Chapter 3 — Trick or Trick?!
Cahaya
matahari yang begitu panas kini sedikit mereda.
Rasanya
pagi ini tidak sepanas biasanya. Tapi seperti
itulah hari-hari di akhir September.
Seusai
jam sekolah, aku dan Nikoru sedang
bercakap-cakap santai di koridor,
lalu Akari tiba-tiba datang menghampiri kami berdua.
“Lunachi, Nikorun! Halloween tahun ini enaknya apa ya?”
“Halloween?
Ah iya, acaranya sudah sebentar lagi ya.”
Nikoru mendongak ke atas sambil
bergumam.
Tidak
lama setelah semua jam pelajaran selesai,
koridor sekolah sudah tidak begitu ramai lagi.
Sejak
memasuki semester kedua, suasana di antara teman sekelas kami terasa semakin
tegang. Kami yang bahkan tidak
menghadapi ujian bisa merasakan hal itu.
“Tahun
lalu kita mengadakan pesta di rumah
Miyu, ‘kan?
“Tapi Miyu tahun ini sedang fokus
ujian, jadi kurasa itu mustahil.
Yuna juga bilang mau pergi ke Magical Land dengan pacarnya.”
“Mungkin
tahun ini ada acara di pusat kota? Kan acaranya
jatuh pada hari Minggu.”
“Ah,
tapi bukannya tempat seperti Shibuya terasa sedikit menakutkan?”
“Iya
sih, ada terlalu banyak orang dan
keamanannya juga tidak terlalu terjamin.”
“Aku
juga tidak mau sampai dirayu.”
“Padahal aku
cuma mau berfoto pakai kostum saja.”
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kita coba masak makanan berbahan labu?”
“Hmm,
sepertinya lebih baik di rumah salah satu dari kita saja deh.”
Sambil
berbincang dengan Nikoru dan
Akari, aku berpikir sejenak.
“Kalau
di rumahku... kurasa tahun ini tidak mungkin.”
“Ah,
benar juga, Misuzu-san katanya mau pindah
ke rumahmu?”
“Iya,
kami sedang mulai membereskan kamar Nenek dan Kakek. Jadi rumahku sekarang
berantakan sekali.”
Baru saja
minggu lalu kami tahu bahwa ibu baruku, Misuzu-san,
hamil. Mereka sudah menikah dan rutin ke dokter untuk pengobatan kesuburan, jadi
ini kabar yang sangat membahagiakan.
...Setidaknya
bagiku.
Sebenarnya
aku sempat membayangkan akan merasa lebih kompleks dengan hal ini. Tapi begitu mengetahui kalau aku akan
mempunyai adik, rasa senangku jauh
lebih mendominasi.
Di malam
Natal tahun lalu, aku benar-benar syok saat
mengetahui keberadaan Misuzu-san
dan mengetahui kegagalan ‘Rencana
Lotte’ kami.
Aku
meminta Ryuuto untuk membujuk ayah supaya ia
menunda keputusannya untuk membiarkan Misuzu-san tinggal bersama
kami. Tapi sekarang, dengan adanya bayi, aku tidak
bisa terus memintanya seperti itu. Mengurus anak pasti sangat
sulit. Misuzu-san memang
seharusnya tinggal bersama ayah. Aku juga berpikir begitu.
Yah,
sekarang aku juga sudah kelas 3 SMA, jadi aku
juga sudah sedikit lebih dewasa.
Ketika aku
mulai berbicara dengannya, ternyata Misuzu-san adalah orang
yang sangat baik, hubungan kami
jadi semakin dekat sekarang, bahkan bisa bertemu tanpa ayah.
Jadi,
Misuzu-san tinggal di rumahku, itu sama
menyenangkannya dengan menunggu kelahiran calon adikku.
“Kalau
begitu, di rumah Lunacchi juga tidak bisa, ya...
Kalau di rumahku juga sepertinya tidak bisa. Adik
laki-lakiku kan sedang dalam fase pemberontakan yang parah, tau?”
Akari menyilangkan tangannya sambil
berkata begitu.
“Ah
kalau tidak salah, ia juga sudah kelas 3 SMP yang sedang
mempersiapkan ujian, ‘kan?”
“Iya,
dia sering bilang 'Kakak punya
penampilan gyaru dan kelihatan seperti orang
bodoh, jadi itu bikin malu, tau'
gitu. Padahal dia juga sering mengundang teman-teman berandalnya ke rumah untuk pesta
Halloween."
“Memangnya
itu lagu Ozaki apa!”
Nikoru berkomentar. Aku sebenarnya tidak terlalu paham tentang ‘Ozaki’ yang dimaksud,
tapi Nikoru sangat akrab dengan ibunya dan
sering tahu lagu-lagu lama, jadi pasti itu penyanyi jadul.
“Hmm,
jadi sepertinya pilihannya cuma
di rumahku saja... Aku akan coba menanyakannya, tapi aku juga tidak begitu yakin.”
Nikoru berkata dengan nada bingung.
“Lalu
kapan kita mau melakukannya? Siang? Sore?”
“Ah
iya, kita harus menentukan
waktunya. Aku sempat berpikir siang sampai sore, tapi takut pulang malam-malam.”
“Tapi,
kalau sore nanti bisa mengganggu
ibunya Nikoru ya?”
“Hmm,
iya juga sih...”
Ibu Nikoru bekerja di restoran yang buka
sampai tengah malam, jadi dia bangun pagi-pagi dan bersiap berangkat sore hari.
Rumah Nikoru juga hanya dipisahkan oleh pintu
geser, jadi dia tidak
ingin mengganggu ibunya.
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kita ke karaoke saja?”
“Tapi,
kita ganti bajunya di mana? Bukannya itu sedikit
memalukan kalau pakai kostum dari
rumah?”
“Tergantung
kostumnya sih...”
“Karena
kalau kita berkumpul di suatu tempat,
pasti ada yang naik kereta kan?”
“Benar juga
sih……”
“Kalau
kita tinggal di Kansai, kita bisa ke Universal Studios.”
“Ayo kita
pergi ke sana tahun depan, yuk! Kita
nantinya sudah lulus SMA, jadi
kita bebas traveling, ‘kan?”
“Mau
banget! Rasanya pasti seru! Aku jadi bersemangat nih!”
Kami pun
jadi bersemangat membicarakannya.
Pada akhirnya,
hari itu kami belum memutuskan apa-apa soal rencana Halloween tahun ini.
♧♧♧♧
“Halloween?
Bagaimana kalau melakukannya di
rumahku saja?”
Itu saat
aku sedang mengunjungi rumah Maria.
Saat aku
menceritakan soal kesulitan mencari lokasi pesta Halloween, dan ibu tiba-tiba menawarkan seperti itu.
“Acaranya
akhir Oktober, ‘kan? Kakek
dan Nenek berencana pergi jalan-jalan
bareng Tae-chan. Aku
juga harus bekerja pada akhir pekan, dan Maria juga ada jadwal lesnya,
jadi waktunya sangat pas
bukan?”
Tae-chan adalah kakak perempuan ibu kami dan Mao-kun.... dengan kata lain, dia adalah bibi
kami. Dia adalah orang yang dulu membelikan boneka
kucing “Chii-chan” kepada Maria.
“Aku
sih tidak masalah.”
Maria
berkata demikian tanpa mengalihkan pandangan dari
buku di tangannya.
Sekarang
sudah lewat jam 10 malam di hari
Sabtu.
Setelah aku berbaikan dengan Maria, kadang-kadang
aku datang main ke rumah keluarga Kurose. Sejak aku naik ke kelas 3, aku jarang datang karena
tidak ingin mengganggu belajar Maria.
Hari ini juga baru sekitar 3 bulan berlalu sejak terakhir kali aku
datang ke rumah mereka.
Maria
baru saja pulang dari ruang belajar di sekolah bimbelnya. Begitu sampai di rumah, dia langsung duduk di sofa ruang
tamu sambil membuka buku kosakata
bahasa Inggris.
Aku mengunjungi rumah Kurose di sore hari, lalu
makan malam bersama Ibu yang baru pulang kerja. Malam ini aku berencana akan tidur di kamar Maria, lalu besok pagi-pagi kami semua
sarapan bersama sebelum aku pulang.
Kakek dan
Nenek sudah beristirahat di kamar mereka.
“Kakek...
apa ia masih bisa pergi liburan?”
Aku
bertanya pada Ibu dengan penasaran. Sambil melakukan sesuatu di dapur, Ibu
tersenyum kecut.
“Mungkin
ia akan segera melupakannya lagi. Tapi mungkin ini terakhir kalinya mereka bisa berpergian,
jadi Tae-chan
ingin membuat beberapan kenangan
terakhir, menurut penuturan dokter
kalau hanya pergi ke pemandian air panas
juga tidak apa-apa. Beliau
juga bilang itu masih aman.”
Ibu
menjawab dengan suara pelan. Kalau memang begitu,
kurasa mengadakan pesta Halloween di rumah Kurose sepertinya akan baik-baik saja.
“Tapi
bagaimana denganmu, Maria?
Kamu beneran tidak apa-apa? Kamu mungkin pulang dalam keadaan kelelahan dari belajar,
lalu masih ada sisa-sisa pesta Halloween di sini, tau.”
Aku
bertanya dengan khawatir, teringat dengan masa pemberontakan
adik laki-laki Akari. Maria yang mendengar itu langsung
mengangkat wajahnya dari
buku kosakatanya.
“Aku tidak
keberatan kok. Lagian, aku
memang tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu, jadi aku tidak iri.”
Ketika aku melihat
Maria tersenyum saat mengatakan itu, aku
kagum karena dia sudah
begitu dewasa.
♧♧♧♧
Kemudian, akhirnya
sudah diputuskan kalau kami akan mengadakan pesta Halloween di rumah
keluarga Kurose.
“Mau
pakai apa nih?! Kalau ditunda terus-terusan nanti
habis, jadi kita harus pesan cepat-cepat!”
Saat jam
istirahat makan siang, Akari mengeluarkan sebuah buku katalog belanja dari
tasnya saat kami makan siang di kelas E. Itu katalog gratis yang biasa disertakan saat kita memesan pakaian
online.
Kami
membuka-buka isi buku katalog dan
ternyata banyak sekali kostum cosplay gaya gyaru.
“Wah,
yang ini lucu banget!”
“Kostum Oni? Tapi agak terlalu seksi deh, kelihatan
kayak pakaian dalam! Tapi
Lunacchi dan Nikorun punya gaya yang bagus, jadi mungkin itu cocok”
“Kalau
yang ini gimana?"
“Cheongsam
ya? Mungkin itu juga kelihatan mantap.”
“Iya
sih, tapi kalau pakai
Cheongsam buat Halloween tuh rasanya agak aneh
ya?”
“Kalau
gitu penyihir atau zombie udah biasa banget deh. Aku gak cocok pakai warna
hitam.”
“Mumpung ada
kesempatan, pastinya kamu mau pakai yang
lucu-lucu iya ‘kan!”
“Kalau gitu,
yang ini bagaimana? Kayakaynya
kelihatan baru tuh!”
Nikoru menunjuk salah satu model
kostum, lalu aku dan Akari saling pandang.
““Kayaknya...cocok
nih!”
Kami
berdua berseru hampir
bersamaan.
♧♧♧♧
“Nee~, nee~,
apa kamu akan melakukan sesuatu untuk
Halloween nanti, Ryuuto?”
Saat aku
berjalan pulang bersama Ryuuto dari sekolah menuju ke
stasiun, aku bertanya padanya.
Sejak
Ryuuto naik kelas 3, ia selalu pergi
ke sekolah bimbel setelah sepulang sekolah,
jadi waktu kencan kami di perjalanan ke stasiun jadi sangat berharga.
“Eh?”
Ryuuto menatapku dengan ekspresi terkejut, seolah-olah ia
sedang memikirkan hal lain.
“Ah,
sudah hampir waktunya ya... Kira-kira akhir bulan ini kan?”
“...Ya...”
“Karena aku
ada ujian latihan, jadi kurasa hanya belajar biasa deh... Haha.”
Jawabannya
seperti ia tidak peduli sama sekali.
Wajar
saja ia menjawab begitu karena Ryuuto
sedang fokus ujian masuk, jadi mungkin dia sedang memikirkan itu tadi.
Meskipun
aku sibuk dengan kerja sambilan di toko kue dan toko baju, aku merasa malu
karena masih santai soal masa depanku.
Tapi aku
sama sekali tidak mengerti soal belajar untuk ujian masuk, apalagi ke
universitas yang sulit seperti yang dituju Ryuuto.
Kalau terlalu dipikirkan, kami tidak akan punya topik pembicaraan lain.
“Ryuuto,
apa kamu pernah pakai kostum saat
Halloween?”
“Eh?
Kurasa tidak pernah... Rasanya tidak lucu juga kalau cowok-cowok pakai begitu...
Tapi waktu TK dulu, orang tuaku
pernah memaksaku pakai baju kostum lalu mengajakku minta permen di pertokoan.”
“...Be-Begitu ya.”
Ternyata ia
pernah melakukannya sampai TK.
“Nikoru dan yang lain bilang, mereka
ingin pakai kostum lalu pergi ke Universal Studios. Aku juga ingin pergi dengan
Ryuuto.”
“...Iya
ya.”
Ryuuto
menjawab dengan senyum lembut.
“Tapi
untuk itu, kita harus jadi mahasiswa dulu ya...”
“......”
Pada
akhirnya, memang begitu ya. Mau bagaimana lagi, masa depan mereka sedang
dipertaruhkan.
Aku juga
harus bisa memahaminya. Yah, setidaknya aku sudah berusaha.
Meskipun begini.
“Jadi,
hari ini aku, Nikoru, dan
Akari sudah memutuskan kostum apa yang akan kami pakai tahun ini. Kami sudah
memesan lewat online!"
“Benarkah?
Memangnya kamu pakai kostum apa?”
Ah,
akhirnya dia menunjukkan ketertarikannya.
“Hehehe, rahasia~”
Aku
sengaja membuat penasaran, karena ingin Ryuuto memikirkanku sedikit lebih lama.
“Ayo coba tebak~!”
“Eh??
...Maid?”
“Bzzzt!
....Lho, Ryuuto suka banget ya sama
maid?”
“Bu-bukan
gitu!”
Ryuuto
langsung memerah dan membantah dengan panik.
“Soalnya
kamu pernah memakainya, jadi aku berpikir gitu...”
“Aduuh~. Kalau kamu suka, nanti aku
pakaikan lagi deh... Tapi saat kita berduaan aja ya?”
“...Be-Berduaan...?!”
Entah apa
yang dibayangkan Ryuuto, ia mengalihkan pandangannya
dengan gelisah.
“Hehehe~”
Tingkahnya
yang lucu itu membuatku gemas.
Tapi,
untuk saat ini, tidak ada yang bisa kami lakukan lebih dari ini...
Kami
sudah sampai di ujung jalan turun dari sekolah, dan bangunan stasiun sudah dekat.
“.....”
Rasanya
selalu saja membuatku sedikit sedih saat harus
berpisah di sini.
“Jadi,
tetap semangat belajarnya ya, Ryuuto.”
Aku
menahan keinginanku untuk lebih lama bersamanya, lalu tersenyum pada Ryuuto.
“...Iya.”
Meskipun ia terlihat ingin mengatakan
sesuatu, tapi Ryuuto hanya mengangguk dengan
senyum lembut.
“Aku
akan berjuang. Terima kasih.”
Ketika melihat
senyuman lembut Ryuuto, aku berharap kalau musim dingin cepat berlalu, dan
musim semi bisa segera tiba.
♧♧♧♧
Setelah
menghabiskan waktu seperti itu, hari Halloween pun akhirnya tiba.
Kami
bertiga bersiap-siap untuk berganti pakaian di
kamar Maria.
“Padahal
rasanya pasti akan lebih menyenangkan jika Marimero juga bisa ikutan~.”
“Mau
bagaimana lagi, dia kan sedang ujian. Ryuuto
juga akhir-akhir ini terlihat terbebani.”
“Terbebani
kenapa? Nilai?”
“Bukan,
kelihatannya ia terbebani secara
mental? Aku juga merasa diabaikan saat
mencoba berbicara dengannya.”
“Tumben
banget, si Kashima Ryuuto sampai bertingkah begitu.”
“Bahkan
Maria juga sama,
aku melihatnya terus-terusan belajar dari
buku catatan ketika berada di rumah.”
“Wah!
Aku kagum sekali padanya. Tapi kamarnya juga rapi,
lebih sederhana dari yang kubayangkan, kupikir akan lebih berantakan.”
“Kamar
Akari kan memang sangat berantakan, penuh dengan barang-barang fandomnya?”
“Habisnya
barang merchandise idolku sudah sangat kebanyakan~! Setiap kali
mau dijual, aku malah
beli lagi sampai dua kali
lipat!”
“Haha.”
Seperti yang
dikatakan Akari, kamar Maria
terlihat sangat sederhana, berlawanan dengan image gadis
manis miliknya. Maria memang
suka kerapian, jadi kamarnya biasanya selalu rapi. Tapi akhir-akhir ini ada
tumpukan buku pelajaran di atas meja dan baju-baju yang acak-acakan, sepertinya
karena dia sedang sibuk belajar.
Tapi hari
ini meja dan lemarinya terlihat rapi seperti saat masih kelas 2 SMA, mungkin
dia sengaja membersihkannya.
“Lunacchi,
badanmu kelihatan langsing
ya?”
Akari
bertanya saat aku sedang melepas baju yang kupakai.
“Entahlah,
aku belum timbang badan akhir-akhir ini, tapi sepertinya tidak banyak berubah.”
“Tapi
pinggangmu sangat ramping! Bukannya itu curang
banget kalau kamu pake filter edit foto realitas~!”
“Tapi
kamu juga kelihatan ramping kok, Akari.”
“Aku
kan memang bertubuh kurus, bukan punya pinggang yang ramping.”
“Aku
juga kurus kok?”
“Kalau
Nikorun ‘kan lebih tinggi ketimbang
aku! Itu juga curang!”
“Haha.”
Meskipun dia begitu, tapi Akari memang gemar sekali berfoto
selfie dan sangat menyukai dirinya sendiri, jadi dia memang
lucu.
Kami
semua menanggalkan pakaian tanpa malu-malu, hanya berpakaian dalam, sambil perlahan-lahan mengeluarkan kostum kami dari dalam tas dan
mengobrol santai. Aku sangat menyukai hal ini
karena suasananya mirip seperti
berada di asrama perempuan.
“Kostum ini,
cara pakainya
gimana?”
“Hah,
Nikorun? Kamu
belum pernah mencobanya dulu di rumah?”
“Kalau
aku menjajalnya dulu, nanti
susah melipatnya lagi, jadi rasanya lebih mudah bawa kalau masih di
dalam bungkusnya.”
“Iya
sih, tapi..”
Kostumnya
terdiri dari atasan dan bawahan, dengan bagian perut yang terbuka. Ada juga
stoking, garter, hiasan rambut, hiasan kaki, serta bando dan ekor. Kostum Nikoru memiliki banyak
aksesoris.
Secara
keseluruhan kostumnya terlihat seperti bergaya
Cina, tapi ada kertas merah bertuliskan huruf Cina yang menambah kesan “seram”. Kostum
Halloween yang cocok ini adalah kostum “Jiangshi*”. (TN: Istilah
langsung dari Jiangshi adalah mayat hidup, tapi buat kalian yang pernah nonton
film horor china tahun 90-an pasti menyebutnya dengan Vampir china :v)
“Lagian, Jiangshi tuh
sebenarnya apaan sih?”
Nikorun bertanya dengan rasa ingin tahu
saat kami sedang berganti pakaian.
Aku juga
memiringkan kepalaku dengan
penasaran.
“Hmm,
aku kurang paham sih, tapi katanya kayak zombie gitu lho! Waktu aku menunjukkannya ke ibuku, dia
bilang 'Ah, itu yang dulu pernah
tayang di TV ya!'. Katanya
ibu pernah nonton waktu kecil.”
“Ah,
Mamahku juga pernah cerita!”
Akari
yang sudah selesai berganti pakaian, mengatakan
itu sambil menempelkan tali di atasan ke roknya.
“Anime?”
“Kayaknya
live-action deh. Regen-doushi? Yugen-doushi? Aku lupa sih.”
“Eh,
apa-apaan itu? Bahasa Jerman?”
“Bukan,
kayaknya bahasa Cina?"
“Jadi
emang ada unsur Cina-nya ya?”
“Nikorun bener-bener nggak ngerti ya,
lucu banget!”
“Soalnya
akhir-akhir ini aku sibuk banget kerja sambilan. Sejak liburan musim panas, ada
2 mahasiswa yang mundur, jadi bulan ini aku harus kerja
ekstra.”
“Iya
ya, rasanya pasti capek banget. Kamu
hebat bisa melakukannya dengan baik.”
Setelah aku
mengatakan demikian, Nikoru lalu tersenyum padaku.
“...Yah,
mendapat kesibukan juga nggak selalu buruk kok.”
Wajah Nikoru terlihat sedih, membuatku
membayangkan isi hatinya.
Berbeda
denganku yang bisa bertemu Ryuuto
setiap hari di sekolah, Nikoru
hampir tidak pernah bisa bertemu pacarnya,
Sekiya-san, karena kesibukannya.
Melihat
Nikoru yang begitu, aku jadi merasa harus
lebih berusaha juga.
“...Tinggal sebentar lagi kok, Nikoru.”
Aku
mencoba menyemangati diri sendiri, lalu berkata pada Nico.
“Tinggal sebentar lagi musim dingin akan datng, kemudian
setelah itu ada musim semi!”
“Luna...”
Nikoru menatap wajahku lekat-lekat,
lalu...
“Pfft!”
Dan entah
kenapa, dia tiba-tiba tertawa.
“Eh,
kenapa kamu malah ketawa!!?”
“Habisnya, caramu menyemangati itu terlalu
biasa-biasa aja, tapi muka kamu serius banget!”
“Lunachi, kamu terlalu standar banget
sih!"
Nikoru dan Akari tertawa bersamaan.
Meskipun dorongan semangatku tidak terlalu
berhasil, aku senang bisa melihat Nikoru
tersenyum.
Kami yang
sudah berganti pakaian jadi kostum Jiangshi,
langsung berfoto-foto dengan berbagai
pose.
Kostum Jiangshi yang kami pakai ada 3 warna berbeda, Nikoru dapat yang merah, Akari dapat
yang pink, sedangkan aku mendapat warna yang biru.
Bagian atasannya bergaya Cina dengan kerah
tertutup tapi bagian bahunya lumayan terbuka, rok mini mengembang,
dikombinasi dengan stocking tinggi yang ditahan dengan garter, jadi ada kesan
maid juga. Ditambah aksesori kertas merah di sana-sini, jadi kelihatannya sedikit aneh
tapi lucu. Dan ada telinga serta ekor kucing juga, jadi
meski kostumnya kostum Jiangshi, tapi tetap terlihat imut.
Sepertinya
Ryuuto juga akan menyukai hal ini.
Aku sempat
berpikir untuk menunjukkan
kostum ini kepadanya.
“Ah,
pesan Senpai sudah dibaca!”
Nikoru,
yang baru saja mengirim foto dirinya, bersuara dengan gembira.
“Senpai bilang apa padamu?”
“...hanya
dibaca saja...”
“Mungkin
karena lagi jam pelajaran? Jadi
paling-paling hanya dibuka sebentar."
“Hmm,
mungkin saja.”
Meskipun
Akari memberi semangat, Nikoru masih cemberut.
“...Lalu
Luna gimana? Kashima
Ryuuto pasti
akan memujimu, ‘kan?”
“Eh!?”
Aku
terkejut.
“Ah...
aku belum mengirimnya.”
“Hah?
Kenapa? Foto yang kita ambil tadi
benar-benar bagus, ‘kan?
Cepat kirim ke pacarmu~!”
“Ah,
iya, benar.”
Sambil
menjawab begitu, aku membuka aplikasi LINE.
☆Luna☆
Selamat
pagi!
Aku pergi
ke pesta Halloween dulu ya!
Ryuuto
Hati-hati
di jalan
Aku juga
mau pergi ke ruang belajar mandiri
Obrolan
dengan Ryuuto
berakhir setelah stiker “semangat” dariku terlihat sudah dibaca.
“.....”
Aku
menutup aplikasi LINE tanpa melakukan apa-apa.
“Apa kamu sudah
mengirimnya?”
“...I-iya!”
Aku
menjawab Akari dengan tanggapan begitu sambil
merassa sedikit gugup, aku lalu
meletakkan ponselku.
“Bagaimana
dengan Kashima-kun mengenai kostum Jiangshi-mu,
Lunachi?”
“Ahaha.
Ryuuto juga pasti sedang belajar,
jadi belum tentu pesanku langsung
dibaca.”
“Tapi
ini tentang Kashima Ryuuto, ia pasti akan bilang 'cocok sekali'
walaupun belum membacanya.”
“Eh,
membosankan banget~!
Harusnya ia bilang 'tingkat
keseksianmu sangat tinggi'
gitu!”
“Hah?
Memangnya ada gadis yang merasa senang ketika dibilang begitu oleh pacarnya?”
“Emangnya
kamu tidak merasa senang dibilang begitu, Nikorun?”
“....mungkin
aku merasa sedikit senang.”
“Itu, ‘kan!”
“Hm,
keseksian...?”
Aku
kurang paham dengan istilah-istilah khas otaku begitu, tapi kayaknya mengarah ke
'seberapa suka' gitu deh. Nanti aku akan mencaritahunnya.
Ah, di
dunia otaku katanya mereka suka pakai kata-kata seperti 'suka' jadi 'sukkii'
gitu, jadi mungkin 'tingkat kesukaan' maksudnya?
Kalau
begitu, aku juga pasti merasa senang kalau dibilang begitu.
"Kalau
begitu, coba aku tanyakan ke Ryuuto ah? Apa 'Tingkat keseksianku tinggi?' gitu”
Saat aku
bilang begitu, Akari dan Nikoru menatapku dengan wajah terkejut.
“Iya,
iya, coba katakan!”
“Aku
juga ingin tahu reaksinya.”
“Nanti
saja deh.”
Soalnya
aku belum mengirim fotoku,
pikirku, jadi aku mengalihkan pembicaraan.
♧♧♧♧
Setelah
selesai berganti pakaian, kami bertiga kembali
mengambil beberapa foto dan pindah ke dapur.
Karena
ini pesta Halloween, jadi ayo kita
makan masakan labu! Begitulah rencana kami.
Apartemen
ini dulu dibeli oleh kakek kami saat kami masih kecil, jadi memang agak tua.
Tapi sekitar lima tahun lalu, mereka merenovasi area dapur dan kamar mandi,
jadi area dapurnya masih terlihat baru dan bersih.
“Lah,
bukannya lebih baik kalau kita masak dulu sebelum ganti
baju ya?”
“Iya
juga sih.”
“Kalau
begitu, mau ganti baju lagi?”
“Malas
ah, enggak mau!”
“Ya, lagian
juga tinggal pakai celemek
saja, jadi masalah bisa langsung selesai, ‘kan?”
“Ah
iya benar.”
Nikoru
dan Akari sudah membawa celemek
mereka sendiri, dan langsung memakainya.
Aku
meminjam celemek milik Maria.
Nikoru
memakai celemek hitam-putih dengan pita di
bagian dada, Akari memakai celemek
kotak-kotak merah, sedangkan aku memakai apron pink dengan renda milik Maria. Semua cocok dengan kostum kami
dan kelihatan lucu.
Nah,
saatnya mulai memasak.
“Nikorun, kamu masak apa?”
“Sup
labu. Akari bikin cupcake labu, ‘kan?”
“Ah
iya, aku juga sudah membeli
pizza Margherita, loh!”
“Makasih
Lunacchi! Tapi yang itu emang nggak ada unsur
Halloween-nya sih.”
“Yah,
kalau cuma labu terus nanti
jadi terlalu manis dan bosen.”
Kami
sepakat untuk membagi tugas memasak. Aku yang curang karena cuma beli pizza,
jadi aku harus membantu mereka.
“Loh
Nikorun, itu apaan?”
Akari
berseru saat melihat kotak yang dibawa Nikoru.
Di
dalamnya ada potongan-potongan labu oranye yang terlihat enak dan lembut.
“Oh,
karena labu agak ribet dimasak, jadi aku
sudah mempersiapkannya dulu di rumah. Nanti tinggal
dihaluskan pakai susu untuk dijadikan sup.”
“Wah,
serius!?”
Akari
mengeluarkan labu hijau dari kantong plastik yang dibawanya, lalu meletakkannya
di meja dapur.
“Wah,
gede banget! Kamu beli yang bulat gini?”
“Loh,
labu yang begini kan lebih cocok buat acara Halloween?”
“Kita lagi
enggak
membuat lampion kali, mendingan yang sudah dipotong aja. Ngomong-ngomong, apa kamu bisa masak, Akari?”
“Enggak
sama sekali!”
“Apa kamu
tahu
cara memotongnya?"
“Lho,
tinggal potong biasa saja, ‘kan?”
“Memangnya orang
yang tidak bisa memasak, 'biasa' itu kayak apa?"
“Emang
nggak ada salahnya kan? Lagian aku ‘kan enggak punya pacar kayak Nikorun dan Lunacchi, jadi
wajar saja aku enggak bisa masak!”
“Jika pola
berpikirmu begitu terus, kamu takkan
pernah bisa memasak selama hidupmu, tau.”
“Tapi
selama ini juga aku masih
bisa hidup kok!”
“Kalau
begitu, jangan sok yakin deh kalo mau bikin cupcake cuma
karena nonton di video!”
“Tapi
di video kelihatan gampang banget buatnya!”
“Jangan
percaya video masak yang udah diedit apik gitu!”
“Tunggu dulu,
kalian berdua, tenangkan diri kalian!”
Karena
perdebatan soal labu hijau itu, Nikoru dan Akari jadi bertengkar.
“Ujung-ujungnya,
aku jadi ikutan bantu juga!”
Nikoru
dengan sedikit kesal meletakkan labu di talenan dan mulai memotongnya.
Aku dan
Akari memperhatikan di sampingnya.
“Ini
keras banget ya. Ada lap bersih?”
“Lap?
Tunggu sebentar..... ini ada!”
“Makasih.”
Karena rumah
ini bukan rumahku, jadi aku
juga tidak tahu semua letak barang-barang yang ada,
tapi hasil masakan untuk pesta Halloween hari ini sudah menjadi tanggung jawab
Nikoru, jadi aku akan mendukungnya
sepenuh hati.
Nikoru memegang lap di belakang pisau,
lalu menekan berat badannya untuk memotong labu besar menjadi dua.
“Nah,
potong ini.”
Aku dan
Akari masing-masing menerima sepotong labu yang telah dipotong menjadi dua.
“Eh,
ini semua akan dipakai?"”
“Yah pastinya masih ada
sisa. Yang tidak dipakai bisa diolah lagi jadi hidangan
lain. Mungkin juga kita bisa membuat cupcake lebih
banyak.”
“Iya,
ya.”
Akari
sepertinya sudah menyiapkan semua bahan yang diperlukan, jadi bahan-bahannya
sepertinya akan lebih banyak.
“Kalau
begitu, kamu pasti tidak akan gagal membuat
adonannya!”
Pada waktu
itu, aku sendiri tidak menyangka bahwa kata-kata yang kuucapkan itu akan
menjadi pertanda buruk.
Kami
memotong labu menjadi potongan yang semakin kecil di atas talenan dengan menggunakan pisau,
lalu memanaskannya di microwave.
Di
tengah-tengah proses itu, Akari cukup kesulitan.
“Gyaaaaa,
sakit!”
“Ada
apa Akari?”
“Jariku tersayat!”
“Hah,
apa yang sudah kamu
lakukan?”
“Soalnya
labunya keras banget, sih!”
“Kok
bisa masih sulit dipotong meski sudah
sekecil itu?!”
“Yah,
memang keras sih...”
“Jadi, bagaimana
kamu memotongnya? Bukannya
di pelajaran tata boga kita diajarkan untuk memotong dengan tangan seperti
kucing? Harusnya tidak sampai teriris, kan?”
“Karena
labunya terlalu keras, jadi aku
harus memotongnya dengan
dua tangan, ‘kan? Jadi aku melakukannya dengan cara begini...”
“Hentikan,
itu berbahaya! Tentu saja jarimu bisa terluka.”
“Akari,
ayo sini, aku plester lukamu! Kemari!”
“Huwaaa,
terima kasih Lunacchi, kamu memang dewi penyelamatku! Nikorun, kamu jahat sekali!”
“Siapa
yang jahat? Aku kan mengerjakan bagianmu!”
“Kalau
begitu, kerjakan semuanya ya! Aku mau main Tsumtsum dengan Lunacchi di sana.”
“Jangan
bercanda!”
Setelah dimarahi
Nikoru, Akari yang sudah menempelkan
plester pada lukanya terpaksa kembali ke dapur dan melanjutkan memasak.
“Aduh,
merepotkan sekali. Rasanya tidak
bisa secepat di Klassir sama
sekali.”
“Sudah
kubilang, jangan pernah mempercayai video itu.”
“Jangan-jangan,
video itu dibuat sama seperti
seniman atau ilustrator ya, yang dibuat dengan time-lapse begitu?”
"Iya,
pasti begitu. Lagian mana mungkin
orang amatiran bisa melakukannya semudah itu.”
“Tapi
bahkan di bidang seni, kadang
ada juga orang amatiran
yang bisa luar biasa, ‘kan?”
“Tapi
kalau videonya viral, artinya mereka sudah jadi profesional, mereka sudah bukan orang amatiran lagi.”
“Mumumu...”
“Ta-Tapi memang ada juga beberapa video dengan resep
masakan yang mudah, kan?”
Karena
Akari sedari tadi diam saja, aku pun ikut menimpali dengan niat
untuk membantunya. Sekarang aku sudah selesai
memotong labunya, dan selanjutnya tinggal menyaring tepung.
“Video-video
yang membuat semuanya terlihat mudah, itu membuat orang awam sulit membedakan mana yang mudah dan sulit. Tapi kalau
kamu sering memasak, kamu akan tahu 'oh, yang ini sebenarnya rumit'.”
“Mumumu...”
Sepertinya
Akari mengakui kekalahannya.
Aku pernah
mendengar kalau di dalam keluarga Nikoru, ayahnya
dulu pernah bekerja sebagai koki, dan ibunya juga mantan koki, jadi sejak kecil
Nikoru sudah diajarkan memasak oleh
orang tuanya. Setiap kali aku main
ke rumahnya, Nikoru selalu
bisa membuatkanku makanan dengan cepat, dan semua rasanya enak,
jadi diam-diam aku sangat mengaguminya.
“Nah,
kalau sampai di sini, sisanya kamu bisa kerjakan sendiri, kan?”
Lalu tahap
selanjutnya adalah mencampur bahan-bahan dan memanggang.
Nicole
kembali mengerjakan bagiannya untuk membuat sup, sementara aku
mencuci piring dan mempersiapkan untuk memanggang pizza.
Akari
terus bekerja dengan lancar mengerjakan
tugasnya, dia menuangkan
adonan cupcake ke dalam cetakan di atas loyang roti.
Kami
memanaskan oven, lalu mulai memanggang cupcake.
Aroma
makanan manis pun mulai memenuhi dapur.
Tapi di
tengah-tengah itu, ada sebuah
insiden yang terjadi.
“Uwaaa!?”
Akari
yang jongkok di bawah kompor, mengintip melalui jendela kaca oven yang sedang
beroperasi, tiba-tiba berteriak keras.
“Ada
apa, Akari?”
Saat aku
bertanya padanya, Akari menunjuk ke dalam oven
dengan ekspresi panik.
“I-ini...
apa ini masih bisa diselamatkan...?”
“Eh?
Apa maksudnya?”
Aku tidak
mengerti maksudnya, jadi
aku pun ikut jongkok di samping Akari dan melihat ke
dalam oven.
“Hah!?”
Aku
terkejut ketika melihat
sesuatu yang mengerikan dan sampai harus
memeriksanya dua kali untuk memastikan apa yang kulihat.
“Ini
apaan!?”
“Aku
juga mau tanya~~! Pasti
ini masalah besar, kan!?”
Ketika
kami berdua membuat kehebohan, Nikoru yang sedang menyajikan sup,
datang menghampiri kami.
“Ada
apa?”
Nikoru lalu ikut berjongkok di samping Akari, dan
membuka mulutnya lebar-lebar.
“...Hah!?
Tunggu dulu, ini apaan sih?”
Nikoru menekan tombol jeda pada oven, lalu menggunakan
sarung tangan pengaman untuk mengeluarkan loyang roti.
Saat melihat
kue cupcake yang ada di atas loyang, aku kembali terkejut.
“Waduh,
gawat...”
Di atas
loyang roti, semua cupcake yang berjumlah sekitar sepuluh buah, mengeluarkan
adonan encer seperti lelehan gunung berapi dari puncaknya. Bagian luarnya sudah
mengeras dan berwarna kuning keemasan, tapi yang keluar adalah adonan putih
mentah.
“Akari, apa yang sudah kamu lakukan!?”
“Eh?
Ak-Aku enggak
ngapa-ngapain kok... Aku cuma mencampur
bahan-bahannya dengan normal...”
Bagaimana
dengan takaran bahannya!? Kamu sudah menakarnya dengan benar, ‘kan?”
“Eh?”
Akari
terdiam saat Nikoru terus mendesaknya.
“Ya,
kira-kira sih...”
“Apa
maksudmu dengan kira-kira? Apa kamu
sudah masukkan semua bahan-bahannya sesuai dengan takaran resep?”
“Ah...”
Tampaknya
Akari teringat akan sesuatu dan menunjukkan ekspresi terkejut.
“Yang ini,
keluar, terlalu banyak...”
Yang
Akari tunjuk adalah kaleng di atas meja dapur. Kaleng berwarna merah dan
kuning, yang mirip dengan bubuk kari. Aku juga
sering menggunakan bahan itu
saat membuat kue.
“Baking
powder!”
Melihat
itu, Nikoru membelalakkan matanya.
“Dibilangin!
Kalau ini terlalu banyak, pasti akan buruk! Bahan ini
digunakan untuk mengembangkan adonan, jadi jika terlalu banyak, hasilnya jadi meluap-luap!”
“Eh!?
Serius...?”
Raut wajah Akari
langsung memucat.
“Lagian, kondisi
semacam apa sampai membuatmu menuangkannya 'terlalu
banyak'? Bagaimana
itu bisa terjadi? Bagaimana kamu menakarnya?"
Akari
membuka mulutnya dengan canggung setelah
dimarahi oleh Nikoru.
“Di
resepnya tertulis 'satu sendok teh', tapi karena
aku membuatnya
dengan jumlah lima kali lipat, jadi kupikir takaran satu
sendok teh saja cukup, lalu kumasukkan ke dalam mangkuk adonan. Tapi yang
keluar tidak mau berhenti, dan saat aku mengayunkan dengan kuat, isi kalengnya
hampir habis... Ahaha.”
“Bukan
'Ahaha', apa yang kamu lakukan sih! Kalau kamu tidak
mengikuti takaran, tentu saja hasilnya akan
hancur berantakan begini!”
Suara marah Nikoru sangat
kuat, sampai-sampai aku
tidak menemukan celah untuk ikut campur.
“Lagipula,
kenapa kamu memilih resep yang menggunakan baking powder? Pemula
harusnya pakai pancake mix saja!”
Lalu,
Akari mulai membantah.
“Tapi
resep ini yang paling banyak dibilang
'enak' di ulasannya!”
“Makanan
yang enak memang membutuhkan waktu dan kerja keras! Kamu belum
siap untuk itu!”
“Kenapa
kamu tidak bilang dari awal sih?”
“Biasanya
tidak akan separah ini! Kalau kamu mengikuti
takaran yang tertulis sesuai resepnya,
pemula pun bisa membuat kue yang
lumayan!”
“Berarti
aku lebih parah dari pemula, dong!?”
“Ya
iyalah, kalau tidak mengikuti resep, kamu lebih
parah dari pemula! Pertama-tama, mulai
belajar pakai sendok teh dengan benar dulu!”
“Tapi
memasak soal perasaan, ‘kan?
Garam dan lada juga biasanya ditulis 'secukupnya'!”
“Mengatur
rasa memang sesuai selera!
Tapi bahan-bahan yang takaran-nya tertulis, kalau salah bisa kacau, jadi harus
diikuti dengan benar!”
“Memasak itu merepotkan! Aku tidak
akan pernah memasak
lagi!”
“Iya,
mendingan jangan!”
“Sudah,
sudah, mungkin kalau dimakan, mungkin rasanya lumayan enak kali
ya...?”
Kedua
orang itu terus bertengkar
sangat sengit, jadi aku mengambil satu cupcake panas dari atas nampan.
Aku
menghindari bagian yang meletus, dan aku menggigit bagian yang
matang.
Bagian ini pasti
enak!
Atau itulah
yang kupikirkan....tapi...
“Mm...
Pahit...”
Aku tidak
bisa menahannya dan tanpa sadar mengeluarkan komentar yang tulus.
Sederhana
tapi pahit... Malahan rasanya
sangat pahit!
Apa yang
terjadi dengan semmua ini?
“Yah,
tentu saja rasanya pahit. Baking
powder memang ada rasa pahitnya.”
“Ja-Jadi begitu
ya...”
Aku tidak
tahu karena belum pernah memasukkanmua
terlalu banyak.
“...La-Lalu, kita harus bagaimana dengan ini...”
Aku
melihat sekumpulan cupcake di atas nampan yang sedang meletus.
Tidak
hanya meletus, ternyata rasanya juga pahit...
“Lho,
masih ada adonan yang belum dipanggang juga...”
Akari
melihat sisa adonan yang ada di dalam mangkuk.
“Ah...
Mungkin bagian yang belum dipanggang masih bisa diselamatkan. Setidaknya kita
bisa menambahkan bahan lain selain baking powder, menambah gula dan labu
untuk menyembunyikan rasa pahitnya...”
Nikoru berkata dengan nada muak, dan
kami bertiga pun dengan gontai mulai berusaha menyelamatkan adonan.
♧♧♧♧
Ketika
hari sudah gelap, pintu depan terbuka dengan suara klik.
“Aku
pulang... Lho, kalian semua kenapa?”
Maria
baru pulang dari sekolah bimbelnya dan melihat kami bertiga yang
tergeletak lesu di sofa dan lantai dengan
wajah terheran-heran.
“...Kalian
tidak hanya bercosplay, tapi juga sedang
main vampir sungguhan, ya?”
“Maria...
Selamat datang di rumah...”
Aku yang
bersandar di kaki sofa, mengangkat wajahku
untuk melihat Maria yang
masih menyampirkan tas di
bahunya.
“Marimero.”
Akari
yang bersandar lunglai di sofa, perlahan-lahan
menegakkan tubuh bagian atasnya meski dengan
terhuyung-huyung.
Sementara
itu, Nikoru yang berada di sebelahnya terbaring
lemas dengan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa.
“Tunggu...
apa kamu mau mencoba makan ini...?”
Akari
mengambil satu cupcake dari meja di depan sofa, lalu menyerahkannya pada Maria.
“Eh?
Ini apaan?”
“...Cupcake
labu...”
Nikoru menjawab dengan suara yang hampir putus
asa.
“Hmm?”
Meskipun dia merasa agak ragu dengan keadaan kami, Maria membuka mulut kecilnya dan
menggigit cupcake itu.
“...Yah,
rasanya sedikit pedas di lidah, tapi lumayan enak kok...”
Setelah mendengar
itu, kami bertiga saling bertukar pandangan.
Aku merasa kalau sepertinya
semangat hidup kami kembali pulih.
“'Lumayan
enak'! Aku berhasil
mendapatkannya!”
Akari
berdiri sambil berteriak.
“Kata-kata
yang sangat ingin kami dengar!”
“Lumayan!
Lumayan saja sudah cukup!”
“Lumayan
sudah sangat luar biasa!”
Aku dan Nikoru juga melompat berdiri, bertepuk
tangan dengan semangat.
Melihat reaksi kami yang mungkin terlihat berlebihan, Maria jadi merasa canggung.
“Hei,
kalian bertiga kenapa sih? Bukannya tingkah
kelihatan aneh sekali...?”
“Habisnya...
habisnya...!”
Setelah
itu, kami mengalami hari-hari yang sulit.
Ternyata
jumlah baking powder yang berlebihan dari Akari memiliki efek yang
sangat kuat, dan kami tidak bisa menghilangkan rasa pahitnya meskipun sudah
menambahkan bahan-bahan lain.
Terkadang
aku harus berlari ke supermarket untuk membeli telur atau susu yang sudah
habis, atau pergi lagi untuk membeli cangkir kertas karena ternyata tidak
cukup. Kadang-kadang barang yang aku cari tidak ada di supermarket terdekat,
jadi aku harus berpindah-pindah toko.
Setelah
berhasil membuat kue cupcake yang enak, kami sibuk membuat sejumlah besar
cupcake, dan ketika kue-kue itu selesai dipanggang, kami semua sudah kelelahan.
Karena kami terus mencicipinya, kami jadi tidak
terlalu lapar.
Di dapur
ada banyak sekali kue cupcake
yang ‘lumayan enak’. Ternyata
semua labu yang dikira kami akan tersisa,
nyatanya malah habis dipakai.
Aku
sempat berganti pakaian untuk pergi berbelanja, tapi aku malas mengenakan
kostum hantu lagi untuk pesta halloween.
“Eh, bukannya kamu
pulangnya cepat sekali, Maria?
Biasanya kamu pulang sekitar jam 10 malam pada akhir pekan, ‘kan?”
Tiba-tiba
aku sadar dan bertanya.
Ketika aku melihat jam di
dinding, waktunya masih menunjukkan kalau sekarang
baru jam 6 sore.
“Ah...
iya ya.”
Maria
menurunkan pandangannya, wajahnya terlihat sedikit canggung.
“Tadi
Akari-chan dan Nikoru-chan bilang kalau mereka mau datang hari ini, jadi aku pulang lebih sembari berpikir kalau....
aku ingin kita semua bisa merayakan Halloween bareng, walau cuma sebentar...”
Steleha mendengar
itu, aku jadi meras gemas.
“Maria...”
Betapa
imutnya dan menggemaskan sekali adikku ini!
‘Aku tidak
keberatan kok. Lagian,
aku memang tidak tertarik dengan hal-hal seperti
itu, jadi aku tidak merasa iri.’
Padahal dia sendiri yang bilang kalau dirinya tidak tertarik, tapi
ternyata Maria juga
sebenarnya ingin ikut pesta Halloween.
Ketika
aku memikirkan hal itu, aku sangat bahagia hingga mau tak mau aku jadi merasa kalau Maria begitu menggemaskan.
“Ayo,
Maria! Ayo kita
pesta Halloween bareng!”
“Kita semua belum makan juga. Jadi aku akan menghangatkan sup.”
“Lunacchi, tolong buatkan pizza ya!”
“Siap!”
Berkat Maria, kami yang tadinya lemas seperti
mayat hidup, kini bersemangat lagi untuk mempersiapkan
pesta.
♧♧♧♧
““““Selamat hari Halloween!””””
Kami
menyusun semua hidangan
di atas meja, lalu bersulang dengan minuman bersoda.
“Selamat
makan!”
Begitu melihat
semua hidangan lezat di depan mata,
tiba-tiba aku jadi merasa lapar
dan langsung menyantapnya.
“Enak
sekali~!”
Sup labu
buatan Nikoru memang benar-benar enak tanpa cela, begitu
juga dengan pizza beku yang rasanya pas.
Di ruang
tengah ada meja yang dihias dengan bunga-bunga berwarna oranye dan ungu, serta
pajangan labu, jadi aku merasa senang
ibuku mendekorasinya dengan nuansa Halloween.
“Ternyata
acara seperti ini memang menyenangkan, ya,”
ucap Maria sambil meminum cola dengan kedua
tangannya.
Sebagai
anak yang biasanya disibukkan belajar, mungkin ini jadi waktu istirahat yang
jarang bagi Maria.
“Ngomong-ngomong, Maria, kamu mau kuliah di mana?”
“Lho,
Lunacchi juga tidak tahu? Aku juga sudah menanyakannya tapi dia tidak mau memberitahuku.”
“Kamu
menanyakan itu waktu sebelum liburan musim panas, ‘kan? Nilaiku waktu itu kan masih
jelek, jadi aku merasa malu buat mengatakannya.”
“Berarti
sekarang bisa cerita, dong?”
“Yah,
aku tidak keberatan sih...”
Maria
tampak sedikit malu-malu saat berkata,
“Pilihan
pertamaku adalah Jurusan Sastra di Universitas Risshuin.”
“Wah,
kalau tidak salah itu
universitas yang sangat bergengsi, ‘kan?”
“Aku
juga pernah dengar tentang itu.”
“Luar biasa.
Kalau itu kamu,
kamu pasti bisa diterima di sana, Maria.”
Saat aku
berkata begitu, Maria tersenyum
padaku.
“....Kalau
aku diterima, tahun depan aku juga akan ikut cosplay bareng kalian.”
Tatapan mata
Akari langsung berbinar ketika mendengar itu.
“Eh,
kenapa tidak coba kostumku saja sekarang?”
“Lho,
tapi kostum punyaku tidak ada...”
“Kamu bisa
memakai punyaku saja! Karena
ukuranku S, jadi itu pas untukmu,
‘kan?”
“Hah?
A-Akari-chan?”
Maria membelalakkan matanya saat melihat
Akari langsung melepas pakaiannya.
“Ini,
pakai ini!”
Akari
menyerahkan atasan yang sudah dia
lepas kepada Maria.
“Eh,
apa aku harus ganti baju di sini?!”
Maria
menjadi panik saat melihat
Akari yang hanya mengenakan bra di ruang tengah.
“Tidak
apa-apa, kan? cuma
kita di sini.”
“Haha,
kalau ibu tiba-tiba pulang, pasti kaget ya.”
“Karena kita sesama perempuan, jadi aman lah.”
“......”
Maria juga
tidak punya pilihan lain selain melepas pakaiannya dan berganti
kostum jiangshi.
“....Ah,
tali bahunya terlihat.”
Karena
model bajunya off-shoulder, jadi Maria
kebingungan dengan tali bra yang terlihat. Kami semua sebenarnya memakai bra
tanpa tali bahu sejak dari rumah.
“Bagaimana
kalau kamu lepas saja tali bawahnya?”
“Iya,
mungkin itu ide yang bagus.”
“Atau
apa kamu mau bertukar
bra saja?”
“Ti-Tidak, itu agak aneh!”
Maria
menolak tawaran Akari dengan wajah memerah.
“Wah,
maria, kamu kelihatan lucu
sekali!”
“Iya,
cocok banget!”
“Bagus
banget, deh!”
Kami terus memuji-muji Maria yang sudah selesai berganti
kostum dengan bado telinga kucing. Aura Maria memang cocok dengan nuansa maid,
dan model baju off-shoulder ini memamerkan bahu, décolleté, dan perutnya yang
seksi, sehingga penampilannya yang sekarang pasti
bikin cowok-cowok klepek-klepek.
“Marimero,
aku mau mengambil fotomu, jadi ayo lihat kemari~!”
“Aku
juga mau ambil fotomu juga!”
“Eh,
Akari-chan, pakai bajumu dulu dong! Pakai
punyaku saja enggak apa-apa!”
Maria yang
dalam balutan kostum Jiangshi merasa panik ketika melihat
Akari yang masih hanya mengenakan bra dan celana dalam sambil mengacungkan
ponselnya.
“Sejujurnya,
suhunya memang mulai dingin, sih.”
“Karena
besok sudah masuk bulan November, sih.”
“Ah,
aku sudah tidak sabar dengan Festival
Budaya terakhir!”
“Dibilangin,
dengarin aku dulu dong!”
Maria terlihat
kewalahan karena kami sibuk berfoto dan mengobrol tanpa peduli padanya.
“Nee, apa
aku boleh sekalian bikin video juga?”
“Tidak,
kalau kamu sampai merekamku, bahkan aku
bisa mati secara sosial.”
“Ya
sudah, cepat pakai bajumu sana kali!”
“Iya,
iya, aku sedang memakainya kok... Wah, baunya mirip seperti Marimero nih.”
“Bisa enggak
untuk jangan sembarangan ngomong apa yang kamu pikirkan? Aku jadi merasa malu, tahu!”
“Tapi
wanginya harum, kok? Kun, kun.”
“Jangan
dihirup-hirup gitu dong!”
“Kenapa?”
“Karena itu memalukan!”
“Aaa,
imut banget! Aku juga mau coba baju kayak gini.”
“Ini
sih, benar-benar kacau.”
“Hahaha.”
Kami
berempat saling bercanda dan tertawa, pesta
Halloween tahun ini benar-benar menyenangkan.
...Tidak.
Tahun ini
sangat spesial
karena Maria ada di sini bersama kami.
Sejak aku masih kecil, sudah menjadi hal yang wajar bahwa Maria
selalu ada di sampingku, dan sekarang dia menjadi
bagian dari lingkaran teman-temanku.
Setelah
melewati masa-masa kosong yang begitu lama...
Akhirnya “hal yang biasa” itu kembali, dan itu membuatku
hampir menangis terharu.
Di balik
tawa dan kekonyolan kami, ada perasaan seperti itu yang terselip di dalam hatiku.
Namun, hanya
aku sendiri yang mengetahui
hal itu.
♧♧♧♧
“Eh,
Lunacchi, kamu akan pulang dengan penampilan seperti itu?”
Pada pukul 8
malam, kami selesai beres-beres
dan bersiap untuk pulang. Akari yang sedang mengganti bajunya
berkata demikian saat melihatku yang masih memakai
kostum Jiangshi dan memakai mantel di atasnya.
“Ah,
iya. Karena di luar sudah lumayan gelap jadi tidak terlalu
kelihatan, dan juga aku malas untuk menggantinya, jadi mendingan begini saja ya.”
“Gitu ya. Aku juga harusnya bawa jaket, ah. Karena
suhunya sudah lumayan dingin nih.”
“Ya, karena
sudah bulan November, sih.”
“Haha,
yang kedua kalinya.”
“Hati-hati
pulangnya ya teman-teman.”
“Iya,
terima kasih!”
“Maaf
sudah merepotkan.”
Lalu,
kami bertiga keluar dari rumah Kurose dan pergi ke stasiun untuk berpisah ke jalan pulang masing-masing.
Setelah aku sudah sendirian, aku membuka ponselku
di peron stasiun.
Layar
percakapanku dengan Ryuuto masih terhenti di stiker yang aku
kirim.
“Ryuuto...”
Aku terus
menunggu dan melewatkan beberapa kereta, hanya membiarkan waktu berlalu.
“.....”
Aku merasa ragu-ragu, tapi...
Aku
akhirnya naik eskalator dan keluar dari gerbang loket
yang baru saja aku lewati.
Aku tidak
mengirimkan foto itu ke Ryuuto.
Dan aku
juga tidak mengganti baju, hanya memakai mantel ini untuk menutupi kostum yang aku kenakan.
Aku ingin
Ryuuto melihatku, walaupun hanya sejenak.
Tidak
apa-apa, hanya beberapa
menit saja.
Aku tidak
akan mengganggu belajarnya, aku hanya ingin Ryuuto melihat versi spesialku hari
ini, walaupun hanya sesaat.
♧♧♧♧
“...Luna!?”
Sat ia melihatku
yang tiba-tiba muncul, Ryuuto memasang ekspresi seperti seolah-olah ia baru saja melihat
hantu.
Aku sudah
menunggu selama satu jam di lobi apartemen Ryuuto. Ryuuto baru saja pulang dari
ruang belajar bersama di sekolah bimbelnya,
dan aku muncul di hadapannya.
“Kenapa...”
“Jeng
jeng!”
Aku
membuka kancing mantel yang kupakai dan membukanya lebar-lebar. Aku
menertawakan diriku sendiri karena menurutku itu agak cabul.
Ryuuto tampak
tercengang ketika melihatku yang mengenakan kostum Jiangshi ala maid yang misterius.
“Ryuuto,
trick or treat!”
“...Hah?”
Ryuuto
akhirnya tersadar dari keterkejutannya.
“Hmm...
'Kalau tidak diberi permen, aku akan dijahili'
begitu ya?”
“Tepat
sekali!”
“Hmm...”
Sambil
bergumam tentang permen, Ryuuto mencari-cari di dalam tas ransel yang aku
berikan padanya saat ulang tahunnya bulan Maret lalu.
“...Apa begini cukup?”
Ia
mengeluarkan sebungkus biskuit coklat dari dalam tasnya.
“Eh?”
“Ini sisa-sisa
cemilan yang aku makan di ruang belajar, yang kubeli di minimarket...”
“Ooh,
jadi kamu punya cemilan!”
Aku
menerima cookies coklat itu dengan senyum pahit.
“Kenapa
kamu malah kelihatan kecewa begitu?”
“Karena aku
ingin menjahilimu sih...”
Sebenarnya
aku belum memikirkan apa yang akan aku lakukan.
“Tapi,
kamu sendiri yang bilang 'trick
or treat'...”
“Hmm,
kalau begitu yang tadi batal saja!”
Aku
merasa harus melakukan sesuatu agar tidak menyia-nyiakan kesempatan.
“Kalau
begitu, apa yang sebaiknya aku katakan saat ingin iseng? 'Trick or trick'?”
“Itu
kacau sekali!”
"Jadi,
boleh aku iseng?"
"Ehhh...?
I-itu... Iseng seperti apa maksudnya?"
Aku
berpikir sejenak saat Ryuuto bertanya.
“Hmm~...”
Yang
terlintas di pikiranku hanya ini.
“Gelitik,
gelitik!”
Aku mengulurkan tanganku dan mencoba
menggelitik bagian pinggang Ryuuto.
“Waa!”
Ryuuto
berteriak kecil dan menjauhkan diri.
Aku merasa agak kecewa.
“...Kamu tidak perlu menghindar seperti itu
kan?”
“Habisnya...
itu karena...”
“Jangan-jangan,
kamu tidak suka aku menyentuhmu?”
“Bu-Bukan begitu, tapi...”
Ryuuto
terlihat salah tingkah.
“Aku
jadi gugup...”
Gugup?
Padaku? Baru sekarang?
“Selain itu,
aku juga kurang percaya diri....”
“Apa
maksudmu dengan kurang percaya diri?”
“Maksudnya,
soal otot perut dan sebagainya...”
Ryuuto
menjawab dengan malu-malu kepadaku,
yang masih dipenuhi pertanyaan.
“Aku
cuma belajar terus akhir-akhir ini, jadi aku tidak
mempunyai otot sama sekali...”
“Itu
tidak penting bagiku kok.”
Aku
terkekeh, tapi Ryuuto sepertinya serius.
“Lantas,
kalau kita mau
melakukan 'begituan' suatu
hari nanti, apa yang akan kamu lakukan?
Kamu akan menolak karena tidak
percaya diri dengan tubuhmu?”
"...Maksudnya
melakukan 'begituan'?”
Setelah
berpikir sejenak, ekspresi Ryuuto berubah terkejut.
“Ti-Tidak! Nanti, setelah ujian
selesai, aku akan... Sedikit-sedikit melakukan latihan fisik, kok...”
“Begitu
ya?”
Aku
sebenarnya tidak menganggap itu masalah, tapi aku juga berpikir untuk diet
sebelum musim panas tiba supaya aku
bisa memakai baju renang. Kurasa Ryuuto
punya perasaan yang sama.
Dia lucu dan menggemaskan sekali.
Tapi aku
hanya tersenyum lembut padanya.
“Oh,
iya! Aku membawakan
ini untukmu!”
Aku
menyerahkan kantung kertas berisi tiga cupcake labu yang 'lumayan enak'
pada Ryuuto. Aku, Nikoru, dan
Akari membawa masing-masing sepuluh buah,
sisanya kami tinggalkan di rumah Kurose.
“Eh?
Terima kasih...”
“Sama-sama!
Jadi, bagaimana? Apa kostum Jiangshi kelihatan cocok?”
“Jiangshi?”
Sepertinya
Ryuuto tidak tahu apa itu Jiangshi.
Tapi ia mengamati penampilanku dengan seksama.
“Kelihatan cocok
kok.”
Ia
tersenyum saat mengatakan begitu,
memberikan reaksi yang sama seperti dugaan Nikoru.
Meski begitu, aku tetap merasa senang ketika mendengarnya.
“Terima
kasih!”
Tiba-tiba
aku teringat perkataan Akari.
“...Apa
'tingkat keseksian'-ku tinggi?”
“Eh!?”
Mata Ryuuto
melebar karena saking terkejutnya.
“Ti-Tingkat
keseksian...!?”
Sepertinya
Ryuuto paham maksud dari kata itu. Aku juga sebenarnya ingin mencari tahu
artinya saat menunggu Ryuuto, tapi aku malah
melupakannya.
“Jadi bagaimana?”
“Ti-tidak,
anu...!? Lu-Luna!?”
Meski
Ryuuto terus tergagap, tapi saat ia melihatku
yang hanya diam sambil terus
menatapnya, Ryuuto akhirnya
membuka mulut dengan ekspresi menyerah.
“...Iya,
tinggi sekali.”
“Benarkah!?
Asyik!”
Aku
menganggapnya sebagai kualitas 'cinta', jadi aku merasa
senang mendengarnya.
“Hei,
hei, foto yang tadi Akari ambil sangat imut lho! Boleh aku mengirimnya kepadamu?”
“Eh!?”
Entah
kenapa Ryuuto terlihat grogi lagi.
“...Jangan-jangan,
karena buat itu...?”
“Hm?
Apanya?”
Aku
mengangguk tanpa mengerti maksudnya.
“Iya,
aku akan mengirimnya sekarang sebelum kelupaan.”
Aku
membuka ponselku dan mengirimkan foto itu ke Ryuuto melalui LINE.
“Bagaimana?
Bagus, ‘kan?”
“...I-iya.”
“Aku
masih punya banyak lho, mau lagi?”
“Eh?
Ka-Kalau begitu, boleh....”
“Kurasa aku
mengambil sekitar 100 foto, tapi kamu yakin mau semuanya?”
Ku bertanya
sembari khawatir dengan kapasitas ponsel Ryuuto. Meski
wajahnya memerah, Ryuuto balas mengangguk.
“Karena semakin
banyak bahannya, semakin
baik...” (TN: Yang cowok pasti paham
maksudnya :v)
“...Hah?”
Meskipun
tidak mengerti sepenuhnya, tapi Ryuuto sepertinya mengizinkanku, jadi aku
langsung mengirimkan banyak foto seperti bermain Puzzle & Dragons.
“Sudah
aku kirim! Bagaimana?”
Ryuuto
mengangguk canggung sambil melihat ponselnya.
“...Iya,
imut sekali.”
“Ehehe,
terima kasih~”
“Malah
aku lah yang harus berterima kasih.”
Ryuuto
tersenyum dengan anggun saat aku tersenyum malu.
“Malam
ini... Aku pasti akan melakukannya.”
Ryuuto menyatakan
dengan ekspresi tekad yang entah kenapa memberikan perasaan segar.
“Hm?
Oke, yang semangat ya."
Kupikir ia membicarakan soal belajar, jadi aku
menyemangatinya.
Tapi
Ryuuto malah terlihat sedikit bingung.
“Eh,
itu... Memang aku harus belajar, jadi aku tidak
bisa terlalu semangat...”
Eh? Ia tidak membicarakan soal
belajar?
“Tapi,
aku pasti akan... A-aku akan
melakukannya sekali...
Dengan ini!”
“Eh?
Oke...”
Dari tadi
aku merasa kalau percakapan kami sama sekali tidak
nyambung, tapi aku tidak mengerti di mana letak masalahnya.
“...Maaf,
tadi kita bicara tentang apa
ya?”
Karena
terlalu membingungkan, akhirnya aku terpaksa bertanya.
Setelah mendengar
hal itu, wajah Ryuuto langsung
memerah.
“I-itu...
Kita membicarakan soal memperlakukan 'ini' sebagai cemilan untuk dimakan,
‘kan?”
“'Ini'?”
Apaan sih maksudnya?
Dalam
kantung kertas yang dipegang Ryuuto, di sana hanya
ada cupcake labu saja, kok?
“Jadi
kamu bisa memakan nasi
dengan itu!?”
Itu tidak
cocok sama sekali! Itu sih bukan
level orang Kansai yang makan nasi dengan okonomiyaki!
“Bu-Bukan, itu hanya kiasan saja, maksudnya...”
“Kiasan?”
“Maksudnya,
melihat ini sambil..."
“Melihat itu sambil?”
Maksudnya
memakan nasi sambil melihat
cupcake!?
“Jangan
begitu, kamu harus benar-benar memakan yang aslinya juga dong~!”
“....!?”
Melihatku yang memprotes, wajah Ryuuto langsung memerah parah seperti gunung
berapi meletus.
“Eh...!?
Ap-Apa itu...maksudnya...?”
“Maksudnya
ya persis seperti yang kubilang.”
Bagaimanapun
juga, aku sudah susah payah membuatnya, jadi aku ingin
Ryuuto memakannya.
“...!?”
Wajah
Ryuuto semakin merah padam, matanya bergerak-gerak tidak menentu...
Sepertinya ia hampir menangis.
“...I-Itu sih,
tentu saja.”
Dengan
ekspresi yang tampak seperti
ingin meledak, ia mulai
memandangku.
“Setelah
ujian selesai... oke?”
“Eh,
bukannya itu terlalu lama! Nanti bisa busuk, tau!”
“Eh!?”
“Cepat
dimakan dong~! Setidaknya satu saja buat malam ini! Kenapa enggak boleh?”
“Ehhh!?
Malam ini!? Satu saja!? Bukannya
terlalu cepat...!”
“Bukannya
tidak apa-apa? Kamu bisa memakannya secara
terpisah, ‘kan?”
Setelah
makan malam juga bisa makan makanan manis, 'kan?
“Se-Secara
terpisah...”
“Ayolah,
boleh ya dimakan
malam ini?”
“Uugh...!”
Ryuuto
mundur selangkah menjauhi diriku.
“Ada
yang aneh denganmu hari ini, Luna!?”
“Eh?
Apanya yang aneh?”
“Sebaiknya
kita berdua menenangkan
diri dulu! Kalau begitu, sampai jumpa.... terima
kasih untuk ini!”
Setelah
mengatakan itu, Ryuuto berbalik dan berlari menuju ke arah lift, sambil membawa
kantung kertas pemberianku.
“Ryuuto...?”
Aku yang
ditinggal sendirian hanya bisa kebingungan karena tidak
memahami apa yang sebenarnya terjadi.
♧♧♧♧
Setelah itu, aku mulai mencari tahu arti “Tingkat keseksian” dan
langsung menelepon Ryuuto untuk minta maaf. (TN: Di rawnya
tertulis "シコリティ"
(shikoriti) adalah bahasa gaul yang digunakan dalam bahasa Jepang untuk
menggambarkan tingkat "keseksian" atau daya tarik s*ksual suatu
karakter, ilustrasi, atau kostum. Kata ini merupakan gabungan dari kata "シコる" (shikoru) yang berarti "m*sturb*si"
dan "クオリティ"
(kuoriti) yang berarti "kualitas”)
Tapi yah,
meskipun begitu, sepertinya usaha 'iseng'-ku berhasil... Jadi, kurasa
untuk sisi halloweennya, ini masih termasuk sukses deh!