Chapter 3 — Toudo Tsuyoshi Dan
Kelas Khusus
Kelas
khusus, itulah ruang kelas yang mulai kuhadiri hari ini.
Kelas ini
terletak beberapa menit berjalan kaki dari gedung sekolah reguler dan diikuti
oleh siswa dengan kemampuan khusus.
Sejujurnya,
suasananya agak mirip dengan sekolah dasar itu.. Namun, tempat ini tidak
terlalu terpisah dari kenyataan. Ini adalah tempat yang bersinggungan dengan
kehidupan sehari-hari.
Bangunan
kelasnya sama seperti ruang
kelas biasa, dibagi menjadi berbagai kelas untuk setiap tahun. Meskipun begitu,
jumlahnya jauh berbeda dengan kelas biasa. Mereka adalah para siswa yang
terpilih dengan cermat.
“Jadi di
sinilah kelas baruku, ya?”
“Hehe, selamat datang! Karena jumlah muridnya tidak banyak, mari
kita bersenang-senang! Oh, kursimu ada di sini, Toudo.”
Tempat
dudukku berada di sebelah Tanaka. Tanaka menarik meja dan menyambungnya dengan mejaku. Sudah kuduga, jarak di antara kami
memang dekat.
Tanaka
mengetuk mejaku dengan keras.
“Ayo, ayo, duduk dulu, hehe,
rasanya aneh banget ya bisa sekelas denganmu, Toudo?
Rasanya menyenangkan, ‘kan?”
"Hmm,
apa iya seperti itu? Karena
biasanya kita bertemu di halaman, jadi aku tidak
terlalu merasakannya.”
“Hmm...
wanita memang begitu, tau.”
Aku tidak
merasakan ada perasaan aneh. Semuanya
baik-baik saja. Namun, rasanya sangat menyakitkan saat aku merasa
menyembunyikan sesuatu dari teman-temanku. Setelah hari itu, aku, Hanazono, dan
Tanaka sering makan siang bersama di halaman. Jadi, aku mulai terbiasa
memalsukan kenangan.
Aku duduk
di tempatku dan melihat sekeliling.
Ada beberapa
siswa yang sedang berbicara dalam kekompok.
Beberapa siswa yang membuka laptop di tempat duduknya. Ada yang sedang berlatih
fisik, ada yang sedang tidur. Semuanya bebas, tapi tidak terlalu berbeda dari
kelas biasa.
“Oh
ya, apa yang membuat Tanaka bisa
masuk ke kelas khusus?”
“Aku?
Ehm, itu, rasanya agak memalukan sih...”
“Oke,
aku tidak akan bertanya lebih lanjut. Kalau kamu ingin cerita, katakan saja.”
“...Ya,
sudah kuduga, Toudo, kamu......Tidak apa-apa. Ak-Aku akan berusaha keras!”
Tanaka
menjawab dengan semangat, meskipun terlihat sedikit dipaksakan. Aku tidak tahu
apa yang sebenarnya terjadi. Tidak, aku tidak boleh menggunakan kata “tidak tahu” lagi. Itu hanya akan menjadi
alasan.
Aku harus
berusaha untuk mengerti. Jangan pikirkan dengan logika. Pikirkan dengan
naluri...
Reaksiku
sekarang berbeda dengan dulu. Aku... Aku tidak ingin melihat wajah sedih gadis ini.
“Umm...
Aku akan senang jika kamu menceritakannya kepadaku suatu saat nanti.”
“Ah...
Ya, ehehe, lain kali ya.”
Bagaimana
ekspresi wajahku saat ini? Apa Tanaka merasa ketakutan? Melihat senyumnya, hatiku jadi
tenang... Apa dulu juga seperti ini? Apa aku
selalu bersama gadis semanis ini? Hanazono
juga gadis yang sangat manis.
“Omong-omong,
Tanaka, ada sesuatu yang ingin aku minta tolong.”
“Eh,
apa? Kenapa tiba-tiba wajahmu tegang begitu, kaget tahu!”
“Bisakah
kamu memberitahuku kontak adik laki-lakimu? Aku ingin menyimpan nomornya
untuk jaga-jaga jika terjadi sesuatu.”
“Hah?
Rasanya terlalu mendadak banget, aku jadi enggak ngerti...”
“Tidak apa-apa, ini hanya demi kepuasanku sendiri.”
Adik laki-lakinya adalah orang yang paling
mengenal Tanaka. Dia pasti orang yang tepat untuk konsultasi soal Tanaka.
Informasi yang tercatat di buku catatanku tidak cukup untuk mengetahui semuanya
tentangnya.
“Kalau
begitu, lain kali ayo kita
karaoke bareng yuk! Ia juga
pasti akan menyukaimu loh, Toudo.... Ia tuh
senang bisa ketemu orang yang belum mengenalnya.”
Kalau
tidak salah, adik laki-laki Tanaka
bersekolah di kelas khusus setingkat di bawah kita. Dan ia sangat mempedulikan Tanaka. Sebaiknya aku juga
konsultasi dengannya jika terjadi apa-apa. Dan aku juga merasakan ada sesuatu
yang berbeda darinya. Ia pasti
pernah satu sekolah dengan Tanaka sejak SD, jadi mana
mungkin ia bisa satu SD denganku. Tapi...
baunya mirip alumni SDku.
Tapi...
“Orang
yang belum mengenalnya? Apa
adikmu itu semacam selebriti?”
"Haha,
kalau kamu enggak
mengenalnya,
berarti enggak masalah, ‘kan?”
Mengobrol
ringan dengan Tanaka adalah waktu yang sangat berharga. Melalui itu, aku bisa
melihat apa yang perlu diperbaiki dalam hubunganku dengannya. ...Aku bisa memahami kenapa aku menyukai
Tanaka. Dia gadis yang sangat baik hati, wangi, dan memiliki hati yang indah.
“Begitu ya,
aku yakin kalau Hanazono pasti mengenalnya, ‘kan?”
“I-iya...”
Saat aku
menyebut nama Hanazono, raut
wajah Tanaka berubah. ...Kenapa? Aku tidak tahu hubungan Tanaka dan Hanazono di masa lalu. Tapi catatan di
buku dan di otakku menunjukkan kalau hubungan mereka
adalah teman dekat.
Selama
dua minggu terakhir, Tanaka
jarang datang ke halaman belakang saat jam makan siang. Hanazono juga bertingkah aneh.
“Hari
ini aku membawa roti yakisoba, katanya enak
lho.”
“Akhir-akhir
ini kamu enggak
bawa bekal ya. Pasti merepotkan,
ya.”
“...Bukan,
bukan itu alasannya.”
Begitu ya, aku memang biasa membuat bekal
untuknya. Aneh, aku memang kehilangan ingatan tentang Tanaka. Tapi aku tidak
menyadari perubahan dalam sikapku sendiri. Membuat bekal adalah rutinitas
milikku sebelum kehilangan ingatan, tapi pilihan itu sudah hilang. ...Ini perlu
diperbaiki.
Ingatan
membentuk kepribadian. Menghapus ingatanku tentang Tanaka mungkin telah merubah sesuatu di dalam diriku.
“Ya sudahlah!
Hehe, kamu selalu menantikan makan siang, ‘kan?”
“Ya.”
Tanaka
menjawab dengan riang. Aku yakin semuanya akan baik-baik
saja. Dia memiliki senyuman yang sangat menawan. Senyuman itu mungkin ditujukan
pada Toudo Tsuyoshi di masa lalu.
Dadaku
terasa sakit. Rasanya begitu menyakitkan.
Rasa sakitnya tak tertahankan, tapi aku harus menahannya.
“Oke,
semua sudah berkumpul, ya? Ah, Toudo-kun
juga datang. Kalau begitu, mari kita
mulai jam wali kelas pagi.”
Wali
kelas kami, Tokita-sensei,
masuk ke kelas, jadi kami berhenti mengobrol dan tenang.
Pelajaran
pagi berlalu dengan tenang.
Pelajaran
di kelas khusus semuanya diajar oleh Tokita-sensei,
wali kelas kami. Beliau adalah guru muda perempuan. Dengan
tubuh kecil, dia menggoreskan kapur di papan tulis dengan lincah. Meski itu
sudah materi yang kami pahami, entah kenapa belajar langsung dari orang lain
membuat lebih paham. Meski penampilannya seperti anak-anak, sepertinya dia adalah guru yang hebat.
Sebentar
lagi pelajaran pagi juga akan selesai. Sebelum pelajaran ini dimulai, Tanaka
berkata “Maaf, aku
ada urusan sebentar...”
lalu pergi entah ke mana.
...Walaupun
aku mencoba untuk tidak memikirkannya, aku tetap khawatir. Hatiku jadi gelisah
saat Tanaka tidak ada di sampingku... Apa jangan-jangan dia diculik seseorang?
Saat aku sedang gelisah, tiba-tiba Ryuugasaki,
yang duduk di depanku, mengajakku bicara di tengah pelajaran.
Ryugasaki
memakai seragam laki-laki meskipun dia perempuan. Gaya bicaranya juga maskulin.
Tapi aku tahu, gantungan tasnya ada karakter kucing yang lucu. Aku yakin kalau dia pasti menyukai hal-hal yang imut. Saat aku menunjuk itu, dia
langsung marah dengan wajah yang merah
padam.
Saat
pertama kali mengunjungi kelas khusus ini, aku terlibat
pembicaraan dengannya. Sepertinya dia mengira aku adalah atlet karena tubuhku. Kami bahkan pernah berlari bersama di
lapangan.
“Toudo,
satu bulan lagi. Tunggu saja, kali ini aku yang akan menang! Aku tidak bisa
terus-terusan kalah dari pemula sepertimu!”
“Ryuugasaki.
Waktu itu menyenangkan. Ayo kita berlari lagi bersama. Aku belum pernah balapan
dengan siapa pun sebelumnya, jadi aku sangat senang.”
“...Hah?
Kamu bohong, ‘kan?Kamu enggak
pernah balapan lari bersama orang
lain sejak SMP?”
“Kalau
aku berlari cepat, orang-orang
menyebalkan suka menghampiriku. Jadi aku sering bolos pelajaran olahraga. Aku
juga pernah jadi kuda tunggang di festival
olahraga.”
“Tapi
waktu kecil kamu pasti suka lari-larian, ‘kan?”
“...Soal
masa kecil, aku tidak terlalu mengingatnya.”
Aku
pernah bercerita tentang masa SD-ku ketika
aku di SMP.
Aku
melakukan pelatihan dengan berjalan menelusuri gunung
dengan membawa beban berat, latihan bela diri dengan orang dewasa, dan tes
tulis berjam-jam samnil dipasangi alat
aneh di kepalkua.
Saat itu
aku dibilang pembohong, jadi aku tidak pernah cerita lagi soal itu.
“Begitu...
Pantas saja semua orang tidak peka. Yah, sama kayak masa kecilku juga. Oke, aku
tunggu pertandingan selanjutnya! Kali ini aku enggak
akan kalah!”
Entah
kenapa, Ryuugasaki terlihat senang.
“Teknik
larimu sudah sempurna, tapi daya tahan paru-parumu masih kurang. Coba lakukan
latihan di ketinggian atau berlari sambil memakai masker, itu akan efektif.”
“...Padahal kamu cuma amatiran, tapi udah sombong
banget. Sialan, padahal lari
bukan keahlianku tau.”
Murid-murid
di jalur olah raga maupun seni, mereka semua menikmati kehidupan sekolah dengan
mengikuti pelajaran reguler. Mereka sendiri yang mengatur jadwal dan
menyerahkannya ke sekolah. Ada saat mereka membutuhkan gelar “murid” di
sekolah ini untuk aktivitas mereka.
Bahkan
murid di jalur akademik, mereka punya pengetahuan melebihi pelajaran SMA, tapi
kadang ikut kelas biasa hanya karena merasa penassaran.
Semuanya menikmati kehidupan sekolah seperti murid SMA pada umumnya. Meskipun
kelas ini adalah bagian khusus dari kelas khusus.
Biasanya,
kelas khusus terbagi menjadi kelas-kelas seperti Seni Tari A, Olahraga B,
Akademik C, dan Seni D.
Namun,
kelas ini adalah tempat berkumpulnya murid-murid dengan bakat yang sangat
menonjol. Ini adalah Kelas Khusus E, yang berada di dalam Kelas Khusus.
Sebelum
masuk, aku mendengar suara murid-murid berbicara:
“Katanya,
lagi-lagi kelas E bikin masalah, tuh.”
“Walaupun
mereka masuk ke dalam kelas khusus, tapi mereka adalah kelas
buangan.”
“Isinya
anak-anak aneh semua. Tapi, aku dengar ada anak laki-laki ganteng yang baru
masuk, lho.”
“Beneran?
Nanti kita lihat-lihat, yuk!”
Murid-murid
di kelas ini mempunyai
berbakat luar biasa, tapi ada 'sesuatu' yang hilang dalam diri mereka
sehingga sulit beradaptasi dengan masyarakat. ...Mirip dengan SD tempatku dulu.
Di sini sepertinya ada orang lain selain
aku yang bisa menggunakan 'Reset'. Tingkat keakuratannya berbeda-beda,
tergantung kemampuan individu.
Selain 'Reset',
ada juga 'Ingatan Instan', 'Persepsi Ruang', 'Pemikiran Cepat', dan 'Hapus'
yang bisa menghapus semua
emosi seseorang.
...Ah,
sudahlah, itu sudah tidak
penting sekarang. Masalah di luar kehidupan normal tidak ada hubungannya dengan
sekolah.
Pokoknya,
sepertinya pihak sekolah membuat
kelas ini menjadi tempat yang nyaman bagi mereka yang memiliki bakat luar biasa
ini. Pihak sekolah ingin membuat mereka bisa
merasakan kehidupan sekolah normal. Melindungi mereka dari pandangan penuh rasa
ingin tahu orang-orang biasa. Itulah tujuan dari pembentukan kelas khusus ini
menurut Kepala Sekolah.
Tapi, ada
sesuatu yang tidak kumengerti.
Kemampuan
murid di kelas khusus lain memang lebih tinggi dari siswa normal, tapi itu masih dalam batas kewajaran.
Tapi murid-murid bermasalah di kelas khusus ini... memiliki bakat yang
mengerikan. Pihak sekolah mengerti akan hal itu, makanya memasukkan mereka ke dalam kelas ini. Tapi orang-orang biasa tidak
bisa memahami kemampuan yang terlalu tinggi ini. Mereka menganggap murid-murid
ini sebagai 'benda asing'.
Ryuugasaki
bisa bersaing denganku dalam lari. Dia tidak mengeluarkan kemampuan penuh, tapi
juga tidak benar-benar menahan diri. Padahal lari bukanlah bidang keahliannya. Itu sangat tidak normal.
Sebelum
masuk ke kelas ini, aku sudah melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Aku berpikir itu akan menjadi masalah jika ada
yang berhubungan dengan SD-ku dulu. Untungnya, tidak ada yang terkait dengan
itu. Tapi tetap saja, aku merasa heran dengan kemampuan mereka.
Malah ada
beberapa yang latar belakangnya terlalu mulus, sampai-sampai terasa janggal.
Hinata-san, si gadis mungil yang sibuk dengan laptopnya, mungkin
kemampuan intelektualnya melebihi diriku.
Togou-kun, yang selalu bermain-main dengan
adik perempuan tirinya, jelas-jelas memancarkan aura yang berbeda. Aku bisa melihat ciri khas aura dari orang yang sudah
melalui medan perang. Meskipun menutupi wajahnya dengan
poni, aku bisa melihatnya. Aku bisa langsung percaya jika dia disebut “orang dari sisi lain”.
Meski
punya kemampuan tinggi, di sekolah, hal yang menonjol pasti akan ditekan.
Begitulah manusia. Pasti mereka berusaha menyembunyikan kemampuan mereka yang
luar biasa.
Ryuugasaki
bergumam,
“Oh
iya, kamu bisa ngobrol biasa sama Tanaka, ya, Toudo?
Hebat banget. Dia kan biasanya selalu cemberut, enggak
mau ngomong sama siapa-siapa. Yah, di kelas ini banyak yang lebih mementingkan
diri sendiri sih, jadi nggak masalah juga kalau nggak ngobrol.”
“Tanaka
terlihat cemberut? Aku tidak bisa
membayangkannya.”
“Waktu
kamu diputuskan masuk ke kelas khusus ini,
Tanaka malah bilang 'Asyik!! ...Tapi jangan lihat-lihat aku, ya!' Dia selalu kelihatan gelisah setiap hari. Tapi kalian berdua kelihatannya enggak
pacaran, sih... Entahlah, itu bukan
urusanku juga. Oh, baru pertama kalinya aku melihatmu tersenyum, Toudo. Ternyata kamu lumayan ganteng juga, ya?”
Kenapa
ya? Setelah mendengar cerita Ryuugasaki,
ritme nafasku jadi melambat.
Ah begitu rupanya, karena aku
merasa senang. Aku merasa
bahagia
karena ternyata Tanaka senang aku pindah
ke kelas khusus ini.
“Terima
kasih atas informasinya.”
“Sama-sama,
hehe. Kalau ada apa-apa, biar aku kasih tahu lagi, ya!”
Kalau
Ryuugasaki tidak memberitahu, aku tidak akan bisa
mengetahui kondisi Tanaka. Aku menganggukkan kepala.
Tapi
Tanaka belum kembali juga. Pelajaran sudah hampir selesai.
“Tolong
tenang semuanya~ Sebentar lagi pelajaran akan segera
berakhir.”
Suara lembut Tokita-sensei bisa
terdengar.
Dia memang
terlihat sebagai guru yang sangat kompeten untuk mengajar
kelas ini.
Wajahnya
memang sudah agak berkerut, tapi penampilannya masih terlihat muda. Pakaiannya
juga modis, terbaru. Dengan tubuh kecilnya, mungkin dia sering dikira sebagai anak-anak.
Tapi,
dari wajahnya, jelas terlihat kelelahan khas orang dewasa di akhir 20-an. Ada perbedaan jauh dengan kulit halus Hanazono dan Tanaka. Mungkin karena dia sering minum??
Apa dia
sedang kesulitan? Ah, aku menemukan uban di rambutnya. Aku harus melaporkan kepadanya nanti.
“Haaaah...
Togou-kun, kamu juga, jangan meledek
adik tirimu
terus dan diamlah!”
“Iya,
maaf, maaf, Tokita-sensei.
Soalnya Reika bodoh, jadi aku harus mengajarinya materi pelajaran.”
“Aku
sama sekali nggak ngerti! Reika kan memang bodoh!”
Hmm,
Tokita-sensei menegur dengan suara lembut.
Murid-murid yang lain juga
tidak terlihat tegang.
Aku
mengangkat tangan. Sebagai murid baru, aku harus berhati-hati saat berbicara.
“Permisi,
Sensei. Tanaka belum kembali, jadi apa aku boleh
mencarinya?”
“Ti-Tiga
menit lagi jam
pelajaran akan selesai, loh!? Toudo-kun,
kamu belum minta izin sebelumnya, ‘kan?
Dan bicara yang formal dong! Aku dengar kamu lebih waras dari murid-murid
bermasalah lainnya, kok.”
Aku juga tidak memahami perasaan ini. Sejak hari
itu, aku jadi aneh. Memang, aku bersumpah tidak akan membiarkan diriku menyesal lagi. Namun terlepas dari itu, ketika
aku bersama Tanaka dan Hanazono,
hatiku berdebar-debar dan merasa
gembira. Menurut informasi yang kudapatkan,
sepertinya aku memang menyukai Hanazono
dan Tanaka.
Tapi ini
berbeda. Aku sangat khawatir pada Tanaka.
“...Baiklah,
kita memang sedang dalam
pelajaran. -Koreksi, mohon selesaikan pelajaran tanpa memperpanjang waktu.”
“Huuuh...
Iya, deh, dengerin aja... Tapi bicara yang formal...”
Sensei
melanjutkan pelajaran dengan lemas.
Itu pasti salahku, maafkan aku... Tapi Sensei tetap bisa
menyelesaikan materi tepat waktu. Kurasa dia
memang guru yang kompeten.
Begitu
bel berbunyi, aku membungkuk, lalu berdiri dari tempat dudukku.
Tidak ada
yang mengejekku. ...Hanya Ryuugasaki yang melambai dengan gembira.
Begitu ya,
kurasa Kelas Khusus E juga tidak terlalu buruk.
Aku
mengambil ponselku, lalu keluar dari kelas.
Tanaka masih belum membalas pesanku.
... Perasaan yang terlihat di permukaan diriku tetap
tenang. Namun, di dalam hati yang terdalam, tumbuh emosi yang gelap. Apa yang
sebenarnya aku khawatirkan? Di sini adalah sekolah, jadi tidak ada hal yang perlu kucemaskan. Dan Tanaka juga mengatakan kalau dia akan
kembali. Menunggu dengan tenang di dalam kelas mungkin adalah pilihan yang
tepat.
Tidak
perlu teori. Naluri dasar diriku ingin mencari Tanaka. Kakiku bergerak dengan
sendirinya. Aku memikirkan Tanaka sambil menghitung ubin di lantai lorong.
Orang seperti
apa diriku sebelum aku kehilangan
ingatan tentang Tanaka? Tanaka masih bersikap akrab padaku. Aku hanya
merasa bingung. Yang Tanaka lihat adalah diriku sebelum kehilangan ingatan.
——Bukan
diriku yang sekarang.
Ini
adalah masalah yang sangat sulit. Menghapus emosi, mereset ingatan. Boleh dikatakan aku
telah terlahir kembali menjadi diri yang berbeda dari sebelumnya. Menghilangkan
ingatan dan emosi yang telah terakumulasi. Apa bisa
dikatakan bahwa aku masih orang yang sama? Individu yang sama dengan jiwa yang
berbeda. Kalau begitu, apa diriku yang sekarang
adalah... palsu? Tapi, aku sudah melakukan hal ini berkali-kali. Apa setiap
kali itu terjadi... aku berubah menjadi palsu?
Tidak,
tidak begitu–
Setelah
mereset Hanazono, bukannya kami berdua berhasil
membangun kembali hubungan kami? ... Dengan
menyerahkan semuanya pada Hanazono...
Aku
menggertakkan gigi. Seolah-olah menggigit
penyesalan
Aku sudah
terbiasa dengan rasa darah. Tapi, aku masih tidak menyukainya.
Tapi, aku
sudah memutuskan untuk terus maju.
Menganalisis
emosiku sendiri tidak akan menemukan jawaban. Bahkan jika aku tidak tidur untuk memikirkannya, jawabannya masih tidak bisa kutemukan. Oleh karena itu, aku menyerahkan semuanya pada naluriku -
Tapi entah
mengapa, tiba-tiba ada kenangan
yang begitu nostalgia, muncul
di kepalaku.
◇◇◇◇
Saat
liburan musim panas pada masa kelas 3
SMP. Aku telah menyelesaikan pekerjaan yang diminta Eri dan kembali ke Jepang.
Aku
menghabiskan hampir seluruh liburan musim panasku
di Perancis selatan.
Pekerjaanku adalah menyelamatkan seorang gadis yang diculik dari lembaga laboratorium Eri... Lagi-lagi aku
melakukan reset. Aku tidak ingin kembali ke Perancis selatan lagi. Namanya masih tersimpan
di catatan ingatanku, tapi aku tidak ingin mengingatnya. Aku tidak bisa
menyelamatkan seorang gadis bernama Lydia. ...... Aku membiarkan ingatanku
tenggelam jauh ke dalam relung pikiranku.
Liburan
musim panasku tinggal
beberapa hari lagi. Tapi, aku sudah
berjanji dengan Hanazono untuk pergi ke festival
bersamanya. Karena janji itulah aku memutuskan untuk kembali ke
Jepang.
Segera
setelah pulang, aku pergi ke rumah Hanazono.
“...
*uhuk* *uhuk* Kamu akhirnya kembali? Uhuk”
“Hanazono?
Ka-Kamu
baik-baik saja?”
“Berisik...
Ini hanya flu ringan. *uhuk*
Jadi, tentang festival besok... Kamu pasti akan datang,
kan?”
“Tidak,
dalam kondisi seperti itu...”
Orang tua
Hanazono melarangnya pergi ke festival setelah terkena flu musim panas. Aku
sangat bersemangat karena ini kali pertama aku akan pergi ke festival.
Jadi aku
pergi sendirian ke
festival.
Aku
pernah melihat festival di dalam video
sejak zaman SD. Ada banyak orang yang berkumpul dengan penuh semangat,
menari, membeli makanan di warung...
Semua orang tampaktersenyum.
Meskipun itu pertemuan yang tidak
efisien, tapi aku merasa penasaran
alasan dibalik senyum mereka.
Aku sudah
mempersiapkan dengan baik untuk festival ini, membaca banyak buku tentang
festival di Jepang, dan menyiapkan banyak uang receh serta memakai geta untuk
pergi ke kota. Aku tidak bisa tidur karena terlalu bersemangat.
Semua
orang di festival itu tampak bersenang-senang. Seperti yang kulihat di dalam video. Keluarga, teman, kekasih -
mereka semua tertawa bahagia. Memakan permen apel,
bermain penembakan, bermain menangkap ikan mas, menari bon odori.
Hanya aku
yang berdiri kaku.
Aku tidak
bisa masuk ke dalam suasana itu. Berkali-kali
aku berjalan mondar-mandir di depan warung,
mencoba untuk membeli sesuatu, tapi hanya bisa menggenggam uangku tanpa bisa
membeli apa-apa.
Aku
merasa bersalah karena bersenang-senang sendiri tanpa Hanazono. Walaupun ini
festival yang kutunggu-tunggu, aku sama sekali tidak merasa terhibur. Aku
merasa kesepian, sedih, dan sendirian. Berbagai emosi bercampur aduk, dan aku
tidak mengerti alasannya.
“Mas-mas
yang di sana, dari tadi kamu sendirian terus ya. Ayo beli ini.”
“Ti-Tidak, aku...”
“Ayolah,
ini enak banget lho. Nih.”
Pria penjaga
warung memberiku permen. Aku dengan
ragu-ragu membayarnya, dan tanpa disadari, kakiku sudah membawaku pulang.
Ketika aku berjalan
gontai kembali ke apartemen, dan di depan apartemenku, ada Hanazono.
Wajahnya terlihat merah padam karena demam dan dia terlihat menderita.
Dia
berpakaian berbeda dari biasanya. Dia mengenakan yukata.
Aku,
meskipun itu tidak sopan, berpikir bahwa dia
terlihat sangat cantik.
“Ak-Aku hanya mengira kalau kamu akan kesepian jika sendirian!! Itu bukan karena untukmu! Aku
hanya ingin memakai
ini...*uhuk* *uhuk* Lho, kamu menangis?! Bodoh,
kamu akan menjatuhkan
permen apelnya, tau!”
Pada saat
itu, aku tidak memahami
perasaanku sendiri.
Saat aku mendengar perkataan Hanazono,
tiba-tiba keringat mulai mengalir
di wajahku. Keringat itu tidak bisa berhenti. Karena ini baru pertama kali aku merasakannya, jadi aku tidak tahu harus berbuat
apa. Tapi, aku hanya berpikir agar kondisi Hanazono tidak memburuk. Aku
memberikan permen apel
karamel yang aku pegang kepada Hanazono.
“Kamu ingin memberikan itu padaku...
H-Hmph! Lumayan juga untuk
Tsuyoshi! ... Hehe.”
Kemudian,
tanganku ditarik.... dan orang tua Hanazono dengan
wajah khawatir, membentangkan futon di dekat teras. Hanazono berbaring dengan
masih mengenakan yukata.
Aku bisa merdengar
bunyi festival dari kejauhan. Bunyi gaduh itu terdengar seperti
suasana yang hangat hari ini.
Sambil
mendengar bunyi tersebut, aku
terus memandangi Hanazono yang mengenakan yukata. Pada saat itu, ada sesuatu
yang mulai tumbuh di dalam hatiku. Aku tidak tahu apa itu, tapi suatu hari
nanti, aku pasti akan mengerti.
“Apa
sih, dari tadi kamu terus-terusan memandangi wajahku. Jangan-jangan, kamu menyukaiku ya?”
“Jadi,
ini yang dinamakan perasaan suka... Selama ini aku tidak tahu."
“Uhuk,
uhuk! Ap-apa yang kamu katakan! Ba-Baka!”
“Ha-Hanazono,
jangan memaksakan diri. Jangan bersembunyi di dalam futon...”
Hanazono
yang terlihat dari celah futon terlihat
bahagia dan wajahnya memerah.
“Bu-bukan
apa-apa, lain kali kita pergi festival berdua ya.”
“...Ah,
tentu saja.”
Hanya
dengan percakapan singkat itu, aku bisa merasakan bahwa festival menjadi
sesuatu yang spesial bagiku.
◇◇◇◇
Kesadaranku
kembali ke realitas.
Kakiku
berhenti berjalan menyusuri lorong...
Kenangan
yang tiba-tiba muncul di luar kesadaran mengganggu hatiku.
“Ah,
begitu ya. Hanazono memang gadis yang luar biasa...”
Bukan
hanya Hanazono. Tanaka juga demikian. Aku yang bodoh telah mereset semuanya,
kini berusaha membangun hubungan kembali dari awal.
Itu adalah tindakan yang sangat
menyakitkan, dan begitu
menyedihkan.
—Perasaan
cinta yang telah kureset.
Perasaat tersebut takkan pernah kembali. Hubungan baru
yang kujalin dengan Hanazono, yang kupikir sebagai hal biasa.
Bunyi
gedebuk BRAK menggema di
koridor. ...Tanpa sadar, aku telah memukul dinding dengan tinjuku. Aku merasa marah pada
diriku sendiri. Emosiku tidak stabil.
Rasanya
menyakitkan, aku benar-benar benci perasaan ini. Aku telah
mengulang penderitaan seperti ini berkali-kali.
Rasanya akan
jauh lebih mudah jika aku
meresetnya
Tiba-tiba,
aku menyadari ada suplemen
di dalam saku. Suplemen yang biasa kuminum setelah makan. Dari mana aku
mendapatkannya?
“Suplemen
untuk menjaga kesehatan... Tidak, ini adalah—”
Jika aku meminum ini, semuanya akan terasa lebih mudah. Aku tahu
itu. Ini adalah obat 'reset'-ku.
Bayangan
Hanazono dalam yukata tidak bisa lepas dari pikiranku. Setiap kali aku mengingarnya, aku diliputi perasaan bersalah yang menyayat hati.
Aku
mengambil obat itu, lalu—
Aku
melemparkannya dengan sekuat tenaga keluar jendela di
koridor.
Penderitaan
seperti ini jauh lebih ringan dibanding rasa sakit yang dialami Hanazono dan
Tanaka.
Aku bisa
memahami sedikit perasaanku
saat festival waktu itu.
Aku ingin
pergi ke festival bersama Hanazono.
Aku ingin
menjaga kenangan itu dengan baik. Aku menyadari betapa berharganya menghabiskan waktu bersama orang yang
kusukai.
...Masa
lalu tidak bisa kembali, meskipun aku
menggunakan kemampuanku. Waktu adalah konsep yang tak dapat direset.
Itulag
sebabnya, aku hanya ingin menghargai setiap detik yang
kuhabiskan bersama Tanaka dan Hanazono. Itulah sebabnya aku mencari Tanaka.
Tindakan dan perasaanku berjalan beriringan.
Meski perasaanku telah hilang, meski ingatanku telah terhapus, Tanaka tetap
gadis yang berharga bagiku.
Aku mulai
melangkah kembali.
Setiap
langkah kuisi dengan tekad. Rasa sakit tersebut
tak kunjung mereda. Begitulah
realita manusia normal.
Tiba-tiba,
bulu kudukku berdiri.
Aku mendengar suara, suara tersebut terdengar begitu kecil.
Itu suara Tanaka yang sedang bernyanyi.
Dari
ruangan yang tertutup rapat, ada seseorang
yang sedang bernyanyi. Pendengaranku sangat tajam, jadi hanya aku yang menyadarinya.
Aku
memutuskan untuk mengikuti arah suara itu.
Suara
nyanyian keluar dari ruang audio visual yang kosong. Aku sedang mendengarkan lagu Tanaka
dari luar pintu. Suara
nyanyiannya yang dipenuhi emosi
menggetarkan hatiku. Rasa sakit yang kurasakan
sebelumnya mendadak menghilang bagai kebohongan.
Aku ingin
membuka pintu dan mendengarkannya secara langsung,
tapi Tanaka pasti akan terkejut.
Jadi aku
memutuskan untuk tetap menunggu sampai dia selesai
bernyanyi.
Aku lalu
membuka pintu lebar-lebar, dan hendak
memanggil Tanaka—
Namun,
aku terpaku di ambang pintu yang terbuka.
“...Ta-Tanaka?”
Air mata
mengalir dari mata Tanaka setelah dia selesai bernyanyi.
Pemandangan
itu tak asing bagiku. Penampilannya sama persis
seperti saat aku mereset perasaanku pada
Tanaka, dua minggu yang lalu.
“Eh?!
Ke-Kenapa kau ada di sini... I-Ini memalukan, tau? Hiks...ja-jangan lihat aku...”
“Ah,
maaf...”
Ketika aku
membalikkan badan, aku mendengar
suara Tanaka yang sedang menyeka
wajahnya dengan sapu tangan.
“Yah,
sekarang sudah tidak apa-apa! Eh, sudah
jam makan siang? Ahahaha, aku selalu melupakannya...”
Jantungku
berdebar kencang. Saat aku melihat
air mata Tanaka, hatiku terasa sesak.
“Hmm,
kurasa hari ini aku tidak
makan siang dulu deh. Toudo, kamu bisa makan berduaan dulu dengan Hana-chan....”
“Tidak mau.”
Aku
langsung menjawabnya.
Aku yang seharusnya bertindak
berdasarkan rasionalitas, malah mengikuti naluriku.
“He?
To-Toudo?”
“Ak-Aku... tidak ingin Hanazono dan
Tanaka bertengkar.
...Maaf, itu hanya keegoisanku
sendiri. Tapi... aku ingin Hanazono dan Tanaka tetap
akrab.”
Sejak
hari aku mereset Tanaka, aku merasa ada yang salah. Bukan hanya masalahku
sendiri. Aku merasakan ada atmosfer
aneh di antara Tanaka dan Hanazono.
Tanaka
tersenyum sedikit dan menghela napas.
“Haah...
Aku memang akrab dengan Hana-chan, ‘kan?
Aku juga ingin makan siang denganmu kok?
tapi hari ini aku tidak mood saja....
Eh? Toudo?”
Aku
mendekati Tanaka yang matanya agak sembab.
Tanaka entah kenapa tampak terkejut saat melihat wajahku.
“Aku
memahami kalau apa yang kamu katakan itu jujur, Tanaka.
Tidak ada kebohongan darimu.
...Tapi, ada yang berbeda dengan nada suaramu.
Aku tidak menyukai itu. Oleh karena itu, dengan Hanazono...”
Meski
ingatanku terhapus, tapi aku tahu hubungan
kalau hubungan pertemanan mereka menjadi
aneh. Perubahan suara, kehangatan tubuh, dan ekspresi wajahnya. Akumulasi itu
menciptakan rasa janggal.
Aku ingin
menyampaikan pemikiranku kepada Tanaka.
Mungkin itu hanya keegoisanku. Tapi - aku tidak tahu sampai
kapan kehidupan tenteram ini akan berlangsung. Karena itu, aku ingin Tanaka dan
Hanazono bisa akrab.
Aku
kesulitan mengungkapkannya dengan kata-kata.
“Tanaka—”
Jadi,
aku memanggil nama Tanaka dengan sepenuh hati.
Tanaka
memejamkan matannya sejenak.
Lalu dia membukanya....
“...Iya,
aku mengerti. Kamu
benar... Aku akan berbicara
dengan Hana-chan. Terima
kasih, Toudo! Kamu memang hebat, ya! Eh, tapi kamu benar-benar melakukan reset? Tadi wajahmu persis
seperti dulu, jadi aku merasa senang sekali...”
Pikiranku
tidak bekerja dengan lancar. Kata-kata Tanaka terdengar kabur. Tapi melihat
ekspresinya, sepertinya semuanya berjalan lancar.
Melihat
Tanaka di depanku, jantungku berdebar kencang. Perasaan ini bukan sekadar rasa
suka biasa. Aku paham itu. Waktu yang kami lalui, telah kuhancurkan. Tapi, ada
sesuatu di dalam diriku yang memberontak. Tidak perlu dipikirkan terlalu mendalam.
Jangan gunakan nalar.
Tubuhku
bergerak dengan sendirinya.
“Kalau
begitu, ayo pergi, Tanaka.”
Aku dengan lembut menggenggam tangan Tanaka.
...Aku sadar suhu wajahku memanas. Rupanya hanya dengan bergandengan tangan
saja, aku sudah merasa malu.
“Eh...
Ah... Iya! Ayo! Ah iya,
sepulang sekolah nanti, aku pinjam Hana-chan dulu ya! Sehari saja tidak apa-apa,
kan?”
“Baiklah.
Kalian berdua bisa minum
jus yang enak.”
Kami
berjalan di koridor sambil bergandengan tangan.
Aku sadar
suhu tubuh Tanaka yang kurasakan di telapak tanganku. Tanaka sudah tidak
menangis lagi. Hanya itu saja sudah membuat hatiku tenang. Dan entah sejak
kapan, rasa sakit di dadaku pun mereda.
“Hei,
menurutku Toudo yang
sedang tersenyum itu yang paling keren, lho.”
“Ap-Apa
aku sedang tersenyum
sekarang?”
“Wajahmu kelihatan jadi lembut!”
“Begitu...
Itu adalah hal yang bagus sekali.”
Aku
menyentuh wajahku sendiri dengan tanganku. Memang
benar ekspresiku telah
berubah. ...Hanya saja, aku merasa frustrasi pada
diriku karena aku hanya bisa melakukan hal ini, dan aku sangat malu hingga aku
tidak bisa melihat wajah Tanaka, yang begitu bahagia hanya karena itu.
Dan aku merasa seakan-akan ada [saklar] yang telah
dihidupkan di hatiku.