Houkago, Famires de Volume 2 Bab 2 Bagian 2 Bahasa Indonesia

Chapter 2 — Pertama-Tama, Dimulai Dengan Belanja Dulu

Bagian 2

 

Pandangan Tsujikawa Kotomi tertuju pada secarik kertas.

Pesan sederhana yang ditulis di buku catatan kosong, orang yang menulisnya adalah Narumi Kouta.

Bepergian...?

Aku pergi berlibur bersama Kazemiya Kohaku. Hanya itu isi pesannya.

────Hanya itu yang ditulis untuk keluarganya.

“ ........................ ”

Baik itu ayahnya maupun juga ibu tirinya, hanya tersenyum pasrah setelah melihat catatan sederhana ini.

Karena sekarang sudah memasuki liburan musim panas. Jadi pergi liburan bersama teman merupakan hal yang biasa.

Selain itu, ia juga sudah pernah membicarakan soal ingin pergi liburan dengan temannya.

(────Itu pasti hanya alasan.)

Tangannya yang memegang memo itu mengepal kuat. Kertas itu pun berkerut tak mampu melawan genggamannya yang kuat.

Pergi liburan bersama teman. Hal tersebut memang merupakan hal yang biasa. Tapi, hal itu sedikit berbeda dengan kakak tirinya.

(Ini namanya kabur dari rumah.)

Dirinya tahu kalau kakak tirinya itu selalu berusaha menghindari rumah ini dan keluarga ini.

────Jika itu Nii-san yang biasanya, kurasa wajar saja jika kamu kabur dari rumah bersama Kazemiya-san.

Seperti yang Kotomi khawatirkan semalam.

────Syukurlah, Nii-san tidak ikut melarikan diri.

Sesuai dugaanku.

(Orang itu...)

Kakak tirinya itu, sekali lagi, kabur dari keluarga.

... Kenapa

Ayah sudah pergi bekerja dan ibu tiri juga sibuk di kamarnya, jadi hanya ada dirinya saja yang termenung di ruang tamu yang kosong.

 

Kenapa... kita tidak bisa menjadi keluarga yang normal?

 

☆☆☆

 

Setelah selesai sarapan, kami mengadakan rapat mengenai kegiatan hari ini yang sempat tertunda. Meski disebut rapat, sebenarnya kami hanya menyusun daftar belanja untuk barang-barang yang diperlukan.

Uugh... Perlengkapannya memang bikin kantong bolong ya.

Jangan khawatir. Sudah kubilang kalau kita punya 'aset', kan?

“Aset apa yang kamu maksud?

“Oh iya, kalau dipikir-pikir aku belum menceritakannya, ya.

Aku benar-benar lupa. Atau mungkin, karena aku sendiri kurang senang dengan sumber dana ini, jadi tanpa sadar aku tidak membicarakannya.

“Sejak awal, tabungan dari kerja sambilanku hanya dipakai untuk keperluan lain selain makan di keluarga restoran... dan juga uang tunjangan anak yang dikirim ayah kandungku secara rutin.

Entah kenapa, tenggorokanku jadi kering. Aku mengambil gelasku dan membasahi tenggorokanku dengan meminum soda melon.

“Ia adalah tipe orang yang perfeksionis, jadi setelah orang tuaku bercerai, ia tak mau disangka mengincar uang, jadi ia cuma mengirimi uang secukupnya ke dalam rekeningku. Ia bahkan dengan sopannya masukkan sejumlah uang ke rekeningku dengan alasan memberiku sejumlah uang saku.

Dari sudut pandang orang luar, nampaknya ia bertindak atas dasar belas kasih.

Tapi itu berbeda. Itu adalah kesalahpahaman besar. Orang itu adalah orang perfeksionis sampai-sampai bisa dibilang sebagai obsesif. Uang adalah alat untuk memutuskan koneksi. Intinya, apa yang ingin dia katakan adalah Aku akan memberimu uang yang cukup untuk hidup, jadi jangan protesdan Jadi jangan pernah mencampuri urusanku lagi.

Aku bisa memahaminya, dan aku yakin kalau ibuku juga pasti memahaminya bahwa aku, yang tidak bisa menjadi sempurna seperti yang diinginkan ayah brengsek itu, akhirnya dibuang dan memutuskan hubungan.

Aku belum pernah menyentuh uang yang ditransfer kepadaku. Jadi kurasa jumlahnya cukup besar. Sebagai dana sementara, itu lebih dari cukup.

Sejujurnya, aku tidak ingin menggunakannya, tapi mau bagaimana lagi.

Daripada berkutat tentang masalah pribadiku, aku ingin membantu Kazemiya dengan segala cara.

...Maaf.

“Sudah kubilang kamu tidak perlu minta maaf segala. Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya—”

Bukan itu.

Kazemiya menyela perkataanku dan tatapan kami saling bertemu.

...Rasanya menyakitkan ya, ketika orang-orang secara sembarangan berasumsi kalau kita mendekat hanya karena uang.

—...

Kata-kata yang diucapkan Kazemiya seperti diambil langsung dari dalam hatiku.

Rasa pahit yang telah lama terpendam di dalam diriku.

Diperlakukan seperti dimanfaatkan dan disogok dengan uang... Rasanya begitu menyakitkan ya. Aku juga tidak ingin menggunakan uang itu... Jadi, maaf.

...Tidak apa-apa. Hanya dengan mendengar kata-katamu itu sudah membalas semuanya.

Ah, seriusan. Kenapa Kazemiya selalu bisa memahaminya? Dia bahkan memberi kata-kata yang membuatku merasa dimaafkan. Aku harus membuat Kazemiya bahagia juga.

Aku malah menganggapnya sebagai kesempatan yang tepat. Makin banyak uang yang tersimpan, makin tidak enak rasanya. Jadi sekali-kali menghabiskannya sekaligus juga tidak buruk, aku benar-benar berpikiran begitu.

Jika uang sebanyak ini bisa membuat Kazemiya tersenyum, itu sudah lebih dari cukup.

Jika kamu merasa bersalah, tolong gunakan uang ini dengan bebas. Aku ingin kamu menggunakannya. Bagaimana?

...Ya. Jika Narumi mengatakan itu tidak masalah, maka aku tidak keberatan.

Tentu saja tidak masalah. Karena inilah cara yang terbaik untuk menghilangkan rasa pahit hatiku.

Jadi masalah dana sementara sudah beres. Sekarang yang tersisa adalah rencana kegiatan besok... dan soal penginapan.

Untuk menginap di hotel saat belum dewasa, kita sepertinya butuh surat izin orang tua, ‘kan?”

“Benar sekali. Itu barang langka yang tak terjangkau bagi kita berdua sekarang.”

Surat izin orang tua. Tidak mungkin kami, [Aliansi Restoran Keluarga], yang tidak punya tempat tinggal dan keluarga, bisa mendapatkannya.

Sebenarnya, ada juga hotel yang tidak membutuhkan surat izin orang tua untuk check-in. Yang tidak ada resepsionis atau memang tidak menanyakan soal itu. Kita bisa meminta Natsuki untuk mendata hotel-hotel seperti itu. Tapi itu hanyalah opsi terakhir.

Kami ingin menghindari masalah sebisa mungkin. Bukan hanya untukku, tapi bagi Kazemiya juga.

Jadi bagaimana kalau malam ini kita menginap di restoran keluarga saja?

Hah? Apa maksudmu?”

Demi menjawab pertanyaan yang masuk akal itu, aku membuka aplikasi resmi Flowers dan mencari toko berdasarkan kriteria tertentu. Aku berhasil menemukan toko yang kita butuhkan.

“Restoran ini buka selama 24 jam dan lokasinya lumayan jauh dari sini. Di dalam restoran ini, kita bisa betah di sana sampai pagi. Aku juga melihat ada pemandian onsen di dekatnya, jadi kita bisa sekalian mandi di sana. Restoran yang bukan 24 jam ikan tidak banyak, jadi kupikir lebih baik kalau kita memanfaatkan sebaik mungkin.

Kazemiya membelalakkan matanya setelah mendengar saranku, tapi kemudian dia tertawa.

“Entah kenapa, itu kedengarannya bagus. Cocok dengan kita.

Karena kita adalah 'Aliansi Restoran Keluarga', kan?

Aku pun tertawa menanggapinya.

Rasanya mungkin akan melelahkan, tapi ini penginapan perdana yang cocok dengan kami berdua. Hal tersebut mungkin akan merepotkan pihak restoran, tapi sambil meminta maaf dalam hati, kami akan memesan menu sebanyak-banyaknya.

Setelah itu, kami kembali berdiskusi dan mencari informasi sebelum akhirnya membayar di kasir. Saat membayar, karena jumlahnya melebihi batas tertentu, muncul stempel berbentuk bunga di aplikasi resmi Flowers, mengisi salah satu dari lima kotak kosong. Mengumpulkan lima stempel ini bukanlah tujuan akhir dari pelarian kami, dan satu stempel yang terisi tidak berarti ada kemajuan. Tapi kami merasa perjalanan tak berujung ini telah melangkah satu langkah ke depan.

Oh ya, katanya kita bisa dapat hadiah kalau ngumpulin ini. Kira-kira kita bisa dapat di mana ya?

“Di sini tertulis kalau kita bisa mendapatkannya di setiap cabang restoran.

Hmm? Sepertinya ada banyak pilihan hadiah, apa ada yang kamu inginkan, Narumi?

Belum tahu.

Aku juga.

Sepertinya mengumpulkan stempel jadi tujuan utama kita, ya.

Iya. Daripada menginginkan hadiahnya, tapi mengumpulkannya bersama Narumi sudah menjadi hadiah tersendiri...

Setelah beberapa detik, Kazemiya sepertinya merasa malu dengan perkataannya sendiri.

...Maaf, lupakan saja yang tadi.

Mustahil aku melupakannya. Aku akan mengingatnya sampai akhir hayatku.

Mana mungkin kamu bisa melakukannya.”

Bisa saja kok.

Caranya gimana?

Kata-kata menyenangkan seperti itu, mana mungkin aku lupa meski sudah mati.

Tidak peduli seberapa kerasnya aku berusaha, akan sulit untuk mengungkapkan betapa bahagianya aku. Ini membuatku frustrasi.

“Pertama-tama, bukannya kamu tipe orang yang tidak terlalu memikirkan kata-katamu, kan Kazemiya?

Uh...

Kazemiya menundukkan pandangannya ke arah baju yang dipakainya, seolah memperhatikan sekelilingnya.

Selain baju yang kamu bawa dari rumah, satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah meminjamkanmu bajuku. Tapi kamu juga tidak bisa terus-menerus memakai bajuku.

...Itu... mungkin... boleh jadi...?

Tidak bisa. Aku memang bisa meminjamkan bajuku kapan saja, tapi itu... sedikit merepotkan bagiku.

Saat ditanya apa yang membuatku merepotkan, rasanya sulit diucapkan dengan kata-kata.

...Merepotkan. Ya, merepotkan.

Oh, begitu ya. Kalau dipikir-pikir, aku juga... mungkin... akan merasa kerepotan.

Kenapa kamu memalingkan wajahmu?

Tidak apa-apa, jangan terlalu dipikirkan.

Walau dikatakan begitu, aku malah semakin penasaran. Tapi percuma menggali lebih dalam di sini.

Sembari berusaha tidak terlalu memikirkannya seperti yang diminta, kami memasuki pusat perbelanjaan besar di dekat stasiun.

Kami mengecek denah di dinding, lalu langsung menuju lantai mode, dan masuk ke salah satu toko busana. Suasana toko yang didominasi warna putih, memberikan kesan bersih dan elegan, dengan berbagai pakaian berwarna-warni terpajang. Penataan displaynya juga terlihat apik. Meski masih terbilang awal buka, toko ini sudah cukup ramai pengunjung.

“Sewaktu kabur dari rumah, kira-kira pakaian seperti apa yang sebaiknya cocok untuk dibeli ya?

Beli yang kamu suka saja.

Nah, kita ini buronan, iya ‘kan? Bukankah sebaiknya membeli pakaian yang enggak mencolok, gitu.

Contohnya?

Misalnya, topi untuk menyembunyikan wajah, kacamata hitam, masker... Terus pakai jaket berkerudung hitam panjang biar bisa membaur dengan kegelapan malam...

Coba bayangkan seseorang berpenampilan seperti itu di tengah cuaca panas begini. Menurutmu, apa yang akan dilihat orang-orang?

Pasti dicurigai sebagai orang mencurigakan.

Syukurlah kamu bisa menyadarinya sebelum terlalu terlambat.

Ternyata Kohaku bisa jadi cukup terobsesi dengan sesuatu, meskipun kadang bisa menjadi berlebihan ke arah yang aneh.

Itu memang terlihat lucu, tapi sebaiknya tetap hati-hati.

Memang benar, kewaspadaan itu penting. Tapi kalau Kazemiya, bisa-bisa kamu malah memaksakan dirimu sendiri.

Uh. Itu mungkin saja...

Jadi daripada  begitu, kurasa lebih baik kalau kamu memakai pakaian yang kamu sukai saja. Itu mungkin akan membuatmu lebih nyaman, Kazemiya.

“......

“...Ada apa?

Narumi... sepertinya kamu lebih mengerti aku daripada diriku sendiri.

Memang mungkin begitu.

“Apa-apaan dengan wajah yang kelihatan senang begitu?

“Tentu saja karena aku merasa senang.

Bisa memahami lebih jauh tentang Kazemiya membuat hatiku jadi bahagia.

Kira-kira apa perasaan ini? Kenapa. Bukan rasa unggul, tapi lebih dari itu... ada yang lain lagi...

Kamu juga kelihatan senang, lho? Kazemiya.”

Hah? Bohong.

Seriusan. Mau kufoto biar kamu bisa melihatnya sendiri?

Jangan. Tolong jangan. Malu tahu.

(... 'Menggemaskan')

Kata itu tiba-tiba muncul di benakku saat aku melihat Kazemiya tertawa.

Aku merasa heran kenapa kata tersebut tidak terpikirkan sejak awal, tapi sekarang rasanya sangat tepat.

(Menggemaskan. Ya. Rasanya pas sekali.)

Tapi apa kata tersebut sesuai untuk digunakan pada teman? Aku sendiri tak tahu pasti jawabannya, tapi aku tahu ada perasaan lebih dari teman yang kurasakan pada Kazemiya.

Aku ingin memanjakan Kazemiya. Aku ingin dia bahagia. Itulah akar dari hasratku ini.

Aku yakin, aku mengetahui nama perasaan ini.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama