BAGIAN 2
“Imutnyaaaaaaaaaaaaaaaaaa~...”
Beberapa
ekor penguin berjalan tertatih-tatih di area
bebatuan di dalam pagar. Yuzuki mencengkeram pagar seperti anak kecil dan
matanya berbinar-binar melihat burung-burung berwarna hitam putih itu. Dulu, setelah makan
nasi kare, dia pernah bilang tidak terlalu tertarik dengan penguin, tapi
sekarang dia tampak
terpesona melihat yang asli. Hari ini
juga baru pertama kalinya aku melihat penguin sete;ah sekian lama, dan mau tak mau aku jadi tertarik dengan
pesona lucunya.
Ada
penguin yang sedang membersihkan bulunya, ada juga
yang tertidur di tepi air. Mereka terlihat bebas dan santai, sangat berbeda
dengan manusia kota yang dikejar-kejar pekerjaan. Yuzuki terus mengikuti setiap
pergerakan penguin dengan wajah berseri-seri. Hanya melihatnya saja sudah membuatku merasa tenang.
Sudah
lama sekali aku tidak mengunjungi kebun
binatang, tapi aku sangat
menikmatinya. Orang-orang di sekitar juga tenggelam dalam kekaguman mereka pada hewan, jadi tidak perlu
khawatir Yuzuki atau Emoto-san
akan dikenali.
“Ini
pertama kalinya aku ke kebun binatang Tokyo, tapi rupanya ada banyak hewan yang luar biasa
ya!”
“Kamu
tidak pernah mengunjunginya sewaktu study tour SMP?”
“Setelah
aku pindah ke Tokyo, aku lebih fokus
pada pekerjaan, jadi aku jarang
ikut kegiatan sekolah. Katanya waktu study tour
sekolahku mengunjungi
wilayah Kyoto, tapi aku ingin sekali-sekali bersantai
minum teh panas di penginapan.”
Sambil
memperhatikan penguin yang berenang dengan lincah, ada raut kesedihan di mata Yuzuki.
Meskipun dia tidak menyesali jalan yang dia pilih, tampaknya dia masih
merindukan kehidupan sekolah yang normal.
“Penguin
sepertinya selalu bebas ya. Pasti mereka tidak punya masalah apa-apa.”
“Belum
tentu begitu, tau?”
Emoto-san,
yang sedari tadi mendengarkan percakapanku
dan Yuzuki, ikut angkat bicara.
“Penguin
Humbolt ini sebenarnya termasuk spesies yang terancam punah di dunia.
Penyebabnya antara lain karena berkurangnya persediaan ikan sebagai makanan
mereka. Meskipun mereka terlihat
hidup santai, tapi penguin
juga tidak lepas dari ancaman predator seperti burung
camar dan anjing laut. Sama seperti dunia hiburan, mereka juga
berjuang untuk bertahan hidup, lho.”
“Ternyata
dunia ini tidak semudah itu ya.”
Tatapan
Yuzuki kepada penguin dipenuhi rasa
hormat.
“Emoto-san,
ternyata kamu sangat tahu banyak
tentang hewan ya. Apa kamu penyuka
hewan?”
“Ah,
iya. Sebagai 'kakak' Yuzuki, tentu saja aku
harus tahu segala sesuatunya!”
Sepertinya
lebih baik aku tidak
membahas soal catatan kecil yang sering diperiksa Emoto-san. Ternyata dia begitu
mempersiapkan kunjungan ini dengan matang demi membuat Yuzuki senang.
Yuzuki
berpindah ke area lain, kali ini dia terpaku
melihat kuda nil yang
sedang makan.
“Entah
kenapa kita selalu betah memandangi hewan yang sedang makan ya...”
Memangnya
kamu berhak bilang begitu? Yah, aku agak memahaminya sih.
Aku yakin pasti
ada nutrisi tertentu yang hanya bisa kita peroleh dari melihat adegan makan.
“Oh,
cuma kuda
nil itu satu-satunya yang berwarna
merah. Apa itu jenis yang langka?”
Emoto-san
langsung bereaksi ketika mendengar kata ‘kuda nil merah’. Sambil tersenyum lebar, persis seperti
murid yang soal tesnya keluar persis dengan yang ada di buku latihan, dia pun menjawab.
“Itu
karena warna keringat mereka!”
“Keringat?
Memangnya keringat bisa menjadi berwarna merah?”
“Ya,
lendir yang awalnya tak
berwarna akan berubah menjadi merah
setelah keluar dari tubuh. Karena kuda nil
tidak berbulu, jadi cairan
itu berfungsi melindungi tubuh mereka.”
“Hee~,
begitu ya...”
Sepertinya
dia sudah mempelajari segala macam informasi tentang hewan-hewan di kebun
binatang ini. Meski ajakannya baru kemarin malam, tapi
persiapannya mungkin sudah lama dilakukan.
“Apa
ada hal menarik lain tentang hewan yang ingin kamu tanyakan? Aku bisa menjawab
apa saja, kok.”
Emoto-san
mencondongkan tubuhnya ke depan dan bertanya dengan
bersemangat.
“Ka-Kalau
begitu, burung bangau yang di sana...”
Mata Emoto-san bersinar lebih terang.
Sepertinya dia juga sudah benar-benar mempersiapkan
diri untuk itu.
“Itu
adalah jenis bangau Manchuria. Di Jepang, ada tujuh jenis bangau yang bisa
diamati, tapi yang bereproduksi di dalam negeri hanya bangau Manchuria.
Katanya, di rawa-rawa di bagian timur Hokkaido, kita bisa melihat mereka
sepanjang tahun!”
“O-Oh, begitu ya...”
Yuzuki
sedikit meringis ketika mendengar
penjelasan Emoto-san yang
membara.
“Bangau
Manchuria juga sering digambar di guci dan layar. Gambar mereka bertengger di
pohon pinus juga sudah menjadi klasik. Tapi, katanya sebenarnya mereka tidak
bisa hinggap di batang pohon karena bentuk kakinya. Ada juga teori kalau bangau
dalam cerita 'Balasan
Kebaikan Burung Bangau' itu sebenarnya burung bangau
biasa. Dasarnya...”
Bahkan
Yuzuki yang terkenal cepat paham pun tampaknya mulai kewalahan. Matanya terlihat berputar-putar.
“Emoto-san, bagaimana kalau kita jalan-jalan dulu? Baru nanti kita bisa membahasnya lagi.”
“...Kurasa itu ada benarnya juga. Untuk saat ini, lebih baik
kita fokus mengamati dulu, baru nanti kita bahas lebih lanjut. Informasi juga
akan lebih mudah masuk ke kepala.”
Jadi
masih ada putaran kedua ya. Kayaknya hari ini akan menjadi hari yang panjang.
“Ayo,
Yuzuki, kita pergi ke area selanjutnya. Pegang
tanganku, ya? Biar kamu tidak tersesat.”
“Eh,
tapi sekarang tidak terlalu ramai...”
“Aku
ingin berpegangan tangan dengan Yuzuki. Ayo.”
Emoto-san
terlihat dalam suasana hati yang baik
saat menggenggam tangan Yuzuki.
Yuzuki juga tampaknya tidak keberatan.
Tiba-tiba,
Emoto-san menoleh ke arahku.
“Apa
juga sedang menikmatinya, Mamori-san?”
“Eh?
Ya.”
“Kalau
begitu, kurasa ada baiknya aku mengizinkanmu ikut kemari.”
Dia
tersenyum ramah, lalu kembali menoleh ke arah Yuzuki
yang berada di sampingnya. Senyuman Emoto-san tidak
kalah memikatnya dari Yuzuki.
Aku
benar-benar bukan apa-apa dibandingkan mereka. Meski hanya berbagi waktu
seperti ini tanpa ada yang istimewa, mereka berdua adalah idola populer di
seluruh Jepang.
Lalu Yuzuki menemukan sudut pameran tupai
dan melepaskan genggaman tangan Emoto-san
untuk berlari ke sana. Kini hanya aku dan Emoto-san
yang tersisa di tempat.
“...Kenapa
kamu mau mengurus Yuzuki,
Emoto-san?”
Sekarang
aku sudah mulai sedikit
mengerti tentang dirinya, jadi aku ingin bertanya langsung kepadanya.
Setelah
berpikir sejenak, Emoto-san
menjawab dengan natural.
“Sama
seperti Mamori-san. Aku
melakukannya karena aku menyukainya.
Jika itu demi Yuzuki, aku akan melakukan apapun dengan
senang hati.”
“...Begitu
ya.”
Aku tidak
bisa membantah pernyataan itu.
Meskipun kami memiliki tujuan dan prinsip yang berbeda, tapi kami memiliki perasaan yang sama
terhadap Yuzuki.
☆☆☆
Setelah
mengelilingi kebun binatang sampai dua kali, kami bertiga
berjalan-jalan di taman di dalam area. Ada jalan
setapak berbatu di antara pepohonan pinus, lampion-lampion yang tersusun rapi,
dan bangunan satu lantai di seberang kolam. Rasanya seperti
sedang mengunjungi tempat wisata. Ketika mendengar
gemericik air, perasaanku jadi tenang.
Kami
memutuskan beristirahat sejenak di restoran kayu yang berada di pinggir taman.
Karena tiga sisi tertutup dinding, tempatnya cukup tersembunyi dan cocok untuk
istirahat.
“Hah,
jalan-jalan tadi
membuatku lapar...”
Perkataan
santai Yuzuki membuat mataku dan Emoto-san berbinar di saat yang bersamaan.
““Yuzuki, ayo kita makan siang!””
Kami
berdua mengatakan itu pada saat yang bersamaan. Aku mengulurkan bekal makan siangku dari
sebelah kanan Yuzuki, dan Emoto-san menyodorkannya
dari sebelah kiri. Kotak bento yang dibungkus serbet dan tas bekal bertabrakan
dengan keras di pangkuan Yuzuki.
“Wah,
Mamori-san. Padahal aku sudah mengatakannya berkali-kali untuk datang
tanpa perlu membawa apa-apa.”
Emoto-san
tersenyum sinis seperti antagonis.
“Emoto-san
juga sama, kalau kamu mau menyerah, kamu bisa melakukannya sekarang, loh?”
Aku
membalas dengan senyum iblis.
Bagiku,
acara utama hari ini bukan menjelajahi kebun binatang, melainkan persaingan
makan siang ini.
Semalam, Emoto-san memberitahu bahwa dia akan
membawa bekal makan siang. Tapi aku juga tidak mau kehilangan kesempatan emas
ini, jadi aku juga membawa bekal. Kami berdua tak mau mengalah, dan akhirnya
berakhir dengan dua jenis bekal di depan Yuzuki.
Lagian juga,
Yuzuki
sebenarnya bukan milik Emoto-san.
Jika dia mencoba memonopoli
Yuzuki dengan dalih sebagai “kakak perempuannya”,
aku tidak akan segan-segan untuk “merebutnya
(NTR)”, atau lebih tepatnya, merebut makan siangnya (MTR).
“Aku
sudah menyiapkan bekal ini sejak pukul 7 pagi.
Jadi, bisa enggak kalau kamu jangan menggangguku?”
“Kalau
begitu, aku bangun pagi-pagi jam setengah 7
lho. Kamu akan mengalahkan, ‘kan?”
“Lebih
tepatnya, aku sudah mulai persiapannya sejak semalam!”
“Aku
juga membeli wajan baru khusus untuk hari ini!”
Tanpa disadari, kami berdua sudah berdiri dan saling menatap tajam.
Sama seperti koboy di film barat yang saling mengukur waktu untuk
menarik senjata, kami diam-diam memperhatikan satu sama lain.
Keheningan
berlangsung beberapa detik. Lalu kami berdua kompak mengalihkan pandangan ke
arah Yuzuki.
““Yuzuki!!””
“Y-Ya!”
Yuzuki yang namanya tiba-tiba dipanggil, langsung
menegakkan badannya.
“Cobalah
bekal kami, dan putuskan
siapa yang lebih unggul. Aku akan menunjukkan
kepada Emoto-san seperti apa rasanya kekalahan.”
“Yuzuki, mari kita tunjukkan padanya
betapa kuatnya ikatan saudara di antara kita.”
Sepertinya
Yuzuki tidak tahan dengan tekanan
kami sehingga dia dengan canggung menganggukkan kepalanya.
“Mamori-san, bagaimana kalau kita
tentukan hukuman bagi yang kalah? Pihak yang kalah harus berhenti menjadi
pengasuh Yuzuki.”
“Jika tidak
ada hukuman semacam itu, rasanya bakalan membosankan. Baiklah, aku terima tantanganmu!”
“....Fufufu”
“........fufufufu.”
“Ahahahahaha.”
“Fuhahahaha!”
Kami
tertawa keras seolah memamerkan kemampuan kami. Semangat itulah kunci untuk
memenangkan pertandingan ini. Pada titik ini, aku
tidak memedulikan kalau hanya Yuzuki
yang memandang kami dengan tatapan ketakutan.
Kriteria
penilaiannya sederhana. Siapa yang bisa lebih menyenangkan Yuzuki.
“Kalau
begitu, biar aku yang duluan...”
“Tidak,
giliranku dulu! Ini, silakan!”
Emoto-san
mendorong kotak bekalku dan mengeluarkan isi tas makannya.
Yah, tidak
masalah, pemain utama memang seharusnya datang terakhir.
Biar dia menjadi pemanasannya dulu.
Dari
dalam tas, dia mengeluarkan dua jenis wadah.
Pertama-tama, Emoto-san
memberikan Yuzuki gelas
plastik berpenutup. Di dalamnya ada potongan tomat ceri, brokoli, dan timun.
“Masukkan
saus ala Jepang tanpa minyak ke dalam
gelas ini, lalu kocok baik-baik. Meskipun sedikit, rasanya akan merata dan
terasa lebih kenyang.”
Semacam
salad kocok yang biasa dijual
di minimarket atau kafe. Wadah
lainnya berisi onigiri oatmeal
dan bakso daging ukuran satu suapan, ditusuk dengan lidi.
Itulah
menu yang disiapkan Emoto-san.
Meskipun tampak menarik secara visual dan sehat, yang perlu diperhatikan adalah
kepraktisannya. Bahan salad dipotong besar-besar, jadi bisa dimakan langsung
dengan lidi tanpa perlu sendok atau garpu.
“Sebagai
seorang idol, kami harus bisa makan cepat dan efisien di mana pun, bahkan jika
tidak ada meja atau alas.”
Sepertinya
Emoto-san sangat percaya diri,
mengingat dia menetapkan hukuman bagi yang kalah. Menunya juga cukup seimbang,
ada sayuran dan
protein.
“Mulailah
dengan saladnya dulu. Supaya itu bisa memperlambat
kenaikan gula darahmu.”
“...Baik,
selamat makan.”
Yuzuki
menusukkan sumpit berwarna merah muda pada brokoli, lalu memasukkannya ke dalam
mulunyat. Kemudian, dia melakukan hal yang sama pada
ceri tomat dan ketimun. Suara kunyahan Yuzuki yang renyah terdengar memenuhi paviliun.
“Bagaimana?
Rasanya enak?”
Emoto-san
menatapnya dengan pandangan penuh harap.
Pada
detik berikutnya, aku melihat sesuatu yang luar biasa.
Kosong.
Atau
mungkin, hampa, semesta, ketiadaan, kekosongan dalam ajaran Buddha.
Semua cahaya
menghilang dari bola mata Yuzuki yang besar. Tampaknya makanan
sehat ini tidak terlalu
berkesan bagi gadis yang sedang lapar.
“...”
Wajahnya
datar tanpa menggerakkan otot sedikitpun, hanya mulutnya yang bergerak teratur.
“Yuzuki,
sepertinya kamu sampai tak bisa berkata-kata karena terharu, ya. Apa ini berarti kemenanganku
sudah pasti?”
Sepertinya Emoto-san
sama sekali tidak menyadari perubahan yang terjadi pada ‘adik’nya. Malahan, dia
dengan percaya diri meyakini kalau dirinya telah menang.
Untuk
kudapan kedua, Yuzuki memilih onigiri dengan oatmeal. Tampaknya dicampur dengan
biji wijen putih dan abon ikan. Terdengar suara 'crik-crik' saat dia mengunyah.
“............”
Manusia
bisa kehilangan emosi sampai sejauh ini, aku merasa
kagum melihat Yuzuki yang terus diam tanpa suara.
“Tekstur
biji wijen dan abon ikan memberi aksen yang menarik, bukan? Aroma laut dari
abon ikan juga menutupi rasa hambar onigiri.”
Emoto-san
menjulurkan hidungnya dengan bangga, persis
seperti Pinocchio. Sepertinya dia tipe orang
yang terlalu positif atau
mungkin dia memang tidak bisa
melihat keadaan di sekitarnya.
“...Tapi,
yang terakhir...!”
Pada
titik ini, sinar di mata Yuzuki mulai kembali.
Wajar
saja, karena hidangan terakhirnya adalah bakso. Hidangan
tersebut disiram saus hitam, dan bersinar berkat terpaan
sinar matahari. Sudah jelas
sekali alasan kenapa Yuzuki jadi bersemangat.
“Akhirnya
daging yang kutunggu-tunggu! Selamat makan...?”
Tapi,
semakin dia mengunyahnya, wajah Yuzuki justru semakin murung. Setahuku, dia tidak membenci rasa asam dari saus hitam.
“......................................................”
Ah,
Yuzuki kembali menjadi
mode robot lagi. Bahkan
kecepatan mengunyahnya pun menurun drastis, hampir seolah-olah berhenti total.
Mustahil
Yuzuki tidak menyukai daging. Beberapa hari yang lalu,
dia
bahkan memakannya dengan rakus seperti suku pemburu.
Tiba-tiba,
sebuah kemungkinan terlintas di kepalaku.
“Emoto-san,
boleh aku mencoba satu juga?”
“Wah,
apa masakan buatanku ini begitu menarik bagimu? Silakan, silakan.”
Aku
memakan bakso yang
menempel di sumpit, dan langsung mengerti alasan raut wajah Yuzuki.
“Ini...
ampas tahu?”
Seolah-olah
sudah menunggu tanggapanku,
Emoto-san menjentikkan jarinya dengan percaya diri.
“Benar
sekali! Selain ampas tahu,
aku juga menggunakan tahu dan putih telur sebagai perekat, jadi rasanya tidak terasa kasar di mulut,
'kan?”
Dengan
menggunakan saus hitam yang kuat, dia berhasil menutupi rasa polos dari tahu.
Dan juga rendah kalori. Dia berhasil mempertahankan konsepnya, tapi dengan
kualitas yang tinggi. Tapi...
“Ufufu,
kalau kamu menyukainya,
kapan-kapan aku akan membuatkannya lagi ya?”
“.................................................................Ya.”
Gawat, kondisi mental Yuzuki benar-benar sudah hancur.
“Ka-Kalau
begitu, sekarang giliranku!”
Aku
tidak tega melihatnya lebih lama lagi. Aku
harus segera mengembalikan semangat Yuzuki.
Bento
buatan Emoto-san memang jelas tujuannya, dan tidak ada kekurangan mencolok pada
bentonya sendiri. Kalau ini acara masak
di TV, dia mungkin punya kesempatan menang.
Tapi
Emoto-san salah paham. Juri di sini bukan chef bintang tiga atau instruktur
gym, melainkan Sasaki Yuzuki yang mencintai makanan jalanan.
Ini
kesempatan untuk menunjukkan kepadanya makanan kesukaannya.
Aku
membuka serbet dan melepas tutup kotak bento sekali pakai.
“Inilah bento
buatanku.”
“...Hh♥”
Aku tidak
melewatkan sesaat ketika sorot mata Yuzuki berubah.
Jika
dibandingkan dari segi variasi warna dan jumlah menu, bento Emoto-san memang jauh lebih unggul. Tapi ada
ungkapan ‘sederhana adalah yang terbaik’
di dunia ini. Aku punya
keyakinan mutlak pada satu menu ini.
“Maaf
sudah membuatmu menunggu, Yuzuki. Hari
ini makan siang kita adalah bento daging sapi grill!”
Yuzuki
yang tadi seperti robot tanpa emosi, kini wajahnya dipenuhi harapan.
Beef bowl
di waralaba seperti restoran gyudon, restoran keluarga -
kalbi (potongan daging sapi) banyak tersedia
di mana-mana. Di antara semua bagian daging sapi yang bisa diolah jadi
yakiniku, kalbi adalah yang paling cocok disandingkan dengan nasi putih.
Kandungan
lemak berlebih pada iga pendek yang terkadang menjadi kekurangan bisa diserap
oleh nasi putih. Dengan mengoleskan minyak juicy pada butiran nasi putih murni,
tampilan nasi menjadi lebih menawan dan elegan.
Cara memasaknya pun didasari dengan masakan China.
Aku hanya perlu menumis daging dengan
bumbu kecap asin, gula,
sake, minyak wijen, serta bubuk bawang putih dan jahe, lalu letakkan di atas
nasi putih. Terakhir, taburi dengan biji wijen putih.
Bento
milik Emoto-san adalah makanan ‘bermoral’, sementara
bento buatanku adalah makanan ‘tidak
bermoral’.
Bisa dibilang, ini merupakan pertentangan antara pahlawan dan penjahat.
Namun,
dalam pertarungan antara keadilan
dan kejahatan, keadilan
tidak selalu menang. Seperti konsep anti-hero dalam film dan komik Amerika,
setiap orang memang cenderung tertarik pada jalan yang jahat.
“Ternyata
yang kamu buat adalah makanan itu...!”
Emoto-san
mengepalkan tangannya dengan marah.
“Mamori-san, sepertinya kita memang berada
di kubu yang berbeda...!”
“Maksudmu?”
“Menggunakan
daging sapi yang tinggi kalori, ditambah
lagi dengan bagian yang berlemak seperti kalbi, itu sudah di
luar batas! Kalau mau pakai
daging, setidaknya pakai daging ayam bagian dada atau paha!”
“Tapi
kalau mau diolah jadi yakiniku, kalbi adalah pilihan terbaik.”
Yuzuki
menganggukkan kepalanya di sampingku.
“Dan
apa kamu menyadari bahwa pilihan kalbi itu seperti senjata makan tuan? Lihat
permukaan dagingnya yang sudah dingin!”
Permukaan
daging cokelat itu dipenuhi dengan bintik-bintik
putih.
“Karena
dingin, bumbu dan minyaknya sudah terpisah dan membeku. Dengan daging yang
lengket dan keras begini, bagaimana Yuzuki bisa merasa
puas?”
Memang
benar apa yang dikatakannya. Yakiniku seharusnya dinikmati dalam keadaan
hangat, tapi di sini disajikan dalam kondisi dingin, tentu saja hidangan tersebut kehilangan
daya tariknya. Setelah mendengar
perkataan Emoto-san, Yuzuki
terlihat agak kecewa.
Tapi,
tenang saja. Aku yang sangat paham kesukaan Yuzuki, tidak akan membuat
kesalahan sekelas itu.
“Yuzuki,
coba lihat ke samping kotak bentonya.”
Yuzuki
yang terlihat khawatir, mengangkat kotak bento tinggi-tinggi. Dan tampaklah
sebuah tali yang terjuntai, persis seperti ekor hewan kecil.
“Jangan
bilang kamu...!”
Tampaknya
Emoto-san sudah menyadarinya.
Ya, sejak awal dia sudah salah menilai bekalku.
Asumsinya
bahwa “tidak bisa makan nasi hangat di luar” itulah kelemahannya yang
terbesar.
Aku
menyuruh Yuzuki untuk menarik tali itu.
Pop.
Beberapa
detik setelah menarik tali, uap mulai mengepul dari dalam kotak. Yuzuki
memegang kotak itu dengan kedua tangan, panik seperti pasukan baru yang disuruh
menangani bom.
“Yuzuki,
apa baru pertama kalinya kamu melihat bento model seperti ini?”
Yuzuki
mengangguk dengan ragu-ragu ketika aku bertanya
padanya.
“Ini
adalah kotak bento berpemanas yang sering digunakan untuk makan siang di dalam kereta.”
“Memangnya
hal semacam itu ada?”
“Di bawah
bento ini dilengkapi dengan pemanas di dasarnya. Ada
kantong yang berisi kapur tohor dan air, nah kalau ditarik talinya, keduanya
akan bercampur dan terjadi reaksi kimia yang menghasilkan panas dan uap.”
Yuzuki memperhatikan
peralatan modern ini dengan pandangan serius, seperti sedang melakukan
eksperimen ilmiah. Dan dalam waktu kurang dari satu menit, uap sudah memenuhi
area sekitar. Membawa aroma pekat dari daging dan saus.
Yuzuki
menelan ludah.
“Ta-Tapi aku tidak janji akan
memakan masakan Suzufumi, lho?”
“Kenapa?
Padahal kamu langsung memakan bento Emoto-san tanpa ragu.”
“Tapi
bento Ruru-san itu tidak membuat rasa bersalah. Selain
itu,
rasa laparku sudah terpenuhi, 'kok?”
Ini
adalah pengkhianatan yang tak terduga. Memangnya boleh ya bagi juri untuk bersikap tidak
adil?
Perkembangan
yang tak terduga ini juga tampaknya membuat ekspresi Emoto-san melunak. Kalau
begitu, aku juga tidak akan segan-segan.
Waktu
pemanasan adalah 5 menit. Sama dengan batas waktu untuk ‘jatuh ke dalam makanan’.
“Kamu yakin tidak mau memakannya? Kamu pasti sudah lama ingin makan
daging, 'kan?"
“Tidak juga.
Bakso tahu tadi rasanya
enak dan aku sudah puas.”
“Jangan
bohong. Saat aku mengumumkan kalau bento yang kusiapkan adalah beef kalbi,
bukankah kamu hampir kendali?”
“Se-Sembarangan
kalau ngomong! Aku punya ayam salad di rumah, jadi aku bisa menahannya.”
“Menahannya,
ya... Artinya kamu
sebenarnya ingin memakannya, 'kan?”
“I-Itu...”
Unit
pemanas semakin memojokkan. Semakin lama, semakin banyak uap yang keluar, dan
aroma daging sapi kalbi semakin kuat.
Napas Yuzuki
semakin terengah-engah, seperti seorang
penderita virus zombie yang berusaha menahan hasratnya. Meskipun dia berusaha keras menahan diri,
tapi di dalam hatinya dia sudah mengakui kekalahannya ketika dia tidak
melepaskan kotak bentoku.
Tinggal
30 detik lagi hingga matang. Butiran keringat
mulai muncul di dahi Yuzuki.
Tinggal
20 detik. Dia menekan
dadanya dengan satu tangan, membuat kerutan dalam di blus-nya.
Tinggal
10 detik tersisa. Aku berbisik di telinganya,
seperti membalas dendam.
“Kunyahlah
dagingnya, Yuzuki.”
“...~~~~~♥♥”
Waktu
tersisa tinggal 0 detik.
Saat aku membuka tutup kotak bento,
terlihatlah bento kalbi daging sapi yang masih hangat. Yuzuki, yang terkena
secara langsung kekuatan magis ini, tak bisa melawan.
“Argh...
Tanganku... Bergerak sendiri...!”
Sumpit
yang menjepit daging dan nasi itu bergetar pelan. Tanpa perlawanan yang
berarti, sumpit itu masuk ke dalam mulut Yuzuki.
“Wah,
saus manis-asin dan dagingnya bersatu padu, menyerang tenggorokanku dengan
kecepatan tinggi...♥
Manisnya saus, manisnya lemak, manisnya nasi putih, serangan membabi buta yang
tak terhentikan...♥
Padahal belum kutelan, tapi sumpit sudah bergerak sendiri, jika aku terus seperti ini, bisa-bisa
malah keluar dari mulutku...♥”
Yuzuki
yang terus mengunyah bento itu dikuasai oleh nafsu
makannya. Apa yang dia lakukan bukan sekedar ‘makan’, tapi ‘penyatuan’. Dia
berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan daging dan nasi ke dalam tubuhnya,
menjadikannya sebagai bagian dari dirinya.
Saat aku
melihat ke arah Emoto-san, dia tampak terkejut. Dengan mulut terbuka, dia
terperangah melihat pemandangan di depannya.
“Yu-Yuzuki...
Apa yang terjadi padamu...?”
“Inilah
sifat asli Yuzuki. Apa kamu tidak mengetahuinya?”
“Yuzuki,
cepat sadar! Kumohon!”
Ucapan
Emoto-san tampaknya tidak sampai ke telinga Yuzuki, karena dia terus melahap
bento kalbi dengan kecepatan tinggi.
“Paduan
yang sederhana ini, aku tak pernah bosan untuk memakannya.
Malah, bisa langsung berinteraksi dengan daging dan nasi adalah hal yang
menyenangkan... ♥
Ini pasti perwakilan Jepang dari sederhana adalah yang terbaik. Kekenyangan pun tak bisa menghentikanku♥”
Tapi
tentu saja, semua yang ada pasti akan berakhir. Kurang dari 3 menit, kotak
bento sudah kosong, dan Yuzuki menghembuskan napas puas, “Puhaaah!” Sambil mengunyah abon kering
yang disediakan sebagai penyegar, Emoto-san masih terpana.
Nah, aku
dan Emoto-san sudah selesai menghabiskan bento kami masing-masing. Waktunya
menentukan keputusan akhir.
Penilaian
dilakukan oleh satu juri. Preferensi sang juri akan sangat menentukan.
Emoto-san
yang tadi terlihat sangat percaya diri, sekarang gelagapan dan gemetaran.
“Bukankah
kesepakatan kita, 'yang kalah harus berhenti
mengurus Yuzuki' iya ‘kan,
Ememoto-san?”
“Ugh...”
Ememoto-san
mengeluarkan suara sengsara dari tenggorokannya. Maaf saja, nona idol, tapi
ludah yang kamu muntahkan
takkan bisa kamu minum
kembali.
Meskipun hasilnya sudah kelihatan jelas,
tapi aku tetap harus mengakhiri
pertandingan ini dengan layak. Selama beberapa hari ini, aku benar-benar
menyadari niatku untuk “membuat
Yuzuki jatuh ke dalam makanan”, jadi aku ingin berterima kasih padanya untuk itu.
“Kalau gitu,
Yuzuki. Silakan angkat tanganmu untuk menilai
bento mana yang paling kamu
sukai. Tiga, dua, satu—”
“Sialan,
rupanya ada orang di sini juga!”
Suara
kasar seorang pria memotong perkataanku.
Ketika aku melihat ke arah sumber suara itu,
ada dua pria berusia awal 20-an, masing-masing memakai tank top putih dan tank
top hitam, mereka terlihat seperti
musuh berwarana-warni dalam game RPG.
“Ah...
Kurasa kursi di ujung sana kosong. Cih, bagaimana ini ya?”
Sepertinya
mereka sedari tadi mencari tempat istirahat, dan berkeliling sekitar kebun binatang. Pria
berpakaian putih itu jelas menunjukkan tanda-tanda merasa jengkel.
“Sudahlah,
ayo di sini saja. Aku sudah lelah.”
Pria
berpakaian hitam juga tak terlalu senang. Sandal jepit yang dikenakannya juga
terlihat tipis, dan menurutku itu tidak
cocok untuk berjalan-jalan
di taman.
“Itulah
sebabnya, boleh kami ikut duduk
di sini? Kami minta maaf kalau mengganggu
kencan kalian.”
Tentu
saja tak ada alasan untuk menolak. Tapi entah kenapa, rasanya lebih baik jika
mereka tidak berlama-lama di sini.
Saat pria
berpakaian putih itu melangkah mendekati bangku, wajahnya tampak bingung.
Kemudian, dia menghampiri Yuzuki dan berhenti di depannya.
“...Entah kenapa, sepertinya aku pernah
melihatmu di suatu tempat.”
“B-Benarkah?”
Mendengar
reaksi pria berpakaian putih itu, pria berpakaian hitam juga berjalan mendekati
dengan langkah lebar.
“Ah
iya, kamu benar. Apa kamu seorang artis? Idol?”
“Serius?
Aku baru pertama kali melihatmu. Ngomong-ngomong, siapa pria di sampingmu? Ia pacarmu?”
Dalam
beberapa detik ini, aku sudah bisa menebak. Dua orang ini jelas memiliki mulut
yang gampang bocor. Jika identitas Yuzuki sebagai seorang idola terkuak, bisa-bisa muncul gosip yang aneh.
Meskipun aku ingin keluar dari pondok ini, dua pria berpakaian
hitam-putih itu menghalangi jalan. Selain menyingkir, aku tak punya cara lain
untuk melarikan diri. Jika aku memaksa
kabur, hal itu sama saja berarti
mengakui kalau ini kencan rahasia.
Saat aku
sedang berpikir bagaimana cara mengatasi
masalah ini, tiba-tiba Emoto-san melangkah ke depan.
“Sebenarnya,
kami sedang berada di tengah-tengah video perekaman
jalan-jalan.”
Tanpa
kusadari, di tangannya tiba-tiba sudah ada gimbal yang dipasangkan ke ponselnya, seolah-olah sedang melakukan perekaman. Tapi layar ponselnya tetap
gelap. Jadi, perkataannya hanya sebatas gertakan.
“Ah,
jadi kalian memang artis? Kalau begitu, boleh aku meminta foto dengan kalian?
Aku ingin pamer pada teman-temanku.”
Sebelum
pria berpakaian putih itu memasukkan tangannya ke saku, Emoto-san dengan
cekatan membentuk gestur permintaan maaf dengan tangannya yang kosong.
“Kami minta
maaf, ada aturan dari kontrak yang melarang kami
mengungkapkan informasi artis atau
lokasi pemotretan sebelum tayang. Kalau sampai ketahuan, kami akan dikenakan denda~.”
Di depan
Yuzuki, dia bersikap seperti kakak perempuan. Tapi sekarang dia berbicara dengan suara lembut,
seakan-akan dia adalah
karyawan senior yang
membela karyawan junior. Dia
menurunkan alisnya dengan meminta maaf dan tersenyum tipis.
“Ah,
ayolah. Satu foto saja tidak akan ketahuan...”
Saat pria
berpakaian putih itu berbicara, tangan kanannya terangkat sampai ke dada.
Namun,
tangan kecil Emoto-san sudah lebih dulu meraihnya.
“Kalau
foto memang sulit, tapi setidaknya
kalian boleh minta berjabat tangan. Apa itu cukup?”
Mata
sipitnya tidak
penah lepas memandang pria itu. Pria berpakaian putih
tiba-tiba melunak, menurut dengan berkata “Ah,
iya.”
Pria berpakaian hitam yang berjabat tangan juga tersenyum lebar.
“Nanti
pasti akan ada pengumuman dari stasiun, jadi tolong
nantikan ya!”
Meninggalkan
pria-pria yang terlihat setengah sadar itu, kami segera pergi dari area pondok istirahat.
Di
sampingku, Emoto-san kembali berjalan dengan tenang, wajahnya kembali seperti
atasan yang baru saja menyelesaikan satu pekerjaannya.
“Kamu
sepertinya sudah sangat mahir melakukannya.”
“Sebagai
'kakak', aku memang selalu berlatih untuk melindungi 'adik'-ku. Kalau kamu mengaku sebagai pengasuh Yuzuki,
bukannya saat-saat seperti itulah saat
ketangguhan-mu diuji?”
Ah, aku
tak bisa membantah lagi.
Sejujurnya, mungkin aku terlalu bersemangat. Aku senang bisa pergi bersama
Yuzuki, sampai-sampai tidak memikirkan strategi untuk menghadapi situasi
darurat. Aku bahkan membeku saat berhadapan dengan dua pria berpakaian
hitam-putih itu.
“Sepertinya
ini sedikit lebih awal dari rencana,
bagaimana kalau kita bubar saja? Dengan keberadaan Mamori-san di sini, kalau ada orang lain
yang menyapa, itu akan merepotkan.”
Sudah
cukup lama sejak kami memasuki area kebun binatang, dan tempat ini kini mulai ramai. Meskipun itu membuatku frustrasi, tapi sepertinya mengikuti sarannya
memang yang terbaik.
“Mamori-san, izinkan aku mengatakan satu hal
lagi.”
“.......apa?”
Pandangan
tajam Emoto-san tertuju padaku.
“Meskipun
kemampuan memasakmu cukup bagus,
tapi bagiku kamu masih amatiran! Kamu bahkan tak bisa menghindarkan
Yuzuki dari masalah, apa kamu
pantas menyebut dirimu sebagai pengasuhnya?”
“Uuh...”
“Pertama-tama, kenapa kau datang dengan
pakaian seperti itu? Kamu seolah-olah ingin
mempromosikan kalau kamu sedang berkencan
di depan umum!”
“Uugh...”
“Dan
menunggu satu jam lebih di tempat perjanjian, bukankah itu menunjukkan hasrat
terpendam untuk berduaan dengan Yuzuki selama mungkin? Menjijikkan!”
Bukankah
katanya cuma satu? Sejak tadi aku sudah diomeli habis-habisan. Tapi omelan terakhirnya
juga sepertinya berlaku untuk Emoto-san juga.
“Pokoknya,
hari ini sampai di sini dulu. Permisi.”
Emoto-san
menarik tangan Yuzuki dan berjalan
cepat meninggalkanku. Yuzuki sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi hanya
melambai kecil ke arahku sebelum mengikuti Emoto-san pergi ke arah yang
berlawanan.
Sepertinya
aku masih belum berpengalaman sampai-sampai
berhutang budi pada
rivalku, Emoto-san. Kali ini aku akan mengakui dengan jujur kekalahanku, tapi
lain kali aku akan meraih
kemenangan yang mutlak.
Hmm, tunggu, tunggu, kenapa aku dianggap kalah?
Sepertinya ada hal penting yang kulupakan...
“...Ah”
Benar
juga, pertandingan antara makanan ‘tidak
bermoral’ dan
makanan ‘bermoral’ belum ditentukan pemenangnya.
Apa jangan-jangan alasan dia pergi
dengan cepat untuk menghindar dari keputusan itu?
“Ternyata
dia sengaja mengaburkan hasil pertandingan
dengan keributan tadi...!”
Emoto
Ruru memang orang yang tak bisa diremehkan.