Chapter 2 — Penguin Terbang
Ada seekor
penguin yang terbang di langit.
“Wah
keren banget! Pasti rasanya menyenangkan
sekali ya!”
Luna
mendongak ke atas dengan tatapan mata yang berbinar.
Di
akuarium Sunshine di Ikebukuro, aku menghabiskan waktuku bersama Luna sebelum jadwal lesku di sekolah bimbel dimulai.
Di hari
libur besar seperti di bulan Mei
ini, akuarium itu ramai dikunjungi oleh
keluarga dan para pasangan muda-mudi.
Area luar
akuarium ini memiliki desain yang elegan dengan teras kayu dan tanaman hijau,
dan yang menjadi daya tarik utamanya
adalah ruang pameran penguin yang dibangun seperti terowongan setengah lingkar.
Dengan
latar belakang gedung-gedung pencakar langit Ikebukuro, para penguin berenang
dengan lincah mengikuti lekuk tubuhnya yang membulat, seakan-akan mereka terbang di udara.
“Setiap
kali ke sini, aku selalu merasa tenang dan nyaman!”
Setelah
berkata demikian, Luna menyipitkan matanya saat
memandang penguin-penguin di atas air akuarium.
Ketika aku
ikut mendongak, aku melihat sinar
matahari cerah di bulan Mei memantul di permukaan air dan membuatnya berkilauan seperti
pelangi.
Sejak aku
menjadi siswa kelas tiga dan
intensitas belajarku di sekolah bimbel mulai
meningkat, Luna sering datang ke Ikebukuro untuk menemaniku.
Akuarium ini memang tempat kencan yang sempurna, jadi kami membeli kartu
keanggotaan tahunan (ternyata harganya lumayan
murah) dan berkunjung kemari setiap ada sedikit waktu
luang selain makan.
Entah
sudah berapa kali kami melihat akuarium penguin ini, tapi Luna selalu terlihat senang saat memandangi penguin-penguin yang tampak seakan terbang.
“...penguin
itu burung ‘kan, ya?”
Luna
tiba-tiba menatapku dengan serius seolah-olah dia baru menyadari sesuatu.
“Iya,
benar.”
“Lalu
kenapa?”
“Hah?”
“Kenapa
mereka tidak bisa terbang meskipun mereka
burung?”
“Umm...”
Aku memikirkannya sejenak, tapi
pengetahuanku tentang penguin tidak terlalu banyak.
“Mungkin
dulu mereka bisa terbang seperti burung lain, tapi karena sumber makanan mereka hanya ada di air, jadi sayap mereka perlahan-lahan
mengecil?”
Aku asal
menjawab saja...
Luna bergumam dengan sedikit tidak puas, “Hmm
begitu, jadi dulu mereka bisa
terbang ya.”
Dia
menunduk sejenak, lalu kembali memandangi akuarium penguin.
“Kalau
begitu,
apa mungkin mereka masih memimpikan
untuk bisa terbang lagi ya...?”
Para
penguin berenang lincah memenuhi akuarium, membuat
mereka tampak seperti
seakan terbang. Tapi bentuk tubuh mereka yang bulat dan berat tidak
memungkinkan untuk benar-benar terbang di langit luas.
Sambil
memperhatikan penguin-penguin itu, Luna
bergumam pelan pada dirinya sendiri,
“...Dulu
kenapa aku sangat ingin bisa terbang? Padahal aku manusia, mana mungkin punya ingatan bisa
terbang, tapi entah kenapa...”
Wajahnya
yang menatap dengan tatapan memimpikan itu terlihat begitu cantik diterpa sinar
matahari awal musim panas.
Untuk
beberapa saat, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari dirinya, bukan dari akuarium.
Setelah mengunjungi akuarium, aku dan Luna meminum
teh di kafe di bawah Sunshine City. Saat kami duduk di teras luar di mana meja-meja berjejer di luar pintu masuk kafe,
kami bisa melihat pemandangan di atas tanah dari
atas tangga yang berada di depan kami.
“...Nanti
aku akan bertemu lagi dengan Fukusato-san.”
Luna
berkata demikian sambil mengaduk-aduk es kopi
latte-nya dengan sedotan.
Fukusato-san
adalah pasangan baru dari ayah kandung Luna.
Dia adalah wanita yang muncul bersama ayahnya pada
malam Natal tahun lalu ketika Luna dan Kurose-san
mencoba melakukan “Operasi
Dua Lotte” untuk
mempersatukan kembali orang tua mereka
yang berpisah.
“Ayah
terus-terusan bilang 'Sekarang aku
sudah menikah lagi, jadi aku
ingin memperkenalkannya kepada Luna'.”
“Begitu
ya...”
Pada saat
itu Luna pasti sangat kecewa dan tidak
bisa menerima kehadiran wanita itu, tapi sepertinya sekarang dia sudah bisa sedikit menerimanya.
“.....”
Melihat Luna
yang terdiam, jadi aku mencoba mengubah topik
pembicaraan.
“Ah
iya, malam ini kita mau makan
apa?”
Di sekolah bimbelku tidak ada libur panjang.
Hari ini aku masih
ada jadwal satu sesi pelajaran lagi, tapi Luna akan menungguku sambil pergi berbelanja di dekat stasiun, jadi kami
akan makan malam bersama.
“Hmm?”
Luna
mengangkat wajahnya.
Kopi susu
yang tidak tercampur rata itu terlihat seperti benang-benang sirup bening yang
turun ke dasar, cantik seperti ubur-ubur yang kami lihat di akuarium.
Aku tidak
tahu apakah Luna juga
berpikir hal yang sama, tapi dia tersenyum ketika menatapku.
“Tadi
di akuarium tuh menyenangkan
ya.”
Karena jawabannya
tidak nyambung, jadi aku sedikit kebingungan untuk menanggapinya, tapi Luna melanjutkan sambil tertawa.
“Sewaktu
aku melihat akuarium ikan sarden, aku
jadi pengen memakan
ikan.”
“Ah
iya, ikan-ikan itu memang terlihat enak sekali.”
Waktu itu
aku menahan pendapatku karena berpikir mungkin rasanya
tidak etis mengomentari ikan yang masih hidup.
“Kalau
begitu, makan malam hari ini kita
makan ikan saja. Bagaimana kalau kita memakan
sushi putar?”
“Ah
iya, bagus nih! Hari ini aku makan banyak lho, sampai 10 piring!”
Luna
berseru semangat sambil memasukkan sedotan ke
dalam mulutnya.
Kopi
susunya kini telah bercampur rata dengan warna yang lebih gelap, dan es-esnya
bergesekan menimbulkan suara.
♧♧♧♧
Pada malam
itu, kami berdua menikmati makan malam di restoran sushi putar di
Ikebukuro.
“Aaah
perutku kenyang sekali! Benar-benar sampai kenyang abis!”
Duduk
berhadapan di meja dekat lajur sushi, Luna
bersandar ke kursi dengan puas.
“Ma-Manpuku-ji? Di mana itu?”
“Entahlah?
Tapi kayaknya ada ya?”
Luna
menjawab sambil merapikan sumpit di atas piring-piring sushi yang dimakannya.
Luna memakan
sampai tujuh piring sushi,
dia sudah berusaha keras tapi sepertinya memang sulit mencapai 10 piring.
“Sushi
tuh rasanya memang enak
ya~”
Luna melihat
sekeliling sambil mengatakan itu.
Karena sudah memassuki jam makan malam, ruangan restoran yang cerah itu dipenuhi dengan
meja-meja yang semuanya terisi penuh. Di bangku tunggu di dekat pintu masuk
juga penuh sesak dengan antrian orang-orang.
Rentang usia pengunjung juga beragam, dari anak muda hingga lansia.
“Sepertinya
semua orang suka ikan ya.”
“Yah,
wajar sih, ini ‘kan restoran sushi. Enggak ada
tulangnya juga.”
Menanggapi
jawabanku yang biasa-biasa saja, Luna
bergumam “Iya juga ya”
sambil menatap meja dengan pandangan yang tampak sedang memikirkan sesuatu.
“...
Hei, kamu tertarik dengan memancing enggak,
Ryuuto?”
Ketika
pandangan kami bertemu lagi, Luna
berkata demikian.
“Eh?
Me-Memancing?”
Ketik aku
masih terkejut dengan kata-kata yang
tak terduga itu, Luna terus
melanjutkan.
“Mao-kun suka memancing lho. Ia sering mengajakku, tapi aku
malas jadi belum pernah pergi. Tapi katanya
ia mau pergi lagi saat libur nanti.”
“Oh
begitu...”
Aku
mengingat wajah Kurose
Mao-san, paman Luna,
yang aku temui saat liburan musim panas tahun
lalu, dengan kulit terbakar matahari.
“Aku
belum pernah mencobanya, tapi sebenarnya tertarik sih.... Karena tidak
ada yang mengajariku, jadi aku belum pernah mencobanya.”
“Aku
juga begitu. Tapi sekarang aku jadi pengen
makan ikan segar nih.”
Saat Luna mengatakan itu, dia menyatukan
kedua tangannya seolah sedang memikirkan sesuatu.
“Kira-kira,
apa yang lain juga menyukai ikan enggak, ya? Gimana kalau kita ajak anggota
Savage juga,
terus pergi memancing bareng selama libur nanti?”
Dia mengatakan itu dengan mata yang berbinar-binar.
♧♧♧♧
Hamparan
lautan biru tua yang tak berujung terbentang
di depan mataku.
Gradasi
langit biru yang bermula dari garis horison.
Sambil
mendengar suara mesin yang bising, kami duduk di kursi pancing, merasakan
guncangan gelombang di seluruh tubuh.
“Oeeeekkkkkkk”
“Huekk”
Icchi dan Nisshi berguling di lantai dengan wajah
pucat pasi. Mereka benar-benar mabuk laut.
“Kalau
kalian mau muntah, muntahnya ke laut saja ya~ Karena itu bisa menjadi makanan ikan, sekaligus
kapalnya jadi bersih. Win-win, ‘kan?”
Mao-san yang berada di buritan kapal, melihat mereka sambil terkekeh
santai.
Saat ini
kami sedang melaju kencang dari tepi laut menuju spot memancing, tapi dua orang
itu sudah keburu mabuk laut. Meski
sudah minum obat anti-mabuk, tetapi kondisi mereka masih tetap begitu.
“Kamu
baik-baik saja, Ryuuto?”
Ditanya Luna yang duduk di sebelahku, aku balas mengangguk.
“Iya,
aku sudah minum obat duluan...”
Karena aku jarang naik kapal, aku sendiri
juga tidak tahu apakah aku memang mudah mabuk. Tapi melihat kondisi mereka,
kurasa itu keputusan yang tepat.
“Ah,
lihat, lihat! Nikorun! Ada burung
camar!”
“Ombaknya
bagus ya~”
“Kita ‘kan datang ke sini bukan untuk berenang”
“Serius
nih, duh”
“Duhh~ Nikorun selalu seenaknya ya! Kamu sama sekali tidak mendengarkan
ceritaku!”
“Tapi
kan kamu tetap bercerita sendiri meskipun aku
tidak mendengarkannya.”
Tanikita-san dan Yamana-san tampak bersemangat seperti
biasa.
Kami
berkumpul di Chiba pagi-pagi buta, lalu menaiki kapal milik kenalan Mau-san untuk pergi memancing di laut.
“Huuueeekkk”
“Hoeee”
Seperti
biasa, Icchi
dan Nisshi masih saja merintih kesakitan di lantai.
Manusia
memang jadi lebih tenang saat benar-benar merasa mual,
pikirku saat melihat keadaan mereka.
“Apa kamu
juga baik-baik saja, Maria?”
Pada saat
itu, Luna bertanya ke arah orang yang berada di sebelahnya satu lagi.
──Nee, Ryuuto. Boleh
aku mengajak
Maria juga untuk ikut memancing?
──Eh,
i-iya... tentu saja.
──Yay,
terima kasih! Pasti Maria senang, soalnya dia jarang ke Chiba akhir-akhir ini. Kurasa Mao-kun juga pasti akan ikutan senang!!
Itulah
sebabnya, jumlah kami hari ini ada tujuh orang, anggota yang main Savage ditambah Kurose-san.
Bisa dibilang ini mirip seperti
rombongan studi wisata.
“Aku
juga sudah minum obat anti-mabuk, jadi aman...”
“Tapi
wajahmu sedikit pucat lho?”
Ketika Luna berkata begitu, Kurose-san melihat ke arahku yang ada di
seberang Luna, lalu
membisikkan sesuatu di telinganya.
“...
Serius? Kamu baik-baik saja? Mau ke toilet sebentar?”
“Eh,
memangnya ada ya?”
Kurose-san tampak terkejut ketika mendengar perkataan Luna.
“Iya
ada, aku tanya banyak ke Mao-kun.
Katanya kalau toilet tidak ada atau kapalnya kotor,
itu bisa jadi masalah besar.”
Lalu,
Kurose-san dengan tergesa-gesa mengeluarkan
sebuah pouch dari tasnya. Itu adalah ‘pouch
sanitasi’ yang
pernah kulihat di perpustakaan, dengan resleting berbentuk bulan dan bintang,
serta ada gambar bintang laut.
Jadi,
dikombinasikan dengan penampilan Kurose-san yang sedang tidak sehat, aku entah
bagaimana jadi paham maksudnya.
Luna
bergumam sambil melihat Kurose-san bergerak dengan hati-hati di kapal yang
bergoyang.
“Di semua hari yang ada malah terjadi hari ini,
ya... sepertinya Maria agak kesulitan.”
“...
Begitu ya.”
Aku hanya
bisa memberi tanggapan datar, merasa canggung.
Kurose-san akhirnya kembali.
“...
Benar-benar merepotkan.”
Dia duduk
kembali di samping Luna, lalu
mendongak memandang langit.
“Kalau
aku terlahir kembali nanti, aku ingin
jadi laki-laki...”
Matanya
menyipit menatap burung air yang terbang di langit.
“Tubuh
perempuan terlalu berat, rasanya tidak bisa terbang bebas di udara.”
Sosok
wajahnya yang sedih itu terlihat
mirip dengan wajah Luna saat
memandangi penguin di akuarium.
“......”
Aku tidak
bisa mengatakan apa-apa untuk menanggapinya.
Tiba-tiba, Luna
menatapku dengan ekspresi “Ah!” seolah-olah baru menyadari sesuatu.
“Aku
mendengar kabar bahwa si pelaku pelecehan s*ksual Maria telah tertangkap. Katanya wajahnya terekam di kamera pengawas, jadi
polisi bisa melacaknya.”
“Begitu
ya. Syukurlah.”
Tepat
setelah aku berhenti berteman dengan Kurose-san,
dia menjadi korban pelecehan seksual. Kalau saja aku yang mengantar pulang,
mungkin hal itu tidak akan terjadi padanya... Aku jadi merasa bertanggung
jawab.
Itulah
sebabnya, aku merasa sedikit lega saat
mendengar kabar tersebut.
“Maria
benar-benar hebat, lho. Kata polisi, 'Kelihatannya ada peluang untuk
mengajukan gugatan, bagaimana?', tapi dia menjawab,
'Tetap lanjutkan saja penyelidikannya.' Pelakunya tampaknya orang
penting, jadi Ibu sedikit kecewa karena Maria
bisa dapat banyak uang ganti rugi.”
Kurose-san menunduk setelah mendengar kata-kata Luna.
“Habisnyam
tidak peduli seberapa banya uang yang kudapatkan, itu tidak bisa
mengembalikan diriku sebelum terjadi pelecehan.”
Dia
mengangkat sedikit wajahnya, memandang ke laut di luar kapal.
“Luka
yang bersarang di hatiku ini, aku harap bisa menjadi bekas luka juga bagi
hidupnya.”
Kurose-san
berkata dengan suara yang begitu dingin dan tegas.
“...”
Aku
sebenarnya tidak begitu paham apa yang selama ini ada di dalam pikiran Kurose-san, dan gadis seperti apa dirinya itu.
Waktu SMP
dulu, aku hanya terpesona oleh kecantikannya yang luar biasa dan sikapnya yang agak
menggoda.
Setelah kami bertemu lagi di SMA, kami sempat
akrab lagi saat bekerja di panitia festival budaya, tapi itu hanya sebentar dan
kami kembali menjadi bukan teman.
Tapi
mungkin, Kurose-san
sebenarnya memiliki kesamaan dengan Luna dari
yang aku bayangkan.
Misalnya seperti
keras kepala dalam memegang prinsip, atau egoisme...
Aku
tanpa sadar berpikir begitu.
Saat itu....
“Wah,
kita sudah sampai! Sampai!”
Kapal pun berhenti, dan Mao-san berseru dengan gembira.
Karena kami sudah berlayar kurang lebih satu jam, kapal ini
sekarang sudah cukup jauh di tengah laut. Hari ini, karena air pasang, kami
menuju Teluk Tokyo, jadi saat kami melihat sekeliling, kami bisa melihat
daratan di kejauhan di tiga sisi.
“Ayo
kita mulai memancing sekarang juga!”
Dengan
seruan itu, kami masing-masing mengambil
alat pancing yang sudah disediakan.
“Woohooo!”
Luna
berseru riang.
Beberapa
menit kemudian.
“Gyaaaaa!”
Terdengar
jeritan Yamana-san yang
menggema di lautan luas.
“Apa-apaan sih ini!? Serangga!? Kelabang!?”
Ketika melihat
isi kotak yang dibagikan Mao-san,
raut wajah Yamana-san seketika langsung pucat
pasi.
“Menjijikkan!
Hentikan itu!”
Tanikita-san yang melihat hal itu merasa geli
dan mengarahkan kotak itu ke
arah Yamana-san untuk meledeknya.
“Ayo,
ayo~”
“Uwah,
jangan ke sini! Kubunuh kau!”
“Ah,
Nikoru-chan memang tidak suka ya sama
yang beginian?"
Mao-san tersenyum kecut.
“Mau
pakai umpan tiruan saja? Tapi yang asli lebih manjur lho, apalagi buat pemula
kayak kamu.”
“Itu
cacing laut kan? Memang menjijikkan ya. Aku juga
tidak suka sama yang begituan.”
Di dalam
kotak itu, ada banyak sekali serangga mirip kelabang
dengan ukuran beberapa centimeter. Ada yang bergerak menggeliat.
Bahkan
aku yang biasanya tenang dalam menghadapi kumbang, juga merasa
agak jijik melihat ini.
“Nah,
begini caranya...”
Mao-san mengambil satu cacing laut, lalu
mendekatkannya ke mata kail yang dipegangnya.
“Masukkan
dari mulut, sampai ke dalam perut...”
"Gyaaaa─────!”
“Karena terlalu
Panjang dan masih ada sisa, jadi aku akan memotongnya pakai gunting...”
“Hentikan!
Hentikan─────!
“Nah,
begini deh jadinya!”
“Nggak
mau! Aku mau pulang aja!”
“Sisanya
bisa buat giliran selanjutnya lho.”
“Gyaaaa─────!
Aku mau pulang─────! Pak nahkoda,
tolong bawa aku pulang─────!”
Meski teriakan
Yamana-san membuatnya sulit terdengar, kami
akhirnya bisa paham caranya memasang umpan.
“Kalau gitu,
ayo mulai...”
Kami pun
segera duduk di tempat masing-masing dan memulai memancing.
“Ew,
menjijikkan...”
Saat aku
sedang menyiapkan kail, Luna tampak
agak terkejut.
“Iya
ya...”
Aku juga
merasa agak aneh, tapi setidaknya untuk pemula seperti diriku, aku bisa menyiapkannya dengan cukup lumayan.
“Nah,
sisanya tinggal melemparkan
kailnya ke laut. Di sini harusnya sudah siap untuk dipanen, jadi tidak perlu
terlalu mengkhawatirkan caranya. Perkiraan kapten kapal ini pasti tidak salah.”
Dengan
bimbingan Mao-san, aku pun
melemparkan kail yang sudah diberi umpan ke dalam laut.
Kapal ini
memiliki tempat khusus untuk menancapkan
pancing, jadi setelah itu kami tinggal menunggu sampai dapat ikan.
“Ehhh, enggak
mau, bener-bener enggak
sanggup!”
Di sisi
lain, Yamana-san masih
terus membuat keributan ketika melihat Tanikita-san memasangkan umpan cacing laut.
“Nikorun, ayo cepat lakukan juga. Sayang banget kita sudah bangun pagi-pagi tapi nanti
pulang tanpa dapat ikan sama sekali, ‘kan?”
“Tapi
aku enggak nyangka bakal seperti ini!
Memotong yang menjijikkan ini lalu memasukkannya ke kail? Itu namanya
siksaan!"
Saat
Yamana panik begitu, tiba-tiba ada tangan yang terulur.
“Biar
aku saja yang melakukannya.”
Ternyata itu tangan Nisshi.
Tanpa kusadari, rupanya Icchi
juga sudah pulih, dan sekarang duduk goyah di kursi pancingnya. Mungkin karena
kapal sudah berhenti, jadi mabuk lautnya
sudah lebih baik. Atau obat untuk mabuk laut sudah mulai bekerja.
“...Eh...Ah,
iya.”
Yamana-san dengan
ragu-ragu menyerahkan kailnya kepada
Nisshi.
Nisshi yang duduk di sebelah Yamana-san, mulai memasang cacing laut
dengan diam-diam.
“Waktu
masih TK dulu, aku pernah memelihara cacing tanah lho.”
Ketika Nisshi tiba-tiba bercerita,
Yamana-san membelalakkan matanya.
“Hah?
Menjijikkan. Kenapa?”
“Entahlah, aku
tidak tahu. Aku sendiri juga bingung. Mungkin karena aku bisa cepat menangkapnya? Aku juga pernah memelihara
semut dan kumbang.”
“Wah...
kalau itu aku sih benar-benar mustahil.”
“Iya,
kan.”
Sambil
tertawa, Nisshi memberikan kail pancing dengan cacing tanah (setengah badan)
kepada Yamana-san.
“Ini.”
“...Terima
kasih...”
Dengan
ragu-ragu, Yamana menerima kail dan menyiapkan pancing.
Pada saat
itu.
“Hah?!
Sudah ada yang menggigitnya...?!”
Melihat kail pancingnya yang langsung
bergerak-gerak, dia tidak bisa menyembunyikan kekagetannya.
“Nikoru-chan, gulung talinya! Nanti ikannya
kabur, loh.”
“Hah?!”
Setelah mengikuti
instruksi Mao-san, Yamana-san dengan panik
memegang pancing dan memutar kerekannya.
Ikan
kecil yang tertangkap pun ditarik ke atas.
“Walaupun
kecil, tapi ini namanya ikan tenggiri. Nikoru-chan duluan yang dapat
pertama, ya?”
“Ini
mah namanya 'keberuntungan pemula'.”
Nisshi yang
di sebelahnya berkomentar sinis sambil tertawa.
“Berisik
kamu.”
Yamana-san membalas perkataan Nisshi, lalu
memegang ikan itu.
“Wah,
Nikorun, kamu hebat banget!”
“Ternyata
bahkan pemula bisa dapat ikan, ya.”
Semua
orang di sana mulai berharap bisa mendapatkan ikan mereka sendiri juga.
“Jadi,
bagaimana?”
Yamana-san yang memegang ikan itu melihat
Mao-san dengan bingung.
“Apa
yang harus kulakukan dengan ini?”
“Lepaskan
kailnya, lalu kamu bisa memasukkan ikannya ke
dalam kotak pendingin di bawah sana.”
“Eh,
melepas kailnya...?”
Yaman-sana mencoba menarik kail itu, tapi
sepertinya kailnya sudah
masuk dalam tenggorokan ikan sehingga susah untuk dilepas.
“Ah,
kayaknya sudah masuk dalam. Mungkin lebih baik tidak usah dilepas karena sudah mati.”
“Hah, maksudnya sudah mati....?!”
Ketika
Yamana-san mencoba menarik kailnya, ikan itu tampak kesakitan memberontak
dengan liar.
“Apa-apaan
ini, aku tidak mau!”
Yamana-san menutup matanya dengan wajah pucat pasi, dia dengan panik memegang ikan dan kailnya.
“Sini,
biar aku saja yang melakukannya.”
Lalu
Nisshi kembali berbicara pada Yamana-san.
“Kalau
beginian, kamu harus berani melakukannya. Kasihan juga ikannya.”
Dengan
gerakan yang cukup kuat, Nisshi berhasil melepas kailnya. Ikan tenggiri yang tadinya memberontak, kini
terdiam lemas.
“Ah...”
Melihat
ikan yang sudah dimasukkan ke dalam kotak
pendingin, Yamana-san
terlihat merasa bersalah.
“Nah,
aku sudah menyediakan
umpan berikutnya juga.”
Nisshi
memberikan kail yang sudah terpasang
cacing tanah setengah badan kepada Yamana-san saat
berkata demikian.
“Kamu
tinggal bilang padaku kalau dapat ikan lagi, biar aku yang melakukan semuanya.”
“...Ah...”
Melihat
Nisshi yang terus-menerus membantunya, wajah
Yamana-san terlihat sedikit merona.
“...Terima
kasih...”
Lalu, dia dengan ragu-ragu melempar
kail itu ke dalam permukaan laut dan
menegakkan pancingnya.
Luar
biasa.
Nisshi, kamu keren sekali...
Sambil
tertegun melihat penampilan Nisshi yang tidak seperti biasanya, aku menatap pancingku
sendiri. Belum ada tanda-tanda ikan yang terkait.
Kemudian tiba-tiba,
aku menoleh ke arah Luna yang ada
di sebelahku.
“...Luna?”
Luna
terlihat agak tidak nyaman melihat wadah berisi cacing tanah di sampingnya.
“Kamu
juga tidak pandai menanganinya,
ya?”
Kalau
diingat-ingat, dia tadi sempat mengatakan sesuatu soal ini. Luna pun mengangguk sambil tersenyum
masam.
“Iya,
sedikit. Biasanya kalau pergi memancing, Mao-kun
yang melakukan semuanya untukku.”
“Begitu
ya. Kalau begitu, mau aku yang melakukannya?”
“Eh,
boleh?”
“Iya,
aku sedang tidak ada kerjaan apa-apa kok.”
Selain
karena ingin menunjukkan kepada Nisshi bahwa aku juga bisa, aku juga ingin
menunjukkan kemampuanku di depan gadis
yang kusuka. Meskipun aku tidak tahu Nisshi benar-benar biasa melakukan hal
seperti ini atau hanya pura-pura, tapi menurutku itu sedikit menjijikkan. Maka
dengan sedikit paksaan, aku memasang umpan pada kail Luna dengan tenang.
“Wah,
terima kasih banyak, Ryuuto!”
Luna
berterima kasih dengan berlebihan dan menerima kail pancing dariku.
“...Anak cowok memang hebat ya.”
Dengan
wajah sedikit merona, Luna
tersenyum ke arahku.
“...Yah,
ini sih hal yang biasa kok.”
Aku jadi merasa sedikit malu dan mencoba
bersikap lebih berani.
Pada saat
itu, aku menangkap pergerakan Kurose-san
di belakang Luna. Dia tampak sedikit ragu saat memegang umpan hidup dan kail pancingnya.
Seolah-olah menyadari tatapanku, Luna pun ikut menengok ke belakang.
“Kamu tidak apa-apa, Maria? Apa
kamu bisa melakukannya?”
Ketika dipanggil
begitu, Kurose-san melirik
ke arah Luna dan aku yang ada di depannya.
“Aku
bisa kok.”
Setelah
mengatakan itu, dia lalu
memasang umpan ke
kailnya dengan menggunting cacing itu.
“Aku bisa
melakukannya sendiri.”
Usai
berhasil memasangnya, dia melempat kailnya ke laut.
“Wah,
kamu hebat sekali, Maria!”
Luna
langsung memujinya dengan mata berbinar.
“Dulu waktu massih kecil, akulah yang sering menangkap belalang dan sejenisnya, saat
ada tugas memelihara serangga di sekolah.”
“Ah
iya, waktu ada tugas untuk memelihara serangga di
sekolah SD ya.”
Saat Luna dan Kurose-san sedang mengobrol begitu, tiba-tiba...
“Ryuuto! Pancingnya, umpanmu ada yang makan!”
Ketika aku
mendengar seruan Mao-san,
aku melihat pancing milikku. Benar saja, pancingku bergerak-gerak tidak
teratur.
“Wah!”
Aku
segera mengambil pancingku dengan panik
dan mulai memutar kerekannya dengan terburu-buru.
“Ohhh!”
Di ujung
tali yang muncul ke permukaan air, ada ikan berduri merah.
“Wuihh kamu dapet
ikan rockfish. Rasanya enak lho kalau dibuat sashimi atau ditumis.”
Sambil
mendengarkan penjelasan Mao-san,
aku melepaskan kail dari mulut ikan itu, lalu memindahkannya ke dalam kotak pendingin yang berisi es.
“Kamu hebat,
Ryuuto!”
Saat Luna mengatakan ini, matanya tampak berbinar, dan tongkat pancing di depannya juga bergerak-gerak.
“Pancing
Luna juga dapat ikan, loh!”
“Hah,
serius?! Bagaimana nih?!”
Luna
buru-buru berdiri dan memegang pancingnya.
“Lho,
rasanya agak berat! Ini apa-apaan sih?!”
“Mungkin
kamu dapet ikan yang besar.”
Karena
dia tampak goyah, jadi aku juga ikutan memegang pancing dan membantu
memutar kerekannya.
“Kalau
sampai lepas bagaimana
ini~...”
“Ayo
kita tarik pelan-pelan.”
Karena kami
berdua memutar kerekannya
bersama-sama, tanganku jadi bersentuhan dengan tangan Luma. Jantungku berdebar-debar. Aroma
bunga atau buah-buahan bercampur dengan aroma
laut.
Di saat
seperti itu...
“Ini
pertama kalinya kita bekerja sama...”
Luna
menatapku dengan jarak yang begitu
dekat sampai-sampai dia mungkin bisa menciumku dan bergumam
nakal.
Wajahku
terpantul di matanya yang besar.
“Eh...”
Karena gugup,
tanganku berhenti sejenak ketika memutar
kerekan pancing.
Di bawah cahaya matahari yang bersinar terik, Luna yang tersenyum lembut dan menatap ke arahku bagaikan dewi yang begitu cantik dan berharga.
Aku
merasa sangat bahagia. Aku tidak tahu sudah berapa kali aku merasakan hangatnya
tangannya yang bertumpuk dengan tanganku, tapi suhu tubuhnya selalu mencekik
dadaku dengan sesak.
Otakku
terasa mati rasa,
tenggorokanku tiba-tiba kering, dan
suaraku tidak nisa keluar
dengan baik. “Ini
pertama kalinya kita bekerja sama...”
Dengan suara yang agak serak, aku mengulangi kata-kata Luna.
Kalau
dipikir-pikir, pose ini mirip dengan adegan pemotongan kue
pernikahan yang biasa terlihat di TV... Pipiku
jadi terasa panas saat berpikir
seperti itu.
Luna
terlihat senang menikmati reaksiku ini, lalu menyeringai.
“Cuma
bercanda!”
Senyuman sang dewi pun pecah seperti percikan air,
membuatku teringat bahwa musim itu kembali datang.
Ternyata
aku masih bukan tandingannya.
Dari
situ, dimulailah waktu yang menyenangkan.
“Nikoru, umpanmu dapet
ikan lagi!”
“Seriusan?”
“Nisshi
juga!”
“Ah,
benar juga!”
Saat
menurunkan pancing, ikan langsung menggigitnya.
Lama-kelamaan
aku terbiasa dengan umpan hidup, dan bisa memasukkan kait dan memotongnya tanpa
emosi apa pun.
“Hei!”
Tiba-tiba,
Tanikita-san berteriak dengan suara
keras.
“Apa-apaan sih? Benang-benangnya jadi kusut, tau!”
Dia berteriak
keras kepada Icchi dengan wajah yang memerah.
“I-Itu
karena aku juga dapat ikan, jadi aku mau menariknya...”
Icchi membela diri dengan suara pelan.
Ketika aku melihat
pancing mereka berdua,
benangnya saling terlilit di udara.
“Ah,
kelihatannya kusut. Tunggulah sebentar ya,
aku akan mencoba membantu...”
Mao-san mencoba mendekati mereka dan hendak membantu, tapi mereka berdua justru...
“Kamu
ini bodoh ya?! Jangan bergerak! Tu-Tunggu, be-benangnya
malah jadi semakin kusut! Dasar mesum! Cabul!”
“Bukan,
aku cuma mau membantumu..."
“Hei,
apa yang kamu lakukan?! Cepat menjauh!
Kalau sampai terjerat
begini... Kalau kita terjerat...
Ak-Aku bisa hamil!”
Ketika wajahnya
yang memerah seperti kehabisan napas,
Tanikita-san berteriak ke laut lepas.
“Hah...?”
Icchi juga langsung memerah dan
kehilangan kata-kata.
Tunggu,
benang pancing bisa hamil? Dunia Tanikita-san
memang tidak bisa kupahami.
“Oke,
aku akan mencoba melepaskannya, jadi
tenanglah dulu kalian berdua.”
Lalu Mao-san datang dan mulai melepaskan
benang pancing mereka.
“Ah,
Luna! Tolong gulung pancingku ya, karena umpanku juga dimakan ikan!”
“Baik!”
Sementara
itu, Tanikita-san dan Icchi terdiam dengan wajah memerah.
“...”
“...”
“Nah,
sekarang sudah terlepas. Lain kali
hati-hati ya."
Setelah
berhasil dilepaskan, dua buah benang pancing itu kembali diserahkan kepada mereka berdua. Mao-san pun pergi, dan
kedua benang itu, yang sudah diberi umpan, kembali diturunkan
ke laut.
“...”
“...”
Tanikita-san dan Icchi duduk dengan saling membelakangi,
memperhatikan pancing masing-masing.
“...Anak
muda memang enak ya.”
Melihat
suasana di atas kapal yang mendadak sunyi,
Mao-san bergumam mengejek.
“Cuacanya
lumayan panas juga ya...”
Menjelang
tengah hari, Luna
mendongak ke langit dan
menyipitkan matanya.
Suasana ‘panen ikan’ sudah mulai mereda, kami pun berdiri santai
menunggu ikan yang memakan umpan.
“Benar-benar
panas ya...”
Aku
menggelengkan kepala saat
memancing di laut.
Di atas
laut, tidak ada sesuatu yang bisa menghalangi sinar matahari, dan
semakin mendekati tengah hari, tidak ada lagi bayangan di seluruh bagian kapal,
membuat wajahku seperti dibakar oleh sinar matahari langsung dan pantulan
cahaya laut yang berkilau. Aku memang membawa topi dan kacamata hitam (pinjaman
dari ayah untuk golf) yang disarankan Mao-san
lewat Luna, tapi kurasa aku akan terbakar
seperti orang yang baru pulang liburan.
“Ah,
aku sudah tidak kuat, bahkan pakai tabir
surya pun tetap akan terbakar.”
Luna
terlihat tidak tahan, lalu melilitkan handuk ke wajahnya. Dia juga memakai topi
dengan pinggiran lebar (yang disebut topi
ember) untuk menutupi wajahnya, serta kacamata
hitam.
Warna
kulit putihnya sudah menghilang
total dari wajah Luna,
sehingga sulit mengenali siapa dia pada
pandangan sekilas.
“Wah,
Lunachi, seram!”
“Tapi,
keren juga ya! Aku juga mau coba!”
“Bukannya
kamu sudah menjadi gadis gyaru berkulit kecoklatan, Nikorun?”
“Bukan,
kulitku cuma gampang terbakar. Bahkan di salon pun tidak bisa sehitam ini.”
“Ah
iya.”
Sambil
mengobrol demikian, Yamana-san dan Tanikita-san mengeluarkan handuk mereka
dan meniru gaya Luna.
“Lho,
Nikoru dan Akari juga parah! Apa-apaan
itu?”
Luna
tertawa terbahak-bahak melihat keadaan mereka berdua.
“Tidak, kamu juga terlihat sama sekarang.”
“Seriusan?!”
Luna menyalakan kamera ponselnya ke kamera depan.
“Wah iya, benar
juga~! Hahaha.”
“Hei,
ayo kita foto bertiga!”
Tanikita-san berkata dan berjalan
mendekat.
“Mencurigakan
banget! Nggak mau! Perutku sakit nih.”
“Nee~, nee~,
Marimero juga... Lho, dia udah melakukannya!”
Saat mendengar
seruan Tanikita-san, aku
melihat ke arah Kurose-san, dan ternyata dia juga sudah berpakaian seperti itu.
“Lho,
rasanya enggak asli banget! Duhh hentikan itu, Maria!”
Luna
tertawa melihat penampilan kembarannya.
Topi
Kurose-san adalah topi jerami yang dianyam seperti renda putih, dengan pita dan
bunga imitasi yang memberi kesan anggun. Ditambah kacamata hitam berbingkai
merah berbentuk hati, serta handuk bergambar karakter, membuatnya menjadi orang yang sangat
mencurigakan.
“Ma-Mau
bagaimana lagi, ‘kan?
Aku hanya punya kaca hitam baru saja sebagai
suvenir!”
“Tapi
kamu juga punya handuk!”
“Aku
hanya membeli handuk dengan motif idolaku!"
“Itu
merchandise dari konser Yumepuri,
‘kan? Aku tahu karena temanku di Twitter mempostingnya~.”
“Benarkah?
Siapa yang jadi idola teman Akari-chan?”
“Hmm,
aku lupa, entah namanya Yuu-kun
atau Maa-kun..."
“Itu siapa!? Orang seperti itu tidak ada tau!?”
“Haha lucu banget, Akari juga suka banget ngomong sembarangan
ya."
“Jangan
samakan aku dengan Nikorun! Aku tidak bisa mengingat idola
teman-temanku di genre lain!”
“Hahaha!”
Luna
tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Meskipun biasanya mereka
terlihat anggun, percakapan yang semakin memanas ini sungguh absurd.
“Uwahh,
apa-apaan itu?”
Nisshi
melihat Yamana-san dengan
wajah terkejut.
“...Tapi
mungkin yang begitu lebih mudah untuk diajak
bicara.”
Di sisi
lain, Icchi bergumam dengan suasana hati yang depresi.
“Haha”
Tanpa
sadar, aku juga ikut tertawa.
Rasanya menyenangkan,
pikirku.
Bersama
pacarku, teman-temannya, dan teman-temanku.
Di hari
libur satu-satunya tanpa ada jadwal les di bimbel.
Dengan
matahari yang bersinar terik dan lautan lepas di depan mata.
Aku ingin
waktu ini terus berlanjut lebih lama.
♧♧♧♧
Sebelum
sore tiba, kami kembali ke darat dan pergi ke rumah Sayo-san, membawa hasil tangkapan ikan
kami.
Icchi
yang paling sedikit mendapat lima ekor, sementara Yamana-san yang paling banyak mendapat
hampir dua puluh ekor. Jika digabung, jumlah ikan yang kami tangkap cukup banyak.
“Nah,
sashiminya sudah siap~”
Sayo-san membawakan hidangan sashimi yang dibuat
dari ikan yang disiapkan Mao-san di dapur.
“Dan
ini ikan yang dimasak”
Ini
adalah masakan buatan Sayo-san.
“Nek Sayo,
biar aku yang bawa!”
“Aku
juga mau membantu”
Luna
dan Kurose-san bergerak
cepat untuk membawa makanan.
“Ak-Aku
juga akan membantu...”
Aku juga ikut berdiri, meskipun agak
terlambat. Dengan
begitu, persiapan untuk makan malam lebih awal
hari ini selesai.
“Bersulang!”
Kami
mengangkat gelas berisi cola dan teh, menandai dimulainya pesta.
Masih ada
banyak ikan yang harus diolah,
jadi Mao-san dan Sayo-san masih terus memasak di dapur.
Meja
makan di ruang makan-ruang tamu beralaskan tatami ini tidak berubah sejak musim
panas tahun lalu, saat kami berkumpul di sini setiap pagi dan malam. Dengan
jumlah kami yang sekarang, ruangan ini terasa sedikit sempit.
“Hmm~!”
Luna
segera memakan sashimi dan memegangi
pipinya.
“Ikan
yang kita tangkap sendiri memang enak, ya!”
“Jadi
kamu tahu mana potongan ikan yang kamu tangkap sendiri, Luna?”
Dikomentari
oleh Kurose-san, wajah Luna berubah datar.
“Hmm...
entahlah.”
Di piring
terhidang sekitar tiga ekor ikan kerapu yang telah dibersihkan dari sisik dan
dikeluarkan dagingnya untuk dijadikan sashimi, menghilangkan ciri khasnya saat
masih hidup.
“Hanya
pakai perasaanku saja?”
Ahahaha, Luna menjawab sambil tertawa.
“Aku
hidup berdasarkan feeling! Tapi aku cukup yakin kok!”
“Dasar
Luna...”
Kurose-san tertawa maklum. Rasanya sungguh mengharukan melihat hubungan mereka
kembali akrab seperti dulu.
Di
sampingku, Icchi dan Nisshi makan dalam diam, tampaknya mereka gugup berada di rumah orang lain.
Aku juga pasti akan sama jika tidak pernah datang ke sini tahun lalu.
“Kali ini juga Oni-gyaru masih tidak terkalahkan juga, ya...”
“Aku
ikut-ikutan merasa memancing juga, tapi ternyata hasilnya nol.”
Hasil
tangkapan Nisshi hanya enam ekor, tidak jauh berbeda dengan Icchi. Sepertinya
karena Nisshi sibuk mengurus Yamana-san,
jadi ia sendiri tidak bisa memancing maksimal.
“Tapi
pas di babak kedua, kalian berdua malah bersikap dingin.”
Kemudian,
Yamana-san yang duduk di sebelah Nisshi, tiba-tiba mulai menggodanya.
“Iya,
di akhir-akhir, semua anak cowok
bahkan enggak mau kontak mata saat kami berbicara.”
“Responnya
juga cuek.”
Nisshi
menjadi panik ketika ditatap tajam oleh Yamana-san dan Tanikita-san.
“Habisnya, kalian semua pakai kacamata
hitam, jadi kami nggak tahu ke mana kalian lihat...”
“Kami bahkan
tidak bisa melihat wajah kalian, dengan
penampilan
seperti itu...”
Icchi menimpali dengan bergumam
pelan.
Mendengar hal tersebut, Yamana-san menaikkan alisnya.
“Ahh~, jadi kalian dekat dengan kami
hanya karena tertarik dengan wajah cantik kami, ya.”
“Dasar
cowok, mereka semua sama saja!”
Tanikita-san langsung menyetujui.
“Mungkin
sebaiknya kami selalu berpenampilan seperti itu ya?”
“Cowok-cowok
tuh kalau ceweknya nggak imut, mereka enggak mau berteman.”
“Yah,
itu wajar 'kan...”
Icchi
tanpa beban mengungkapkan pendapatnya.
Tiba-tiba,
aku merasa ada tatapan intens dari samping. Aku mengalihkan
pandanganku dan mendapati Luna menatapku lekat dengan kedua
mata melebar.
“...Ryuuto juga begitu?”
“Eh?”
Ketika aku
masih terkejut, Luna memiringkan
kepalanya dan menatapku dengan sorot mata memelas.
“Jadi bagaimana?”
“Eh...
Anu...”
Apa yang ingin ditanyakan Luna? Apa soal ‘hanya tertarik dengan wajah
cantik’ yang
disebutkan Yamana-san?
“Hmm...”
Setelah
berpikir sejenak, aku membuka mulutku.
“...
Memang, jika kamu selalu
berpenampilan seperti ini sehari-hari... mungkin aku
tidak akan menyukaimu...”
Aku berbicara
dengan suara pelan supaya
hanya Luna yang bisa mendengarnya, karena Icchi dan Nisshi berada di dekatku.
“Tapi
aku sudah... menyukaimu, Luna...
jadi, tidak peduli kamu
berpenampilan seperti apa pun, aku tidak akan bersikap dingin... padamu.”
Memang
benar kalau aku lebih senang jika dia
menunjukkan wajah manisnya padaku.
“...
Tapi, jika kamu merasa aku bersikap dingin, maafkan aku.”
Luna
menggelengkan kepalanya ketika mendengar kata-kataku.
“Tidak.
Aku tidak pernah berpikir begitu.”
Dengan
pipi yang sedikit merah merona, Luna tersenyum padaku.
“Ryuuto selalu baik hati.”
“...”
Suasana
di antara kami berdua dipenuhi oleh suasana
manis, membuatku merasa geli dan malu di hadapan orang lain.
Pada saat seperti itu,
“Enak ya.
Aku jadi merasa iri.”
Kurose-san, yang berada di samping Luna, berkata sambil memandang kami.
Kurose-san tersenyum. Tidak ada sedikit pun
ekspresi canggung di wajahnya, malah dia menyipitkan matanya seolah-olah
terpesona.
“Aku
juga ingin memiliki pacar seperti
Kashima-kun suatu hari nanti.”
“...”
Aku tidak
bisa mengatakan apa-apa, dan bahkan tidak
bisa menjawabnya.
Sepertinya Luna juga merasakan hal yang sama.
Lalu,
Nisshi, yang tampaknya mendengarkan percakapan, tiba-tiba mendekat ke arah
kami.
“Apa
Kasshi itu pacar yang baik? Dia 'kan
KEN Kids?”
Padahal ia
sendiri juga termasuk dalam kelompok itu, tapi ia
malah mengatakan hal tersebut.
Namun, Luna mengangguk dengan tulus.
“Iya,
mungkin saja... Bagi gadis-gadis
lain, ia bukan pacar yang terlalu baik."
Aku ingin
memprotes, ‘Hei,
aku sudah menyadarinya sendiri!’, tapi saat
melihat Luna, dia memiliki senyum bahagia di
wajahnya.
“Tapi,
aku sangat menyukainya. Tidak ada yang bisa menggantikannya, orang yang paling
berharga bagiku di dunia ini.”
Luna
mengatakan itu dengan nada yang terdengar seolah-olah seperti menyatakan suatu
kebenaran yang umum.
“...”
Alis
Kurose-san sedikit berkerut. Mungkin dia mengingat sesuatu yang menyakitkan.
Luna
memandang adik perempuannya itu
dengan senyum lembut.
“Jadi itulah sebabnya, Maria pasti
akan bertemu dengan orang yang tepat untuknya suatu hari nanti. ... Aku yakin itu.”
Ekspresinya
dipenuhi dengan kasih sayang, sosoknya tampak seperti seorang dewi yang turun dari khayangan...
"...
Iya.”
Setelah
jeda yang cukup lama untuk merenungkan kata-kata kakaknya, Kurose-san mengangkat wajahnya dan berkata
sambil tersenyum.
“Semoga
saja suatu hari nanti, aku berharap bisa bertemu dengan seseorang yang seperti itu.”
Kurose-san
bergumam dan tersenyum, dan meskipun aku merasa ada sesuatu yang bersinar di
matanya, dia segera memalingkan wajahnya dari kami.
Tapi,
semangat positifnya tetap tersampaikan.
Karena
dia bahkan mulai membicarakan tentangku, hal yang tidak pernah dia lakukan selama karyawisata sekolah dulu.
Saat kami
semua kembali menikmati makan malam dalam suasana yang menyenangkan, Nisshi
tiba-tiba melihat ke samping dengan gelisah.
“...
Apa Nikoru belakangan ini sering bertemu
dengan 'Senpai'?”
“Hm?”
Yamana-san yang sedang memisahkan ikan
panggang dengan sumpitnya, berhenti bergerak ketika diajak bicara.
“...
Tidak. Akhir-akhir ini
sepertinya ia sibuk
menyesuaikan diri dengan les tambahan barunya, dan selama liburan ia juga ada
kelas intensif, jadi aku tidak mau mengganggunya.”
“Hmm, begitu ya....”
Meskipun
ia menjawab dengan nada tidak peduli, tapi raut wajahnya memancarkan rasa lega
dan kebahagiaan, jadi kurasa perjuangan Nisshi
masih sangat panjang.
“Omong-omong,”
Yamana-san mulai berbicara lagi sambil kembali
menyentuh ikan gorengnya dengan sumpit.
“Hari
ini... benar-benar, terima kasih. Itu sangat membantu.”
Dia
berkata sambil sesekali melirik ke arah Nisshi.
Wajah
Nisshi tiba-tiba memerah, dan ia mengalihkan pandangannya dari Yamana-san.
“Ah...
ti-tidak... itu bukan
apa-apa...”
Melihat
Nisshi yang gugup saat diberi ucapan terima kasih oleh gadis yang disukainya,
aku berpikir bahwa ia memang masih perjaka.
Padahal di atas kapal, aksinya
terlihat begitu keren.
“Mm.”
Lalu,
Yamana-san mengulurkan tangannya ke arah
Nisshi. Tangan yang tidak memegang sumpit. Pandangannya tertuju pada piring
kosong yang ada di depan Nisshi.
“Sini,
pinjamkan! Aku akan mengisinya untukmu. Atau apa
kamu tidak membutuhkannya?”
“Eh...?”
Akhirnya
Nisshi mengerti maksud Yamana-sam
meskipun terlambat, dan segera menyodorkan piringnya.
“Ti-tidak,
ini! Aku butuh!”
Nisshi engan
tergesa-gesa menyerahkan piringnya, Yamana-san
pun mengisinya dengan ikan goreng dan beberapa
sayuran rebus sambil tertawa kecil.
"Eh?!
Tu-Tu-Tu-Tunggu
sebentar!!”
Tiba-tiba,
Tanikita-san berseru dengan wajah memerah dan menatap Icchi yang duduk di seberang meja.
“Ap-Apa...?”
Icchi terlihat gugup.
“I-Itu, gelas minumku... tau?!”
“Eh?!”
Icchi mengalihkan pandangannya ke
gelas berisi cola yang sedang dipegangnya.
“Ta-Tapi,
itu kan sudah ada di sini...”
“Saat
piring berisi shoyu datang, aku memindahkan gelasnya ke situ! Jadi itu
punyaku!”
“Eh?!
Ah...!”
Sepertinya
pada saat itulah Icchi baru menyadari bahwa gelas yang dia
gunakan ternyata milik Tanihoku.
“Ya, tidak
masalah, ‘kan? Ciuman tidak langsung juga tidak apa-apa, 'kan?
Kamu juga tidak keberatan, 'kan? Kenapa kamu
tidak jujur saja, Akari.”
Saat
Yamana-san mengatakan ini dengan kaget, wajah Tanikita-san menjadi semakin
merah.
“Ap-ap-ap-ap-ap-ap-apa?!
Ci-ci-ci-ci-ci-ciuman tidak langsung?!”
Dia
mengeluarkan suara memekik aneh
seperti binatang dan mulutnya
membuka-tutup.
“Kamu ini
ngomong apaan sih, Nikorun!? Tentu saja aku tidak mau! Dengan orang cabul, aneh, dan mesum ini—!”
“Ca...
cabul...!?”
Icchi terus menerima makian yang
sangat buruk di atas kapal. Ia
tidak tahu harus berbuat apa, lalu mengambil gelas dan memandang ke
sana-kemari.
“Hei,
ayo makan tempura kismis, masih hangat nih~”
Di saat
itu, Mao-san datang dari dapur membawa
piring.
"Ki-kissu!?”
Tanikita-san kembali berteriak
histeris.
“Ohohohoho...”
Tiba-tiba,
Sayo-san yang duduk di sudut ruangan,
tertawa terbahak-bahak melihat kami.
Pesta
setelah kegiatan memancing perdana terus berlanjut
hingga malam tiba.
♧♧♧♧
Menjelang
akhir Mei, saat cuaca mulai menunjukkan tanda-tanda datangnya musim hujan, aku
dan Luna kembali mengunjungi Akuarium Sunshine.
“Wah,
semuanya terlihat ceria hari ini!”
Luna
tersenyum cerah saat melihat penguin terbang di sudut luar.
Pagi hari Sabtu pagi setelah hujan. Aku masih harus
menghadiri les sore
nanti. Setelah
menjelajahi seluruh area akuarium, kami makan siang di teras kafe yang berada
di area luar.
Angin
yang berhembus membuat udara yang sedikit lembap terasa nyaman. Tanpa sadar,
sekarang sudah cukup hangat untuk bisa berada di luar dengan mengenakan baju
lengan pendek.
Kami berdua masing-masing menikmati pasta
segar yang disajikan dalam wadah kertas.
“...
Fukusato-san ternyata orang yang lebih
baik dari yang aku pikirkan.”
Luna
tiba-tiba berkata pelan sembari menghentikan gerakan menggulung pasta.
“...
Begitu ya...”
Karena aku tidak
bisa menemukan jawaban yang tepat, Luna
mengangkat wajahnya untuk menatapku.
“Dia
bilang 'Kamu
tidak perlu menganggapku sebagai ibu, tapi aku akan merasa senang jika kamu menganggapku menjadi temanmu' Jadi aku
memutuskan untuk memanggilnya 'Misuzu-san' dengan nama kecilnya. Lalu aku juga
dengar kalau di masa SMA-nya dia pernah jadi gadis
gyaru, jadi kami mengobrol seru tentang tren fashion
anak gaul jaman dulu.”
Tersirat
senyum tipis di wajahnya saat mengatakannya.
“Jadi begitu
ya..."
Akhirnya,
aku pun tersenyum tulus.
“Baguslah...”
Aku
sungguh-sungguh berpikir demikian.
Perlahan
aku memasukkan pasta yang berulang kali tergelincir dari garpu plastik karena
berminyak ke dalam mulutku.
Setelah selesai makan, kami kembali melihat
penguin.
“Ah,
ada pelangi!”
Luna
berseru dengan kaget.
Di
seberang akuarium, melintang dari satu gedung ke gedung lain, terbentang sebuah
pelangi di langit setelah hujan.
“Benar
juga.”
“Indah
sekali~”
Luna
menyipitkan mata dengan takjub seraya
menatap akuarium.
“...
Tadi aku teringat,”
Setelah diam sejenak, Luna perlahan-lahan membuka mulut.
“Ketika aku
masih kecil dulu,
aku ingin sekali bisa terbang.”
Dia
tersenyum padaku sebentar, lalu kembali menatap akuarium.
"Aku
ingin menjadi sosok yang berbeda, sesuatu yang membuatku bersemangat, seperti
penyihir atau tuan putri.”
Sorot
matanya yang menerawang menunjukkan kerinduan akan masa kecilnya.
“Tapi
setelah agak besar, aku mulai bermimpi ingin menjadi istri seseorang dan ibu,
seperti ibuku... Meskipun itu masih impian yang belum bisa kucapai sekarang.”
Luna
tersenyum malu-malu, lalu ekspresinya berubah menjadi sendu dan cemas.
“Aku
bertanya-tanya, bagaimana caranya orang-orang menemukan apa yang mereka inginkan?
Mungkin Luna membayangkan wajah Yamana-san, Tanikita-san, atau Kurose-san yang sudah menemukan tujuan
mereka.
“Apa
itu memang sudah ada dalam diri kita sejak lahir? Kenapa aku sampai sekarang
belum bisa menemukannya?”
Bibirnya
terbuka seakan terengah-engah saat dia
menengadah memandang langit.
“Waktu
kita memancing, aku berpikir, meskipun
mereka semua bercanda-canda, tapi mereka sudah menemukan jalan mereka sendiri.
Jadi apa aku pantas ada di sini, bersenang-senang bersama mereka? Mungkin aku
tidak pantas melakukan itu...”
Menyadari
bahwa bahkan di hari-hari menyenangkan itu, Luna
memiliki pergolakan batin seperti itu, membuatku sedikit merasa sesak.
“...
Kurasa itu boleh-boleh saja,”
Walaupun aku tidak bisa mengatakan hal yang tak bertanggung jawab, tapi aku ingin menyemangatinya.
“Kamu 'mencoba menjadi sesuatu untuk sementara',
‘kan, Luna?”
“Iya...”
Luna
mengangguk ragu-ragu.
“Tapi
aku bahkan tidak tahu aku ingin mencoba menjadi
apa....”
“Aku
juga sama. Sekarang aku sedang belajar untuk masuk universitas, tapi aku belum
memutuskan apa yang akan kulakukan setelahnya.”
Bahkan aku masih belum memilih jurusan yang pasti, dan aku sering
meragukannya.
“Dibandingkan
denganku, kamu sudah
mulai bekerja di toko kue, bukan? Aku merasa kagum
padamu.”
Sosok Luna yang sudah melangkah keluar
menuju masyarakat, terlihat begitu cemerlang di mataku yang hanya belajar untuk
diri sendiri.
“Iya,
aku suka melayani pelanggan. Tapi apa aku cocok jadi penjual kue ya? Aku suka
makanan manis, tapi sama sekali tidak tahu banyak tentang jenis-jenis kue, jadi
kadang bingung kalau ditanyai
pelanggan...”
Luna
menunduk saat mengatakannya.
“Pada
akhirnya, ini cuma 'main-main' saja. Apa yang harus kulakukan sekarang...”
“...”
Apa itu masih belum cukup?
Sebenarnya,
apa yang diinginkan Luna?
Orang
yang sejak kecil bersungguh-sungguh berlatih untuk menjadi pemain bisbol dan
akhirnya mewujudkan impiannya menjadi pemain profesional yang memecahkan rekor
Jepang di dalam Liga Utama, mungkin
bisa benar-benar puas dengan pekerjaannya.
“Jika
kamu merasa bahagia dengan itu,
kurasa itu tidak masalah.”
“Tapi
aku tidak tahu, pekerjaan apa yang bisa membuatku merasa bahagia...”
Luna
menatap akuarium ikan saat membalas perkataanku.
“Bahkan
jika aku menemukan sesuatu yang aku inginkan, itu mungkin hanya ilusi... Atau
jangan-jangan, bukannya terbang, tapi hanya berenang di dalam akuarium ini?”
Pada
saat-saat seperti ini, Luna terlihat
begitu serius dan murni.
Impian
yang dibayangkannya pastilah ideal dengan kemurnian yang tinggi.
“Meskipun
begitu, jika kamu bisa
merasakan kebahagiaan kecil dari pekerjaan itu, kurasa
itu sudah bisa disebut bahagia.”
“...”
Wajah Luna masih tampak murung.
Penguin
yang berenang menembus pantulan pelangi di akuarium, tidak peduli dengan
kegelisahan manusia, bergerak dengan anggun.
“...
Kurasa para penguin itu pasti merasa sudah mewujudkan impiannya,”
Sambil
memperhatikan ekspresi tenang penguin yang lewat, aku pun berkata.
“Yaitu
'aku berhasil terbang di langit'.”
“Eh...?”
Luna sedikit
mengangkat wajahnya, menatapku dengan heran.
“Mungkin
itu hanya kebahagiaan di dalam kotak, tapi
kebahagiaan itu tidak harus sesuatu yang besar... Akhir-akhir ini aku berpikir,
mungkin kebahagiaan justru bisa ditemukan dalam hal-hal kecil seperti itu.”
Aku kemudian
mengingat momen di mana aku
memancing bersama Luna di atas
kapal.
“'Kebahagiaan'
itu datang dalam 'momen-momen yang
sederhana’, ‘kan?”
Meski
kebahagiaan kecil yang muncul tiba-tiba akan segera tertelan oleh
kejadian-kejadian lain dalam kehidupan sehari-hari.
“Bahkan
jika seseorang berada dalam lingkungan yang sangat diuntungkan, jika hal tersebut sudah menjadi rutinitas,
kepekaan untuk merasakan kebahagiaan akan semakin berkurang.”
Luna
menatapku lekat-lekat, mendengarkan perkataanku dengan seksama.
“Tapi
sesekali, ada momen-momen kebahagiaan
yang luar biasa... dan karena ada momen-momen seperti itu, aku bisa terus
menjalani kehidupan sehari-hari.”
Aku mulai
kehilangan kejelasan dalam pembicaraan, dan aku panik lalu terdiam.
Saat
melihat akuarium, para penguin masih berenang dengan
tenang seperti biasa.
“Aku
pikir para penguin itu setiap pagi berpikir, Saat mereka membelah dinginnya air di bawah
langit biru, dan pada saat itu, untuk
sesaat.... ‘aku merasa sedang terbang!'”
Luna
membelalakkan matanya sedikit, lalu mendongak menatap akuarium dengan terkejut.
“Bahkan
orang-orang yang sudah mewujudkan impian kecil mereka sejak kecil pun, tidak
selalu mendapatkan kesenangan dalam pekerjaan mereka.”
Aku tahu
bahwa aku yang bahkan belum pernah bekerja paruh waktu pun, tidak memiliki kekuatan persuasi saat mengatakan
hal ini.
Tapi,
keajaiban [berpacaran
dengan Shirakawa Luna] terjadi
dalam hidupku.
Aku bisa
berpacaran dengan Luna... Pada awalnya aku selalu berdebar-debar
melihat setiap gerak-geriknya,
merasakan semangat di setiap momen. Semuanya tampak
begitu bersinar.
Kemudian ada
masalah dengan Kurose-san, dan
sempat ada ancaman perpisahan.
Tapi,
meskipun tidak selamanya menyenangkan, satu tahun berpacaran dengan Luna merupakan kebahagiaanku.
“Jadi menurutku, mempertanyakan situasi saat ini
atau berjuang, itu juga bagian dari kebahagiaan.”
Akhirnya,
senyum Luna merekah.
“....Begitu
ya.”
Dia
mengangguk dalam-dalam seolah memahaminya, lalu mendongak ke akuarium.
“Jadi,
penguin-penguin ini 'sedang terbang', ya?”
Dia
bergumam dengan nada sungguh-sungguh.
“Mereka
pasti terkejut juga. Kurasa mereka tidak pernah
menyangka hari di mana mereka benar-benar bisa terbang akan tiba.”
Luna
menatapku dan berkata sambil tertawa, kemudian dia
dengan ringan menundukkan kepalanya.
“Aku
ingin memiliki cinta sejati seumur hidup. Tapi setelah berpacaran dengan
beberapa orang, entah kenapa aku mulai berpikir bahwa cinta sejati mungkin
tidak ada di dunia ini, atau jika ada, itu akan di luar jangkauanku.”
Dia
sedikit demi sedikit bercerita, lalu mendongak lagi.
“Lalu pada saat itu,
Ryuuto menyatakan cintanya padaku.”
Dia
menatapku dengan mata bersinar, terlihat bahagia.
“Aku
sangat bahagia berpacaran dengan Ryuuto, tapi di dalam hatiku, aku berpikir, 'Kebahagiaan
ini mana mungkin bisa
berlangsung selamanya.'”
Dia
sedikit menggigit bibirnya, lalu melanjutkan.
“Jadi,
ada kalanya aku hampir menyerah pada Ryuuto...”
Luna
tertawa pahit, lalu menatapku. Wajahnya tampak lega dan segar.
“Tapi
belum lama ini... suara di kepalaku sudah menghilang. Aku akhirnya bisa tulus
berpikir, 'Aku benar-benar telah mendapatkan cinta impianku.' Mimpi yang
seperti khayalan itu, benar-benar terjadi dalam hidupku.”
“Luna...”
“Tapi,
itulah sebabnya...”
Luna
sedikit mengerutkan alisnya.
“Aku
mungkin saja seenaknya memutuskannya sendiri karena
berpikir, 'Aku sudah sebahagia ini, tapi
aku menjadi serakah dan Tuhan tak akan mengabulkannya jika aku memiliki impian yang lain.'”
Lalu, dia
menatapku dengan wajah bermasalah.
“Aku harus bagaimana?”
“Hah?”
“Sejak
berpacaran dengan Ryuuto, aku menjadi
gadis yang sangat serakah. Sampai-sampai aku merasa
seperti akan kena hukuman...”
“...”
Aku
tersenyum menenangkan ke arahnya.
“Jangan
khawatir, tenang saja. Karena selama ini... kamu sudah berjuang keras.”
Aku tak
ingin membuatnya teringat akan masa lalu yang menyakitkan, jadi aku
menyemangatinya.
“Ryuuto...”
Sekilas,
ada sesuatu yang bersinar di matanya, tapi kemudian Luna kembali tersenyum cerah.
“Begitu
ya. Kalau begitu... aku akan percaya pada Ryuuto, dan mencoba menjadi gadis yang serakah.”
Kami
berjalan berdampingan menuju tempat sekolah
bimbel dengan bergandengan tangan.
Di jalan
Sunshine sebelum matahari terbenam, ada banyak
keluarga dan anak muda yang sedang kembali ke rumah atau menuju untuk makan.
Langit senja terlihat sangat cerah, dan jalan yang kami lalui terasa hangat terkena sinar matahari
sore.
“Oh iya, soal
Orido-san.”
Tiba-tiba,
Luna memulai obrolan dengan nada santai.
“Katanya,
selain bekerja di Chandfleur, dia juga
punya pekerjaan paruh waktu di bidang fashion, tapi dia berencana mau berhenti
karena mau berburu pekerjaan.”
Orido-san adalah senior rekan kerja
paruh waktu Luna di toko
kue. Saat pertama kali bertemu dengannya,
aku merasa dia terlihat modis, mungkin itu karena
dia juga bekerja di bidang fashion.
Setelah dia memberikan kejutan ulang tahun untukku, Luna
menjadi akrab dengan Orido-san,
dan kadang mereka pulang bersama untuk minum teh. Orido-san
katanya dua tahun lebih tua, dan
masih bersekolah di perguruan tinggi.
“Lalu,
Orido-san bilang, 'Kalau Luna-chan mau, aku bisa
merekomendasikanmu bekerja di sini. Merek kami agak bergaya 'gyaru', jadi kurasa itu akan cocok denganmu.'”
“Oh,
jadi begitu ya.”
Aku
terkejut dengan perkembangan yang tiba-tiba ini. Aku
tidak pernah menyangka kalau dia
mendapat tawaran seperti itu.
“....Jadi,
bagaimana? Mau coba kerja di sana?”
Saat aku
bertanya, Luna
menengadah ke atas seraya
berpikir dalam-dalam.
“...Hmmmm, mungkin aku akan mencobanya.”
Dengan
pipinya yang sedikit merona terkena sinar matahari sore, Luna bergumam pelan.
“Ternyata
aku memang menyukai fashion
ya. Setelah bekerja di toko kue dan mendapat kepercayaan diri dalam melayani
pelanggan, aku benar-benar bersemangat saat mendapat
ajakan. Mungkin saja aku tak berbakat, dan nanti bisa
jadi aku akan merasa sangat sedih, tapi sekarang aku ingin mempercayai rasa
bersemangat ini.”
“Begitu
ya.”
Jika Luna sudah memutuskan demikian, aku hanya bisa memberinya
dukungan sepenuhnya.
“Aku
berharap kamu bisa menikmatinya.”
Aku
menguatkan genggaman tangan kami dengan semangat.
“Ya!”
Luna
menatapku dengan pandangan mata
yang berbinar.
“...Apa
aku bisa terbang juga?”
Aku
memperhatikan kedua matanya yang penuh harapan, namun juga sedikit khawatir,
lalu mengangguk mantap.
“Kamu pasti bisa terbang.”
Kehangatan
di dalam genggaman tangan kami, yang sudah
hampir satu tahun, terkadang masih membuat jantungku berdebar.
“Ayo
kita terbang bersama.”
Saat aku
mengucapkan itu dengan penuh keyakinan,
Aspal di
jalan raya yang ramai terlihat bagaikan landasan pacu.
Kapan
terakhir kali aku bermimpi untuk
terbang?
Saat
masih kecil, aku sering memimpikannya, tapi entah sejak kapan, alam bawah
sadarku seolah terbelenggu oleh beban gravitasi.
Bukan
hanya Luna saja yang akan terbang.
Aku juga yang setiap hari berjuang menghadapi
meja belajar, demi menemukan diriku yang belum kukenal.
Demi masa
depan kami berdua.
Dengan
begitu, sudah hampir dua bulan berlalu sejak kami
menjalani tahun terakhir di SMA, meninggalkan jejak
kebahagiaan di kehidupan sehari-hari.