Chapter 4 — Toudo Dan Kucing (Bagian 2)
Restoran
keluarga yang terletak di dekat
sekolahku masih ramai seperti biasa hari ini. Terkadang aku dan Hanazono
singgah ke sini saat pulang. Manajernya merupakan orang yang ramah, dan selalu
membantuku saat aku kesulitan. Setelah sering datang, aku juga bisa sedikit
mengobrol dengannya.
Aku bisa
melihat ada beberapa siswa dari sekolah lain hari ini juga.
“Hehe,
hari ini kita yang traktir Toudo
minuman di sini, oke!”
“Memang,
meskipun agak menyebalkan. Tapi berkat Tsuyoshi, jadi
cuma khusus untuk hari ini!”
Ah, maksudnya pembicaraan di antara mereka ya...
Sepertinya
pembicaraan tadi berjalan lancar.
“Ah,
aku mau ke toilet sebentar ya.”
“Aku
juga ah, karena
tadi aku kebanyakan minum ini saat
mengobrol tadi...”
“Kalau
begitu biar aku yang pesan. Tiga gelas minuman saja,
iya ‘kan?”
Aku bisa
memesan sendiri di restoran ini.
Mereka
berdua menjawab “Oke,
terima kasih!” dan
pergi menuju toilet.
Aku sudah
terbiasa masuk ke restoran keluarga ini. Meskipun aku baru pertama kali mengalaminya di karaoke, tapi sistem ‘bar minuman’ ini sangat mengagumkan.
Benar-benar sistem yang luar biasa.
Dan
sistem restoran keluarga ini juga
hebat. Saat memesan, kita bisa memanggil pelayan hanya dengan menekan satu
tombol.
Aku
menekan tombol memesan. Kupikir
manajer yang akan datang di jam segini, tapi seorang pelayan wanita yang sedang
mengobrol dengan pelanggan di meja pojok bergegas datang.
Pelayan wanita
itu menunjukkan ekspresi yang tidak ramah. Suasananya tidak terlalu baik.
“...Mau
pesan apa?——Eh? Kamu Toudo, ya?”
“Maaf,
aku sama sekali tidak mengenalmu. Mungkin
kamu salah mengenali orang? Aku
mau memesan tiga gelas minuman.”
“Hah?
Kamu itu bicara apaan sih? Dulu kita sekelas di SMP, tau? Ini
aku, Sorimachi Keiko. Kalau begitu, pasti Hanazono si pengurus Toudo juga ada
di sini ya?”
Si pengurus
Toudo? ...Saat aku membuka
'arsip' ingatanku, Nama Sorimachi
memang pernah sekelas denganku. Dia anak
yang pintar, dan langsung memandangku garang saat aku mendapat nilai sempurna.
...Kenapa ya? Aku merasa sangat tidak enak. Sepertinya dia meremehkan Hanazono. Aku merasa tidak keberatan
jika aku diremehkan, tapi aku harus
menenangkan diriku yang tidak stabil ini.
“Aku mau
pesan minuman...”
“Wah,
seram! Masa pertemuan kenangan begini kamu enggak
bisa lebih ramah sedikit? Hmm, seragammu dari sekolah bagus itu ya? Otakmu cukup encer toh...Cih. —Di sebelah sana ada teman
sekelas kita waktu SMP dulu, bagaimana kalau kamu menyapa mereka?”
Saat melihat ke arah meja yang ditunjuk, aku bisa melihat ada
beberapa laki-laki dan perempuan yang sebaya
denganku. Mereka tercatat sebagai teman sekelasku di
'arsip' ingatanku. Wajah dan namanya pun kukenali. Tapi aku tak bisa menganggap
mereka teman sekelas. Hanya orang asing bagiku.
Mereka menatapku dan tertawa mengejek
padaku...aku tahu ekspresi mengejek itu. Begitulah
cara orang tertawa saat mengolok-ngolok seseorang.
Tapi,
hanya ada satu siswa laki-laki yang terlihat pucat
pasi dan gemetar saat melihatku.
Lagi-lagi
aku jadi teringat masa-masa SMP-ku.
◇◇◇◇
Ia
adalah teman sekelasku sewaktu SMP. Semua teman sekelasku selalu menjahiliku dengan cara yang tidak bisa kupahami.
Saat aku benar-benar kesal, mereka akan berkata,
“Kamu tidak bisa paham dengan candaan,
ya?” Hanya
sekali, saat Hanazono tidak masuk sekolah karena sakit, terjadi 'insiden'.
Hanazono
diolok-olok. Pada waktu itu,aku diliputi oleh perasaan tidak enak
dan tidak bisa menganggap itu sebagai candaan lagi.
Meminta
maaf atas kesalahan yang tidak ada. Menyimpulkan dengan informasi yang tidak
lengkap. Aku tidak
bisa memahami dunia SMP yang biasa
ini.
Saat itu,
Hanazono tidak ada untuk menghentikanku.
Aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri. Aku berpikir bahwa meskipun aku akan menyesalinya, aku
bisa me-reset semuanya nanti. Aku
berpikir bahwa tidak masalah untuk menghancurkan semuanya.
Karena
itulah 'insiden' tersebut terjadi.
Meja dan dinding yang rusak, murid-murid yang gemetar ketakutan dan menjerit-jerit.
Aku me-reset perasaan negatif yang
kembali pada diriku.
Sejak
saat itu, tidak ada lagi yang mau berbicara denganku di kelas itu. Bahkan guru-guru
mulai menghindar dariku. Kepala
sekolah yang mengetahui situasiku
bergerak di belakang layar. Hanya sedikit murid yang mengetahuinya.
Komposisi
kelas berubah setiap tahun. Orang-orang cenderung melupakan hal yang tidak
menyenangkan. Ini terjadi berulang-ulang.
Tapi masih saja ada orang yang tetap
mengingatnya.
◇◇◇◇
Sorimachi memiliki
pandangan yang sama dengan teman-teman sekelas dulu. Menganggap dirinya lebih unggul dariku. Pasti itulah yang dia pikirkan.
...Menilai
kelebihan dan kekurangan orang lain tidaklah
semudah itu.
“Ngomong-ngomong,
Toudo ternyata cukup keren, ya? Haha,
kamu tidak terlalu pandai
berinteraksi dengan perempuan, ya? Hanya aku yang bicara denganmu saja wajahmu
sudah memerah~. Ah,
bagaimana kalau kita coba berpacaran? Hehe...aku tuh
imut, ‘kan?”
Pandangan
mataku bertemu dengan manajer restoran. Ia menghela napas dan mendekati
kami.
“—Manajer, aku minta maaf,
tapi dia sedang menggangguku. Tolong sampaikan pesananku.”
“Toudo, maaf, ya. —Sorimachi, meskipun ia teman sekelasmu dulu, sekarang dia adalah
pelanggan, tahu? Tolong
lakukan pekerjaanmu dengan benar.”
“Eh,
pak manajer, ia
itu cuma Toudo, loh? Jadi tidak masalah, ‘kan? Ah, tolong 3 gelas minuman,
ya.”
“Kamu ini
memang bodoh, ya?! Kamu
sedang bekerja, kan? Berpikirlah dengan baik! Aneh, kan?”
Pak manajer toko menarik baju Sorimachi dan menghilang ke dalam dapur.
Aku bisa
mendengar suara teguran di telingaku.
Ada dunia
anak-anak yang tidak bisa dipahami orang dewasa. Dunia yang hanya bisa
dimengerti oleh anak-anak. Polisi pun tidak bisa ikut campur.
Dia
sekelas denganku saat kelas 3 SMP dulu.
Sorimachi tidak memiliki niat buruk. Atau
mungkin memang hanya ada niat
buruk yang dimilikinya... Niat buruk sudah menjadi hal yang wajar. Dia hanya
menganggapku sebagai
orang yang lebih rendah dengan sendirinya.
Rasanya cukup melelahkan...
“Yosh! Maaf sudah membuatmu menunggu!”
“Tsuyoshi, kamu kenapa?”
Dua orang
itu kembali. Saat aku melihat
mereka, aku menghela napas lega. Aku mengubah fokus pikiranku. Mungkin jika itu diriku
beberapa saat yang lalu, aku akan
me-reset semuanya. Tapi
aku yang sekarang.... baik-baik saja.
Kami
pergi mengambil minuman di bar, dan mulai berbincang-bincang.
“Aku
jadi kaget sama Haru-chan...”
“Haha,
mau bagaimana lagi ‘kan...Aku tidak bisa menahan perasaanku...”
“Nampaknya
kalian bisa berbicara dengan jujur. --Lalu bagaimana?”
Mereka berdua
saling bertukar pandang. Ekspresi mereka persis
seperti anak-anak yang akan melakukan kenakalan. Kalau diingat-ingat, dulu
Hanazono juga sering berekspresi seperti itu saat SMP. ... Bagiku yang kaku
ini, aku hanya mengira mereka sedang menjahiliku, ternyata tidak. Ini adalah
salah satu cara mereka mengungkapkan kasih sayang.
“—Aku terlalu bergantung padamu, Tsuyoshi.
... Sepertinya Haru-chan juga
punya perasaan yang sama. Berpikir untuk memiliki Tsuyoshi dirinya sendiri—”
Tanaka lalu melanjutkan perkataannya.
“Kami
berdua benar-benar saling mengungkapkan apa yang kami rasakan. Entah itu keburukan kami——maupun kelicikan kami. ... Pada akhirnya, yang
paling penting adalah Toudo, ‘kan...? Ah, itu... kami juga
harus menjaga perasaan kami sendiri...”
“Ya,
karena kita memulai dari awal lagi, aku dan Haru-chan
juga berpikir untuk memulai lagi dari awal. Tidak ada saling mengalah, karena kami adalah teman, ‘kan! Jadi, Tsuyoshi—mulai
sekarang, tetaplah bersama kami, ya!”
“Mari
berteman lagi!”
“--Ah,
iya, aku senang bisa bersama kalian.”
Sejujurnya,
ini sulit kupahami. Rasanya seperti melihat ke dalam lubuk hati mereka.
Mereka berdua bergantung padaku? Faktanya, mungkin aku yang bergantung
pada mereka berdua. Kuatnya rasa ketergantungan itu telah mengubah resetku. Saat
bersama mereka sekarang, jantungku berdebar-debar dan ada perasaan aneh. Ini
adalah sesuatu yang tak bisa kutahan, tidak peduli seberapa keras aku mencoba.
Bagaimanapun
juga, yang kuketahui dengan
pasti bahwa mereka telah berbaikan.
Hanya itu
saja sudah membuatku senang.
—Jadi,
aku tidak perlu mengatakan sesuatu yang tidak perlu sekarang.
Saat itu,
tanpa dipanggil sama sekali,
entah mengapa Sorimachi datang dengan membawa kentang goreng dan
meletakkannya di meja kami. Padahal kami belum
melakukan pemesanan.
“Ini,
pesanan kentang gorengnya!”
Kami
saling berpandangan. Kami tidak berencana makan di sini. Menerima makanan yang
tidak dipesan hanya akan membuat kami kerepotan.
“—Bukannya kamu itu Sorimachi, teman sekelas kami dulu,
ya? Jadi kamu bekerja paruh waktu di sini, ya. Ngomong-ngomong, kami tidak
memesan ini, tau.”
“Hanazono
masih jutek seperti biasa, ya. Ini sebagai niat baik dariku. Nee, kamu masih saja mengurus Toudo?
Oh, ada yang imut sekali di sebelahmu, ya.”
Sepertinya
dia membawa sisa makanan yang salah pesan dari meja lain.
Baik Tanaka
dan Hanazono juga bingung dengan sikap Sorimachi.
Aku jadi teringat
sesuatu ketika aku melihat mereka berdua.
Kalau tidak
salah, waktu itu aku berniat membantu
Tanaka... Ah, ya, aku menggunakan 'Limit' untuk menyelamatkan Tanaka.
Itulah sebabnya aku kehilangan
ingatanku.
Ini adalah situasi yang tidak normal. Aku
mulai mengingatnya kembali.
'Limit'
adalah kemampuan yang melampaui batas 'Reset'. Kemampuan ini dengan
pasti menghapus ingatanku. Pemikiran supercepatku sedang menguliti data masa
laluku. Dulu, aku kehilangan banyak ingatan
karena 'Reset' yang tidak sempurna, tapi yang utama adalah aku terlalu
memaksakan diri menggunakan 'Limit' untuk membantu orang, hingga
melampaui batas otak. Itulah sebabnya,
aku sama sekali tidak menyadari
bahwa aku menggunakan 'Limit'.
Aku
menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Ini bukan hal yang harus
kupikirkan sekarang.
Karena di
sini bukan dunia yang tidak biasa. Di sini ada
Hanazono, ada Tanaka, ini adalah kehidupan sehari-hari yang menenangkan.
...Kenapa
reaksiku jadi tidak stabil begini? Aku tidak ingin membuat mereka berdua merasa
tidak nyaman.
Aku
berdiri dan membawa sepiring
kentang.
“Aku tidak
membutuhkan kentang ini.”
“Hah?
Aku tidak berbicara padamu. Padahal kamu cuma Toudo,
jangan sembarangan berkomentar.”
“Hei,
kamu ini kenapa sih? Apa kamu merendahkan Tsuyoshi!”
“Ya,
aneh saja. Tiba-tiba datang lalu mengolok-olok Toudo...”
Aku
meletakkan tangan di bahu Hanazono dan Tanaka. Aku menyadari kalau kontak fisik bisa
menenangkan hatiku.
“Aku
baik-baik saja.”
Jika aku
direndahkan, itu akan mengganggu Hanazono dan yang lain juga. Itu sebabnya aku
tidak bisa diolok-olok begitu saja. Jadi, aku berusaha lebih keras lagi dan
menatap tajam ke arah Sorimachi.
Sorimachi
tampak gelisah dan tubuhnya mulai gemetaran sedikit
demi sedikit.
“Eh...
Kenapa, ini? Tu-Tunggu.....habisnya, te-teman-temanku di sana juga
menghina Toudo—”
Hanya ada satu cowok yang wajahnya pucat pasi dan berusaha keras menghentikan
teman-temannya. Lalu ia segera pergi meninggalkan restoran cepat saji.
“Lho?
Mereka kenapa sih? Ka-Kamu
ini songong banget, padahal kamu cuma Toudo.”
“Maaf,
aku sama sekali tidak mengingatmu dan aku juga tidak ingin
terlibat denganmu. Lagipula kamu
sedang bekerja, jadi lakukan pekerjaanmu dengan
benar.”
“...Huh.”
“Aku
hanya mengatakan hal yang masuk akal. Dunia anak-anak bukanlah segalanya.”
Pada saat
itu, tiba-tiba, ada seseorang
yang menghampiri meja kami.
“Hmm, itu
memang benar. Tapi asal kamu tahu saja,
Toudo, argumen kuat tak selalu tersampaikan ke hati orang. Nee-chan, aku
datang untuk menjemputmu.”
Suara
yang indah datang menyela pembicaraan kami.
Ternyata itu berasal dari adik laki-laki Tanaka. Aku sudah menghubunginya
sebelumnya. Ia sangat
protektif terhadap Tanaka. Hari ini, kehadirannya begitu tipis. Saat ia masuk
ke dalam restoran, aku hampir tidak bisa merasakan hawa keberadaannya.
Ia memang bukan orang yang mudah untuk dihadapi.
“Karena mengantarkan
Nee-chan adalah tugasku. Jadi ayo kita pulang
sekarang.”
“Takuya,
dasar bodoh! Gunakan bahasa yang sopan!
Toudo itu jauh lebih tua darimu, tau! Lah, lagian aku bahkan belum minum sama sekali tahu!”
“Ehh,
seriusan..... Kalau begitu aku juga mau pesan minuman. Toudo, ayo duduk di sampingku.”
“Hmm,
Hanazono, kamu tidak masala, ‘kan?”
“U-Uh, terserah sih. Lah, kalau
tidak salah adik laki-lakinya Haru-chan tuh... Yah,
tidak penting juga, sih.”
“Dia
cukup keren, lho.”
Tanaka
berkata padaku dengan wajah ngambek.
“Hehe,
tapi Toudo jauh lebih
keren!”
“Kenapa
Nee-chan tidak bilang aku keren sih!?”
“Ehh
habsinya kamu Takuya sih. Nih, pesan minuman saja dulu.”
Sorimachi
yang kebingungan tiba-tiba bicara.
“A-Anu,
ka-ka-kamu... Kakak perempuannya Takuya ya? Ma-Maksudku, Toudo,
kamu
berteman dengan Takuya? Ap-Apa aku boleh... minta tanda tangan?”
Aku tidak
mengerti. Tanda tangan? Apa itu semacam kontrak?
Kontrak itu hal yang berat, lho. Apa dia berniat menipu adik laki-laki Tanaka? Aku tidak akan membiarkanmu
berbuat curang, oke?
“Katanya
Toudo tuh kacung
di kelas, ‘kan? Jadi
turuti perkataanku saja—”
“Meskipun
aku tidak mengerti maksudmu, tapi
lebih baik kalau kamu bekerja. Sekarang waktuku
bersenang-senang dengan temanku.”
“Hah?
Kamu—”
Aku
menatap mata Sorimachi dan menyentuh bahunya. Aku
menyalurkan kesedihan yang kurasakan saat SMP dulu. Tidak tahu apakah dia
mengerti atau tidak. Tapi dia bukan binatang, dia
manusia.
Aku
menyalurkan perasaanku pada Sorimachi—
“Ah...
u...”
Gerakan Sorimachi terhenti. Dia mundur
selangkah. Di belakangnya ada manajer toko.
“Sorimachi...
Sudah cukup. Cepat kembali ke
tempat pencucian piring. Eh, kamu
kenapa?”
“I-i-iya,
ke-kenapa, kenapa, kenapa...”
Sorimachi
tidak bisa bergerak, kakinya gemetaran. Matanya berkaca-kaca.
Sorimachi
ditarik pergi oleh manajer ke bagian dalam. Lalu aku
mendengar suara tangisannya.
◇◇◇◇
Setelah
menghabiskan waktu yang menyenangkan
di restoran keluarga, kami
memutuskan untuk pulang. Sorimachi
tidak keluar lagi dari bagian dalam.
Adik laki-laki Tanaka dan Tanaka melambai pada
kami sampai kami tak
terlihat lagi.
Aku dan
Hanazono balas melambai sepanjang jalan.
Saat
mereka tak terlihat lagi, Hanazono menghela napas.
“...Huh,
tak kusangka kalau Sorimachi
ada di restoran itu.”
“Karena kita
jarang ke sana. Jadi dia mungkin baru saja bekerja
baru-baru ini.”
“Waktu
SMP dulu, aku juga pernah bermasalah seperti itu... Rasanya ngeselin banget karena
Tsuyoshi dihina.”
“...Maaf,
waktu SMP dulu aku tidak bisa beradaptasi dengan kelas dengan baik.”
Kami berdua terus berjalan. Matahari sudah
mulai terbenam. Waktu yang menyenangkan
itu berlalu begitu cepat.
“Tidak
apa-apa, kamu sudah menjadi
lebih baik setelah SMA, Tsuyoshi.
Tapi Sorimachi dan yang lain... Masih
terjebak di kenangan terbaik saat SMP.”
Ah, begitu rupanya, jadi dia masih terpaku
pada saat dirinya yang paling
bersinar. Makanya dia terus meremehkanku.
“Rasanya rumit ya...”
Aku
sekali lagi menyadari betapa sulit hubungan manusia. Setelah masuk SMA, aku
bertemu banyak orang baru. Tidak hanya Hanazono dan Tanaka yang mau berteman
denganku.
Hatiku
mulai menciut. Aku tidak hanya kehilangan Hanazono dan Tanaka. Aku juga mereset Michiba dan Sasami. Kejadian itu
memang menyakitkan. Tapi... Aku tidak seharusnya mereset semuanya.
“Aku
penasaran bagaimana dengan kabar Michiba.”
“Ah,
sepertinya dia menjadi
sangat pendiam, loh? Bahkan saat istirahat
dia sedang belajar, dan tampaknya serius dengan tugas pengurus kelas... Jangan khawatir. Sepertinya perubahan Michiba juga karena berkatmu.”
“Berkatku?”
“Ya,
kalau tidak begitu, dia
pasti tetap seperti itu. Dengan kepribadiannya yang
begitu, dia pasti mempunyai banyak
musuh di kalangan perempuan.”
“Musuh?
Tapi mereka terlihat akrab.”
Hanazono
menatap ke arah kejauhan,
seakan-akan sedang mengenang sesuatu.
“Yah,
memang ada banyak anak perempuan yang cukup sulit. Kamu tidak perlu tahu soal dunia
perempuan!”
“Be-Begitu
ya, kalau dikatakan begitu malah jadi
penasaran, tapi... Kalau dipikir-pikir, Michiba memang bmengobrol denganku di perpustakaan, tapi dia jarang sekali menyapaku di kelas.
Ah, saat jalan-jalan karyawisata awal semester, aku merasa senang karena dia mau
memasukkanku ke dalam kelompoknya.”
“Ka-Kamu masih mengingatnya?!”
“Tentu
saja. Karena Hanazono juga datang, jadi kita bertiga pergi melakukan karyawisata. ...Sungguh kenangan yang menyenangkan... Kenangan yang nostalgia?”
Aku
menahan diriku untuk tidak berhenti melangkah. Seharusnya aku tidak merasa
nostalgia terhadap Michoba yang sudah kureset. Kepalaku tiba-tiba sakit,
seola-olah dipukul palu. Sepertinya otakku
berusaha menghilangkan keanehan ini. Ada sesuatu di dalam diriku yang putus asa
mencoba melawannya.
Aku tidak
boleh memperlihatkan penderitaanku. Sekarang adalah waktunya mengobrol dengan
Hanazono.
Hanazono
menatap wajahku. Ekspressinya tak terbaca, tapi aku bisa merasakan kehangatan
darinya. Sebaiknya aku menahankan rasa sakitku.
“Ka-Katanya
Sasami berhenti dari klub atletik, ya?
Aku mendengar kabar itu dari Igarashi.”
Tidak
apa-apa. Hanazono tidak curiga padaku. Aku akan melanjutkan pembicaraan ini.
“Iya,
aku juga mendengar
banyak hal dari Igarashi. Tapi sepertinya bukan karena disuruh Shimizu, tapi
karena dia ingin mengejar sesuatu yang lebih tinggi? Dia pergi untuk berlatih dengan
pelatih profesional dan menonton latihan
di universitas, jadi sepertinya dia sibuk sekali.”
Aku
sedikit khawatir saat mendengar bahwa dia berhenti dari klub atletik. Aku pernah melihatnya berlari,
dan saat itu gaya larinya sudah jauh lebih baik. Sepertinya dia benar-benar
mempraktikkan konsep berlari yang baik. Aku sedikit senang saat melihat
itu.
Hubungan
kami sudah terputus. Jadi kupikir aku sudah
tidak peduli lagi. Tapi entah kenapa ada sesuatu yang masih mengganggu hatiku.
...Realitanya
memang kejam. Michiba tidak
memiliki bakat atletik.
Dia bisa mencapai tingkat tertentu, tapi tidak bisa lebih dari itu. Aku merasa sedikit kasihan kepadanya.
Hanya
dengan berpikir seperti itu, rasa sakit di kepalaku semakin parah.
“Pokoknya
aku senang dia jadi lebih optimis. Suatu hari aku ingin berlari bersamanya.”
“Eh?
Tsuyoshi?”
Hanazono
tampak ragu dengan jawabanku. Tapi aku sendiri juga tidak bisa menjelaskannya.
“Mungkin
suatu hari nanti akan ada
waktunya di mana aku bisa terlibat lagi dengannya.”
“Hehe,
Tsuyoshi memang baik ya...”
“Tapi
Hanazono lebih baik dariku, loh?”
“Itu sama
sekali tidak benar, kok. Omong-omong, aku mendengar setelah Sasami berhenti dari klub, Shimizu berubah menjadi lebih pendiam. Apa kamu tidak kaget mendengarnya? Karena kamu sepertinya cukup peduli pada
Sasami.”
“Shimizu
jadi pendiam... Aku bahkan sulit membayangkannya.”
Sepertinya
suhu suara Hanazono menurun —
apa dia marah?
“...Tapi,
dalam waktu yang bersamaan, entah kenapa ada beberapa gadis yang kayaknya sih pacarnya yang
datang ke kelasnya untuk membicarakan putus, dan mereka berhadapan satu sama
lain... Lalu situasinya benar-benar berubah menjadi kacau.”
“Apa
maksudnya? Bukannya ia menyukaimu, Hanazono? Selain itu, beberapa pacarnya?”
“Mana aku
tahu! Aku juga tidak
tertarik sama sekali!”
Hanazono
menghela napas panjang sambil melanjutkan.
“Katanya,
karena ia mempunyai
posisi sebagai jagoan di tim atletik, jadi ia cukup laku di kalangan
perempuan dan menembaknya. Tapi
Shimizu hampir tidak pernah menolah pengakuan mereka.
Lima atau enam pacar? Mungkin lebih? Tapi begitu berpacaran,
sifat aslinya langsung ketahuan, dan mereka langsung diputuskan... Sepertinya itu terjadi berulang kali.”
Aku
terkejut.
Memangnya
benar-benar ada orang semacam itu di
dunia ini? Ah tidak, aku mengingat tokoh utama novel yang baru
saja kubaca juga memiliki hubungan dengan beberapa wanita, dan akhirnya ia ditusuk dengan pisau di perutnya.
Aku tidak begitu memahami tindakan tokoh utamanya.
Ternyata
orang seperti itu memang ada di dunia nyata, ya....
“Apa...
Apa ia masih hidup?”
“Eh?!
Iya, sepertinya baik-baik saja. Justru mengejutkan, para siswa laki-laki malah
membantu Shimizu. Meskipun sikapnya buruk, tapi dia suka membantui mereka.”
Hanazono
menghela napas lagi.
“Hah...
Banyak hal yang terjadi sejak Tsuyoshi melakukan reset
ya... Padahal baru-baru ini terjadi,
tapi rasanya sudah seperti masa lalu yang jauh.”
“Iya,
ada banyak hal yang tidak bisa kulakukan sendiri. Ada banyak pengalaman pertama yang baru kualami juga.
Hanazono—”
“Apa?”
“Terima kasih sudah mau menjadi temanku dari awal—”
“Eh?!
Tsu-Tsuyoshi? A-Apa-apaan sih, memalukan tahu! Kamu 'kan tidak menganggapku apa-apa
juga!”
Wajah
Hanazono menjadi sedikit
memerah. Kali ini kakiku benar-benar berhenti. Sakit kepalaku semakin parah.
Tapi lebih dari itu, perasaan ini tidak bisa kupendam lebih lama lagi.
“Tsuyoshi?”
Aku bisa
merasakan kalau suhu
tubuhku meningkat. Aliran darah
sepertinya terasa mengalir di wajahku, membuatnya jadi memerah.
“Aku...
Tidak menganggapnya apa-apa... Tapi aku... Aku mempunyai
perasaan pada Hanazono.... dan kemudian, dan kemudian..... Aku
menyukai Hana-chan dan rasanya menyakitkan saat berpisah denganmu, jadi aku mereset... Tidak, itu
hanya ingatan dari TK...”
Aku
kesulitan merangkai kata-kata. Aku mengepalkan tanganku sampai kuku-kuku mencengkeram kulitku.
Aku sangat ingin menghancurkan reset itu.
...Masa
lalu di mana aku mereset itu tidak bisa dikembalikan lagi.
Jadi,
jangan menangis.
Apa itu karena aku lemah? Kalau begitu, aku tinggal mengambil kembali perasaan
yang hilang itu....
“Tsuyoshi,
untuk saat ini kamu sudah
cukup seperti ini. Aku akan selalu menunggumu. Bahkan setelah lulus SMA,
dewasa, atau bahkan aku
menjadi wanita tua sekalipun, aku akan selalu di
sampingmu.”
Kata-katannya yang lembut itu menusuk dalam ke
dalam dadaku. Hal ini disertai dengan penderitaan yang lebih tak tertahankan
dibandingkan rasa sakit lainnya.
Meskipun
perkataannya tegas, tapi Hanazono dengan lembut memegang ujung seragamku.
Aku secara refleks menggenggam tangannya.
"Jangan, itu sama sekali tidak benar. Itu hanya
akan membuatmu menderita.”
“...Begitu ya, jadi
kamu sudah bisa memahami perasaan orang lain ya.
Memang menunggu itu menyakitkan....
Tapi aku mempercayaimu, Tsuyoshi.”
“Mempercayaiku?”
“Ya,
karena kamu adalah teman masa kecilku. Kalau begitu, kamu perlu menjadi kuat!”
Aku
mencium aroma Hanazono. Aroma itu memicu ingatanku. Aku bisa mengingat segala
sesuatu dengan cepat, tapi ada tingkat kejelasan ingatannya. Yang tidak
dibutuhkan biasanya jadi kabur. Tapi kenangan dengan Hanazono sangat jelas.
“Hanazono, apa boleh kita tetap seperti ini
sebentar?”
“Umm,
b-boleh saja...”
Kami
berjalan pulang sambil berpegangan tangan.
Aku pernah melakukan ini sebelumnya. Hanya dengan ini, aku bisa melupakan
hari-hari yang menyakitkan. Aku tidak perlu mereset. Aku hanyalah yang lemah.
Di depan
apartemenku, aku dan Hanazono saling berpandangan dan melepaskan tangan kami
secara bersamaan.
Aku tak
bisa menahan rasa sedihnya saat berpisah....
Aku
tidak terkejut pada diriku sendiri
karena berpikir seperti itu. Itulah
yang disebut perasaan.
“Hehe,
aku akan terus berusaha
sekuat tenaga! Bahkan reset sekali pun takkan bisa mengalahkanku!”
Kata-katanya
dipenuhi keyakinan, seperti pengalaman
yang telah dia miliki.
Tapi aku
hanya bisa berpikir bahwa Hanazono yang diterangi
di bawah sinar rembulan, terlihat begitu
mempesona.