Chapter 4 — Mission Inpossible
Langit yang tinggi, kuda menggemuk di musim gugur.
Sampai
tahun lalu, sesuai dengan penampilanku,
aku mengikuti nafsu makanku yang berlebihan dan makan dengan
rakus tanpa batas.
Namaku adalah Ichiji Yusuke. Aku dipanggil ‘Icchi’ oleh teman-teman
SMA-ku, Kasshi dan Nisshi.
Di bulan
November tahun ketiga SMA. Musim ini akhirnya datang
lagi... ya, musim terkutuk festival budaya sekolah.
Pada
festival sekolah tahun lalu, aku
mengalami kejadian yang sangat memalukan
seumur hidupku. Aku menyatakan cinta pada Tanikita-san di depan teman-teman sekelasku, dan berakhir dengan ditolak mentah-mentah.
Karena saking syoknya, aku
jadi tidak bisa menelan makanan selama beberapa hari.
Hasilnya adalah bentuk tubuh normal saat ini.
Sepertinya
perutku juga mengecil seiring penurunan
volume tubuh, setelah badanku menjadi
kurus, aku tidak bisa makan sebanyak dulu.
Dan selama hampir satu tahun, aku
terus mempertahankan bentuk tubuh ini. Kalau dulu, aku pasti bisa menghabiskan lima potong
ubi bakar sebagai camilan, tapi sekarang cukup satu potong saja sudah membuatku kenyang.
Lagian,
memangnya ada orang yang bisa tahan dari godaan ubi bakar di dekat
pintu masuk supermarket? Itu hanya catatan sampingan saja, sih.
Namun, ditolak
oleh Tanikita-san juga
ada hikmahnya. Karena aku terlalu fokus
pada game untuk melupakan kenyataan, aku
bisa menjadi anggota KEN Kids yang selama ini
aku idam-idamkan.
Kasshi,
si anak riajuu, berkata “Hebat banget, selamat ya!” tapi Nisshi kelihatannya sangat iri, dan minggu
depan akhirnya aku akan menghadiri pertemuan
offline KEN.
“Aku
bener-bener iri! Pertemuan offline dengan KEN
itu kan cuma buat anak-anak terpilih, bukannya itu
mimpi yang jadi kenyataan!”
Saat aku makan siang di ruang kelas selama jam
istirahat makan siang, Nisshi tiba-tiba teringat dan mulai iri.
“Terus,
siapa lagi yang datang ke pertemuan itu?”
“Hmm,
siapa ya, kallau tidak salah ada
'Sono'-san gitu...”
“Apa?
'Sono' juga ikutan datang? Wah gila tuh! Aku pengen jadi anggota juga!”
Nisshi
meletakkan bekal di meja, bersandar di sandaran kursi, dan mendongak ke langit-langit.
“Emang
bener-bener keren sih. 'Sono-san' itu kan anggota KEN
Kids yang terkenal banget.”
Kasshi menimpali dengan tenang. Kasshi
yang mengincar masuk universitas Houou,
tampaknya sudah lelah dengan persiapan ujian akhir-akhir ini, dan ia terlihat sedikit tidak fokus,
jadi aku sedikit khawatir dengannya.
Apa dia
terlalu memaksakan diri? Pacarnya adalah Shirakawa-san
yang itu, ia sungguh pria yang
selalu mengincar tujuan yang tinggi.
“Hei,
Icchi. Coba kamu diam-diam rekam
pertemuan offline-nya dong.”
“Enggak
mungkin lah. Aku enggak mau
kena banned selamanya.”
“Ayolah,
coba diakali sedikit napa!”
Saat
Nisshi berkata begitu, tiba-tiba dia berubah serius.
“Oh
iya, ngomong-ngomong soal rekaman...”
““Hm?””
Aku dan Kasshi
menatap Nisshi.
“Nikoru
bilang kalau waktu ganti baju buat stand
kafetaria di festival, ada foto ganti baju cewek yang diambil secara diam-diam terus beredar
di grup chat cowok.”
“Apa-apaan itu? Apa foto
Oni-gyaru yang diambil?”
“Bukan,
katanya sih gadis lain. Dan foto-foto itu diambil sebelum
dia membuka bajunya, jadi sepertinya aman,
tapi Nikoru berkata, 'Diam-diam mengambil
foto gadis yang
sedang berganti pakaian bukanlah cara yang pantas dilakukan oleh seorang pria!
Jika aku
menemukan pelakunya, aku
akan menghajarnya!’”
Ngomong-ngomong,
di antara angkatan kelas 3, katanya
hanya kelas E saja yang
akan menampilkan pertunjukan kelas di festival sekolah. Kalau tidak salah temanya adalah “Kedai
Ruida" dan cosplay
gadis kelincinya sampai menjadi
perbincangan di kelas-kelas
lain karena orang yang mengenakannya merupaka gadis-gadis
yang imut dan cantik.
“Kedengarannya
berbahaya ya,” kata
Cassi sambil mengerutkan alis.
“Lho,
kamu mengatakannya seolah-olah itu
urusan orang lain, Kasshi. Padahal pacarmu juga...”
“Waaa!"”
Ditengah
perkataanku, tiba-tiba Nisshi menamparku.
“Aduh!
Apa sih yang kamu
lakukan, Nisshi?!”
“Ada nyamuk,
cuma nyamuk kok! Nyamuk!"
Nisshi
memperlihatkan telapak tangannya yang terbuka lebar padaku, tapi tidak ada
bekas nyamuk sedikit pun.
“Hah?
Nggak ada apa-apa tuh.”
“Oh
iya? Kayaknya udah kabur deh.”
Nisshi
tidak merasa bersalah sama sekali. Anak ini kenapa sih?
“Sudahlah,
Nisshi cuma bermaksud baik. Setidaknya kamu enggak
jadi digigit kan, Icchi?”
Kasshi melerai kami berdua, dan aku pikir memang
begitu.
“Iya,
makasih...”
Anehnya
aku yang ditampar malah berterima kasih. Dunia
ini memang dipenuhi ketidakadilan.
“Tapi, itu berarti maksudnya ada
penguntit fotografi di sekolah, ‘kan?
Kita harus waspada.”
Nisshi
kembali serius.
“Iya,
benar juga.”
Kasshi balas
menyetujui, tapi aku memandang mereka dengan dingin.
“Kalau
ada yang mau kasih liat fotonya, aku sih nggak keberatan. Tapi kayaknya enggak bakalan nyampe kepada kita yang kuper begini deh.”
“Hah?!
Icchi, kamu enggak punya rasa keadilan ya?
Orang-orang kayak kamu yang bikin
penguntit-penguntit itu muncul!”
“Lho,
Nisshi sendiri juga pengen lihat kan? Kalau enggak
ada Oni-gyaru di kelas E, kamu juga bakal jadi
salah satu mereka.”
“Urgh...”
Nisshi
tidak bisa membalas dan hanya menatapku dengan kesal.
Iya, aku
tahu kok. Nisshi menyukai Oni-gyaru,
jadi ia enggak mau gadis yang disukainya
dilihat orang lain. Dasar alasan nggak murni. Sok jadi pahlawan moral segala.
Kasshi masih mesra-mesraan sama
Shirakawa-san. Aku merasa iri sih, tapi aku tidak berani menanyakannya, tapi aku meyakini
kalau ia
sudah nggak perjaka.
Cuma aku
doang yang masih.
Cuma
aku yang terus menjalani masa SMA yang suram tanpa ada orang yang kusukai, dan
melanjutkan belajar untuk ujian masuk yang tidak menyenangkan.
Kalau hanya
itu saja sih masih mending.
Tapi,
aku terus mendapat pelecehan dari Tanikita-san,
orang yang menolakku setahun yang lalu.
Baru-baru
ini, ketika aku keluar dari kelas, Tanikita-san kebetulan berada
di koridor, dan dia tiba-tiba berteriak histeris seperti melihat kecoa, lalu
berbisik-bisik pada teman-temannya sambil melihatku. Pasti dia bilang “Ia itu orang yang dulu aku tolak, ia bener-bener menjijikkan ya”. Itu benar-benar parah.
Kasshi memang orang yang baik hati sekali, ia sampai menghiburku dengan mengatakan “Sepertinya ada gads yang diam-diam tertarik sama kamu sekarang karena kelihatan udah
kurus", tapi aku cuma tetap
mempunyai Kasshi dan Nisshi sebagai teman, dan
tidak ada cewek yang mau mengajakku bicara, apalagi menyatakan cinta.
Ini semua
gara-gara Tanikita-san
menyebarkan gosip buruk tentangku ke seluruh angkatan, 'kan? Aku yakin itu.
Jadi,
selama aku masih satu sekolah dengan Tanikita-san,
aku tidak akan pernah bisa populer sampai lulus.
Sial kau,
Tanikita Akari... Dalam kehidupan sehari-hari yang suram dan hanya dipenuhi stres belajar
ujian masuk, kebencianku padanya terus menumpuk.
♧♧♧♧
Dan
akhirnya, hari perayaan festival
budaya pun tiba.
Festival
budaya Sekolah SMA Seirin
diadakan selama dua hari, dan hari ini adalah hari kedua.
Hari
pertama kemarin dikhususkan untuk para siswa,
orang tua, alumni, dan pihak terkait lainnya,
sementara hari ini terbuka untuk umum dan juga siswa SMP yang ingin memasuki sekolah SMA. Acara
penutup juga akan diadakan hari ini.
Meskipun
tidak ada absensi dan kami siswa kelas 3 yang akan ujian tidak diwajibkan
hadir, aku diajak oleh Nisshi dan kami bertemu di stasiun pukul 2 siang lalu pergi ke sekolah.
Sepertinya Kasshi
pergi ke sekolah kemarin karena diajak oleh Shirakawa-san, tapi hari ini dia belajar di
ruang belajar sekolah bimbelnya.
Di tengah
semua ini, tujuan sebenarnya Nisshi datang ke festival budaya hari ini adalah,
“Kurasa
pelaku pengambilan foto diam-diam
akan menyerang hari ini, saat banyak pengunjung luar berdatangan dan keadaan menjadi riuh. Jadi ia tidak akan
menyerang pada waktu ganti baju sebelum acara, tapi akan mengincar saat ganti
baju di akhir acara yang ramai.”
Nisshi
berjalan di koridor sekolah yang ramai dengan tatapan
mata yang waspada.
Ia
benar-benar terlihat seperti satpam.
“Haah...”
Kekuatan
cinta memang luar biasa ya. Kasshi
juga bilang ingin menjadi pria
yang setara dengan Shirakawa-san
dan mengincar untuk masuk Universitas Houou.
Aku juga
bertanya-tanya kapan aku akan merasakan perasaan seperti itu...
Festival
budaya tahun lalu sangat menyenangkan. Aku menyukai
Tanikita-san dan bisa berpartisipasi
dalam panitia festival Bersama dengannya...
Tanikita-san pada waktu itu terlihat sangat
manis. Dia tidak memandangku sebagai musuh dan selalu menyapaku dengan ramah...
Kalau
saja aku tidak menyatakan
perasaanku, apa senyumnya itu masih akan tertuju padaku sampai sekarang?
Apa
aku masih ada perasaan
dengan Tanikita-san karena memikirkan hal seperti ini?
Tidak, tidak, gadis berisik dan tidak sopan itu, sekarang aku sudah tidak
berharap lagi...
Sambil
memikirkan hal-hal tersebut, aku dan Nisshi pun akhirnya
tiba di kelas tempat pementasan kelas
E.
“Wah,
kalian lama sekali!”
Si Oni
Gyaru berseru ketika kami berdua muncul
di pintu kelas dengan kostum Bunny Girl. Tingginya memang tidak setinggi
Shirakawa-san, tapi
dadanya juga cukup besar, dan penampilannya dalam kostum Bunny berbelahan
tinggi itu sangat seksi, mirip seperti
seorang selebritis gravure. Aku bisa mengerti kenapa Nisshi bisa jatuh cinta
padanya.
“Selamat
datang!”
Lalu
Shirakawa-san juga
muncul dari belakang si Oni Gyaru.
Entah
kenapa, dia terlihat seperti
seorang gadis yang memang diciptakan untuk memikaty
pria. Mungkin karena akhir-akhir ini pikiranku hanya dipenuhi oleh persiapan
ujian, tiba-tiba muncul rumus bodoh “Shirakawa-san + Bunny Girl = Terbaik” di
kepalaku. Meskipun aku tidak berniat untuk melihatnya, mataku tetap tertarik
pada belahan dadanya yang bergoyang-goyang. Aku benar-benar merasa iri pada Kasshi.
Tapi,
kenapa Kasshi? Secara kemampuan, aku tidak
terlalu berbeda darinya, 'kan? Kalau saja aku menyatakan perasaanku lebih dulu,
mungkin aku juga bisa mendapatkan Shirakawa-san.
Meskipun ditolak, setidaknya Shirakawa-san
tidak akan memperlakukanku seburuk Tanikita-san.
Mungkin aku salah memilih target...saat aku
sedang meratapi hal tersebut,
“Hawawawa!”
Aku mendengar
suara wanita itu.
“A-Apa
yang sedang kamu
lakukan di sini?!”
Tanikita-san yang mengenakan kostum Bunny
Girl menunjuk ke arahku dengan wajah memerah dan pucat.
Seperti
biasa, dia adalah gadis yang menyebalkan.
“Memangnya
kenapa? Aku mengajak Ren
untuk datang ke sini. Jadi ia datang bersamanya
dengan, ia ini pengunjung tau?”
Si Oni
Gyaru membalas dengan tenang, seolah-olah
mewakili diriku. Dia memang hebat.
Sepertinya
aku juga akan jatuh cinta padanya. Tapi
kalau aku bilang begitu, Nisshi bisa marah padaku.
“Ayo,
duduk di sini!”
Dipanggil
oleh Shirakawa-san, kami
pun duduk di kursi kosong di dekat jendela. Meja sederhana yang terbuat dari
dua meja digabung dan ditutupi taplak.
Ada lebih
dari sepuluh meja seperti itu di dalam kelas, dan hampir semuanya sudah penuh
dengan siswa dan tamu undangan. Sepertinya acara mereka
cukup sukses karena pengunjungnya ramai sekali.
“Silakan
lihat menunya dan pesan!”
Shirakawa-san berkata pada kami sebelum pergi.
Lalu dua orang gadis di meja sebelah memanggil Shirakawa.
“Hei,
Luna! Bagaimana kejutanmu untuk
pacarmu kemarin?"
“Sukses
besar! Dia sangat terkejut lho!”
“Baguslah!
Kelas kamu sudah berusaha keras agar
Kahima-kun tidak mengetahuinya, tahu!”
“Terima
kasih! Berkat itu aku jadi punya kenangan indah di festival budaya ini♡”
Ah,
begitu rupanya. Shirakawa-san bukan
dari kelas E. Apa itu berarti Kasshi baru mengetahui
kalau Shirakawa-san akan
menjadi Bunny Girl sampai kemarin?
Aku juga
baru mengetahui hal itu secara tidak sengaja.
Suatu hari setelah pulang sekolah, aku bertemu Tanikita-san di koridor yang bertingkah galak seperti biasa, “Ap-Apa, lihat-lihat?! Kami hanya membawa
kostum Bunny Girl untuk Luna kok!”
sambil berlari ke kelas B yang bersebelahan. Karena itu, aku hanya berpikir “Oh, jadi Shirakawa-san juga akan menjadi Bunny Girl”.
“...”
Ketika
memikirkan hal itu, aku tiba-tiba teringat. Ternyata alasan kenapa Nisshi menamparku waktu itu karena aku ingin
mengatakan pada Kasshi
bahwa “Shirakawa-san juga menjadi Bunny Girl, jadi kasus
pemotretan diam-diam itu bukan urusan orang lain lagi”.
“...”
Mungkin aslinya memang tidak ada
nyamuk. Yah, terserahlah, itu sudah
tidak penting lagi.
Aku
memang sering baru menyadari sesuatu setelahnya.
“Kamu mau
pesan apa?”
Nisshi
bertanya padaku, dan aku pun melihat-lihat menu.
Lalu si
Oni Gyaru datang menghampiri kami.
“Apa kalian
sudah memutuskan?”
“Belum,” jawab Nisshi.
“Kalau
begitu, pesan ini saja,” kata si
Oni Gyaru sambil menunjuk menu.
Ketika
kami membaca tulisannya, Nisshi dan aku saling berpandangan.
““P-Pafu-pafu!?””
Empat
huruf yang bersinar terang di atas menu itu sukses membuat kami terpaku.
Pafu-pafu!?
Impian
setiap para lelaki... apa maksudnya pafu-pafu* yang itu?! (TN: Onomatope
untuk menggambarkan sesuatu yang lembut dan elastis. Secara khusus, kata ini
sering merujuk pada tindakan membenamkan wajah dalam belahan dada wanita.)
“Hee?!”
Nisshi
terlihat sangat bingung.
“U-Untuk
siapa?! Siapa yang akan melakukannya?!”
“Kalau kamu
sih pasti aku lah? Memangnya
ada orang lain?”
"Ti-tidak,
eeeh?!"
Nisshi
masih terlihat sangat bingung.
“Ka-Kalau begitu, aku pesan itu saja deh!”
Dengan
mata terbelalak, Nisshi memesan “pafu-pafu”. Sebelum
itu, sebaiknya dia disembuhkan dulu dari status MedaPani*-nya. (TN: referensi
dari Dragon quest)
“Kalau
kamu? Kamu juga mau pafu-pafu?”
“Eh?!”
Aku
terkejut ketika si Oni Gyaru menanyakan itu padaku.
“Ak-Aku juga!? Memangnya bioleh...!?”
“Tentu
saja. Kamu ingin siapa? Mau sama Akari?”
“Hah!?”
Apa sih yang dia katakan!? Dari semua orang, aku akan melakukan ‘pafupafu’ dengan
Tanikita-san!? Harus berapa nyawa yang kupunya untuk
bisa tahan dengan itu...!?
“Ta-Ta-Tapi apa dia benar-benar tidak
keberatan dengan itu!?"
Si
Oni Gyaru menjawab pertanyaanku dengan tenang.
“Tentu
saja tidak masalah. Ini kan pesanan dari pelanggan.”
“Tapi,
tetap saja...”
“Baiklah,
aku akan mengambil pesanan kalian.”
Sambil
berkata begitu, si Oni Gyaru
pergi meninggalkan kami.
“.....”
Saat aku
melihat ke arah Nisshi dengan bingung.
“Pafupafu
milik Nikoru...”
Nisshi
juga bergumam dengan tatapan kosong ke arah lain.
Lalu,
beberapa menit kemudian.
“Ini dia~,
pafupafu sudah siap~!”
Si Oni Gyaru datang sambil berteriak
dengan gaya kedai sake, lalu meletakkan sesuatu di atas meja. Ternyata itu
adalah makanan dalam gelas plastik.
Di
atasnya terdapat potongan kecil kue
dan krim putih, serta es krim berwarna merah muda yang menurutku itu rasa stroberi. Rupanya ini adalah parfait berukuran
cupcake.
Dia
meletakkan dua parfait itu di depan Nisshi, lalu membawa kursi dan duduk di
samping Nisshi.
“Parfait-nya ada dua, makanya
jadi
'pafupafu'*,
iya ‘kan!” (TN: Plesetan kata, orang
jepang nyebut parfait dengan ‘pafeit’, yah orang jepang suka banget dengan
pelesetan kata macam begini)
“.....”
Nisshi hanya diam saja.
“Apa,
kamu tidak suka? Dengan aku duduk di
sini bersamamu, kamu bisa
mengobrol dengan Bunny, jadi kamu
seharusnya berterima kasih, tau?”
“Jadi
sistemnya begitu....”
“Ini
kan kafe konsep. Memangnya apa
yang kamu pikirkan? Mana mungkin
kami memberikan layanan erotis, kan?”
“.....”
Meskipun terlihat tidak rela, Nisshi mulai memakan parfaitnya.
“Bagaimana?
Enak?”
“...Iya...”
Meskipun ia berkata begitu, ekspresinya
tampak ingin menangis.
Lalu...
“Eh,
tu-tunggu, Nikorun!? Yang memesan 'pafupafu'-ku itu... jangan-jangan... Ijichi-kun!?"
Tanikita-san datang menghampiri tempat duduk kami. Saat
melihatku di depannya, dia gemetaran seolah-olah akan menjatuhkan nampan berisi
parfait itu.
“Ap-Ap-Ap-Apa!? Kenapa harus aku!?”
“Tidak,
aku sama sekali tidak.... si Oni Gyaru
yang seenaknya memesan sendiri....”
Tapi Tanikita-san tidak mendengarkan
penjelasanku.
“Ja-Jangan-jangan kamu memesan ini
karena berpikir ada hal-hal erotis, ‘kan!?”
“Mana
mungkin begitu”
“Kyaa────
Mustahil, mustahil! Payudaraku ‘kan kecil!”
“Akari,
kamu bukan payudara kecil, ‘kan?
Kalau tidak salah kurang lebih ukuranmu itu C,
kan? Padahal aku juga berukuran D, jadi itu tidak jauh berbeda.”
“Kenapa
kamu malah membocorkannya, Nikorun!?”
Mendengar
ucapan Oni Gyaru, wajah Tanikita-san langsung pucat. Dia
meletakkan nampan di meja lalu menutupi wajahnya.
“Huwaaa,
aku sudah tidak
sanggup lagi!”
Tanikita-san berlari keluar dari kelas sambil merengek.
“Hei,
Akari!”
Si Oni Gyaru
melihat ke arah Tanikita-san yang pergi meninggalkan ruang kelas dan
menampilkan ekspresi “Waduh”. Orang-orang di kelas juga terkejut
melihatnya.
“...D...
ternyata ukurannya D...”
Nisshi
menundukkan pandangannya ke meja, bergumam sendiri dengan menggigit bibir,
sambil memainkan kedua tangannya.
“...Ah,
maafkan aku. Bagaimana dengan parfait ini? Padahal kamu sudah memesan bagian Akari.”
Ketika si Oni Gyaru berkata begitu, aku menyadari bahwa kedua parfait ini menjadi
tagihanku. Sepertinya Nisshi dan si Oni Gyaru
akan membayar bagian mereka masing-masing.
Ternyata memang seperti itu sistemnya di kafe konsep ini. Mungkin itu bukan sistem yang cocok untukku, yang
terbiasa membayar apa yang kumakan sendiri.
“Tidak
apa-apa, aku akan makan dua-duanya.”
Lebih
baik begini daripada harus makan berdampingan dengan Tanikita-san. Meskipun nafsu makanku
sedikit berkurang, tapi tubuhku yang tinggi membuat metabolisme dasar tetap
tinggi, jadi dua parfait kecil ini masih cukup bagiku.
“...Dasar Akari. Dia harus mengatasinya entah bagaimana dengan sikapnya
yang begitu. Semoga sampai lulus nanti dia sudah bisa mengatasinya.”
“Aku
juga berpikir begitu, tapi sepertinya sulit ya... Yang
sebelah sini juga sama saja.”
Si Oni Gyaru
dan Nisshi, entah kenapa terus-terusan melirik ke arahku sambil berbicara tidak
jelas.
Sambil
mendengarkan sekilas, aku meraih parfait pertama.
“Enak.”
Rasanya
seperti krim nabati yang dijual di supermarket. Meski sederhana, rasa ini
memang paling cocok untuk lidahku, seperti jajanan masa kecilku dulu. Saat ada
pancake dengan krim yang disuguhkan di
atasnya, aku selalu bersemangat
memakannya.
“...Ternyata
tetap sia-sia ya.”
Sambil
melihatku, si Oni Gyaru
menghela napas putus asa.
“Itu sih
tentu saja, memang Tanikita-san
yang harus mencoba sesuatu.”
Apa sih yang
sedang mereka bicarakan? Tentu saja Tanikita-san yang harus melakukan
sesuatu. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun (selain menyatakan perasaan
setahun yang lalu), tapi dia sendiri yang tidak menyukaiku.
“Ngomong-ngomong,
tidak apa-apa, nih?”
Tiba-tiba,
Nisshi bertanya pada si Oni Gyaru
seolah-olah ingin mengganti topik pembicaraan.
“Apanya?”
“Aku
makan parfait bersamamu... Apa pacarmu
tidak datang?”
Setelah mendengar
pertanyaan Nisshi, si Oni Gyaru
mengusap-ngusap rambut panjangnya sambil
berpikir.
“...Entahlah.
Aku sudah mengajaknya, tapi dia bilang 'kalau sempat akan datang' gitu.”
“Hmm...
memangnya kamu tidak bilang kalau mau jadi Bunny girl?”
“Tentu
saja aku sudah bilang. Aku
juga sudah mengirim foto selfie.”
“Ah,
jangan-jangan ia sudah puas dengan itu? Seharusnya kamu tahan dulu, dan membuat 'kejutan' saat ia datang.”
“Wahh
seriusan? Sepertinya
aku salah strategi.”
Si Oni Gyaru
menampilkan senyum masam. Tapi
tiba-tiba, dia berubah menjadi serius dan meletakkan sendok plastik ke dalam
wadah. Nisshi dan si Oni Gyaru sudah selesai memakan parfait mereka.
“...Tapi,
bukannya itu sangat disayangkan kalau ia susah-susah datang padahal ia sedang sibuk belajar? Aku takut kalau nilainya jadi turun gara-gara aku.”
Nisshi hanya diam dan menatap si Oni Gyaru.
“Waktunya
tinggal 3 bulan lagi sampai ujian masuk.
Kalau ia bisa lulus
dengan cepat dan bisa bebas, aku malah merassa senang.”
“...Iya
sih.”
Baik Nisshi maupun si Oni Gyaru sama-sama terlihat
tidak nyaman ketika membicarakan itu.
Kadang-kadang
aku merasa sulit memahami apa yang dipikirkan orang lain.
Kali ini pun begitu.
Seandainya
semua orang bisa dengan jujur mengatakan apa yang mereka pikirkan.
Dalam hal
ini, Tanikita-san bisa
dibilang sangat mudah dipahami. Dengan segala kebenciannya yang diarahkan kepadaku, bahkan aku yang bukan
siapa-siapa pun sadar kalau aku sedang
dibenci.
♧♧♧♧
Setelah
itu, aku juga selesai makan parfait, kemudian aku dan Nisshi keluar dari kelas.
“Sekarang sudah jam 3 lewat nih. Masih ada 1 jam lagi sebelum acara festival budaya ditutup...”
Nisshi bergumam sambil memeriksa
ponselnya.
Acara
festival budaya ditutup pukul 4 sore. Hari ini adalah hari kedua sekaligus hari
terakhir, setelah itu ada pesta perayaan. Kami berdua tidak berencana ikut pesta perayaan, tapi Nisshi bersemangat untuk menjaga si Oni Gyaru dari penguntit, jadi kami
mungkin akan tetap di sini sampai sekitar jam 4.
Saat kami
sedang berjalan-jalan di dalam gedung sekolah dan melihat-lihat kegiatan klub
yang menampilkan pameran, tiba-tiba Nisshi
berseru.
“Ah!”
Nisshi melihat ke arah ruangan kelas
tertentu yang hendak kami lewati.
“Pameran
Klub Seni di kelas ini ya. Kalau tidak salah mereka
menyediakan layanan melukis
potret wajah, ‘kan?”
Sambil
berkata begitu, Nisshi tampak
tertarik untuk mengintip ke dalam kelas.
“Ah
iya, Nisshi, kalau tidak salah kamu dulu
anggota Klub Seni sewaktu
SMP, ‘kan?”
“Iya,
benar! Katanya Nikoru juga pernah ikut Klub Seni waktu
SD, makanya kami berdua jadi
semangat.”
“Kalau
begitu, kenapa kamu tidak mengajak si Oni Gyaru
ke sini?”
“Ah,
tapi dia kan sudah ada shift di kafe cosplaynya sampai
tutup acara...”
Ekspresi
Nisshi tiba-tiba membeku saat
mengatakan itu.
Untuk
mengetahui alasannya, aku pun mengintip ke dalam kelas.
Ruangan
kelas untuk pameran itu memiliki dekorasi yang
cukup sederhana. Di sepanjang dinding terpajang lukisan potret wajah yang
sepertinya dibuat oleh anggota Klub Seni. Ada banyak selebriti yang dikenal
orang, juga beberapa guru di SMA Seirin.
Di dalam
kelas, ada kursi-kursi yang disediakan, dan anggota Klub Seni sedang melukis
wajah pengunjung yang duduk berhadapan dengan mereka. Ada 3 anggota Klub Seni yang
sedang melukis, dan ada sekitar 2 pasang pengunjung yang sedang mengantri.
Di antara
pengunjung yang mengantri,
ada satu pasangan pria-wanita, dan wanita itu mengenakan kostum kelinci... Pada saat itu aku langsung mengerti alasan keheningan Nisshi.
Mereka
adalah si Oni Gyaru dan pacarnya, kalau tidak salah nama pacarnya adalah
Sekiya-san, teman Kasshi di
sekolah bimbel. Aku ingat mereka pernah pergi bersama saat study
tour, jadi meskipun aku susah mengingat nama dan wajah orang, kali ini aku
masih bisa mengingatnya.
Si Oni Gyaru
dan Sekiya-san terlihat berbincang sambil
bersandar satu sama lain. Meskipun aku tak bisa mendengar suara mereka, Sekiya-san tampak membisikkan sesuatu,
dan si Oni Gyaru menepuk-nepuk lengannya sambil berkata ‘Tidak mau’, lalu
melingkarkan lengannya di lengan Sekiya-san.
“...”
Nisshi masih terdiam.
“Itu pasti
si Oni Gyaru.”
Aku
bergumam, sesuatu yang pasti akan diketahui siapa pun yang melihatnya.
“Mungkin
dia disuruh teman-temannya 'pergi dulu saja sebentar'
karena masih pakai kostum Bunny Girl.”
“...Mungkin
saja.”
Lalu Nisshi juga angkat bicara.
“Semua
teman-temannya tahu
kalau Nikoru jarang bisa ketemu pacarnya karena pacarnya adalah calon peserta ujian.
Cewek-cewek biasanya baik sama teman yang lagi galau masalah cinta.”
Jadi,
ternyata pameran Klub Seni yang tadi jadi bahan pembicaraan kami dengan Nisshi, ternyata ada sisi kelam yang
tak kusangka. Aku sampai kagum bagaimana bisa ada perasaan seperti itu.
“....Apa kamu mau ikut mengantri untuk
dilukis potretnya, Nisshi?”
Aku
berusaha sebaik mungkin membujuknya, tapi Nisshi
malah tertawa dan berkata “Hah?”.
“Basa-basi
juga ada batasannya kali. Ayo pergi.”
Ternyata
Nisshi masih cukup bersemangat.
“Kalau
kamu pengin punya potret, aku bisa menggambarnya untukmu
lain kali deh, Icchi.”
“Beneran?
Aku jadi ingin melihatnya.”
“Tapi,
rasanya lebih seru kalau digambar waktu
kamu gemuk dulu sih.”
“Boleh
juga tuh, gambar sebelum-sesudah.”
“Eh,
kalau kamu tampil, nanti ada anak-anak seni yang mau gambar kamu lho.”
“Oh
gitu ya? Kalau begitu, kurasa aku akan coba-coba mengunjunginya lah.
Kira-kira aku bakalan populer enggak
ya?”
“Pasti
populer lah. Lebih dari anak-anak di sekolah
kita. Banyak cewek-cewek yang lagi cari mangsa.”
“Wah,
kayaknya aku ada
kesempatan nih.”
Sambil
mengobrol begitu, kami berjalan-jalan tanpa tujuan di dalam gedung sekolah.
“...Nah,
sekarang kita mau ngapain?”
Karena
sebentar lagi sudah mau tutup,
kelas-kelas yang sepi pengunjung mulai beres-beres. Mengganggu ke kelas lain juga
kurang enak rasanya sekarang.
“...Maaf,
Icchi.”
Tiba-tiba
Nisshi berhenti berjalan.
“Hm?”
“Tapi
aku tetap mau menangkap si pelaku penguntit itu.”
“Hah?”
Aku mengira ia mau bicara apa, ternyata soal
itu lagi.
“Oke, tapi gimana caranya?"
“Aku
bakal menjaga di depan ruang ganti Kelas E.”
“Haah...”
Caranya terlalu sederhana.
“Tapi
kalau cuma jaga-jaga saja, nanti
pelakunya enggak
datang, ‘kan?”
“Yah,
nggak apa-apa. Setidaknya aku bisa
mencegah penguntitan.”
“...Begitu ya.”
Nisshi benar-benar sangat menyukai si Oni Gyaru ya.
“Sebentar
lagi akan tutup, jadi aku pergi dulu ya.”
“Uh,
oke...”
“Sampai
nanti.”
“Iya...”
Nisshi mulai berjalan menyusuri koridor
menuju tangga. Aku hanya bisa melihat punggungnya pergi tanpa bisa berbuat
apa-apa.
“...”
Sebenarnya
aku juga sedang senggang, jadi aku bisa
saja pergi bersamanya. Tapi aku merasakan aura Nisshi yang seakan tidak ingin didekati
orang lain, jadi aku tidak berani mengajaknya.
“...Ah,
sudahlah.”
Aku
memutuskan untuk pulang
dan belajar seperti murid yang sedang menghadapi ujian.
Dengan
memikirkan itu, aku mulai berjalan menuju tangga beberapa
saat setelah Nisshi,
tiba-tiba...
“Kamu
lagi-lagi melakukan itu, ya, Akari-chan?”
Aku
mengenal suara itu. Aku melihat
di ujung koridor ada Kurose-san. Orang yang sedang berbicara dengannya
adalah... Tanikita-san.
Tanikita-san masih mengenakan kostum Bunny girl. Kalau
diingat-ingat lagi, tadi dia sempat kabur saat sedang melayani pengunjung.
Tanikita-san tampak lesu, seakan sedang
dimarahi.
“Sudah
kubilang, kamu harus bersikap lebih jujur, 'kan?”
Ketika mendengar
itu, Tanikita-san
mengangkat wajahnya dan menatap Kurose-san.
“Tapi
itu 'kan mustahil! Selama ini aku sudah membuatnya
membenciku, jadi mana mungkin sekarang bisa membuatnya menyukaiku lagi!”
“Kalau
kamu terus bersikap seperti itu, kamu malah akan semakin dibenci, lho?”
“Uwaaa,
dasar Marimero jahat! 'Semakin' katanya,
jadi memang benar aku sudah dibenci, ya?!”
“Tapi
'kan kamu sendiri yang bilang begitu...”
“Kalau
orang lain yang bilang, rasanya lebih
menyakitkan, tahu!”
“Sikapmu
yang terlalu sensitif seperti ini juga bukan sikap yang baik, lho.”
Kurose-san
menatap Tanikita-san
dengan pandangan jengkel.
“Ngomong-ngomong,
bukannya itu jadi masalah kalau kabur dari tugasmu?”
“Tapi...
tapi... aku tidak bisa kembali dengan perasaan seperti ini!"
“Kalau
begitu, lebih baik kamu tanyakan langsung pada orangnya. 'Kenapa kamu
memesan bagianku?' itulah yang membuatmu
penasaran, ‘kan? Mungkin saja kamu tidak dibenci, dan kamu
tidak bisa kembali karena masih penasaran dengan hal itu, 'kan?”
“Benar
sih... tapi tetap saja, aku tidak bisa...”
“Jangan
terus-terusan berkata seperti itu. Sekarang, coba putuskan, mau kembali ke
kelas atau langsung tanya pada orangnya? Aku juga harus belajar, jadi aku mau pulang sekarang. Aku cuma
ingin melihat Luna dan Akari-chan
pakai kostum bunny girls saja, jadi aku hanya mampir sebentar.”
Pada saat
itu, Kurose-san yang terlihat bingung mengalihkan
pandangannya, dan tatapan matanya
bertemu denganku.
“Nah,
itu dia. Kesempatan yang bagus,
'kan?”
Kurose-san
berkata pada Tanikita-san
sambil melihatku.
“...?”
Tanikita-san mengerutkan kening dengan
bingung, lalu mengarahkan pandangannya ke sekelilingnya. Dan kemudian...
“Hah?!”
“.....!”
Aku
buru-buru berusaha mengalihkan pandangan dan mencoba untuk pergi menjauh, tapi
sepertinya sudah terlambat. Tanikita-san
jelas-jelas melihatku dan langsung berteriak.
Lalu entah
kenapa, Kurose-san mendorong punggungnya dan Tanikita-san berjalan mendekatiku dengan
tidak jelas alasannya.
“...Ap-Apa?”
Aku berkata
demikian saat Tanikita-san
berhenti di depanku.
Aku tidak
tahu apa yang mereka berdua bicarakan
tadi, tapi aku tidak salah apa-apa.
Selama
ini pun, aku tidak pernah melakukan kesalahan
apa-apa.
Tapi Tanikita-san tetap saja datang mengomeliku
tanpa alasan.
Aku
bertanya-tanya apa yang akan dia katakan kali ini... saat aku menegang,
tiba-tiba...
“...”
Tanikita-san
tiba-tiba jadi gugup dan mengalihkan pandangannya dariku.
Lho?
Tingkahnya kali ini agak berbeda.
Itulah
yang kupikirkan sambil menunggu kata-katanya karena
merasa bingung.
“...He-Hei, ikut aku sebentar. Kita tidak
bisa bicara di sini.”
Memang
benar, di sini adalah koridor yang ramai dengan lalu-lalang siswa dan
pengunjung. Tapi pembicaraan macam apa yang tidak bisa dilakukan di sini?
Meski aku masih merasa penasaran, aku diam-diam mengikuti
Tanikita-san. Dia berjalan melewati garis
pembatas [Dilarang
Masuk Selain Yang Berkepentingan]
dan menuju tangga di ujung koridor. Di sana, di anak tangga teratas, dia
berhenti.
“...Ke-Kenapa ke tempat seperti ini...?”
Meskipun bersama Tanikita-san, aku tetap gugup berada
berdua saja dengannya di tempat sepi. Tanikita-san
masih terlihat aneh, dengan wajah memerah dan sikap malu-malu, dia juga sesekali melirikku lalu mengalihkan
pandangan.
“...Be-Begini...”
Tanikita-san memulai pembicaraan. Dia dengan gelisah menggosok-gosokkan kedua
tangannya di depan tubuhnya, dan sesekali
melirikku ragu-ragu.
Aku
berdiri di atas anak tangga, sementara Tanikita-san
berdiri satu anak tangga di atasku. Meski begitu, dia masih harus mendongak
untuk melihatku, membuatku sadar betapa mungilnya dirinya.
“...A-Apa?”
Entah
kenapa aku jadi gugup, dan suaraku terdengar bergetar.
“...”
Tanikita-san kembali jadi malu-malu.
“.....tadi....”
Dia
sepertinya mengatakan sesuatu, tapi suaranya terlalu pelan untuk kudengar.
“Eh?”
“...Tentang
yang tadi itu, apa itu benar...?”
Tanikita-san bertanya padaku lagi sambil sesekali melirik.
“Yang
tadi?”
Aku merasa kebingungan dan mencoba mengingat kejadian di
ruang kedai kafe tadi, tapi Tanikita-san tiba-tiba berkata dengan
panik.
“I-Itu lho! Kamu bilang ingin
'pafupafu' denganku!”
“Hah?!”
Aku
benar-benar bingung karena
tidak mengerti apa yang sedang dia tanyakan.
Lagipula, apa
maksud dari 'pafupafu' yang dia
ungkit? Kalau yang di kafe
tadi 'pafupafu' artinya 'dua parfait'.
“...Tidak,
itu cuma gara-gara pesanan sepihak si Oni Gyaru saja...”
“Eh...?”
Tapi
sebelum aku bisa menjelaskan, ekspresi Tanikita-san tiba-tiba berubah total.
Wajahnya
mendadak terlihat sedih, seolah-olah
akan menangis.
“Jadi,
Nikorun yang secara sepihak memesan semua itu...?”
“!?”
Kenapa kamu
malah bereaksi seperti itu!?
“Bukan
secara sepihak memesannya... yah, aku juga tidak
benar-benar menolaknya, sih...”
Tanpa
sadar, aku mencoba memperbaiki situasi.
“Eh?”
Ekspresi
sedih di wajah Tanikita-san seketika menghilang, dan dia mulai merasa malu
lagi.
“Jadi,
sebenarnya Ijichi-kun yang
memesan itu...?”
“Eh!?”
Aku
sangat terkejut saat dia bertanya dengan tatapan memohon.
Benar,
sebenarnya, secara penampilan, Tanikita-san memang tipe idaman untukku.
Jika dia
selalu bersikap malu-malu seperti ini, aku bisa... tidak, apa yang sedang aku
pikirkan? Aku sudah pernah ditolak mentah-mentah olehnya.
Tapi
melihatnya seperti ini, aku hampir salah paham.
“Da-Daripada
aku yang memesan itu...”
“Apa itu
salah?”
Tanikita-san menatapku dengan tatapan seperti
anak kucing, saat aku terbata-bata.
“Yah...
bukan begitu...”
“...?”
Dia
memiringkan kepalanya dengan bingung, dan menatapku dengan tatapan memohon,
membuatku tak kuasa untuk tidak berbohong.
“...Itu sama sekali tidak salah.”
Orang yang
memesan “pafupafu” Tanikita-san adalah si Oni Gyaru, dan aku
tidak tahu apa maksudnya, jadi aku membiarkannya
begitu saja.
Tapi
entah kenapa, aku tidak dapat mengatakan hal itu.
“...Begitu
ya...”
Pipi Tanikita-san sedikit memerah. Dia masih
terlihat malu-malu.
“...Ke-Kenapa kamu memilih aku...?”
“Eh...?”
Jika
ditanya begitu, aku hanya bisa menjawab “Karena
si Oni Gyaru yang memesannya.”
Saat aku
bingung untuk menjawab demikian atau tidak,
Tanikita-san kembali berbicara.
“...punyaku tidak sebesar Lunachi, tapi... apa kamu tidak keberatan?”
“Eh!?”
Jadi, maksud ‘pafupafu’ itu memang memiliki arti seperti
itu!?
“Ap-Apa
yang kamu bicarakan...!?”
“Ma-Makanya!
Kamu ingin melakukan 'pafupafu' denganku, iya ‘kan!?” teriaknya dengan putus asa.
“Apa...!”
Jika aku boleh mengatakannya dengan jujur,
sebenarnya, aku ingin melakukannya. Aku tidak
peduli dengan siapa saja asalkan dia gadis yang manis.
Tapi, jika menyangkut apakah aku ingin Tanikita-san melakukannya
atau tidak, aku ingin
dia yang melakukannya. Terutama saat dia sedang malu-malu seperti ini.
“......”
Aku tidak
tahu bagaimana menjelaskan semua catatan kaki itu, jadi aku tetap diam.
“Ja-Jadi,
yang mana...? Kamu ingin melakukan 'pafupafu' denganku, ‘kan...?”
“...Ya.”
Aku hanya
mengangguk, karena sudah merasa terlalu
kebingungan.
“...!?”
Kemudian, Tanikita-san membuka matanya lebar-lebar.
Setelah ekspresi terkejut itu, wajahnya memerah dan dia mulai gemetaran.
“Ja-Jadi,
a-apa maksudnya itu...!?”
Bibirnya
gemetar. Wajahnya memerah, seolah-olah dia
sedang menahan amarah.
“...!”
Aku jadi teringat kembali tentang peristiwa festival budaya tahun lalu.
Wajah
Tanikita-san yang menghajarku habis-habisan
dengan ucapan-ucapan yang menohok itu, kini muncul di hadapanku.
“Ja-Jadi,
i-itu berarti, ka-kamu, me-menyukaiku sebagai se-seorang perempuan!?”
“Hiii...!”
Aku
gemetar. Aku akan ditolak lagi. Walaupun
kali ini aku tidak menyatakan perasaanku
atau semacamnya, aku akan dicampakkan
lagi.
Perutku
terasa mual karena trauma tersebut, dan darah di wajahku
seakan hilang.
“Bu-Bukan—”
Tanpa
sadar, aku berteriak.
“Bukan! Bukan begitu,
dasar jelek!”
Keheningan
yang mencekam pun terjadi.
“......”
Tanikita-san menatapku dengan matanya yang
membuka lebar. Tatapan matanya
terlihat kosong, hanya terpaku di sana.
“...Je-Jelek...?”
Dia
bergumam dengan linglung seolah-olah tak
percaya.
“Siapa?
Aku?”
“...I-iya, memang.”
Aku tak
dapat menarik ucapanku, jadi aku hanya mengangguk.
“Hah?
Tapi bukannya kamu ingin 'pafupafu' denganku, ‘kan? Atau jangan-jangan kamu suka dengan perempuan yang
jelek?”
“...Bukan,
itukah sebabnya....”
Aku harus
mencari alasan.
“Sebenarnya,
aku tidak peduli siapa perempuannya...”
Kemudian,
kerutan muncul di dahi Tanikita-san.
“Hah!?”
Dalam
sekejap mata, wajahnya berubah menjadi marah.
“Apa-apaan itu? Kelakuan semacam itu sangat brengsek,
tau!”
Aku tahu
itu memang tidak baik, tapi aku sudah terlanjur masuk ke dalam alur ini, jadi
tak ada pilihan lain selain meneruskannya.
“Memangnya
kamu merasa senang melakukan
'pafupafu' dengan gadis yang jelek
dan berdada kecil yang sama sekali bukan tipemu!?”
“Tentu
saja aku merasa senang! Karena aku disuruh mengikutimu, jadi aku menurut saja!”
“Kamu benar-benar pria yang
menyebalkan! Mendingan pergi saja
ke tempat pelac*ran!”
“Aku
masih SMA jadi mana mungkin aku bisa ke sana!
Aku akan langsung
ke sana setelah lulus nanti!”
“Kenapa
kau bisa mengatakan hal memalukan itu dengan lantang!? Menjijikkan! Mendingan kamu mati saja sana!”
Pada
titik ini, ‘pafupafu’ sudah tidak lagi berarti
apa-apa.
Sementara
itu, dari bawah terdengar suara murid-murid yang bertanya "Ada apa, pertengkaran?”
dan “Bagaimana kalau panggil
guru?”, membuatku dan Tanikita-san panik dan segera turun ke
koridor dengan wajah datar.
“...Sekarang
aku jadi memahamimu”
Setelah
melewati garis pembatas dan kembali
ke koridor yang ramai, Tanikita-san
berkata pelan.
Lalu, dia
mengangkat wajahnya dan menatapku dengan tajam.
“...Kamu benar-benar pria brengsek! Aku
benar-benar benci padamu!"
Meskipun
dia berkata begitu, hatiku tidak tergerak.
“Aku
tahu itu. Sejak setahun yang lalu...”
Tapi, aku masih merasakan sedikit
rasa sakit di dalam dadaku. Apa-apaan dengan perasaan
ini?
“Jadi,
jangan pedulikan aku lagi”
“Aku
memang tidak peduli padamu!”
Meskipun
Tanikita-san terlihat kesal saat
berbicara, aku juga
segera membalas.
“Kamu pasti meminta perhatian dengan
cara seperti ini, ‘kan...”
“I-Itu karena... kau memesan
'pafufafu' di kafe tadi!”
Pada saat
kami saling berdebat seperti itu,
“'Pafufafu'?”
Terdengar
suara seorang pria yang berhenti berjalan di antara orang-orang yang lewat, dan
mendengar percakapan kami.
Pria itu
tampak seperti orang biasa, berusia sekitar dua atau tiga puluhan.
“Onee-san,
apa kamu benar-benar akan memberi
'pafufafu'? Di ruang kelas mana?”
“E-eh,
bukan 'memberi'.... tapi itu
adalah kafe kelas 3-E”
Tanikita-san menjawab dengan bingung
karena tiba-tiba ditanya oleh orang asing.
“Tapi
kurasa pesanan terakhir sudah berakhir, karena sekarang sudah hampir pukul 4...”
Setelah mendengar
itu, pria itu terlihat kecewa dan menjatuhkan
bahunya.
“Ohh,
begitu rupanya...”
Pria itu
kemudian memperhatikan Tanikita-san
dari atas ke bawah dengan tatapan nakal.
“Kalau
saja Nona mau memberiku 'pafufafu', aku pasti akan memesan.
Ngomong-ngomong, namamu siapa?”
“...Ta-Tanikita.”
“Hmm,
begitu ya. Baiklah, sampai jumpa lagi.”
“Ma-Maaf...”
Bahkan
Tanikita-san yang biasanya tenang, tampak sedikit gemetar.
Setelah
itu, pria itu berjalan pergi.
“.....”
Rasanya
orang itu sedikit mencurigakan.
Tatapannya terlihat menjijikkan, dan aneh rasanya melihat seorang pria dewasa
yang bukan orangtua murid, sendirian di festival budaya sekolah SMA. Mungkin dia punya teman di sekolah ini.
Kemudian saat
itu,
“Akari!”
Shirakawa-san muncul dari ujung koridor. Dia
masih mengenakan kostum Bunny.
“Akhirnya
ketemu! Aku sudah meneleponmu tapi tidak diangkat-angkat.”
“Eh,
benarkah?! Maaf, Lunachi!”
Tanikita-san terlihat panik, dan mulai
mencari-cari tas kecilnya.
“Setelah
acara utama, kita semua sepakat untuk mengadakan pesta kecil-kecilan, jadi aku
ingin memberitahumu sebelum pulang!”
“Begitu
ya, maaf! Tapi mana mungkin aku pulang dalam kostum Bunny ini, ‘kan?”
“Aku
tidak tahu apa Akari sudah ganti baju atau belum.”
Shirakawa-san tertawa masam, dan Tanikita-san juga tertawa, “Memang benar, sih.”
“Ah,
Akari, kamu belum
ganti baju? Aku mau pergi ganti baju sekarang
karena kafenya sudah tutup.”
“Ah,
iya! Aku juga akan pergi ganti baju!”
Saat
kedua orang itu tampak akan berjalan bersama, Shirakawa-san melihat ke arahku dan membuat
ekspresi “Ah”.
“Ijichi-kun!”
Tampaknya
dia baru menyadari keberadaanku. Ini berkat usahaku yang berhasil
menyembunyikan kehadiranku sekitar dua meter dari Tanikita-san.
Shirakawa-san tersenyum ramah padaku, sosok
yang seperti ninja introvert ini.
“Kamu sedang berkeliling festival
budaya bersama Akari?”
““Eh?!””
Aku dan
Tanikita-san sama-sama berseru.
“Te-Tentu
saja tidak!”
“Iyalah, Lunacchi, apa sih yang kamu katakan?!”
“Lalu,
kalian berdua cuma kebetulan bertemu dan
mengobrol?”
Shirakawa-san menunjukkan wajah bingung.
“Da-Daripada
dibilang mengobrol...”
Ini bukan
sesuatu yang santai untuk dijelaskan, dan lagipula aku juga tidak cukup dekat
dengan Shirakawa-san untuk berbicara
dengan santai.
“...Hee,
jadi ada sesuatu yang tidak bisa kamu ceritakan padaku?”
“Bu-Bukan
begitu, kok!"
“Hmm,
kok rasanya mencurigakan, ya.”
“Ti-Tidak
ada yang mencurigakan, tau!”
Aku dan
Tanikita-san berseru bergantian, ketika
Shirakawa-san memandang
kami dengan curiga.
“Sudahlah,
ayo cepat ganti baju, Lunacchi!”
Tanikita-san menarik lengan Shirakawa-san dan memaksanya berjalan.
Setelah
melihat punggung mereka, aku berubah pikiran dan mulai berjalan beberapa meter
di belakang mereka.
Karena aku
teringat pada Nisshi.
Nisshi
selalu bersemangat mencari pelaku pemotretan diam-diam, jadi aku berpikir jika
mengikuti mereka, aku akan menemukan Nisshi. Setelah datang sejauh ini, aku
ingin pulang bersama Nisshi.
Agar
tidak ketahuan lagi oleh Tanikita-san,
aku kembali menyembunyikan kehadiranku seperti ninja introvert.
♧♧♧♧
Ruang
ganti siswa perempuan kelas 3-E berada di dalam area yang diberi garis
pembatas, di lantai yang sama dengan ruang kelas tempat mereka mengadakan acara kafe.
Aku tahu
itu karena Nisshi berdiri dengan tatapan tajam di lorong di depan area
tersebut.
Meskipun
di dalam area pembatas, siswa yang masih di sekolah tetap berjalan normal.
Karena sebelum acara berakhir, banyak orang berlalu-lalang untuk membereskan
sesuatu. Nisshi mengawasi setiap orang dengan waspada.
Pandangan
tajam Nisshi tertuju pada Shirakawa-san
dan Tanikita-san yang akan masuk ke ruang
ganti.
“Ah,
Nishina-kun. Ada apa?”
“Dia
sedang berjaga-jaga agar tidak ada orang mencurigakan yang masuk ke ruang ganti,” Shirakawa menjawab dengan ramah.
“Terima kasih sudah bekerja keras!
Lalu, Nikoru lagi ada di mana?”
“Dia
belum datang.”
“Oh,
begitu ya.”
Setelah
Shirakawa-san dan Tanikita-san masuk ke dalam kelas, Nisshi
melihat ke arahku.
“...Hei,
Icchi.”
“Jadi
kamu benar-benar sedang
berjaga-jaga? Sejak tadi?”
“Ya.
Aku baru saja kembali dari toilet sebentar, selain itu aku terus menjaga di
sini.”
“Wehh, hebat
juga.”
Kalau
begitu, jika ada pelaku pemotretan diam-diam, dia pasti akan langsung pergi.
Saat aku
berpikir demikian, tiba-tiba...
“Eh?!
Tidak mungkin!”
Aku mendengar
suara Tanikita-san dari
dalam kelas.
“Ada
apa, Akari?”
Itu suara
Shirakawa-san.
“Hei
Lunacchi,
kamu tahu enggak di mana pakaian dalamku?!”
Tanikita-san berseru demikian.
“...?!”
Aku dan
Nisshi saling bertukar pandang.
“Eh,
memangnya tidak ada?”
“Ya...
Harusnya aku meletakkannya di atas sepatu, tapi...”
“Seperti
apa modelnya?”
“Set
bra dan celana dalam berwarna ungu lavender, model biasa dengan renda.”
“Ah,
yang itu ya.”
Terdengar
suara mereka mencari-cari di dalam. Sepertinya hanya ada mereka berdua di dalam
kelas.
“Eh,
benar-benar tidak ada? Apa kamu
yakin meletakkannya di sini...?”
“Aku
memang meletakkannya! Lagipula tasku juga ada di sini, jadi mana mungkin aku
membawanya pergi, ‘kan?”
“Kalau
begitu, coba periksa di dalam tas?”
“Tetap tidak ada, tahu!”
Terdengar
suara barang-barang yang berjatuhan, seperti isi tas yang dituang.
“Hmm...
tapi aneh, kok cuma pakaian dalamnya saja yang hilang? Sepatu olahraganya masih
ada, kan?”
“Ya...”
Pada saat
itu, timbul pertanyaan sederhana di benakku.
“...Lalu,
kenapa dia melepas
pakaian dalamnya? Apa
yang dia pakai dibalik kostumnya
sekarang?"
Aku
bertanya dengan sedikit berdebar, dan Nisshi pun tampak tidak nyaman dan
mengalihkan pandangannya.
“I-Itu... Aku bahkan belum bertanya
pada Nikoru... Tapi mungkin, karena kostum
Bunny ini terbuka, jadi... pakaian dalam yang biasa mungkin
akan terlihat...”
“...Jadi bisa kelihatan ya...”
Aku tanpa sadar menelan ludahku.
Lalu, aku
membayangkan para gadis dengan kostum Bunny Girl
itu memakai jenis pakaian dalam macam apa...
atau jangan-jangan... tidak memakai apa-apa
sama sekali!?
Pada saat
aku melamuni itu...
“Sial,
ternyata tidak bisa ambil gambarnya,”
Suara
seorang lelaki yang terdengar kecewa membuat Nisshi
bereaksi dengan cepat.
Tiga
orang siswa laki-laki berjalan dari ujung koridor. Salah satunya adalah anggota
klub sepak bola yang pernah berteman
baik dengan Shirakawa-san saat kelas 2 dulu.
Anehnya, ia membawa bola sepak di keteknya.
“Memang
dari beranda tidak bisa ya. Celahnya sempit banget.”
“Jadi,
bagaimana? Mau balas dendam? Masih ada
cewek yang belum ganti baju, lho?”
“Ya, enggak
mungkin lah.”
“Kalau
begitu, dari koridor aja?”
“Enggak,
hari ini ada banyak orang yang berlalu-lalang di
koridor...”
Saat
lelaki itu berbicara, tatapan matanya
bertemu dengan mata Nisshi.
“Jangan-jangan...
kalian ya pelaku dari pemotretan diam-diam itu...!?”
Nisshi bertanya dengan ragu-ragu, namun
suaranya bergetar. Dia hebat berani
bicara dengan para siswa populer seperti itu.
“Hah,
sembarangan saja kalau nuduh~.”
“Iya.
Kalau bisa mengambil
dengan bagus, nanti kami bagi-bagi deh. Jangan dilaporin
ya.”
Para
siswa populer itu tertawa-tawa, tapi Nisshi
menatap mereka dengan wajah serius.
“Ak-Aku
tidak membutuhkannya! Jangan meremehkan aku! Kasihan cewek-cewek yang
direkam, tau! Aku bakalan lapor guru!"
Nisshi yang mengatakan itu dengan muka geram
membuat para siswa populer itu sedikit takut.
“I-iya,
hari ini memang enggak
bisa ambil kok.”
“Iya,
kami sudah siap-siap mau ambil gambar cewek, tapi yang kefoto malah om-om aneh.”
“Nah,
kalau mau lapor, laporin tuh orang aja, jangan kami.”
Setelah mendengar
perkataan anggota tim sepak bola itu, temannya menunjuk ke arah belakang kami.
“Tuh,
orangnya!”
“Memangnya
kalian pikir aku langsung percaya saja saat
kalian nyari kambing hitam...”
Nisshi berbalik sambil masih merasa waspada terhadap mereka,
dan aku juga mengikuti arah pandangannya.
“Ah!”
Tanpa
sadar aku berteriak cukup keras, karena aku mengenali orang yang ada di sudut
koridor, sedang mengobrak-abrik tas hitam.
“Orang itu...
ia adalah orang yang tadi bicara aneh-aneh
sama Tanikita-san.”
“Seriusan!?”
“Ia bahkan
menanyakan nama Tanikita-san
juga... Mungkin isi tasnya itu pakaian dalam Tanikita-san
yang dia curi sewaktu
Nisshi ke toilet.”
“Berarti
tas itu, ya!?”
Setelah
mengatakan itu, Nisshi dengan
berani berjalan mendekati pria itu.
“Eh...”
Oi, oi,
hari ini Nisshi kerasukan apa sih?
Apa ia saking inginnya mendapat pujian
dari si Oni Gyaru? Atau memang murni karena
marah? Atau malah merasa sangat
kesal ketika melihat kemesraan Oni Gyaru dan pacarnya sehingga ia ingin
melampiaskannya?
“Hah,
a-apaan sih!?”
Tiba-tiba
Nisshi menyerang pria itu, membuatnya
panik dan berusaha kabur.
“Tunggu!
Serahkan tas itu!”
Tapi pria
itu tetap memeluk tas hitamnya
dengan erat dan tidak mau
menyerahkannya.
Nisshi melingkarkan tangannya di
belakang pria itu, menguncinya dalam posisi pegangan.
“Sekarang,
Icchi! Ambil tas itu darinya!”
“Ba-Baik...!”
Tergerak
oleh perjuangan temanku yang pemberani
itu, aku bergegas maju dan dengan sekuat tenaga merebut tas hitam itu dari tangannya.
“Ap-Apa
yang kalian lakukan... Sialan!”
Setelah
melepaskan diri dari Nisshi, pria
itu tampaknya telah menyerah untuk mendapatkan kembali tas itu, dan lari
terburu-buru di koridor seolah-olah berusaha kabur.
“Jangan
biarkan dia kabur!”
Anehnya, teriakan
Nisshi justru
dijawab oleh anggota tim sepak bola, “Okee!”
“Lihat
saja keahlian menendangku yang sudah diasah hanya untuk membuat cewek-cewek
bersorak-sorai!”
Entah
mengapa,
ia dengan bangga meneriakkan motif kotornya yang tidak pernah terpuji itu, lalu dengan gerakan indah
menendang bola sepak ke arah pria yang melarikan diri.
Bola itu
meluncur lurus, seolah mengejar pria itu di antara kerumunan orang, dan
akhirnya menghantam lehernya.
“Uwah!”
Pria itu
terjatuh ke lantai koridor sambil memegang lehernya.
“Tangkap
orang itu! Ia pencuri pakaian dalam!”
Teriakan
Nisshi membuat siswa-siswa di sekitar
mulai ramai. Beberapa siswa laki-laki kemudian menyerang pria itu dengan
tangkapan.
“Aduh!
Ampuni aku! Itu hanya refleks sesaat
saja...!”
Akhirnya,
pelaku yang mencurigakan itu bisa tertangkap.
♧♧♧♧
Guru-guru
yang dipanggil oleh para siswa akhirnya datang
dan membawa pria itu ke ruang guru, sementara kerumunan orang-orang mulai
terbentuk di sekitar situ, seperti tontonan.
“Katanya
cowok yang bernama Nishina dari kelas 3 lah
yang menangkapnya.”
“Dan
katanya anggota tim sepak bola, Shuuya, menjatuhkannya dengan tendangan bola.”
“Wah, hebat banget, sama seperti
Conan!”
Di tengah
keramaian itu, si Oni gyaru
muncul dari kerumunan dan mendekati Nisshi.
“Wah,
Ren yang menangkap pelaku? Keren banget!”
Meski dia masih memakai kostum kelinci, sepertinya pacarnya sudah tidak ada, mungkin
ia sudah pulang.
“Hehehe,
enggak gitu juga sih...”
Nisshi terlihat dalam suasana
hati yang berbunga-bunga.
Syukurlah,
Nisshi. Pasti demi momen ini kamu berjuang hari ini.
Misi Nisshi kini sudah selesai.
“Ijichi-kun.”
Lalu,
Shirakawa-san datang menghampiri kami bersama Tanikita-san.
“Jadi
benar orang itu yang mencuri pakaian dalam
Akari?”
“Eh?”
Ditanya
Shirakawa-san, aku
memandang tas hitam di tanganku.
“Ah....”
Kalau
dipikir-pikir, pada saat itu
aku benar-benar salah mengambil tindakan.
Entah
kenapa, aku malah membuka isi tas itu dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.
“...Ini,
ya?”
Benda yang
keluar adalah bra dan kancut
berwarna lavender dengan motif berenda.
“...!?”
Tatapan mata
semua orang di sana memandang ke arah pakaian dalam yang ada di
tanganku.
“...”
Tanikita-san membuka mulutnya dengan wajah yang memerah saat melihatnya.
Dia
menatapku dengan tatapan marah.
“Ap...”
Tanikita-san yang bibirnya gemetaran, berjalan mendekatiku dan merebut paksa pakaian
dalamnya dari tanganku.
“Apa
yang sedang kamu
lakukan, dasar mesum─────────!”
Disertai
teriakan itu, dia mengangkat tangan kanannya dengan sekuat tenaga.
Plak!
Aduh...
Aku melihat bintang-bintang dan pandanganku menjadi buram...sembari memikirkan itu, aku
perlahan jatuh ke lantai koridor.
“Kyaa!”
“Heh,
apa-apaan, kenapa?”
“Apa mereka berkelahi?”
“Tidak,
dia tampaknya jatuh.”
Terdengar
suara-suara siswa yang tidak mengerti situasi dari kejauhan.
“Ada
orang sakit di sana?”
“Kayaknya
ia terkena sengatan panas, deh.”
“Hah,
di musim begini?”
“Ember
air ini perlu enggak ta? Aku
baru saja mengambilnya untuk pembersihan setelah festival malam.”
Situasinya
perlahan-lahan mulai menjadi aneh.
...Lalu.
“Apa kamu
baik-baik saja!?”
Seorang
siswa yang sepertinya murid junior,
menyiramku yang tergeletak di lantai dengan
seember air.
“Kyaa!”
Aku bahkan
bisa mendengar teriakan siswa-siswa di sekitarku saat cipratan air mengenai
mereka.
“...”
Apa-apaan
ini. Hari sialku benar-benar tak kunjung berakhir.
“Kok
di sana ramai banget ya?”
“Oh,
kira-kira ada apaan, ya?”
“Entahlah”
“Katanya
Ijichi-kun mencuri pakaian dalam Tanikita-san?”
“Hah, apaan itu? Menjijikkan
banget!”
“Tapi
katanya ia sekarang pingsan karena sengatan
panas.”
“Lho,
aku jadi enggak ngerti nih.”
Sambil mendengar
obrolan tak bertanggung
jawab siswa-siswa yang baru datang, aku
yang terbaring di koridor hanya bisa menatap langit-langit dengan linglung.
Yah,
memang benar, orang kuper
sepertiku memang tidak cocok dengan festival budaya.
“Hatsyiii!”
Setidaknya,
mandi di November itu rasanya terlalu
dingin.
Dengan cara
begitulah, aku yang terlibat dalam misi Nisshi yang kasmaran, menerima hukuman
dari Tanikita-san untuk
kedua kalinya dalam festival budaya.
Ngomong-ngomong,
aku harus melewatkan pertemuan offline KEN pada minggu berikutnya karena flu akibat disiram air, dan
dendamku terhadap Tanikita-san semakin meningkat.