Gimai Seikatsu Volume 11 Prolog Bahasa Indonesia


Di mana batas antara perasaan cinta yang mulia dan kesenangan yang penuh dosa? Tidak ada yang tahu, tetapi semua orang mengetahuinya.

 

Prolog Asamura Yuuta

 

Hari Rabu, 1 September. Pagi.

Liburan musim panas berakhir kemarin, dan hari ini aku akan kembali pergi ke sekolah kembali.

Namun, pemandangan di rumahku tidak berbeda dari biasanya. Ayah dan Akiko-san, sebenarnya tidak pernah memiliki liburan panjang, dan aku serta Ayase-san juga bukan tipe orang yang tidur larut hanya karena liburan musim panas.

Di meja makan, ada tiga orang kecuali Akiko-san──aku, ayah, dan Ayase-san. Akiko-san seperti biasa tidur di kamar setelah selesai bekerja. Di meja makan ada telur mata sapi, lembaran rumpur laut, dan sup miso yang dibuat oleh Ayase-san. Semua ini juga sama seperti biasanya.

Sup miso yang dibuat Saki-chan rasanya masih tetap enak seperti biasanya, ya.”

Ayahku menyipitkan matanya sambil memiringkan mangkuk. Ia menghela napas seolah terharu. Aku mengerti... tetapi, reaksinya ini terlalu berlebihan, dan aku sedikit merasa geli. Sudah lebih dari satu tahun dan tiga bulan sejak ayah menikah lagi dengan Akiko-san dan mulai tinggal bersama, tetapi setiap pagi ia masih terharu dengan sup miso buatan putri tirinya. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda.

“Tapi, Yuta juga semakin pandai memasak, ya.”

Ia berkata sambil mencicipi telur mata sapi yang aku buat.

Walaupun kamu memujiku sampai segitunya, aku hanya membuat telur mata sapi biasa.

“Aku juga berpikir sama begitu. Telur mata sapi buatan Nii-san tidak lagi gosong, dan bentuknya juga tidak hancur.”

Ketika Ayase-san mengatakan itu padaku, aku merasa sedikit malu.

“Tapi dashimaki tamago yang aku buat sebelumnya gagal, sih.”

“Yang mirip telur orak-arik itu?”

Uwohh, aku hampir dibuat tersedak. Hanya mengingatnya saja sudah membuatku malu.

Dashimaki tamago yang dibuat Ayase-san sangat enak, dan beberapa hari lalu, aku mencoba untuk bisa membuatnya sendiri untuk pertama kalinya. Aku sudah menyiapkan bahan-bahan sesuai resep, tetapi hasilnya tidak berhasil sama sekali. Ketika aku menyentuhnya dengan sumpit, telur itu langsung hancur, dan ketika aku mencoba menggulungnya, telur yang menempel di dasar wajan tidak mau terlepas, sehingga hasil akhirnya adalah sesuatu yang tidak tergulung dan beberapa gumpalan telur yang gosong tetapi masih bisa menempel satu sama lain.

“Jika kamu membuatnya beberapa kali lagi, mungkin kamu mungkin bisa mendapatkan triknya.”

Dihibur oleh Ayase-san seperti itu, aku hanya bisa menjawab, “Semoga saja begitu.”

Kurasa tidak ada gunanya juga untuk terburu-buru, ya?”

“Begitu... ya. Hmm, ya. Aku juga berpikir begitu.”

Entah kenapa, Ayase-san mengatakannya dengan nada yang mendalam, tetapi mungkin itu bukan hanya tentang memasak.

Aku teringat tentang pelatihan belajar musim panas yang aku ikuti.

Dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki level tinggi membuatku merasa tertekan, aku bahkan tidur busa dengan tenang, yang pada akhirnya menurunkan efisiensi belajarku. Ketika aku menyadari bahwa alasanku untuk masuk universitas yang sangat ingin aku tuju bukanlah untuk diriku sendiri, rasa malunya sangat besar.

Tujuan pendidikan yang aku jalani selama ini adalah menuju tempat terbaik yang bisa aku masuki. Namun, apa itu saja sudah cukup? Jujur saja, aku mulai meragukannya. Apa aku benar-benar bisa menetapkan Keiryo sebagai Universitas yang aku impikan? Di mana sebenarnya jurusan yang aku inginkan? Mungkin sudah terlambat untuk belum memastikannya sampai tahap September ini... tetapi kenyataannya aku memang belum memutuskannya.

Ketika Fujinami-san memberiku peringatan itu, aku kembali berpikir bahwa aku harus melakukannya bukan demi orang lain, tetapi untuk diriku sendiri; karena aku ingin mendapatkan pekerjaan yang baik, karena aku ingin pergi ke universitas──itulah sebabnya aku ingin melanjutkan kuliah.

Tentu saja, aku juga ingin menjalin hubungan yang baik dengan Ayase-san, dan aku ingin menghargai masa-masa di SMA yang aku habiskan bersamanya.

“Ngomong-ngomong, Yuta, Saki-chan, Akiko-san khawatir tentang tanggal pertemuan antara guru dan wali murid. Waktunya sudah lumayan dekat, kan? Tahun lalu, itu diadakan di akhir September, iya ‘kan?”

“Ah—”

Aku belum mendengar tanggalnya, tetapi aku rasa itu sekitar waktu yang sama,” kata Ayase-san.

Aku mengangguk di samping Ayase-san dan berkata, “Persis seperti yang dikatakan Saki. Setelah itu, hanya ada pertemuan pribadi saja.”

Ujian masuk universitas bukan hanya masalah bagi para calon mahasiswa saja. Mengikuti ujian masuk universitas saja sudah memerlukan biaya, dan jika diterima, biaya kuliah juga akan dikenakan. Jika harus pergi ke universitas yang jauh dari rumah, maka biaya tempat tinggal juga akan muncul. Meskipun kami bisa membayar biaya kuliah dengan beasiswa dan biaya hidup dengan gaji kerja paruh waktu, kami masih di bawah umur, dan dalam hal apa pun, kami masih berada di bawah perlindungan orang tua, jadi kami tidak bisa bebas melakukan apa pun. Mengatur hal-hal tersebut adalah tujuan dari pertemuan antara guru dan wali murid.

“Apa pun universitas yang kalian pilih, aku ingin membantu sebisa mungkin.

Ucap Ayahku sambil tersenyum, dan Ayase-san membungkuk dengan tulus.

“Terima kasih. Aku akan berusaha agar diterima.”

“Jadi, pilihanmu masih tetap sama, ya?”

“Ya.”

Kampus pilihan pertama Ayase-san adalah Universitas Perempuan Tsukinomiya. Sebenarnya, dia baru mengetahui nama universitas itu saat pertemuan tahun lalu. Dia mulai memperhatikannya setelah disarankan oleh wali kelas. Oleh karena itu, Akiko-san yang ada di sana juga tahu. Beberapa waktu setelah itu, Ayase-san mengunjungi acara kampus terbuka di Tsukinomiya. Sepertinya dia semakin tertarik setelah kunjungan itu.

Kampus terbuka, ya....

Mengunjungi acara kampus terbuka di musim gugur kelas 3 SMA terasa agak terlambat bagi siswa dari sekolah yang berprestasi seperti Sekolah Suisei, atau bisa dibilang, aku kurang menyadarinya... Namun, aku berpikir, meskipun terlambat, lebih baik pergi daripada tidak sama sekali.

Apa kamu masih dalam tahap memikirkannya, Yuuta?”

“Ya, aku ingin mempersempit pilihan sebelum pertemuan antara guru dan prang tua. Dan juga──”

Aku melakukan kontak mata dengan Ayase-san. Dan dia menanggapinya dengan mengangguk diam.

“──Tahun ini, aku akan bertanya apa aku bisa melakukannya pada hari yang sama dengan Saki.”

“Itu akan sangat membantuku dan Akiko-san, tapi... apa kalian baik-baik saja dengan itu?”

“Kami tidak terlalu mempermasalahkannya. Lagipula, tidak ada yang perlu disembunyikan, bukan?”

Faktanya, kami berdua memang saudara tiri. Memang benar bahwa hasil dari pernikahan ulang orang tua kami, aku mempunyai adik perempuan yang sebaya muncul di sekolah yang sama, yang bisa jadi dilihat dengan cara yang aneh, tetapi kami sudah berhenti berusaha bertingkah sebagai orang asing di luar.

“Akiko-san pasti akan senang mendengarnya.”

Saat kami sedang membicarakannya, tiba-tiba pintu kamar tidur terbuka dan Akiko-san terlihat berjalan menuju kamar mandi. Dia masih mengenakan piyama. Ayah segera berdiri dan menuangkan teh barley dari kulkas ke dalam gelas dan memberikannya kepada Akiko-san yang kembali dari kamar mandi.

Mereka berbincang sejenak, tapi tak lama kemudian ayahku segera kembali.

“Aku sudah memberitahukan tentang pertemuan. Kalian nanti bisa memberitahunya jika tanggalnya sudah pasti.”

Mungkin rasanya jarang sekali bagi ibu untuk bangun pada waktu seperti ini.”

Karena dia pulang larut malam dan tidur, memang benar bahwa waktu sarapan merupakan saat-saat dia sedang nyenyak tidur. Saat Ayase-san mengatakan itu, ayah mengangguk.

“Jika pendingin ruangan dimatikan, suhunya masih cukup tinggi. Mungkin dia terbangun karena panas. Aku sudah bilang sebaiknya tetap menyalakan AC.”

Begitu ya, jadi teh barley yang diberikan tadi untuk mencegahnya dari dehidrasi, ya.

Karena ibu tidak suka dengan pendingin ruangan...”

Walaupun begitu, cairan tubuh akan tetap menghilang meski kita sedang tidur, jadi meskipun sudah bulan September, risiko dehidrasi di siang hari masih ada. Seperti yang dikatakan ayahku, sebaiknya pengaturan suhu pendingin ruangan dilakukan dengan baik. Jangan lupa untuk tetap terhidrasi.

“Aku cepat merasa panas dan langsung menyalakan pendingin ruangan, tetapi Akiko-san cepat merasa kedinginan. Ya, di musim dingin, aku juga tidak suka pemanas, sih.”

“Jadi, kamu mematikan pemanas?”

“Tidak, aku tidak sampai segitu tidak sukanya.”

Dia tersenyum saat mengatakannya, tetapi apa ini mungkin termasuk upaya pamer kasih sayangnya?

“Akiko-san menjalani kehidupan yang terbalik antara siang dan malam. Dia harus lebih memperhatikan kesehatannya dibandingkan aku.”

Ayah tiri juga sibuk dengan pekerjaan, jadi ibu pernah memberitahuku kalau dia berharap bahwa Ayah tiri lebih memperhatikan kesehatan dirinya sendiri....”

“Be-Benarkah? Ya, tentu saja aku akan berhati-hati.”

Aku tidak menyangka akan melihat ayah menggaruk belakang kepalanya sambil memegang sumpit dan terlihat malu. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan setahun yang lalu.

Ya, ya. Mereka berdua masih saja akur seperti biasanya.

Ayahku memiliki trauma karena perceraian dengan ibu kandungku sebelumnya, jadi aku juga senang melihat mereka berdua akur. Meskipun aku ikut merasa senang, tapi ketika aku melihat Akiko-san menerima teh barley dari ayah dan saat dia mengucapkan terima kasih sambil memperbaiki dasi ayah yang melenceng, mereka berdua tidak terlihat seperti pasangan suami istri yang memiliki anak-anak SMA, melainkan lebih seperti pasangan muda.

Aku merasa tidak nyaman dengan dasi seragamku, jadi aku menyentuh leherku dan mengutak-atiknya.

Pada saat itu, aku merasakan betisku diketuk tiga kali di bawah meja, ton, ton, ton, dengan lembut. Aku mengenali bahwa yang mengetuknya adalah Ayase-san. Itu adalah isyarat. Karena aku merasakan hal yang sama, jadi aku membalasnya kembali dengan mengetuk ringan, ton, ton, ton, tiga kali.

“Terima kasih. Makanannya enak.”

Ayahku berkata sambil mengangkat piring yang sudah kosong dan berdiri.

“Jika kamu meletakkannya di wastafel, kami akan mencucinya.”

“Begitu, ya. Maaf ya.”

“Tidak apa-apa. Lagipula, Ayah tiri masih sangat sibuk, kan?”

Iya sih. Baiklah, aku pergi dulu.”

Karena sepertinya pekerjaannya semakin menumpuk, meskipun ia selesai makan lima menit lebih awal dari biasanya, ayahku pergi dengan wajah cemas sambil membawa tasnya dan meninggalkan rumah.

Aku dan Ayase-san mengucapkan selamat tinggal kepada ayah yang pergi.

Kemudian kami kembali ke makanan kami. Setelah selesai mencuci piring, kami bersiap-siap untuk pergi.

Sebelum kami keluar dari pintu, kami saling merangkul punggung dan menyatukan diri.

Di antara aku dan Ayase-san, ada satu aturan baru yang ditambahkan sejak festival musim panas.

Ketika salah satu dari kami ingin merasakan kehangatan satu sama lain, kami membuat kode isyarat untuk meminta persetujuan agar itu tidak menjadi paksaan. Rasanya seolah-olah seperti sedang memainkan permainan spionase, dan dalam arti tertentu, ini adalah tindakan yang kekanak-kanakan. Walaupun penampilan kami sudah terlihat dewasa, tapi kami berdua masih remaja di masa puber, dan kami masih mengagumi hal-hal seperti isyarat rahasia semacam ini.

Kami berdua saling mendekat dan memejamkan mata. Aku pikir Ayase-san juga memiliki pemikiran tertentu setelah melihat ayah memperlakukan Akiko-san dengan baik. Setelah merasakan kehangatan satu sama lain selama beberapa detik, kami pun melepaskan tubuh kami.

Jika saat kami berpelukan, Akiko-san yang sedang tidur terbangun, atau jika ayahku kembali karena lupa sesuatu, mungkin tindakan kami akan ketahuan. Namun, bagi kami, beberapa detik ini sangat berarti.

Mungkin di lubuk hati kami, ada perasaan bahwa jika kami ditemukan, itu tidak apa-apa, atau bahkan lebih baik jika itu yang terjadi.

“Yuk, kita pergi.”

“Tunggu.”

Sambil berkata begitu, kedua tangan ramping Ayase-san meraih leherku dan menggenggam dasiku sambil berkata, “Ini melenceng.”

“Ah, iya... Terima kasih.”

Kami berdua kemudian berjalan berdampingan menuju sekolah.

 

Musim gugurku kali ini dimulai bersama adik tiriku sekaligus kekasihku.


 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama