Otonari no Tenshi-sama Jilid 8.5 Bab 8 Bahasa Indonesia

Bab 8 — Dari Sudut Pandang Pengamat 

 

“Amane-kun, apa kamu bersedia pergi berbelanja denganku?”

Pada suatu hari libur tertentu, beberapa saat setelah Amane dan Mahiru mulai resmi berpacaran.

Kunjungan Mahiru ke rumah Amane sudah menjadi kegiatan sehari-hari, dan Amane yang dengan sepenuh hati menyapanya dengan ucapan “Selamat datang,” langsung mendapat ajakan dari Mahiru, dan nyaris tidak berhenti sejenak untuk memberi salam.

Mahiru mengutarakan keinginannya saat mereka sedang berjalan menuju ke ruang tamu, memperjelas bahwa Mahiru sangat ingin pergi. Biasanya, dia cukup pendiam dalam mengungkapkan keinginannya. Dia jarang mengutarakan keinginannya ketika dia menginginkan sesuatu, ingin melakukan sesuatu, atau ingin pergi ke suatu tempat, dan ketika dia menginginkan sesuatu, dia sering mengawalinya dengan “Jika kamu tidak keberatan, Amane-kun, bisakah kita…” Jadi, jika Mahiru secara eksplisit mengajaknya kencan seperti ini, itu berarti pasti ada tujuan yang jelas ingin pergi berbelanja dengan Amane.

Tentu saja, aku tidak masalah. Lagian, aku tidak punya rencana apa pun hari ini.”

Setelah mereka berdua duduk di sofa dan Amane menyetujuinya, wajah Mahiru seketika langsung gembira, sehingga hampir mustahil bagi Amane untuk tidak tersenyum saat melihat reaksinya.

Apa itu membuatnya bahagia?

Melihat senyumannya yang mekar begitu tiba-tiba membuat Amane ikutan merasa senang juga. “Apa ada sesuatu yang ingin kamu beli?”

“Ya, baiklah, ada beberapa barang yang jadi incaranku.”

“Woke, baiklah. Serahkan saja tugas membawakan tas itu kepadaku.”

Amane berpikir kalau Mahiru merasa senang pergi keluar bersamanya, tapi sepertinya dia juga membutuhkannya sebagai pembawa belanjaan untuk membawa tas belanjaannya. Baru-baru ini, Amane telah mendapatkan cukup banyak otot, sehingga Ia bisa menahan sedikit beban. Sambil merasa bertekad, Ia lalu menatap Mahiru dengan semangat kesiapan.

Tapi, matanya yang sekarang basah mengembalikan tatapan jengkelnya. “Ya ampun, kenapa itu yang pertama kali kamu pikirkan…? Aku hanya ingin pergi berbelanja bersamamu, Amane-kun. Penekanan pada ‘bersama. Apa kamu paham?”

Amane hanya setengah bercanda, tapi Mahiru sepertinya ingin meluruskan kesalahpahaman yang mungkin terjadi, dan menekankan maksudnya sambil tersenyum. Tekanannya cukup kuat hingga membuat Amane kewalahan dan Ia dengan patuh mengangguk, “Oh, benar…ya, aku mengerti.”

Astaga, ya ampun. Aku ingin pergi bersamamu karena ada barang yang ingin aku pilih bersamamu, oke? Bukannya aku menggunakanmu sebagai pembawa tas. Kamu tahu itu, kan?”

Maaf, maaf. Itu salahku karena tidak memahami hati seorang wanita.”

Itu lebih baik.

Setiap kali Mahiru memarahi Amane, atau setiap kali dia merajuk, dia akan dengan senang hati memukuli tubuh Amane, sebuah tindakan yang semakin meningkat sejak mereka mulai berpacaran. Amane diam-diam tersenyum ketika Ia mengenali perilakunya ini. Setelah beberapa saat, Mahiru tampak sudah tenang, bunyi gedebuknya yang lucu berubah menjadi tepukan lembut. Memanfaatkan momen tersebut, Amane merenungkan pertanyaan yang diajukan Mahiru beberapa saat sebelumnya.

“Jadi, apa yang akan kamu beli?”

Namun anehnya, begitu Amane bertanya tentang apa yang ingin dia beli, Mahiru tiba-tiba terdiam.

“Mahiru?”

Meskipun keinginannya kuat untuk pergi berbelanja, dia langsung terdiam saat Amane menanyakan secara spesifik mengenai apa yang ingin dibelinya. Perubahan drastis dalam suasana hatinya membuat Amane bingung, tapi Ia melihat Mahiru melirik ke arahnya dengan ragu-ragu.

“…Um, kamu takkan jengkel atau menganggapnya aneh, kan?”

Sekarang aku jadi semakin penasaran mengenai apa yang ingin dia beli.

“Kamu seharusnya sudah tahu sekarang bahwa aku tidak mudah marah.”

“Jadi, menurutmu itu tidak aneh?”

“Tidak banyak hal yang membuatku aneh. Tetap saja, aku tidak akan tahu sampai kamu memberitahuku apa itu.”

Mahiru adalah orang yang cukup perhatian, jadi Amane merasa sulit membayangkan Mahiru akan membeli apa pun yang akan membuatnya tidak nyaman atau kesal.

Apa pun itu, dia ingin berbelanja denganku, jadi itu bukan sesuatu yang luar biasa.

Namun, keragu-raguan Mahiru menunjukkan bahwa itu mungkin sesuatu yang membuatnya merasa canggung.

Jadi itu bukan sesuatu yang aneh, tapi sesuatu yang Mahiru mungkin tidak nyaman untuk mengatakannya padaku, Amane memutar otaknya. Ya, aku benar-benar tidak tahu.

Sesuatu yang membuat Mahiru tidak keberatan, tapi mungkin membuatku terkejut atau kesal saat melihatnya... Jika Mahiru mengharapkan reaksi seperti itu dariku, mungkinkah itu...pakaian dalam?

Setelah berpikir keras, Amane menduga kalau kancut merupakan salah satu kemungkinannya. Tapi sulit dipercaya bahwa Mahiru akan dengan berani menyarankan hal ini tanpa merasa malu, karena dia bukan tipe orang yang menunjukkan hal seperti itu kepada orang lain. Dan karena tidak ada keintiman fisik antara Amane dan Mahiru, sepertinya tidak masuk akal jika Mahiru menyarankan untuk memilih sesuatu seperti itu bersama-sama dengannya.

Lalu, apa yang ingin dia beli? Amane tidak punya ide apa pun tentang hal itu.

“…U-Um, begini, hanya saja…” Mahiru berusaha keras untuk mengucapkan kata-katanya, “Kamu tahu kalau aku semakin sering menghabiskan lebih banyak waktu di rumahmu, ‘kan?” Suaranya yang sederhana mulai mencoba menghilangkan kebingungan Amane.

Semakin sering? Kamu hampir selalu ada di sini sekarang, kecuali saat kamu mandi atau tidur.”

“Kita sudah…mulai berpacaran, bukan?”

Ya.

“Jadi, um…ji–jika tidak apa-apa, boleh aku menyimpan lebih banyak barang pribadiku di sini juga?”

Hah? Ya, tentu.

Dengan kata lain, Mahiru ingin menyimpan lebih banyak barang-barangnya di tempat Amane, mempertimbangkan desain dan tampilannya karena itu adalah rumahnya. Itu hanyalah permintaan yang sangat sederhana sehingga Amane merasa malu dengan spekulasi tidak berdasar dan vulgar yang sempat muncul di benaknya. Tanpa memperlihatkan gejolak batinnya, Ia dengan sigap dan tanpa ragu menerima permintaan lemah lembut Mahiru, menyebabkan mata Mahiru melebar karena terkejut.

“…Jawabanmu cepat sekali,” katanya.

“Yah, kamu memang menghabiskan sebagian besar waktumu di sini, Mahiru. Wajar saja jika semakin sering kamu berada di sini, kamu akan membutuhkan lebih banyak barang.”

Mahiru sudah memiliki beberapa barang pribadinya di tempat Amane: produk perawatan rambut, beberapa buku referensi, bahan tulis, dan buku resep—jumlah minimum yang dia butuhkan. Amane tidak pernah menganggap hal tersebut sebagai gangguan. Untungnya, apartemennya luar biasa luas untuk satu penghuni, sebuah pilihan yang sengaja dibuat oleh orang tuanya yang mengutamakan keamanan, kenyamanan, dan lokasi. Meski Amane pernah mengira apartemen itu terlalu besar untuknya, Ia sekarang sangat bersyukur memiliki apartemen seluas itu sejak Ia mulai menghabiskan waktu bersama Mahiru.

Amane dengan lembut menepuk kepala Mahiru seolah-olah mendorongnya untuk membawa lebih banyak barang, dan Mahiru menatapnya dengan ragu-ragu.

Apa ada masalah? Amane bertanya.

“…Um, bo-boleh tidak… jika kita membelibarang yang serasi?”

“Item yang serasi?”

Serasi dengan apa sebenarnya?

Merasakan kebingungan Amane, Mahiru melanjutkan dengan malu-malu. “Seperti sekarang, peralatan makan di tempatku dan milikmu tercampur, bukan?”

Ya, memang sih.”

Amane hanya menyiapkan makanan seminimal mungkin yang dibutuhkan. Ia tinggal sendirian dan tidak percaya diri dengan keterampilan memasaknya, jadi ia merasa kalau ia tidak perlu memasak. Ia membawa peralatan makan yang lebih murah yang ia dapatkan dari rumah keluarganya, dan jumlahnya semakin berkurang seiring waktu karena pecah—kebanyakan karena ulah Amane sendiri. Sejak Mahiru mulai datang, mereka telah menggunakan peralatan makan antara milik Amane dan Mahiru. Meski mereka berusaha mencocokkan warna sebaik mungkin, kurangnya keseragaman di meja makan terlihat jelas.

“Jadi, um, aku ingin…menggunakan yang sama.”

…Tentu.

“T-Tapi, bukan berarti kita kekurangan peralatan, jadi kalau itu menghalangi…”

“Tentu, ayo kita beli beberapa. Barang-barang yang aku miliki hanyalah barang-barang termurah dan paling dasar yang bisa kudapatkan, dan masih banyak ruang kosong untuk menyimpan lebih banyak lagi.”

Amane tidak pernah bisa menolak keinginan Mahiru untuk mendapatkan barang yang serasi.

“Sebenarnya, kamu seharusnya tahu lebih banyak tentang hal itu daripada aku, Mahiru. Kamu lebih sering berada di dapurku dan kamu bahkan pernah melihat bagaimana aku terkadang memecahkan piring secara tidak sengaja. Jadi aku ingin mendapatkan lebih banyak juga.”

Mahiru tidak diragukan lagi lebih akrab dengan dapur, memahami jumlah piring dan ruang yang tersedia. Amane merasa keragu-raguannya untuk membeli yang baru disebabkan oleh ketidakpastian apa boleh membelinya atas inisiatifnya dan dari mana dananya akan berasal. Amane setuju dengan ide yang pertama, dan untuk yang terakhir, Amane masih memiliki sekitar sepertiga uang yang tersisa di rekeningnya yang disisihkan untuknya ketika Ia pindah ke sini.

Amane bukanlah tipe orang yang boros dan hidup dengan barang-barang yang dibawa dari rumah orang tuanya atau diatur oleh mereka, jadi ia sendiri tidak membeli banyak barang. Selain itu, berkat usaha Mahiru setiap hari, biaya makan mereka berkurang drastis. Amane, sebagai seseorang yang hanya membeli apa yang diperlukan, sebenarnya tidak boros dengan uangnya.

Akibatnya, karena Amane memiliki sisa uang yang cukup banyak di rekeningnya, membeli beberapa barang lagi tidak akan menimbulkan masalah untuk biaya hidupnya. Dirinya sangat berterima kasih kepada orang tuanya, yang mengizinkannya hidup sendiri dan menjamin kesejahteraannya, meskipun hal itu harus mengeluarkan biaya tambahan bagi mereka. Amane tidak berniat menyebutkan hal ini secara spesifik, tapi meskipun Ia menyebutkannya, orang tuanya tidak akan keberatan dengan permintaannya untuk membelikan peralatan makan yangs erasi dengan Mahiru. Bahkan, mereka mungkin mengatakan sesuatu seperti, “Mempersiapkan hidup baru bersama memanglah penting,” dan mungkin mentransfer lebih banyak uang kepadanya.

“…Aku tidak ingin memaksamu.”

“Aku tahu, tapi aku juga setuju bahwa memiliki peralatan yang serasi akan membuat kita merasa lebih seperti sedang makan bersama.”

…Ya.

Karena Mahiru yang memulai percakapan terlihat ragu-ragu, jadi Amane meyakinkannya dengan memeluknya dan mengusap punggungnya dengan lembut. Mahiru diam-diam mencondongkan tubuh ke arahnya, mengangguk bahagia.

 

 

Tanpa membuang waktu, Amane segera menemani Mahiru ke pusat perbelanjaan, mengikuti petunjuknya ke toko tertentu. Menurut penuturan Mahiru, “Di dalam toko ini terdapat peralatan makan yang menarik perhatianku.”

Amane biasanya bukan penggemar mal yang ramai dan merasa kalau keakraban dan bimbingan Mahiru yang efisien meyakinkan saat dia menariknya dengan penuh semangat, selangkah lebih cepat dan lebih ringan dari biasanya. Amane tidak bisa menahan senyumnya, menikmati navigasinya tanpa menggoda kegembiraan yang ditunjukkan wajah Mahiru.

Mereka berdua segera tiba di depan sebuah toko yang tampaknya khusus menjual peralatan makan Skandinavia. Sekilas, toko itu memiliki suasana yang elegan, dengan musik anggun diputar di dalamnya yang menggelitik telinga. Peralatan makan yang dipajang sangat canggih—sederhana namun berkelas—dan Amane berpikir peralatan itu sangat cocok dengan selera Mahiru.

“Barang-barang di sini tidak terlalu mahal, dan memiliki desain yang elegan serta daya tahan yang tinggi. Aku juga menggunakannya di rumahku,” Mahiru mulai menjelaskan.

“Oh, jadi kamu ingin berbagi apa yang kamu suka denganku. Itu sebabnya kamu membawaku ke sini dengan penuh semangat.”

Ap-Apa itu tidak boleh? Um, jika itu tidak sesuai dengan keinginanmu, Amane-kun, kita bisa mencarinya di beberapa toko lain.”

“Dasar bodoh, kenapa kamu terdengar seolah-olah aku menyalahkanmu? Aku senang kamu menunjukkan kepadaku hal-hal yang Kamu sukai.”

Amane yang tidak terlalu memahami peralatan makan, menyadari bahwa Mahiru ingin memilih barang yang disukainya. Karena mereka akan berbagi peralatan makan, memilih sesuatu yang mereka sukai adalah yang terbaik. Amane telah belajar dari orang tuanya bahwa rahasia keharmonisan adalah berkompromi kapan pun sebisa mungkin. Oleh karena itu, wajar baginya, yang tidak memiliki selera tertentu, untuk membiarkan Mahiru, yang jelas-jelas memiliki seleranya sendiri untuk memandu.

“Kami berdua akan senang jika menggunakan barang yang kamu suka, Mahiru. Bukannya kamu akan merasa senang jika melihatku menikmati apa yang aku suka juga?”

“Tentu saja aku akan merasa senang.”

Baguslah kalau begitu.”

Amane bersyukur Mahiru, sama seperti dirinya, bisa menikmati kebahagiaan kekasihnya. Jika nilai-nilai mereka sangat berbeda, hal ini bisa menimbulkan kerumitan di kemudian hari. Merasakan kehebatan orang tuanya, yang dengan berani hidup dengan prinsip bahwa bahagia bersama akan melipatgandakan kebahagiaan, Amane memegang tangan Mahiru yang kini merasa gembira dan memasuki toko.

Piring-piring yang tertata rapi di rak tampak mempunyai nilai estetika yang tinggi. Amane berpikir untuk tidak menggunakan piring yang memiliki desain bunga berwarna pastel yang realistis, tapi di sini, desain bunga lebih bermotif dan terlihat abstrak. Garis-garis bersih dan skema warna adalah sesuatu yang Amane tidak keberatan untuk menggunakannya secara rutin.

“Kita harus fokus membeli ukuran yang sering kita gunakan. Aku cenderung memilih desain yang menarik perhatianku, tapi kalau bentuk atau ukurannya tidak praktis, aku malah menyimpannya,” gumam Mahiru, dengan hati-hati memilih di antara banyak pilihan.

“Aku mengerti perasaan itu,” balas Amane. Hal tersebut mirip dengan memilih pakaian. Amane seringkali membeli sesuatu yang ia suka karena desainnya, namun ternyata itu tidak sesuai dengan musim atau warnanya tidak sesuai dengan lemari pakaiannya, yang pada akhirnya hanya menjadi barang tak terpakai di lemarinya.

Fakta bahwa aku jarang keluar rumah juga merupakan alasan besarnya, sih.

Sebagai seseorang yang tidak berdandan demi siapapun, kekosongan dalam menyadari pembelian adalah hal yang sia-sia, padahal itu sesuai dengan keinginannya, hal yang sudah dialami Amane beberapa kali. Hal yang sama juga berlaku pada peralatan makan. Tak peduli seberapa besar ia menyukai desainnya, jika tidak praktis untuk penggunaan sehari-hari, maka itu tidak ada gunanya. Jika ukuran atau bentuknya tidak nyaman untuk menyajikan makanan, peralatan tersebut mungkin akan segera terlupakan di bagian belakang rak, dan takkan pernah digunakan lagi.

“Kita juga perlu mempertimbangkan hal-hal seperti ukuran meja makan karena kita akan menggunakannya bersama-sama.”

“Ya, mejaku tidak terlalu besar.”

Masalah lainnya adalah ukuran ruang. Meja makan Amane dirancang hanya untuk satu atau dua orang. Dia telah membeli sesuatu yang ringkas karena dia tidak mengira akan menampung siapa pun dan tidak membutuhkan lebih banyak ruang untuk dirinya sendiri. Namun, sekarang sepertinya ia menghambat dirinya sendiri.

“Aku tinggal sendirian saat itu, tapi sekarang aku berharap bisa memilih yang lebih besar.”

“Yah, mungkin kita bisa mempertimbangkan untuk membeli yang lebih besar nanti. Untuk saat ini, kita harus mensyukuri apa yang ada dulu.”

“Benar juga.

Jika meja itu menjadi masalah di masa depan, ayo pertimbangkan untuk membeli yang baru, ucap Amane dalam hati. Untuk saat ini, Ia berkeliling toko, mengikuti arahan Mahiru. Karena toko tersebut disukai Mahiru, dia sering berhenti untuk mengevaluasi barang dengan cermat, sehingga sulit untuk mengambil keputusan.

“Hmm, sulit untuk memilih. Mereka semua terlihat cantik,” katanya.

Aku senang kamu terlihat bersenang-senang.”

“Aku sudah bersenang-senang hanya dengan jalan-jalan bersama. Aku sangat bersemangat sehingga aku mungkin akan membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan.”

“Tidak ada salahnya untuk berbelanja secara royal sesekali, terutama karena kamu biasanya sangat berhemat dengan uangmu.”

Itu tidak baik! Aku mungkin lupa tujuan kita datang ke sini kalau aku melakukan itu, jadi tolong hentikan aku kalau itu terjadi, Amane-kun.”

Serahkan saja padaku.

Aku sangat ragu apakah aku harus melakukan hal itu mengingat betapa kuatnya pengendalian diri Mahiru, tapi okelah. Meski begitu, Amane tetap mengangguk. Mahiru tampak lebih senang dengan tanggapan Amane dan dengan bersemangat mulai membandingkan beberapa peralatan, tidak mampu memutuskan pilihan yang ada di depannya. Sebagai pacarnya, Amane menganggapnya menggemaskan dalam keadaan seperti ini dan tidak bisa menahan senyum saat melihatnya.

Amane penassaran apa mungkin ia harus menyuarakan pendapatnya, tapi ia tidak ingin mengurangi kesenangan kekasihnya. Mahiru tampak sangat menikmati waktunya dan bergumam, “Hidangan ini mungkin cocok untuk rumah,” dan meletakkan piring datar sederhana dengan bunga-bunga kecil dan pola tanaman ivy di sekeliling tepinya ke dalam keranjang belanjaan yang tergantung di lengan Amane. Dia jelas terlihat bersenang-senang.

“…Apa kamu juga pilih-pilih tentang peralatan di tempatmu?” Amane bertanya.

"Ya, benar. Aku dengan hati-hati memilih yang favoritku. Bagiku, rasanya menyenangkan bisa menyantap makanan dari salah satu piring favoritku, atau bahkan hanya dari piring yang cantik.

“Ya, aku mengerti. Secara visual menarik dan membuat makanan terasa lebih enak.”

Bahkan Amane yang umumnya acuh tak acuh pun tahu dari pengalaman bahwa hidangan yang menarik membuat makanan tampak lebih lezat dan meningkatkan nafsu makannya.

“Jika makanan adalah satu-satunya hal yang penting, meninggalkan penggorengan atau panci langsung di atas meja dan makan dari piring kertas akan menjadi cara makan yang paling nyaman. Hal itu juga meminimalkan pencucian,” Mahiru melanjutkan. “Tetapi melakukan hal itu terlihat seperti kurang karunia.”

“Itu akan membuat segalanya lebih mudah, tapi itu tidak akan memberikan pengalaman yang luar biasa,” Amane setuju.

“Rasa memang paling penting, tapi penampilan juga penting. Sama seperti manusia, kesan pertama itu penting.”

“Sejujurnya, aku terkejut mendengarmu mengatakan itu.”

Amane mengira Mahiru, yang sering dinilai dari penampilannya, tidak akan memberikan pendapatnya mengenai masalah seperti itu. Namun, dia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum masam.

Sama seperti memasak. Kamu tidak bisa mengembangkan nafsu makan jika makanan yang disajikan berantakan, bukan? Jika kamu tidak pernah mencoba hidangannya, kamu tidak akan bisa menghargai rasanya.”

“Ya, aku mengerti maksudmu.”

“Dan hal yang sama berlaku untuk manusia. Kesan pertama yang positif membuat orang lain lebih cenderung berinteraksi denganmu, dan membangun hubungan yang lebih dalam menjadi lebih mudah. Nah, dalam kasus manusia, yang terpenting bukanlah menjadi menarik atau cantik, namun lebih pada kebersihan dan kerapihan. Orang yang gagal mempertahankan penampilan dasar biasanya takkan bisa membuat orang lain ingin berinteraksi dengan mereka.”

Aduh.

“Mengapa kamu tampak terluka karena hal itu?”

“Oh, kamu tahu sendiri, hanya saja dulu aku tidak terlalu peduli dengan penampilanku sampai beberapa waktu yang lalu.”

Amane tidak terlalu memperhatikan penampilannya sampai Ia mulai berusaha untuk menjadi pria yang layak di samping Mahiru. Itulah sebabnya dia melihat dirinya sendiri dalam perkataan Mahiru. Amane dulu berpikir bahwa menjaga kebersihan saja sudah cukup—pakaiannya sering kali tidak disetrika, dan poninya yang terlalu besar menciptakan aura suram. Amane bukannya tidak higienis, tapi penampilannya terlihat kurang segar, sesuatu yang sekarang dia renungkan dengan penyesalan.

Penampilanmu tidak pernah terasa najis bagiku, Amane-kun, meski kamu memang terlihat sedikit murung, dan kamarmu berantakan.”

“Terima kasih banyak telah membantuku saat itu.”

Mahiru terkekeh. “Sekarang kamu bahkan bisa melakukannya tanpa bantuanku. Kamu sudah melakukannya dengan baik.”

“Ya, aku tidak bisa terus mengandalkanmu dalam segala hal.”

Memang bagus sekali jika kamu memiliki tujuan dalam pikiranmu.” Mahiru mencoba mengulurkan tangan untuk menepuk kepalanya. “Anak baik, anak baik.” Tapi saat Amane menghentikannya, wajahnya jelas menunjukkan kekecewaannya. Namun, kekecewaan yang terlihat di pipinya segera berubah menjadi rasa malu ketika Amane kemudian dengan singkat berkata, “Kita di depan umum.” Dia ingin menahan diri untuk tidak menerima tepukan dari luar dan merasa lega telah menghentikannya tepat pada waktunya, meskipun dia merasa sedikit menyesal.

“P-Pokoknya…” Mahiru melanjutkan dengan suara yang sedikit gagu, merasa malu karena dia hampir membawa kebiasaannya di luar. “Penggunaan hidangan yang enak dipandang sangat memperkaya pengalaman bersantap dan suasana hatimu. Tapi aku juga ingin mempertimbangkan kesukaanmu, Amane-kun.”

“Aku tidak keberatan dengan apa yang kamu pilih. Seperti yang kubilang tadi, aku mau yang mana saja yang kamu mau, Mahiru. Aku memercayai perhatianmu terhadap detail, dan aku juga ingin menyukai hal-hal yang kamu sukai.”

“…Tolong berhenti menggodaku secara mendadak seperti itu,” balas Mahiru.

Padahal aku tidak bermaksud begitu.”

“Ya ampun.”

Mahiru memberinya tatapan menyindir, tapi Amane merasa kalau dirinya tidak menggoda sama sekali, membuat tatapannya terasa lebih mirip tuduhan tak berdasar. Tanpa sedikit pun kemarahan, Mahiru menunjukkan cibiran manisnya, sambil berkata, “Kamu selalu seperti ini, Amane-kun,” sebuah kalimat yang sudah sering didengar Amane-kun sebelumnya.

Mahiru lalu memasukkan dua hidangan yang tampaknya dia pilih ke dalam keranjang. “Dari keduanya, mana yang kamu sukai?”

Dia menunjukkan kepada Amane sebuah piring dengan pola geometris biru dan kuning dengan latar belakang putih, dan satu lagi dengan warna hijau mint yang indah dihiasi dengan dedaunan putih. Dua-duanya terlihat tidak terlalu mencolok tetapi memiliki keindahan yang membuatnya cocok sebagai hiasan. Amane, yang umumnya memilih warna pakaian yang lebih cerah dan jernih, menunjuk pada piring yang bermotif biru dan kuning.

“Aku suka yang ini, tapi bagaimana denganmu, Mahiru?”

"Oke. Kalau begitu, bagaimana kalau kita membeli yang ini untuk peralatan yang serasi?”

Mahiru dengan cepat menerima pilihannya dan mengembalikan piring lainnya ke tempat semula sebelum menambahkan dua piring pilihan Amane ke dalam keranjang. Amane merasa sedikit tidak nyaman, bertanya-tanya apa Mahiru pantas mengandalkan pilihannya untuk sesuatu yang dinantikannya.

Aku sih tidak keberatan, tapi kamu yakin tidak menahan diri demi diriku? Kita bisa memilih yang kamu suka saja, tau?”

“Menurutmu mengapa aku menahan diri…?” Mahiru balik bertanya. “Seperti yang kutanyakan sebelumnya, aku ingin memutuskannya bersamamu, Amane-kun. Aku sama-sama menyukai keduanya, jadi memilih salah satu yang kamu sukai dari keduanya akan membuat penggunaannya lebih menyenangkan, bukannya kamu setuju? Aku juga ingin menyukai hal-hal yang kamu sukai.”

Setelah kata-katanya dibalik kepada dirinya sendiri, Amane benar-benar mengerti apa yang Mahiru maksudkan dengan “Kamu selalu seperti ini, Amane-kun.” Ia menelan campuran rasa malu yang membengkak dari dalam dadanya dan kegembiraan yang melampaui itu yang segera menyusul.

…Ya. Ia mengangguk, dan Mahiru, yang tampak puas dengan apa yang diinginkannya, tersenyum cerah dan berjalan ke samping lengan Amane.

“Sekarang kita sudah mempersempit pilihan kita, mari kita pilih satu bersama-sama, ya? …Apa itu enggak apa-apa?

“Tentu saja.”

 Ini pasti kebahagiaan yang datang dari kebahagiaan bersama, pikir Amane, saat rasa kebahagiaan yang mendalam meresap ke dalam hatinya. Sambil membenamkan dirinya dalam kebahagiaan ini, Amane membalas senyuman lembut Mahiru dengan senyumnya sendiri sambil meraih tangannya.

 

 

Setelah memilih piring dan cangkir sup untuk digunakan bersama, Mahiru mampir ke bagian toko yang tidak ada kaitannya dengan peralatan makan. Meskipun pada dasarnya sama seperti toko peralatan makan, tampaknya toko ini menjual berbagai macam peralatan dapur, tapi tidak terbatas pada peralatan memasak saja. Dia tertarik pada rak pajangan yang dipenuhi kotak bento dan botol air yang dilengkapi dengan desain cerah. “Bisakah kita menelusuri bagian ini juga?”

“Tentu, kenapa tidak?” jawab Amane. “Tapi kamu sudah punya beberapa kotak bento, kan? Apa itu sudah rusak?”

“…Tidak, maksudku untukmu, Amane-kun.”

Untuk aku? Amane berkedip kebingungan, terkejut karena Mahiru tiba-tiba menyebut dirinya.

“Oh, sepertinya kamu belum sepenuhnya mengerti,” Mahiru mulai menjelaskan. “Soalnya, ukuran porsi kita berdua berbeda. Meskipun kurang dari rata-rata pria, tapi kamu masih makan lebih banyak ketimbang aku. Oleh karena itu, kotak makan siangku mungkin agak kecil untukmu. Ditambah lagi, menggunakan tupperware terasa membosankan.”

“O-Ohhh.” Amane menyadari apa yang dia maksud.

Sejak mereka mulai berpacaran, Mahiru sering membuatkannya makan siang karena mereka bisa makan bersama. Dan ketika mereka makan siang, mereka berdua menggunakan kotak makan siang Mahiru: yang bertingkat ketika makan bersama, dan yang dua tingkat dengan kedua kompartemen berisi makanan ketika makan bersama teman, meskipun bola nasi disiapkan secara terpisah.

Sejujurnya, Amane tidak terlalu memikirkan jenis wadahnya. Namun, Mahiru mempunyai pendapat yang kuat untuk tidak menggunakan tupperware. Dia bersikeras, “Aku tidak bisa membiarkanmu membawanya kemana-mana dengan tupperware. Kalau boleh dibilang, itu tidak cocok dengan tampilannya,” dan Amane hanya menuruti keinginannya.

“Aku minta maaf atas semua masalah yang kamu alami,” Amane meminta maaf.

“Aku tidak menyiapkan makan siang untukmu setiap hari, dan itu disiapkan terlebih dahulu atau sisa makan malam ketika aku menyiapkannya, jadi hal tersebut tidak memakan waktu lama. Selain itu, kamu mengatakan itu, tapi kamu juga membantuku menyiapkannya di pagi hari setelah bangun tidur, bukan? Aku senang saat kamu bilang itu enak, jadi itu tidak masalah sama sekali.”

Tetap saja. Seperti biasa, aku akan menghargainya. Berkatmu, aku bisa mendapatkan makanan lezat setiap hari.”

Amane tahu bahwa anak laki-laki SMA lainnya akan merasa iri karena dirinya sering menikmati masakan Mahiru. Dalam hati, Ia membungkuk pada Mahiru, mengakui kasih sayang dan kebaikan Mahiru yang luar biasa. Kepedulian Mahiru terhadap dirinya bukan hanya sekedar malaikat—tapi mendekati perhatian seorang dewi.

“Akulah yang seharusnya berterima kasih padamu,” Mahiru terkekeh, “kamu membuatnya tampak begitu lezat saat kamu memakannya.”

Sifatnya yang sangat lembut adalah sesuatu yang sangat dihargai oleh Amane, namun Ia masih merasa kalau Mahiru yang memasak untuk dirinya merupakan beban besar bagi Mahiru. Amane tidak bisa memintanya menyiapkan makan siang untuknya setiap hari.

Seperti yang Mahiru sebutkan, lauk pauk sering kali merupakan tambahan dari makan malam atau dibuat menggunakan bahan-bahan yang sudah disiapkan sebelumnya. Namun, dashimaki tamago, yang hampir selalu dia tambahkan—atau lebih tepatnya, Amane yang memintanya untuk menambahkan—selalu disiapkan dengan cermat di pagi hari. Lauk itu, dan hidangan yang diasinkan yang dibumbui dan didiamkan semalaman juga dimasak di pagi hari. Mahiru melakukan semua itu, meskipun pada awalnya itu adalah waktu yang bisa dia habiskan untuk beristirahat.

Amane benar-benar sangat bersyukur. Faktanya, ada yang berpendapat bahwa Amane harus membalas budi dan membuatkan bento untuk Mahiru. Meskipun ia sering membantunya di dapur, tidak dapat disangkal bahwa sebagian besar upaya itu adalah miliknya. Tampaknya adil jika Amane menyiapkan makan siang mereka dari waktu ke waktu.

“Boleh aku mencoba membuat makan siang lain kali?” Amane menyarankan ide itu.

Kamu yang membuatnya, Amane-kun?” Di wajah Mahiru terdapat ekspresi paling terkejut yang dia tunjukkan sepanjang hari.

“Oh, apa kamu khawatir kemampuanku tidak bisa menyanggupinya? Aku cukup yakin kalau aku bisa mengatasinya sekarang.”

Mahiru tahu kemampuan memasak Amane saat ini. Namun, pengetahuannya tentang kurangnya keterampilan awalnya mungkin masih menimbulkan kekhawatiran, meskipun ada kemajuan besar. Keberhasilannya baru-baru ini menyiapkan makan malam untuk Mahiru adalah buktinya, dan mendapat reaksi positif. Tawaran Amane untuk menyiapkan makan siang mereka, meski agak impulsif, didukung oleh keyakinan yang kuat pada kemampuannya untuk mengaturnya secara efektif.

“Tidak, menurutku siapa pun yang melihatmu memasak akhir-akhir ini takkan menyebutmu juru masak yang buruk. Kamu sudah cukup mahir, dan makananmu pasti enak.”

Terima kasih.

“T-Tapi, apa yang membuatmu berpikir untuk melakukan itu?”

“Ah baiklah, aku tidak bisa menyerahkan segalanya padamu begitu saja, bukan? Rasanya tidak benar. Selain itu, aku juga ingin mencoba membuatkannya untukmu, Mahiru.”

Mahiru sudah mempunyai banyak tanggung jawab di tangannya. Amane ingin sedikit meringankan bebannya, dan berniat melakukannya jika memungkinkan. Dirinya memahami bahwa meskipun seseorang bisa saja merasa sangat senang melakukan sesuatu untuk orang lain, tapi bukannya berarti hal itu juga akan membawa kebahagiaan bagi orang lain. Tapi jika Mahiru mengizinkannya, Amane akan dengan senang hati membuatkan makan siangnya. Amane ingin menciptakan siklus kegembiraan di mana mereka berdua bisa menikmati sensasi timbal balik.

Apa itu tidak boleh?”

“T-Tidak, aku senang kamu menginginkannya, tapi…um, apa kamu yakin tidak apa-apa?”

“Maksudmu?

“…Saat aku memakannya, orang-orang di sekitar kita mungkin akan melihat makanannya.” Dengan kata lain, Mahiru menyarankan agar siswa lain di sekitarnya dapat menilai bagaimana tampilan makanannya.

“Uh, kurasa tidak ada yang bisa kita lakukan jika itu terjadi. Tapi jika ada yang benar-benar mengatakan itu, pertama-tama beri tahu mereka kalau akulah yang membuatnya.”

Jika ada seseorang benar-benar mengatakan hal itu, aku akan mempertimbangkan untuk menjauhkan diri dari mereka. Jika keadaan terburuk menjadi lebih buruk, aku akan memutuskan hubungan dengan mereka.”

“Bukannya itu agak ekstrim?”

Meskipun Amane tidak akan menyiapkan makanan yang tidak menarik untuknya, prioritas utamanya adalah kepuasan Mahiru. Jika Mahiru menikmati makanannya, maka itu tidak masalah bagi Amane meskipun orang lain mengkritik keahliannya. Namun, sepertinya Mahiru tidak terlalu baik hati jika ada orang yang menghina pacarnya.

“Maksudku,” lanjut Mahiru, “Kalau ada yang tahu kalau pacarku telah berusaha keras untuk membuatnya dan masih mengkritik makanannya secara terbuka, aku hanya bisa berasumsi mereka akan memberikan komentar negatif lagi di kemudian hari. Tapi aku tidak pernah ingat berteman dengan siapa pun yang mau melakukan hal itu.”

Meski aku tidak berhak mengomentarimu, tapi kamu cukup selektif dalam memilih siapa yang akan kamu dekati, ya.”

“Aku menyadari kecenderunganku yang begitu, tapi menurut aku penting untuk memilih teman. Aku tidak ingin mengizinkan orang-orang yang akan menyakiti diriku sendiri atau orang-orang yang kusayangi masuk ke dalam lingkaran pertemananku.”

Perkataan yang bagus.”

Dalam konteks ini, kriteria Mahiru dalam memilih lingkaran pergaulannya didasarkan pada apa lingkungan pertemanannya tersebut menguntungkan atau merugikannya. Orang-orang—beberapa lebih dari yang lain—dipengaruhi oleh orang-orang di sekitar mereka. Sederhananya, manusia dibentuk oleh lingkungannya. Jika lingkungan mereka beracun, hal itu dapat membawa seseorang ke arah yang tidak diinginkan.

“…Sebenarnya, Amane-kun, kamu tidak lagi menyiapkan makanan yang tidak menggugah selera, jadi aku cukup yakin kalau itu tidak menjadi masalah.”

“Aku memang mencoba yang terbaik, tapi siapa yang tahu.”

“Tidak ada yang tahu seberapa baik kemajuanmu dalam memasak selain aku, Amane-kun. Aku sudah memperhatikanmu selama ini.”

Kepercayaan mendalam Mahiru tidak mengandung sedikit pun keraguan tentang kemampuannya, yang menyebabkan sensasi hangat menyebar ke seluruh tubuh Amane.

Merasa tersentuh dengan kepedulian pacarnya, Amane pun tersenyum. “Kalau begitu aku akan memastikan untuk menunjukkan kepadamu hasil kerja kerasku.”

Senyuman nakal terlihat di wajah Mahiru saat dia menjawab, “Aku akan menantikannya, oke?” menerapkan beberapa tekanan.

“Tentu, tapi jangan terlalu berharap.” Amane dengan ringan mengencangkan cengkeramannya pada tangan Mahiru dan kemudian bergumam, “Sepertinya aku harus berusaha sebaik mungkin supaya tidak mengecewakanmu.”

 

 

“Apa masih ada hal lain yang kita butuhkan?” Setelah memasukkan peralatan makan pilihan mereka dan kotak bento baru ke dalam keranjang, Mahiru sudah memastikan bahwa mereka telah mencapai tujuan utama mereka. Dia kemudian bertanya-tanya apa mereka membutuhkan barang lainnya. “Ada mug, tapi kami sudah membeli mug yang serasi sebelumnya.”

“Hmm, mungkin sendok dan sejenisnya?”

“Oh, benar, peralatan sendok dan garpu. Rasanya akan sangat menyenangkan jika kita bisa membeli yang serasi.”

Mahiru setuju, dengan alasan bahwa karena mereka telah memilih peralatan makan yang serasi, melengkapinya dengan sendok yang serasi memang akan menjadi pilihan ideal.

“Oleh karena itu, sendok dan garpu yang kita miliki memiliki desain yang sederhana, jadi kita sudah menggunakan sendok dan garpu yang sama secara efektif. Aku juga ingin mencari sumpit yang serasi, tapi kurasa toko ini tidak menyediakannya.”

Toko tersebut terutama menjual peralatan makan Skandinavia. Meskipun mereka tampak memajang sumpit dengan desain lucu sebagai item bonus, mereka tidak memiliki pilihan yang dapat melengkapi peralatan memasak Jepang dan barang-barang lainnya.

“Sepertinya kita harus mencari toko lain,” Mahiru kemudian memperhitungkan.

"Ya. Menggunakan sumpit terkadang merepotkan karena aku punya banyak sekali sumpit yang berbeda. Tapi aku tidak keberatan dengan sumpitnya.”

“Lagipula, sangat mudah untuk tidak mencocokkannya saat kamu sedang terburu-buru. Kecuali jika kamu memisahkan semuanya terlebih dahulu.”

Karena menyortirnya terlalu merepotkan, mereka saat ini menggunakan sumpit yang tidak serasi: beberapa berasal dari toko seratus yen dengan pola yang sama tetapi warnanya berbeda, dan yang lainnya adalah sumpit kayu biasa yang polos dan lurus. Akan lebih mudah untuk membuang kelebihannya saja, tetapi mereka tetap menggunakannya karena malas membuangnya. Alhasil, tidak hanya repot memilih sepasang sumpit yang tepat, sumpit murah pun mulai terkelupas. Hal ini membuat tempat penyimpanan menjadi berantakan.

Idealnya Amane ingin memilih sepasang sumpit yang kuat dan berkualitas baik, sejalan dengan moto Mahiru untuk memanfaatkan apa yang kamu miliki selama mungkin. Namun, Amane pun bisa memahami bahwa untuk sumpit, pergi ke toko khusus adalah pilihan yang paling aman.

“Ada toko di mal ini yang menjual sumpit, jadi bisakah kita pergi ke sana? Dengan begitu, kita mungkin bisa menemukan, um, yang serasi.”

“Tentu, ayo lakukan itu. Oh, tapi Mahiru, tanganmu lebih kecil dari tanganku. Jika kami mendapatkan yang berukuran sama, kurasa kamu tidak bisa menggunakannya dengan benar. Jadi mari kita membeli ukurannya yang berbeda jika kita memilih yang serasi.”

Setelah meremas tangan Mahiru, “Hmph,” Amane mendengarnya mengeluarkan suara ketidakpuasan. Ia juga ingin mendapatkan sumpit dengan desain yang serasi, namun sengaja membeli sumpit dengan ukuran yang sama akan membuat penggunaannya menjadi lebih rumit. Dia tidak perlu melakukannya sampai sejauh itu hanya karena ingin barang yang serasi.

“Itu karena tanganmu kecil dan imut.”

“Kamu mengolok-olokku, bukan?”

"Sama sekali tidak, kok. Aku senang karena mereka kecil, paham? Mereka sangat cocok dengan tanganku.” Setelah melepaskan tangan Mahiru sejenak, Amane dengan ringan menggenggamnya lagi, kali ini menutupinya dari atas. Telapak tangan kecilnya dengan mudah masuk ke telapak tangannya tanpa kesulitan.

Saat tatapan Mahiru bergantian bolak-balik antara Amane dan tangan mereka yang saling bertautan sempurna, Ia terkekeh. “Lihat? Sangat cocok, bukan?” Amane kemudian menyadari bahwa kerutan samar yang mulai terbentuk di wajah Mahiru kini telah mereda.

“…Aku akan membiarkannya sekali ini saja.”

“Terima kasih telah memaafkanku,” candanya. “Baiklah, ayo selesaikan ini dan membayarnya.”

Meskipun Mahiru tidak suka disebut kecil dan mungil, dia dengan rendah hati menerima pujian sebagai orang yang lucu. Mendengar ini, Amane tersenyum diam-diam dan melihat sekeliling. Meja kasirnya di mana yaSetelah berhasil menemukannya di sedikit lebih jauh ke dalam, Amane hendak berjalan ke sana ketika ia mendengar pembicaraan yang sepertinya sepasang kekasih di dekatnya sedang mengobrol dengan gembira.

“Hei, bukannya yang ini terlihat manis sekali?”

“Apaaaa, masa? Kupikir itu terlihat biasa saja!”

“Oh ayolah, jangan bilang begitu.”

“Cuma bercanda, duhhh. Kita akan hidup bersama mulai hari ini. Ini adalah kesempatan yang sangat istimewa, jadi kita harus memilih dengan hati-hati.”

Kelihatannya mereka berdua akan mulai hidup bersama, dan pasangan itu dengan gembira memilih peralatan makan sambil meringkuk berdekatan. Mereka berdua tertawa sambil mengangkat dan memeriksa berbagai barang. Percakapan mereka yang penuh kehangatan dan semangat begitu meriah hingga membuat orang yang melihatnya pun merasakan intensitasnya. Mereka terus mengisi keranjang mereka dengan piring, sambil tertawa riang bersama.

Ketika melihat mereka, Amane pun menghentikan langkahnya.

Tunggu sebentar, pikirnya.

Apa jangan-jangan semua orang di sekitar kami juga memandang kami dengan cara yang sama…?

Saat Amane menyadarinya, rasa panas yang begitu kuat menyerbu wajahnya hingga Ia mengira wajahnya akan terbakar. Dirinya bisa merasakan rasa geli yang membakar seolah-olah wajahnya sedang disengat. Pasangan kekasih itu sendiri sepertinya tidak menyadari kehadiran Amane dan Mahiru dan segera pindah ke bagian lain toko.

“Amane-kun?” Mahiru menatapnya dengan tatapan khawatir, menyadari bahwa Ia telah berhenti berjalan. Namun, Amane tidak sanggup menatap matanya.

“…Hei, bolehkah aku mengatakan sesuatu yang baru kusadari?”

Ya?

“…Bukannya kita, uhm, terlihat seperti pasangan yang sedang berbelanja barang untuk hidup bersama?” Dikelilingi oleh panas yang terlalu menyengat untuk ditanggung sendirian, Amane berusaha menghilangkan api yang mengancam akan menghanguskannya dengan membagikannya kepada Mahiru. Hampir seketika, dia melihatnya di sampingnya, sama-sama diliputi oleh semangat yang kuat seolah-olah dia juga berada di ambang termakan oleh api.

Hi–Hi–Hidup bersama…” Suara Mahiru, tergagap pelan, bergetar dengan intensitas sedemikian rupa hingga hampir membentuk melodi. Dia dengan lembut mengangkat tangannya yang bebas ke wajahnya yang memerah. Pipinya, yang serasi dengan warna pipi Amane, dipenuhi dengan semburat warna merah tua.

Tetap saja, Mahiru tidak pernah melepaskan tangan mereka yang saling bergandengan. Perilaku ini hanya semakin mengobarkan api Amane. Tubuhnya gemetar curiga, dan dia menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan dirinya sebelum akhirnya kembali menatapnya. Perpaduan yang jelas antara rasa malu dan kebingungan tercermin dalam mata berwarna karamelnya yang berkilau di ambang tumpah. Di bawah lapisan-lapisan itu, kehangatan mendalam dan sedikit antisipasi manis berkedip-kedip, secara halus mengungkapkan emosi yang lebih dalam.

“…B-Belum,” gumamnya, “Itu masih terlalu…dini.”

Be-Benar juga…ya. Itu masih terlalu dini.”

Itu masih terlalu dini.

Seraya mengucapkan kata-kata itu, Mahiru buru-buru menggandeng tangan Amane menuju kasir, tampak seolah-olah dia akan melarikan diri tanpa pemberitahuan sedikit pun. Amane, sambil berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan rasa panas dalam dirinya, mengucapkan kata ‘belum’ di mulutnya, mengikuti petunjuk Mahiru menuju kasir.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama