Bab 9 — Nama Yang Akan Kupanggil Untukmu Nanti
Mahiru
tidak pernah sekali pun menghentikan cara bicara
formalnya, tidak peduli siapa lawan
bicaranya. Sikapnya itu sepertinya tidak pernah berubah,
baik saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau lebih muda darinya. Baik itu Guru, teman sekelas, dan bahkan
adik kelas mendapat perlakuan sopan yang sama, seperti halnya pegawai toko,
tetangga, dan bahkan anak hilang.
Lantas,
bagaimana dengan orang-orang spesial dalam hidupnya? Bagi mereka juga, cara bicaranya
tetap tidak berubah. Teman terdekatnya, Chitose, dan bahkan pacarnya, Amane,
tidak terkecuali.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Kamu
selalu berbicara formal kepada semua orang, bukan, Mahiru?”
Karena
merasa penasaran, Amane mau tidak mau menanyakan hal ini
setelah makan malam. Mahiru berkedip setelah mendengar pertanyaan Amane, bulu
matanya yang panjang berkibar. Meskipun dia merasa agak bersalah atas
pertanyaan mendadak itu, sekarang sudah terlambat untuk menyesalinya karena kata-kata itu sudah
keluar dari mulutnya.
Mahiru
yang tidak terlihat tersinggung, menjawab sambil tersenyum, “Yah, memang.
Aku sudah terbiasa dengan hal itu sampai-sampai aku tidak memikirkannya lagi,”
sambil menyesap tehnya.
“Apa ada
alasan khusus kenapa kamu selalu menggunakan
bahasa formal?” Amane lalu bertanya, semakin tertarik dengan jawabannya.
Mahiru
dengan lembut meletakkan cangkirnya dengan tenang di atas meja dan melihat ke
bawah, tenggelam dalam pikirannya. “Hmm…rasanya agak
sulit untuk dijelaskan.”
“Apa
maksudmu?”
“Alasan terbesarnya
adalah karena aku hanya ingin
terdengar sopan…tapi ada juga karena aku lebih suka menjaga jarak tertentu
antara diriku dan orang lain.”
Jelas-jelas tampak kesulitan untuk
mengutarakan alasannya, Mahiru mengerutkan alisnya dan memasang ekspresi agak
bermasalah, mungkin merasakan tatapan Amane.
“Kamu tahu sendiri
bagaimana ketika kamu
berinteraksi dengan seseorang sampai batas tertentu, Kamu secara alami menjadi
lebih dekat? Baik secara fisik maupun emosional.”
“Yah
begitulah. Itu memang sering
terjadi.”
“Mengenai hal itu, aku adalah tipe
orang yang ruang pribadinya cukup luas, jadi meskipun aku menjadi dekat dengan
seseorang, jika mereka menyerbu ruang itu, mau tak mau aku membuat jarak di
antara kami… itu hampir seperti refleks.”
“Apa
kamu tidak suka jika aku menyerbu ruang pribadimu
juga?”
“T–Tidak,
tentu saja tidak! Aku takkan duduk di sebelahmu jika aku tidak ingin kamu
memasuki ruang pribadiku!” Sejujurnya, Amane telah mengajukan pertanyaan itu
sambil mengantisipasi semacam penolakan, tapi kekuatan penolakannya masih cukup
kuat. “Umm, bukannya aku mencoba mengasingkan diriku atau apa pun… Sulit untuk
diartikulasikan, tapi mungkin tepat untuk mengatakan bahwa pilihan kata-kataku
mencerminkan keinginanku agar orang lain tidak mengganggu ruang pribadiku lebih
jauh. Sekarang itu sudah menjadi kebiasaanku.”
Amane memahami apa yang ingin disampaikan Mahiru. Pada dasarnya, dia
ramah dan memperlakukan semua orang dengan senyuman. Namun pada intinya, dia
agak tertutup dan lebih suka menghabiskan waktunya dengan tenang dan damai.
Sifat ini sangat menonjol dalam kehidupan pribadinya— dia tidak suka membiarkan
orang terlalu dekat. Bahkan saat dia
bersama Amane, mereka tidak terus-menerus terlibat dalam percakapan karena
mereka cukup puas melakukan urusan mereka sendiri secara diam-diam sepanjang
waktu. Tetap saja, Mahiru
tidak pernah sekalipun menolak kehadirannya. Bahkan, dia menyambutnya dengan
senyuman. Dia menganggap sosok Amane
istimewa, dan ini bukanlah kemewahan yang diberikan kepada orang lain.
Ditambah dengan Mahiru yang cenderung sensitif terhadap
orang-orang yang menyerang tempat amannya sendiri. Seolah-olah ada semacam
mekanisme pertahanan yang sedang bekerja. Penggunaan bahasa formalnya tampak disengaja, berfungsi
sebagai semacam tembok yang didirikan Mahiru.
“Begitulah caraku menahan orang lain,
jadi sejujurnya alasanku tidak terlalu menarik,” desahnya, wajahnya muram. Dia
kemudian memutar-mutar sehelai rambutnya di sekitar jarinya. “Aku bisa jadi
sangat aneh, bukan?”
“Sebagai
pacarmu, menurutku kamu sangat lugas dan mudah dimengerti.”
“…Tidak,
aku ini aneh.”
“Lihatl, kamu menjadi malu sendiri.”
“Tolong
jangan menggodaku.”
Wajahnya
memerah, Mahiru melancarkan serangan langsung (lemah) ke paha Amane saat Ia
duduk di sampingnya. Ia tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi pada
dirinya, tapi Mahiru sendiri tampaknya sepenuhnya yakin bahwa dia memang benar.
“…Aku
tidak percaya pada persahabatan yang autentik dan sejati,” gumamnya sambil
menghela nafas, suaranya lebih lembut namun lebih monoton dari biasanya. “Tentu
saja, aku tidak bermaksud mengklaim bahwa hal semacam
itu tidak ada sama sekali. Tapi menurutku hubungan sosial
masyarakat tetap berjalan karena ada manfaat yang bisa didapat. Terlepas orang tersebut ingin menikmati keuntungan
materi atau emosional, aku tidak akan membahas secara spesifik. Namun jika
tidak ada hasil apa pun, masyarakat tidak akan bertahan lagi.”
Meskipun
apa yang dikatakan Mahiru bisa dianggap sebagai
pandangan yang agak ekstrem, hal itu memang benar adanya. Pada dasarnya, setiap
hubungan memiliki pro dan kontra, dan orang-orang membinanya berdasarkan
pemahaman akan hal tersebut.
Bahkan
persahabatan pun bisa dipertahankan
karena menghabiskan waktu bersama orang tersebut mendatangkan kegembiraan,
kebahagiaan, atau kedamaian—manfaat mental. Di sisi lain, jika kerugian seperti
ketidakpercayaan, ketidaknyamanan, atau risiko mempertahankan persahabatan
lebih besar daripada manfaatnya, maka wajar saja jika hubungan tersebut
berakhir.
Meskipun
beberapa orang mungkin mengkritik gagasan karena
menganggap pertemanan berdasarkan untung dan rugi, pada
akhirnya, semua orang secara tidak sadar membuat penilaian berdasarkan apa
mereka menganggap hubungan itu menyenangkan atau tidak.
“Meskipun
hal ini memalukan untuk diakui, dan mungkin menunjukkan betapa sadar dirinya aku, aku merasa tidak banyak
orang yang mendekatiku dengan itikad baik. Aku menyadari kalau tidak semua orang memang melakukannya, namun banyak orang
yang mendekatiku atas dasar bahwa mereka melihat manfaat jika semakin dekat
denganku.”
Amane
merasakan sedikit rasa sakit di dadanya, merasakan bahwa kata-katanya, yang
ditonjolkan oleh helaan napas
yang dikeluarkan Mahiru, tidak diragukan lagi berasal
dari pengalaman pribadinya. Mudah untuk membayangkan kalau dia sudah terbiasa
menerima niat baik dan buruk, dan Amane mau tidak mau menggigit bibirnya karena
merasa tidak berdaya.
Persahabatannya
di masa lalu memang merupakan hasil dari peran Mahiru sebagai tenshi-sama, tetapi hal ini semakin
membuktikan bahwa tidak semua hubungan itu positif.
“Orang-orang
cenderung percaya bahwa mereka bisa mendapatkan bantuan akademis dari seseorang
yang cantik, atau mereka ingin berteman dengan gadis populer untuk meningkatkan
reputasi mereka. Atau, sebagai jaring pengaman agar tidak dikucilkan oleh orang
lain. Adapun niat buruknya—ya, beberapa pria menginginkanku sebagai aksesori,
atau sebagai semacam 'piala'? Dan ada juga cewek-cewek yang berpura-pura
menjadi teman hanya untuk mendapatkan cowok-cowok yang sudah aku tolak…setidaknya ada berbagai variasi.”
Suaranya
yang penuh kelelahan dan kurang semangat, mengungkapkan dengan jelas kesulitan
yang dia alami. Amane mau tidak mau secara naluriah mengelus kepala Mahiru
dengan cara yang menenangkan.
Suara dan
ekspresi Mahiru sarat dengan semacam ketegangan emosional yang sepertinya
menumpuk hanya karena mengingat pengalaman masa lalunya, yang membuat Amane
merasa sangat bersyukur dan ingin mengatakan padanya 'Kamu sungguh tangguh sekali
karena telah menanggung begitu banyak hal.'
Alisnya
berkerut karena khawatir, jadi Mahiru buru-buru mengklarifikasi, “Tentu saja,
ada juga orang yang benar-benar menyukaiku dan mendekatiku bahkan sebagai
‘Malaikat’,” suaranya menjadi sedikit lebih cerah. Namun jika ekspresinya
beberapa saat yang lalu merupakan indikasi, jelas bahwa dia telah berjuang
keras untuk menerima pengalamannya.
“Bagaimanapun juga, itulah sebabnya aku menjaga batas antara diriku dan orang lain
dengan selalu menggunakan bahasa dan perilaku yang sopan. Jika aku
memperlakukan semua orang dengan cara yang sama, orang-orang yang mencoba
memaksa masuk ke dalam hidupku secara alami akan dikucilkan oleh orang
lain…walaupun itu bukan cara yang bagus dalam menangani berbagai hal.”
Dengan
memanfaatkan kedudukannya di sekolah, Mahiru berhasil mencegah orang mengeksploitasi dirinya. Itu adalah keterampilan sosial yang diperoleh Mahiru melalui kesulitan yang
dia hadapi dalam hubungan antarmanusia—kemungkinan merupakan semacam mekanisme
pertahanan diri.
“…Kamu
benar-benar telah melalui banyak hal,” komentar Amane.
“Tetap
saja, aku tidak dapat menyangkal bahwa persepsiku sendiri mungkin telah
memengaruhi beberapa pengalaman tersebut. Aku takkan membantah jika kamu mengatakan aku terlalu
pemalu.”
“Tidak.
Melihat betapa populernya dirimu, menyebutnya ‘kesadaran diri’ sebenarnya
tidak salah juga…”
Segalanya
menjadi tenang sekarang karena hubungan berpacarannya
sudah diketahui secara luas, tapi popularitas Mahiru
sebelum mereka mulai berpacaran
sungguh luar biasa. Selalu ada orang berkumpul di sekelilingnya, baik laki-laki
maupun perempuan, dan menurutnya, dia sering mendapat
pengakuan. Meskipun tidak banyak orang yang mengikutinya ke
mana pun dia pergi, hampir selalu ada beberapa orang di sisinya, dan kejadian
di mana Mahiru sendirian sangat jarang terjadi.
Namun,
memang benar kalau, seperti
yang dikatakan Mahiru sendiri, dia jarang terlihat bersama teman dekat mana
pun. Hal ini dapat dimengerti terutama setelah melihat bagaimana Chitose dengan
agresif berusaha keras—hubungan yang dia miliki dengan siswa lain sepertinya
hanya dangkal.
“Aku
tidak terlalu mengkhawatirkan hal itu lagi.” ucap
Mahiru dengan nada meyakinkan.
“Bagaimanapun juga, aku
sekarang dikelilingi oleh banyak orang yang baik dan menakjubkan.”
Amane
tidak melihat kepalsuan dalam senyumannya.
Teman
sekelas mereka saat ini sebagian besar adalah individu yang rasional dan
berwatak halus. Mereka yang membuat keributan selama festival olahraga
sepertinya sudah menyerah, karena mereka tidak mendekati Amane atau Mahiru
dengan motif tersembunyi apa pun sejak saat itu. Sedangkan untuk para gadis,
mereka semua, entah kenapa, mengadopsi sikap
yang diam-diam waspada dan ramah.
Amane dan
Mahiru sangat bersyukur mereka bisa menjalin hubungan
pacaran dengan damai, sebagian besar berkat sifat
pengertian di kelas mereka.
“Sebenarnya,
awal alasanku mulai menggunakan bahasa
formal bukan karena alasan itu,” imbuh
Mahiru.
“Awal?”
“Umm…aku
curiga kamu akan lebih khawatir jika aku memberitahumu.” Mahiru menjawab dengan
suara penuh keengganan, seolah dialah yang lebih khawatir. Amane berusaha
memahami alasan keragu-raguannya dan mengedipkan matanya berulang kali. Lalu
akhirnya, seakan mengambil keputusan, Mahiru melanjutkan. “…Bukannya menggunakan bahasa formal membuatku
terdengar lebih seperti siswa teladan?”
“Ah,” bibir Amane keceplosan mengatakan itu.
Dan pada
saat yang sama, penyesalan menghantam bagian belakang kepalanya seperti sebuah
pukulan, seolah-olah mengatakan kepadanya bahwa lebih baik dia tidak bertanya.
“Ketika
anak-anak seusia kita mempelajari segala macam kata dan menggunakannya tanpa
memikirkan maknanya atau bagaimana penerimanya akan menafsirkannya, berbicara
dengan sopan, baik hati, dan lembut akan… setidaknya,
membuat seseorang tampak menjadi anak
yang sangat 'baik’ di mata orang dewasa, bukan?” Tanpa memedulikan suara Amane dan
penyesalan yang muncul di wajahnya, Mahiru melanjutkan.
Ekspresinya
sangat lembut dan tenang, seolah-olah dia sedang menunjukkan bagaimana
seharusnya ‘gadis baik’ berperilaku
saat itu juga. Senyuman itu hanya menambah penyesalan Amane.
“Betapa
bodohnya aku, berusaha begitu keras tanpa menunjukkan apa pun.”
Kata-kata
yang Mahiru pernah ucapkan terus berputar-putar tanpa henti di benaknya,
menolak untuk menyingkir dari pikirannya.
“Saat
itu, aku berusaha keras untuk terlihat sebagai 'gadis baik', agar mereka
memandang ke arahku. Jika dipikir-pikir lagi,
aku pikir aku cukup menyimpang.”
Mahiru,
setelah dengan acuh tak acuh menyatakan sekali lagi bahwa dirinya menyimpang, menatap Amane dengan campuran
kekhawatiran dan sedikit panik ketika Ia tetap diam. “Tentu saja, aku tidak
lagi merasakan hal yang sama sekarang. Ini sudah
seperti kebiasaan lamaku, jadi aku tidak terlalu memikirkannya lagi.”
Mungkin
khawatir pada suasana hati Amane,
Mahiru melontarkan kebohongan yang lembut. Sebagai tanggapan, Amane tidak tahan
lagi dan hanya memeluknya dari depan dalam pelukan yang erat. Meski tubuhnya menegang sesaat,
Mahiru dengan cepat rileks dan
bersandar padanya. Itu saja sudah cukup bagi Amane untuk merasa kalau Mahiru
benar-benar memercayainya.
“…Kamu
tidak harus menjadi 'gadis baik', Mahiru. Aku akan terus menyukaimu
tidak peduli bagaimana kamu berbicara.”
“Y-Ya,
aku tahu.”
“Kalau
begitu, ingat itu baik-baik.”
“…Oke.”
Amane
menyukai segala hal tentang Mahiru.
Amane
menghargai setiap aspek dari dirinya—entah itu cara dia memerankan peran
sebagai 'gadis baik' seperti yang baru saja dia sebutkan, bagaimana dia
bisa bersikap keras dan agak acuh
terhadap orang lain, bagaimana dia bisa kesepian meski takut untuk menerima
orang lain secara mendalam, atau cara dia mengaku menyimpang namun tetap
bersikap baik hati dan merasa bersalah karena memakai kedok luar. Setiap aspek dari Mahiru sangat
disayanginya.
Amane
tidak hanya jatuh cinta pada sifat-sifat baik yang dimiliki Mahiru. Termasuk
kegelapan yang dibawanya, Amane menganggap Mahiru sangat menawan.
Saat Ia
menyampaikan hal ini, sambil memeluk Mahiru dengan lembut dan membelai
punggungnya, Mahiru tampak sedikit malu dan menggeliat dalam pelukan Amane. Dia
tidak bergerak untuk melarikan diri dan tetap di sana dalam pelukannya, merasa nyaman seperti biasanya. Ini
adalah bukti fakta bahwa dia menerima Amane sama seperti Amane menerimanya.
“I-Itu
mungkin membuatmu khawatir, tapi um…sejujurnya, bukan itu saja.”
“Bukan itu saja?”
“Ya.
Maksudku, Koyuki-san adalah orang yang benar-benar membesarkanku, bukan?”
“Ya…memang.”
“Ah, aku
tidak menyebutkan itu untuk membuatmu merasa kasihan padaku, oke!?”
Mengingat
kembali masa kecil Mahiru, Amane mengangguk, merasa agak sedih meskipun itu
bukan tentang dirinya. Hal ini membuat Mahiru bersikap sedikit bingung.
“Eh, apa yang ingin aku bilang ialah, anak kecil selalu belajar
banyak dari orang-orang yang selalu ada di sekitarmu. Ambil contoh Koyuki-san.
Dia selalu menggunakan bahasa yang sopan. Tentu saja, sebagian alasannya karena
dia bekerja…tapi dia memperlakukan semua orang seperti itu. Aku pikir sikapnya
sangat anggun dan luar biasa. Aku ingin menjadi seperti dirinya, jadi aku rasa bisa dibilang aku
menirunya dalam hal itu.”
“Begitu ya…” Amane berhenti sebentar. “Jika
kamu mengatakan itu, maka itu bukan hanya cara dia berbicara. Sikapnya juga
pasti elegan. Kalau tidak, kamu tidak akan cukup mengaguminya sampai-sampai mau
menirunya, bukan?”
“Benar.”
Mengetahui
bahwa perilaku Mahiru bukan semata-mata demi menjadi ‘gadis baik’ sudah
cukup untuk membuat Amane merasa lega.
Semakin
banyak Ia mendengarnya, Amane semakin menyadari
betapa pentingnya keberadaan Koyuki bagi Mahiru. Mudah untuk membayangkan bahwa
tanpa dirinya, Mahiru yang dikenalnya tidak akan ada, jadi wajar saja
jika ia mempercayai bahwa sosoknya sangat berharga bagi Mahiru.
Melihat betapa Mahiru sangat mengaguminya, Koyuki pastilah orang yang sangat
baik dan mulia.
Amane
belum pernah melihatnya, tapi suatu hari nanti, Ia ingin bertemu Koyuki, wanita
yang membimbing Mahiru. Meskipun itu bukan haknya
untuk mengatakannya, Amane sendiri
ingin pergi dan berterima kasih padanya.
Amane
merasa Koyuki akan senang jika Ia bisa menunjukkan Mahiru yang ia kenal hari
ini, meskipun Ia belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Melihat kepercayaan
Mahiru yang sangat besar padanya membuatnya bahagia karena ada orang seperti
Mahiru dalam hidup Mahiru, menyebabkan senyuman lembut terlihat di wajahnya.
Dia
pastilah orang yang sungguh luar biasa, pikir Amane. Saat Ia
dengan lembut membelai Mahiru, yang tetap dimanjakan dengan nyaman dalam
pelukannya, tiba-tiba satu pemikiran muncul di benaknya.
Koyuki
adalah alasan awal Mahiru mulai berbicara secara formal, tapi ada banyak alasan
mengapa dia terus menggunakannya. Dia ingin membuktikan kepada orangtuanya
bahwa dia bisa menjadi anak yang baik, dan dia ingin membangun penghalang tak
kasat mata antara dirinya dan orang lain demi mempertahankan diri.
…Tapi
jika itu masalahnya, pikir Amane, bukannya itu tidak masalah kalau
dia mulai berbicara dengan santai
sekarang?
“Hanya sekedar penasaran, tapi
bukannya itu berarti kamu tidak lagi
mengandalkan berbicara secara formal?” Amane lalu bertanya.
“Kurasa begitu.”
“Jadi…jika
kamu berbicara dengan santai, apa yang akan terjadi?”
Mahiru
pada dasarnya tidak pernah berbicara dengan cara bicara
santai. Meskipun dia kadang-kadang menggunakan kata-kata seperti 'baka' atau
menunjukkan sedikit rasa jengkel dengan 'ya ampun', bahasa yang dia
gunakan selalu penuh hormat dan sopan.
Bahkan
ketika berbicara dengan orang lain, Mahiru terutama menambahkan ‘san’
pada nama mereka, dan meskipun dia menambahkan ‘kun’ untuk Amane, tidak
pernah ada pengurangan sama sekali.
Hanya dengan mendengarkan kata-katanya, orang mungkin berasumsi bahwa dia
sedang berbicara dengan orang asing. Meskipun nada suaranya menyampaikan
sesuatu yang lebih intim, formalitasnya tetap ada.
“B-Berbicara dengan santai?”
“Ya.
Maksudku, uh…kamu bahkan berbicara padaku—pacarmu—secara formal juga. Aku
menyadari bahwa aku tidak pernah benar-benar mendengarkanmu berbicara tidak formal.”
“B-Bahkan
jika kamu menanyakan itu padaku…”
Saat
Amane terus menatap Mahiru, Mahiru tampak menyusut dengan tidak nyaman dalam
pelukan Amane.
“Maaf, maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu
tidak nyaman. Aku hanya sedikit penasaran, tidak lebih. Kamu selalu sangat
formal, oleh karena itu aku jadi penasaran.”
“D-Duhhh… baka.”
Mahiru
dengan ringan menyundul dada Amane beberapa kali, sebagian untuk menyembunyikan
rasa malunya dan sebagian lagi untuk membalasnya. Setelah meluangkan waktu
sejenak untuk ‘menghukum’ kekasihnya,
Mahiru kembali menatapnya, matanya
bimbang karena keraguan. Amane yang merasa bahwa dirinya tidak seharusnya mendorong
Mahiru terlalu keras, dengan lembut menepuk punggungnya, dan Mahiru perlahan
mulai berbicara.
“Hei,
aku…sangat-sangat
mencintaimu, Amane-kun.”
Mahiru lalu
berbisik pelan, hanya mengucapkan satu
kalimat.
Sebuah
pernyataan yang sangat singkat sehingga tidak dapat bertahan lebih dari lima
detik.
Namun,
untuk beberapa saat, pikiran Amane menjadi kosong, membutuhkan banyak waktu
untuk mencerna kata-kata Mahiru.
Dalam posisi yang
masih memeluk Mahiru, Amane
membeku di tempatnya. Kata-kata Mahiru berulang kali diputar di benaknya saat mencoba
memahami sepenuhnya maknanya. Ketika Amane
akhirnya berhasil memproses apa yang dia katakan, ia menunduk ke arah Mahiru, yang bergerak dengan canggung
seperti mesin yang kehabisan minyak di pelukannya.
Sementara
itu di sisi lain, Mahiru tampak kepanasan juga—wajahnya
memerah, dan dia berhenti bergerak.
Hanya tatapan mata Mahiru yang basah dan
berkilauan, memantulkan cahaya saat mata itu bergetar. Pandangan mata itu, yang terkunci pada mata
Amane, langsung dipenuhi rasa malu seolah ingin bersembunyi di balik tirai
kelopak matanya.
Amane
memperhatikan bulu matanya yang panjang bergetar saat mulai turun seperti tirai
sebelum mengecup bibir
berwarna cerinya yang
sepertinya akan menutup dengan cara yang sama dengan bibirnya.
Meski
Mahiru mulai bergerak lagi, dia tidak melakukan perlawanan. Mahiru sepertinya
mempercayakan dirinya sepenuhnya kepada Amane, bersandar padanya. Itu hanya
sentuhan singkat di bibir, namun ketika bibir mereka
berpisah, Mahiru menatapnya dengan pipi yang lebih memerah dari sebelumnya dan
matanya kembali basah.
Pemandangan
dirinya sekali lagi, begitu menawan.
“Sekali lagi,”
kata Amane.
“…Aku
tidak bisa melakukannya.”
“Tidak,
bukan ciumannya. Apa yang kamu katakan sebelumnya.”
“Aku
tidak akan mengatakannya lagi!”
“Aduh.”
“Baka.”
Menyadari
kosakata hinaannya yang terbatas, Amane
dengan lembut melepaskan Mahiru, yang telah melontarkan kata-kata yang sangat
menggemaskan padanya sehingga menyebutnya sebagai olok-olok lucu tidak akan
memberikan efek jera.
Kemudian, dengan wajah yang masih
memerah, Mahiru menjauh
darinya seolah mencoba mendinginkan kehangatannya. Seluruh situasinya terasa
lucu, dan Amane tidak bisa menahan tawa.
“Aku juga
mencintaimu, Mahiru. Secara mendalam, dengan sepenuh hatiku.”
“…Aku
lebih suka kamu tidak mulai meningkatkan formalitasmu, Amane-kun.”
“Okeeee.”
Melihat
tatapan Mahiru yang sedikit berbeda diarahkan
padanya, Amane segera
meminta maaf. Tanpa berkata apa-apa lagi, Mahiru melanjutkan meminum tehnya
yang sudah agak dingin, seolah
melanjutkan proses penenangan dirinya.
Merasa
tidak adil untuk menggoda Mahiru lebih jauh, Amane hanya memperhatikannya
sambil menyesap kopinya sendiri yang sedari tadi
diabaikan saja. Meskipun kopinya sudah dingin dan
seharusnya berwarna hitam, anehnya kopinya jadi
terasa manis baginya.
“…Ngomong-ngomong,
kita belum mengubah cara kita memanggil
satu sama lain bahkan setelah kita mulai berpacaran,
‘kan?”
Setelah
menyimpulkan pemikirannya dan merenungkan hubungan mereka,
Amane merasa lucu karena mereka masih menggunakan panggilan kehormatan yang sama seperti
sebelumnya. Mahiru, yang sepertinya sudah kembali tenang, mengeluarkan suara
“Uuugh~” yang pelan dan menggemaskan, jelas-jelas
prihatin dengan masalah tersebut.
“T-Tapi,
Amane-kun adalah Amane-kun…” jawab Mahiru.
“Yah,
sulit membayangkan kamu memanggilku dengan namaku tanpa imbuhan apapun. Kamu selalu menggunakan '-kun'
atau '-san' dengan orang lain.”
“Aku
merasa sulit untuk memanggilmu tanpa imbuhan
kehormatan secara tiba-tiba.”
“Yah,
tentu saja, tapi…eh, aku hanya penasaran,
apa nantinya akan selalu menjadi ‘Amane-kun’?”
Bukan
karena Amane tidak suka dipanggil ‘Amane-kun,’ dan dirinya paham kalau itu adalah cara
khusus Mahiru untuk memanggilnya. Namun, mau tak mau dia bertanya-tanya apa
keadaannya akan tetap seperti itu tanpa
batas waktu.
Meski Ia
belum memberi tahu Mahiru secara eksplisit, Amane sudah siap untuk menghabiskan
sisa hidupnya bersamanya. Dirinya
tidak berniat melepaskannya selama Mahiru
menerimanya dan tidak ingin berpisah kecuali dia tidak
menyukai gagasan itu.
Apa dia akan terus memanggilku
‘Amane-kun’ di masa depan juga? Amane mau tidak mau merasa penasaran saat perasaan aneh
memenuhi dirinya.
Mahiru
menatapnya dengan saksama. “… Amane?” Dia memiringkan kepalanya sedikit
saat memanggil namanya, menyebabkan Amane menggigit bagian dalam pipinya.
“…Entah kenapa, memanggil namamu tanpa imbuhan rasanya kurang tepat,”
lanjutnya. “Atau lebih tepatnya, rasanya sangat berbeda dari biasanya.”
“Be-Begitu ya.”
“Selain itu…rasanya
memalukan juga.”
Akulah
yang seharusnya merasa malu, dipanggil seperti itu secara tiba-tiba,
pikir Amane dalam hati. Tetap saja, ia berhasil menahan perkataannya dan
menetralkan rasa manis di mulutnya dengan meneguk kopinya. Setelah mengamati
tingkah laku Amane sejenak, Mahiru dengan hati-hati menggenggam ujung
kemejanya.
Apa yang
dia lakukan? Amane
memandangnya dan bertanya-tanya, dihadapkan pada sikap menawannya. Mahiru kemudian mengintip wajahnya dan
menatapnya, pipinya terlihat merah merona.
“Amane-san.”
Perkataan lembut
yang diucapkannya hampir membuat Amane menjatuhkan cangkir kopi yang
dipegangnya.
Mahiru,
sebagaimana dirinya saat ini dihadapan Amane, pada dasarnya merupakan perwujudan manusian dari kata imut.
Namun di saat yang sama, dia juga
menunjukkan kecantikan yang dewasa. Wajahnya, yang sedikit memerah namun
mengubahnya menjadi bentuk daya tarik, membawa kualitas yang menggoda. Dia
membisikkan suara yang begitu merdu sehingga seolah-olah meresap dari tepi
pikiran seseorang, tenggelam dan melebur ke dalamnya—mustahil untuk tidak
terguncang.
Meskipun Mahiru tampak malu, dia bergumam, “Yang begini terasa lebih alami, bukan
begitu? Hehe,” memperjelas bahwa dia tidak mengatakan itu dengan maksud untuk
memikat. Namun fakta bahwa hal itu tidak disengaja membuatnya menjadi lebih
kuat, dan itu sangat jelas terlihat.
“…Ini
juga buruk untuk hatiku,” suara Amane.
“Ke-Kenapa
begitu?” Mahiru tergagap.
“K-Kamu tahu, ya…eh, hanya saja…”
“Ya?”
“…Rasanya seolah-olah, um, kamu seperti istriku, kurasa.”
Meski rasanya mmalukan untuk mengatakannya,
tapi Amane tidak punya pilihan lain selain membeberkannya. Dilihat dari ekspresi Mahiru yang tertegun, sepertinya dia tidak mengira Amane akan
mengatakan apa yang dia lakukan
dan mulai meneliti makna di balik kata-katanya. Sesaat
berikutnya, wajahnya berubah menjadi merah padam, dan dia mulai memberikan
beberapa tamparan ringan pada lengan atas Amane.
“…Tolong
jangan memikirkan hal aneh apa pun di kepalamu,” desak Mahiru.
“Ya,
maaf.”
Amane menyadari kalau dirinya memang
mengatakan sesuatu yang cukup berani dan segera meminta maaf. Mahiru menjawab
dengan lebih lembut, “Astaga,
ya ampun.” dan beberapa tamparan ringan lagi, tapi kemudian sikapnya berubah
seolah sedang memikirkan sesuatu. Untuk sesaat, Amane bertanya-tanya apa Mahiru
tidak senang, tapi kemudian Ia melihat senyum nakal dan menggoda di wajahnya. Amane kemudian tersadar kalau dirinya
secara tidak sengaja telah memberinya amunisi yang sempurna untuk hiburan, dia
menghela nafas dalam hati.
“……Begitu,
jadi imbuhan '-san' membuat
jantungmu berdebar lebih cepat daripada dipanggil
'Amane-kun', ya?”
“Aku akan
terbiasa jika kamu terus mengulanginya, lho.”
“Hmph.”
Amane
mengantisipasi kalau Mahiru akan memberikan kejutan lain dan memutuskan untuk
memberinya peringatan terlebih dahulu. Tidak mengherankan, Mahiru, yang
sepertinya sedang merencanakan sesuatu, tidak berusaha menyembunyikan
ketidakpuasannya dan terlihat sedikit
cemberut.
“…Memberimu
kejutan pasti akan sangat menyenangkan sekali lagi,” dia kemudian menambahkan.
“Eh,
Mahiru-san?”
“Bukan
apa-apa.”
Mengingat
betapa tidak terpengaruhnya Mahiru, Amane berpikir untuk mencubit pipi Mahiru
untuk membalasnya. Tapi setelah melihat tatapan Amane, Mahiru menunduk. Kelopak
matanya yang tertutup sedikit bergetar.
“Itulah sebabnya… untuk saat ini, aku baik-baik saja dengan
memanggilmu Amane-kun.”
Sepertinya Mahiru berhasil memahami apa yang ada di luar pikiran Amane. Memahami bobot dari kata ‘untuk saat ini’, dia tampaknya bersedia membiarkan segala sesuatunya tetap seperti apa adanya untuk saat ini. Amane dengan lembut meletakkan tangannya di pipi Mahiru, menjawab lembut dengan “Ya”, dan tersenyum hangat pada Mahiru, yang telinganya telah berubah warna menjadi merah padam.