Chapter 1 — Naga di Taman Para Wanita
Namaku Kashima Ryuuto. 24
tahun. Aku adalah guru wali kelas di kelas 2-A di SMA Wanita Seirin.
Eh?
Bukannya SMA Seirin itu sekolah campuran ya?
Ditambah lagi, 24
tahun? Bukan sebagai
siswa, tapi sebagai
guru?
Aku bisa mendengar suara komentar semacam itu dari suatu tempat di dalam
kepalaku, tapi pokoknya
begitulah yang sedang
terjadi sekarang.
Aku
ingin menunjukkan sedikit kepada kalian mengenai
kehidupan sehari-hariku mulai
sekarang.
♧♧♧♧
Di sekolah wanita Seirin, ada geng gadis gyaru.
Mereka
adalah sekelompok gadis-gadis cantik gyaru
dan ceria yang dipimpin oleh gadis tercantik di sekolah, Shirakawa Luna. Ketika kelas berganti pada
bulan April, aku akhirnya
menjadi wali kelas mereka.
Sejujurnya,
aku tidak terlalu menyukai geng
ini.
Aku
selalu menjadi anak yang pemalu sejak masa sekolah, dan meskipun aku hanya belajar dengan giat agar
bisa lulus dari universitas swasta yang terkenal, aku tidak pernah beruntung dengan
wanita, jadi tentu saja aku masih perjaka.
Bagiku,
tidak peduli meskipun mereka masih
SMA, aura gadis-gadis cantik yang
berkilauan dan imut itu terlalu menyilaukan.
Rumor
mengatakan bahwa ketika pria lajang
dipekerjakan sebagai guru yang masih muda di sekolah
khusus perempuan, para perekrut secara naif berasumsi
bahwa ‘pria ini
tidak akan berani menyentuh murid perempuan’. Sialan. Jika ada sekolah campuran lain yang mau mempekerjakanku dengan kondisi yang sama, aku akan dengan senang hati pergi ke
sana.
Ini
adalah dunia yang keras.
Hariku dimulai dengan banjir suara gadis-gadis
SMA yang bernada tinggi.
“Kashima-sensei,
selamat pagi!”
Dalam
perjalanan mendaki bukit panjang yang mengarah dari stasiun menuju sekolah,
para siswa memanggilku ketika
mereka berpapasan denganku di
jalan.
“Iya, selamat
pagi.”
Ketika aku menjadi pelajar, aku merasa kesulitan untuk
melakukan kontak mata dan berbicara dengan wanita,
tetapi begitu aku menjadi
orang dewasa yang bekerja dan terlibat dengan berbagai orang di tempat kerja, aku bisa melakukan percakapan sehari-hari
dengan orang-orang dari semua jenis kelamin.
Setelah
bertukar salam dengan para siswa, aku
tiba di sekolah dan memasuki gedung sekolah.
Sebelum
menuju ke ruang guru, aku memutuskan untuk pergi ke kelasku terlebih dahulu.
Itu
adalah pengajaran dari seorang
guru yang kupelajari selama aku magang mengajar.
Guru
tersebut teringat akan sebuah kejadian di salah satu kelasnya dulu, di mana
komentar-komentar yang memfitnah dituliskan di papan tulis sepulang sekolah tentang
seorang siswa tertentu, dan dia kaget ketika
melihat para siswa terkejut ketika mereka tiba di sekolah keesokan harinya. Dia
memberitahuku bahwa aku akan bisa mengetahui apa ada sesuatu
yang salah dengan kelas tersebut dengan melihat ruang kelas di pagi hari.
Ketika aku menjadi guru, saku mulai bisa memahami sedikit ajaran tersebut.
Ketika isi pikiran siswa dipenuhi dengan
ketidaksabaran sebelum ujian, ruang kelas itu tampak
kosong, tetapi barang bawaan yang tertinggal di sana mencuat dari loker, dan
agak berantakan. Sehari setelah memenangkan Festival Olahraga, ada sisa-sisa
pom-pom sorak sorai yang berserakan di mana-mana, dan ruang kelas dipenuhi dengan
perasaan yang menggembirakan.
Hari ini aku mengunjungi ruang kelas yang
kosong di pagi hari untuk mengetahui kondisi psikologis murid-murid di kelasku.
Masih ada
beberapa waktu sebelum dimulainya sekolah, jadi jarang ada murid di dalam kelas
saat ini. Murid-murid yang menyapaku
dalam perjalanan ke sekolah tadi merupakan siswa yang datang lebih awal untuk
kegiatan klub dan kegiatan lainnya.
Dari 365
hari dalam setahun, aku hanya pergi bekerja sekitar 250 hari.
Pada 230 hari di antaranya, tidak ada perubahan yang signifikan di dalam ruang kelas.
Tapi hari
ini, tampaknya, adalah salah satu dari 20 hari yang tersisa.
“...Hmm?”
Seperti
biasa, aku melihat-lihat
ruang kelas yang kosong dan hendak menuju ke ruang guru, tetapi aku merasakan perasaan tidak nyaman dan melihat
dua kali ke dalam ruangan.
Ruang
kelas di sekolah kami memiliki beranda di dekat jendela, dan para siswa
diizinkan untuk pergi ke luar saat istirahat dan waktu-waktu lainnya.
Ada
seorang siswa yang sedang berdiri di
balkon.
Murid itu
membelakangiku. Dia
bersandar di pagar balkon, melihat ke arah halaman sekolah dan memegang ponsel di telinganya.
Karena
penggunaan ponsel dilarang di sekolah (meskipun sebagian siswa tampaknya
menggunakannya secara sembunyi-sembunyi), aku
merasa gentar untuk memperingatkannya.
Hal ini dikarenakan siswa itu adalah Shirakawa Luna.
Dia
adalah gadis paling cantik seangkatan
dan tokoh sentral dalam geng gyaru yang tidak
kusukai.
Rambutnya
yang panjang, hampir berwarna kuning keemasan, dengan sekumpulan
warna bagian dalam yang bercampur dengan angin, menunjukkan warna biru. Cara
dia mengenakan seragam sekolahnya, dengan kardigan biru muda yang diikatkan di
pinggangnya, memperjelas bahwa itu jelas-jelas
dirinya.
Ngomong-ngomong,
warna rambutnya itu jelas-jelas melanggar peraturan sekolah, tetapi
tidak peduli seberapa banyak guru BK
memperingatkannya, dia tidak akan mengubahnya, jadi si guru BK telah setengah menyerah pada gadis-gadis geng gyaru, dan akibatnya, dia
tampaknya memiliki hak istimewa untuk diizinkan melakukannya.
Ketika
aku mendekati jendela, pintu menuju balkon sedikit terbuka dan aku bisa mendengar suaranya.
“Benarkah?
Apa aku bisa mempercayai Shuuya kali ini?”
Nada
suaranya yang serius mengindikasikan bahwa itu
pembicaraan yang serius.
“Bahkan
jika kamu mengatakan itu......Aku
tidak bisa langsung memutuskannya.
Karea aku benar-benar terluka, tau? Apalagi aku benar-benar percaya
pada Shuya.....”
Apa dia sedang berbicara dengan pacarnya? Atau mungkin dia sedang berbicara dengan temannya dan meminta nasihan tentang masalah percintaan?
Bagaimanapun,
aku harus cepat-cepat menangkap
kejadian itu dan mengambil tindakan pencegahan.
Aku
meletakkan tanganku di pintu menuju balkon dan langsung menariknya.
Dengan
suara berderak, Shirakawa Luna
menoleh ke arahku dengan kaget.
“Ah! Maaf ya, ada
sensei yang datang ke sini, jadi aku akan menutupnya!”
Dia
menatapku dengan ekspresi terkejut di wajahnya dan buru-buru menjauhkan
ponselnya dari telinganya.
Setelah melihat
itu, aku membuka mulutku.
“Memakai
ponsel di sekolah itu
dilarang, oke.”
“...Iya....”
Dia
menjawab dengan suara kecil.
Matanya
yang tidak bisa diandalkan, seperti gadis kecil yang menunggu untuk dimarahi,
menatapku dengan tatapan menengadah.
“...Kalau begitu, sampai jumpa di wali kelas nanti.”
“Eh!?”
Ketika
aku hendak membalikkan badan, Shirakawa-san berseru
dengan suara terkejut.
“Hmm?”
Ketika aku menatapnya untuk menanyakan reaksinya, dia
memiliki ekspresi terkejut di wajahnya.
“Apa kamu
tidak menyita ponselku, Sensei?”
“...Apa kamu ingin aku menyitanya?
Karena ini baru pertama, jadi aku hanya memperingatkanmu saja.”
Dia
tersenyum lega saat mendengar
jawabanku.
“Terima
kasih banyak! Kashima-sensei,
Kamu sangat baik sekali.”
Aku
tiba-tiba terkejut dengan senyumnya yang berbunga-bunga. Memang, panggilan gadis tercantik seangkatan bukanlah isapan jempol belaka.
Matanya
yang besar, yang dipercantik dengan riasan wajah, dan kulitnya yang segar dan
tembus cahaya, semuanya begitu mempesona sehingga dibutuhkan keberanian untuk
menatapnya secara langsung. Setiap kali rambutnya berkibar tertiup angin, aroma
bunga atau buah melayang
di udara, menggelitik hidungku
dengan manis.
“Ketika
aku masih kelas 1, aku
melihat pesan LINE saat istirahat makan siang,
dan guru olahraga, Onizuka-sensei, langsung
merampasnya, dan aku dalam masalah sekaligus jengkel karena tidak
bisa mendapatkannya kembali selama seminggu.”
Shirakawa-san berkata dengan polosnya.
Aku
kebingungan untuk bagaimana menanggapinya.
“....Itu
sebabnya, kamu jangan menggunakan ponselmu di sekolah
lagi.”
“Ya,
tapi kebetulan aku bangun
pagi dan datang ke sekolah lebih awal, jadi aku tidak
punya pilihan lain selain menjawab telepon di sini.”
Shirakawa-san menengadah ke langit dengan
wajah bermasalah.
Langit
pada pagi hari di bulan Mei itu berwarna biru muda yang lebih biru dari kardigan
yang dikenakannya dan matahari yang menyilaukan.
“.... Pacarmu?”
Karena
merasa canggung untuk beranjak pergi, jadi aku bertanya demikian.
Ketika aku
berpikir untuk menarik kembali pertanyaan itu
karena merasa kalau aku bertanya terlalu privasi, tapi Shirakawa-san menatapku dan menggelengkan kepalanya.
“Tidak,
mantan pacar. Kami putus sebulan yang lalu. Ia
berselingkuh dengan gadis lain.”
Wajahnya terlihat murung, dan dia sedikit
menunduk.
“Tapi
ia mengatakan kepadaku kalau
ia sudah putus dengan pasangan selingkuhnya, jadi ia
memintaku buat CLBK.”
“...Jadi, apa yang akan kamu lakukan?”
“Hmm......Aku sedang memikirkan balasannya.”
Dia
terdiam ketika mengatakan itu, jadi
aku mencoba sekali lagi untuk
kembali ke kelas.
“....Kalau begitu, aku akan pergi ke ruang guru.”
Kemudian
Shirakawa-san
mendongakkan kepalanya.
“Ehh,
Sensei takkan memberiku nasihat tentang masalah
hubungan?”
Dia
berkata seolah-olah memprotes, dan merasa gentar di
dalam hati.
“....Karena aku tidak mempunyai banyak pengalaman untuk memberimu nasihat. Jika kamu ingin meminta saran atau nasihat, kamu bisa berbicara dengan guru
lain.”
Itu sudah
menjadi batasku. Jika aku
terlalu dalam membahasnya, aku mungkin akan menunjukkan pandangan cinta yang
buruk yang tidak sesuai dengan usiaku,
dan aku mungkin akan kehilangan martabatku sebagai seorang guru.
Kemudian,
Shirakawa-san
tiba-tiba mengalihkan tatapan menyelidik ke arahku
yang membalas demikian.
“...Hei,
Kashima-sensei,
jangan-jangan kamu masih perjaka, ya?”
“Eh!?
Ke-Ke-Kenapa kamu bertanya begitu!?”
Melihatku yang langsung bereaksi
tanpa sadar, Shirakawa-san
menyeringai seolah berkata, “Sudah kuduga.”
“Nikoru yang
mengatakannya padaku, ‘Bukankah
Kashima tuh masih perjaka?' katanya.”
“........”
Saat aku
terdiam karena tak bisa berkata apa-apa,
Shirakawa-san mundur
selangkah dan mengambil dua langkah lebih dekat untuk menutup jarak antara kami, dan
dia tersenyum dengan tatapan
menengadah.
Dia
menatapku dengan ekspresi menggoda, dan merupakan gadis cantik sempurna dengan
daya tarik yang membuatku merinding.
“....Nee, sensei. Sebagai
ucapan terima kasih sudah tidak
merampas ponselku, bagaimana
kalau
aku mengajarimu tentang cara
berhubungan s*ks?”
“!!?”
Aku
menatap wajahnya, bertanya-tanya apa yang dia bicarakan. Kemudian, ketika aku
menurunkan pandanganku, aku meringis ketika menatap
kecantikan wajahnya yang begitu sempurna sampai-sampai aku tidak percaya kalau
dia masih anak SMA, dan aku semakin tersipu ketika melihat dua tonjolan yang
mungkin masih dianggap terlalu besar untuk seukuran anak SMA, menjulang dari
bagian kancing dadanya yang tidak dikancingkan.
“.... Ja-Jangan mengolok-olok orang dewasa. Aku
tidak cukup bermasalah sampai-sampai
meminta anak SMA untuk mengajariku.”
Kupikir
aku berhasil menjawab dengan tenang, tapi suaraku sedikit meninggi.
Tapi, Shirakawa-san tidak menyadarinya dan menjauhkan dirinya.
“Iya,
maafkan aku, sensei.”
Lalu dia
memberiku sedikit senyuman ramah.
“.... Kashima-sensei itu orangnya serius banget ya.”
Sambil mengatakan
itu, dia menatap ke arah langit lagi.
“Aku berharap aku bisa
berpacaran dengan pria seperti Kashima-sensei. Karena aku merasa kalau ia akan memedulikanku dan menghargaiku dengan baik.”
“.........”
Desas-desus
tentang hubungan percintaan
Shirakawa-san telah
mencapai ruang staf di sana-sini. Misalnya
saja dia sedang berjalan dengan seorang siswa laki-laki
dari sekolah lain di depan stasiun, dan dia akan
menggandeng pria lain setelah beberapa saat tidak bertemu dengannya.......Karena kami adalah sekolah
khusus perempuan, jadi seharusnya
dia tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bertemu
dengan lawan jenis, tetapi kupikir jika dengan
wajah secantik dirinya, rasanya
takkan mengherankan jika ada banyak pria yang akan
berbicara dengannya jika dia berjalan-jalan di sekitar kota.
“....Bercanda, deh.”
Melihat
senyum manisnya saat dia tersenyum padaku seolah-olah
ingin menyamarkan keinginannya, aku sepenuhnya fokus untuk
menjaga wajahku tetap tenang.
Ketika aku berjalan cepat ke ruang guru, aku
kembali mengingat apa yang baru saja kukatakan.
── Aku
tidak cukup bermasalah sampai-sampai
meminta anak
SMA untuk mengajariku.
Aku sama sekali tidak dalam masalah,
───────!
Nyatanya,
aku dalam masalah besar!!!?
Itu bahkan sudah ditahap tidak masuk akal!!
Aku terjun
ke dalam dunia kerja dalam keadaan putus asa, dan tanpa kusadari, aku sudah berusia 24 tahun.
── Aku
ingin berpacaran
dengan pria seperti Kashima-sensei.
Jantungku berdegup kencang saat mengingat
apa yang dikatakan Shirakawa-san
tadi.
Tapi, berurusan dengan murid sendiri merupakan tindakan
kurang ajar. Pertama-tama, menjalin
hubungan percintaan dengan anak di bawah umur merupakan perilaku tidak bermoral dan melanggar hukum,
dan jika ada murid dari sekolah yang mengetahuinya,
aku tidak dapat menghindari
pemecatan. Jika aku mendapat reputasi sebagai
guru yang bermain-main dengan muridnya sendiri, aku bahkan mungkin takkan bisa mendapatkan
pekerjaan baru.
Orang tuaku sudah menghabiskan banyak uang untuk
membuatku menjadi lulusan sarjana dan
menjadi guru, tetapi aku tidak
bisa membiarkan sebuah hubungan cinta menghancurkan sisa hidupku. Aku
tidak bisa mengambil risiko itu.
......Yah,
tapi.
Mana
mungkin Shirakawa-san, yang
memiliki banyak pengalaman
cinta, akan serius menganggapku sebagai calon pacarnya. Itu hanya sekedar ucapan terima kasih atau basa-basi
karena aku tidak merampas ponselnya.
Aku
merasa ngeri bahwa itu bisa dianggap sebagai
ucapan terima kasih, tetapi rasanya aneh karena aku
merasa kalau dia terlalu mengerti pesonanya sendiri sebagai seorang wanita, tapi
mungkin hal itu biasa bagi seorang gadis cantik. Aku tidak tahu, sih.
Shirakawa
Luna, dia
sungguh gadis yang menakutkan.
♧♧♧♧
Tidak
hanya Shirakawa Luna, ketika
melihat para siswi di sekolah khusus
perempuan, terkadang wanita bisa menjadi sangat menakutkan.
Mata
pelajaran yang diampuku
adalah Bahasa Jepang, dan aku
mengajar mata pelajaran Bahasa Jepang
kepada siswa kelas dua.
Pada jam pelajaran ketiga, ketika aku menuju kelas A sebagai wali
kelas, aku menyadari ada sesuatu yang aneh ketika berjalan di koridor.
Pintu
depan dan belakang kelas tertutup rapat dan ruangan
kelas begitu sunyi. Biasanya, masih saja ada beberapa siswa yang berada di lorong meskipun bel sudah berbunyi, dan aku bisa melihat situasinya
dari luar.
Di sisi
lorong tidak ada jendela, dan pintunya
juga berlapis kaca buram, sehingga jika seperti ini, satu-satunya cara untuk
melihat ke dalam adalah dengan membuka pintu.
Apa ada sesuatu yang terjadi? Meskipun aku merasa curiga, jika semua siswa
diam-diam bersiap untuk pelajaran, aku pikir
itu patut diapresiasi, jadi aku
menggenggam pintu dan membukanya.
Pada saat
itu, pemandangan yang tak terduga muncul di depan mataku.
Badai
bra.
Mungkin kamu tidak memahami apa yang kubicarakan, tapi tak kusangka, semua murid yang
duduk di dalam kelas semuanya dalam keadaan setengah
telanjang, mereka hanya mengenakan bra di bagian atas tubuh
mereka.
Warna-warna
bra yang beragam seperti pink, biru, kuning, putih, hitam... seperti banjir
warna-warni dari pakaian dalam seperti tokusatsu, membakar di dalam retinaku dengan jelas.
Berbagai
macam bra dengan berbagai ukuran dan desain renda serta embel-embel hadir di
hadapan kami, dikenakan oleh gadis-gadis SMA yang sebenarnya.
Pandangan
mereka langsung tertuju ke arahku
yang masuk tiba-tiba.
““““““““““Kyaaa───!””””””””””
Terdengar
jeritan bersamaan yang tidak dimengerti.
“Ehhhhhhhh!? Ma-Maafkan aku!”
Aku
segera meminta maaf, buru-buru
menutup pintu dengan cepat dan keluar ke lorong.
Jantungku
berdebar kencang lagi.
“Hentai! Kashima-sensei!”
“Aku
masih berganti pakaian,
tolong jangan masuk!"
“Pada
jam kedua itu ada jam olahraga, tau!”
Beberapa suara
menusuk bisa terdengar dari dalam kelas.
“Ak-Aku
mengerti......Aku akan menunggu kalian
di sini, jadi cepat ganti baju kalian....”
Aku
hanya bisa menjawab dengan suara yang terdengar seperti nyamuk berdengung.
......Hmm?
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, bukannya ini aneh?
Ada jeda
waktu lima belas menit antara periode jam kedua
dan ketiga. Mengingat waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sana, rasanya sungguh aneh bahwa mereka belum
selesai berpakaian.
Aneh juga
bahwa mereka semua mengenakan bra, seolah-olah mereka semua sudah setuju untuk melakukannya.
Apa
jangan-jangan ...... aku
sedang dijebak?
“....Fufu. Kashima, dia benar-benar tidak bisa masuk.”
“Kalau kita
tetap memakai bra seperti ini untuk waktu yang lama, bukannya jam pelajaran ketiga bakal cepat habis?”
“Beruntung banget! Aku
lagi bosen ini, ayo kita main adu sumo jari?”
“Maksudku,
mau sampai kapan kita tetap
seperti ini? Rasanya dingin sekali, tahu.”
“Padahal
baru bulan Mei loh,
mungkin agak terlalu cepat, ya?”
Saat aku
mendengarkan dengan seksama dan benar saja,
aku bisa mendengar bisikan para siswa yang tertawa dengan
cekikikan.
Jadi
itulah yang terjadi......。 Karena aku seorang guru laki-laki, jadi mereka pikir aku tidak
akan bisa masuk kelas jika semua orang mengenakan pakaian dalam mereka.
“.....O-Oii, apa
masih belum?”
Aku memanggil mereka untuk mencoba.
“““““““Masih
belum!”””””””
Beberapa
suara ceria menjawab panggilanku.
“Ce-Cepat
ganti baju, jjika tidak, aku
tidak bisa memulai jam pelajaran.”
“““““““Iya~♡”””””””
Ini gawat. Aku benar-benar diejek.
Tapi apa
yang harus kulakukan
dengan situasi ini?
Jika aku
buru-buru masuk dan memulai kelas, aku akan menjadi guru mesum yang melihat
pakaian dalam muridnya.
Apa aku harus meminta guru perempuan
untuk membantuku? Aku merasa malu sebagai guru karena aku tidak bisa mengendalikan siswa di kelasku sendiri meskipun aku adalah guru wali
kelas mereka......。
Namun, karena aku sangat bermassalah jadi aku
tidak punya pilihan selain kembali ke ruang guru.
“Oh,
rupanya Yamada, toh.”
Di ruang guru ada Sekiya-sensei.
Sekiya-sensei adalah seorang guru biologi. Ia adalah senior di universitas
yang sama denganku dan kami sudah saling kenal sejak kami berdua masih mahasiswa. Tapi untuk beberapa alasan, ia memanggilku dengan panggilan “Yamada.”
Sekiya-sensei adalah pria lajang yang jangkung dan tampan yang
masih berusia dua puluhan. Aku
tidak tahu mengapa ia
dipekerjakan di sekolah khusus perempuan. Tentu saja
ia sangat populer di kalangan murid-murid.
“Ada apa? Bukankah
kamu harus memulai pelajaranmu?”
“Itu
....”
Sekiya-sensei bertanya padaku, dan aku
memberitahunya apa yang baru saja terjadi.
“Aku
tidak bisa memaksakan diri untuk masuk, aku tidak
tahu apa yang harus kulakukan...”
“Ah,
kalau begitu biar aku saja yang
pergi, kebetulan aku lagi bebas di jam ketiga ini.”
“Ehh!?”
Sekiya-sensei juga laki-laki, jadi bagaimana caranya ia bisa mengatasi situasi ini?
Aku berjalan
mengikutinya sambil memikirkan hal itu.
Ketika kami berdua tiba di depan kelas 2-A,
Sekiya-sensei membuka pintu dan masuk ke dalam ruang kelas.
““““““““““Kyaaa───!””””””””””
“Lihat,
ayo kita mulai pelajarannya.”
Seperti
yang sudah diduga, ada teriakan-teriakan yang
terdengar, tetapi Sekiya-sensei melihat ke arah para siswa
dari meja mengajarnya dengan wajah dingin.
“Kenapa
yang muncul malah Sekiya-sensei?”
“Bukannya
pelajaran saat ini adalah Bahasa Jepang!”
“Itu karena
kalian mengganggu kelas, jadi itulah sebabnya pelajarannya diganti menjadi biologi.
Cepat pakai baju kalian.”
“Hei,
jangan lihat-lihat! Dasar hentai!”
“Aku
tidak merasakan apa-apa saat ketika melihat bocah
ingusan macam kalian telanjang, jadi jangan
khawatir.”
“Kejam
banget!!”
Sambil
menggerutu, para siswa mulai mengenakan seragam mereka secara serempak. Ini hal
yang aneh, para murid yang tadinya memamerkan pakaian dalam mereka
tanpa takut padauk, sekarang
dengan malu-malu menyembunyikan kulit telanjang mereka dari Sekiya-sensei, yang berdiri dengan bangga di
podium.
Melihat
para siswa telah selesai berganti pakaian, Sekiya-sensei
meninggalkan ruang kelas dan
menghampiriku di koridor.
“Nah sudah
selesai, karena kamu takut pada
saat-saat seperti ini, itulah sebabnya mereka jadi meremehkanmu.”
“Ah,
terima kasih banyak.....”
Namun, aku tidak yakin kalau aku bisa
merespons dengan cara yang sama seperti Sekiya-sensei saat berada dalam situasi
yang sama.
Oh, bau
antiperspirant wanita......。
Di dalam
kelas, di mana aku telah
mendapatkan kembali rutinitas harianku, aku terganggu oleh bau unik ruang
kelas segera setelah pelajaran olahraga, saat aku
mulai menulis pelajaran aku di papan tulis.
Bagi pria
perjaka sepertiku, setiap hari di sekolah khusus
perempuan terlalu
merangsang nafsu.
♧♧♧♧
Murid-murid di
sekolah perempuan pada dasarnya tidak peduli dengan apa yang dilihat pria. Semua muridnya adalah perempuan dan sebagian besar staf pengajarnya
adalah perempuan.
Tapi, itu adalah fakta yang tak
terbantahkan bahwa aku berada di
depan mereka sebagai seorang pria.
Kadang-kadang
mereka mengambil keuntungan dari itu dan melakukan hal-hal seperti terlambat ke
kelas, tetapi sebagian besar waktu lainnya,
aku tidak dianggap seperti ‘pria’ di mata mereka. Tidak
ada kesadaran sedikit pun di antara para siswi
bahwa mereka malu dilihat oleh Kashima-sensei.
Ya, di
sini, hanya 'guru pria muda dan keren' seperti Sekiya-sensei yang bisa dianggap sebagai lawan.
Setidaknya
di kelasku, selalu saja ada siswi yang tertidur, dan bahkan ada gadis yang bahkan tidur dengan bangga sembari membawa bantal tidur yang mereka
bawa dari rumah di bawah wajah mereka.
“Hei,
apa kamu membawa gunting rambut?”
Selama jam pelajaran, aku sedang menulis di papan tulis
ketika mendengar suara bisikkan
di belakangku. Suaranya begitu pelan seolah-olah mereka berusaha
untuk tidak didengar olehku, tapi kesunyian
ruang kelass membuat suaranya bisa terdengar sampai ke telingaku.
Aku ingin para siswa di seluruh dunia
mengingatnya. Suara bisikan di kelas secara mengejutkan mencapai telinga para
guru. Alasan mereka tidak memperhatikan karena
guru yang pengecut seperti diriku
berpura-pura tidak memperhatikannya.
“Ada kok,
nih~.”
“Makasih”
Setelah aku
selesai menulis di papan tulis, aku
berbalik untuk melihat ke arah dari mana
suara-suara itu datang.
Salah
seorang gadis menaruh satu tangannya di atas buku pelajarannya yang terbuka,
dan menjepit kedua jarinya dengan penjepit rambut berwarna perak, yang
tampaknya ia pinjam dari siswa di dekatnya.
Ya, dia
sedang merapikan bulu-bulu jarinya.
“..........”
Bukannya aku
menjadi terlalu transparan?.
“.....Oke,
kalau begitu, silakan baca kelanjutannya....”
Aku
berpura-pura tidak melihatnya, dan ketika aku mencoba mencalonkan seorang siswa
untuk membaca dengan keras, indra penciumanku mendeteksi bau aneh.
Ini bau
yang aneh, atau lebih tepatnya, ini mungkin
masuk dalam kategori "bau yang enak," tapi itu bau yang
seharusnya tidak boleh ada di dalam kelas......Benar,
itu adalah bau siomay.
Ini bukan
“Shumai”. Melainkan
aroma gurih yang unik dari “siomay” dengan
kaldu kerang yang khas.
Ketika aku segera mencari di dalam ruang kelas, aku melihat seorang siswi di baris
ketiga yang dengan tidak wajar menegakkan buku pelajaran
di atas meja dan memasukkan kepalanya di dalamnya. Tangan kanannya sibuk
bergerak seolah-olah sedang menyelipkan sesuatu ke dalam mulutnya.
Apa yang sedang dilakukannya adalah
belajar dengan sangat giat? Tidak, dia malah
sedang curi-curi makan selam jam pelajaran.
Ini juga
hal yang harus diingat oleh semua siswa di seluruh negeri, bahwa guru juga
menyadari ketika siswa sedang diam-diam makan
di tengah pelajaran. Jika tidak ditegur, itu bisa jadi karena guru tersebut adalah
orang yang tidak punya keberanian
seperti diriku atau sibuk dengan kurikulum
sehingga mengabaikan waktu untuk memberi peringatan.
“......”
Seluruh semangat mendidik dalam
diriku gemetar putus asa saat aku melihat gadis-gadis itu melakukan aksi di
belakang layar yang tidak akan pernah dilakukan jika Sekiya-sensei berdiri di
sini.
Wahai Jepang,
inilah kehidupan sehari-hariku.
“Eh,
Mari-mero, kamu punya 'itu' enggak?”
Setelah
pelajaran usai dan aku sedang
bersiap-siap meninggalkan meja guru, seorang siswi mendekati siswi lain yang duduk di depan
meja guru dan bertanya.
“Ya,
aku punya. Apa kamu melupakannya lagi, Akari-chan? Bukannya bulan lalu juga aku sudah memberikannya padamu?”
“Habisnya
tiba-tiba datang gitu saja sih~”
Dia
tertawa sambil memberikan alasan, dan siswi di depan meja guru, Kurose-san,
memberikan pembalasan dengan memberikan pembalut yang diambil dari tasnya.
Meskipun aku berusaha untuk tidak melihatnya, aku
tak sengaja melihatnya dengan jelas. Karena sudah beberapa kali aku melihat hal serupa sejak mulai
bekerja di sekolah ini, bentuknya sudah sangat familiar bagiku.
“Ini, silakan.”
“Terima
kasih, Marimero!”
Siswi yang menerima pembalut... yaitu
anggota dari geng gyaru,
Tanikita-san, segera meninggalkan kelas dengan cepat.
Melihat
adegan tersebut, siswi-siswi di kursi belakang Kurose-san mulai berbisik-bisik.
“Eh,
tadi, Kashima-sedang sedang menatap pembalut yang dikeluarkan Maria-chan dengan sangat jelas, lho.”
“Jijik
banget ya, seharusnya ia lebih peka dan segera keluar saja.”
“...”
Menyakitkan.
Rasanya sangat menyakitkan. Hanya karena aku kebetulan melihatnya secara sekilas saat dia
mengatakan ‘itu’, jika
aku mengetahu apa yang dimaksud, seharusnya aku berpura-pura tidak melihatnya sejak awal.
Tapi tidak dapat dipungkiri kalau posisiku di sini sangat lemah karena jumlah pria
yang jauh lebih sedikit.
♧♧♧♧
Di tengah
kehidupan sehari-hari yang seperti
itu, ada juga siswi yang
tidak menganggapku seperti orang tak terlihat.
“Nee, nee, Kashima-sensei.”
Siswi
tersebut
adalah Shirakawa Luna.
Sejak
hari itu, dia selalu mendekatiku untuk berbicara tentang sesuatu.
Sebagian
besar hanya salam biasa seperti “Selamat
pagi” atau “selamat
tinggal”, tetapi hari ini sepertinya ada yang berbeda.
“Hmm, ya?”
Setelah
rapat harian selesai dan menjadi waktu pulang
sekolah, aku berusaha mungkin menjawab dengan tenang
dari meja guru.
“Ada apa?”
“Kashima-sensei,
apa kamu melihatku dalam keadaan memakai bra tadi?”
“Eh!?”
Dia menanyakan sesuatu yang sangat tak terduga,
aku langsung panik dan mengalihkan pandanganku darinya.
“Jadi, bagaimana?”
Shirakawa-san
menatapku dengan ekspresi yang sedikit
malu-malu.
“E-Eh...”
Sejujurnya, aku tidak tahu. Mungkin aku
melihatnya, tapi sebelum aku bisa mengenalinya satu
per satu, aku panik dan langsung pergi ke lorong.
“.... Ak-Aku
tidak melihatnya.”
Setekah mendengar
itu, Shirakawa-san tiba-tiba terlihat kecewa.
“Eh,
masa?”
Lalu, dia
bergumam pelan.
“......Mungkin
agak mengecewakan.”
“Eh?”
Aku
melihat wajahnya dengan bingung.
Dengan
senyum malu-malu, Shirakawa-san berkata kepadaku.
“.....Kalau
itu Kashima-sensei, aku tidak masalah jika sensei yang melihatnya.”
“Eh!?”
“Sampai
jumpa, Sensei!”
Dia
melambaikan tangannya dengan ceria
kepadaku yang sedang bingung, lalu pergi dengan cepat meninggalkan kelas dengan
tasnya.
“......”
Aku dalam
keadaan linglung, tapi aku tersadar kembali oleh suara siswa lain yang berkata,
“Selamat tinggal.”
“Ah,
iya...selamat tinggal.”
Ketika aku buru-buru
bersiap pulang ke ruang guru, kata-kata Shirakawa-san tadi terus terngiang-ngiang di
dalam kepalaku.
——Kalau
itu Kashima-sensei,
aku tidak masalah jika sensei yang melihatnya
Apa sih yang sebenarnya dia katakan. Sungguh tidak pantas, mengatakan hal seperti itu...
kepada seorang guru seperti aku... Meskipun aku tidak ingin mempercayainya.... apa jangan-jangan dia menyukai diriku?
Tapi, beberapa waktu yang lalu dia sedang mempertimbangkan untuk berbaikan
dengan mantan pacarnya, dan pada dasarnya siswa dan guru tidak boleh berpacaran...
Saat aku
memikirkan hal-hal semacam itu, aku hampir saja terbawa dalam khayalan tentang
Shirakawa-san mengenakan bra yang
tidak sempat kulihat tadi, dan aku buru-buru menggelengkan
kepalaku.
"...Mungkin
lebih baik pergi ke Fuzoku kali ya.”
Untuk
saat ini, aku berencana untuk menenangkan diri malam ini dengan
membiarkan diriku terhibur oleh gyaru putih dari dunia fiksi.
♧♧♧♧
Selain
Shirakawa-san, di antara geng gyaru
juga ada gadis gyaru yang berkepribadian
kuat lainnya.
Di antara
mereka, yang paling mencolok setelah Shirakawa-san adalah Yamana Nikoru. Pakaian dan gaya rambutnya
setingkat dengan Shirakawa Luna
dalam hal melanggar peraturan sekolah, dan meskipun dia cantik, dia memiliki pandangan mata yang tajam dan memberikan kesan menakutkan,
jadi aku diam-diam memanggilnya 'Oni Gyaru' di dalam benakku. Karena tinggi badannya dan penampilan yang mengesankan,
sehingga dia benar-benar memberikan kesan
tidak punya takut.
Dia
dan Shirakawa-san sudah berteman
baik sejak kelas satu, dan aku sering melihat mereka berdua bersama-sama selama
istirahat atau setelah sekolah.
Pada hari
itu, hujan deras turun tanpa hentu sejak
pagi, dan aku pergi ke sekolah dengan perasaan sedikit murung di bawah langit
yang gelap layaknya malam hari.
Setelah
rapat rutin di ruang guru, tibalah waktunya untuk jam wali kelass pagi tiba, aku dengan
malas bangun dari tempat dudukku dan menuju ke ruang
kelas sendiri.
Setelah
tiba di kelas A, aku membuka
pintu depan yang dekat dengan meja guru, melangkah maju, lalu pada saat itu.....
Pluk!
Pandanganku
terhalang dan sesuatu yang dingin menempel
di wajahku.
“Wuaah!?”
Ketika
aku mengambil benda
putih yang basah kuyup
seperti kain lap itu untuk melihatnya.
“Apa
ini...!?”
Rupanya,
itu adalah kaos kaki.
Ketika
aku mendongak ke atas, ada gantungan yang tergantung di celah rel pintu. Kaos kaki itu
digantung di sana, tepat di posisi wajahku.
“Ah, maafkan aku, Kashima.”
Saat aku
memegang kaos kaki yang basah itu dengan bingung, Yamana-san datang menghampiriku dan merebutnya dari
tanganku.
“Kakiku
menjadi basah saat berangkat
ke sekolah, jadi aku mengeringkannya di sana. Kalau pintu depan tertutup, semua
orang akan masuk dari pintu belakang.”
“Aku
selalu masuk dari depan loh...?”
“Oh
iya, ya,
aku lupa.”
“......”
Meskipun
aku merasa diabaikan lagi dan merasa malu, Yamana-san dengan sigap menggantung
kembali kaos kakinya di gantungan dan sedikit bergeser dari tengah pintu.
“Bukannya
lebih baik menggantungnya di sana saja dari awal?”
“Iya
juga sih.”
Yamana-san tertawa ceria mendengar komentarku.
“Kaos
kaki gombrang butuh waktu lama untuk kering,
kan.”
“Bener
banget deh, hari hujan sungguh menyebalkan.”
Kawan gyaru
di dekatnya, Tanikita-san juga menimpali
dan ikut tertawa bersama Yamana-san.
Pada saat
itu, seseorang muncul di ruang kelas dari koridor di seberang pintu yang aku buka.
“Apa
yang terjadi? Apa Kelas A membuat masalah lagi?”
Ternyata itu
adalah Sekiya-sensei. Karena
dia adalah wali kelas dari Kelas B
yang berdekatan, jadi dia mungkin sedang lewat menuju ke kelasnya
sendiri.
Lalu...
“Se-Sekiya-sensei...!?”
Yamana-san
yang berdiri di sampingku tampak terkejut
ketikamelihat Sekiya-sensei. Wajahnya langsung memerah, dan sikap sombongnya yang biasa seketika berubah total menjadi sopan.
Melihat
reaksi Yamana-san yang seperti
itu, Sekiya-san bertanya
heran ketika menatap wajahnya.
“Yamana, ya? Jangan selalu merepotkan Kashima-sensei, oke?”
“Ak-Aku
tidak merepotkannya, kok...!”
Itu
bohong! Dia
benar-benar bikin masalah!
Dia menggantungkan kaos kakinya yang basah kepadaku!
Aku ingin
protes seperti itu, tapi setelah melihat reaksi Yamana-san yang mirip seperti gadis kasmaran, rasanya
kasihan juga untuk melakukannya.
Sekiya-sensei segera pergi, tapi Yamana-san
terus menatap kosong ke arah koridor
untuk sementara waktu.
Melihat
reaksi dan ekspresinya, bahkan aku yang biasanya tidak
peka pun menyadari bahwa dia jatuh cinta pada Sekiya-sensei.
Kalau
dipikir-pikir, Sekiya-sensei pernah
menjadi wali kelasnya saat kelas satu. Di sekolah
kami, pada dasarnya wali kelas dari kelas satu tidak akan
sama hingga kelas tiga, jadi aku masih ingat siapa saja yang berada di
kelas-kelas itu.
Saat
diskusi pembagian kelas di kelas 2,
entah bagaimana kebijakan “para
gadis gyaru sebaiknya ditempatkan di kelas
Kashima-sensei
yang masih muda dan mungkin bisa memahami anak muda” dibuat, dan kelas A pun
terbentuk dengan komposisi seperti itu. Aku jadi merasa rumit ketika memikirkannya. Mungkin guru lain
juga merasa repot mengajar para gadis gyaru,
jadi mereka menyerahkannya padaku yang paling muda. “Itu namanya penyalahgunaan
kekuasaan, bukan?” si
penyiar veteran di kepalaku berkata demikian, tapi sekarang sudah terlambat
untuk berbuat apa-apa.
Lalu
tiba-tiba,
“Kamu
baik-baik saja, Kashima-sensei?”
Sebuah
suara lembut memanggilku dan kain kering diletakkan di wajahku.
Saat aku
melihat, Shirakawa-san sudah berada
tepat di depanku.
“Aku minta
maaf karena tidak sadar ada kaus
kaki basah di sana.”
Shirakawa-san menyeka wajahku sambil tersenyum.
“...Te-Terima kasih...”
Handuk
kecil yang dipegang Shirakawa-san
bergambar kelinci yang tidak terlalu lucu, dengan wajah seperti om-om tua.
“...Eh, kamu
tertarik dengan karakter ini,
sensei?”
Sepertinya
aku terlalu lama memperhatikannya, jadi Shirakawa-san bertanya sambil tertawa.
“Seperti
yang diharapkan dari Kashima-sensei! Hmm... 'Omega tinggi'?”
“Kalau
mau bilang begitu, kamu harusnya billang
'mata jeli'.”
Cara
bicaranya sedikit aneh, sehingga 'Omega tinggi' terdengar seperti minyak
ikan Omega yang tinggi, jadi aku membenarkannya. Shirakawa-san pun tertawa geli.
“Ah
iya, itu dia! Hebat sekali, Guru Bahasa Jepang
memang beda!”
“.....”
Sebenarnya
itu ungkapan yang umum diketahui, bukan hanya oleh guru bahasa Jepang tapi juga orang dewasa biasa.
Tapi aku diam saja karena merasa sedikit senang ketika
dipuji.
Tidak, percuma saja. Ketika aku berbicara dengan Shirakawa-san, aku
merasa seperti bukan seorang guru, tetapi seorang pria.
Ini tidak
baik. Ini benar-benar tidak baik. Aku sangat mengetahui itu.
“Karakter
ini disebut 'Osausa', loh!”
“Osausa......?”
“Bener
banget!
Itu singkatan dari ‘Ossan Usagi’.”
“Be-Begitu ya....”
“Kelihatan
lucu banget, ‘kan?”
Aku dibuat
tertegun saat melihat tatapan mata Shirakawa-san yang berbinar-binar dan aku hanya bisa menganggukkan
kepalaku.
“I-Iya....”
“Benarkah!?
Hore!”
Shirakawa
tertawa polos seperti anak kecil.
“Semua
orang bilang kalau ‘Seleramu buruk banget’! Padahal karakter ini lumayan populer di kalangan umum!”
“Tidak, mau bagaimana kamu melihatnya, karakter itu punya wajah om-om tua.”
“Lunachi,
bahkan karakter favoritmu adalah payah banget!”
Yamana-san
dan Tanikita-san tertawa dan meledeknya,
sementara Shirakawa-san menunjukkan ekspresi seakan
mengatakan, “Aku
tidak bisa membiarkannya begitu saja.”
“Apa
maksudmu dengan 'bahkan'
!?”
Meskipun
sambil tertawa, teman-teman Shirakawa-san
memandangnya dengan pandangan takjub ketika dia menyuarakan protes.
“Habisnya,
pacar Lunachi selalu selingkuh iya, ‘kan?”
“Yah,
pada dasarnya laki-laki yang suka merayu
di jalan memang begitu. Cara berkenalan
mereka memang buruk. Makanya aku selalu bilang 'pikirkan baik-baik'
sebelum berpacaran.”
“Ehhh~~~~~?!”
Meskipun
dikatakan begitu, Shirakawa-san sepertinya
tidak bisa menerima begitu saja.
“Tapi
kan, mereka pada awalnya selalu bersikap manis sekali? Mereka bahkan bilang 'Cuma kamu satu-satunya yang
kulihat' dengan wajah serius.”
Sepertinya
teman-teman Shirakawa sudah bosan mendengar argumennya, Yamana-san dan Tanikita-san hanya tersenyum masam. Terutama
Yamana-san, dia
menatap sahabatnya itu dengan pandangan khawatir, seolah berkata “Dasar gadis yang merepotkan.”
Dengan
wajah tidak puas kepada teman-temannya, Shirakawa-san
menoleh ke arahku.
“...
Bagaimana menurutmu, Kashima-sensei?”
“Eh...”
Melihatku
yang kebingungan karena tiba-tiba ditatap, Yamana-san
terkekeh.
“Mana
mungkin Kashima bisa memahami itu kali.
Mungkin ia masih perjaka atau
pemula polos, sih.”
Kata-kata
yang tepat sasaran itu menusuk dada seorang perjaka berusia 24 tahun sepertiku.
Kuh...
Dasar Oni gyaru! Akan kuadukan sifat aslimu pada
Sekiya-sensei nanti!
Meskipun
begitu, mengamuk karena masalah sepele semacam itu
bukanlah tindakan yang dewasa, jadi aku menelan kekecewaanku.
“...
Sudahlah, kalian semua duduk di tempat masing-masing. Ayo kita mulai jam wali kelas pagi ini.”
Pada
akhirnya, yang kuucapkan hanyalah kata-kata yang sangat wajar sebagai wali
kelas.
“Baiiik~...”
Setelah mendengar
itu, Shirakawa-san menuruti
perkataanku dengan patuh, meskipun ada sedikit ekspresi ketidakpuasan terlihat di
wajahnya.
♧♧♧♧
Hujan
deras itu tidak berhenti hingga sore hari.
“Aduh,
masih basah nih. Benar-benar bikin males banget,
padahal aku mau langsung ke tempat kerja.”
“Ya, enggak
masalah ‘kan, Nikorun.
Toh, keluar nanti juga langsung basah lagi.”
“Iya,
sih. Benar-benar sial banget.”
Di ruang
kelas setelah mata pelajaranku selesai, aku melihat
Yamana-san yang mengenakan kaus kaki yang
kelihatannya masih belum kering dengan benar
meskipun sudah dijemur seharian, dan Tanikita-san
yang menanggapinya dengan tawa. Tiba-tiba
aku menyadari sesuatu “Eh?”
Shirakawa-san tidak ada.
Sosoknya
yang biasanya selalu ada di dekat mereka
berdua tidak terlihat di manapun di dalam kelas. Padahal
belum sampai satu menit sejak jam pelajaran selesai.
Mungkin dia sedang ke toilet kali, ya.
“.....”
Kemudian,
aku menyadari bahwa aku terlalu mengkhawatirkan seorang
siswa tanpa alasan, yang tidak pantas dilakukan oleh seorang wali kelas, jadi aku buru-buru meninggalkan ruang
kelas.
Sekolah tempatku bekerja terletak di atas bukit,
jadi saat pulang, aku harus turun menyusuri jalan menurun yang panjang untuk sampai ke
stasiun. Setelah melewati jalur menurun yang landai dan sampai di dataran yang datar, itu artinya kami sudah
dekat dengan area komersial di sekitar stasiun.
Saat aku
berjalan di bagian ujung bukit dan hampir
mendekati area sekitar stasiun, di tengah hujan yang masih
turun, aku mendengar suara pembicaraan pria dan wanita yang terdengar tegang.
“Seriusan,
sumpah! Mulai sekarang, cuma
kamu satu-satunya untukku!"
“Tidak
bisa. Aku masih tidak bisa percaya pada Shuya.”
Suara gadis
itu membuatku tersentak, lalu aku melihat sumber percakapan itu.
Di dekat
tiang listrik pinggir jalan, berdiri dua orang, satu pria dan satu gadis. Pria itu membawa payung plastik
dan menghadap ke arahku, jadi aku bisa melihat seluruh penampilan pria itu.
Dia
adalah seorang siswa SMA. Dari seragam yang dikenakan dengan longgar dan warna
rambut yang mencolok, ia memberi kesan sebagai
anak berandalan. Tubuhnya cukup tinggi dan wajahnya
juga lumayan, jadi kemungkinan ia lumayan populer di
kalangan anak perempuan.
Gadis
itu memegang payung berwarna pink yang
menghadap ke arahku, tapi
hanya bagian bawah tubuhnya saja yang terlihat. Tetapi, sweater yang berwarna biru
muda dan kaus kaki panjam hitam itu sangat familiar.
Terlebih lagi, suaranya jelas-jelas
milik Shirakawa Luna.
“Tapi,
Shuya, kamu memang
hanya banyak omong saja. Selalu begitu.”
“Kali
ini aku akan membuktikannya dengan tindakan! Lihat saja perubahan diriku ke
depan!”
“Tapi,
aku tak mau dikhianati lagi. Aku juga ingin
mempercayainya, tapi... Apanya yang berubah?”
“Semuanya!
Aku telah terlahir kembali!”
“Kalau
itu memang benar, bagaimana caranya agar aku bisa percaya bahwa Shuya
benar-benar berubah di sini dan sekarang?"
“Sudah
kubilang, aku...”
Pada saat
itu, pandangan pria itu tertuju padaku.
Di tengah
hujan yang membuat suasana suntuk ini, aku tanpa sadar berhenti berjalan dan
memperhatikan perdebatan pasangan itu, di antara orang-orang yang buru-buru
menuju stasiun. Tampaknya pemandangan itu terlihat aneh di mata
pria tersebut.
“...Kenalannya Luna?”
“Eh?”
Ketika pria
itu bertanya padaku, Shirakawa-san
menoleh ke arahku.
Aku
berpikir “Gawat”, tapi rasanya sudah terlalu terlambat
untuk pergi begitu saja, jadi aku tetap berdiri di sana.
Mata
Shirakawa-san membelalak
kaget saat dia mengenaliku.
“Ah,
Kashima-sensei!”
Mendengar
hal itu, pria tersebut mengekspresikan
keterkejutan di wajahnya.
“Sensei!”
“Benar,
ia adalah guru wali kelasku.”
“.........”
Aku tidak
tahu harus berbuat apa. Sekarang
sudah jam pulang sekolah, dan itu bukan pelanggaran peraturan
sekolah jika Shirakawa-san berdiri dan berbicara di pinggir
jalan dengan siswa dari sekolah lain.
Namun,
sebagai wali kelas, rasanya bakal
aneh untuk mengabaikannya, dan aku
harus mengucapkan ‘selamat
tinggal’ sebelum
berjalan menuju stasiun.
Alasan
mengapa aku tidak bisa bergerak meskipun aku berpikir begitu adalah karena aku
melihat kesungguhan yang melekat di wajah Shirakawa-san yang menatapku.
“....Teman?”
Mungkin
akan terdengar kurang ajar
jika menguping pembicaraan mereka, tetapi aku
melihat mereka secara bergantian dan membuka mulut.
“Bukan,
ia adalah mantan pacarku.”
Shirakawa-san menatapku dan menjawab dengan
tegas.
“Tidak,
uhmm....”
Pria itu
sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi ketika ia melihat Shirakawa-san yang mengatakannya, ia seketika
terdiam.
“Mantan
pacar.”
Aku mengulangi jawabannya. Aku
tidak tahu bagaimana harus melanjutkannya.
“....Jadi ia bukan pacarmu lagi sekarang, ya.”
Rasanya
begitu
canggung karena mereka berdua diam, jadi aku mengatakan sesuatu yang lebih
jelas.
Shirakawa-san kemudian mengangguk lebar.
“Itu
benar, 'mantan pacar'. Bahkan mulai sekarang juga.”
“Begitu ya....”
Kemudian,
setelah mendengar percakapan kami, pria
itu mulai terlihat gelisah.
“....Ka-Kalau begitu sampai jumpa lagi! Aku senang bisa bertemu denganmu lagi setelah sekian lama!”
Kemudian,
ia pergi ke arah stasiun seolah-olah ingin melarikan
diri.
“....Aku justru tidak merasa senang sama sekali.”
Setelah
sosok pria itu menghilang dari pandangan,
Shirakawa-san bergumam
pada dirinya sendiri.
Lalu, dia
mengangkat wajahnya dan tersenyum padaku.
“Untung
saja Sensei lewat sini.”
Melihat senyumnya yang ramah dan penuh rasa terima
kasih itu membuatku memalingkan muka karena
terpesona.
“...Kelihatannya
mantan pacarmu memaksa untuk jadian lagi,
ya.”
Ketika aku
mengatakan itu dengan wajah datar, Shirakawa-san mengangguk dengan ekspresi kaku lagi.
“Iya.
Padahal aku sudah bilang tidak mau, tapi
karena ia tidak bisa menghubungiku lagi, jadi ia menguntit dan menunggu di
gerbang sekolah. Aku melihatnya dari jendela kelas, jadi setelah jam pelajaran selesai, aku
pergi untuk bilang 'jangan lakukan itu' tapi... dia tidak mau dengar... Aku
cuma ingin menjauh dari sekolah, jadi aku berjalan sampai kemari.”
Kalau
dipikir-pikir, Shirakawa-san hanya
membawa payung tanpa membawa tas seklahnya. Berarti tas sekolahnya masih tertinggal di kelas.
“...Bagaimana
dengan panggilan telepon yang kamu terima kemarin? Itu dari dia, ‘kan?”
Karena dia menerima telepon masuk, jadi aku bertanya apa dia masih menyimpan kontaknya.
“Itu
dari telepon umum, jadi aku angkat. Tapi sekarang aku tak mau angkat nomor yang
tak kukenal. Aku juga sudah memblokir akunnya
di LINE dan Instagram sejak aku putus dengannya.”
Begitu rupanya, itu
kedengarannya masuk akal dan bukan alasan yang dibuat-buat.
“...Bukannya waktu itu kamu bilang kalau kamu 'sedang mempertimbangkannya', kan?”
“Iya.
Aku sudah memikirkannya, tapi aku merasa
masih tidak bisa. Aku tak bisa lagi
percaya sepenuhnya pada pria yang pernah berselingkuh
dariku.”
“Begitu
ya...”
Wajah
Shirakawa-san terlihat
sedih saat dia mengatakan itu, dan aku tak bisa berkata apa-apa lagi.
Shirakawa-san tiba-tiba tersenyum saat menatapku, seolah-olah dia sedang mengejek
dirinya sendiri.
“Tapi...
setelah melihat wajahnya, itu percuma saja. Aku malah sempat
berpikir 'mungkin aku bisa percaya padanya sekali lagi'.”
“Apa...
kamu masih menyukainya?”
Hujan
terus turun, dan bahkan selama
pembicaraan kami, aku bisa mendengar
suara tetesan air yang mengenai payung.
Shirakawa-san tersenyum lemah.
“Tidak.
...Mungkin hanya perasaan. Sejak awal, aku tak pernah benar-benar menyukainya
sebagai seorang pria.”
Lalu, dia
mengubah sudut payungnya dan tiba-tiba menyembunyikan ekspresinya dariku.
“...Tapi kalau dipikir-pikir lagi,
ternyata hampir semua pacarku memang seperti
itu.”
Itulkah
sebabnya, aku tak bisa mengerti ekspresinya saat dia
mengatakannya.
“...Kamu akan kembali ke sekolah, ‘kan?”
Setelah terjadi keheningan sesaat, aku mengubah topik pembicaraan.
“Eh?
Ah, iya.”
Shirakawa
menoleh ke arahku, dan wajahnya kembali murung.
“Tapi,
aku masih merasa bimbang. Mantan
pacarku masih ada di sekitar sini, dan aku takut jika aku sendirian, dia akan mengejarku
lagi...”
“Ah,
begitu ya.”
Begitu
rupanya. Kalau memang
begitu...
“Mau
kembali ke sekolah bersamaku?”
Shirakawa-san tampak terkejut setelah mendengar usulanku.
“Apa boleh?”
“Iya.
...Soalnya, mantan pacarmu yang terus-terusan mengikutimu padahal kamu tidak
mau balikan lagi... bukannya itu sudah mirip seperti penguntit?”
Sebagai
guru, aku merasa sudah sewajarnya melindungi muridku.
“Aku
akan mengantarmu pulang hari ini.
Kalau kamu masih diikuti lagi lain kali,
sebaiknya kamu harus melaporkannya
kepada polisi.”
Entah
apakah pemuda berandal itu akan terus mengejar seorang wanita seperti itu, tapi
aku masih tidak yakin bila melihat gerak-geriknya
hari ini.
“.....”
Shirakawa
terdiam sejenak sambil memandangku.
Kemudian,
dia perlahan-lahan membuka mulut.
“...Terima
kasih, Kashima-sensei...”
Aku merasa
gugup ketika melihat senyumnya yang menyipit tampak
mengandung sesuatu yang berkilauan.
“...Eh...!?”
Apa setakut itu? Padahal tadi dia terlihat
tangguh saat bersamaku.
“Nah,
a-ayo cepat kembali. Aku tak ingin
kamu pulang terlambat.”
“Ah,
iya betul. Soalnya Sensei yang mengantarku, jadi aku tidak ingin Sensei pulang terlambat.”
“.....”
Ucapannya
yang mengkhawatirkan kepulanganku bukannya apa yang kumaksud, tapi rasanya juga
aneh untuk meluruskannya, jadi kami berjalan cepat kembali ke sekolah.
“...Sensei,
menurutmu apa itu cinta?”
Setelah
berjalan dalam diam selama beberapa
saat, Shirakawa-san
tiba-tiba mengatakan sesuatu seperti itu.
“Eh....?”
Mana mungkin
aku mengetahuinya. Yang ada
justru aku lebih suka kalau ada yang mau
mengajariku.
“....Hmm, itu sulit....”
Melihat kalau aku tidak punya pilihan selain
menjawab dengan wajah kebingungan,
Shirakawa-san tertawa.
Itu bukan tawa mengejek, melainkan tawa
yang sepertinya membuatmu tersenyum.
Shirakawa-san
kemudian menatap langit mendung yang masih meneteskan
air hujan.
“Sebenarnya,
aku tidak tahu apa itu cinta....”
Tetesan
hujan jatuh di rahangnya yang kecil dan runcing. Pandangan
matanya diarahkan ke kejauhan, seolah-olah dia bisa melihat
menembus langit mendung dan langit biru di atasnya.
Pada saat
itulah aku tercengang. Itu karena aku
mengalihkan perhatianku dari profil Shirakawa-san,
yang telah membuatku terpesona,
dan memikirkan isi ucapannya.
“...Padahal kamu pernah punya pacar,
tapi kamu tidak tahu apa itu cinta?”
Mendengar
pertanyaanku yang
masuk akal, Shirakawa-san menatapku
dan tersenyum canggung, seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan.
“Itu
benar.”
Dia
berkata sambil berjalan, menjaga tatapan matanya
tetap tertuju pada kakinya.
“Kupikir
aku mungkin bisa mengetahuinya ketika
mulai berpacaran......Tapi
nyatanya tidak demikian.”
“........”
Sejujurnya,
kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan “Apa sih yang dibicarakan gadis ini ......?”.
Kemudian, Shirakawa-san tiba-tiba menatapku.
“Sensei,
apa kamu tidak
pernah jatuh cinta?”
Sepertinya
ada rasa keingintahuan murni di dalam tatapan matanya, tetapi untuk
beberapa alasan aku merasa
panik.
“Eh!?
......Oh, tentu saja pernah.”
“Jadi,
Sensei pernah jantuh cinta, ya.”
Shirakawa-san tertawa dengan riang.
“Cinta
macam apa?”
“Eh...”
Seorang
gadis yang wajahnya secantik aktor cilik, yang pandai berolahraga dan menjadi
idola semua orang. Gadis yang duduk di sebelahku
dan banyak berbicara denganku.
Seorang rekan mahasiswa seminar yang selalu bersikap baik kepadaku.
Kalau
dipikir-pikir, selalu saja ada 'gadis
yang kusukai'
dalam kehidupanku. Tapi itu berakhir tanpa berpacaran dengan siapapun.
Seandainya
saja aku berbicara dengannya.
Seandainya aku meminta informasi kontaknya. Seandainya
saja aku membuat janji untuk bertemu dengannya......。
Ada juga
cinta samar yang sepertinya mulai bergerak jika aku
mulai melakukan sesuatu.
Aku
hanya belum melakukan apa-apa.
“....Tidak
banyak yang bisa aku katakan.”
“Apa-apaan itu?”
Shirakawa
tertawa geli ketika mendengar jawabanku.
“Aku
penasaran memangnya ada yang
namanya cinta yang 'tidak layak disebut' ketika kamu sudah bersusah
payah menyukai seseorang. ....?”
Dia
sepertinya benar-benar berpikir begitu.
“Ketika
Sensei mengatakan kalau sensei pernah 'jatuh
cinta,' itu berarti Sensei ingin
menjalin hubungan, bukan?”
“....I-Iya
sih.”
Entah
kenapa seakan-akan pembicaraan ini berjalan dengan asumsi bahwa aku tidak
pernah berpacaran dengan siapa pun, padahal memang begitu faktanya, jadi aku tidak bisa meralat
itu.
“Kenapa
kamu tidak pernah berpacaran?”
“Kenapa
ya...”
Aku
menundukkan kepala. Karena aku sudah
berjalan cukup jauh, jadi celana
bagian bawah kakiku mulai berubah warna akibat cipratan air hujan. Aku paham
mengapa kaos kaki longgar Yamana-san
jadi basah kuyup karena hujan.
“Mungkin
karena aku tidak pernah menyatakan cintaku.”
“Kalau
ada yang menyatakan cinta padamu, apa kamu akan menerimanya?”
“...mungkin.”
“'Mungkin'?”
Shirakawa-san tampak kebingungan ketika mendengar jawabanku.
“Jadi,
ada juga cewek yang kamu tolak meski dia menyukaimu?”
Aku
mengangguk.
“Tergantung
situasinya saat itu... Mungkin aku berpikir akan sulit dalam lingkungan kami,
atau ada hal lain yang menjadi
prioritas.”
“Padahal
kamu menyukainya? Meski kamu tahu kamu mempunyai perasaan yang sama padanya?”
“Tapi
itu dan ini adalah dua
cerita yang berbeda.”
“Eeeeh~~”
Shirakawa-san menatapku dengan pandangan yang
seakan menuduh, tapi kemudian berubah menjadi tatapan tak percaya.
“...Sensei,
kamu itu tipe orang yang menyusahkan
ya.”
“Menurutku
itu normal sih.”
“Normalmu
itu tidak ada di duniaku. Kupikir,
laki-laki kalau sekali
jatuh cinta, langsung dikuasai nafsu mereka dan langsung mengejar gadis yang disukainya.”
“Ada
juga orang yang seperti itu.”
Dan
sayangnya, realitas yang ironis adalah laki-laki yang tidak memikirkan hal-hal
seperti itu justru lebih disukai oleh wanita.
Lalu,
Shirakawa-san mendadak terdiam, entah apa yang dipikirkannya.
Setelah
beberapa saat, dia mengangkat wajahnya sambil
berjalan.
“...Seandainya saja pria seperti Sensei bisa menjadi ayahku.”
Dengan
suara pelan, dia bergumam pada dirinya sendiri.
“Mungkin
aku... Masih bahagia sampai sekarang...”
“Eh...?”
Kemudian aku
teringat tentang latar belakang keluarga Shirakawa-san. Pada formulir data diri
Shirakawa-san, hanya
nama ayah dan neneknya saja
yang tertulis.
Orang tua
Shirakawa-san sudah
bercerai. Aku tidak tahu alasan di baliknya, tapi dari perilakunya, aku bisa
menebak ada sesuatu di sana.
“Ah,
Lunacchi! Dan Kashima-sensei? Kalian sedang apa?”
Di antara
orang-orang yang lewat, ada juga murid-murid dari Seirin yang masih mengobrol dan pulang
terlambat setelah selesai pelajaran.
Yang menyapa kami barusan adalah Tanikita-san.
Di sampingnya juga ada Kurose-san
dari kelas A.
Kurose-san adalah gadis
yang cantik dan anggun, meskipu
dia tidak berpenampilan seperti gyaru,
tapi dia cukup dekat dengan geng gyaru lainnya termasuk Tanikita-san.
Sebab...
“Akari!
...... dan Maria!”
Shirakaw-sana menatap mereka dengan wajah berseri-seri.
“Hei
Maria, boleh aku main ke rumahmu hari
ini?”
“Eh?
Boleh sih...”
“Hore!
Aku takut pulang sendirian karena
ada kemungkinan kalau mantan
pacarku akan mengikutiku. Jaid, apa boleh aku menginap?”
“Boleh
kok? Tapi sebaiknya aku tanya
ibu dulu.”
“Terima
kasih! Aku ambil tas dulu di kelas, tunggu sebentar ya!”
Kami
sudah berada di puncak bukit dan gerbang sekolah sudah
berada tepat di depan kami.
Shirakawa-san,
yang telah diberi izin oleh Kurose-san, menoleh ke arahku saat kami mulai berjalan menuju
gedung sekolah.
“Aku sudah
baik-baik saja sekarang! Terima kasih telah mengantarku sampai sejauh ini, Kashima-sensei!”
Dengan
senyum cerah yang tidak sebanding dengan langit hujan, dia melambaikan tangannya padaku.
“Ah, iya.....”
Aku hampir
saja melambaikan tanganku,
tetapi aku mengingat posisiku sebagai guru, dan buru-buru menurunkan
tangan yang akan diangkat.
“Ah! Jadi
kamu mengantar Lunachi kembali ke sekolah untuk
melindunginya dari mantan pacarnya, ya?
Kashima-sensei.”
Seolah-olah
dia baru menyadarinya sekarang, Tanikita-san berkata kepadaku.
“Itu
benar.”
“Hee~,
tak disangka Sensei adalah orang yang
sangat baik, ya!”
Aku merasa
sedikit gundah dengan sikap sok dari murid didikku sendiri, tetapi
tampaknya Tanikita-san tidak memiliki niat buruk.
Aku tertawa
pahit di dalam hatiku.
“Terima
kasih banyak sudah melakukannya demi Luna,
Kashima-sensei.”
Kurose-san yang berada di sebelahku,
berkata demikian dan membungkuk ringan padaku.
Ada senyum lembut di wajahnya yang manis.
“Oke,
kalau begitu, kalian berdua
pulangnya harus hati-hati juga.”
Setelah mengatakan hal itu, aku berbalik dan mulai berjalan menuruni lereng yang baru saja
aku lalui.
Kurose-san adalah saudara kembar Shirakawa-san. Berbeda dengan Shirakawa-san, Kurose-san mencantumkan nama ibu dan
kakek-neneknya di lembar survei keluarga.
Dengan
mempertimbangkan beban orang tua selama kunjungan kelas dan pertemuan orang
tua-guru, sekolah kami
telah memutuskan untuk menempatkan si kembar di kelas yang sama.
Namun,
karena mereka berdua tidak berada di rumah yang sama, aku bertanya kepada orang
tua mereka tentang niat mereka sebelum semester
baru dimulai, dan
ibu Kurose-san mengatakan
bahwa dia akan senang melihat kedua putrinya bersama, sementara ayah Shirakawa-san mengatakan bahwa ia akan
menyerahkannya pada keinginan ibu mereka, sehingga tanpa pertimbangan lebih jauh lagi, mereka
berdua ditempatkan di kelas yang sama.
Di akhir
perjalanan menuruni bukit, suara hujan yang mengguyuri
payung sudah tidak terdengar lagi.
“.....
Ah.”
Aku
melihat ke luar dari payung dan melihat bahwa hujan sudah berhenti. Matahari, yang tadinya condong
jauh ke barat, muncul dari balik awan tipis.
── Seandainya saja pria seperti Sensei
bisa menjadi ayahku......
Mungkin aku... Masih bahagia sampai sekarang...。
Smabil mengingat kembali ekspresi melankolis di wajah
Shirakawa-san, aku
menutup payungku dan berjalan dengan hati-hati ke stasiun di atas aspal di mana
air hujan masih menggenang.
♧♧♧♧
Kota K,
tempat di mana aku tinggal, adalah kota tempat
tinggal di wilayah metropolitan Tokyo. Banyak orang yang pergi ke tempat kerja
atau sekolah di Tokyo dan kembali dari kota setelah menyelesaikan aktivitas di
siang hari. Akibatnya, stasiun terdekat, stasiun K, sangat ramai selama jam-jam
perjalanan.
Pada hari
itu aku bangun kesiangan.
Aku biasanya pergi bekerja pagi-pagi untuk mempersiapkan kelas,
tetapi aku tiba di stasiun tepat pada
waktunya untuk rapat umum di ruang staf dan buru-buru naik kereta yang datang.
Bagaimanapun,
ada banyak orang yang menaiki gerbong kereta dari
peron, dan aku adalah orang yang naik terakhir, jadi aku memegang bagian atas pintu dengan tangan dan
menahannya dengan tubuhku, sambil mendorong orang-orang ke dalam.
(Fiuh......)
Aku
mengendurkan lenganku karena lega, karena pintu gerbongnya
sudah tertutup dengan aman. Jika aku
hanya menopang berat badanku
sendiri, kepadatan populasi di dalam kereta
akan merata setiap kali gerbong
bergetar.
Kemudian,
aku menatap kosong pemandangan tepi
sungai ketika gerbong kereta berjalan melewati
Sungai Arakawa.
Aku
merasakan tekanan yang tidak wajar di sekitar pinggangku. Ketika aku menengoknya, ada seorang gadis SMA di
sebelahku. Dia sedang memutar badannya
untuk menghindari sesuatu di tengah kerumunan, dan aku bisa merasakan bahwa dia ingin memberitahuku kalau sesuatu itu
berada di sebelahnya.
Terlebih
lagi, gadis SMA itu ternyata....
(Kurose-san......!?)
Ngomong-ngomong,
aku ingat kalau alamat rumah Kurose-san sama-sama
berada di kota K. Aku
biasanya berangkat menaiki lebih
awal, dan karena ada begitu banyak orang di sini sehingga pasti sulit bagiku untuk bertemu dengannya sampai sekarang
Alasan aku tidak langsung berbicara
dengannya ialah karena
kepadatan penumpang di dalam gerbong
begitu padat dan semua orang begitu hening,
sehingga sulit untuk memecah kesunyian, dan juga karena Kurose-san sama sekali
tidak memperhatikanku.
Kurose-san terus-menerus mengkhawatirkan area belakangnya.
(Apa ada
sesuatu......?)
Karena penasaran, aku pun melihatnya dan langsung menyadari masalahnya.
Ada tangan
seseorang yang menyentuh
bagian paha rok seragam Kurose-san.
Setelah aku memeriksanya, ternyata itu tangan seorang
pria paruh baya dalam setelan jas yang berada di belakangnya.
(Apa itu pelecehan s*ksual...?)
Namun, jika dilihat dari luar, itu terlihat sedikit ambigu. Tangan
pria itu tidak menyentuh dengan telapak tangan, melainkan punggung tangan, dan
dengan tingkat kepadatan penumpang yang tinggi di dalam kereta, sulit untuk
mengetahui apa itu disengaja atau tidak.
Tetapi, aku bisa melihat bahwa Kurose-san merasa terganggu dengan tangan itu dan
berusaha menghindar.
Ketika kami tiba di stasiun berikutnya, ada banyak orang yang turun dari kereta. Aku dan Kurose-san, yang berada di dekat pintu,
terbawa arus orang-orang dan terpaksa turun ke peron.
Meski
demikian, pria paruh baya yang tadi berada di belakang
Nona Kurose, seolah-olah seperti bayangan, menempel erat di belakangnya dan
kembali naik ke dalam kereta.
Aku sudah
meyakini dengan pasti kalau itu adalah tindakan pelecehan
seksual.
Tapi, apa
yang harus kulakukan dalam situasi seperti ini?
Dibutuhkan banyak keberanian untuk melaporkannya
ke polisi, dan aku akan
terlambat ke sekolah jika melakukan itu. Selain
itu, jika aku
salah, itu bisa membuat kehidupan seseorang berantakan...
Setelah
dilanda berbagai keragu-raguan sesaat, keputusan yang aku ambil adalah untuk menjauhkan
Kurose-san dari pria itu.
Meskipun ada banyak orang turun di stasiun A, tapi masih
banyak juga yang naik. Masih di dalam gerbong kereta yang penuh sesak, pria paruh baya itu tetap
berposisi di belakang Kurose-san.
Oleh
karena itu, aku dengan
agak kasar bergerak di dalam kereta untuk menempatkan diri di antara mereka
berdua, menciptakan sedikit ruang di antara diriku
dan Kurose-san.
“...?”
Kurose-san tampaknya memperhatikan kalau gerakanku yang tidak wajar itu mencurigakan,
jadi dia menoleh ke belakang.
“Ah...”
Pandangan
mata kami saling bertatapan, dan dia menyadari
keberadaanku.
“Kamu
baik-baik saja?”
Aku bertanya
dengan suara pelan.
Kurose-san mengangguk dalam diam.
Selama
sekitar 5 menit perjalanan sampai stasiun terdekat dari sekolah, aku terus menjaga agar tubuh Kurose-san tidak bersentuhan dengan orang
lain.
Kurose-san juga terus menghadap ke depan, dan tertunduk diam.
Setelah
turun dari peron Stasiun O, aku berbicara
dengan Kurose-san sekali lagi.
“....Jangan-jangan...... kamu pernah dilecehkan?”
Kurose-san mengangguk pelan dalam menanggapi pertanyaanku.
“Begitu ya.....”
Kalau
begitu, mungkin lebih baik untuk menangkapnya
dan menyerahkannya kepada staf stasiun.
“.....Maaf.
Kurasa seharusnya aku perlu
mengambil video atau semacamnya.....
Aku masih tidak yakin kalau itu benar-benar pelecehan
atau bukan....”
Begitu
mendengar permintaan maafku,
Kurose-san akhirnya mendongak.
“Tidak,
itu bukan salahmu, Sensei.”
Hatiku
sedikit cenat-cenut ketika dia menggelengkan kepalanya dan menatapku. Dia bukan tipe
yang sama dengan Shirakawa-san, tapi kupikir
Kurose-san juga seorang gadis cantik dengan level yang lumayan langka.
“Terima
kasih banyak atas bantuanmu, Sensei.....”
Dia
membungkuk dengan sopan saat mengatakan hal ini.
Dalam
perjalanan, kami melewati stasiun yang ramai dan menuju ke sekolah bersama-sama.
Cuaca hari ini tidak terlalu bagus. Meski tidak
hujan, awan tebal menggantung di langit dan
menyembunyikan matahari. Kelihatannya hujan bisa turun
kapan saja. Ini baru bulan Mei, tapi mungkin sudah
memasuki musim hujan.
“.....Umm, begini, Sensei.”
Setelah
berjalan beberapa saat, Kurose-san
membuka mulutnya seolah-olah dia mengalami kesulitan berbicara.
“Bukan
hanya hari ini saja aku dilecehkan.”
“Eh?”
“Mungkin
karena aku terlihat seperti gadis pendiam......,
tapi aku sering dilecehkan di kereta sejak dulu.”
Menggigit
bibirnya dengan sedih dan dipenuhi kekesalan,
Kurose-san menatap kakinya dan berkata
dengan pelan.
“Orang hari ini.... telah melakukannya setiap hari
sejak sekitar dua minggu yang lalu....”
“Setiap
hari!?”
Aku meninggikan suaraku karena saking terkejutnya.
Karena
berhimpitan dengan jam masuk sekolah, ada beberapa siswi SMA Seirin yang terlihat di sekitar
situ. Karena sekolah ini ramah, tidak aneh jika melihat siswa dan guru berjalan
bersama saat berangkat. Tapi saat aku berbicara, murid-murid kelas lain yang
berada di dekat situ menatapku dengan tatapan “Ada
apaan?”
“...
Apa itu beneran? Kamu yakin kalau itu benar-benar orang
yang sama?”
Aku
bertanya dengan suara sedikit pelan, dan Kurose-san mengangguk perlahan untuk membalasnya.
“Ada
hari-hari di mana aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi dia selalu memakai jam
tangan yang sama.”
“Begitu
ya...”
Jika dia
bilang begitu, mungkin pasti
memang begitu.
“Bagaimana
kalau kamu coba naik gerbong kereta
yang berbeda?”
“Aku sudah
mencobanya. Tapi tetap saja sama... Aku juga sudah mencoba menggeser jadwal keretaku
sedikit, tapi tetap saja... Lebih dari itu tidak realistis... Aku memang benci
tindakan pencabulan itu, tapi aku takut kalau-kalau dia menungguku di gerbang tiket, jadi belakangan ini aku
selalu merasa was-was setiap pagi.”
“...”
Aku kehilangan
kata-kata melihat sifat bejat si pelaku pencabulan itu. Kalau kamu ingin melakukan hal-hal mesum
pada gadis manis, setidaknya lakukanlah sendiri tanpa mengganggu orang lain. Seperti aku... Argh, aku ini
mengomel apa!
Sambil
menegur diriku sendiri, aku berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk
diucapkan kepada Kurose-san yang mengalami pelecehan seksual di depanku.
“Pelecehan
itu hanya terjadi di dalam kereta dari Stasiun K ke Stasiun O, ya?”
“Ya,
benar.”
“Itu hanya terjadi di pagi hari, ‘kan?”
“Ya.”
“Begitu
ya...”
Setelah
mendengar itu, aku memandang Kurose-san yang berjalan di sampingku.
“Lalu,
apa yang kamu inginkan, Kurose-san?”
“Eh?”
“Maksudku,
apa kamu ingin pelaku itu ditangkap dan dihukum secara sosial, atau cukup jika
tindakan pelecehannya berhenti?”
Kurose-san
tampak sedikit berpikir, lalu menundukkan pandangannya ke arah kakinya sebelum
menjawab dengan penuh pertimbangan.
“...Aku
hanya ingin bisa naik kereta dengan normal.”
“Begitu
ya...”
Kalau
begitu, saranku ini bisa berguna.
“Bagaimana
kalau mulai besok aku menemanimu berangkat sekolah, sama seperti hari ini?”
“Eh?”
“Aku
juga menaiki kereta dari Stasiun K. Hari ini
aku memang keburu-buru, jadi lebih baik naik kereta yang lebih awal...”
“Apa Sensei
yakin...?”
Kurose-san
memandangku dengan mata besarnya.
“Ya.”
Kurasa
dalam satu atau dua minggu, si pelaku pasti akan menyerah dan berhenti
mengganggu Kurose-san. Paling lama juga hanya sampai akhir semester, jadi itu tidak terlalu merepotkan.
“...”
Kurose-san
tidak menjawab untuk beberapa saat.
Saat aku
mulai berpikir bahwa mungkin aku merepotkannya, Kurose-san kembali memandangku.
“...Kahima-sensei, kenapa kamu sampai repot-repot mau
melakukan ini untukku?”
“Eh?”
Wajah
Kurose-san tampak sedikit bermasalah.
Mungkin
saja, pikirku.
Karena dia
selalu mengalami pelecehan seksual, jadi mungkin dia curiga dengan kebaikan
yang ditunjukkan oleh laki-laki dewasa.
“...Karena
kamu adalah murid bimbinganku.”
Oleh karena
itu, aku menjawab dengan nada setenang mungkin.
“Tidak
lebih dan juga tidak kurang dari itu.”
Meski
caraku bicara sedikit dingin, aku hanya ingin menyampaikan fakta agar tidak
salah paham.
Kurose-san
kembali terdiam sejenak.
Lalu,
“.....kasih...”
Aku
hampir tidak bisa mendengar suaranya yang pelan seperti desisan nyamuk. Saat
aku melihat ke arahnya, wajah Kurose-san sedikit merona saat dia menatapku.
“Terima
kasih...banyak...”
Dia
mengatakannya dengan malu-malu.
♧♧♧♧
Keesokan
paginya, kehidupanku sebagai
pengawal Kurose-san di kereta yang penuh sesak pun dimulai.
“Selamat
pagi, Kashima-sensei.”
Setelah
seminggu, Kurose-san menyambutku
dengan senyum yang lebih terbuka.
Mungkin karena dia merasa sungkan denganku,
Kurose-san selalu datang lebih awal dariku. Itu
sebabnya aku mulai
datang lebih awal, dan kadang-kadang aku
bisa naik kereta lebih awal dari jadwalku.
Kami
bertemu di pilar di depan gerbang tiket, di mana orang-orang sedang tersedot
dengan ekspresi suram di wajah mereka, dan kami menuju peron tanpa berkata-kata.
Tetapi
hari ini, aku melihat bahwa
stasiun tampak berbeda dari biasanya.
“Kereta
berikutnya yang tiba saat ini terlambat sekitar tujuh menit karena ada pemeriksaan keamanan yang baru saja dilakukan, dan
telah berangkat dari stasiun N terdekat.”
Petugas
stasiun mengumumkan hal tersebut di
peron. Antrean orang yang menunggu kereta juga lebih padat dari biasanya.
Kereta
pun tiba dan, seperti yang diharapkan, jumlah penumpang membludak.
“....Jadi bagaimana? Apa yang ingin kamu lakukan?”
Ketika aku bertanya kepada Kurose-san yang berada di sampingku, dia menjawabku tanpa ragu-ragu.
“Jika
aku bisa naik, aku akan menaikinya, karena aku merasa tidak enakan jika sensei
terlambat.”
“....Begitu ya. Terima kasih.”
Meskipun
diperkirakan akan terjadi keterlambatan akibat kepadatan, aku membulatkan tekad
dan naik ke dalam kereta.
Kami
hanya bisa masuk dengan susah payah di dekat pintu.
Jumlah
penumpang di kereta ini sangat padat, jadi jika aku hanya berdiri dengan normal, aku akan menempel ke
semua orang di sekitar. Tapi aku adalah pengawal Kurose-san. Kurose-san
bersandar padaku, jadi jika aku menempel, aku bisa dituduh melakukan pelecehan
s*ksual.
Aku
meletakkan kedua tanganku di jendela pintu, mencoba menjaga jarak sekitar satu
jari antara tubuhku dan Kurose-san.
Setiap
kali kereta bergerak, pusat gravitasi penumpang bergeser, dan tekanan yang luar
biasa dapat terjadi. Meskipun
begitu, aku terus berusaha mempertahankan celah berharga itu.
“.....”
Aku tidak bisa melihat ekspresi
Kurose-san. Karena dia
bertubuh pendek di antara gadis-gadis normal,
kepalanya berada di bawah daguku. Sepanjang perjalanan, aroma sampo yang lembut
seperti sabun terus menguar.
Saat
turun di stasiun O, kedua lenganku gemetar. Aku pasti akan merasa sakit otot
besok.
“Kurose-san,
apa kamu baik-baik saja?”
“Ya.”
Saat aku bertanya padanya di peron, Kurose-san mengangguk
dan tersenyum padaku. Entah kenapa, dia
terkikik geli.
“...Sensei,
kamu berkeringat banyak sekali.”
“Eh...?”
Aku memang
menggunakan banyak tenaga, jadi kupikir wajar jika aku berkeringat.
“Tunggu
sebentar.”
Nada
bicaranya yang biasanya sopan berubah menjadi lebih santai, membuatku sedikit
terkejut.
Dia
mencari-cari sesuatu di tasnya, lalu
mengeluarkan saputangan bermotif bunga. Dengan berjinjit, dia mengusap keringat di dahiku.
Kurose-san
tersenyum lembut penuh kasih.
“...Ya, sudah kering.”
“Te-Terima kasih.”
Senyumnya
yang dipenuhi kehangatan membuatku merasakan debaran aneh di dada. Itu
mengingatkanku pada saat Shirakawa-san mengelap wajahku dengan handuk bergambar
Osausa.
Meskipun
kembar dua itu tidak terlalu mirip secara fisik, ekspresi mereka kali ini
tampak serupa.
“Sama-sama,
Kashima-sensei.”
Dengan
senyum penuh keramahan
dan rasa terima kasih, Kurose-san membungkuk padaku.
“Kalau
begitu, sampai nanti.”
Lalu
Kurose-san berjalan mendahului di peron pagi itu.
Beberapa
hari terakhir, Kurose-san berkata bahwa sebaiknya kami tidak berangkat
bersama-sama karena terlihat aneh, jadi kami berpisah di stasiun O.
“....Ah.”
Setelah
berjalan beberapa langkah, Kurose-san menoleh ke arahku.
“Terima
kasih banyak untuk hari ini juga.”
Dia
membungkuk sambil mengucapkan itu,
dan rambut hitamnya yang bergerak cepat membuatku tidak bisa melihat
ekspresinya dengan jelas. Lalu dia
menghilang dalam keramaian.
“...Padahal
baru saja dia
mengucapkan terima kasih.”
Aku
berpikir bahwa sifat Kurose-san yang sangat sopan dan taat merupakan ciri khas dirinya.
♧♧♧♧
Beberapa
hari kemudian, hal itu terjadi.
“Aku merasa
pengawalannya cukup sampai hari ini saja. Terima kasih banyak,” kata Kurose-san dengan tenang
saat kami bertemu di depan gerbang masuk stasiun.
“Eh,
benarkah?”
Padahal
belum ada dua minggu sejak aku mulai menemaninya.
“Ya.
Kalau tidak dicoba, aki takkan
tahu apa aku bisa baik-baik saja.”
“Benar
juga...”
Sejak aku
menemaninya, insiden pelecehan seksual memang tidak lagi terjadi, jadi apa yang
dikatakan Kurose-san memang benar.
“Apa
kamu tidak merasa cemas?”
“Aku memang
masih merasa cemas dan was-was, tapi aku tidak bisa terus-menerus
merepotkan Sensei. Aku harus
mencoba berjalan sendiri.”
Semua yang
dikatakan Kurose-san memang masuk akal.
“Baiklah,
jadi hari ini yang terakhir ya.”
Saat aku
mengatakannya, ekspresi Kurose-san sesaat berubah menjadi sedikit sedih.
“...Ya.”
Dengan
nada sedikit murung, Kurose-san mengangguk.
Tapi itu
hanya sesaat, jadi mungkin
aku cuma salah lihat.
Jumlah
penumpang yang naik ke dalam gerbong dari
stasiun K kembali padat hari ini juga.
Menurutku, posisi
terbaik untuk berdiri di kereta yang penuh sesak adalah di tengah lorong yang
diapit oleh kursi-kursi panjang. Karena ada orang duduk di kedua sisi,
penumpang lain cenderung segan untuk memberikan tekanan. Kepadatannya juga
biasanya tidak terlalu tinggi dibandingkan dekat pintu.
Sebaliknya,
dekat pintu terkadang bisa terjadi tekanan yang luar biasa. Makanya biasanya
aku berusaha menghindarinya. Tapi terkadang kamu
tidak bisa masuk ke bagian tengah.
Hari ini
pun seperti itu. Aku terdorong ke dekat pintu di sisi yang berlawanan, dan aku
tidak bisa bergerak karena desakan penumpang di belakangku.
Untuk
menghindari kontak langsung dengan Kurose-san, aku memintanya berdiri di sudut
pintu, sementara aku sendiri berdiri berhadap-hadapan dengannya, menyangga
diriku dengan siku di jendela dan dinding. Ini kembali menjadi perjalanan
dengan pasti merasakan sakit otot besok.
Posisi ini
bisa menahan tekanan dari belakang, tapi goyangan ke arah maju-mundur karena
gaya gravitasi masih sulit diatasi karena aku tidak bisa berpegangan pada
apapun.
Yah, jika
sejak awal aku sudah
menjaga pusat gravitasiku di
depan, biasanya aku tidak
akan terlalu goyah.
Itulah
yang kupikirkan.
Apa
masinisnya adalah karyawan baru? Hari ini gerbong keretanya berguncang cukup sering.
Selain itu, pintu tempat
kami tumpangi berada dekat dengan sambungan antar-gerbong, yang memang sudah rawan terhadap guncangan.
Saat guncangannya semakin membesar, aku hampir merasa kalau tubuhku akan
terbawa ke belakang.
“Uwah”
Aku menjerit
kecil dan mencoba memperbaiki kembali posisi
tubuhku.
“...!?”
Tiba-tiba
Kurose-san melingkarkan tangannya di
pinggangku dan memegangi tubuhku.
Berkat
itu, aku bisa tetap berdiri di tempat tanpa terlalu goyah.
Tapi
bahkan setelah aku berhasil
memperbaiki posisiku kembali,
Kurose-san masih memeluk pinggangku.
“...Te-Terima kasih.”
“...Sama-sama”
Dia
menjawab dengan suara kecil Ketika aku mengucapkan terima kasih.
Kurose-san tidak bergerak dari
posisinya.
Bahkan
saat kami tiba di stasiun berikutnya, Kurose-san masih memelukku dan menenggelamkan wajahnya di
dadaku
Jika dilihat
dari sudut pandang orang-orang di sekitar,
kami pasti terlihat seperti
sepasang kekasih.
Aku merasa
panik dan melihat sekeliling apakah ada orang-orang dari SMA Seirin yang menaiki kereta ini juga.
“...Kurose-san? Ak-Aku sudah tidak apa-apa kok...”
“Tapi
aku khawatir kalau guncangannya terjadi lagi. Jadi aku akan tetap menahanmu, Sensei.”
Kurose-san menjawab sambil tetap
memelukku.
“Karena ini
yang terakhir...”
Walaupun
wajahnya tidak terlihat, tapi dari kekuatan pelukannya dan gerakan menekan
pipinya di dadaku, aku bisa merasakan kesedihan dalam
dirinya. Aku jadi
tidak bisa berkata apa-apa.
Wangi
sampo Kurose-san
tercium semakin kuat. Aku bisa
merasakan lembut tubuhnya di perutku yang mana
membuatku geli.
Aku ingin
menghindari reaksi yang tidak disengaja, jadi terkadang aku membayangkan wajah
ibuku dan berusaha mengalihkan pikiranku dari Kurose-san di depanku sampai aku
tiba di Stasiun O.
Walaupun itu
hanya berlangsung beberapa menit, tapi saat tiba di stasiun O,
aku merasa benar-benar kelelahan. Rasanya seperti sudah
menghabiskan energi mental seharian penuh.
Begitu
pintu terbuka di stasiun O, Kurose-san
melepaskan pelukannya dari tubuhku.
Ketika kami
turun dan berdiri berhadapan di peron, barulah aku bisa melihat wajahnya.
Pipinya terlihat memerah dan dia menunduk karena malu.
“...Terima
kasih banyak.”
Setelah mengucapkan
itu, Kurose-san kemudian berbalik dan berjalan pergi.
“.....”
Aku
tidak bisa menjawab apa-apa karena aku
bisa merasakan perasaannya kepadaku
dari sikapnya.
Pada saat
yang sama, sensasi lembut dan kehangatan tubuhnya yang baru saja kurasakan kembali muncul, membuatku
merasakan panas di tengah tubuhku.
Tidak
mungkin! Gadis cantik seperti itu! Jangan salah
paham dulu, dasar perjaka!
Aku segera memarahi diri sendiri, dan berusaha mengalihkan pikirannya,
lalu berjalan menuju gerbang tiket.
Aku bahkan
secarab mental memukul diriku sendiri ketika masih bahkan
sempat mencium samar-samar sisa wangi Kurose-san
di sekitarku.
♧♧♧♧
Meskipun
tugasku sebagai pengawal sudah selesai, aku
masih sering melihat Kurose-san
saat berangkat sekolah.
Suatu
pagi, saat aku berjalan
menaiki lereng bukit menuju sekolah, aku melihat Kurose-san dan Tanikita-san di depan.
Yang
pertama kali membuatku terkejut
setelah bekerja di sini adalah, ternyata sekolah perempuan tidak terlalu
hirarkis seperti yang dibayangkan.
Bayangan
tentang komunitas perempuan yang penuh intrik seperti “Ooku” ternyata tidak sepenuhnya benar.
Tanpa adanya laki-laki yang memperebutkan, komunitas sesama perempuan cenderung
lebih damai.
Dan suasana di kelas A kami memang terasa
sangat tenteram, salah satunya karena keramahan Shirakawa-san yang pasti akan
menjadi pemimpin di kelas campuran.
“Selamat
pagi!”
Aku
mendengar suara yang aku kenali
dari belakang, dan saat menoleh, aku melihat ada
Shirakawa-san di sana.
Shirakawa-san
menyapa dua murid kelas A yang berjalan di depan. Mereka berdua murid yang
rapi, dengan rambut hitam diikat satu dan wajah tanpa riasan, sesuai aturan sekolah.
“Selamat
pagi, Shirakawa-san.”
“Selamat
pagi.”
Kedua
murid itu menjawab Shirakawa-san dengan ekspresi ceria. Melihat mereka yang
terlihat sangat hidup, berbeda dengan saat di kelas, aku bisa merasakan seberapa besar kepopuleran
Shirakawa-san.
“Hei,
dengarin deh, tadi pagi aku membuat telur
mata sapi sendiri loh!”
Shirakawa-san
pun mulai bercerita, berjalan beriringan
dengan mereka berdua.
“Karena aku
masih mengantuk, jadi aku malah membuang isi telurnya ke wastafel dan hanya
memanggang kulitnya di wajan!”
“Apa,
serius!?”
“Kok
bisa begitu!?”
“Iya,
tadi pagi aku melakukannya!”
“Lalu
gimana dengan telur mata sapinya?”
“Aku
buat lagi pakai telur kedua! Aku nggak bisa
memberitahu nenekku,
nanti aku dimarahi!”
“Astaga,
lucu banget!”
“Shirakawa-san,
kocak deh!”
Mereka
pun tertawa lepas mendengar cerita Shirakawa-san. Jika ada orang lain yang tak
kenal melihat mereka saat ini, pasti akan mengira mereka adalah teman dekat
yang selalu bersama.
Aku
yang diam-diam mengamati mereka dari belakang, tiba-tiba pandangan mataku bertemu
dengan Shirakawa-san.
“Ah,
Kashima-sensei! Selamat pagi!”
Shirakawa-san
menyapaku dengan senyum lebar dan
melambaikan tangannya.
Kedua
murid yang bersamanya juga menyadari keberadaanku
dan menyapa, “Selamat
pagi.”
“Selamat
pagi.”
Aku
berbalik untuk memberi salam kepada mereka
bertiga, lalu berbalik menghadap ke depan.
Dan aku
merasakan sakit yang menusuk dadakku.
... Aku bukanlah orang yang
istimewa.
Shirakawa-san ramah kepada semua orang dan
disukai oleh semua orang.
——Aku
ingin berpacaran dengan pria seperti Profesor Kashima-sensei.
——Jika itu
Kashima-san, aku tidak keberatan jika kamu yang melihatnya.
Hanya karena
dikatakan hal seperti itu, perasaan suka yang tersimpan di suatu tempat sedikit
layu dan terasa menyedihkan. Dan
aku merasa sangat malu dengan diriku sendiri, bertanya-tanya apa yang
kupikirkan tentang murid-muridku sendirri.
Lalu,
sosok Kurose-san yang
berjalan di atas bukit masuk ke dalam pandanganku.
Mengingat
kehangatan yang kurasakan saat dia memelukku.... aku cepat-cepat
menggelengkan kepala, berusaha menenangkan tubuh dan hatiku yang mulai memanas.
Dua saudari
gadis cantik itu terlalu bersinar bagiku.
♧♧♧♧
Setelah
selesai menjadi pengawal Kurose-san,
aku kembali menjalani
kehidupan sehari-hariku sebagai pria
yang tak kasat mata.
“Yay,
aku berhasil tepat waktu untuk pelajaran pertama!”
Suatu
hari, saat aku sedang mengajari
pelajaran Bahasa Jepang untuk kelas A,
Tanikita-san masuk ke dalam kelas dengan
tergesa-gesa.
“Kamu telat tahu.”
“Sayang
sekali, Akari.”
Yamana-san dan Shirakawa-san mengomentarinya
dari tempat duduk mereka.
Tanikita-san adalah salah satu murid paling
unik di geng gadis gyaru.
Meskipun tubuhnya kecil, dia memiliki energi yang besar dan selalu menjalani jalannya
sendiri, tidak peduli dengan belajar, dan selalu sibuk mendukung idolanya.
Mendengar
perkataan teman-temannya, Tanikita-san
menatapku yang berada di depan meja guru.
“Lho,
bukannya masih ada Kashima-sensei. Berarti
sekarang masih jam wali kelas, dong?”
“Sekarang
sudah jam pelajaran Bahasa Jepang di jam pertama, tau.”
Setelah
diingatkan oleh Yamana-san, Tanikita-san sepertinya baru mengerti.
“Oh
begitu, yah sudahlah.”
Setelah
mengatakan itu, dia lalu
duduk di tempat duduknya.
“Tadi
pagi di kereta aku kena pelecehan s*eksual,
tapi aku berhasil menangkapnya. Istrinya datang ke ruang petugas dengan kue,
lalu kami berdamai dan aku dapat uang
kompensasi 500.000 yen*!” (TN: Sekitaran 52 juta
rupiah)
“Apa, itu beneran? Wow! Kalau aku juga
kena pelecehan, aku juga akan menangkapnya!"
Bukan
hanya Yamana-san, tapi semua orang di kelas pun kaget dengan ucapan lugas
Tanikita-san.
"Tapi,
uangnya disita ibu. Ketika aku mengatakan
kepadanya 'Itu kan hasil kerjaku, jadi berikan padaku'
dia malah bilang ‘itu sama sekali tidak penting, lain
kali jangan melakukan hal berbahaya seperti menangkap pelaku pelcehan seksual
sendirian!’ dan aku
dimarahi habis-habisan. Menyebalkan sekali!”
Tanikita-san terlihat tidak puas.
“Tapi perkataan ibumu memang benar sih!”
“Akari
keren banget!”
“Apa
kamu nggak takut?”
“Aku
bahkan tidak bisa bilang 'Tolong jangan!'”
Di
sekolah perempuan, sekitar setengah tahun sekali, biasanya ada satu atau dua
murid yang berhasil menangkap pelaku pelecehan se*ksual
dan menjadi pahlawan di kelasnya. Meskipun sepertinya banyak murid yang pernah
mengalami pelecehan, namun bagi siswi SMA untuk menangkap dan melaporkan orang
dewasa sepertinya memiliki hambatan yang cukup tinggi.
“Wah,
bagaimana kamu menangkapnya? Coba contohkan
dong!”
Seorang gadis berkata sambil memeluk Tanikita-san dari belakang. Meskipun
tingginya biasa saja, tapi karena Tanikita-san bertubuh kecil, jadi pelukannya dari
belakang seperti benar-benar memeluknya.
“Lho,
kok meluk dari belakang sih?”
Tanikita-san memprotes, dan semua tertawa.
“Wah,
aku mau coba juga dong!”
Shirakawa-san berseru, lalu menggantikan murid
itu memeluk Tanikita-san
dari belakang.
“Lho,
ini sih sama saja kali!”
“Hahaha!”
Shirakawa-san tertawa sambil melingkarkan
lengannya di depan dada Tanikita-san.
“Akari,
kamu imut banget! Pelukannya enak banget!”
“Nah
Akari, sini duduk di pangkuanku!”
Yamana-san yang duduk di kursinya
menepuk-nepuk pahanya, memanggil Tanikita-san.
“Lho,
apa-apaan ini! Udah nggak ada hubungannya sama masalah
pelecehan!”
Meskipun memprotes, Tanikita-san masih menuruti untuk duduk di
pangkuan Yamana-san.
“Baiklah,
ayo pakai sabuk pengamannya.”
Yamana-san melingkarkan tangannya di
sekitar perut Tanikita-san sambil
berkata demikian.
“Oke,
berarti sekarang kita naik mobil ke sekolah ya? Lho, kok jadi begitu?”
Tanikita-san membalas, dan kelas pun kembali
tertawa.
Sambil
memperhatikan semua itu, dalam hati aku berdebar-debar. Jarak fisik antara
murid-murid di sekolah perempuan terlalu dekat. Meskipun kita melihat idola
perempuan tampak bersahabat,
kita cenderung berpikir “itu hanya
bagian dari bisnis”. Tapi di
sini ada taman bunga wanita yang nyata.
“Baiklah,
nanti saja kita mendengar
cerita Tanikita-san, sekarang semua kembali ke
tempat duduk masing-masing. Ini masih jam pelajaran.”
Aku
berkata sambil diam-diam melirik Kurose-san.
Kurose-san tetap fokus pada buku pelajaran
Bahasa Jepang, seolah tidak terjadi apa-apa.
Di dunia
ini, ada berbagai macam gadis.
Sama
seperti ada berbagai macam laki-laki.
Hal itu
baru kuketahui setelah menjadi guru di sekolah perempuan, sebagai seseorang
yang tidak populer.
Di
pelajaran Bahasa Jepang saat ini, kami sedang membahas novel ‘Kokoro’ karya Natsume Soseki.
Aku tidak
perlu menjelaskannya lagi, tapi novel ‘Kokoro’ adalah novel yang berlatar
belakang Jepang era Meiji, yang terdiri dari tiga bagian — 'Sensei dan Aku',
'Orang Tua dan Aku' dan 'Sensei
dan Wasiat' —
dan bagian terakhir, 'Sensei
dan Wasiat',
biasanya ditemukan di buku-buku pelajaran sekolah SMA.
Di sana
tertulis isi surat wasiat yang diterima oleh “Aku”,
si narator, dari sosok yang dipanggilnya “Sensei”.
Garis besar ceritanya adalah ketika ‘Sensei’
yang masih muda dan sahabatnya ‘K’ terlibat dalam segitiga cinta
dengan putri pemilik tempat kos mereka, ‘Nona muda’, ‘Sensei’ yang gelisah akhirnya
berhasil meminang ‘Nona muda’ melalui sebuah tipu daya, dan
setelah mengetahui hal itu, ‘K’ bunuh diri.
Novel
modern bergenre klasik dengan bahasa yang formal ini seharusnya sulit dijangkau
oleh remaja saat ini. Namun, karena temanya tentang cinta dan berisi hubungan
segitiga antara teman dekat, sepertinya cukup relevan dan menarik bagi siswi
SMA.
“Baiklah...”
Aku berkata
sambil menulis kalimat di papan tulis dengan kapur.
“Mengapa
di sini si 'Sensei'
berkata kepada 'K' bahwa 'mereka yang tidak berambisi secara mental adalah orang bodoh'?”
Ketika ajy mengajukan pertanyaan seperti
ini, hanya sekitar 20% siswa di kelas yang menatapku.
Dan di antara mereka adalah Shirakawa-san.
Tumben sekali,
pikirku.
Selain
itu, aku merasa ekspresinya dipenuhi dengan aura panas
yang biasanya tidak terlihat pada dirinya,
jadi aku tanpa sadar memanggilnya.
“Shirakawa-san,
apa kamu memahaminya?”
Shirakawa-san tampak terkejut ketika namanya dipanggil. Dia
dari tadi memperhatikanku, jadi aku heran mengapa dia begitu kaget. Biasanya
murid yang tidak ingin diketahui gurunya akan berusaha mengalihkan pandangannya.
“Eh?
I-Iya...”
Meski dia terlihat sedikit gugup, Shirakawa-san membuka mulutnya.
“Karena 'K' ingin menyerah kepada ‘Nona Muda’ ?”
Karena jawabannya benar, jadi aku merasa terkagum sembari berpikir, “Ternyata dia memperhatikan pelajarannya
dengan baik.”
“Begitu
ya. Lalu, mengapa 'Sensei'
ingin 'K' menyerah pada perasaan
cintanya terhadap 'Nona Muda'?”
“Eh?
Umm... itu karena 'Sensei'
juga menyukai 'Nona Muda'?
Karena ia...cemburu?”
“Lalu,
mengapa kamu berpikir bahwa kata-kata itu akan membuat 'K' menyerah pada 'Nona muda'?”
Wajah
Shirakawa-san semakin
tidak yakin saat aku menanyainya lebih lanjut.
“Umm...
karena dulu 'K' pernah mengatakannya sendiri?”
“Benar sekali.”
Aku tidak
ingin bertanya lebih lanjut karena merasa kasihan
padanya, jadi aku beralih ke papan tulis.
“Mungkin
bagi orang-orang saat ini, 'cinta' dianggap sebagai sesuatu yang dapat membantu
diri mereka berkembang dan menjadi lebih baik. Jadi, cara berpikir 'K'
ini mungkin tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang.”
Meskipun
aku termasuk ‘orang-orang
saat ini’ dan
tidak berpikir bahwa cinta merupakan sebuah
halangan, tapi
aku sendiri penasaran kenapa aku masih
lajang sampai sekarang.... Aku
merasa galau sendiri sambil menulis di papan tulis.
“Yang
perlu diperhatikan di sini adalah bahwa 'K' adalah 'putra pendeta'. Dalam
ajaran Buddha, bagi laki-laki, jatuh cinta pada wanita dianggap sebagai
penghalang dalam latihan spiritual. Meskipun keluarga 'K' berasal dari aliran Jodo Shinsu yang memperbolehkan
pernikahan, sensei menulis
bahwa 'K' secara pribadi memiliki prinsip yang tidak setuju dengan hubungan
laki-laki dan perempuan. Bagi 'K', berfokus pada studi dan latihan
spiritual adalah 'gaya hidup yang memiliki semangat untuk memperbaiki diri'.”
Setelah
selesai menulis di papan tulis,
aku menoleh ke belakang dan banyak murid
tampak bingung. Sepertinya memang ada kesenjangan pemahaman di sini.
“...Sensei.”
Lalu aku mendengar suara, dan melihat Kurose-san mengangkat tangannya. Meskipun
Kurose-san adalah murid berprestasi yang
biasanya menjawab pertanyaan dengan benar jika aku bertanya, jarang sekali dia
mengangkat tangan sendiri.
“Ada
apa, Kurose-san?”
Saat aku
bertanya kepadanya, Kurose-san
membuka mulutnya dengan sedikit ragu-ragu.
“...Tapi,
bagaimana jika meski kita
menyadari bahwa itu salah, tapi kita masih tetap jatuh
cinta? Apa yang harus kita lakukan?”
Pertanyaannya
terdengar seolah-olah dia sendiri berada dalam situasi itu dan meminta bantuan.
Sepertinya
para siswa yang lainnya juga
berpikiran sama, dan terdengar
suara-suara gurauan yang tidak biasa terdengar saat pelajaran.
“Hah!?
Apa kamu punya seseorang yang kamu suka, Marimero!? Siapa dia? Beritahu kami dong!”
"Aku
juga kepo, nih!”
“Apa
ini cinta terlarang?”
“Apa
dia tampan?”
“Karena
Marimero yang jatuh cinta duluan, pasti dia laki-laki yang setara
dengan harta nasional!”
“Wah,
aku ingin melihatnya! Apa kamu punya
fotonya?”
Di sekolah
perempuan seperti ini, karena jarang ada laki-laki, mendengar gosip teman yang
sedang jatuh cinta membuat mereka antusias luar biasa.
Di tengah
kelas yang menjadi berisik, aku...
——Karena ini
adalah yang terakhir...
Mengingat
sensasi saat Kurose-san
memelukku di kereta yang penuh sesak dan tidak mau melepaskanku.
——Terima
kasih.
Jantungku
berdebar-debar ketika aku mengingat wajahnya saat dia
mengatakan hal itu dengan pipinya yang memerah karena malu.
Mana mungkin, itu mustahil...
Memang
benar, aku adalah guru, dan Kurose-san
adalah muridku... Dari sudut pandang sosial,
aku adalah seseorang yang seharusnya tidak boleh dia sukai.
“...”
Kurose-san hanya diam saja dan tampak kesulitan menghadapi rentetan pertanyaan teman-temannya.
Pada saat
itu, aku tiba-tiba merasakan seseorang menatapku, dan ketika aku melihat,
mataku bertemu dengan mata Shirakawa-san. Dia tidak
melihat ke arah Kurose-san,
melainkan ke arahku, dan pandangannya dipenuhi oleh kekhawatiran yang tak
terjelaskan.
Lalu aku
tersadar.
“Hei,
kita masih dalam pelajaran! Semua diam!”
Aku
menyadari aku bukanlah guru yang berwibawa, tapi para siswa pada dasarnya
adalah anak-anak yang baik, jadi pertanyaan mereka pada Kurose-san terhenti sejenak.
“...Baik.
Jadi, pertanyaan Kurose-san tadi.
Ini tentang 'K', ‘kan?”
Aku bertanya
balik meski diam-diam hatiku berdebar-debar, dan Kurose-san mengangguk pelan dengan wajah
memerah.
Berusaha
untuk tidak memikirkannya terlalu jauh, aku mengalihkan pandanganku ke buku pelajaran di atas meja.
“Apa yang
harus dilakukan 'K' walaupun ia
menyadari bahwa itu
salah, tapi ia tetap
jatuh cinta...?”
Meskipun
pengalaman cintaku sendiri sangat menyedihkan, sebagai guru Bahasa, aku mencoba
membahas isi materi.
“Tidak
hanya 'K', kebanyakan orang memang cenderung mengejar idealisme mereka ketika mereka maish muda. Seperti
misalnya, waktu kecil ingin menjadi idol atau youtuber terkenal, tapi
kebanyakan orang setelah dewasa akan melihat realita dan memilih jalan yang
lebih mungkin terwujud.”
Entah
karena siswa merasa geli karena mengingatkan mereka dengan impian masa kecil mereka, ada
beberapa siswa yang menunjukkan senyum masam di wajah mereka.
Sudah lebih dari 2 tahun aku mengajar di sekolah perempuan ini, jadi aku tidak
terlalu terkejut lagi. Aku lalu
melanjutkan.
“'K'
memang memegang teguh idealismenya
untuk menjalani kehidupan yang mulia,
tapi itu sebenarnya adalah jalan yang
terkesan naif dan terasing dari dunia nyata. Tetapi kali ini, untuk pertama
kalinya, 'K' serius jatuh
cinta dengan seorang wanita dekat dengannya. Hal ini membuka pilihan untuk 'menjadi
dewasa' - yaitu mewujudkan cintanya dan memiliki keluarga, yang merupakan
jalan hidup biasa dan realistis. 'Sensei'
melontarkan kalimat sebelumnya untuk mengambil
pilihan itu dari 'K'.”
Mungkin karena alur
pembicaraanku yang
agak santai, murid-murid tampak cukup antusias mendengarkan.
“'K'
yang dicegah dari jalan cintanya,
tentu tidak akan bisa menyerah dengan mudah. Dan perkembangan selanjutnya...
Kamu pasti sudah tahu karena membaca keseluruhan ceritanya. 'K' mendengar
kabar pernikahan 'Guru' dan 'Nona muda',
lalu ia bunuh diri. 'K' yang baru mengenal cinta, tidak bisa lagi hidup
dengan tulus dan tekun seperti dulu, tapi juga tidak bisa mewujudkan cintanya.
Hal inilah yang sepertinya mendorong 'K' untuk memutuskan bun*h diri.”
Aku terus
menjelaskan sambil memasukkan beberapa pendapat pribadiku.
“Secara
pribadi, aku
berpendapat bahwa 'K' seharusnya memiliki cara berpikir yang lebih fleksibel
untuk bisa bertahan hidup. Tapi memang itulah dia. Jadi, jika aku harus menjawab pertanyaan Kurose-san, mungkin yang paling
mendasar adalah 'Jangan berpikir
kalau jatuh cinta itu salah'.”
Kurose-san
mendengarkanku sambil melirik sekilas ke arahku.
“Untungnya,
zaman sekarang tidak banyak orang yang berpikir seperti 'K' untuk menghindari
cinta. Memang ada batasan-batasan sosial dan moral tentang 'pasangan yang
tidak boleh didekati', tapi selama hanya dalam tahap perasaan, sebenarnya itu masih bebas. Permasalahan baru
muncul jika ingin mewujudkannya dan berbenturan dengan aturan nyata.”
Sebagai
orang yang belum pernah benar-benar berniat mewujudkan cinta, aku merasa cukup yakin dengan pandangan
ini.
Perasaan
yang sedikit kumiliki terhadap Shirakawa-san dan Kurose-san pasti akan berlalu
begitu saja jika aku tidak melakukan apa-apa seperti biasa.
“Tapi,
Sensei.”
Pada saat
itu, Yamana-san angkat bicara. Kejadian
tersebut lebih jarang terjadi dibandingkan Shirakawa-san.
Mungkin
karena sedang dalam jam pelajaran,
dia memanggilku 'Sensei'.
“Kalau
kita benar-benar jatuh cinta, kita ingin mewujudkannya, ‘kan?”
Yamana-san
tetap dalam pose malasnya seperti biasa, tapi posturnya terlihat condong ke
depan.
Lalu,
Tanikita-san yang duduk di dekatnya
menatap Yamana-san dengan menggoda.
“Ah,
Nikorun, kamu pasti
membahas soal Sekiya-sensei, ‘kan?”
“Hah?!
Jangan mengatakan itu di depan Kasima dong! Jangan mengada-ada kau, Akari!”
Wajah
Yamana-san seketika berubah merah
padam saat membalas perkataan Tanikita-san.
...Yah,
aku sudah tahu itu bahkan tanpa diberitahu Tanikita-san.
Aku
mengomentari itu di dalam hatiku.
“...Memang
begitu, ya,”
Aku
membuka mulut untuk meredam kelas yang mulai ramai.
“Itulah
bagian yang tersulitnya.”
Aku
tersenyum hambar untuk mengaburkan semuanya, lalu menyadari sesuatu.
Dan aku
teringat akan profil samping Shirakawa-san yang pernah kulihat.
——Aku
tidak mengerti apa itu cinta...
Aku pun
sama seperti Shirakawa-san.
Aku hanya
selalu melihat gadis-gadis manis tanpa
pernah melakukan apa-apa.
Aku
bahkan belum pernah merasakan dorongan naluriah untuk berbuat sesuatu.
Mungkin
aku belum pernah mengalami cinta yang sebenarnya.
Aku
melirik ke arah Shirakawa-san.
Dia masih
terlihat cemas.
Sementara
itu, Kurose-san menatap titik di mejanya dengan raut muka yang tampak sedang
memikirkan sesuatu.
♧♧♧♧
Saat jam
istirahat siang, setelah makan siang, aku sedang bekerja di ruang guru di kursi
kerjaku, lalu tiba-tiba
ada suara yang kukenal memanggilku.
“Kashima-sensei!”
Di ruang
guru, area dekat pintu masuk dan lemari semacam meja konter dapat diakses bebas
oleh murid-murid.
Saat aku
menoleh, aku melihat
Shirakawa-san sedang berdiri
di depan meja konter tersebut.
“...Iya, ada apa?”
Aku
berdiri dari tempatku dan menghampirinya.
Meski
hatiku berdebar-debar, aku berusaha menyembunyikannya dengan merespons dengan
wajah datar dan dingin.
“Sensei,
boleh aku bertanya sesuatu?”
Dipandang
dengan tatapan memohon dari wajah cantik gadis itu dari balik meja konter membuat wajahku semakin tegang.
“...Kamu mau menanyakan apa?”
“Bahasa
Jepang! Ada yang tidak kumengerti di pelajaran tadi.”
Memang
benar, Shirakawa-san membawa buku pelajaran Bahasa Jepang.
“...Ada apa memangnya? Rajin
sekali belajarnya.”
Tanpa
sadar aku berkomentar. Ujian akhir semester masih sebulan lagi, tapi kebanyakan
murid masih santai. Apalagi, biasanya Shirakawa-san bukan tipe murid yang tekun
mengikuti pelajaran.
Jangan-jangan,
dia mencari alasan untuk bicara denganku...? Aku
cepat-cepat menepis pikiran itu.
“E-Eh,
memang begitu ya? Tapi kan, kalau ada yang tidak paham, harus segera tanya,
nanti lupa bagian mana yang tidak dimengerti!”
Wajah
Shirakawa-san tampak gugup dan memerah, Sebagian
wajahnya ditutup oleh buku pelajarannya.
“...Yah,
memang benar juga. Lalu, bagian mana yang tidak kamu mengerti?”
Aku
bertanya dengan wajah datar meski hatiku berdegup kencang.
“U-Uh...”
Shirakawa-san
membuka halaman buku di depan dadanya.
Celah di
antara kancing seragamnya yang terbuka membuat belahan dadanya terlihat,
membuatku gelagapan dan mengalihkan pandanganku.
“'K'
berniat bunuh diri, ‘kan...?
Menurutmu, apa yang seharusnya 'Sensei'
lakukan agar 'K' tidak mati?"
Aku
terheran-heran. Ekspresi
Shirakawa-san tampak lebih serius dari sekadar penghayatan terhadap cerita
fiksi yang dibacanya.
“Hmm,
biar kupikirkan dulu...”
Sebagai
guru yang bertanggung jawab, aku merasa
senang muridku menunjukkan ketertarikan dengan sudut pandang seperti itu.
“Menurut Shirakawa-san sendiri, apa yang
seharusnya dilakukan ‘Sensei’?”
Ketika
aku bertanya, ekspresi wajahnya terlihat
kebingungan.
“Aku
datang ke sini ‘kan untuk
bertanya pada Sensei karena aku tidak mengerti.”
“Memang
benar sih, tapi...”
“Maksudku, orang yang lebih dulu menyukainya adalah 'Sensei', ‘kan?
Kalau saja 'Sensei' tidak ragu-ragu dan langsung menyatakan perasaannya kepada ‘Nona muda’,
pasti sudah ada ending yang bahagia sebelum 'K' datang, ‘kan? Tapi yah, meskipun begitu,
kenyataannya 'Sensei' masih ragu-ragu, jadi tak ada yang bisa dilakukan
lagi. Ah, tapi ini kan cerita fiksi, bukan kenyataan.”
Shirakawa-san
tampak ragu-ragu mengajukan pertanyaan kepada guru yang tidak terlalu dekat dengannya.
“Tapi
'Sensei' mencintai 'Nona muda',
tapi kupikir ia juga
peduli kepada 'K' karena ia adalah sahabat baiknya yang
sangat berharga, jadi 'Sensei' tidak ingin 'K' meninggal. Mungkin karena
itulah 'Sensei' jadi depresi setelah ‘K’
meninggal.”
Shirakawa-san
berbicara seakan-akan dia
benar-benar ingin menemukan jalan untuk menyelamatkan 'Sensei' dan 'K'.
Oleh karena
itu, aku juga berpikir serius.
“...Yah,
memang. Tapi melihat kepribadian 'Sensei', menurutku sulit baginya untuk
langsung menyatakan perasaannya.
Dan... pilihannya untuk buru-buru menikahi 'Nona muda' untuk mengecoh ‘K’ juga
jadi masalah."
“Loh,
jadi biarpun ia mengetahui kalau 'K'
juga menyukai ‘Nona muda’, jadi ia seharusnya diam saja? Nanti
kalau 'Nona muda'
dan 'K' jadi saling menyukai bagaimana?”
“Jika
melihat kesimpulannya
saja sih memang begitu, tapi kenyataannya 'Nona muda' lebih menyukai 'Sensei'
daripada 'K'. Kalau 'Nona muda'
hanya seorang gadis yang bisa berubah hati dengan mudah, mungkin sebaiknya 'Sensei'
mencari cinta yang baru saja. Karena masih
ada banyak wanita lain selain 'Nona muda'
di dunia ini, ‘kan?”
“Eeh!”
Di situ,
Shirakawa-san mengeluarkan suara protes yang sangat keras. Guru lain yang duduk di dekat kami bahkan
menoleh ke arah kami.
“Aku tidak
sependapat dengan itu! Kalau sampai
berpikiran begitu,
itu bukan cinta sejati. Tadi Nikoru
juga bilang, ini kali pertama dia
jatuh cinta dengan serius. Sahabatnya sendiri juga menyukai orang yang sama,
tentu saja dia kebingungan harus bagaimana...”
Suara
Shirakawa-san semakin mengecil, dan akhirnya dia
terdiam dengan wajah putus asa.
Melihatnya,
aku jadi merasa tertekan.
“...Kedengarannya seolah-olah kamu menjadi seperti 'Sensei',
Shirakawa-san.”
Saat aku dengan jujur mengatakannya,
Shirakawa-san menatapku dengan terkejut, lalu wajahnya memerah seperti meledak.
Dan
seolah-olah ingin menutupinya, ekspresi wajahnya mendadak berubah
menjadi merajuk.
“Sudah
cukup! 'Sensei' sama sekali tidak mengerti soal cinta, tahu!”
Melihat
profil wajahnya yang cantik itu berpaling dariku, aku kembali teringat akan
ucapannya sebelumnya.
“...Bukannya kamu
sendiri juga tidak mengerti?”
Shirakawa-san
tampak terkejut sejenak, lalu melirikku dengan canggung dan kembali
memperlihatkan wajah sampingnya.
“...Memang, sih”
Dia berkata
dengan cemberut.
“Tapi
akhir-akhir ini, aku
mungkin mulai sedikit... memahaminya...atau mungkin tidak....”
Aku
mendesah dalam hati, bertanya-tanya yang mana yang
benar. Tiba-tiba, Shirakawa-san menatapku dari bawah.
“...Hei,
Sensei?”
“Hmm?”
Meskipun
reaksi terkejut itu memang naluri seorang pria, aku tetap mempertahankan
ekspresi datarku.
“Katanya
Sensei melindungi Maria dari
orang mesum di kereta?”
“Eh?
Ah... Apa dia sendiri yang memberitahumu?”
Shirakawa-san
mengangguk dengan wajah rumit ketika mendengar
jawabanku.
“...Iya.
Maria sangat berterima kasih kepadamu, Kashima-sensei.”
“Begitu ya. Jadi sejak itu, apa dia tidak pernah lagi diganggu
oleh orang mesum?”
“Iya.”
“Syukurlah.”
Mengingat
sifat Kurose-san, jika seandainya orang mesum itu muncul
lagi, dia akan terlalu malu untuk memintaku menjadi pengawalnya lagi. Jadi, aku merasa lega kalau tidak ada insiden lagi.
“...Sensei?”
Tiba-tiba,
Shirakawa-san menatapku dengan ekspresi khawatir.
“Ya?”
Aku
membalas tatapannya karena apa ada hal lain yang
ingin dia tanyakan, tapi aku hampir
saja membuang muka karena aku tidak sanggup menatap wajah
cantiknya.
Tapi yang
pertama kali mengalihkan pandangan adalah Shirakawa-san.
Dengan
raut wajah sedikit gelap, Shirakawa-san berkata,
“Kalau
yang dilecehkan itu aku, apa Sensei juga akan
menolongku seperti Maria?”
“Hmm...stasiun mana yang paling dekat dengan rumah
Shirakawa-san?”
“Eh? Stasiun
A.”
“Kalau
begitu, aku pasti bisa menolongmu di perjalanan.”
Shirakawa-san
mendongak dengan terkejut ketika mendengar jawabanku.
“Eh,
cuma itu saja?”
“Eh?
Iya...”
“Kalau
itu Nikoru bagaimana?”
“Jika
stasiunnya berada di jalur yang sama denganku.”
Meskipun
menurutku, dia pasti akan lebih senang jika dijaga oleh Sekiya-sensei.
“Bahkan
Akari juga?”
Shirakawa-san
masih bersikeras.
“Iya...
Tapi kayaknya dia tidak membutuhkannya.”
“Benar
juga.”
Dengan
kata-kataku, akhirnya senyum kembali muncul di wajah Shirakawa-san.
“...Begitu ya.”
Shirakawa-san
menunduk dengan senyuman di wajahnya dan menggumamkan sesuatu di antara
bibirnya.
Tiba-tiba,
bel tanda istirahat makan siang akan berakhir
berbunyi dengan nyaring.
“Ah,
istirahat makan siang sudah selesai.”
“Pertanyaannya
cuma itu saja?”
“Iya,
terima kasih, Sensei!”
Meski
kurasa aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskannya, tapi kelihatannya Shirakawa-san
tampak lega.
Aku
melihat punggungnya yang pergi meninggalkan ruang guru dengan melambaikan tangan
dan tersenyum. Lalu aku mulai bertanya-tanya, apa pertanyaan yang ditanyakan Shirakawa-san tadi
benar-benar hanya tentang novel
'Kokoro'?
—Hei,
Sensei? Katanya Sensei melindungi Maria dari
orang mesum di kereta?
Aku
merasa ada rasa cemas yang terpancar dari mata besarnya yang jernih itu.
Apa yang
membuatnya merasa gelisah?
──Jika
yang mengalami pelecehan seksual adakah aku,
apa Sensei akan
menolongku seperti kamu menolong Maria?
──Bahkan
Nikoru?
──Atau
Akari?
Setiap
kali aku menjawab pertanyaannya,
ekspresi wajahnya terlihat semakin cerah.
Seolah-olah
dia ingin mengetahui bahwa
Kurose bukanlah sosok yang spesial bagiku.
Kenapa
bisa begitu?
──Untuk
pertama kalinya dalam hidupku, aku jatuh cinta dengan seseorang, tapi temanku
juga menyukainya.
Aku tidak tahu harus bagaimana...
Aku teringat
akan tatapan bermasalah
Shirakawa-san dan
tersadar.
“Hei,
Yamada? Kenapa melamun begitu, pelajaran sudah mau dimulai, tau.”
Suara teguran Sekiya-sensei
menyadarkanku dari lamunanku.
“Ah,
iya.”
Aku buru-buru
mempersiapkan pelajaran selanjutnya dan berdiri dari tempat dudukku.
Dan aku
memarahi diriku sendiri yang tenggelam dalam khayalan berlebihan di siang
bolong.
Mana
mungkin itu bisa terjadi.
Aku tidak
mempercayai kalau kedua gadis kembar cantik itu menyukaiku.
Bahkan
dalam khayalan sekalipun, itu terlalu berlebihan.
♧♧♧♧
Hari
liburku pada dasarnya hampa.
Aku tidak
mempunyai rencana liburan yang seru bersama teman-teman,
seperti BBQ atau minum-minum. Bahkan bertemu dengan orang pun jarang.
Aku bangun
lebih lambat dari biasanya, membereskan
cucian yang menumpuk, pergi belanja untuk persediaan makanan, lalu main game
sampai tidur. Begitu terus hingga hari Senin tiba.
Namun, hari Minggu ini ada yang berbeda. Aku pergi keluar rumah di siang hari menuju
Tokyo.
Tentu
saja aku pergi sendirian.
──Kasshi, kalau kamu tidak keberatan, apa kamu mau
menerima tiket museum dariku?
──Museum?
──Iya, di
Ueno. Dulu aku
pernah ikut klub seni rupa di SMP, ‘kan?
Ada patung kepala Dionysos yang baru pertama kali dipamerkan di Jepang, jadi
aku beli 2 tiket
karena berpikiran untuk datang 2 kali.
Tapi karena sibuk dengan pekerjaanku,
aku cuma bisa datang sekali.
Setelah
diminta oleh temanku semasa SMA-ku,
Nisshi, untuk menerima tiket itu, dan mengingat batas waktunya yang semakin
dekat, aku memberanikan diri untuk pergi ke luar di hari libur yang jarang
kulakukan.
Suasana di museumnya ramai, terutama untuk patung
Venus yang menjadi andalan, sehingga aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan.
Tapi aku tetap menyusuri alur museum hingga akhir dan bisa melihat kepala
Dionysos yang Nisshi maksud dari balik kaca.
Saat aku keluar, waktunya sudah lewat tengah hari. Meski
aku datang di pagi hari agar tidak terlalu ramai, ternyata tetap tidak bisa
menghindari kepadatan pengunjung.
Sudah
waktunya makan siang. Perutku juga sudah mulai
keroncongan. Di tempat seramai ini, pasti restoran dekat
stasiun penuh sesak. Mungkin aku bisa cari warung ramen yang tidak terlalu
ramai, agar tidak merasa canggung jika makan
sendirian...dan
saat itulah aku mengeluarkan ponselku
Aku
berjalan di sepanjang jalur taman Ueno
Onshi. Jalan
lebar dengan pepohonan rindang di sisi kanan-kiri, dengan banyak kursi taman
yang berjajar. Sementara aku sibuk dengan ponselku,
tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang janggal.
Aku berhenti
berjalan karena ada sesuatu yang familiar tertangkap mataku.
Aku
mengangkat wajah dari ponsel dan melihat ke arah itu, hampir menjatuhkan
ponselku.
Ada
Shirawaka-san yang duduk di salah satu bangku taman.
Sepertinya
Shirakawa-san sudah
menyadari keberadaanku terlebih dahulu bahkan
sebelum aku menyadarinya.
Dia
membelalakkan matanya dengan kaget saat melihatku.
“Tidak
mungkin...”
Shirakawa-san duduk sendirian di bangku itu.
Dia mengenakan atasan dengan bahu terbuka yang khas gadis gaul, dan celana
pendek jeans yang terlihat sobek-sobek.
Di
pangkuannya ada sesuatu yang terlihat seperti kotak bekal yang dibungkus dengan
kain serbet.
“Kashima-sensei...?”
Shirakawa-san
bergumam dengan suara seperti orang yang sedang bermimpi.
“Shirakawa-san...”
Aku juga
terkejut dengan pertemuan yang tidak terduga ini, tapi karena reaksi Shirakawa-san yang sangat berlebihan, aku berusaha
tetap tenang dan menghampirinya.
“Sensei...
kenapa...?”
Shirakawa
mendongak menatapku dengan tatapan seperti orang yang
linlung.
“Kenapa...
oh, aku dapat tiket museum dari temanku...”
Setelah mendengar
perkataanku, ekspresi Shirakawa-san
berubah muram.
“Temanmu itu... perempuan?”
“Bukan,
laki-laki.”
“...Temanmu di mana?”
Shirakawa-san menoleh ke sekeliling dengan
gelisah, dan akhirnya aku paham maksud pertanyaannya.
“Aku
hanya dapat tiketnya saja, aku datang sendiri.”
Setelah
mendengar itu, Shirakawa mengangguk lega.
“...Lalu
bagaimana denganmu,
Shirakawa-san?”
Aku balik
bertanya, dan Shirakawa terlihat kikuk.
“Eh?
Uh, anu...”
Setelah
terdiam sejenak, dia menatapku dengan pandangan memohon.
“...Sensei tidak akan marah, ‘kan?”
“...Itu
tergantung isinya.”
Jawabanku
yang tulus membuat Shirakawa-san
sedikit cemberut.
“Duh,
Kashima-sensei memang serius sekali.”
Dia
berkata sambil tersenyum kecil, lalu menundukkan pandangannya.
“...Aku
datang kemari sambil berharap
bisa bertemu Sensei.”
“Hah?!”
Aku
terkejut dan refleks mundur selangkah.
Shirakawa-san melihat reaksiku itu dan
mendongak menatapku.
“Ah,
kamu kaget! Jahat banget!”
“Ah tidak,
tapi... kamu cuma bercanda, ‘kan?”
“Beneran
kok! Tapi aku bukan penguntit,
lho? Aku enggak
tahu alamat Sensei atau rencana kegiatan Sensei sama
sekali.”
“Lalu,
kenapa...?”
“...Aku
nggak etahu pasti, tapi memang
benar-benar rasanya 'Aku hanya merasa begitu'
saja.”
“........”
“...Ketika
aku bangun pagi ini...ah, karena hari ini libur, aku jadi tidak bisa bertemu
dengan Sensei...Saat memikirkan hal itu...entah kenapa, bayangan aku dan
Sensei berjalan bersama di jalan ini tiba-tiba muncul di kepalaku...”
Shirakawa-san
berhenti berbicara dan menatapku dengan pandangan malu-malu.
“...Apa kamu
menganggapku orang yang mengerikan?”
“...Sedikit.”
Tapi yang
lebih mengerikan adalah diriku sendiri, yang jantungnya berdebar-debar saat
mendengar Shirakawa-san bertanya seperti itu.
“...Lalu, apa
boleh aku mengatakan sesuatu yang lebih mengerikan lagi?”
“...Silakan.”
“...Di sini,
ada bekal makan siang. ...Aku membuatnya dengan harapan kalau Sensei bisa
memakannya...”
“Hah?!”
Aku melihat
bungkusan di pangkuan Shirakawa. Dari jauh memang terlihat seperti bekal makan
siang.
Dan dia
ingin aku memakannya?!
“...Ja-Jangan-jangan,
kau juga membayangkan aku sedang memakannya...?”
Dengan wajah
merah padam, Shirakawa-san mengangguk pelan dalam menanggapi pertanyaanku.
“Benar
sekali...”
“...Seriusan...?”
Jika apa
yang dikatakan Shirakawa-san itu benar, lebih baik aku lari
sekencang-kencangnya. Tapi,....
Saat
melihatnya yang wajahnya memerah dan menundukkan mata, aku sama sekali tidak
merasa begitu. Dan bagian diriku yang bukan seorang guru, sangat gemas ketika melihatnya.
“...Maaf,
ini pasti membuatmu merasa jijik. Tidak apa-apa, aku akan membawanya pulang dan
memakannya sendiri...”
Saat
Shirakawa -sanhendak menyimpan bekalnya ke dalam ransel yang tergeletak di
sisinya,
“Tidak”
Tanpa sadar
aku berkata demikian.
“Aku akan
memakannya. Kebetulan aku memang sedang lapar.”
“Eh?! Kamu
mau memakannya...?”
“Tentu saja,
kamu membuatnya untukku, bukan?”
“Iya sih, tapi...
Apa kamu tidak takut? Kamu juga merasa ini mengerikan, bukan?”
Aku tidak
tahu apakah Shirakawa-san ingin aku memakannya atau tidak, aku sedikit kesal.
Tapi Shirakawa-san mengulurkan kotak bekalnya dengan kedua tangan, seolah-olah
mempersembahkannya.
“Ini pertama
kalinya aku membuat bekal, jadi mungkin rasanya tidak terlalu enak... Tapi,
kalau sensei mau, silakan dimakan...”
Dengan wajah
yang merah merona, Shirakawa memandangku dari bawah.
“...Terima
kasih”
Dengan suara
yang agak gemetar karena berdebar-debar, aku menerimanya dengan kedua tangan.
Sambil duduk
bersampingan di bangku taman, aku membuka tutup kotak bekal di pangkuanku.
“Wah, gawat,
itu berantakan sekali!"
Shirakawa-san
berseru lebih dulu saat melihat ke dalam isinya.
Isi bekalnya
adalah omuraisu. Mungkin tadinya dibungkus rapi dengan telur, tapi selama
dibawa, telurnya menjadi miring, menghimpit dan menghancurkan brokoli dan tomat
ceri yang menjadi lauk pendampingnya, sehingga di beberapa bagian terlihat nasi
goreng merahnya.
Di atas
omuraisu itu ada saus tomat
yang dituangkan. Bukan dalam bentuk gambar atau huruf, melainkan sekadar garis
gelombang yang terlihat sederhana.
“Kalau
kita pacaran nanti, aku akan membuatnya menjadi
bentuk hati♡”
Menunjuk ke arah saus tomat,
Shirakawa-san
tersenyum sambil menatap wajahku.
“Eh?!
Ap-Apa
yang kamu katakan?”
Berpacaran
dengan murid adalah hal yang tidak mungkin. Itu adalah aturan mutlak, baik
secara sosial maupun dalam diriku sendiri.
Tapi
suara batin yang ada di dalam
diriku menyalahkanku, bagaimana bisa aku mau memakan bekal buatan murid di
pinggir jalan yang ramai begini.
Saat
bersama Shirakawa-san, aku
menjadi tidak mengerti diriku sendiri. Ritme hidupku jadi kacau. Tanpa
melakukan apa-apa, hubungan kami malah semakin dalam, dan itu membuatku takut karena merasa terperangkap ke dalam jurang yang mungkin tidak bisa aku lepaskan.
Baru
pertama kalinya aku merasakan sensasi seperti ini.
“Ih,
menyebalkan"”
Shirakawa-san memanyunkan bibirnya dengan
ekspresi cemberut.
“.......”
Sedari awal,
aku tidak mengerti apa yang dipikirkan Shirakawa-san. Apa yang membuatnya melakukan
hal seperti ini. Apa yang dia katakan tadi benar-benar jujur...?
Di siang
hari di hari libur yang berharga ini, hanya karena merasa bisa bertemu
denganku, dia rela naik kereta dari tempat yang jauh untuk datang kemari dengan
bekal buatannya?
Jika itu
memang benar, apa mungkin... dia menyukaiku...?
Hanya itu
satu-satunya penjelasan yang terlintas di pikiranku, tapi aku sulit
mempercayainya. Kenapa aku?
Aku bukan
tipe pria populer dan tampan seperti mantan pacarnya, hanya guru culun dan
perjaka yang membosankan. Shirakawa-san pasti
bisa mendapatkan pria mapan mana pun.
“.....”
Benar sekali. Aku sama sekali tidak pantas
untuk Shirakawa-san.
Penampilanku yang biasa-biasa saja, tidak modis, dan aku juga
lebih tua delapan tahun darinya... Orang-orang yang lewat pasti mengira kami
pasangan sugar daddy-sugar baby.
Ya.
Mungkin Shirakawa-san punya
tujuan tersembunyi dengan mendekatkan diri padaku, wali kelasnya. Mungkin dia
berusaha memanfaatkanku, berharap bisa dibebaskan dari hukuman keterlambatan
atau mendapat nilai tambahan...
Atau yang
lebih mengerikan, mungkin dia merencanakan suatu jebakan atau pemerasan dengan
merekam bukti saat aku terpengaruh olehnya, lalu mengancam akan melaporkanku pada
kepala sekolah...?
“Kenapa?
Kamu tidak mau memakannya?”
Shirakawa-san tiba-tiba memanggilku, membuat
pikiranku kembali.
“Tidak,
aku akan memakannya. ...Selamat makan.”
Aku
mencicipi omurice dengan sendok yang diberikan kepadaku.
“...Bagaimana?
Enak?”
Dia
bertanya dengan wajah yang mengernyitkan kening dengan khawatir, jadi aku segera mengangguk kepadanya.
“Ya.
Rasanya enak kok.”
Kemudian,
Shirakawa-san menampilkan senyum lebar seperti bunga matahari.
“Benarkah!?
Asyik!”
Ketika melihat
senyumannya yang polos itu, aku tidak bisa lagi
berpikir bahwa dia mungkin merencanakan sesuatu yang buruk seperti yang tadi
kupikirkan.
Omurice
buatan Shirakawa-san hanyalah makanan rumahan yang enak seperti pada umumnya. Tidak
ada hal istimewa, dan aku menghabiskan bekal itu.
“Terima
kasih atas makanannya.”
Saat aku
menutup kotak bekalnya dan mengembalikannya, Shirakawa-san menatapku dan
tersenyum.
Aku
hampir membaca perasaan yang lebih dari sekadar keakraban polos di matanya,
membuatku sedikit gugup dan mengalihkan pandangan.
“Hei,
Sensei?”
Setelah
menyimpan kotak bekal ke dalam
tasnya, Shirakawa-san bertanya kepadaku dengan gembira.
“Boleh
aku memanggilmu dengan namamu?”
“...Karena kamu adalah muridku, jadi setidaknya tambahkan kata 'Sensei' di belakangnya.”
Melihat
wajahku yang seperti mengernyit dengan getir,
Shirakawa-san tertawa.
“Tentu
saja!”
Lalu, dia
menatap ke angkasa seakan-akan sedang
berpikir sejenak.
Meskipun sudah memassuki musim hujan, cuaca hari ini terasa cerah sekali. Suhu juga cukup
hangat untuk berpakaian lengan pendek, dan aku setuju dengan ramainya orang di
sini.
“Ryuuto-Sensei?
...Terlalu panjang ya. Bagaimana kalau kupanggil
Ryuu-Sensei saja?”
“...Ini
pertama kalinya aku dipanggil begitu.”
“Benarkah?
Asyik!”
Meskipun
aku hanya menyatakan fakta, entah kenapa Shirakawa-san merasa senang.
Dan kemudian,
dia menatapku dengan pipi yang merah merona.
“Aku
ingin mendapat banyak 'pertama kali' dari
Ryuu-Sensei♡”
Ketika dia
mengatakan itu dengan suara manja, membuatku merasa gugup di
dada dan selangkanganku. Ini rahasia yang harus kubawa sampai liang lahat.
Setidaknya
untuk malam ini, isi folder 'gyaru' di komputerku yang sudah kukumpulkan
selama ini akan terbakar.
♧♧♧♧
“Nee~, nee~,
sensei, ayo naik perahu!”
Saat aku
berdiri dari bangku dan bersiap berjalan menuju stasiun, Shirakawa-san berkata
begitu padakau.
“Perahu?”
“Sudah
lama sekali aku tidak kemari, jadi tadi saat aku jalan-jalan, aku menemukan
tempat penyewaan perahu di danau sana.”
Ah iya, kalau dipikir-pikir, kurasa
dulu saat masih remaja aku juga pernah ingat ada yang seperti itu di danau Shinobazu.
“...Tidak,
aku mau pulang saja.”
Aku tidak
mau mendapat masalah karena melakukan kencan
semacam ini dengan muridku, nanti ada yang melihat bagaimana.
“Eeehhh~~...”
Shirakawa-san
mengeluarkan suara protesnya dengan keras.
“...Padahal
kamu sudah makan bekalku.”
Dia
menggumamkan hal itu. Karena menganggap kalau sepertinya
itu belum cukup, jadi dia
menatapku dengan pandangan tajam.
“Ayo
temani aku naik perahu sebagai ucapan terima kasih atas bekal buatanku.”
“A-Apa...!”
Apa dia serius mengatakannya di sini?
Memang benar kalau aku sudah
makan bekalnya, setidaknya aku sudah menghabiskan ratusan yen untuk bahan
makanannya dan tenaga Shirakawa-san dalam membuatnya.
Aku hanya
menerima apa yang Shirakawa-san tawarkan, dan aku tahu dia tidak benar-benar
serius dengan perkataannya. Tapi jika dia memaksa, aku juga merasa berat untuk
menolak dan pulang begitu saja.
“...Baiklah,
tapi hanya sekali saja.”
Pada akhirnya,
aku menaiki perahu bersama Shirakawa-san.
Ongkos sewanya kubayar sebagai ucapan terima kasih atas bekal makan siangnya.
Jika dihitung, itu sepadan dengan harga ramen, atau bahkan bekal buatan gadis
cantik ini lebih berharga dari ramen.
Kami
memilih perahu kayuh yang berbentuk seperti angsa. Ada atap dan tiang
di atasnya, jadi kami tidak mudah dilihat dari jauh.
Dengan
dayung kaki, perahu kami melaju dengan cepat. Dan dengan kemudi, aku bahkan
bisa mengarahkannya ke tengah danau meskipun biasanya aku adalah tipe orang dalam ruangan.
Gedung-gedung
pencakar langit di seberang nampak sama seperti yang biasa kulihat di kota,
tapi entah kenapa terasa aneh melihatnya dari tengah taman alami ini. Rasanya sama seperti keadaanku dengan Shirakawa-san sekarang.
“Hei,
Ryuu-Sensei?”
Selagi aku tenggelam dalam pemikiranku, Shirakawa-san
memanggilku.
“Ya?”
Saat aku
menoleh ke samping untuk melihatnya,
dia menatapku dengan mata berbinar.
“Boleh
aku menciummu?”
Untuk
sesaat, aku tidak mengerti apa yang dia katakan.
“Hah?!”
Setelah
jeda beberapa saat, aku berseru kaget, tapi aku tidak tahu harus bagaimana untuk menanggapinya.
“T-Tidak
boleh. Itu jelas-jelas
tidak boleh.”
“Kenapa?”
“Karena
kita guru dan murid.”
“Hmm?”
Meski aku
sudah memberikan jawaban yang jelas,
Shirakawa-san terlihat tidak puas.
Bibirnya
yang tajam itu diwarnai dengan kosmetik, terlihat berkilau dan lembab. Karena
Shirakawa-san mengatakan hal-hal yang aneh,
pandanganku tidak sengaja tertuju ke sana, membuatku panik dan segera
mengalihkan pandangan.
“...Kalau
begitu, bagaimana kalau kita menikah setelah aku lulus?”
“Hah?!”
Shirakawa-san
yang tidak menyerah, mengarahkan bibirnya yang mengerucut dan memejamkan mata.
“'Ciuman
dengan niat menikah setelah lulus'...”
“Tidak
boleh.”
Mungkin
dari luar aku terlihat menolak dengan wajah datar, tapi jantungku berdetak
dengan memalukan.
“Mana
yang tidak boleh? Menikah? Atau ciumannya?”
“...”
Aku tidak
bisa segera menjawab “Keduanya
sama-sama tidak
boleh” karena
ada sedikit bagian dalam diriku yang tergoda dengan ide pernikahan itu.
Shirakawa-san menatapku lekat-lekat seolah-olah
dia bisa
melihat ke dalam hatiku.
“Mengesampingkan
soal ciuman tadi, tapi masalah pernikahan tidak ada masalah,
kan? Setelah lulus, aku sudah
bukan muridmu lagi.”
“...Ke-Kenapa tiba-tiba membahas soal pernikahan?”
"Kupikir
itu bisa membuat Sensei
merasa lebih tenang. Karena sensei adalah
orang yang sangat serius.”
Shirakawa-san menjawab dengan tenang.
“Dunia ini
tuh aneh sekali ya.
Berita asmara dianggap 'skandal', tapi pengumuman pernikahan dianggap 'kabar
gembira'. Kenapa bisa begitu?
Padahal kamu harus
berpacaran dulu baru bisa menikah, tapi selama berpacaran harus sembunyi-sembunyi. Bukannya itu jadi semakin rumit?”
“...Tapi
memang begitulah dunia ini.”
Kalau dipikir-pikir, alasan kenapa aku tidak terbiasa dengan cinta juga
karena aku tidak begitu paham dengan hubungan yang tipis seperti
'berpacaran' atau 'menjadi pacar', yang hanya berdasarkan janji
lisan. Kalau 'menikah', itu adalah hubungan yang secara hukum terjamin, jadi hubungan itu jauh lebih
jelas. Dan kurasa jika aku punya kesempatan berpacaran dengan seorang wanita di
masa depan, aku berpikiran membawa hubungan tersebut ke jenjang pernikahan.
“Hmm...
Yah, terlepas dari dunia ini, aku juga ingin cepat-cepat menikah.”
“Kenapa?”
Aku
bertanya karena merasa penasaran,
dan Shirakawa-san memiringkan kepalanya sambil menatapku.
“Hmm,
entahlah. Mungkin karena aku
menginginkan sesuatu yang 'pasti'... Karena aku sudah kehilangan itu.”
Melihat ekspresi wajahnya saat berkata demikian,
aku kembali teringat pada ucapannya sebelumnya.
——Kalau
orang yang seperti Sensei menjadi ayahku, mungkin aku... akan tetap merasa bahagia
selamanya...
Seperti yang
kuduga, tampaknya pandangan cintanya yang penuh teka-teki itu
sangat dipengaruhi oleh latar belakang keluarganya.
Saat aku
tenggelam dalam pemikiranku, Shirakawa-san
tiba-tiba menatapku lekat.
“...Sensei,
apa kamu membenciku?”
Ekspresi
wajahnya yang sedikit mengernyit penuh kekhawatiran terlihat menggemaskan. Seandainya
aku masih seumuran dengannya, aku pasti akan
langsung memeluk bahunya yang halus itu.
“...Aku
tidak bisa menjawabnya. Aku tidak melihatmu dengan cara seperti itu, sebagai
muridku.”
Mendengar
jawabanku yang tidak membantunya,
Shirakawa-san mengeluh
“Eeeeh~” dengan nada tidak puas. Aku
menatapnya dengan sedikit menyesal.
Sebenarnya,
apa yang kamu
pikirkan tentangku?
Aku sama
sekali tidak mempunyai pengalaman
dalam berhubungan dengan wanita, aku juga tidak
bisa membuat rencana kencan yang menarik, tidak punya kemampuan untuk menjadi
pendamping yang baik, dan juga tidak punya teknik-teknik untuk 'kegiatan
malam'. Dalam semua hal itu, aku tidak memiliki kemampuan untuk bisa
membuat Shirakawa-san bahagia.
Pada
dasarnya, aku merasa tidak pantas bagi seorang wanita seperti Shirakawa-san untuk menyukaiku sebagai seorang
pria.
Oleh karena
itu, aku meragukan semuanya. Apa semua kata-kata dan sikapnya itu hanya karena
kesenangan seorang wanita berpengalaman?
Apa dia
benar-benar menyukaiku? Sebagai lawan jenis?
Tapi dia
bahkan tidak jelas memberitahuku.
Semua
perkataan Shirakawa terdengar ringan bagiku.
Berbeda
dengannya, aku hanya punya sedikit teman dan menjalani masa sekolah yang kurang
menonjol. Tapi aku berusaha keras dengan belajar, dan akhirnya mulai membangun
karir sebagai orang dewasa yang bekerja.
Pekerjaan
ini adalah satu-satunya yang menjadi kebanggan dan harga diriku sebagai seorang
pria. Tapi kamu
menyuruhku untuk bertaruh itu demi hubungan denganmu?
Apa kamu tahu seberapa besar hal
yang akan aku korbankan, seorang guru perjaka
berusia 24 tahun yang jatuh cinta pada muridnya?
Jika kamu mengetahuinya, mana mungkin kamu bertingkah seperti ini.
Kamu terlalu masih kanak-kanak.
Dan aku,
seorang dewasa yang terpesona dengan anak-anak sepertimu, pasti ada yang salah
denganku.
“...Sensei,
kamu memang orang yang serius ya.”
Dari
suara Shirakawa-san yang
dikeluarkan sambil menunduk, tidak terdengar lagi nada menyenangkan seperti
sebelumnya saat dia mengatakannya.
Kami
turun dari perahu dan berjalan dalam diam di pinggir danau.
Suasana di
antara kami terasa canggung.
Sebelumnya,
aku memang pernah mempunyai banyak kesempatan untuk berjalan berdua dengan wanita
yang kukenal, tapi kecanggungan saat ini terasa
berbeda jauh.
Aku tidak
tahu apa yang sedang dipikirkan Shirakawa-san
yang berjalan di sampingku dalam diam. Apa sebaiknya aku mulai mengobrol biasa
saja?
Tapi
keraguanku itu lenyap dalam sekejap.
“...!?”
Aku
merasakan kehangatan di tangan kananku. Aku bisa
merasakan sensasi ujung jari-jemari
kami yang saling terkait. Kulitnya yang lembut itu perlahan merayap
ke telapak tanganku. Sengatan
listrik seakan mengalir ke otakku, membuat rasionalitasku lenyap.
Ya.
Aku
sedang berjalan berdampingan dengan Shirakawa-san,
dengan tangan yang saling bertautan.
Bukan seperti
orang tua dan anak, tapi seperti sepasang kekasih.
“...Eh?”
Beberapa
detik kemudian, aku tersentak dan menoleh ke sampingku.
Tidak
salah lagi. Aku sedang berjalan dengan Shirakawa-san sambil bergandengan tangan.
Aku
memastikannya dengan mata kepalaku
sendiri.
“Ehehehe, aku menggenggamnya.”
Sambil
tersenyum malu-malu, Shirakawa-san
mengedipkan matanya yang bersinar seperti anak nakal, dam wajahnya berada di sekitar bahuku. Aroma
buah-buahan atau kembang
menggelitik hidungku.
Aku
panik.
“...Bi-Bisa cepat melepaskan tanganmu enggak? Bagaimana jika ada yang
melihat?”
Aku
sendiri sadar bahwa apa yang kukatakan terdengar aneh.
Aku
adalah pria dewasa, sementara Shirakawa-san
adalah gadis mungil, jadi aku tahu bahwa jika aku mengayunkan tanganku, genggaman tangan kami akan terlepas
dalam sekejap.
Tapi aku
tidak bisa melakukannya.
Bukan karena rasionalitas, melainkan naluriku
yang dengan tak terkendali mendambakan sentuhannya.
Dan Shirakawa-san dengan sempurna menyadari
hal itu.
“Jangan
bilang begitu, Ryuu-sensei,
kamu tidak membenciku, 'kan?”
“...Eh,
kenapa...”
“Lihat,
matamu berubah menjadi berbentuk hati♡ Tanganmu
juga sangat panas. Tubuhmu sangat
jujur, ya♡”
Dia
mengedipkan matanya dengan
wajah menggoda, dan aku tak bisa berhenti menatap ekspresi manisnya.
“.....”
Karena tidak
tahu harus berbuat apa, jadi aku
menangis dalam hati sementara tetap menggenggam tangannya.
Meski aku
tahu apa yang kulakukan ini salah, aku merasa bahagia.
Aku ingin
terus menggenggam tangannya dan berjalan seperti ini selamanya.
Meski aku
tahu ini tidak diizinkan...
“Ryuu-sensei...”
Shirakawa-san mendekatkan dirinya padaku,
wajahnya menyentuh bahuku. Tidak hanya tangan, bahkan lengannya juga melingkar,
dan aku bisa merasakan kelembutan dadanya di lenganku.
“...”
——Bolehkah
aku menciummu?
Seandainya saat itu di dalam perahu aku
bisa berciuman dengan Shirakawa-san, betapa bahagianya diriku.
Tapi aku
tahu, jika aku melakukannya...
aku pasti akan jatuh terlalu dalam mencintainya, sampai-sampai tidak bisa
kembali lagi.
Itulah
yang kupahami, jadi aku tidak bisa menerimanya
begitu saja.
Namun,
sekarang aku berjalan di jalanan di siang bolong, menggenggam tangannya.
Aku berharap
semoga jalan ini terus berlanjut selamanya.
Dengan pemikiran yang penuh kontradiksi, aku
berpikir begitu.
Tapi
harapanku itu, tiba-tiba saja, dihancurkan dalam bentuk yang tak terduga.
Shirakawa-san yang berjalan di sampingku
tiba-tiba berhenti.
“...?”
Saat aku
melihatnya, dia terpaku menatap ke depan.
Ketika aku mengikuti
arah pandangannya, aku juga terpaku.
Kehangatan
tubuh Shirakawa-san yang
tadi menyentuhku, perlahan-lahan menjauh, seolah melepaskan simpul kupu-kupu yang terbuat dari pita
halus.
“...Maria...”
Shirakawa-san berbisik pelan.
Ya.
Ada Kurose-san yang berdiri di depan kami.
Sama
seperti Shirakawa-san,
Kurose-san juga menatap ke arah kami dengan
wajah yang tercekat.
“...Maria, kenapa kamu ada di sini?”
Orang yang
lebih dulu mengajukan pertanyaan adalah Shirakawa-san.
“Kenapa?
Soalnya pameran seni yang ingin aku kunjungi
akan berakhir sampai hari ini... Jadi aku datang untuk
melihatnya...”
Kurose-san menjawab dengan bingung. Dia
mengenakan pakaian biasa, dan di tangannya ada tas belanja dari toko suvenir
museum.
“Begitu
ya...”
Setelah
berkata demikian, Tatapan Shirakawa-san terlihat mengembara kemana-mana, lalu
kali ini gilisan Kurose-san yang membuka mulut.
“Bagaimana
denganmu sendiri?... Apa
yang kalian lakukan di sini? Sensei pergi Bersama denganmu?”
“Ah,
tidak, tadi kami kebetulan bertemu di sini!”
“Benarkah?
Ternyata Sensei juga pergi ke
museum.”
Supaya
tidak terjadi kesalahpahaman aku yang memulai menjelaskan,
dan Shirakawa-san juga menambahkan penjelasan.
“...”
Kurose-san menunduk beberapa saat tanpa berkata apa-apa.
Perlahan-lahan, setetes air jatuh ke kakinya.
Aku
refleks mendongak melihat langit, tapi cuaca masih tetap cerah.
“...Jahat...”
Kurose-san bergumam demikian seraya
mengangkat wajahnya dengan
berlinangan air
mata.
Tatapannya
bukan tertuju padaku, melainkan pada
Shirakawa-san.
“Kalau kamu memang berpacaran dengan Sensei, setidaknya
kamu bisa memberitahuku!?”
“Eh?!
Tidak, itu...”
Aku
berusaha membantah bahwa itu hanyalah
kesalahpahaman, tapi ucapan Kurose-san
selanjutnya kembali membuat lidahku kelu.
“Padahal
kamu juga mengetahui kalau aku juga menyukai Sensei...!”
“...?!”
Ketika aku
menoleh ke samping, dan Shirakawa-san
terlihat dipenuhi rasa bersalah, tapi matanya juga menyiratkan keteguhan saat menatap Kurose-san.
Setelah menunduk sejenak, Shirakawa-san mulai membuka mulutnya.
“...Maafkan aku, Maria.
Waktu itu aku tidak bisa mengatakannya. Saat kamu
memberitahu tentang perasaanmu...”
Dengan
suara pelan, dia kembali menatap Kurose-san.
“Aku
juga menyukai Ryuu-sensei...”
Kemudian,
dengan raut wajah tersiksa, dia menyampaikan hal itu kepada Kurose-san yang kini menatapnya dengan mata
merah.
♧♧♧♧
“Eeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee?!”
Aku
terperanjat kaget dan terbangun dengan teriakan yang nyaris merobek tenggorokanku.
“...Hah?”
Di mana
ini? Siapa aku?
Perlahan-lahan aku memulihkan kesadaranku yang masih linglung.
Ini
adalah kamarku yang familiar. Aku terbaring di tempat tidur. Dari celah gorden,
sepertinya sekarang sudah
pagi hari.
Aku adalah Kashima Ryuuto, berusia tujuh
belas tahun. Saat ini aku sedang fokus belajar untuk ujian masuk universitas, sebagai siswa kelas 3 di
SMA swasta Seirin yang campuran
sejak awal berdiri. Aku telah berpacaran dengan Shirakawa Luna-san, teman sekelasku dari sejak kami kelas dua.
Setelah
memastikan fakta-fakta itu di dalam kepalaku,
“Kenapa
aku bisa bermimpi serealistis itu?! Apa ini gejala stres karena ujian?!”
Aku
berteriak ke arah langit-langit, disertai
dengan rasa lemah dan tidak berdaya yang luar biasa
karena tidak tahu harus
melakukan apa.