Chapter 4 — Toudo Dan Kucing (Bagian 1)
Tidak
biasanya aku pulang sekolah sendirian.
“Hari
ini aku tidak mempunyai rencana
apa-apa. Sudah lama sekali ada hari yang begini.”
Biasanya
aku mampir ke suatu tempat saat pulang sekolah bersama Hanazono.
Walaupun aku
masih terus bekerja paruh waktu, tapi aku
mengurangi jumlah shift kerjaku supaya
tidak terlalu sering berkontak dengan Tanaka.
Hidup ini memang panjang.
Tapi, aku terikat oleh sesuatu.
Aku lulus
dari sekolah SD itu... dan menandatangani
kontrak dengan Eri, sesekali mengerjakan permintaannya untuk mendapatkan upah,
dan hidup seperti pelajar biasa. Lalu, baru-baru ini aku bertemu dengan Eri lagi setelah sekian lama....
Hatiku
merasa tidak tenang. Aku
tidak bisa menentang Eri, itulah
norma bagiku. Sama seperti itu, aku entah kenapa mengerti bahwa kehidupan
normal ini tidak akan berlangsung selamanya. Suatu hari nanti aku harus
berpisah dengan semuanya... Perasaaan apa
ini? Tiba-tiba ada sesuatu yang muncul dari dalam diriku. Ini sama kuatnya
dengan saat aku memutuskan untuk me-reset diriku.
Berpisah
dengan semuanya. Aku tidak menyadarinya. Begitu
rupanya, ternyata aku tidak menginginkan hal itu terjadi.
Tapi aku
tidak bisa melawan Eri. Tidak perlu berangan-angan
segala. Orang-orang terus mengalami pertemuan dan
perpisahan. Jika aku me-reset emosiku dan membuangnya, maka hatiku tidak akan
terasa sakit.
——Dulu
aku mungkin akan berpikir
begitu. Tapi pemikiran itu salah.
“Hm...?
Ada aura liar.”
Saat aku
menoleh, ternyata ada seekor
kucing liar berjalan di belakangku. Begitu kucing itu menyadari keberadaanku,
ia mengeong.
Melihat
kucing itu, aku merasa suasana hatiku berubah. Aku mendekati kucing itu dan dengan ragu-ragu mengelus kepalanya.
“Meong,
purrrr...”
“Hmm,
rupanya kucing ini cukup jinak.”
Kucing itu
sangat ramah. Aku pun duduk di samping kucing itu. Sementara aku mengelus
kucing itu, kenangan masa lalu tiba-tiba muncul kembali.
◇◇◇◇
Saat aku
masih SMP dulu,
Aku
mengira kalau aku bisa memahami kehidupan pelajar di Jepang hanya dari buku dan pengetahuan
smartphone. Ternyata
pemahamanku berbeda dengan kenyataan. Tak peduli dengan siapa aku berbicara,
kami tidak bisa saling mengerti.
Bahkan
guru kelasku pun demikian. Satu-satunya orang yang mau berada di sampingku
hanyalah Hanazono. Itu saja sudah cukup bagiku.
Saat aku memperkenallkan diri untuk pertama kalinya,
aku diabaikan oleh teman sebangku, dan aku tidak tahu harus berbicara apa, jadi
aku hanya terdiam. Murid-murid di sekitarku
menatapku dengan tatapan dingin. Aku merasa sangat tidak nyaman.
Saat itu,
Hanazono bersikap dingin padaku. Dia tidak
seramah sekarang.
Saat ada pembagian kelompok, Hanazono
menghela napas dan mau bergabung satu
kelompok denganku.
Kelompok
yang terkumpul seadanya itu tidak terlalu menyenangkan.
Karena salahku, Hanazono jadi memiliki
sedikit teman. Tapi dia tetap berjanji akan menjagaku.
Saat aku
bertanya kenapa, dia hanya berkata ketus, “Itu
karena janji sejak TK, hmph!” Entah apa maksudnya.
Aku
berusaha keras agar tidak menjadi merepotkan
Hanazono, dan mencoba membuat teman.
Tapi
setiap kali aku mencoba berbicara
dengan mereka, mereka malah kabur.
“Kenapa
kamu mencoba berbicara denganku?” Begitulah tatapan mereka. Aku
merasa diperlakukan seperti benda asing.
Aku tidak
bisa membaca situasi. Pendapatku selalu berbeda. Aku hanya bisa mengatakan yang sebenarnya.
Sepertinya
hal tersebut berakibat fatal
bagi teman-teman sekelasku.
Aku
berpikir jika aku pintar, orang-orang akan mengerti. Aku juga berpikir jika aku
jago olahraga, aku bisa menjadi akrab
dengan mereka.
Tapi
suatu hari saat aku mendapat nilai sempurna dalam ujian, beberapa teman sekelasku
memarahiku di belakang gedung sekolah.
Mereka mencurigaiku karena mencontek.
Sepertinya mereka menganggapku orang gila dan bodoh.
Tiba-tiba
orang seperti itu bisa dapat nilai sempurna? Ia pasti mencontek. Begitulah tuduhan
mereka. Mereka menyalahkanku tanpa bukti. Aku tidak bisa
membalas apa-apa sampai Hanazono datang. Aku hanya menunduk dan menghitung
batu-batu.
Aku
berusaha berlari sekuat tenaga saat lomba lari maraton musim
dingin. Aku melihat wajah terkejut para orang
tua dan guru yang menyaksikanku. Aku pikir mereka senang, tapi ternyata aku
salah.
Saat aku
mencapai garis finish, aku dinyatakan didiskualifikasi.
Mereka
bilang waktuku tidak normal. Katanya aku menggunakan jalan pintas. Tapi
mustahil aku curang saat semua orang melihat. Namun anehnya, waktu yang tidak
normal itu menghapus pemikiran itu. Mereka tidak mau menerima apa yang tak bisa
dipahami mereka. Hal serupa terus terjadi,
dan aku dikecam oleh seluruh murid di sekolah.
Saat
dicaci maki begitu, aku sampai pada satu pemikiran.
Aku harus
menyembunyikan kemampuanku. Jika tidak begitu,
hatiku tidak akan sanggup menahannya.
——Aku
sudah terbiasa dengan tragedi, tapi
tidak terbiasa dengan kedengkian
orang lain. Aku takut pada manusia. Aku benci pada diriku yang tidak bisa
beradaptasi.
Orang-orang
lebih mudah berinteraksi dengan mereka yang lemah.
Aku ingin
jadi orang biasa. Jadi aku memutuskan untuk berpura-pura memiliki kemampuan
yang lebih rendah.
Saat aku perlahan-lahan mulai terbiasa
dengan kehidupan sekolah, masalah
perundungan di sekolah mereda. Teman
sebangkuku, Hiratsuka Sumire, terus-menerus
meledekku, tapi lama-kelamaan dia pun
berhenti menyadariku. Mungkin dia sudah melupakan keberadaanku.
Ternyata
lebih baik dianggap orang gila di kelas.
Karena
teman-teman sekelas akan memandang rendah padaku. Dengan begitu, mereka akan
merasa lebih unggul dariku. Mereka akan memperlakukanku - si laki-laki malang.
——Itu
adalah hal yang menyedihkan. Itulah sebabnya,
aku memutuskan untuk tidak “menyadari” keberadaan teman-teman sekelasku
selain Hanazono. Jika tidak menyadari, berarti mereka tidak ada.
Begitulah
masa-masa SMP-ku.
◇◇◇◇
“Meong...
purr...”
Gerimis
mulai turun.
Kucing
itu tidak peduli hujan dan malah melompat ke pangkuanku, meminta agar aku
mengelusnya. Aku pun membungkuk untuk melindungi kucing itu dari hujan.
Belakangan
ini aku jadi sering
mengingat kejadian di masa lalu. ...Bagiku, ada lebih
banyak momen kesepian daripada
menyedihkan.
Apa aku
benar-benar ingin menjalani hidup seperti ini? Setelah aku menginjak bangku SMA, aku
ditempatkan di kelas yang berbeda dengan Hanazono, jadi aku
memutuskan untuk mencoba berinteraksi
dengan orang lain lagi.
Hasilnya
adalah reset Hanazono, Michiba,
Sasami, dan... Tanaka.
Tidaksabaranku telah mengubah hatiku. Aku
mulai berpikir bahwa Hanazono —— yang selalu mempedulikanku——sama saja seperti orang lain.
[Hanazono
menyukai Midousuji-senpai.]
Fakta itu
membuatku sangat terkejut. Tidak peduli aku jatuh
dari Gedung tinggi, atau tebing, atai tertusuk pisau, atau ditembak, aku tidak akan merasakan perasaan seperti
ini. Aku merasa bahwa perhatian Hanazono terhadapku hanyalah kesalahpahaman.
Rasa
terkejut itu merampas kemampuan berpikir wajarku.
Seketika itu
juga aku merasa tidak ragu untuk melakukan reset.
Kemarahan terhadap diriku sendiri membuncah di
dalam hati--
“Meong!?
Fuuuuu!”
“Ah...,
Neko-chan...”
Kucing itu yang merasakan emosiku langsung
pergi menjauh. Aku kembali sendirian lagi.
Tiba-tiba,
sensasi hujan terhenti.
“Kamu
ngapain di sini sendirian?! Padahal lagi hujan begini, kamu tidak membawa payung? Kamu nangis lagi ya?
Siapa yang mengganggumu?”
Jantungku
berdebar kencang. Aku sama sekali tidak menyangka Hanazono akan muncul di sini. Bukankah mereka sedang
berbicara?
“Hanazono,
aku tidak menangis atau diganggu siapa-siapa.”
Hanazono
mengangkat payungnya ke atas kepalaku.
Tanaka berlari menghampiri dari tempat yang agak jauh.
“Hana-chan, kamu cepat sekali larinya! Tunggu
aku dong! Aku tahu kalau kamu mengkhawatirkan Toudo, tapi...”
“Bu-Bukannya aku mengkhawatirkannya atau semecamnya kok!”
“Tanaka?
Aku sedang mencoba berkomunikasi dengan kucing.”
“Kucing?
Eh, kamu tidak bawa payung ya, Toudo?”
“Tidak.”
“Ap-Apa
boleh buat deh, ayo masuk ke dalam
payungku saja!"
“Payungku
kan bisa dilipat, jadi ukurannya agak kecil.”
Mereka
berdua terlihat lega. Atmosfer aneh yang akhir-akhir ini kurasakan dari mereka sudah menghilang.
Pasti mereka sudah bisa saling berbicara dengan baik. Berdiskusi memang sangat
penting.
“Ah,
hujannya sudah berhenti.”
Hanazono
menurunkan payungnya. Dua orang yang terkena cahaya senja itu terlihat sangat cantik. Pandanganku berubah menjadi samar, seperti sedang berada
dalam mimpi.
Mungkin ini
adalah sesuatu yang selalu kucari-cari. Aku hanya tidak tahu harus bersikap
bagaimana sekarang ketika itu terwujud.
—Apa aku
pantas berada di sini?
“Cuma
gerimis kecil saja ya. Ayo kita pergi, Hana-chan.”
Saat aku melihat wajah mereka, semua masalah tidak lagi penting. Hal biasa yang selalu kucari-cari, tapi tidak pernah kudapatkan, ternyata ada di sini.