiba tersenyum saat menatapku, seolah-olah dia sedang mengejek dirinya sendiri.

Tapi... setelah melihat wajahnya, itu percuma saja. Aku malah sempat berpikir 'mungkin aku bisa percaya padanya sekali lagi'.

Apa... kamu masih menyukainya?

Hujan terus turun, dan bahkan selama pembicaraan kami, aku bisa mendengar suara tetesan air yang mengenai payung.

Shirakawa-san tersenyum lemah.

Tidak. ...Mungkin hanya perasaan. Sejak awal, aku tak pernah benar-benar menyukainya sebagai seorang pria.

Lalu, dia mengubah sudut payungnya dan tiba-tiba menyembunyikan ekspresinya dariku.

...Tapi kalau dipikir-pikir lagi, ternyata hampir semua pacarku memang seperti itu.

Itulkah sebabnya, aku tak bisa mengerti ekspresinya saat dia mengatakannya.

...Kamu akan kembali ke sekolah, kan?

Setelah terjadi keheningan sesaat, aku mengubah topik pembicaraan.

Eh? Ah, iya.

Shirakawa menoleh ke arahku, dan wajahnya kembali murung.

Tapi, aku masih merasa bimbang. Mantan pacarku masih ada di sekitar sini, dan aku takut jika aku sendirian, dia akan mengejarku lagi...

Ah, begitu ya.

Begitu rupanya. Kalau memang begitu...

Mau kembali ke sekolah bersamaku?

Shirakawa-san tampak terkejut setelah mendengar usulanku.

“Apa boleh?

Iya. ...Soalnya, mantan pacarmu yang terus-terusan mengikutimu padahal kamu tidak mau balikan lagi... bukannya itu sudah mirip seperti penguntit?

Sebagai guru, aku merasa sudah sewajarnya melindungi muridku.

“Aku akan mengantarmu pulang hari ini. Kalau kamu masih diikuti lagi lain kali, sebaiknya kamu harus melaporkannya kepada polisi.

Entah apakah pemuda berandal itu akan terus mengejar seorang wanita seperti itu, tapi aku masih tidak yakin bila melihat gerak-geriknya hari ini.

.....

Shirakawa terdiam sejenak sambil memandangku.

Kemudian, dia perlahan-lahan membuka mulut.

...Terima kasih, Kashima-sensei...

Aku merasa gugup ketika melihat senyumnya yang menyipit tampak mengandung sesuatu yang berkilauan.

...Eh...!?

Apa setakut itu? Padahal tadi dia terlihat tangguh saat bersamaku.

Nah, a-ayo cepat kembali. Aku tak ingin kamu pulang terlambat.

Ah, iya betul. Soalnya Sensei yang mengantarku, jadi aku tidak ingin Sensei pulang terlambat.

.....

Ucapannya yang mengkhawatirkan kepulanganku bukannya apa yang kumaksud, tapi rasanya juga aneh untuk meluruskannya, jadi kami berjalan cepat kembali ke sekolah.

...Sensei, menurutmu apa itu cinta?

Setelah berjalan dalam diam selama beberapa saat, Shirakawa-san tiba-tiba mengatakan sesuatu seperti itu.

“Eh....?”

Mana mungkin aku mengetahuinya. Yang ada justru aku lebih suka kalau ada yang mau mengajariku.

....Hmm, itu sulit....

Melihat kalau aku tidak punya pilihan selain menjawab dengan wajah kebingungan, Shirakawa-san tertawa. Itu bukan tawa mengejek, melainkan tawa yang sepertinya membuatmu tersenyum.

Shirakawa-san kemudian menatap langit mendung yang masih meneteskan air hujan.

“Sebenarnya, aku tidak tahu apa itu cinta....

Tetesan hujan jatuh di rahangnya yang kecil dan runcing. Pandangan matanya diarahkan ke kejauhan, seolah-olah dia bisa melihat menembus langit mendung dan langit biru di atasnya.

Pada saat itulah aku tercengang. Itu karena aku mengalihkan perhatianku dari profil Shirakawa-san, yang telah membuatku terpesona, dan memikirkan isi ucapannya.

...Padahal kamu pernah punya pacar, tapi kamu tidak tahu apa itu cinta?

Mendengar pertanyaanku yang masuk akal, Shirakawa-san menatapku dan tersenyum canggung, seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan.

Itu benar.

Dia berkata sambil berjalan, menjaga tatapan matanya tetap tertuju pada kakinya.

Kupikir aku mungkin bisa mengetahuinya ketika mulai berpacaran......Tapi nyatanya tidak demikian.

........

Sejujurnya, kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan Apa sih yang dibicarakan gadis ini ......?.

Kemudian, Shirakawa-san tiba-tiba menatapku.

Sensei, apa kamu tidak pernah jatuh cinta?

Sepertinya ada rasa keingintahuan murni di dalam tatapan matanya, tetapi untuk beberapa alasan aku merasa panik.

“Eh!? ......Oh, tentu saja pernah.

“Jadi, Sensei pernah jantuh cinta, ya.

Shirakawa-san tertawa dengan riang.

Cinta macam apa?

“Eh...

Seorang gadis yang wajahnya secantik aktor cilik, yang pandai berolahraga dan menjadi idola semua orang. Gadis yang duduk di sebelahku dan banyak berbicara denganku. Seorang rekan mahasiswa seminar yang selalu bersikap baik kepadaku.

Kalau dipikir-pikir, selalu saja ada 'gadis yang kusukai' dalam kehidupanku. Tapi itu berakhir tanpa berpacaran dengan siapapun.

Seandainya saja aku berbicara dengannya. Seandainya aku meminta informasi kontaknya. Seandainya saja aku membuat janji untuk bertemu dengannya......

Ada juga cinta samar yang sepertinya mulai bergerak jika aku mulai melakukan sesuatu.

Aku hanya belum melakukan apa-apa.

....Tidak banyak yang bisa aku katakan.

Apa-apaan itu?

Shirakawa tertawa geli ketika mendengar jawabanku.

Aku penasaran memangnya ada yang namanya cinta yang 'tidak layak disebut' ketika kamu sudah bersusah payah menyukai seseorang. ....?”

Dia sepertinya benar-benar berpikir begitu.

Ketika Sensei mengatakan kalau sensei pernah 'jatuh cinta,' itu berarti Sensei ingin menjalin hubungan, bukan?

“....I-Iya sih.”

Entah kenapa seakan-akan pembicaraan ini berjalan dengan asumsi bahwa aku tidak pernah berpacaran dengan siapa pun, padahal memang begitu faktanya, jadi aku tidak bisa meralat itu.

Kenapa kamu tidak pernah berpacaran?

Kenapa ya...

Aku menundukkan kepala. Karena aku sudah berjalan cukup jauh, jadi celana bagian bawah kakiku mulai berubah warna akibat cipratan air hujan. Aku paham mengapa kaos kaki longgar Yamana-san jadi basah kuyup karena hujan.

“Mungkin karena aku tidak pernah menyatakan cintaku.

Kalau ada yang menyatakan cinta padamu, apa kamu akan menerimanya?

...mungkin.

'Mungkin'?

Shirakawa-san tampak kebingungan ketika mendengar jawabanku.

Jadi, ada juga cewek yang kamu tolak meski dia menyukaimu?

Aku mengangguk.

Tergantung situasinya saat itu... Mungkin aku berpikir akan sulit dalam lingkungan kami, atau ada hal lain yang menjadi prioritas.

Padahal kamu menyukainya? Meski kamu tahu kamu mempunyai perasaan yang sama padanya?

Tapi itu dan ini adalah dua cerita yang berbeda.

Eeeeh~~”

Shirakawa-san menatapku dengan pandangan yang seakan menuduh, tapi kemudian berubah menjadi tatapan tak percaya.

...Sensei, kamu itu tipe orang yang menyusahkan ya.

Menurutku itu normal sih.

Normalmu itu tidak ada di duniaku. Kupikir, laki-laki kalau sekali jatuh cinta, langsung dikuasai nafsu mereka dan langsung mengejar gadis yang disukainya.

Ada juga orang yang seperti itu.

Dan sayangnya, realitas yang ironis adalah laki-laki yang tidak memikirkan hal-hal seperti itu justru lebih disukai oleh wanita.

Lalu, Shirakawa-san mendadak terdiam, entah apa yang dipikirkannya.

Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajahnya sambil berjalan.

...Seandainya saja pria seperti Sensei bisa menjadi ayahku.

Dengan suara pelan, dia bergumam pada dirinya sendiri.

Mungkin aku... Masih bahagia sampai sekarang...

Eh...?

Kemudian aku teringat tentang latar belakang keluarga Shirakawa-san. Pada formulir data diri Shirakawa-san, hanya nama ayah dan neneknya saja yang tertulis.

Orang tua Shirakawa-san sudah bercerai. Aku tidak tahu alasan di baliknya, tapi dari perilakunya, aku bisa menebak ada sesuatu di sana.

Ah, Lunacchi! Dan Kashima-sensei? Kalian sedang apa?

Di antara orang-orang yang lewat, ada juga murid-murid dari Seirin yang masih mengobrol dan pulang terlambat setelah selesai pelajaran. Yang menyapa kami barusan adalah Tanikita-san. Di sampingnya juga ada Kurose-san dari kelas A.

Kurose-san adalah gadis yang cantik dan anggun, meskipu dia tidak berpenampilan seperti gyaru, tapi dia cukup dekat dengan geng gyaru lainnya termasuk Tanikita-san.

Sebab...

Akari! ...... dan Maria!

Shirakaw-sana menatap mereka dengan wajah berseri-seri.

Hei Maria, boleh aku main ke rumahmu hari ini?

Eh? Boleh sih...

“Hore! Aku takut pulang sendirian karena ada kemungkinan kalau mantan pacarku akan mengikutiku. Jaid, apa boleh aku menginap?

Boleh kok? Tapi sebaiknya aku tanya ibu dulu.

Terima kasih! Aku ambil tas dulu di kelas, tunggu sebentar ya!

Kami sudah berada di puncak bukit dan gerbang sekolah sudah berada tepat di depan kami.

Shirakawa-san, yang telah diberi izin oleh Kurose-san, menoleh ke arahku saat kami mulai berjalan menuju gedung sekolah.

“Aku sudah baik-baik saja sekarang! Terima kasih telah mengantarku sampai sejauh ini, Kashima-sensei!

Dengan senyum cerah yang tidak sebanding dengan langit hujan, dia melambaikan tangannya padaku.

“Ah, iya.....

Aku hampir saja melambaikan tanganku, tetapi aku mengingat posisiku sebagai guru, dan buru-buru menurunkan tangan yang akan diangkat.

“Ah! Jadi kamu mengantar Lunachi kembali ke sekolah untuk melindunginya dari mantan pacarnya, ya? Kashima-sensei.”

Seolah-olah dia baru menyadarinya sekarang, Tanikita-san berkata kepadaku.

Itu benar.

“Hee~, tak disangka Sensei adalah orang yang sangat baik, ya!

Aku merasa sedikit gundah dengan sikap sok dari murid didikku sendiri, tetapi tampaknya Tanikita-san tidak memiliki niat buruk.

Aku tertawa pahit di dalam hatiku.

Terima kasih banyak sudah melakukannya demi Luna, Kashima-sensei.

Kurose-san yang berada di sebelahku, berkata demikian dan membungkuk ringan padaku. Ada senyum lembut di wajahnya yang manis.

Oke, kalau begitu, kalian berdua pulangnya harus hati-hati juga.

Setelah mengatakan hal itu, aku berbalik dan mulai berjalan menuruni lereng yang baru saja aku lalui.

Kurose-san adalah saudara kembar Shirakawa-san. Berbeda dengan Shirakawa-san, Kurose-san mencantumkan nama ibu dan kakek-neneknya di lembar survei keluarga.

Dengan mempertimbangkan beban orang tua selama kunjungan kelas dan pertemuan orang tua-guru, sekolah kami telah memutuskan untuk menempatkan si kembar di kelas yang sama.

Namun, karena mereka berdua tidak berada di rumah yang sama, aku bertanya kepada orang tua mereka tentang niat mereka sebelum semester baru dimulai, dan ibu Kurose-san mengatakan bahwa dia akan senang melihat kedua putrinya bersama, sementara ayah Shirakawa-san mengatakan bahwa ia akan menyerahkannya pada keinginan ibu mereka, sehingga tanpa pertimbangan lebih jauh lagi, mereka berdua ditempatkan di kelas yang sama.

Di akhir perjalanan menuruni bukit, suara hujan yang mengguyuri payung sudah tidak terdengar lagi.

..... Ah.

Aku melihat ke luar dari payung dan melihat bahwa hujan sudah berhenti. Matahari, yang tadinya condong jauh ke barat, muncul dari balik awan tipis.

── Seandainya saja pria seperti Sensei bisa menjadi ayahku...... Mungkin aku... Masih bahagia sampai sekarang...

Smabil mengingat kembali ekspresi melankolis di wajah Shirakawa-san, aku menutup payungku dan berjalan dengan hati-hati ke stasiun di atas aspal di mana air hujan masih menggenang.

 

♧♧♧♧

 

Kota K, tempat di mana aku tinggal, adalah kota tempat tinggal di wilayah metropolitan Tokyo. Banyak orang yang pergi ke tempat kerja atau sekolah di Tokyo dan kembali dari kota setelah menyelesaikan aktivitas di siang hari. Akibatnya, stasiun terdekat, stasiun K, sangat ramai selama jam-jam perjalanan.

Pada hari itu aku bangun kesiangan. Aku biasanya pergi bekerja pagi-pagi untuk mempersiapkan kelas, tetapi aku tiba di stasiun tepat pada waktunya untuk rapat umum di ruang staf dan buru-buru naik kereta yang datang.

Bagaimanapun, ada banyak orang yang menaiki gerbong kereta dari peron, dan aku adalah orang yang naik terakhir, jadi aku memegang bagian atas pintu dengan tangan dan menahannya dengan tubuhku, sambil mendorong orang-orang ke dalam.

(Fiuh......)

Aku mengendurkan lenganku karena lega, karena pintu gerbongnya sudah tertutup dengan aman. Jika aku hanya menopang berat badanku sendiri, kepadatan populasi di dalam kereta akan merata setiap kali gerbong bergetar.

Kemudian, aku menatap kosong pemandangan tepi sungai ketika gerbong kereta berjalan melewati Sungai Arakawa.

Aku merasakan tekanan yang tidak wajar di sekitar pinggangku. Ketika aku menengoknya, ada seorang gadis SMA di sebelahku. Dia sedang memutar badannya untuk menghindari sesuatu di tengah kerumunan, dan aku bisa merasakan bahwa dia ingin memberitahuku kalau sesuatu itu berada di sebelahnya.

Terlebih lagi, gadis SMA itu ternyata....

(Kurose-san......!?)

Ngomong-ngomong, aku ingat kalau alamat rumah Kurose-san sama-sama berada di kota K. Aku biasanya berangkat menaiki lebih awal, dan karena ada begitu banyak orang di sini sehingga pasti sulit bagiku untuk bertemu dengannya sampai sekarang

Alasan aku tidak langsung berbicara dengannya ialah karena kepadatan penumpang di dalam gerbong begitu padat dan semua orang begitu hening, sehingga sulit untuk memecah kesunyian, dan juga karena Kurose-san sama sekali tidak memperhatikanku.

Kurose-san terus-menerus mengkhawatirkan area belakangnya.

(Apa ada sesuatu......?)

Karena penasaran, aku pun melihatnya dan langsung menyadari masalahnya.

Ada tangan seseorang yang menyentuh bagian paha rok seragam Kurose-san.

Setelah aku memeriksanya, ternyata itu tangan seorang pria paruh baya dalam setelan jas yang berada di belakangnya.

(Apa itu pelecehan s*ksual...?)

Namun, jika dilihat dari luar, itu terlihat sedikit ambigu. Tangan pria itu tidak menyentuh dengan telapak tangan, melainkan punggung tangan, dan dengan tingkat kepadatan penumpang yang tinggi di dalam kereta, sulit untuk mengetahui apa itu disengaja atau tidak.

Tetapi, aku bisa melihat bahwa Kurose-san merasa terganggu dengan tangan itu dan berusaha menghindar.

Ketika kami tiba di stasiun berikutnya, ada banyak orang yang turun dari kereta. Aku dan Kurose-san, yang berada di dekat pintu, terbawa arus orang-orang dan terpaksa turun ke peron.

Meski demikian, pria paruh baya yang tadi berada di belakang Nona Kurose, seolah-olah seperti bayangan, menempel erat di belakangnya dan kembali naik ke dalam kereta.

Aku sudah meyakini dengan pasti kalau itu adalah tindakan pelecehan seksual.

Tapi, apa yang harus kulakukan dalam situasi seperti ini?

Dibutuhkan banyak keberanian untuk melaporkannya ke polisi, dan aku akan terlambat ke sekolah jika melakukan itu. Selain itu, jika aku salah, itu bisa membuat kehidupan seseorang berantakan...

Setelah dilanda berbagai keragu-raguan sesaat, keputusan yang aku ambil adalah untuk menjauhkan Kurose-san dari pria itu.

Meskipun ada banyak orang turun di stasiun A, tapi masih banyak juga yang naik. Masih di dalam gerbong kereta yang penuh sesak, pria paruh baya itu tetap berposisi di belakang Kurose-san.

Oleh karena itu, aku dengan agak kasar bergerak di dalam kereta untuk menempatkan diri di antara mereka berdua, menciptakan sedikit ruang di antara diriku dan Kurose-san.

...?

Kurose-san tampaknya memperhatikan kalau gerakanku yang tidak wajar itu mencurigakan, jadi dia menoleh ke belakang.

Ah...

Pandangan mata kami saling bertatapan, dan dia menyadari keberadaanku.

Kamu baik-baik saja?

Aku bertanya dengan suara pelan.

Kurose-san mengangguk dalam diam.

Selama sekitar 5 menit perjalanan sampai stasiun terdekat dari sekolah, aku terus menjaga agar tubuh Kurose-san tidak bersentuhan dengan orang lain.

Kurose-san juga terus menghadap ke depan, dan tertunduk diam.

Setelah turun dari peron Stasiun O, aku berbicara dengan Kurose-san sekali lagi.

....Jangan-jangan...... kamu pernah dilecehkan?

Kurose-san mengangguk pelan dalam menanggapi pertanyaanku.

“Begitu ya.....

Kalau begitu, mungkin lebih baik untuk menangkapnya dan menyerahkannya kepada staf stasiun.

.....Maaf. Kurasa seharusnya aku perlu mengambil video atau semacamnya..... Aku masih tidak yakin kalau itu benar-benar pelecehan atau bukan....

Begitu mendengar permintaan maafku, Kurose-san akhirnya mendongak.

Tidak, itu bukan salahmu, Sensei.”

Hatiku sedikit cenat-cenut ketika dia menggelengkan kepalanya dan menatapku. Dia bukan tipe yang sama dengan Shirakawa-san, tapi kupikir Kurose-san juga seorang gadis cantik dengan level yang lumayan langka.

Terima kasih banyak atas bantuanmu, Sensei.....

Dia membungkuk dengan sopan saat mengatakan hal ini.

Dalam perjalanan, kami melewati stasiun yang ramai dan menuju ke sekolah bersama-sama.

Cuaca hari ini tidak terlalu bagus. Meski tidak hujan, awan tebal menggantung di langit dan menyembunyikan matahari. Kelihatannya hujan bisa turun kapan saja. Ini baru bulan Mei, tapi mungkin sudah memasuki musim hujan.

.....Umm, begini, Sensei.

Setelah berjalan beberapa saat, Kurose-san membuka mulutnya seolah-olah dia mengalami kesulitan berbicara.

Bukan hanya hari ini saja aku dilecehkan.

“Eh?

Mungkin karena aku terlihat seperti gadis pendiam......, tapi aku sering dilecehkan di kereta sejak dulu.

Menggigit bibirnya dengan sedih dan dipenuhi kekesalan, Kurose-san menatap kakinya dan berkata dengan pelan.

Orang hari ini.... telah melakukannya setiap hari sejak sekitar dua minggu yang lalu....

Setiap hari!?”

Aku meninggikan suaraku karena saking terkejutnya.

Karena berhimpitan dengan jam masuk sekolah, ada beberapa siswi SMA Seirin yang terlihat di sekitar situ. Karena sekolah ini ramah, tidak aneh jika melihat siswa dan guru berjalan bersama saat berangkat. Tapi saat aku berbicara, murid-murid kelas lain yang berada di dekat situ menatapku dengan tatapan “Ada apaan?

... Apa itu beneran? Kamu yakin kalau itu benar-benar orang yang sama?

Aku bertanya dengan suara sedikit pelan, dan Kurose-san mengangguk perlahan untuk membalasnya.

Ada hari-hari di mana aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi dia selalu memakai jam tangan yang sama.

Begitu ya...

Jika dia bilang begitu, mungkin pasti memang begitu.

Bagaimana kalau kamu coba naik gerbong kereta yang berbeda?

“Aku sudah mencobanya. Tapi tetap saja sama... Aku juga sudah mencoba menggeser jadwal keretaku sedikit, tapi tetap saja... Lebih dari itu tidak realistis... Aku memang benci tindakan pencabulan itu, tapi aku takut kalau-kalau dia menungguku di gerbang tiket, jadi belakangan ini aku selalu merasa was-was setiap pagi.

...

Aku kehilangan kata-kata melihat sifat bejat si pelaku pencabulan itu. Kalau kamu ingin melakukan hal-hal mesum pada gadis manis, setidaknya lakukanlah sendiri tanpa mengganggu orang lain. Seperti aku... Argh, aku ini mengomel apa!

Sambil menegur diriku sendiri, aku berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan kepada Kurose-san yang mengalami pelecehan seksual di depanku.

Pelecehan itu hanya terjadi di dalam kereta dari Stasiun K ke Stasiun O, ya?

Ya, benar.

“Itu hanya terjadi di pagi hari, kan?

Ya.

Begitu ya...

Setelah mendengar itu, aku memandang Kurose-san yang berjalan di sampingku.

Lalu, apa yang kamu inginkan, Kurose-san?

Eh?

Maksudku, apa kamu ingin pelaku itu ditangkap dan dihukum secara sosial, atau cukup jika tindakan pelecehannya berhenti?

Kurose-san tampak sedikit berpikir, lalu menundukkan pandangannya ke arah kakinya sebelum menjawab dengan penuh pertimbangan.

...Aku hanya ingin bisa naik kereta dengan normal.

Begitu ya...

Kalau begitu, saranku ini bisa berguna.

Bagaimana kalau mulai besok aku menemanimu berangkat sekolah, sama seperti hari ini?

Eh?

Aku juga menaiki kereta dari Stasiun K. Hari ini aku memang keburu-buru, jadi lebih baik naik kereta yang lebih awal...

“Apa Sensei yakin...?

Kurose-san memandangku dengan mata besarnya.

Ya.

Kurasa dalam satu atau dua minggu, si pelaku pasti akan menyerah dan berhenti mengganggu Kurose-san. Paling lama juga hanya sampai akhir semester, jadi itu tidak terlalu merepotkan.

...

Kurose-san tidak menjawab untuk beberapa saat.

Saat aku mulai berpikir bahwa mungkin aku merepotkannya, Kurose-san kembali memandangku.

...Kahima-sensei, kenapa kamu sampai repot-repot mau melakukan ini untukku?

“Eh?

Wajah Kurose-san tampak sedikit bermasalah.

Mungkin saja, pikirku.

Karena dia selalu mengalami pelecehan seksual, jadi mungkin dia curiga dengan kebaikan yang ditunjukkan oleh laki-laki dewasa.

...Karena kamu adalah murid bimbinganku.

Oleh karena itu, aku menjawab dengan nada setenang mungkin.

Tidak lebih dan juga tidak kurang dari itu.

Meski caraku bicara sedikit dingin, aku hanya ingin menyampaikan fakta agar tidak salah paham.

Kurose-san kembali terdiam sejenak.

Lalu,

.....kasih...

Aku hampir tidak bisa mendengar suaranya yang pelan seperti desisan nyamuk. Saat aku melihat ke arahnya, wajah Kurose-san sedikit merona saat dia menatapku.

Terima kasih...banyak...

Dia mengatakannya dengan malu-malu.

 

♧♧♧♧

 

Keesokan paginya, kehidupanku sebagai pengawal Kurose-san di kereta yang penuh sesak pun dimulai.

Selamat pagi, Kashima-sensei.

Setelah seminggu, Kurose-san menyambutku dengan senyum yang lebih terbuka.

Mungkin karena dia merasa sungkan denganku, Kurose-san selalu datang lebih awal dariku. Itu sebabnya aku mulai datang lebih awal, dan kadang-kadang aku bisa naik kereta lebih awal dari jadwalku.

Kami bertemu di pilar di depan gerbang tiket, di mana orang-orang sedang tersedot dengan ekspresi suram di wajah mereka, dan kami menuju peron tanpa berkata-kata.

Tetapi hari ini, aku melihat bahwa stasiun tampak berbeda dari biasanya.

Kereta berikutnya yang tiba saat ini terlambat sekitar tujuh menit karena ada pemeriksaan keamanan yang baru saja dilakukan, dan telah berangkat dari stasiun N terdekat.

Petugas stasiun mengumumkan hal tersebut di peron. Antrean orang yang menunggu kereta juga lebih padat dari biasanya.

Kereta pun tiba dan, seperti yang diharapkan, jumlah penumpang membludak.

....Jadi bagaimana? Apa yang ingin kamu lakukan?

Ketika aku bertanya kepada Kurose-san yang berada di sampingku, dia menjawabku tanpa ragu-ragu.

Jika aku bisa naik, aku akan menaikinya, karena aku merasa tidak enakan jika sensei terlambat.

....Begitu ya. Terima kasih.

Meskipun diperkirakan akan terjadi keterlambatan akibat kepadatan, aku membulatkan tekad dan naik ke dalam kereta.

Kami hanya bisa masuk dengan susah payah di dekat pintu.

Jumlah penumpang di kereta ini sangat padat, jadi jika aku hanya berdiri dengan normal, aku akan menempel ke semua orang di sekitar. Tapi aku adalah pengawal Kurose-san. Kurose-san bersandar padaku, jadi jika aku menempel, aku bisa dituduh melakukan pelecehan s*ksual.

Aku meletakkan kedua tanganku di jendela pintu, mencoba menjaga jarak sekitar satu jari antara tubuhku dan Kurose-san.

Setiap kali kereta bergerak, pusat gravitasi penumpang bergeser, dan tekanan yang luar biasa dapat terjadi. Meskipun begitu, aku terus berusaha mempertahankan celah berharga itu.

.....

Aku tidak bisa melihat ekspresi Kurose-san. Karena dia bertubuh pendek di antara gadis-gadis normal, kepalanya berada di bawah daguku. Sepanjang perjalanan, aroma sampo yang lembut seperti sabun terus menguar.

Saat turun di stasiun O, kedua lenganku gemetar. Aku pasti akan merasa sakit otot besok.

Kurose-san, apa kamu baik-baik saja?

Ya.

Saat aku bertanya padanya di peron, Kurose-san mengangguk dan tersenyum padaku. Entah kenapa, dia terkikik geli.

...Sensei, kamu berkeringat banyak sekali.

Eh...?

Aku memang menggunakan banyak tenaga, jadi kupikir wajar jika aku berkeringat.

Tunggu sebentar.

Nada bicaranya yang biasanya sopan berubah menjadi lebih santai, membuatku sedikit terkejut.

Dia mencari-cari sesuatu di tasnya, lalu mengeluarkan saputangan bermotif bunga. Dengan berjinjit, dia mengusap keringat di dahiku.

Kurose-san tersenyum lembut penuh kasih.

...Ya, sudah kering.

Te-Terima kasih.

Senyumnya yang dipenuhi kehangatan membuatku merasakan debaran aneh di dada. Itu mengingatkanku pada saat Shirakawa-san mengelap wajahku dengan handuk bergambar Osausa.

Meskipun kembar dua itu tidak terlalu mirip secara fisik, ekspresi mereka kali ini tampak serupa.

Sama-sama, Kashima-sensei.

Dengan senyum penuh keramahan dan rasa terima kasih, Kurose-san membungkuk padaku.

Kalau begitu, sampai nanti.

Lalu Kurose-san berjalan mendahului di peron pagi itu.

Beberapa hari terakhir, Kurose-san berkata bahwa sebaiknya kami tidak berangkat bersama-sama karena terlihat aneh, jadi kami berpisah di stasiun O.

“....Ah.

Setelah berjalan beberapa langkah, Kurose-san menoleh ke arahku.

Terima kasih banyak untuk hari ini juga.

Dia membungkuk sambil mengucapkan itu, dan rambut hitamnya yang bergerak cepat membuatku tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Lalu dia menghilang dalam keramaian.

...Padahal baru saja dia mengucapkan terima kasih.

Aku berpikir bahwa sifat Kurose-san yang sangat sopan dan taat merupakan ciri khas dirinya.

 

♧♧♧♧

 

Beberapa hari kemudian, hal itu terjadi.

“Aku merasa pengawalannya cukup sampai hari ini saja. Terima kasih banyak, kata Kurose-san dengan tenang saat kami bertemu di depan gerbang masuk stasiun.

Eh, benarkah?

Padahal belum ada dua minggu sejak aku mulai menemaninya.

Ya. Kalau tidak dicoba, aki takkan tahu apa aku bisa baik-baik saja.

Benar juga...

Sejak aku menemaninya, insiden pelecehan seksual memang tidak lagi terjadi, jadi apa yang dikatakan Kurose-san memang benar.

Apa kamu tidak merasa cemas?

“Aku memang masih merasa cemas dan was-was, tapi aku tidak bisa terus-menerus merepotkan Sensei. Aku harus mencoba berjalan sendiri.

Semua yang dikatakan Kurose-san memang masuk akal.

Baiklah, jadi hari ini yang terakhir ya.

Saat aku mengatakannya, ekspresi Kurose-san sesaat berubah menjadi sedikit sedih.

...Ya.

Dengan nada sedikit murung, Kurose-san mengangguk.

Tapi itu hanya sesaat, jadi mungkin aku cuma salah lihat.

 

Jumlah penumpang yang naik ke dalam gerbong dari stasiun K kembali padat hari ini juga.

Menurutku, posisi terbaik untuk berdiri di kereta yang penuh sesak adalah di tengah lorong yang diapit oleh kursi-kursi panjang. Karena ada orang duduk di kedua sisi, penumpang lain cenderung segan untuk memberikan tekanan. Kepadatannya juga biasanya tidak terlalu tinggi dibandingkan dekat pintu.

Sebaliknya, dekat pintu terkadang bisa terjadi tekanan yang luar biasa. Makanya biasanya aku berusaha menghindarinya. Tapi terkadang kamu tidak bisa masuk ke bagian tengah.

Hari ini pun seperti itu. Aku terdorong ke dekat pintu di sisi yang berlawanan, dan aku tidak bisa bergerak karena desakan penumpang di belakangku.

Untuk menghindari kontak langsung dengan Kurose-san, aku memintanya berdiri di sudut pintu, sementara aku sendiri berdiri berhadap-hadapan dengannya, menyangga diriku dengan siku di jendela dan dinding. Ini kembali menjadi perjalanan dengan pasti merasakan sakit otot besok.

Posisi ini bisa menahan tekanan dari belakang, tapi goyangan ke arah maju-mundur karena gaya gravitasi masih sulit diatasi karena aku tidak bisa berpegangan pada apapun.

Yah, jika sejak awal aku sudah menjaga pusat gravitasiku di depan, biasanya aku tidak akan terlalu goyah.

Itulah yang kupikirkan.

Apa masinisnya adalah karyawan baru? Hari ini gerbong keretanya berguncang cukup sering. Selain itu, pintu tempat kami tumpangi berada dekat dengan sambungan antar-gerbong, yang memang sudah rawan terhadap guncangan.

Saat guncangannya semakin membesar, aku hampir merasa kalau tubuhku akan terbawa ke belakang.

Uwah

Aku menjerit kecil dan mencoba memperbaiki kembali posisi tubuhku.

...!?

Tiba-tiba Kurose-san melingkarkan tangannya di pinggangku dan memegangi tubuhku.

Berkat itu, aku bisa tetap berdiri di tempat tanpa terlalu goyah.

Tapi bahkan setelah aku berhasil memperbaiki posisiku kembali, Kurose-san masih memeluk pinggangku.

...Te-Terima kasih.”

...Sama-sama

Dia menjawab dengan suara kecil Ketika aku mengucapkan terima kasih.

Kurose-san tidak bergerak dari posisinya.

Bahkan saat kami tiba di stasiun berikutnya, Kurose-san masih memelukku dan menenggelamkan wajahnya di dadaku

Jika dilihat dari sudut pandang orang-orang di sekitar, kami pasti terlihat seperti sepasang kekasih.

Aku merasa panik dan melihat sekeliling apakah ada orang-orang dari SMA Seirin yang menaiki kereta ini juga.

...Kurose-san? Ak-Aku sudah tidak apa-apa kok...

Tapi aku khawatir kalau guncangannya terjadi lagi. Jadi aku akan tetap menahanmu, Sensei.

Kurose-san menjawab sambil tetap memelukku.

“Karena ini yang terakhir...

Walaupun wajahnya tidak terlihat, tapi dari kekuatan pelukannya dan gerakan menekan pipinya di dadaku, aku bisa merasakan kesedihan dalam dirinya. Aku jadi tidak bisa berkata apa-apa.

Wangi sampo Kurose-san tercium semakin kuat. Aku bisa merasakan lembut tubuhnya di perutku yang mana membuatku geli.

Aku ingin menghindari reaksi yang tidak disengaja, jadi terkadang aku membayangkan wajah ibuku dan berusaha mengalihkan pikiranku dari Kurose-san di depanku sampai aku tiba di Stasiun O.

Walaupun itu hanya berlangsung beberapa menit, tapi saat tiba di stasiun O, aku merasa benar-benar kelelahan. Rasanya seperti sudah menghabiskan energi mental seharian penuh.

Begitu pintu terbuka di stasiun O, Kurose-san melepaskan pelukannya dari tubuhku.

Ketika kami turun dan berdiri berhadapan di peron, barulah aku bisa melihat wajahnya.

Pipinya terlihat memerah dan dia menunduk karena malu.

...Terima kasih banyak.

Setelah mengucapkan itu, Kurose-san kemudian berbalik dan berjalan pergi.

“.....

Aku tidak bisa menjawab apa-apa karena aku bisa merasakan perasaannya kepadaku dari sikapnya.

Pada saat yang sama, sensasi lembut dan kehangatan tubuhnya yang baru saja kurasakan kembali muncul, membuatku merasakan panas di tengah tubuhku.

 

Tidak mungkin! Gadis cantik seperti itu! Jangan salah paham dulu, dasar perjaka!

 

Aku segera memarahi diri sendiri, dan berusaha mengalihkan pikirannya, lalu berjalan menuju gerbang tiket.

Aku bahkan secarab mental memukul diriku sendiri ketika masih bahkan sempat mencium samar-samar sisa wangi Kurose-san di sekitarku.

 

♧♧♧♧

 

Meskipun tugasku sebagai pengawal sudah selesai, aku masih sering melihat Kurose-san saat berangkat sekolah.

Suatu pagi, saat aku berjalan menaiki lereng bukit menuju sekolah, aku melihat Kurose-san dan Tanikita-san di depan.

Yang pertama kali membuatku terkejut setelah bekerja di sini adalah, ternyata sekolah perempuan tidak terlalu hirarkis seperti yang dibayangkan.

Bayangan tentang komunitas perempuan yang penuh intrik seperti Ooku ternyata tidak sepenuhnya benar. Tanpa adanya laki-laki yang memperebutkan, komunitas sesama perempuan cenderung lebih damai.

Dan suasana di kelas A kami memang terasa sangat tenteram, salah satunya karena keramahan Shirakawa-san yang pasti akan menjadi pemimpin di kelas campuran.

Selamat pagi!

Aku mendengar suara yang aku kenali dari belakang, dan saat menoleh, aku melihat ada Shirakawa-san di sana.

Shirakawa-san menyapa dua murid kelas A yang berjalan di depan. Mereka berdua murid yang rapi, dengan rambut hitam diikat satu dan wajah tanpa riasan, sesuai aturan sekolah.

Selamat pagi, Shirakawa-san.

Selamat pagi.

Kedua murid itu menjawab Shirakawa-san dengan ekspresi ceria. Melihat mereka yang terlihat sangat hidup, berbeda dengan saat di kelas, aku bisa merasakan seberapa besar kepopuleran Shirakawa-san.

Hei, dengarin deh, tadi pagi aku membuat telur mata sapi sendiri loh!

Shirakawa-san pun mulai bercerita, berjalan beriringan dengan mereka berdua.

“Karena aku masih mengantuk, jadi aku malah membuang isi telurnya ke wastafel dan hanya memanggang kulitnya di wajan!

Apa, serius!?

Kok bisa begitu!?

Iya, tadi pagi aku melakukannya!

Lalu gimana dengan telur mata sapinya?

Aku buat lagi pakai telur kedua! Aku nggak bisa memberitahu nenekku, nanti aku dimarahi!

Astaga, lucu banget!

Shirakawa-san, kocak deh!

Mereka pun tertawa lepas mendengar cerita Shirakawa-san. Jika ada orang lain yang tak kenal melihat mereka saat ini, pasti akan mengira mereka adalah teman dekat yang selalu bersama.

Aku yang diam-diam mengamati mereka dari belakang, tiba-tiba pandangan mataku bertemu dengan Shirakawa-san.

Ah, Kashima-sensei! Selamat pagi!

Shirakawa-san menyapaku dengan senyum lebar dan melambaikan tangannya.

Kedua murid yang bersamanya juga menyadari keberadaanku dan menyapa, Selamat pagi.

Selamat pagi.

Aku berbalik untuk memberi salam kepada mereka bertiga, lalu berbalik menghadap ke depan.

Dan aku merasakan sakit yang menusuk dadakku.

... Aku bukanlah orang yang istimewa.

Shirakawa-san ramah kepada semua orang dan disukai oleh semua orang.

 

——Aku ingin berpacaran dengan pria seperti Profesor Kashima-sensei.

——Jika itu Kashima-san, aku tidak keberatan jika kamu yang melihatnya.

 

Hanya karena dikatakan hal seperti itu, perasaan suka yang tersimpan di suatu tempat sedikit layu dan terasa menyedihkan. Dan aku merasa sangat malu dengan diriku sendiri, bertanya-tanya apa yang kupikirkan tentang murid-muridku sendirri.

Lalu, sosok Kurose-san yang berjalan di atas bukit masuk ke dalam pandanganku.

Mengingat kehangatan yang kurasakan saat dia memelukku.... aku cepat-cepat menggelengkan kepala, berusaha menenangkan tubuh dan hatiku yang mulai memanas.

Dua saudari gadis cantik itu terlalu bersinar bagiku.

 

♧♧♧♧

 

Setelah selesai menjadi pengawal Kurose-san, aku kembali menjalani kehidupan sehari-hariku sebagai pria yang tak kasat mata.

 

Yay, aku berhasil tepat waktu untuk pelajaran pertama!

Suatu hari, saat aku sedang mengajari pelajaran Bahasa Jepang untuk kelas A, Tanikita-san masuk ke dalam kelas dengan tergesa-gesa.

Kamu telat tahu.

Sayang sekali, Akari.

Yamana-san dan Shirakawa-san mengomentarinya dari tempat duduk mereka.

Tanikita-san adalah salah satu murid paling unik di geng gadis gyaru. Meskipun tubuhnya kecil, dia memiliki energi yang besar dan selalu menjalani jalannya sendiri, tidak peduli dengan belajar, dan selalu sibuk mendukung idolanya.

Mendengar perkataan teman-temannya, Tanikita-san menatapku yang berada di depan meja guru.

Lho, bukannya masih ada Kashima-sensei. Berarti sekarang masih jam wali kelas, dong?

“Sekarang sudah jam pelajaran Bahasa Jepang di jam pertama, tau.

Setelah diingatkan oleh Yamana-san, Tanikita-san sepertinya baru mengerti.

Oh begitu, yah sudahlah.

Setelah mengatakan itu, dia lalu duduk di tempat duduknya.

Tadi pagi di kereta aku kena pelecehan s*eksual, tapi aku berhasil menangkapnya. Istrinya datang ke ruang petugas dengan kue, lalu kami berdamai dan aku dapat uang kompensasi 500.000 yen*!(TN: Sekitaran 52 juta rupiah)

Apa, itu beneran? Wow! Kalau aku juga kena pelecehan, aku juga akan menangkapnya!"

Bukan hanya Yamana-san, tapi semua orang di kelas pun kaget dengan ucapan lugas Tanikita-san.

"Tapi, uangnya disita ibu. Ketika aku mengatakan kepadanya 'Itu kan hasil kerjaku, jadi berikan padaku' dia malah bilang ‘itu sama sekali tidak penting, lain kali jangan melakukan hal berbahaya seperti menangkap pelaku pelcehan seksual sendirian!’ dan aku dimarahi habis-habisan. Menyebalkan sekali!

Tanikita-san terlihat tidak puas.

Tapi perkataan ibumu memang benar sih!

Akari keren banget!

Apa kamu nggak takut?

Aku bahkan tidak bisa bilang 'Tolong jangan!'

Di sekolah perempuan, sekitar setengah tahun sekali, biasanya ada satu atau dua murid yang berhasil menangkap pelaku pelecehan se*ksual dan menjadi pahlawan di kelasnya. Meskipun sepertinya banyak murid yang pernah mengalami pelecehan, namun bagi siswi SMA untuk menangkap dan melaporkan orang dewasa sepertinya memiliki hambatan yang cukup tinggi.

Wah, bagaimana kamu menangkapnya? Coba contohkan dong!

Seorang gadis berkata sambil memeluk Tanikita-san dari belakang. Meskipun tingginya biasa saja, tapi karena Tanikita-san bertubuh kecil, jadi pelukannya dari belakang seperti benar-benar memeluknya.

Lho, kok meluk dari belakang sih?

Tanikita-san memprotes, dan semua tertawa.

Wah, aku mau coba juga dong!

Shirakawa-san berseru, lalu menggantikan murid itu memeluk Tanikita-san dari belakang.

Lho, ini sih sama saja kali!”

Hahaha!

Shirakawa-san tertawa sambil melingkarkan lengannya di depan dada Tanikita-san.

Akari, kamu imut banget! Pelukannya enak banget!

Nah Akari, sini duduk di pangkuanku!

Yamana-san yang duduk di kursinya menepuk-nepuk pahanya, memanggil Tanikita-san.

Lho, apa-apaan ini! Udah nggak ada hubungannya sama masalah pelecehan!”

Meskipun memprotes, Tanikita-san masih menuruti untuk duduk di pangkuan Yamana-san.

“Baiklah, ayo pakai sabuk pengamannya.

Yamana-san melingkarkan tangannya di sekitar perut Tanikita-san sambil berkata demikian.

Oke, berarti sekarang kita naik mobil ke sekolah ya? Lho, kok jadi begitu?

Tanikita-san membalas, dan kelas pun kembali tertawa.

Sambil memperhatikan semua itu, dalam hati aku berdebar-debar. Jarak fisik antara murid-murid di sekolah perempuan terlalu dekat. Meskipun kita melihat idola perempuan tampak bersahabat, kita cenderung berpikir itu hanya bagian dari bisnis. Tapi di sini ada taman bunga wanita yang nyata.

Baiklah, nanti saja kita mendengar cerita Tanikita-san, sekarang semua kembali ke tempat duduk masing-masing. Ini masih jam pelajaran.

Aku berkata sambil diam-diam melirik Kurose-san. Kurose-san tetap fokus pada buku pelajaran Bahasa Jepang, seolah tidak terjadi apa-apa.

Di dunia ini, ada berbagai macam gadis.

Sama seperti ada berbagai macam laki-laki.

Hal itu baru kuketahui setelah menjadi guru di sekolah perempuan, sebagai seseorang yang tidak populer.

 

Di pelajaran Bahasa Jepang saat ini, kami sedang membahas novel Kokoro karya Natsume Soseki.

Aku tidak perlu menjelaskannya lagi, tapi novel Kokoro adalah novel yang berlatar belakang Jepang era Meiji, yang terdiri dari tiga bagian 'Sensei dan Aku', 'Orang Tua dan Aku' dan 'Sensei dan Wasiat' dan bagian terakhir, 'Sensei dan Wasiat', biasanya ditemukan di buku-buku pelajaran sekolah SMA.

Di sana tertulis isi surat wasiat yang diterima oleh “Aku”, si narator, dari sosok yang dipanggilnya “Sensei”. Garis besar ceritanya adalah ketika ‘Sensei’ yang masih muda dan sahabatnya K terlibat dalam segitiga cinta dengan putri pemilik tempat kos mereka, Nona muda’, ‘Sensei’ yang gelisah akhirnya berhasil meminang Nona muda’ melalui sebuah tipu daya, dan setelah mengetahui hal itu, K bunuh diri.

Novel modern bergenre klasik dengan bahasa yang formal ini seharusnya sulit dijangkau oleh remaja saat ini. Namun, karena temanya tentang cinta dan berisi hubungan segitiga antara teman dekat, sepertinya cukup relevan dan menarik bagi siswi SMA.

“Baiklah...

Aku berkata sambil menulis kalimat di papan tulis dengan kapur.

Mengapa di sini si 'Sensei' berkata kepada 'K' bahwa 'mereka yang tidak berambisi secara mental adalah orang bodoh'?

Ketika ajy mengajukan pertanyaan seperti ini, hanya sekitar 20% siswa di kelas yang menatapku.

Dan di antara mereka adalah Shirakawa-san.

Tumben sekali, pikirku.

Selain itu, aku merasa ekspresinya dipenuhi dengan aura panas yang biasanya tidak terlihat pada dirinya, jadi aku tanpa sadar memanggilnya.

Shirakawa-san, apa kamu memahaminya?

Shirakawa-san tampak terkejut ketika namanya dipanggil. Dia dari tadi memperhatikanku, jadi aku heran mengapa dia begitu kaget. Biasanya murid yang tidak ingin diketahui gurunya akan berusaha mengalihkan pandangannya.

Eh? I-Iya...

Meski dia terlihat sedikit gugup, Shirakawa-san membuka mulutnya.

“Karena 'K' ingin menyerah kepada ‘Nona Muda’ ?

Karena jawabannya benar, jadi aku merasa terkagum sembari berpikir, Ternyata dia memperhatikan pelajarannya dengan baik.

Begitu ya. Lalu, mengapa 'Sensei' ingin 'K' menyerah pada perasaan cintanya terhadap 'Nona Muda'?

Eh? Umm... itu karena 'Sensei' juga menyukai 'Nona Muda'? Karena ia...cemburu?”

Lalu, mengapa kamu berpikir bahwa kata-kata itu akan membuat 'K' menyerah pada 'Nona muda'?

Wajah Shirakawa-san semakin tidak yakin saat aku menanyainya lebih lanjut.

Umm... karena dulu 'K' pernah mengatakannya sendiri?

Benar sekali.

Aku tidak ingin bertanya lebih lanjut karena merasa kasihan padanya, jadi aku beralih ke papan tulis.

Mungkin bagi orang-orang saat ini, 'cinta' dianggap sebagai sesuatu yang dapat membantu diri mereka berkembang dan menjadi lebih baik. Jadi, cara berpikir 'K' ini mungkin tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang.

Meskipun aku termasuk orang-orang saat ini dan tidak berpikir bahwa cinta merupakan sebuah halangan, tapi aku sendiri penasaran kenapa aku masih lajang sampai sekarang.... Aku merasa galau sendiri sambil menulis di papan tulis.

Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa 'K' adalah 'putra pendeta'. Dalam ajaran Buddha, bagi laki-laki, jatuh cinta pada wanita dianggap sebagai penghalang dalam latihan spiritual. Meskipun keluarga 'K' berasal dari aliran Jodo Shinsu yang memperbolehkan pernikahan, sensei menulis bahwa 'K' secara pribadi memiliki prinsip yang tidak setuju dengan hubungan laki-laki dan perempuan. Bagi 'K', berfokus pada studi dan latihan spiritual adalah 'gaya hidup yang memiliki semangat untuk memperbaiki diri'.

Setelah selesai menulis di papan tulis, aku menoleh ke belakang dan banyak murid tampak bingung. Sepertinya memang ada kesenjangan pemahaman di sini.

...Sensei.

Lalu aku mendengar suara, dan melihat Kurose-san mengangkat tangannya. Meskipun Kurose-san adalah murid berprestasi yang biasanya menjawab pertanyaan dengan benar jika aku bertanya, jarang sekali dia mengangkat tangan sendiri.

Ada apa, Kurose-san?

Saat aku bertanya kepadanya, Kurose-san membuka mulutnya dengan sedikit ragu-ragu.

...Tapi, bagaimana jika meski kita menyadari bahwa itu salah, tapi kita masih tetap jatuh cinta? Apa yang harus kita lakukan?

Pertanyaannya terdengar seolah-olah dia sendiri berada dalam situasi itu dan meminta bantuan.

Sepertinya para siswa yang lainnya juga berpikiran sama, dan terdengar suara-suara gurauan yang tidak biasa terdengar saat pelajaran.

Hah!? Apa kamu punya seseorang yang kamu suka, Marimero!? Siapa dia? Beritahu kami dong!

"Aku juga kepo, nih!

Apa ini cinta terlarang?

Apa dia tampan?

Karena Marimero yang jatuh cinta duluan, pasti dia laki-laki yang setara dengan harta nasional!

Wah, aku ingin melihatnya! Apa kamu punya fotonya?

Di sekolah perempuan seperti ini, karena jarang ada laki-laki, mendengar gosip teman yang sedang jatuh cinta membuat mereka antusias luar biasa.

Di tengah kelas yang menjadi berisik, aku...

——Karena ini adalah yang terakhir...

Mengingat sensasi saat Kurose-san memelukku di kereta yang penuh sesak dan tidak mau melepaskanku.

——Terima kasih.

Jantungku berdebar-debar ketika aku mengingat wajahnya saat dia mengatakan hal itu dengan pipinya yang memerah karena malu.

Mana mungkin, itu mustahil...

Memang benar, aku adalah guru, dan Kurose-san adalah muridku... Dari sudut pandang sosial, aku adalah seseorang yang seharusnya tidak boleh dia sukai.

...

Kurose-san hanya diam saja dan tampak kesulitan menghadapi rentetan pertanyaan teman-temannya.

Pada saat itu, aku tiba-tiba merasakan seseorang menatapku, dan ketika aku melihat, mataku bertemu dengan mata Shirakawa-san. Dia tidak melihat ke arah Kurose-san, melainkan ke arahku, dan pandangannya dipenuhi oleh kekhawatiran yang tak terjelaskan.

Lalu aku tersadar.

Hei, kita masih dalam pelajaran! Semua diam!

Aku menyadari aku bukanlah guru yang berwibawa, tapi para siswa pada dasarnya adalah anak-anak yang baik, jadi pertanyaan mereka pada Kurose-san terhenti sejenak.

...Baik. Jadi, pertanyaan Kurose-san tadi. Ini tentang 'K', kan?

Aku bertanya balik meski diam-diam hatiku berdebar-debar, dan Kurose-san mengangguk pelan dengan wajah memerah.

Berusaha untuk tidak memikirkannya terlalu jauh, aku mengalihkan pandanganku ke buku pelajaran di atas meja.

“Apa yang harus dilakukan 'K' walaupun ia menyadari bahwa itu salah, tapi ia tetap jatuh cinta...?

Meskipun pengalaman cintaku sendiri sangat menyedihkan, sebagai guru Bahasa, aku mencoba membahas isi materi.

Tidak hanya 'K', kebanyakan orang memang cenderung mengejar idealisme mereka ketika mereka maish muda. Seperti misalnya, waktu kecil ingin menjadi idol atau youtuber terkenal, tapi kebanyakan orang setelah dewasa akan melihat realita dan memilih jalan yang lebih mungkin terwujud.

Entah karena siswa merasa geli karena mengingatkan mereka dengan impian masa kecil mereka, ada beberapa siswa yang menunjukkan senyum masam di wajah mereka. Sudah lebih dari 2 tahun aku mengajar di sekolah perempuan ini, jadi aku tidak terlalu terkejut lagi. Aku lalu melanjutkan.

'K' memang memegang teguh idealismenya untuk menjalani kehidupan yang mulia, tapi itu sebenarnya adalah jalan yang terkesan naif dan terasing dari dunia nyata. Tetapi kali ini, untuk pertama kalinya, 'K' serius jatuh cinta dengan seorang wanita dekat dengannya. Hal ini membuka pilihan untuk 'menjadi dewasa' - yaitu mewujudkan cintanya dan memiliki keluarga, yang merupakan jalan hidup biasa dan realistis. 'Sensei' melontarkan kalimat sebelumnya untuk mengambil pilihan itu dari 'K'.

Mungkin karena alur pembicaraanku yang agak santai, murid-murid tampak cukup antusias mendengarkan.

'K' yang dicegah dari jalan cintanya, tentu tidak akan bisa menyerah dengan mudah. Dan perkembangan selanjutnya... Kamu pasti sudah tahu karena membaca keseluruhan ceritanya. 'K' mendengar kabar pernikahan 'Guru' dan 'Nona muda', lalu ia bunuh diri. 'K' yang baru mengenal cinta, tidak bisa lagi hidup dengan tulus dan tekun seperti dulu, tapi juga tidak bisa mewujudkan cintanya. Hal inilah yang sepertinya mendorong 'K' untuk memutuskan bun*h diri.

Aku terus menjelaskan sambil memasukkan beberapa pendapat pribadiku.

Secara pribadi, aku berpendapat bahwa 'K' seharusnya memiliki cara berpikir yang lebih fleksibel untuk bisa bertahan hidup. Tapi memang itulah dia. Jadi, jika aku harus menjawab pertanyaan Kurose-san, mungkin yang paling mendasar adalah 'Jangan berpikir kalau jatuh cinta itu salah'.

Kurose-san mendengarkanku sambil melirik sekilas ke arahku.

Untungnya, zaman sekarang tidak banyak orang yang berpikir seperti 'K' untuk menghindari cinta. Memang ada batasan-batasan sosial dan moral tentang 'pasangan yang tidak boleh didekati', tapi selama hanya dalam tahap perasaan, sebenarnya itu masih bebas. Permasalahan baru muncul jika ingin mewujudkannya dan berbenturan dengan aturan nyata.

Sebagai orang yang belum pernah benar-benar berniat mewujudkan cinta, aku merasa cukup yakin dengan pandangan ini.

Perasaan yang sedikit kumiliki terhadap Shirakawa-san dan Kurose-san pasti akan berlalu begitu saja jika aku tidak melakukan apa-apa seperti biasa.

Tapi, Sensei.”

Pada saat itu, Yamana-san angkat bicara. Kejadian tersebut lebih jarang terjadi dibandingkan Shirakawa-san.

Mungkin karena sedang dalam jam pelajaran, dia memanggilku 'Sensei'.

Kalau kita benar-benar jatuh cinta, kita ingin mewujudkannya, kan?

Yamana-san tetap dalam pose malasnya seperti biasa, tapi posturnya terlihat condong ke depan.

Lalu, Tanikita-san yang duduk di dekatnya menatap Yamana-san dengan menggoda.

Ah, Nikorun, kamu pasti membahas soal Sekiya-sensei, kan?

Hah?! Jangan mengatakan itu di depan Kasima dong! Jangan mengada-ada kau, Akari!

Wajah Yamana-san seketika berubah merah padam saat membalas perkataan Tanikita-san.

...Yah, aku sudah tahu itu bahkan tanpa diberitahu Tanikita-san.

Aku mengomentari itu di dalam hatiku.

...Memang begitu, ya,

Aku membuka mulut untuk meredam kelas yang mulai ramai.

Itulah bagian yang tersulitnya.”

Aku tersenyum hambar untuk mengaburkan semuanya, lalu menyadari sesuatu.

Dan aku teringat akan profil samping Shirakawa-san yang pernah kulihat.

 

——Aku tidak mengerti apa itu cinta...

 

Aku pun sama seperti Shirakawa-san.

Aku hanya selalu melihat gadis-gadis manis tanpa pernah melakukan apa-apa.

Aku bahkan belum pernah merasakan dorongan naluriah untuk berbuat sesuatu.

Mungkin aku belum pernah mengalami cinta yang sebenarnya.

Aku melirik ke arah Shirakawa-san.

Dia masih terlihat cemas.

Sementara itu, Kurose-san menatap titik di mejanya dengan raut muka yang tampak sedang memikirkan sesuatu.

 

♧♧♧♧

 

Saat jam istirahat siang, setelah makan siang, aku sedang bekerja di ruang guru di kursi kerjaku, lalu tiba-tiba ada suara yang kukenal memanggilku.

Kashima-sensei!

Di ruang guru, area dekat pintu masuk dan lemari semacam meja konter dapat diakses bebas oleh murid-murid.

Saat aku menoleh, aku melihat Shirakawa-san sedang berdiri di depan meja konter tersebut.

...Iya, ada apa?

Aku berdiri dari tempatku dan menghampirinya.

Meski hatiku berdebar-debar, aku berusaha menyembunyikannya dengan merespons dengan wajah datar dan dingin.

Sensei, boleh aku bertanya sesuatu?

Dipandang dengan tatapan memohon dari wajah cantik gadis itu dari balik meja konter membuat wajahku semakin tegang.

...Kamu mau menanyakan apa?

Bahasa Jepang! Ada yang tidak kumengerti di pelajaran tadi.

Memang benar, Shirakawa-san membawa buku pelajaran Bahasa Jepang.

...Ada apa memangnya? Rajin sekali belajarnya.

Tanpa sadar aku berkomentar. Ujian akhir semester masih sebulan lagi, tapi kebanyakan murid masih santai. Apalagi, biasanya Shirakawa-san bukan tipe murid yang tekun mengikuti pelajaran.

Jangan-jangan, dia mencari alasan untuk bicara denganku...? Aku cepat-cepat menepis pikiran itu.

E-Eh, memang begitu ya? Tapi kan, kalau ada yang tidak paham, harus segera tanya, nanti lupa bagian mana yang tidak dimengerti!

Wajah Shirakawa-san tampak gugup dan memerah, Sebagian wajahnya ditutup oleh buku pelajarannya.

...Yah, memang benar juga. Lalu, bagian mana yang tidak kamu mengerti?

Aku bertanya dengan wajah datar meski hatiku berdegup kencang.

U-Uh...

Shirakawa-san membuka halaman buku di depan dadanya.

Celah di antara kancing seragamnya yang terbuka membuat belahan dadanya terlihat, membuatku gelagapan dan mengalihkan pandanganku.

'K' berniat bunuh diri, ‘kan...? Menurutmu, apa yang seharusnya 'Sensei' lakukan agar 'K' tidak mati?"

Aku terheran-heran. Ekspresi Shirakawa-san tampak lebih serius dari sekadar penghayatan terhadap cerita fiksi yang dibacanya.

Hmm, biar kupikirkan dulu...

Sebagai guru yang bertanggung jawab, aku merasa senang muridku menunjukkan ketertarikan dengan sudut pandang seperti itu.

Menurut Shirakawa-san sendiri, apa yang seharusnya dilakukan ‘Sensei’?

Ketika aku bertanya, ekspresi wajahnya terlihat kebingungan.

“Aku datang ke sini ‘kan untuk bertanya pada Sensei karena aku tidak mengerti.

Memang benar sih, tapi...

“Maksudku, orang yang lebih dulu menyukainya adalah 'Sensei', ‘kan? Kalau saja 'Sensei' tidak ragu-ragu dan langsung menyatakan perasaannya kepada ‘Nona muda’, pasti sudah ada ending yang bahagia sebelum 'K' datang, kan? Tapi yah, meskipun begitu, kenyataannya 'Sensei' masih ragu-ragu, jadi tak ada yang bisa dilakukan lagi. Ah, tapi ini kan cerita fiksi, bukan kenyataan.

Shirakawa-san tampak ragu-ragu mengajukan pertanyaan kepada guru yang tidak terlalu dekat dengannya.

Tapi 'Sensei' mencintai 'Nona muda', tapi  kupikir ia juga peduli kepada 'K' karena ia adalah sahabat baiknya yang sangat berharga, jadi 'Sensei' tidak ingin 'K' meninggal. Mungkin karena itulah 'Sensei' jadi depresi setelah ‘K’ meninggal.

Shirakawa-san berbicara seakan-akan dia benar-benar ingin menemukan jalan untuk menyelamatkan 'Sensei' dan 'K'.

Oleh karena itu, aku juga berpikir serius.

...Yah, memang. Tapi melihat kepribadian 'Sensei', menurutku sulit baginya untuk langsung menyatakan perasaannya. Dan... pilihannya untuk buru-buru menikahi 'Nona muda' untuk mengecoh ‘K’ juga jadi masalah."

Loh, jadi biarpun ia mengetahui kalau 'K' juga menyukai ‘Nona muda’, jadi ia seharusnya diam saja? Nanti kalau 'Nona muda' dan 'K' jadi saling menyukai bagaimana?

“Jika melihat kesimpulannya saja sih memang begitu, tapi kenyataannya 'Nona muda' lebih menyukai 'Sensei' daripada 'K'. Kalau 'Nona muda' hanya seorang gadis yang bisa berubah hati dengan mudah, mungkin sebaiknya 'Sensei' mencari cinta yang baru saja. Karena masih ada banyak wanita lain selain 'Nona muda' di dunia ini, kan?

Eeh!

Di situ, Shirakawa-san mengeluarkan suara protes yang sangat keras. Guru lain yang duduk di dekat kami bahkan menoleh ke arah kami.

“Aku tidak sependapat dengan itu! Kalau sampai berpikiran begitu, itu bukan cinta sejati. Tadi Nikoru juga bilang, ini kali pertama dia jatuh cinta dengan serius. Sahabatnya sendiri juga menyukai orang yang sama, tentu saja dia kebingungan harus bagaimana...

Suara Shirakawa-san semakin mengecil, dan akhirnya dia terdiam dengan wajah putus asa.

Melihatnya, aku jadi merasa tertekan.

...Kedengarannya seolah-olah kamu menjadi seperti 'Sensei', Shirakawa-san.

Saat aku dengan jujur mengatakannya, Shirakawa-san menatapku dengan terkejut, lalu wajahnya memerah seperti meledak.

Dan seolah-olah ingin menutupinya, ekspresi wajahnya mendadak berubah menjadi merajuk.

Sudah cukup! 'Sensei' sama sekali tidak mengerti soal cinta, tahu!

Melihat profil wajahnya yang cantik itu berpaling dariku, aku kembali teringat akan ucapannya sebelumnya.

...Bukannya kamu sendiri juga tidak mengerti?

Shirakawa-san tampak terkejut sejenak, lalu melirikku dengan canggung dan kembali memperlihatkan wajah sampingnya.

...Memang, sih”

Dia berkata dengan cemberut.

“Tapi akhir-akhir ini, aku mungkin mulai sedikit... memahaminya...atau mungkin tidak....”

Aku mendesah dalam hati, bertanya-tanya yang mana yang benar. Tiba-tiba, Shirakawa-san menatapku dari bawah.

...Hei, Sensei?

Hmm?

Meskipun reaksi terkejut itu memang naluri seorang pria, aku tetap mempertahankan ekspresi datarku.

Katanya Sensei melindungi Maria dari orang mesum di kereta?

Eh? Ah... Apa dia sendiri yang memberitahumu?

Shirakawa-san mengangguk dengan wajah rumit ketika mendengar jawabanku.

...Iya. Maria sangat berterima kasih kepadamu, Kashima-sensei.

Begitu ya. Jadi sejak itu, apa dia tidak pernah lagi diganggu oleh orang mesum?

Iya.

Syukurlah.

Mengingat sifat Kurose-san, jika seandainya orang mesum itu muncul lagi, dia akan terlalu malu untuk memintaku menjadi pengawalnya lagi. Jadi, aku merasa lega kalau tidak ada insiden lagi.

...Sensei?

Tiba-tiba, Shirakawa-san menatapku dengan ekspresi khawatir.

Ya?

Aku membalas tatapannya karena apa ada hal lain yang ingin dia tanyakan, tapi aku hampir saja membuang muka karena aku tidak sanggup menatap wajah cantiknya.

Tapi yang pertama kali mengalihkan pandangan adalah Shirakawa-san.

Dengan raut wajah sedikit gelap, Shirakawa-san berkata,

Kalau yang dilecehkan itu aku, apa Sensei juga akan menolongku seperti Maria?

Hmm...stasiun mana yang paling dekat dengan rumah Shirakawa-san?”

“Eh? Stasiun A.”

Kalau begitu, aku pasti bisa menolongmu di perjalanan.

Shirakawa-san mendongak dengan terkejut ketika mendengar jawabanku.

Eh, cuma itu saja?

Eh? Iya...

Kalau itu Nikoru bagaimana?

“Jika stasiunnya berada di jalur yang sama denganku.

Meskipun menurutku, dia pasti akan lebih senang jika dijaga oleh Sekiya-sensei.

“Bahkan Akari juga?

Shirakawa-san masih bersikeras.

“Iya... Tapi kayaknya dia tidak membutuhkannya.

Benar juga.

Dengan kata-kataku, akhirnya senyum kembali muncul di wajah Shirakawa-san.

...Begitu ya.

Shirakawa-san menunduk dengan senyuman di wajahnya dan menggumamkan sesuatu di antara bibirnya.

Tiba-tiba, bel tanda istirahat makan siang akan berakhir berbunyi dengan nyaring.

Ah, istirahat makan siang sudah selesai.

Pertanyaannya cuma itu saja?

Iya, terima kasih, Sensei!

Meski kurasa aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskannya, tapi kelihatannya Shirakawa-san tampak lega.

Aku melihat punggungnya yang pergi meninggalkan ruang guru dengan melambaikan tangan dan tersenyum. Lalu aku mulai bertanya-tanya, apa pertanyaan yang ditanyakan Shirakawa-san tadi benar-benar hanya tentang novel 'Kokoro'?

Hei, Sensei? Katanya Sensei melindungi Maria dari orang mesum di kereta?

Aku merasa ada rasa cemas yang terpancar dari mata besarnya yang jernih itu.

Apa yang membuatnya merasa gelisah?

──Jika yang mengalami pelecehan seksual adakah aku, apa Sensei akan menolongku seperti kamu menolong Maria?

──Bahkan Nikoru?

──Atau Akari?

Setiap kali aku menjawab pertanyaannya, ekspresi wajahnya terlihat semakin cerah.

Seolah-olah dia ingin mengetahui bahwa Kurose bukanlah sosok yang spesial bagiku.

Kenapa bisa begitu?

──Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku jatuh cinta dengan seseorang, tapi temanku juga menyukainya. Aku tidak tahu harus bagaimana...

Aku teringat akan tatapan bermasalah Shirakawa-san dan tersadar.

Hei, Yamada? Kenapa melamun begitu, pelajaran sudah mau dimulai, tau.

Suara teguran Sekiya-sensei menyadarkanku dari lamunanku.

Ah, iya.

Aku buru-buru mempersiapkan pelajaran selanjutnya dan berdiri dari tempat dudukku.

Dan aku memarahi diriku sendiri yang tenggelam dalam khayalan berlebihan di siang bolong.

 

Mana mungkin itu bisa terjadi.

Aku tidak mempercayai kalau kedua gadis kembar cantik itu menyukaiku.

Bahkan dalam khayalan sekalipun, itu terlalu berlebihan.

 

♧♧♧♧

 

Hari liburku pada dasarnya hampa.

Aku tidak mempunyai rencana liburan yang seru bersama teman-teman, seperti BBQ atau minum-minum. Bahkan bertemu dengan orang pun jarang.

Aku bangun lebih lambat dari biasanya, membereskan cucian yang menumpuk, pergi belanja untuk persediaan makanan, lalu main game sampai tidur. Begitu terus hingga hari Senin tiba.

Namun, hari Minggu ini ada yang berbeda. Aku pergi keluar rumah di siang hari menuju Tokyo.

Tentu saja aku pergi sendirian.

──Kasshi, kalau kamu tidak keberatan, apa kamu mau menerima tiket museum dariku?

──Museum?

──Iya, di Ueno. Dulu aku pernah ikut klub seni rupa di SMP, ‘kan? Ada patung kepala Dionysos yang baru pertama kali dipamerkan di Jepang, jadi aku beli 2 tiket karena berpikiran untuk datang 2 kali. Tapi karena sibuk dengan pekerjaanku, aku cuma bisa datang sekali.

Setelah diminta oleh temanku semasa SMA-ku, Nisshi, untuk menerima tiket itu, dan mengingat batas waktunya yang semakin dekat, aku memberanikan diri untuk pergi ke luar di hari libur yang jarang kulakukan.

Suasana di museumnya ramai, terutama untuk patung Venus yang menjadi andalan, sehingga aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Tapi aku tetap menyusuri alur museum hingga akhir dan bisa melihat kepala Dionysos yang Nisshi maksud dari balik kaca.

Saat aku keluar, waktunya sudah lewat tengah hari. Meski aku datang di pagi hari agar tidak terlalu ramai, ternyata tetap tidak bisa menghindari kepadatan pengunjung.

Sudah waktunya makan siang. Perutku juga sudah mulai keroncongan. Di tempat seramai ini, pasti restoran dekat stasiun penuh sesak. Mungkin aku bisa cari warung ramen yang tidak terlalu ramai, agar tidak merasa canggung jika makan sendirian...dan saat itulah aku mengeluarkan ponselku

Aku berjalan di sepanjang jalur taman Ueno Onshi. Jalan lebar dengan pepohonan rindang di sisi kanan-kiri, dengan banyak kursi taman yang berjajar. Sementara aku sibuk dengan ponselku, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang janggal.

Aku berhenti berjalan karena ada sesuatu yang familiar tertangkap mataku.

Aku mengangkat wajah dari ponsel dan melihat ke arah itu, hampir menjatuhkan ponselku.

 

Ada Shirawaka-san yang duduk di salah satu bangku taman.

 

Sepertinya Shirakawa-san sudah menyadari keberadaanku terlebih dahulu bahkan sebelum aku menyadarinya.

Dia membelalakkan matanya dengan kaget saat melihatku.

Tidak mungkin...

Shirakawa-san duduk sendirian di bangku itu. Dia mengenakan atasan dengan bahu terbuka yang khas gadis gaul, dan celana pendek jeans yang terlihat sobek-sobek.

Di pangkuannya ada sesuatu yang terlihat seperti kotak bekal yang dibungkus dengan kain serbet.

Kashima-sensei...?

Shirakawa-san bergumam dengan suara seperti orang yang sedang bermimpi.

Shirakawa-san...

Aku juga terkejut dengan pertemuan yang tidak terduga ini, tapi karena reaksi Shirakawa-san yang sangat berlebihan, aku berusaha tetap tenang dan menghampirinya.

“Sensei... kenapa...?

Shirakawa mendongak menatapku dengan tatapan seperti orang yang linlung.

Kenapa... oh, aku dapat tiket museum dari temanku...

Setelah mendengar perkataanku, ekspresi Shirakawa-san berubah muram.

Temanmu itu... perempuan?

Bukan, laki-laki.

...Temanmu di mana?

Shirakawa-san menoleh ke sekeliling dengan gelisah, dan akhirnya aku paham maksud pertanyaannya.

Aku hanya dapat tiketnya saja, aku datang sendiri.

Setelah mendengar itu, Shirakawa mengangguk lega.

...Lalu bagaimana denganmu, Shirakawa-san?

Aku balik bertanya, dan Shirakawa terlihat kikuk.

Eh? Uh, anu...

Setelah terdiam sejenak, dia menatapku dengan pandangan memohon.

...Sensei tidak akan marah, kan?

...Itu tergantung isinya.

Jawabanku yang tulus membuat Shirakawa-san sedikit cemberut.

“Duh, Kashima-sensei memang serius sekali.

Dia berkata sambil tersenyum kecil, lalu menundukkan pandangannya.

...Aku datang kemari sambil berharap bisa bertemu Sensei.

Hah?!

Aku terkejut dan refleks mundur selangkah.

Shirakawa-san melihat reaksiku itu dan mendongak menatapku.

Ah, kamu kaget! Jahat banget!

“Ah tidak, tapi... kamu cuma bercanda, kan?

Beneran kok! Tapi aku bukan penguntit, lho? Aku enggak tahu alamat Sensei atau rencana kegiatan Sensei sama sekali.

Lalu, kenapa...?

...Aku nggak etahu pasti, tapi memang benar-benar rasanya 'Aku hanya merasa begitu' saja.

........

“...Ketika aku bangun pagi ini...ah, karena hari ini libur, aku jadi tidak bisa bertemu dengan Sensei...Saat memikirkan hal itu...entah kenapa, bayangan aku dan Sensei berjalan bersama di jalan ini tiba-tiba muncul di kepalaku...”

Shirakawa-san berhenti berbicara dan menatapku dengan pandangan malu-malu.

“...Apa kamu menganggapku orang yang mengerikan?”

“...Sedikit.”

Tapi yang lebih mengerikan adalah diriku sendiri, yang jantungnya berdebar-debar saat mendengar Shirakawa-san bertanya seperti itu.

“...Lalu, apa boleh aku mengatakan sesuatu yang lebih mengerikan lagi?”

“...Silakan.”

“...Di sini, ada bekal makan siang. ...Aku membuatnya dengan harapan kalau Sensei bisa memakannya...”

“Hah?!”

Aku melihat bungkusan di pangkuan Shirakawa. Dari jauh memang terlihat seperti bekal makan siang.

Dan dia ingin aku memakannya?!

“...Ja-Jangan-jangan, kau juga membayangkan aku sedang memakannya...?”

Dengan wajah merah padam, Shirakawa-san mengangguk pelan dalam menanggapi pertanyaanku.

“Benar sekali...”

“...Seriusan...?”

Jika apa yang dikatakan Shirakawa-san itu benar, lebih baik aku lari sekencang-kencangnya. Tapi,....

Saat melihatnya yang wajahnya memerah dan menundukkan mata, aku sama sekali tidak merasa begitu. Dan bagian diriku yang bukan seorang guru, sangat gemas ketika melihatnya.

“...Maaf, ini pasti membuatmu merasa jijik. Tidak apa-apa, aku akan membawanya pulang dan memakannya sendiri...”

Saat Shirakawa -sanhendak menyimpan bekalnya ke dalam ransel yang tergeletak di sisinya,

“Tidak”

Tanpa sadar aku berkata demikian.

“Aku akan memakannya. Kebetulan aku memang sedang lapar.”

“Eh?! Kamu mau memakannya...?”

“Tentu saja, kamu membuatnya untukku, bukan?”

“Iya sih, tapi... Apa kamu tidak takut? Kamu juga merasa ini mengerikan, bukan?”

Aku tidak tahu apakah Shirakawa-san ingin aku memakannya atau tidak, aku sedikit kesal. Tapi Shirakawa-san mengulurkan kotak bekalnya dengan kedua tangan, seolah-olah mempersembahkannya.

“Ini pertama kalinya aku membuat bekal, jadi mungkin rasanya tidak terlalu enak... Tapi, kalau sensei mau, silakan dimakan...”

Dengan wajah yang merah merona, Shirakawa memandangku dari bawah.

“...Terima kasih”

Dengan suara yang agak gemetar karena berdebar-debar, aku menerimanya dengan kedua tangan.

Sambil duduk bersampingan di bangku taman, aku membuka tutup kotak bekal di pangkuanku.

“Wah, gawat, itu berantakan sekali!"

Shirakawa-san berseru lebih dulu saat melihat ke dalam isinya.

Isi bekalnya adalah omuraisu. Mungkin tadinya dibungkus rapi dengan telur, tapi selama dibawa, telurnya menjadi miring, menghimpit dan menghancurkan brokoli dan tomat ceri yang menjadi lauk pendampingnya, sehingga di beberapa bagian terlihat nasi goreng merahnya.

Di atas omuraisu itu ada saus tomat yang dituangkan. Bukan dalam bentuk gambar atau huruf, melainkan sekadar garis gelombang yang terlihat sederhana.

Kalau kita pacaran nanti, aku akan membuatnya menjadi bentuk hati

Menunjuk ke arah saus tomat, Shirakawa-san tersenyum sambil menatap wajahku.

Eh?! Ap-Apa yang kamu katakan?

Berpacaran dengan murid adalah hal yang tidak mungkin. Itu adalah aturan mutlak, baik secara sosial maupun dalam diriku sendiri.

Tapi suara batin yang ada di dalam diriku menyalahkanku, bagaimana bisa aku mau memakan bekal buatan murid di pinggir jalan yang ramai begini.

Saat bersama Shirakawa-san, aku menjadi tidak mengerti diriku sendiri. Ritme hidupku jadi kacau. Tanpa melakukan apa-apa, hubungan kami malah semakin dalam, dan itu membuatku takut karena merasa terperangkap ke dalam jurang yang mungkin tidak bisa aku lepaskan.

Baru pertama kalinya aku merasakan sensasi seperti ini.

Ih, menyebalkan"

Shirakawa-san memanyunkan bibirnya dengan ekspresi cemberut.

“.......”

Sedari awal, aku tidak mengerti apa yang dipikirkan Shirakawa-san. Apa yang membuatnya melakukan hal seperti ini. Apa yang dia katakan tadi benar-benar jujur...?

Di siang hari di hari libur yang berharga ini, hanya karena merasa bisa bertemu denganku, dia rela naik kereta dari tempat yang jauh untuk datang kemari dengan bekal buatannya?

Jika itu memang benar, apa mungkin... dia menyukaiku...?

Hanya itu satu-satunya penjelasan yang terlintas di pikiranku, tapi aku sulit mempercayainya. Kenapa aku?

Aku bukan tipe pria populer dan tampan seperti mantan pacarnya, hanya guru culun dan perjaka yang membosankan. Shirakawa-san pasti bisa mendapatkan pria mapan mana pun.

“.....”

Benar sekali. Aku sama sekali tidak pantas untuk Shirakawa-san. Penampilanku yang biasa-biasa saja, tidak modis, dan aku juga lebih tua delapan tahun darinya... Orang-orang yang lewat pasti mengira kami pasangan sugar daddy-sugar baby.

Ya. Mungkin Shirakawa-san punya tujuan tersembunyi dengan mendekatkan diri padaku, wali kelasnya. Mungkin dia berusaha memanfaatkanku, berharap bisa dibebaskan dari hukuman keterlambatan atau mendapat nilai tambahan...

Atau yang lebih mengerikan, mungkin dia merencanakan suatu jebakan atau pemerasan dengan merekam bukti saat aku terpengaruh olehnya, lalu mengancam akan melaporkanku pada kepala sekolah...?

Kenapa? Kamu tidak mau memakannya?

Shirakawa-san tiba-tiba memanggilku, membuat pikiranku kembali.

Tidak, aku akan memakannya. ...Selamat makan.

Aku mencicipi omurice dengan sendok yang diberikan kepadaku.

...Bagaimana? Enak?

Dia bertanya dengan wajah yang mengernyitkan kening dengan khawatir, jadi aku segera mengangguk kepadanya.

Ya. Rasanya enak kok.

Kemudian, Shirakawa-san menampilkan senyum lebar seperti bunga matahari.

Benarkah!? Asyik!

Ketika melihat senyumannya yang polos itu, aku tidak bisa lagi berpikir bahwa dia mungkin merencanakan sesuatu yang buruk seperti yang tadi kupikirkan.

Omurice buatan Shirakawa-san hanyalah makanan rumahan yang enak seperti pada umumnya. Tidak ada hal istimewa, dan aku menghabiskan bekal itu.

Terima kasih atas makanannya.

Saat aku menutup kotak bekalnya dan mengembalikannya, Shirakawa-san menatapku dan tersenyum.

Aku hampir membaca perasaan yang lebih dari sekadar keakraban polos di matanya, membuatku sedikit gugup dan mengalihkan pandangan.

Hei, Sensei?

Setelah menyimpan kotak bekal ke dalam tasnya, Shirakawa-san bertanya kepadaku dengan gembira.

Boleh aku memanggilmu dengan namamu?

...Karena kamu adalah muridku, jadi setidaknya tambahkan kata 'Sensei' di belakangnya.

Melihat wajahku yang seperti mengernyit dengan getir, Shirakawa-san tertawa.

Tentu saja!

Lalu, dia menatap ke angkasa seakan-akan sedang berpikir sejenak.

Meskipun sudah memassuki musim hujan, cuaca hari ini terasa cerah sekali. Suhu juga cukup hangat untuk berpakaian lengan pendek, dan aku setuju dengan ramainya orang di sini.

Ryuuto-Sensei? ...Terlalu panjang ya. Bagaimana kalau kupanggil Ryuu-Sensei saja?

...Ini pertama kalinya aku dipanggil begitu.

Benarkah? Asyik!

Meskipun aku hanya menyatakan fakta, entah kenapa Shirakawa-san merasa senang.

Dan kemudian, dia menatapku dengan pipi yang merah merona.

Aku ingin mendapat banyak 'pertama kali' dari Ryuu-Sensei

Ketika dia mengatakan itu dengan suara manja, membuatku merasa gugup di dada dan selangkanganku. Ini rahasia yang harus kubawa sampai liang lahat.

Setidaknya untuk malam ini, isi folder 'gyaru' di komputerku yang sudah kukumpulkan selama ini akan terbakar.

 

♧♧♧♧

 

“Nee~, nee~, sensei, ayo naik perahu!

Saat aku berdiri dari bangku dan bersiap berjalan menuju stasiun, Shirakawa-san berkata begitu padakau.

Perahu?

Sudah lama sekali aku tidak kemari, jadi tadi saat aku jalan-jalan, aku menemukan tempat penyewaan perahu di danau sana.

Ah iya, kalau dipikir-pikir, kurasa dulu saat masih remaja aku juga pernah ingat ada yang seperti itu di danau Shinobazu.

...Tidak, aku mau pulang saja.

Aku tidak mau mendapat masalah karena melakukan kencan semacam ini dengan muridku, nanti ada yang melihat bagaimana.

Eeehhh~~...

Shirakawa-san mengeluarkan suara protesnya dengan keras.

...Padahal kamu sudah makan bekalku.

Dia menggumamkan hal itu. Karena menganggap kalau sepertinya itu belum cukup, jadi dia menatapku dengan pandangan tajam.

Ayo temani aku naik perahu sebagai ucapan terima kasih atas bekal buatanku.

A-Apa...!

Apa dia serius mengatakannya di sini? Memang benar kalau aku sudah makan bekalnya, setidaknya aku sudah menghabiskan ratusan yen untuk bahan makanannya dan tenaga Shirakawa-san dalam membuatnya.

Aku hanya menerima apa yang Shirakawa-san tawarkan, dan aku tahu dia tidak benar-benar serius dengan perkataannya. Tapi jika dia memaksa, aku juga merasa berat untuk menolak dan pulang begitu saja.

...Baiklah, tapi hanya sekali saja.

 

Pada akhirnya, aku menaiki perahu bersama Shirakawa-san. Ongkos sewanya kubayar sebagai ucapan terima kasih atas bekal makan siangnya. Jika dihitung, itu sepadan dengan harga ramen, atau bahkan bekal buatan gadis cantik ini lebih berharga dari ramen.

Kami memilih perahu kayuh yang berbentuk seperti angsa. Ada atap dan tiang di atasnya, jadi kami tidak mudah dilihat dari jauh.

Dengan dayung kaki, perahu kami melaju dengan cepat. Dan dengan kemudi, aku bahkan bisa mengarahkannya ke tengah danau meskipun biasanya aku adalah tipe orang dalam ruangan.

Gedung-gedung pencakar langit di seberang nampak sama seperti yang biasa kulihat di kota, tapi entah kenapa terasa aneh melihatnya dari tengah taman alami ini. Rasanya sama seperti keadaanku dengan Shirakawa-san sekarang.

Hei, Ryuu-Sensei?

Selagi aku tenggelam dalam pemikiranku, Shirakawa-san memanggilku.

Ya?

Saat aku menoleh ke samping untuk melihatnya, dia menatapku dengan mata berbinar.

Boleh aku menciummu?

Untuk sesaat, aku tidak mengerti apa yang dia katakan.

Hah?!

Setelah jeda beberapa saat, aku berseru kaget, tapi aku tidak tahu harus bagaimana untuk menanggapinya.

T-Tidak boleh. Itu jelas-jelas tidak boleh.

Kenapa?

Karena kita guru dan murid.

Hmm?

Meski aku sudah memberikan jawaban yang jelas, Shirakawa-san terlihat tidak puas.

Bibirnya yang tajam itu diwarnai dengan kosmetik, terlihat berkilau dan lembab. Karena Shirakawa-san mengatakan hal-hal yang aneh, pandanganku tidak sengaja tertuju ke sana, membuatku panik dan segera mengalihkan pandangan.

...Kalau begitu, bagaimana kalau kita menikah setelah aku lulus?

Hah?!

Shirakawa-san yang tidak menyerah, mengarahkan bibirnya yang mengerucut dan memejamkan mata.

'Ciuman dengan niat menikah setelah lulus'...

Tidak boleh.

Mungkin dari luar aku terlihat menolak dengan wajah datar, tapi jantungku berdetak dengan memalukan.

Mana yang tidak boleh? Menikah? Atau ciumannya?

...

Aku tidak bisa segera menjawab Keduanya sama-sama tidak boleh karena ada sedikit bagian dalam diriku yang tergoda dengan ide pernikahan itu.

Shirakawa-san menatapku lekat-lekat seolah-olah dia bisa melihat ke dalam hatiku.

“Mengesampingkan soal ciuman tadi, tapi masalah pernikahan tidak ada masalah, kan? Setelah lulus, aku sudah bukan muridmu lagi.

...Ke-Kenapa tiba-tiba membahas soal pernikahan?

"Kupikir itu bisa membuat Sensei merasa lebih tenang. Karena sensei adalah orang yang sangat serius.

Shirakawa-san menjawab dengan tenang.

“Dunia ini tuh aneh sekali ya. Berita asmara dianggap 'skandal', tapi pengumuman pernikahan dianggap 'kabar gembira'. Kenapa bisa begitu? Padahal kamu harus berpacaran dulu baru bisa menikah, tapi selama berpacaran harus sembunyi-sembunyi. Bukannya itu jadi semakin rumit?

...Tapi memang begitulah dunia ini.

Kalau dipikir-pikir, alasan kenapa aku tidak terbiasa dengan cinta juga karena aku tidak begitu paham dengan hubungan yang tipis seperti 'berpacaran' atau 'menjadi pacar', yang hanya berdasarkan janji lisan. Kalau 'menikah', itu adalah hubungan yang secara hukum terjamin, jadi hubungan itu jauh lebih jelas. Dan kurasa jika aku punya kesempatan berpacaran dengan seorang wanita di masa depan, aku berpikiran membawa hubungan tersebut ke jenjang pernikahan.

Hmm... Yah, terlepas dari dunia ini, aku juga ingin cepat-cepat menikah.

Kenapa?

Aku bertanya karena merasa penasaran, dan Shirakawa-san memiringkan kepalanya sambil menatapku.

Hmm, entahlah. Mungkin karena aku menginginkan sesuatu yang 'pasti'... Karena aku sudah kehilangan itu.

Melihat ekspresi wajahnya saat berkata demikian, aku kembali teringat pada ucapannya sebelumnya.

——Kalau orang yang seperti Sensei menjadi ayahku, mungkin aku... akan tetap merasa bahagia selamanya...

Seperti yang kuduga, tampaknya pandangan cintanya yang penuh teka-teki itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang keluarganya.

Saat aku tenggelam dalam pemikiranku, Shirakawa-san tiba-tiba menatapku lekat.

...Sensei, apa kamu membenciku?

Ekspresi wajahnya yang sedikit mengernyit penuh kekhawatiran terlihat menggemaskan. Seandainya aku masih seumuran dengannya, aku pasti akan langsung memeluk bahunya yang halus itu.

...Aku tidak bisa menjawabnya. Aku tidak melihatmu dengan cara seperti itu, sebagai muridku.

Mendengar jawabanku yang tidak membantunya, Shirakawa-san mengeluh Eeeeh~” dengan nada tidak puas. Aku menatapnya dengan sedikit menyesal.

Sebenarnya, apa yang kamu pikirkan tentangku?

Aku sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam berhubungan dengan wanita, aku juga tidak bisa membuat rencana kencan yang menarik, tidak punya kemampuan untuk menjadi pendamping yang baik, dan juga tidak punya teknik-teknik untuk 'kegiatan malam'. Dalam semua hal itu, aku tidak memiliki kemampuan untuk bisa membuat Shirakawa-san bahagia.

Pada dasarnya, aku merasa tidak pantas bagi seorang wanita seperti Shirakawa-san untuk menyukaiku sebagai seorang pria.

Oleh karena itu, aku meragukan semuanya. Apa semua kata-kata dan sikapnya itu hanya karena kesenangan seorang wanita berpengalaman?

Apa dia benar-benar menyukaiku? Sebagai lawan jenis?

Tapi dia bahkan tidak jelas memberitahuku.

Semua perkataan Shirakawa terdengar ringan bagiku.

Berbeda dengannya, aku hanya punya sedikit teman dan menjalani masa sekolah yang kurang menonjol. Tapi aku berusaha keras dengan belajar, dan akhirnya mulai membangun karir sebagai orang dewasa yang bekerja.

Pekerjaan ini adalah satu-satunya yang menjadi kebanggan dan harga diriku sebagai seorang pria. Tapi kamu menyuruhku untuk bertaruh itu demi hubungan denganmu?

Apa kamu tahu seberapa besar hal yang akan aku korbankan, seorang guru perjaka berusia 24 tahun yang jatuh cinta pada muridnya?

Jika kamu mengetahuinya, mana mungkin kamu bertingkah seperti ini.

Kamu terlalu masih kanak-kanak.

Dan aku, seorang dewasa yang terpesona dengan anak-anak sepertimu, pasti ada yang salah denganku.

...Sensei, kamu memang orang yang serius ya.

Dari suara Shirakawa-san yang dikeluarkan sambil menunduk, tidak terdengar lagi nada menyenangkan seperti sebelumnya saat dia mengatakannya.

Kami turun dari perahu dan berjalan dalam diam di pinggir danau.

Suasana di antara kami terasa canggung.

Sebelumnya, aku memang pernah mempunyai banyak kesempatan untuk berjalan berdua dengan wanita yang kukenal, tapi kecanggungan saat ini terasa berbeda jauh.

Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Shirakawa-san yang berjalan di sampingku dalam diam. Apa sebaiknya aku mulai mengobrol biasa saja?

Tapi keraguanku itu lenyap dalam sekejap.

...!?

Aku merasakan kehangatan di tangan kananku. Aku bisa merasakan sensasi ujung jari-jemari kami yang saling terkait. Kulitnya yang lembut itu perlahan merayap ke telapak tanganku. Sengatan listrik seakan mengalir ke otakku, membuat rasionalitasku lenyap.

Ya.

Aku sedang berjalan berdampingan dengan Shirakawa-san, dengan tangan yang saling bertautan.

Bukan seperti orang tua dan anak, tapi seperti sepasang kekasih.

...Eh?

Beberapa detik kemudian, aku tersentak dan menoleh ke sampingku.

Tidak salah lagi. Aku sedang berjalan dengan Shirakawa-san sambil bergandengan tangan.

Aku memastikannya dengan mata kepalaku sendiri.

“Ehehehe, aku menggenggamnya.

Sambil tersenyum malu-malu, Shirakawa-san mengedipkan matanya yang bersinar seperti anak nakal, dam wajahnya berada di sekitar bahuku. Aroma buah-buahan atau kembang menggelitik hidungku.

Aku panik.

...Bi-Bisa cepat melepaskan tanganmu enggak? Bagaimana jika ada yang melihat?

Aku sendiri sadar bahwa apa yang kukatakan terdengar aneh.

Aku adalah pria dewasa, sementara Shirakawa-san adalah gadis mungil, jadi aku tahu bahwa jika aku mengayunkan tanganku, genggaman tangan kami akan terlepas dalam sekejap.

Tapi aku tidak bisa melakukannya.

Bukan karena rasionalitas, melainkan naluriku yang dengan tak terkendali mendambakan sentuhannya.

Dan Shirakawa-san dengan sempurna menyadari hal itu.

Jangan bilang begitu, Ryuu-sensei, kamu tidak membenciku, 'kan?

...Eh, kenapa...

Lihat, matamu berubah menjadi berbentuk hati Tanganmu juga sangat panas. Tubuhmu sangat jujur, ya

Dia mengedipkan matanya dengan wajah menggoda, dan aku tak bisa berhenti menatap ekspresi manisnya.

.....

Karena tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku menangis dalam hati sementara tetap menggenggam tangannya.

Meski aku tahu apa yang kulakukan ini salah, aku merasa bahagia.

Aku ingin terus menggenggam tangannya dan berjalan seperti ini selamanya.

Meski aku tahu ini tidak diizinkan...

Ryuu-sensei...

Shirakawa-san mendekatkan dirinya padaku, wajahnya menyentuh bahuku. Tidak hanya tangan, bahkan lengannya juga melingkar, dan aku bisa merasakan kelembutan dadanya di lenganku.

...

——Bolehkah aku menciummu?

Seandainya saat itu di dalam perahu aku bisa berciuman dengan Shirakawa-san, betapa bahagianya diriku.

Tapi aku tahu, jika aku melakukannya... aku pasti akan jatuh terlalu dalam mencintainya, sampai-sampai tidak bisa kembali lagi.

Itulah yang kupahami, jadi aku tidak bisa menerimanya begitu saja.

Namun, sekarang aku berjalan di jalanan di siang bolong, menggenggam tangannya.

 

Aku berharap semoga jalan ini terus berlanjut selamanya.

 

Dengan pemikiran yang penuh kontradiksi, aku berpikir begitu.

Tapi harapanku itu, tiba-tiba saja, dihancurkan dalam bentuk yang tak terduga.

Shirakawa-san yang berjalan di sampingku tiba-tiba berhenti.

...?

Saat aku melihatnya, dia terpaku menatap ke depan.

Ketika aku mengikuti arah pandangannya, aku juga terpaku.

Kehangatan tubuh Shirakawa-san yang tadi menyentuhku, perlahan-lahan menjauh, seolah melepaskan simpul kupu-kupu yang terbuat dari pita halus.

...Maria...

Shirakawa-san berbisik pelan.

Ya.

Ada Kurose-san yang berdiri di depan kami.

Sama seperti Shirakawa-san, Kurose-san juga menatap ke arah kami dengan wajah yang tercekat.

...Maria, kenapa kamu ada di sini?

Orang yang lebih dulu mengajukan pertanyaan adalah Shirakawa-san.

Kenapa? Soalnya pameran seni yang ingin aku kunjungi akan berakhir sampai hari ini... Jadi aku datang untuk melihatnya...

Kurose-san menjawab dengan bingung. Dia mengenakan pakaian biasa, dan di tangannya ada tas belanja dari toko suvenir museum.

Begitu ya...

Setelah berkata demikian, Tatapan Shirakawa-san terlihat mengembara kemana-mana, lalu kali ini gilisan Kurose-san yang membuka mulut.

“Bagaimana denganmu sendiri?... Apa yang kalian lakukan di sini? Sensei pergi Bersama denganmu?

Ah, tidak, tadi kami kebetulan bertemu di sini!

Benarkah? Ternyata Sensei juga pergi ke museum.

Supaya tidak terjadi kesalahpahaman aku yang memulai menjelaskan, dan Shirakawa-san juga menambahkan penjelasan.

...

Kurose-san menunduk beberapa saat tanpa berkata apa-apa.

Perlahan-lahan, setetes air jatuh ke kakinya.

Aku refleks mendongak melihat langit, tapi cuaca masih tetap cerah.

...Jahat...

Kurose-san bergumam demikian seraya mengangkat wajahnya dengan berlinangan air mata.

Tatapannya bukan tertuju padaku, melainkan pada Shirakawa-san.

Kalau kamu memang berpacaran dengan Sensei, setidaknya kamu bisa memberitahuku!?”

Eh?! Tidak, itu...

Aku berusaha membantah bahwa itu hanyalah kesalahpahaman, tapi ucapan Kurose-san selanjutnya kembali membuat lidahku kelu.

Padahal kamu juga mengetahui kalau aku juga menyukai Sensei...!”

...?!

Ketika aku menoleh ke samping, dan Shirakawa-san terlihat dipenuhi rasa bersalah, tapi matanya juga menyiratkan keteguhan saat menatap Kurose-san.

Setelah menunduk sejenak, Shirakawa-san mulai membuka mulutnya.

...Maafkan aku, Maria. Waktu itu aku tidak bisa mengatakannya. Saat kamu memberitahu tentang perasaanmu...

Dengan suara pelan, dia kembali menatap Kurose-san.

Aku juga menyukai Ryuu-sensei...

Kemudian, dengan raut wajah tersiksa, dia menyampaikan hal itu kepada Kurose-san yang kini menatapnya dengan mata merah.

 

♧♧♧♧

 

Eeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee?!

Aku terperanjat kaget dan terbangun dengan teriakan yang nyaris merobek tenggorokanku.

...Hah?

Di mana ini? Siapa aku?

Perlahan-lahan aku memulihkan kesadaranku yang masih linglung.

Ini adalah kamarku yang familiar. Aku terbaring di tempat tidur. Dari celah gorden, sepertinya sekarang sudah pagi hari.

Aku adalah Kashima Ryuuto, berusia tujuh belas tahun. Saat ini aku sedang fokus belajar untuk ujian masuk universitas, sebagai siswa kelas 3 di SMA swasta Seirin yang campuran sejak awal berdiri. Aku telah berpacaran dengan Shirakawa Luna-san, teman sekelasku dari sejak kami kelas dua.

Setelah memastikan fakta-fakta itu di dalam kepalaku,

Kenapa aku bisa bermimpi serealistis itu?! Apa ini gejala stres karena ujian?!

Aku berteriak ke arah langit-langit, disertai dengan rasa lemah dan tidak berdaya yang luar biasa karena tidak tahu harus melakukan apa.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama