Otonari no Tenshi-sama Jilid 8.5 Bab 9 Bahasa Indonesia

Bab 9 — Nama Yang Akan Kupanggil Untukmu Nanti

 

Mahiru tidak pernah sekali pun menghentikan cara bicara formalnya, tidak peduli siapa lawan bicaranya. Sikapnya itu sepertinya tidak pernah berubah, baik saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau lebih muda darinya. Baik itu Guru, teman sekelas, dan bahkan adik kelas mendapat perlakuan sopan yang sama, seperti halnya pegawai toko, tetangga, dan bahkan anak hilang.

Lantas, bagaimana dengan orang-orang spesial dalam hidupnya? Bagi mereka juga, cara bicaranya tetap tidak berubah. Teman terdekatnya, Chitose, dan bahkan pacarnya, Amane, tidak terkecuali.

 

 

“Kamu selalu berbicara formal kepada semua orang, bukan, Mahiru?”

Karena merasa penasaran, Amane mau tidak mau menanyakan hal ini setelah makan malam. Mahiru berkedip setelah mendengar pertanyaan Amane, bulu matanya yang panjang berkibar. Meskipun dia merasa agak bersalah atas pertanyaan mendadak itu, sekarang sudah terlambat untuk menyesalinya karena kata-kata itu sudah keluar dari mulutnya.

Mahiru yang tidak terlihat tersinggung, menjawab sambil tersenyum, “Yah, memang. Aku sudah terbiasa dengan hal itu sampai-sampai aku tidak memikirkannya lagi,” sambil menyesap tehnya.

“Apa ada alasan khusus kenapa kamu selalu menggunakan bahasa formal?” Amane lalu bertanya, semakin tertarik dengan jawabannya.

Mahiru dengan lembut meletakkan cangkirnya dengan tenang di atas meja dan melihat ke bawah, tenggelam dalam pikirannya. “Hmm…rasanya agak sulit untuk dijelaskan.”

Apa maksudmu?

“Alasan terbesarnya adalah karena aku hanya ingin terdengar sopan…tapi ada juga karena aku lebih suka menjaga jarak tertentu antara diriku dan orang lain.”

Jelas-jelas tampak kesulitan untuk mengutarakan alasannya, Mahiru mengerutkan alisnya dan memasang ekspresi agak bermasalah, mungkin merasakan tatapan Amane.

Kamu tahu sendiri bagaimana ketika kamu berinteraksi dengan seseorang sampai batas tertentu, Kamu secara alami menjadi lebih dekat? Baik secara fisik maupun emosional.”

Yah begitulah. Itu memang sering terjadi.”

Mengenai hal itu, aku adalah tipe orang yang ruang pribadinya cukup luas, jadi meskipun aku menjadi dekat dengan seseorang, jika mereka menyerbu ruang itu, mau tak mau aku membuat jarak di antara kami… itu hampir seperti refleks.

Apa kamu tidak suka jika aku menyerbu ruang pribadimu juga?”

“T–Tidak, tentu saja tidak! Aku takkan duduk di sebelahmu jika aku tidak ingin kamu memasuki ruang pribadiku!” Sejujurnya, Amane telah mengajukan pertanyaan itu sambil mengantisipasi semacam penolakan, tapi kekuatan penolakannya masih cukup kuat. “Umm, bukannya aku mencoba mengasingkan diriku atau apa pun… Sulit untuk diartikulasikan, tapi mungkin tepat untuk mengatakan bahwa pilihan kata-kataku mencerminkan keinginanku agar orang lain tidak mengganggu ruang pribadiku lebih jauh. Sekarang itu sudah menjadi kebiasaanku.”

Amane memahami apa yang ingin disampaikan Mahiru. Pada dasarnya, dia ramah dan memperlakukan semua orang dengan senyuman. Namun pada intinya, dia agak tertutup dan lebih suka menghabiskan waktunya dengan tenang dan damai. Sifat ini sangat menonjol dalam kehidupan pribadinya— dia tidak suka membiarkan orang terlalu dekat. Bahkan saat dia bersama Amane, mereka tidak terus-menerus terlibat dalam percakapan karena mereka cukup puas melakukan urusan mereka sendiri secara diam-diam sepanjang waktu. Tetap saja, Mahiru tidak pernah sekalipun menolak kehadirannya. Bahkan, dia menyambutnya dengan senyuman. Dia menganggap sosok Amane istimewa, dan ini bukanlah kemewahan yang diberikan kepada orang lain.

Ditambah dengan Mahiru yang cenderung sensitif terhadap orang-orang yang menyerang tempat amannya sendiri. Seolah-olah ada semacam mekanisme pertahanan yang sedang bekerja. Penggunaan bahasa formalnya tampak disengaja, berfungsi sebagai semacam tembok yang didirikan Mahiru.

Begitulah caraku menahan orang lain, jadi sejujurnya alasanku tidak terlalu menarik,” desahnya, wajahnya muram. Dia kemudian memutar-mutar sehelai rambutnya di sekitar jarinya. “Aku bisa jadi sangat aneh, bukan?”

“Sebagai pacarmu, menurutku kamu sangat lugas dan mudah dimengerti.”

“…Tidak, aku ini aneh.”

“Lihatl, kamu menjadi malu sendiri.”

“Tolong jangan menggodaku.”

Wajahnya memerah, Mahiru melancarkan serangan langsung (lemah) ke paha Amane saat Ia duduk di sampingnya. Ia tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi pada dirinya, tapi Mahiru sendiri tampaknya sepenuhnya yakin bahwa dia memang benar.

“…Aku tidak percaya pada persahabatan yang autentik dan sejati,” gumamnya sambil menghela nafas, suaranya lebih lembut namun lebih monoton dari biasanya. “Tentu saja, aku tidak bermaksud mengklaim bahwa hal semacam itu tidak ada sama sekali. Tapi menurutku hubungan sosial masyarakat tetap berjalan karena ada manfaat yang bisa didapat. Terlepas orang tersebut ingin menikmati keuntungan materi atau emosional, aku tidak akan membahas secara spesifik. Namun jika tidak ada hasil apa pun, masyarakat tidak akan bertahan lagi.”

Meskipun apa yang dikatakan Mahiru bisa dianggap sebagai pandangan yang agak ekstrem, hal itu memang benar adanya. Pada dasarnya, setiap hubungan memiliki pro dan kontra, dan orang-orang membinanya berdasarkan pemahaman akan hal tersebut.

Bahkan persahabatan pun bisa dipertahankan karena menghabiskan waktu bersama orang tersebut mendatangkan kegembiraan, kebahagiaan, atau kedamaian—manfaat mental. Di sisi lain, jika kerugian seperti ketidakpercayaan, ketidaknyamanan, atau risiko mempertahankan persahabatan lebih besar daripada manfaatnya, maka wajar saja jika hubungan tersebut berakhir.

Meskipun beberapa orang mungkin mengkritik gagasan karena menganggap pertemanan berdasarkan untung dan rugi, pada akhirnya, semua orang secara tidak sadar membuat penilaian berdasarkan apa mereka menganggap hubungan itu menyenangkan atau tidak.

“Meskipun hal ini memalukan untuk diakui, dan mungkin menunjukkan betapa sadar dirinya aku, aku merasa tidak banyak orang yang mendekatiku dengan itikad baik. Aku menyadari kalau tidak semua orang memang melakukannya, namun banyak orang yang mendekatiku atas dasar bahwa mereka melihat manfaat jika semakin dekat denganku.”

Amane merasakan sedikit rasa sakit di dadanya, merasakan bahwa kata-katanya, yang ditonjolkan oleh helaan napas yang dikeluarkan Mahiru, tidak diragukan lagi berasal dari pengalaman pribadinya. Mudah untuk membayangkan kalau dia sudah terbiasa menerima niat baik dan buruk, dan Amane mau tidak mau menggigit bibirnya karena merasa tidak berdaya.

Persahabatannya di masa lalu memang merupakan hasil dari peran Mahiru sebagai tenshi-sama, tetapi hal ini semakin membuktikan bahwa tidak semua hubungan itu positif.

“Orang-orang cenderung percaya bahwa mereka bisa mendapatkan bantuan akademis dari seseorang yang cantik, atau mereka ingin berteman dengan gadis populer untuk meningkatkan reputasi mereka. Atau, sebagai jaring pengaman agar tidak dikucilkan oleh orang lain. Adapun niat buruknya—ya, beberapa pria menginginkanku sebagai aksesori, atau sebagai semacam 'piala'? Dan ada juga cewek-cewek yang berpura-pura menjadi teman hanya untuk mendapatkan cowok-cowok yang sudah aku tolak…setidaknya ada berbagai variasi.”

Suaranya yang penuh kelelahan dan kurang semangat, mengungkapkan dengan jelas kesulitan yang dia alami. Amane mau tidak mau secara naluriah mengelus kepala Mahiru dengan cara yang menenangkan.

Suara dan ekspresi Mahiru sarat dengan semacam ketegangan emosional yang sepertinya menumpuk hanya karena mengingat pengalaman masa lalunya, yang membuat Amane merasa sangat bersyukur dan ingin mengatakan padanya 'Kamu sungguh tangguh sekali karena telah menanggung begitu banyak hal.'

Alisnya berkerut karena khawatir, jadi Mahiru buru-buru mengklarifikasi, “Tentu saja, ada juga orang yang benar-benar menyukaiku dan mendekatiku bahkan sebagai ‘Malaikat’,” suaranya menjadi sedikit lebih cerah. Namun jika ekspresinya beberapa saat yang lalu merupakan indikasi, jelas bahwa dia telah berjuang keras untuk menerima pengalamannya.

“Bagaimanapun juga, itulah sebabnya aku menjaga batas antara diriku dan orang lain dengan selalu menggunakan bahasa dan perilaku yang sopan. Jika aku memperlakukan semua orang dengan cara yang sama, orang-orang yang mencoba memaksa masuk ke dalam hidupku secara alami akan dikucilkan oleh orang lain…walaupun itu bukan cara yang bagus dalam menangani berbagai hal.”

Dengan memanfaatkan kedudukannya di sekolah, Mahiru berhasil mencegah orang mengeksploitasi dirinya. Itu adalah keterampilan sosial yang diperoleh Mahiru melalui kesulitan yang dia hadapi dalam hubungan antarmanusia—kemungkinan merupakan semacam mekanisme pertahanan diri.

“…Kamu benar-benar telah melalui banyak hal,” komentar Amane.

“Tetap saja, aku tidak dapat menyangkal bahwa persepsiku sendiri mungkin telah memengaruhi beberapa pengalaman tersebut. Aku takkan membantah jika kamu mengatakan aku terlalu pemalu.”

“Tidak. Melihat betapa populernya dirimu, menyebutnya ‘kesadaran diri’ sebenarnya tidak salah juga…”

Segalanya menjadi tenang sekarang karena hubungan berpacarannya sudah diketahui secara luas, tapi popularitas Mahiru sebelum mereka mulai berpacaran sungguh luar biasa. Selalu ada orang berkumpul di sekelilingnya, baik laki-laki maupun perempuan, dan menurutnya, dia sering mendapat pengakuan. Meskipun tidak banyak orang yang mengikutinya ke mana pun dia pergi, hampir selalu ada beberapa orang di sisinya, dan kejadian di mana Mahiru sendirian sangat jarang terjadi.

Namun, memang benar kalau, seperti yang dikatakan Mahiru sendiri, dia jarang terlihat bersama teman dekat mana pun. Hal ini dapat dimengerti terutama setelah melihat bagaimana Chitose dengan agresif berusaha keras—hubungan yang dia miliki dengan siswa lain sepertinya hanya dangkal.

“Aku tidak terlalu mengkhawatirkan hal itu lagi.” ucap Mahiru dengan nada meyakinkan. “Bagaimanapun juga, aku sekarang dikelilingi oleh banyak orang yang baik dan menakjubkan.”

Amane tidak melihat kepalsuan dalam senyumannya.

Teman sekelas mereka saat ini sebagian besar adalah individu yang rasional dan berwatak halus. Mereka yang membuat keributan selama festival olahraga sepertinya sudah menyerah, karena mereka tidak mendekati Amane atau Mahiru dengan motif tersembunyi apa pun sejak saat itu. Sedangkan untuk para gadis, mereka semua, entah kenapa, mengadopsi sikap yang diam-diam waspada dan ramah.

Amane dan Mahiru sangat bersyukur mereka bisa menjalin hubungan pacaran dengan damai, sebagian besar berkat sifat pengertian di kelas mereka.

Sebenarnya, awal alasanku mulai menggunakan bahasa formal bukan karena alasan itu,” imbuh Mahiru.

“Awal?

“Umm…aku curiga kamu akan lebih khawatir jika aku memberitahumu.” Mahiru menjawab dengan suara penuh keengganan, seolah dialah yang lebih khawatir. Amane berusaha memahami alasan keragu-raguannya dan mengedipkan matanya berulang kali. Lalu akhirnya, seakan mengambil keputusan, Mahiru melanjutkan. “…Bukannya menggunakan bahasa formal membuatku terdengar lebih seperti siswa teladan?”

“Ah,” bibir Amane keceplosan mengatakan itu.

Dan pada saat yang sama, penyesalan menghantam bagian belakang kepalanya seperti sebuah pukulan, seolah-olah mengatakan kepadanya bahwa lebih baik dia tidak bertanya.

“Ketika anak-anak seusia kita mempelajari segala macam kata dan menggunakannya tanpa memikirkan maknanya atau bagaimana penerimanya akan menafsirkannya, berbicara dengan sopan, baik hati, dan lembut akan… setidaknya, membuat seseorang tampak menjadi anak yang sangat 'baik di mata orang dewasa, bukan?” Tanpa memedulikan suara Amane dan penyesalan yang muncul di wajahnya, Mahiru melanjutkan.

Ekspresinya sangat lembut dan tenang, seolah-olah dia sedang menunjukkan bagaimana seharusnya ‘gadis baik’ berperilaku saat itu juga. Senyuman itu hanya menambah penyesalan Amane.

“Betapa bodohnya aku, berusaha begitu keras tanpa menunjukkan apa pun.”

Kata-kata yang Mahiru pernah ucapkan terus berputar-putar tanpa henti di benaknya, menolak untuk menyingkir dari pikirannya.

“Saat itu, aku berusaha keras untuk terlihat sebagai 'gadis baik', agar mereka memandang ke arahku. Jika dipikir-pikir lagi, aku pikir aku cukup menyimpang.”

Mahiru, setelah dengan acuh tak acuh menyatakan sekali lagi bahwa dirinya menyimpang, menatap Amane dengan campuran kekhawatiran dan sedikit panik ketika Ia tetap diam. “Tentu saja, aku tidak lagi merasakan hal yang sama sekarang. Ini sudah seperti kebiasaan lamaku, jadi aku tidak terlalu memikirkannya lagi.”

Mungkin khawatir pada suasana hati Amane, Mahiru melontarkan kebohongan yang lembut. Sebagai tanggapan, Amane tidak tahan lagi dan hanya memeluknya dari depan dalam pelukan yang erat. Meski tubuhnya menegang sesaat, Mahiru dengan cepat rileks dan bersandar padanya. Itu saja sudah cukup bagi Amane untuk merasa kalau Mahiru benar-benar memercayainya.

“…Kamu tidak harus menjadi 'gadis baik', Mahiru. Aku akan terus menyukaimu tidak peduli bagaimana kamu berbicara.”

“Y-Ya, aku tahu.”

“Kalau begitu, ingat itu baik-baik.”

…Oke.

Amane menyukai segala hal tentang Mahiru.

Amane menghargai setiap aspek dari dirinya—entah itu cara dia memerankan peran sebagai 'gadis baik' seperti yang baru saja dia sebutkan, bagaimana dia bisa bersikap keras dan agak acuh terhadap orang lain, bagaimana dia bisa kesepian meski takut untuk menerima orang lain secara mendalam, atau cara dia mengaku menyimpang namun tetap bersikap baik hati dan merasa bersalah karena memakai kedok luar. Setiap aspek dari Mahiru sangat disayanginya.

Amane tidak hanya jatuh cinta pada sifat-sifat baik yang dimiliki Mahiru. Termasuk kegelapan yang dibawanya, Amane menganggap Mahiru sangat menawan.

Saat Ia menyampaikan hal ini, sambil memeluk Mahiru dengan lembut dan membelai punggungnya, Mahiru tampak sedikit malu dan menggeliat dalam pelukan Amane. Dia tidak bergerak untuk melarikan diri dan tetap di sana dalam pelukannya, merasa nyaman seperti biasanya. Ini adalah bukti fakta bahwa dia menerima Amane sama seperti Amane menerimanya.

“I-Itu mungkin membuatmu khawatir, tapi um…sejujurnya, bukan itu saja.”

“Bukan itu saja?”

Ya. Maksudku, Koyuki-san adalah orang yang benar-benar membesarkanku, bukan?”

Ya…memang.”

“Ah, aku tidak menyebutkan itu untuk membuatmu merasa kasihan padaku, oke!?”

Mengingat kembali masa kecil Mahiru, Amane mengangguk, merasa agak sedih meskipun itu bukan tentang dirinya. Hal ini membuat Mahiru bersikap sedikit bingung.

“Eh, apa yang ingin aku bilang ialah, anak kecil selalu belajar banyak dari orang-orang yang selalu ada di sekitarmu. Ambil contoh Koyuki-san. Dia selalu menggunakan bahasa yang sopan. Tentu saja, sebagian alasannya karena dia bekerja…tapi dia memperlakukan semua orang seperti itu. Aku pikir sikapnya sangat anggun dan luar biasa. Aku ingin menjadi seperti dirinya, jadi aku rasa bisa dibilang aku menirunya dalam hal itu.”

“Begitu ya…” Amane berhenti sebentar. “Jika kamu mengatakan itu, maka itu bukan hanya cara dia berbicara. Sikapnya juga pasti elegan. Kalau tidak, kamu tidak akan cukup mengaguminya sampai-sampai mau menirunya, bukan?”

Benar.

Mengetahui bahwa perilaku Mahiru bukan semata-mata demi menjadi ‘gadis baik’ sudah cukup untuk membuat Amane merasa lega.

Semakin banyak Ia mendengarnya, Amane semakin menyadari betapa pentingnya keberadaan Koyuki bagi Mahiru. Mudah untuk membayangkan bahwa tanpa dirinya, Mahiru yang dikenalnya tidak akan ada, jadi wajar saja jika ia mempercayai bahwa sosoknya sangat berharga bagi Mahiru. Melihat betapa Mahiru sangat mengaguminya, Koyuki pastilah orang yang sangat baik dan mulia.

Amane belum pernah melihatnya, tapi suatu hari nanti, Ia ingin bertemu Koyuki, wanita yang membimbing Mahiru. Meskipun itu bukan haknya untuk mengatakannya, Amane sendiri ingin pergi dan berterima kasih padanya.

Amane merasa Koyuki akan senang jika Ia bisa menunjukkan Mahiru yang ia kenal hari ini, meskipun Ia belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Melihat kepercayaan Mahiru yang sangat besar padanya membuatnya bahagia karena ada orang seperti Mahiru dalam hidup Mahiru, menyebabkan senyuman lembut terlihat di wajahnya.

Dia pastilah orang yang sungguh luar biasa, pikir Amane. Saat Ia dengan lembut membelai Mahiru, yang tetap dimanjakan dengan nyaman dalam pelukannya, tiba-tiba satu pemikiran muncul di benaknya.

Koyuki adalah alasan awal Mahiru mulai berbicara secara formal, tapi ada banyak alasan mengapa dia terus menggunakannya. Dia ingin membuktikan kepada orangtuanya bahwa dia bisa menjadi anak yang baik, dan dia ingin membangun penghalang tak kasat mata antara dirinya dan orang lain demi mempertahankan diri.

Tapi jika itu masalahnya, pikir Amane, bukannya itu tidak masalah kalau dia mulai berbicara dengan santai sekarang?

“Hanya sekedar penasaran, tapi bukannya itu berarti kamu tidak lagi mengandalkan berbicara secara formal?” Amane lalu bertanya.

Kurasa begitu.”

“Jadi…jika kamu berbicara dengan santai, apa yang akan terjadi?”

Mahiru pada dasarnya tidak pernah berbicara dengan cara bicara santai. Meskipun dia kadang-kadang menggunakan kata-kata seperti 'baka' atau menunjukkan sedikit rasa jengkel dengan 'ya ampun', bahasa yang dia gunakan selalu penuh hormat dan sopan.

Bahkan ketika berbicara dengan orang lain, Mahiru terutama menambahkan ‘san’ pada nama mereka, dan meskipun dia menambahkan ‘kun’ untuk Amane, tidak pernah ada pengurangan sama sekali. Hanya dengan mendengarkan kata-katanya, orang mungkin berasumsi bahwa dia sedang berbicara dengan orang asing. Meskipun nada suaranya menyampaikan sesuatu yang lebih intim, formalitasnya tetap ada.

“B-Berbicara dengan santai?

Ya. Maksudku, uh…kamu bahkan berbicara padaku—pacarmu—secara formal juga. Aku menyadari bahwa aku tidak pernah benar-benar mendengarkanmu berbicara tidak formal.”

“B-Bahkan jika kamu menanyakan itu padaku…”

Saat Amane terus menatap Mahiru, Mahiru tampak menyusut dengan tidak nyaman dalam pelukan Amane.

Maaf, maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Aku hanya sedikit penasaran, tidak lebih. Kamu selalu sangat formal, oleh karena itu aku jadi penasaran.”

D-Duhhhbaka.”

Mahiru dengan ringan menyundul dada Amane beberapa kali, sebagian untuk menyembunyikan rasa malunya dan sebagian lagi untuk membalasnya. Setelah meluangkan waktu sejenak untuk ‘menghukum’ kekasihnya, Mahiru kembali menatapnya, matanya bimbang karena keraguan. Amane yang merasa bahwa dirinya tidak seharusnya mendorong Mahiru terlalu keras, dengan lembut menepuk punggungnya, dan Mahiru perlahan mulai berbicara.

“Hei, aku…sangat-sangat mencintaimu, Amane-kun.”

Mahiru lalu berbisik pelan, hanya mengucapkan satu kalimat.

Sebuah pernyataan yang sangat singkat sehingga tidak dapat bertahan lebih dari lima detik.

Namun, untuk beberapa saat, pikiran Amane menjadi kosong, membutuhkan banyak waktu untuk mencerna kata-kata Mahiru.

Dalam posisi yang masih memeluk Mahiru, Amane membeku di tempatnya. Kata-kata Mahiru berulang kali diputar di benaknya saat mencoba memahami sepenuhnya maknanya. Ketika Amane akhirnya berhasil memproses apa yang dia katakan, ia menunduk ke arah Mahiru, yang bergerak dengan canggung seperti mesin yang kehabisan minyak di pelukannya.

Sementara itu di sisi lain, Mahiru tampak kepanasan juga—wajahnya memerah, dan dia berhenti bergerak.

Hanya tatapan mata Mahiru yang basah dan berkilauan, memantulkan cahaya saat mata itu bergetar. Pandangan mata itu, yang terkunci pada mata Amane, langsung dipenuhi rasa malu seolah ingin bersembunyi di balik tirai kelopak matanya.

Amane memperhatikan bulu matanya yang panjang bergetar saat mulai turun seperti tirai sebelum mengecup bibir berwarna cerinya yang sepertinya akan menutup dengan cara yang sama dengan bibirnya.

Meski Mahiru mulai bergerak lagi, dia tidak melakukan perlawanan. Mahiru sepertinya mempercayakan dirinya sepenuhnya kepada Amane, bersandar padanya. Itu hanya sentuhan singkat di bibir, namun ketika bibir mereka berpisah, Mahiru menatapnya dengan pipi yang lebih memerah dari sebelumnya dan matanya kembali basah.

Pemandangan dirinya sekali lagi, begitu menawan.

“Sekali lagi,” kata Amane.

“…Aku tidak bisa melakukannya.”

“Tidak, bukan ciumannya. Apa yang kamu katakan sebelumnya.”

“Aku tidak akan mengatakannya lagi!”

“Aduh.”

Baka.”

Menyadari kosakata hinaannya yang terbatas, Amane dengan lembut melepaskan Mahiru, yang telah melontarkan kata-kata yang sangat menggemaskan padanya sehingga menyebutnya sebagai olok-olok lucu tidak akan memberikan efek jera. Kemudian, dengan wajah yang masih memerah, Mahiru menjauh darinya seolah mencoba mendinginkan kehangatannya. Seluruh situasinya terasa lucu, dan Amane tidak bisa menahan tawa.

“Aku juga mencintaimu, Mahiru. Secara mendalam, dengan sepenuh hatiku.”

“…Aku lebih suka kamu tidak mulai meningkatkan formalitasmu, Amane-kun.”

Okeeee.

Melihat tatapan Mahiru yang sedikit berbeda diarahkan padanya, Amane segera meminta maaf. Tanpa berkata apa-apa lagi, Mahiru melanjutkan meminum tehnya yang sudah agak dingin, seolah melanjutkan proses penenangan dirinya.

Merasa tidak adil untuk menggoda Mahiru lebih jauh, Amane hanya memperhatikannya sambil menyesap kopinya sendiri yang sedari tadi diabaikan saja. Meskipun kopinya sudah dingin dan seharusnya berwarna hitam, anehnya kopinya jadi terasa manis baginya.

“…Ngomong-ngomong, kita belum mengubah cara kita memanggil satu sama lain bahkan setelah kita mulai berpacaran, kan?”

Setelah menyimpulkan pemikirannya dan merenungkan hubungan mereka, Amane merasa lucu karena mereka masih menggunakan panggilan kehormatan yang sama seperti sebelumnya. Mahiru, yang sepertinya sudah kembali tenang, mengeluarkan suara “Uuugh~” yang pelan dan menggemaskan, jelas-jelas prihatin dengan masalah tersebut.

“T-Tapi, Amane-kun adalah Amane-kun…” jawab Mahiru.

“Yah, sulit membayangkan kamu memanggilku dengan namaku tanpa imbuhan apapun. Kamu selalu menggunakan '-kun' atau '-san' dengan orang lain.”

“Aku merasa sulit untuk memanggilmu tanpa imbuhan kehormatan secara tiba-tiba.”

“Yah, tentu saja, tapi…eh, aku hanya penasaran, apa nantinya akan selalu menjadi ‘Amane-kun’?”

Bukan karena Amane tidak suka dipanggil ‘Amane-kun,’ dan dirinya paham kalau itu adalah cara khusus Mahiru untuk memanggilnya. Namun, mau tak mau dia bertanya-tanya apa keadaannya akan tetap seperti itu tanpa batas waktu.

Meski Ia belum memberi tahu Mahiru secara eksplisit, Amane sudah siap untuk menghabiskan sisa hidupnya bersamanya. Dirinya tidak berniat melepaskannya selama Mahiru menerimanya dan tidak ingin berpisah kecuali dia tidak menyukai gagasan itu.

Apa dia akan terus memanggilku ‘Amane-kun’ di masa depan juga? Amane mau tidak mau merasa penasaran saat perasaan aneh memenuhi dirinya.

Mahiru menatapnya dengan saksama. “… Amane?” Dia memiringkan kepalanya sedikit saat memanggil namanya, menyebabkan Amane menggigit bagian dalam pipinya. “…Entah kenapa, memanggil namamu tanpa imbuhan rasanya kurang tepat,” lanjutnya. “Atau lebih tepatnya, rasanya sangat berbeda dari biasanya.”

Be-Begitu ya.”

Selain iturasanya memalukan juga.”

Akulah yang seharusnya merasa malu, dipanggil seperti itu secara tiba-tiba, pikir Amane dalam hati. Tetap saja, ia berhasil menahan perkataannya dan menetralkan rasa manis di mulutnya dengan meneguk kopinya. Setelah mengamati tingkah laku Amane sejenak, Mahiru dengan hati-hati menggenggam ujung kemejanya.

Apa yang dia lakukan? Amane memandangnya dan bertanya-tanya, dihadapkan pada sikap menawannya. Mahiru kemudian mengintip wajahnya dan menatapnya, pipinya terlihat merah merona.

Amane-san.

Perkataan lembut yang diucapkannya hampir membuat Amane menjatuhkan cangkir kopi yang dipegangnya.

Mahiru, sebagaimana dirinya saat ini dihadapan Amane, pada dasarnya merupakan perwujudan manusian dari kata imut. Namun di saat yang sama, dia juga menunjukkan kecantikan yang dewasa. Wajahnya, yang sedikit memerah namun mengubahnya menjadi bentuk daya tarik, membawa kualitas yang menggoda. Dia membisikkan suara yang begitu merdu sehingga seolah-olah meresap dari tepi pikiran seseorang, tenggelam dan melebur ke dalamnya—mustahil untuk tidak terguncang.

Meskipun Mahiru tampak malu, dia bergumam, “Yang begini terasa lebih alami, bukan begitu? Hehe,” memperjelas bahwa dia tidak mengatakan itu dengan maksud untuk memikat. Namun fakta bahwa hal itu tidak disengaja membuatnya menjadi lebih kuat, dan itu sangat jelas terlihat.

“…Ini juga buruk untuk hatiku,” suara Amane.

“Ke-Kenapa begitu?” Mahiru tergagap.

“K-Kamu tahu, ya…eh, hanya saja…”

Ya?

 “…Rasanya seolah-olah, um, kamu seperti istriku, kurasa.”

Meski rasanya mmalukan untuk mengatakannya, tapi Amane tidak punya pilihan lain selain membeberkannya. Dilihat dari ekspresi Mahiru yang tertegun, sepertinya dia tidak mengira Amane akan mengatakan apa yang dia lakukan dan mulai meneliti makna di balik kata-katanya. Sesaat berikutnya, wajahnya berubah menjadi merah padam, dan dia mulai memberikan beberapa tamparan ringan pada lengan atas Amane.

“…Tolong jangan memikirkan hal aneh apa pun di kepalamu,” desak Mahiru.

“Ya, maaf.”

Amane menyadari kalau dirinya memang mengatakan sesuatu yang cukup berani dan segera meminta maaf. Mahiru menjawab dengan lebih lembut, “Astaga, ya ampun.” dan beberapa tamparan ringan lagi, tapi kemudian sikapnya berubah seolah sedang memikirkan sesuatu. Untuk sesaat, Amane bertanya-tanya apa Mahiru tidak senang, tapi kemudian Ia melihat senyum nakal dan menggoda di wajahnya. Amane kemudian tersadar kalau dirinya secara tidak sengaja telah memberinya amunisi yang sempurna untuk hiburan, dia menghela nafas dalam hati.

“……Begitu, jadi imbuhan '-san' membuat jantungmu berdebar lebih cepat daripada dipanggil 'Amane-kun', ya?”

“Aku akan terbiasa jika kamu terus mengulanginya, lho.”

“Hmph.”

Amane mengantisipasi kalau Mahiru akan memberikan kejutan lain dan memutuskan untuk memberinya peringatan terlebih dahulu. Tidak mengherankan, Mahiru, yang sepertinya sedang merencanakan sesuatu, tidak berusaha menyembunyikan ketidakpuasannya dan terlihat sedikit cemberut.

“…Memberimu kejutan pasti akan sangat menyenangkan sekali lagi,” dia kemudian menambahkan.

“Eh, Mahiru-san?”

“Bukan apa-apa.

Mengingat betapa tidak terpengaruhnya Mahiru, Amane berpikir untuk mencubit pipi Mahiru untuk membalasnya. Tapi setelah melihat tatapan Amane, Mahiru menunduk. Kelopak matanya yang tertutup sedikit bergetar.

“Itulah sebabnya… untuk saat ini, aku baik-baik saja dengan memanggilmu Amane-kun.”

Sepertinya Mahiru berhasil memahami apa yang ada di luar pikiran Amane. Memahami bobot dari kata ‘untuk saat ini’, dia tampaknya bersedia membiarkan segala sesuatunya tetap seperti apa adanya untuk saat ini. Amane dengan lembut meletakkan tangannya di pipi Mahiru, menjawab lembut dengan “Ya”, dan tersenyum hangat pada Mahiru, yang telinganya telah berubah warna menjadi merah padam.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama