Chapter 6 — Kunjungan Perusahaan Michiba Rokka Dan Toudo Tsuyoshi (Bagian 1)
Bagiku,
berinteraksi dengan orang lain sangatlah
sulit. Aku mengira kalau semua
orang selain aku bisa menjalaninya dengan baik. Tapi ternyata
aku hanya tidak bisa melihat sekelilingku dengan baik.
Ruang
kelas yang dipenuhi orang asing. Jadi wajar
saja jika terjadi gesekan antara orang-orang. Tidak
ada yang jahat atau baik. Yang ada hanya murid-murid yang belum dewasa.
Sedikit
demi sedikit, aku mulai mengerti sesuatu yang tidak
kupahami sebelumnya. Aku tidak merasakan aura yang baik dari
kelompok yang berada di
sekitarku. Michiba terlihat
sangat kesepian. Padahal ada teman sekelas di
sekitarnya.
Itu bukan
urusanku. Kata-kata itu kedengarannya
terlalu menyedihkan.
Kesepian
itu menyedihkan. Aku tidak ingin melihat Sasami yang terkena kebencian tanpa
maksud.
Padahal
seharusnya aku sudah meresetnya—
“U-Umm, kamu
yakin kalau aku boleh ada di sini?”
“Tentu
saja! Ah, aku Tanaka Haru! Aku berada
di kelas khusus dan satu kelas
bareng Toudo!”
“A-Ah, iya, namaku
Michiba. S-Salam kenal."
“Ayo
kita santap makanannya!”
Michiba
mengangguk kecil seperti hewan kecil. Sepertinya aku masih khawatir dengan Michiba. ...Tapi aku tidak tahu harus membicarakan apa.
Aku diam-diam menyantap makananku. Michiba juga menjawab pertanyaan Tanaka
sambil makan.
“Michiba memmakan masakan ala Jepang ya. Hmm, cara makanmu terlihat sangat sopan sekali.”
“Be-Benarkah? ...Ku-Kurasa ini biasa saja, mungkin
karena orang tuaku koki....”
“Begitu
ya? Aku tak tahu standar biasa, tapi rasanya menyenangkan sekali saat melihatnya.”
“Ah,
iya... Terima kasih. Um, ngomong-ngomong...”
“Ada apa?”
Kata-kata
Michiba terhenti sampai di situ. Aku bisa menebak apa yang ingin dia
katakan. Aku sudah 'mereset'
Michiba. Perasaan hangat terhadapnya
sudah hilang.
...Ini
kontradiktif. Aku merasa Michiba
terlihat sedih. Aku juga jadi merasa kesepian. Kepalaku sakit. Tapi, itu tak
penting.
——Aku
hanya perlu menyangkal kontradiksi itu.
“Ka-Kamu
tak apa-apa? Karena kamu
terlihat sedikit tidak sehat.”
“T-Tidak
masalah. Daripada itu, apa kamu
juga tertarik dengan tempat pernikahan ini, Michiba?”
Michiba mungkin mempunyai kepekaan yang tajam. Padahal aku sudah berusaha
bersikap biasa, tapi sejak ‘reset’ hari itu, aku dihantui rasa sakit yang
terkadang menyerang tubuhku. Itulah keadaan normalku sekarang.
“Iya,
karena pekerjaan ini bisa membuat orang bahagia. Menurutku
itu sungguh indah dan
menakjubkan. Bagiku...aku juga..... Suatu hari nanti, aku
juga...”
Michiba
tampaknya sedang menahan sesuatu dengan susah payah. Aku takkan mengatakan bahwa aku tidak tahu apa
itu. Sekarang, Michiba yang berada di depanku ingin
menyuarakan keluh-kesahnya padaku.
——Ini
salahku, akulah yang salah,
aku yang payah, aku yang jahat, aku, aku, aku....
Informasi
tentang pandangan mata, pergerakan bola mata, jumlah keringat, bau, detak
jantung, dan kondisi kulit lawan bicaraku, semua itu mengalir ke otakku.
Itu sama
sekali tidak masalah. Dia hanya tidak ingin membuatku khawatir.
Dia berusaha
mempertahankan diri dengan kata-kata yang merendahkan diri, agar lawan
bicaranya memberikan kata-kata penenang. Ini hal yang wajar bagi anak-anak.
Tapi, Michiba tidak menerima itu.
Michiba
berusaha maju ke depan. Bersama denganku.
Senyuman kaku dan canggung yang
dipaksakan itu adalah buktinya.
“Hmm,
apa kamu mau mencoba ayam goreng ini?
Daging ayam bagus untuk memulihkan tenaga. Kondisi fisik terhubung langsung
dengan kondisi mental. Tidak usah sungkan-sungkan.”
“E-Eh?”
“Toudo,
gadis-gadis tidak bisa makan sebanyak itu, ‘tau?
Michiba-san, kamu tidak perlu memaksakan
diri untuk memakannya.”
“Hmm,
kalau Hanazono pasti bisa menghabiskannya dengan cepat.”
“Hee,
Hana-chan... Ah, sudah kesampingkan itu!
Tapi dia sendiri tubuhnya sangat ramping,
lho!”
“Bukannya
kamu juga sama? Kamu terlihat sangat langsing, Tanaka.”
“Uuu~,
su-sudah, jangan membicarakan tentang aku! Aku cuma sedang membicarakan kalau
Hana-chan itu menakjubkan.”
Michiba
menundukkan kepalanya. Tanaka
tidak berkata apa-apa. Maka aku pun tidak perlu banyak bicara.
“...Makanannya enak ya. Makan bersama-sama
memang terasa lebih enak, ya? Ah-Ahaha, kamu memang
baik sekali, ya.”
Aku
bukannya baik hati. Jika aku benar-benar
orang yang baik hati, aku tidak akan 'mereset'-nya...
◇◇◇◇
“Ah...
Aku harus kembali...”
Setelah
makan siang, acara kunjungan sore kembali dimulai.
Aku dan Tanaka berada dalam kelompok kelas khusus. Sedangkan Michiba berada
dalam kelompok yang sama dengan teman-teman sekelasnya. Tapi, karena jumlah orangnya sedikit, jadi kami mengikuti jadwal yang sama.
Raut wajah
Michiba terlihat pucat. Tapi pandangan matanya menunjukkan kekuatan.
Jika dia
kembali
ke dalam kelompok itu berarti akan ada
perlakuan buruk lagi. Aku juga pernah
merasakan atmosfer yang sama seperti itu.
Lantas, apa yang harus kulakukan?
“Michiba,
kalau kamu tidak nyaman dengan kelompok kelasmu, bagaimana kalau bergabung
dengan kami? Toh, kita satu grup juga. Jadi
seharusnya tidak ada masalah,
‘kan?”
Michiba
memperlihatkan ekspresi terkejut padaku, tapi itu hanya
berlangsung sesaat. Dia menggigit bibirnya seolah sedang menahan
diri.
“T-Tidak,
aku senang dengan tawaranmu, tapi aku harus kembali.”
“Begitu
ya.”
“Terima
kasih banyak, Tanaka-san, Toudo.”
Michiba
melambaikan tangan padaku, lalu kembali ke tampat teman-teman
sekelasnya berada.
Aku tidak
bisa menilai apakah itu
keputusan yang tepat atau tidak.
Di depan Michiba yang membelakangi kami, ada
teman-teman sekelasnya yang dulu. Mereka menampilkan senyum yang tidak kusukai.
Tapi Michiba tidak menunduk. Dia berhadapan
langsung dengan teman-teman sekelasnya.
Aku dan
Tanaka hanya bisa berjalan di belakangnya.
“Hei,
Tanaka. Hubungan pertemanan itu sulit sekali ya.
Michiba yang tadinya dikelilingi teman-temannya, tapi sekarang dia malah dipandang rendah oleh
mereka. Apa itu hal normal?
Aku jadi teringat masa SMP-ku
dulu saat aku sering diejek dan diolok-olok.”
Bahkan
siswa biasa saja sudah kesulitan dengan hubungan pertemanan. Sepertinya sekolah
terlalu sulit bagiku.
Tapi aku
harus terus berusaha. Gagal, gagal, dan belajar dari itu. Aku tidak boleh 'me-reset'
lagi. Aku bisa kehilangan pemahaman tentang hati nurani manusia.
“Iya...
Mengetahui ada orang yang lebih rendah dari diri sendiri bisa membuat seseorang merasa lega. Karena mereka merasa lebih unggul daripada orang lain,
jadi alasannya sangat sederhana.”
“Alasan
sederhana?”
“Ya,
'karena rasanya menyenangkan'
hanya itu saja... Rasanya menyenangkan bisa
merendahkan orang lain, rasanya menyenangkan
jika bisa lebih pintar daripada orang lain, 'aku lebih imut', 'aku lebih terkenal'.
Mereka mendefinisikan diri mereka sendiri melalui orang lain. ... Bukannya Michiba-san dulunya populer di kelas? Tapi reputasinya tiba-tiba
jatuh... Ada juga orang-orang yang menganggap hal itu menyenangkan.”
“Apa benar
begitu?”
——Aku
terkejut. Aku tidak pernah menyangka sampai sejauh itu.
Kalau begitu, ketika aku dikurung di selatan Prancis dulu, bukannya kehidupan sekolahku jauh lebih sulit daripada itu?
Aku
merasa mengerti mengapa mereka mengejekku.
Teman-teman
sekelasku dulu, rekan-rekan kerjaku, mereka semua menertawakanku...
Itu
menyakitkan. Aku menjadi tidak suka. Oleh karena
itu, aku terus-menerus me-reset diriku di masa lalu. Untuk menghilangkan rasa
sakit itu.
Michiba
adalah gadis biasa. Aku tidak ingin dia merasakan sakit seperti itu--
Tidak, tunggu dulu?
“Tanaka,
jangan-jangan... Ini hal yang biasa terjadi? Di dunia ini, hal seperti ini
tersebar di mana-mana?”
Tanaka
mengangguk lemah.
“...Ya,
tidak semua orang sebaik Toudo atau
Hana-chan. Itu benar-benar sulit, ya...”
“Begitu
ya— Kalau begitu, jika aku ingin membantu Michiba—”
“Jika
orang luar mendadak ikut
campur, situasinya malah akan semakin rumit. Jika Michiba-san menerima
ajakanmu tadi, hal itu bisa semakin memburuk. Itulah sebabnya Michiba-san
mencoba untuk menyelesaikannya sendiri.”
“Begitu ya,
aku mengerti. Aku hanya bisa mengawasi saja, ya.”
Aku bisa
memahaminya dengan pikiran. Tapi di dalam hatiku, ada perasaan yang sulit
kujelaskan. Ada banyak
ketidakadilan yang kurasakan.
“Toudo,
kamu ada janji pergi ke kafe dengan Hana-chan dalam
perjalanan pulang, ‘kan?
Kalau kamu tidak
keberatan, bagaimana kalau kamu
mengajak Michiba-san juga?”
Aku
pernah membaca dalam beberapa novel,
bahwa dengan bergaul di komunitas lain, kita bisa merasakan stimulus yang
berbeda dan mengurangi stres.
Memang
ada perselisihan antara aku dan Michiba.
Tapi itu sudah menadi masa
lalu. Kami berdua dulu masih anak-anak yang belum dewasa. Aku merenungkannya di dalam hati. Bukan dengan pemikiran cepat. Aku mencoba
menggali perasaanku sendiri.
...Aku
tidak ingin melihat Michiba
terluka. Aku ingin Michiba
kembali seperti dulu saat
kami tertawa bersama di perpustakaan.
“Ayo
ajak dia.”
Dalam
jawaban singkatku, kumasukkan seluruh perasaanku—
“Syukurlah.
Fufufu, kamu
menunjukkan wajah yang lembut sekarang. Wajah tersenyummu memang yang
terbaik, Toudo.”
Hmm,
apa aku juga tersenyum?
Jika
Tanaka berkata begitu, aku yakin pasti
memang begitu. Perasaan hatiku
menjadi sedikit lebih lapang.
“Umm,
apa sebaiknya aku jangan mengatakannya di depan kelompok itu?”
“Iya...
memang begitu. Aku tidak mempunyai kontak Michiba-san. Bagaimana dengan Hana-chan?”
“Sepertinya
Hanazono dan Michiba tidak
terlalu dekat. Walaupun aku sudah memeriksanya, tapi sepertinya dia juga tidak tahu.”
“Lohh?
Bukannya kamu pernah
belajar kelompok dengan Michiba-san
di perpustakaan, ‘kan? Kalau begitu, kamu pasti punya, ‘kan?”
“...Hah?”
Aku
mengeluarkan ponselku dari saku. Aku ingat pernah bertukar kontak dengan Michiba... Tapi ingatanku sedikit samar-samar.
Tapi
ketika aku memeriksa percakapan di ponselku, seharusnya
tidak ada pesan dari Michiba——.
“Ah,
ini Michiba-san, kan? Haha,
foto profil nikujaganya lucu banget!”
“...Tanaka,
ternyata aku punya kontak Michiba.”
“Hmm? Iya, itu ada kok.”
Aku tidak
bisa 'mengenali'-nya. Aku
tidak bisa melihat hal semacam itu. Dan perasaan sedih, kesepian, khawatir dan
kasih sayang yang muncul dari Michiba
perlahan menghilang dengan cepat.
‘Reset’
yang tidak bisa dipulihkan. Kemampuan yang tidak dapat diukur di luar
akal sehat.
Ingatan-ingatanku bersama Michiba mengalir cepat dalam pikiranku.
Di perpustakaan, di taman rekreasi tepi pantai,
di dalam ruang kelas—
“Tanaka,
aku minta maaf, tapi apa aku boleh
memegang tanganmu?”
“E-Eh, apa?! U-uh, boleh sih...”
Tanaka
menggenggam tanganku tanpa bertanya apapun.
Entah
kenapa, hanya dengan melakukan itu
aku merasa jadi lebih
kuat. Itulah sebabna—
Rasa
sakit yang tak tertahankan yang menyerang seluruh tubuhku, semuanya sudah tidak penting lagi. Aku tidak
akan menyesalinya lagi. Untuk itu—
Aku
mengalihkan 'sakelar'—
Pada saat
itu, emosi yang bergejolak membakar bagian terdalam hatiku. Otakku mengenali
itu sebagai panas api yang nyata. Tapi, itu hanya khayalan. Panas api yang
benar-benar menyengat rasanya tidak
seperti ini.
Aku
memandang ponselku dengan satu tangan.
Air mata
mengalir dari mataku. Di balik pandangan yang kabur, ada sesuatu yang tidak
bisa kukenali.
Pesan
dari Michiba. Pesan yang kutinggalkan tanpa dibalas.
Hatiku terasa
tercekik. Gelombang emosi yang hampir menghilang berubah menjadi lebih tenang.
'Toudo, kamu tidak perlu membalasnya. Maafkan aku selama ini, dan terima
kasih. Berkatmu, aku jadi tersadar.
Semoga kamu bisa bahagia
dengan Hanazono, selamat tinggal.'
Baru
sekarang aku bisa mengenali pesan percakapanku
dengan Michiba.
“————!”
Emosi
yang membara itu berubah arah, mengarah ke dalam diriku sendiri. Bukan untuk
me-reset, tapi menusuk hatiku. Rasa sakit di dalam
hatiku seketika pecah
seperti kaca.
“...Mm,
aku bisa mengenalinya. Nanti
aku akan menghubunginya.”
“Toudo...
Bagaimana kalau kita istirahat sebentar?”
“Tidak
apa-apa.”
Tanaka
terus menggenggam tanganku dengan khawatir. Melihat ekspresi Tanaka, rasa bersalah merebak
dalam diriku. Bukan hanya informasi kontak
Michiba saja yang
tidak kukenali.
“Tanaka,
foto ini... benar-benar bagus ya.”
“Ah,
yang baru kupasang itu! Hehe, kamu ingat meski sudah mereset-nya. Terima kasih...”
Foto kami
berdua, Tanaka dan aku, sedang tersenyum. Foto itu ternyata tertempel di
ponselku. Baru sekarang aku bisa 'mengenali'-nya.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya