Otonari no Tenshi-sama Jilid 8.5 Bab 7 Bahasa Indonesia

 

Bab 7 — Sesuatu Yang Semakin Bersinar Saat Kamu Memolesnya

 

Setelah menghilangkan kepenatan dan keringat hari itu dengan mandi yang menyegarkan, Amane kembali ke ruang tamu dan menemukan Mahiru sedang asyik membaca buku di sofa. Saat ini sudah lewat jam sepuluh malam, waktu dimana dia biasanya sudah pulang. Namun, karena suatu alasan, dia tetap tinggal di apartemennya.

Amane mengira kalau Mahiru akan pulang saat Ia sedang mandi, dan bahkan mengucapkan selamat malam padanya sebelum melangkah masuk.

“Kamu belum pulang? Aku benar-benar mengira kamu sudah pergi.”

Amane tidak merasa terganggu jika dia berada di rumahnya sampai larut malam; lagipula, mereka berpacaran dan tinggal bersebelahan. Saat ini malam hari mungkin masih dalam batas yang dapat diterima.

Tapi Mahiru mungkin punya urusan yang harus dia lakukan di rumahnya, pikir Amane dengan khawatir.

Meskipun Mahiru sepertinya sudah mengurus apa yang bisa dia lakukan di tempat Amane dan bahkan sepertinya sudah mandi di rumah sebelum datang, Amane penasaran apa Mahiru tidak punya rutinitas atau tugas sendiri yang harus diselesaikan.

Oh aku minta maaf. Aku berencana untuk pulang sebelum kamu keluar dari kamar mandi, tapi…Aku ingin mencapai titik perhentian yang bagus dulu.”

Sepertinya dia terlalu asyik menjawab beberapa soal di buku referensinya. Mahiru adalah tipe siswa yang mempelajari materi yang diberikan kepadanya terlebih dahulu, jadi dia tidak terlalu tertekan seperti siswa lainnya. Meski demikian, sebagai orang yang rajin dan gigih, dia tidak pernah melewatkan meninjau tugasnya. Dia mungkin sedang melakukan latihan di buku referensi untuk memperkuat pemahamannya, meskipun dia mungkin sudah mengetahui materinya.

“Wow, kamu benar-benar berusaha keras. Bagus sekali,” puji Amane.

“Terima kasih,” jawab Mahiru.

Saat Amane duduk di sampingnya dan mengelus kepalanya, Mahiru menyipitkan matanya dengan geli. Amane mempertimbangkan untuk menyisir rambutnya dengan jari, tetapi memutuskan untuk tidak melakukannya karena tangannya masih lembap setelah mandi, sehingga sulit untuk melakukannya tanpa mengacak-acak rambut keringnya. Saat Ia mengangkat tangannya dari kepala Mahiru, Mahiru menunjukkan sedikit ketidakpuasan.

Dia menjadi gampang sekali dibaca, pikir Amane sambil sedikit tersenyum. Ketidakpuasan Mahiru menumpuk seperti balon di pipinya, dan setelah dibelai oleh Amane, ketidakpuasan itu mengempis, kabut emosi yang tertahan yang tidak bisa dia tahan keluar dari bibirnya.

Sambil dengan lembut menggelitik pipinya, yang dirawat dengan sangat baik sehingga Ia merasa terinspirasi untuk belajar dari teladan Mahiru, Amane melirik ke buku referensi yang dipegang Mahiru dan menemukan isi materinya cukup maju dibandingkan dengan apa yang mereka pelajari. Namun, berkat fakta bahwa Ia juga melakukan beberapa pra-studi dan belajar dari sesi revisi Mahiru, sebagian besar Ia bisa memahaminya.

Mahiru sungguh luar biasa, piker Amane dalam hati, merasa bersyukur.

“Boleh aku meminjam ini sebentar setelah kamu selesai? Aku ingin mempelajarinya juga.”

“Tentu, aku tidak keberatan,” jawab Mahiru. “Aku sebenarnya sudah menyelesaikan ini berkali-kali, jadi kamu bisa memilikinya. Aku punya buku referensi lain yang bisa kugunakan.”

Enggak usah terburu-buru, kok. Santai saja.”

Amane tidak ingin Mahiru memprioritaskannya dan menolak tawaran itu. Ia hanya berpikir alangkah baiknya bila Mahiru membiarkannya meminjam buku itu, dan tidak berniat merepotkannya dengan keegoisannya.

“Aku tidak keberatan. Aku masih memiliki banyak buku referensi tentang topik yang sama di rumah.”

Seriusan?

Tentu saja aku tidak bercanda. Semakin banyak kita memecahkan soal di buku referensi, semakin baik keterampilan praktis dan penerapan kita. Itu sebabnya aku melakukannya berkali-kali dan bahkan membeli buku baru untuk mendapatkan pertanyaan baru. Menurutku, bisa menyelesaikan soal tersebut lumayan menyenangkan.”

Amane hanya bisa terperangah dengan sikap acuh tak acuh Mahiru. Yah, ia memahami konsep memiliki banyak buku referensi untuk subjek yang sama seperti yang dia miliki sendiri. Namun, jika dilihat dari nada suara Mahiru, sepertinya dia punya cukup banyak, sehingga membuat Amane terkesan, yang tidak terlalu teliti dalam hal itu.

Dirinya bisa merasakan perasaan bahwa semakin banyak kamu menyelesaikannya, semakin banyak kamu memahami materi yang dipelajari, dan membuat kegiatan belajar menjadi menyenangkan. Namun momen ini mengingatkannya lagi bahwa Mahiru jauh lebih rajin dan pekerja keras daripada dirinya.

“…Baiklah, aku akan meminjamnya, tapi jangan terlalu memprioritaskanku, Mahiru.”

“Ini bukan soal memprioritaskan. Aku beneran baik-baik saja—setelah kamu selesai menyelesaikannya, aku bisa menyelesaikannya lagi nanti. Amane-kun, bukankah kamu terlalu memprioritaskanku?”

Seolah-olah ingin membalasnya, Mahiru mencolek pipi Amane dan menggelitiknya dengan ujung jarinya. Amane dengan lembut menyipitkan matanya sebagai tanggapan, membiarkannya melakukan apa yang diinginkannya, tapi tiba-tiba Mahiru berhenti. Ketika Amane menoleh dengan penasaran, Ia mendapati Mahiru sedang menatap tajam tidak hanya ke pipinya, tapi seluruh wajahnya.

Apa ada yang salah? Lihat jerawat atau apa?” tanya Amane.

Dia telah memeriksa kulitnya saat melakukan perawatan kulit di depan cermin sebelumnya, dan sejauh yang diketahuinya, tidak ada yang luar biasa, baik melalui penglihatan maupun sentuhan.

Mungkin aku melewatkan sesuatu? Tapi saat Amane merenungkan hal itu sambil mengingat bayangannya di cermin, Mahiru dengan lembut menggelengkan kepalanya, rambut kuningnya berayun.

“Tidak, justru sebaliknya. Kulitmu sudah membaik, bukan?” Mahiru berkomentar.

“Ah, jadi begitu. Kamu hampir membuatku khawatir sebentar tadi.”

“Pori-porimu, kekeringannya, tekstur kulitmu—semuanya berbeda sekarang. Ketika melihatnya dari dekat, aku langsung menyadari bahwa kulitmu menjadi lebih baik.”

“Sejujurnya, aku terkejut kamu bisa membedakan semua itu.” Mengingat Amane sendiri selama ini agak acuh tak acuh terhadap detail seperti itu, mau tak mau Ia kagum dengan ingatan tajam dan kemampuan observasi Mahiru. “Tetapi aku merasa senang bisa melihat beberapa kemajuan. Akhir-akhir ini aku lebih fokus pada rutinitas perawatan kulitku.”

“Oh, apa kamu mengubah rutinitasmu?”

“Ya, memang benar, tapi aku masih belum teliti atau menghabiskan uang sebanyak yang kamu bisa, Mahiru. Aku hanya memastikan untuk membersihkan dan melembabkan dengan benar sekarang.”

Dua langkah dasar ini saja dapat membuat perbedaan besar pada kulit seseorang. Setelah melakukan beberapa penelitian, Amane telah mengganti produk perawatan kulitnya. Sebelumnya, kulitnya tidak buruk atau terlalu bagus—contoh kulit rata-rata—dan ia terbiasa menggunakan pembersih wajah dasar dan pelembab biasa. Namun mengingat bahwa ia ingin memperbaiki diri, ia berpikir sebaiknya ia melakukan penelitian dan mengganti produk pembersih dan perawatan kulitnya.

Amane mencoba beberapa jenis dan memilih salah satu yang paling cocok dengan kulitnya, dengan fokus hanya pada pelembab yang hati-hati dan menyeluruh. Hanya itu yang dilakukannya, tetapi mengubah pendekatannya memperbaiki kondisi kulitnya. Berkat masakan Mahiru, makanannya sudah sangat seimbang sejak awal, jadi dibandingkan sebelumnya, kulitnya pasti sudah jauh lebih baik.

“Bagus. Pria cenderung memiliki lebih banyak minyak di wajah dibandingkan wanita, jadi pembersihan dan pelembapan yang tepat sangatlah penting.”

“Masakanmu membuatnya sangat mudah untuk menurunkan pola makanku, Mahiru. Jadi aku kebanyakan hanya fokus pada perawatan kulit dan kualitas tidur. Kamu membuatnya terlihat mudah, tapi menjaga kecantikanmu seperti itu sulit. Melakukan hal ini membuatku menyadari bahwa meskipun kamu memiliki kecantikan alami, tapi kecantikan itu hanya dapat dipertahankan melalui kerja kerasmu yang luar biasa.”

“Terima kasih banyak,” Mahiru terkekeh pelan. “Aku senang melihatmu mengakui usahaku.”

“Aku bisa tahu hanya dengan melihatnya saja. Aku tahu kamu selalu berusaha untuk meningkatkan diri. Sebenarnya, aku ingat kamu memberitahuku tentang hal itu sebelumnya. Ini sungguh mengesankan.”

Amane teringat kata-kata Mahiru di masa lalu tentang pentingnya upaya berkelanjutan demi keuntungan di masa depan. Mahiru menyadari bahwa kecantikan memudar seiring berjalannya waktu, dan dia takkan hidup hanya mengandalkan penampilannya saja. Namun bukan berarti dia tidak akan terus memoles kecantikannya. Itu berarti bahwa dia tidak hanya akan memoles penampilannya tetapi juga keterampilan dan kualitasnya sebagai diri pribadi, dan dia tetap patuh pada kata-katanya sendiri.

Amane memahami sekali lagi seberapa luar biasa dedikasinya.

…Terima kasih. Meski rasanya sedikit memalukan kalau kamu mengingat semua itu,” kata Mahiru.

“Memalukan gimana? Itu adalah buktu kalau kamu sudah melakukan yang terbaik, bukan?”

“…Yah, kalau menurutmu begitu, maka tidak apa-apa.”

Mahiru tampak kesulitan untuk mengatakan sesuatu, dan bergumam ragu-ragu.

Apa terjadi sesuatu yang membuatnya malu…? Amane mencoba mengingat percakapan mereka di masa lalu tetapi tidak ada hal khusus yang terlintas dalam pikirannya.

Sambil merasa penasaran mengenai apa yang mungkin membuat Mahiru terlalu sensitif, Amane mencoba membaca ekspresinya, tapi Mahiru tampak enggan menjawab dan menghindari kontak mata. Meski begitu, saat dia terus menatapnya, dia membalas dengan suara yang merupakan campuran antara teguran dan celaan, mengatakan, “Kamu tidak perlu khawatir tentang hal itu.” Merasa bahwa menanyakan lebih jauh hanya akan memperburuk suasana hati Mahiru, Amane dengan cepat memutuskan bahwa yang terbaik adalah membiarkan masalah ini berlalu. “Maaf,” katanya ringan, menyingkirkan pertanyaan yang masih ada dari benaknya.

“…Omong-omong, apa yang membuatmu begitu menyadarinya, Amane-kun?”

Hah?

“Saat kamu fokus berolahraga, kamu tidak terlalu memperhatikan detail kecil sebelumnya…jadi aku sedikit penasaran apa ada pemicunya.”

“Yah, kamu tahu… begitu kamu mulai memperhatikan satu hal, kamu juga mulai memperhatikan hal lainnya. Ketika aku mulai mencari cara terbaik untuk berolahraga, aku mendapati diriku semakin khawatir tentang bagian lain dari kehidupan sehari-hariku, seperti perawatan kulit.”

Amane pada awalnya tidak berencana untuk terlalu teliti dalam menjaga penampilannya seperti Mahiru, tapi mengingat kepribadiannya, Ia berpikir bahwa jika Ia mau berusaha, Ia sebaiknya melakukan yang terbaik sesuai kemampuannya. Jadi Ia memutuskan untuk mencari berbagai cara untuk meningkatkan dirinya, dengan tujuan menjadi orang yang layak berdiri di samping Mahiru.

Di dalam Era Digital saat ini, informasi yang diinginkan bisa didapatkan hanya dengan sekali klik, meskipun kamu tetap harus berhati-hati dengan kredibilitasnya. Setelah menemukan metode tentang cara meningkatkan daya tariknya sebagai seorang pria dan cara untuk meningkatkan dirinya sendiri, Amane menelitinya dengan cermat sebelum mempraktikkannya.

Dalam praktiknya, ini bukanlah sesuatu yang rumit. Berfokus pada bagian tubuh tertentu yang ingin ditingkatkan melalui latihan yang terarah, memberikan perhatian khusus pada perawatan kulit karena kesan seseorang seringkali dipengaruhi oleh corak dan tekstur kulit, menjamin kualitas tidur untuk memperbaiki coraknya, bereksperimen dengan teknik untuk mencapainya, dan berkonsultasi dengan Itsuki dan Yuuta untuk menyempurnakan selera fesyennya dengan mencari tahu warna dan gaya mana yang paling cocok untuknya. Amane saat ini sedang melaksanakan berbagai rencana perbaikan diri tersebut. Ia tidak melakukan upaya sebesar yang dilakukan Mahiru, jadi itu bukanlah hal yang terlalu Ia banggakan, tapi dirinya memastikan untuk tidak mengabaikan upaya itu sendiri.

Menurutku itu hal yang hebat, apa pun alasannya. Jalan perbaikan diri tidak ada habisnya, jadi aku sarankan untuk melanjutkan apa yang kamu lakukan sampai kamu merasa cukup puas.”

“Pastinya. Yah, menurutku kalau aku bisa mencapai sesuatu hanya dengan sedikit usaha, hasilnya akan berlipat ganda.”

“Sikap untuk tidak mengabaikan upaya itu sendiri merupakan hal yang penting. Kamu sudah melakukannya dengan baik,” puji Mahiru. “Sekarang, izinkan aku sedikit memanjakan Amane-kun yang pekerja keras.”

Sama seperti Amane yang mengetahui upaya Mahiru, Mahiru juga menyadari upaya Amane. Mengetahui pacaranya rajin melakukan jogging dan berolahraga sebelum makan malam, dan semakin kelelahan saat mandi, dia melontarkan senyuman menggoda, hampir nakal dan membuka tangannya lebar-lebar. Blus yang dikenakannya tipis, dan Amane bisa melihat lebih dari apa yang dia harapkan di balik kainnya.

“…Nah, Mahiru. Apa kamu menyadari bahwa apa yang kamu sarankan itu berbahaya?”

“Oh, itu tidak berbahaya. Itu hanya pelukan erat.”

“Itulah yang membuatnya berbahaya, Ojou-san. Apa kamu memahami maksudku?”

Mungkin ceritanya akan berbeda jika Amane yang melakukan hal itu pada Mahiru, tapi karena peran mereka terbalik, hal itu menimbulkan masalah yang signifikan. Mereka adalah sepasang kekasih, jadi bisa dikatakan tidak ada masalah. Namun, kalau soal pengendalian diri Amane, memang ada masalah besar. Dirinya pernah membenamkan wajahnya di sana sebelumnya, dan sensasinya menyenangkan sekaligus sangat tidak menyenangkan.

Saat Amane melontarkan tatapan skeptis ke arah Mahiru seolah mempertanyakan apa dia benar-benar memahami situasinya, Mahiru perlahan melengkungkan bibirnya. Dia dengan lembut mengulurkan tangannya yang terbuka ke arah Amane—lalu dengan lembut menyentuh rambutnya.

“…Kamu hanya ingin mengelus rambutku, bukan?”

“Oh, apa niatku sudah kelihatan jelas?” Mahiru terkekeh dengan anggun. Menyadari dirinya telah digoda, Amane sedikit mengerutkan alisnya, tapi Mahiru malah tertawa lebih keras lagi, terlihat geli. “Kamu tidak ingin aku melakukannya?”

“…Tidak, bukannya begitu.”

“Lantas, apa ini membuatmu senang?”

“…Mengapa kamu bertanya?”

“Oh, kamu tahu sendiri, hanya karena kamu tidak membencinya bukan berarti itu membuatmu bahagia, bukan? Aku pikir akan aneh melakukan sesuatu yang plin-plan.”

“…Y-Yah, itu membuatku bahagia, oke? Memang benar, tapi tetap saja…”

Merasa Mahiru menyentuh rambutnya, atau dimanjakan oleh Mahiru, membuatnya bahagia. Memang benar, tapi itu adalah perasaan yang rumit. Jika dirinya menyerah dan menuruti pelukan Mahiru yang terlalu terang-terangan, Amane merasa dirinya akan kalah.

“Kalau begitu, bukannya itu baik-baik saja? Ayo kemari?”

Ma–Maksudku, lokasinya agak rumit. Aku benar-benar diperbolehkan mengubur wajahku di sana?”

"Oh? Jika kamu pikir kamu bisa mengatasinya, silakan saja.”

Dia tahu. Dia pasti tahu kapan dia mengatakan itu. Amane merasa yakin Mahiru mengundangnya dengan pengetahuan penuh bahwa Ia tidak akan bertindak sembarangan. Seberapa liciknya itu?

Amane dengan ringan bergidik melihat sifat jahat pacarnya sendiri saat Ia memandangnya. Baginya, terlepas Amane akan memeluknya atau tidak mungkin tidak menjadi masalah. Jika Amane memeluknya, dia pasti akan memanjakannya. Dan jika Amane menolak, Mahiru kemungkinan besar akan membelai rambutnya dan memanjakannya dengan cara seperti itu. Dia bisa melihat semuanya terjadi seperti itu. Merasa sedikit kesal karena berada sepenuhnya di telapak tangan Mahiru, Ia ragu-ragu, menderita, dan akhirnya mengulurkan tangan.

“…Bukannya kamu lumayan licik?” kata Mahiru.

“Siapa yang licik duluan di sini?” Saat Amane membenamkan wajahnya di bahu Mahiru dan berbisik, tubuhnya tampak sedikit gemetar, seolah-olah ia sedang menahan rasa malu.

Amane juga mengerti bahwa Ia tidak bisa memanfaatkan situasi ini untuk menyandarkan wajahnya ke dada Mahiru. Jika dirinya boleh mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya, sebagai seorang pria, ia pasti memiliki keinginan untuk menikmati sensasi lekuk tubuh lembut pacarnya. Amane ingin diselimuti kehangatannya melalui pelukan penuh.

Namun, jika dirinya membiarkan dirinya sebebas itu, hal ini akan mengurangi rintangan untuk bentuk kasih sayang fisik yang lebih intens di masa depan, yang akan membawanya melakukan sesuatu yang lebih ekstrem. Jadi, Amane membatasi diri, memilih cara kontak seperti ini sebagai pengekangan pribadi dan sebagai tindakan peringatan.

Bukannya ini sudah melewati batas? Saat Amane dengan lembut menempelkan bibirnya ke tengkuk Mahiru dan menciumnya, Mahiru, yang tampaknya sudah menyerah pada strategi pelukannya, beralih ke Rencana B: membelai kepala Amane dengan satu tangan.

Yosh, yosh,” katanya.

“Rasa-rasanya kamu memperlakukanku seperti anak kecil,” Amane menunjukkan.

“Kamu juga sering melakukannya padaku, bukan?”

“AkAku tidak ingat pernah memperlakukanmu seperti itu.”

“Dan aku juga tidak memperlakukanmu seperti itu.”

Karena tidak bisa membantah bahwa usulan itu bisa diartikan sebagai memperlakukannya seperti anak kecil atau seperti kekasih, Amane hanya bisa terdiam.

“Anak baik, anak baik.”

“…Sekarang kamu terdengar seperti memperlakukanku seperti anak kecil.”

“Kau tahu, menafsirkan pujianku seperti itu akan menjadi masalah bagiku.”

“Itu dari nada bicaramu.”

“Biarpun kamu mengatakan itu…” Mahiru berbisik dengan suara penuh kasih sayang yang lembut, mirip seperti seorang anak kecil.

Hal ini meninggalkan perasaan aneh pada diri Amane, sebagai tanda ketidakpuasannya, ia dengan lembut menepuk punggung Mahiru dengan lengan yang sudah dipeluknya. Namun, Mahiru tampaknya tidak peduli dan terus mengusap rambut Amane dengan jari-jarinya.

“Jangan coba-coba memanjakanku,” protes Amane.

Hah? Tidak bisa.”

“Apa maksudnya itu?

“Yah, kerja keras memang pantas mendapat pengakuan, dan pasti ada imbalan atas kerja keras tersebut.”

“Me-Meski begitu… ayolah sekarang ini…”

…Aku masih tidak yakin bahwa saran sebelumnya adalah jalan yang tepat, Amane menunjukkan dalam hati sambil mengangkat wajahnya. Rasanya bukan waktu pemberian hadiah kepada Amane, melainkan lebih seperti waktu pemberian hadiah kepada Mahiru. Faktanya, memang itulah yang terjadi, dan Mahiru tampak benar-benar kecewa saat mereka berpisah, lalu menghela nafas penuh penyesalan. Ah…

Setelah mendinginkan pipinya yang memerah, Amane dengan lembut menatap wajah Mahiru.

“Dengar, aku baru saja mulai berupaya melakukan hal-hal yang selama ini kamu selalu usahakan. Kamu terus-menerus bekerja keras, lebih dari diriku. Jadi jika kamu ingin memujiku atas apa yang aku lakukan, kamu juga harus memuji dirimu sendiri atas semua yang telah kamu lakukan.

Meskipun tentu saja akan sulit untuk menawarkan waktu hadiah lain seperti yang baru saja dialaminya, Amane berpikir masih perlu untuk memuji Mahiru lagi dan sedikit memanjakannya. Memang benar, Ia juga memiliki motif kecil yang tersembunyi: jika Ia dengan tulus memuji Mahiru dari lubuk hatinya, Mahiru mungkin akan merasa kewalahan dan menjadi tidak mampu melakukan aksi seperti sebelumnya untuk sementara waktu.

Amane melanjutkan, “Kamu luar biasa, Mahiru. Kamu sudah bekerja sangat keras selama ini. Mengerjakan diri sendiri setiap hari mengingatkanku akan hal itu. Kamu membuatnya tampak seperti hal yang paling wajar, namun melakukan hal ini membutuhkan banyak waktu dan usaha. Selain itu, kamu juga belajar, mengerjakan pekerjaan rumah, dan mengurus diri sendiri, bukan? Aku sangat mengagumimu.”

Meskipun Ia sengaja memuji Mahiru, isi dan sentimennya semuanya tulus dari lubuk hatinya. Menghabiskan hampir seluruh waktunya bersama Mahiru, kecuali saat mereka sedang mandi atau tidur, Amane teringat kembali akan sejauh mana usahanya.

Dia melaksanakan tugas-tugas tersebut seolah-olah itu adalah kebiasaan, namun perjuangan di baliknya pasti luar biasa. Amane sendiri telah mengambil alih sebagian besar pekerjaan rumah tangga selain memasak, berkat berada di rumah, yang mungkin telah mengurangi beban kerjanya sampai batas tertentu. Namun, dia mempunyai tanggung jawab di rumahnya sendiri, dan kerja kolektifnya mungkin cukup besar.

Meski begitu, Mahiru terus bekerja keras, tidak pernah menunjukkan tanda-tanda ketidaksenangan. Dia secara konsisten terlibat dalam program perbaikan diri yang dia buat sendiri. Tindakannya membuat Amane terpesona—Ia sangat mengaguminya, dan itu membuatnya ingin mendukungnya dengan cara apa pun yang Ia bisa.

“Ah, um—”

“Aku ingin mencontohimu, Mahiru…Aku ingin bekerja lebih keras lagi dan berusaha mencapai titik dimana aku bisa percaya diri dan bangga pada diriku sendiri. Kalau tidak, aku tidak akan puas dengan diriku sendiri. Tentu saja, dipuji olehmu merupajan hadiah yang luar biasa dan aku bersyukur kamu melakukannya, tapi aku tidak ingin kamu memberikannya dengan mudah seperti saat itu. Aku ingin dihujani pujian dan dimanjakan seperti itu hanya ketika aku benar-benar bekerja keras.”

Kalau tidak, Amane tidak akan bertahan lama.

Saat Ia menatap lurus ke mata Mahiru dan menyampaikan permintaannya, Mahiru, yang tampaknya kewalahan dan malu dengan pujian itu, mengalihkan pandangannya.

“…Y-Ya ampun, Amane-kun, begitu kamu memutuskan sesuatu, kamu akan langsung berterus terang…atau bahkan tegas.”

Kamu pikir begitu? Aku merasa sedikit berleha-leha.”

“Itu namanya istirahat,” balas Mahiru.

“Tapi sejujurnya, aku terlalu menunda-nunda untuk menyebutnya ‘istirahat’.”

“Sebenarnya dalam hal apa…?”

Dalam hal apa? Menurutku, dalam segala hal. Amane tidak menganggap dirinya setegas komentar Mahiru. Jika ada orang yang cocok dengan definisi ‘tegas’, itu adalah Mahiru sendiri.

Pendekatan Amane adalah berusaha sesuai kemampuannya sambil mengambil istirahat sesuai kebutuhan. Dirinya tidak memaksakan diri sampai hancur secara fisik maupun emosional. Ia dapat memperkirakan bahwa melakukan hal tersebut tidak hanya akan menyebabkan kehancurannya sendiri tetapi juga membawa kesedihan bagi Mahiru.

Kemungkinan besar berkat pendekatan dan perspektifnya yang seimbang, Ia berhasil mendapatkan komentar seperti itu dari Mahiru.

“Sejujurnya, aku tidak pernah membenci diriku sendiri, tapi aku juga tidak pernah menyukai diriku sendiri. Tidak ada yang bisa aku banggakan—aku hanya malas.”

“…Jika kita berbicara tentang di mana kita pertama kali bertemu, aku tidak bisa menyangkalnya,” Mahiru mengakui.

“Tepat… Sekarang, aku ingin menyukai diriku sendiri. Bukannya aku tidak menyukai diriku sendiri ketika aku tidak bisa bekerja keras, tapi bukankah lebih baik memilih versi diriku yang memiliki tujuan dan berjuang untuk mencapainya?”

Pada akhirnya, kurangnya rasa percaya diri Amane berasal dari ketidaksukaannya pada diri sendiri—masa lalunya yang malas, menjengkelkan, banyak alasan, dan pengecut. Sekarang setelah Ia mulai berusaha menjadi pria yang layak bagi Mahiru, mengatasi penghinaan, penyesalan, dan ketakutan di masa lalu, mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih mulia, Amane akhirnya merasa bahwa Ia berada di jalur untuk menyukai dirinya sendiri.

“Lagipula, aku juga hanya ingin menjadi orang baik.”

Misalnya seperti, kamu ingin menjadi populer?” Mahiru bertanya.

“T-Tidak, bukan tentang itu. Sama seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku ingin memiliki kepercayaan diri, dan pria yang percaya diri pada umumnya dianggap baik. Jadi jika aku ingin berdiri bangga di sampingmu, aku harus menjadi pria baik.”

“Amane-kun…”

“Yah, meski perjalananku masih panjang, sih.”

Meskipun Amane tidak menetapkan harapan yang tidak realistis, menjadi seorang pria yang cukup baik untuk menandingi gadis yang tersenyum di sampingnya adalah sebuah rintangan besar. Namun, ia tidak punya niatan untuk menyerah.

Ia tidak akan mengatakan itu demi Mahiru. Amane bermaksud untuk terus bekerja keras demi dirinya sendiri, untuk mendapatkan kepercayaan diri dan kebanggaan pada dirinya sendiri seperti yang Ia inginkan.

“Itulah sebabnya, karena aku belum puas dengan diriku sendiri, aku berencana bekerja keras demi diriku sendiri.”

Ya. Sekali lagi, aku akan mendukungmu untuk menjadi orang yang kamu inginkan, Amane-kun.”

Terima kasih.

Kali ini berbeda. Sebelumnya, Mahiru mendukungnya tanpa sepenuhnya memahami alasan Ia ingin berusaha. Sekarang, dia memahami alasannya dan masih memilih untuk mendorongnya. Amane sangat menyadari bahwa Mahiru mencintainya apa adanya dan bisa dengan mudah berkata, “Kamu tidak perlu bekerja terlalu keras. Aku akan tetap mencintaimu.” Fakta bahwa dia memilih untuk menghormati keputusannya lebih berarti baginya daripada apa pun. Itu memberinya tekad untuk menjadi pria yang akan membuat Mahiru jatuh cinta lagi padanya.

“Baiklah, kalau begitu aku akan melakukan yang terbaik. Aku ingin kamu semakin jatuh cinta padaku.”

“B–Bahkan lebih dari yang sekarang!?”

Ya. Maksudku, itu akan membuatku lebih bahagia, dan memiliki pasangan yang terhormat akan membuatmu lebih bahagia, Mahiru. Kedengarannya seperti sama-sama menang bagiku.”

Amane akan sangat senang jika Mahiru sudah mencintainya lebih dari apa pun, tapi masih ada kemungkinan perasaannya bisa tumbuh jika Ia menjadi pria yang lebih baik lagi. Lagipula, rasa sayang Amane pada Mahiru tidak mengenal batas, jadi masuk akal jika Mahiru juga merasakan hal yang sama.

Jika itu berarti semakin dicintai olehnya, sama sekali tidak ada alasan untuk menahan usahanya.

“…Jika aku jatuh cinta padamu lebih dalam dari ini…Aku tidak akan bisa menjalani kehidupan normal lagi,” jawab Mahiru.

“Kamu terlalu melebih-lebihkan.”

Tidak, aku serius.

Disiplin diri Mahiru sungguh luar biasa. Memangnya dia bisa kehilangan kendali atas dirinya seperti itu? Amane merasa skeptis terhadap kemungkinan itu, tapi sepertinya Mahiru sendiri benar-benar takut akan kemungkinan itu. Dia memasang ekspresi yang sepertinya mengatakan ‘Jangan menggodaku’, yang mana Amane meminta maaf dan menggunakan ujung jarinya untuk menenangkan pipinya yang hampir menggembung. Energi itu kemudian berpindah ke bibir Amane, membentuk lengkungan.

“Yah, jika itu terjadi, aku akan bertanggung jawab karena telah mengubahmu menjadi berantakan.”

“…Aku akan memegang janjimu.”

Tentu. Ingatlah dengan baik. Aku tidak akan membuatmu menyesalinya.

Karena Mahiru telah memilihnya dari antara banyak pria, mana mungkin Amane akan membiarkan Mahiru menyesali pilihannya. Menanggapi pernyataan tegas Amane, Mahiru membuka matanya lebar-lebar, menggigit bibirnya sejenak.

“Amane-kun, kamu ini memang penakluk wanita yang alami.”

“Kenapa malah jadi seperti itu!?”

Setelah mata Amane melebar karena kecurigaannya yang tidak dapat dijelaskan, Mahiru segera memalingkan wajahnya dengan gusar.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama