Chapter 5 — Hanyut Dalam Dirimu
Bagian 1
Sejak
peringatan hari pertengkaran kakak-beradik
antara Kazemiya dan Kuon-san, pelarian kami dari rumah berjalan
dengan sangat mulus.
Meskipun
terdengar aneh untuk mengatakannya
'mulus' saat kami dalam keadaan
melarikan diri, tapi memang begitu adanya.
Satu-satunya
hal yang berubah secara signifikan adalah Kuon-san yang berubah menjadi sekutu
kami, bukan pengejar lagi.
Dia membantu mengambil barang-barang yang diperlukan untuk kehidupan Kazemiya, termasuk pakaian gantinya,
dan juga menghubungi keluargaku.
Perubahan
terbesarnya adalah masalah penginapan yang dialami kami mulai teratasi. Itu semua karena Kuon-san
menyediakan penginapan dan melakukan 'bantuan
kecil' dengan
syarat menginap di sana.
[Jika
kesehatan Kohaku-chan
terganggu, aku akan menenggelamkanmu dan juga membunuh diriku sendiri]
Hal itu
dikarenakan ancaman yang ditujukan
padaku.
“Setidaknya
aku ingin bertanya dulu, di laut mana aku akan
ditenggelamkan?”
“Laut?
Bukan, bukan. Aku sedang dalam suasana hati hiking ke gunung. Tempat yang panas
sekali sampai-sampai membuat tubuh
meleleh akan terasa cocok.”
(Jadi ke
kawah gunung berapi, ya...)
Rupanya,
rencananya bukan untuk menenggelamkanku
ke laut, melainkan ke dalam
dasar magma.
Meskipun hal tersebut terdengar gila, aku
menerima itu daripada terus melarikan diri dan membahayakan kesehatan Kazemiya. Sulit dipercaya kalau dia adalah orang yang sama yang pernah menyudutkan Kazemiya pada beberapa hari yang lalu.
Sepertinya dia dan Kazemiya
mulai berkomunikasi sedikit demi sedikit melalui
aplikasi pesan. Dia masih khawatir dengan situasi kami
yang melarikan diri, tapi dia
tetap saling bertukar pesan sebagai kakak
perempuannya. Dengan
melarikan diri dari rumah, kami bisa
dengan lancar menyelesaikan 'daftar
kegiatan liburan musim panas'
yang sudah kami rencanakan sebelumnya.
Dan
sekarang. Aku dan Kazemiya
sedang────
“Narumi,
Inumaki. Dua porsi yakisoba dan satu es serut
biru hawaii dan satu rasa stroberi.”
“Siap.
Natsuki, aku serahkan pesanan es serutnya padamu.”
“Oke,
serahkan saja padaku!”
─bekerja
paruh waktu di rumah pantai.
“Es serutnya
akan segera siap nih.”
“Yakisobanya
juga hampir selesai.”
Sambil
berkeringat menghadapi kombinasi buruk antara terik panas musim panas dan
panasnya penggorengan, aku menyiapkan pesanan
yakisoba.
Aroma
saus kuat yang
merangsang selera makan, sementara angin panas dari kipas angin di dapur
membuatku hampir mati. Seriusan,
aku bahkan bisa melihat fatamorgana di depan
yakisoba ini karena saking
panasnya.
“Kouta.
Sebentar lagi waktunya istirahat, jadi ayo kita sama-sama semangat.”
“Ah...
Iya, benar. Lah Natsuki,
kamu sendiri malah penuh semangat ya...”
“Wajar
sajalah! Karena aku bisa bekerja paruh waktu di
rumah pantai bersama Kouta. Tentu
saja aku menjadi bersemangat!”
Apa iya? Apa mungkin
memang begitu ya. Sudahlah, panasnya
membuatku tak bisa berpikir jernih.
“Benar juga...
Aku juga merasa senang
dan menikmati bekerja paruh waktu bersamamu, Natsuki.”
“Hehe.
Begitu ya. Semangat-mu sepertinya tambah tinggi nih.”
Natsuki
tersenyum cerah sambil menuangkan sirup ke atas es
serut.
Yakisoba
dan es serut merupakan menu
khas musim panas. Memakannya sambil melihat laut biru yang indah di balik
dinding ini pasti terasa sangat nikmat.
“Narumi,
Inumaki. Dua kari, satu porsi nasi besar.”
“Siap.
Es serutnya sudah jadi, dan biar aku saja yang urus karinya.”
“Tolong
ya.”
Suasana dapurnya memang seperti kamar mandi
beruap, tapi di luar juga terik matahari musim panas. Kazemiya yang bertugas di luar pun
pasti kepanasan, tapi wajahnya tampak bersinar
cerah. Aku bisa melihatnya
dengan jelas kalau dia
sedang menikmatinya.
(Jika aku bisa melihat wajah bahagianya
itu, aku senang datang bekerja di sini. Aku harus berterima kasih lagi pada Natsuki
nanti.)
Sambil
bergerak secara otomatis menggoreng yakisoba, aku tiba-tiba teringat kejadian
beberapa hari lalu.
Kenapa
kami akhirnya bekerja paruh waktu di rumah
pantai ini?
Kenapa
Natsuki bisa ada di sini bersama kami?
Semua
itu terjadi saat kami mampir ke restoran keluarga untuk mendapatkan stempel
keempat─────
“Kamu ingin
mencoba bekerja
paruh waktu?"
“Iya, aku mau mencobanya.”
Setelah menikmati minum teh setelah makan malam, Kazemiya mengangguk lagi.
“Kalau
begitu, bukannya kamu sedang melakukannya? Pekerjaan yang
baru-baru ini diperkenalkan Kuon-san. Yang menginap di sana.”
“Itu sih bukan pekerjaan paruh waktu, tapi
namanya 'Membantu Onee-chan'
atau 'Membantu Kenalannya Onee-chan'.
Jadi semacam relawan gitu. ...Bukan berarti
aku tidak puas karena tidak
dibayar, sih.”
Kazemiya melanjutkan perkataannya
dengan sedikit ragu.
“Aku sudah... cukup merepotkan Onee-chan dalam banyak hal. Jadi aku ingin
membeli hadiah untuknya. Sebagai permintaan maaf untuk berbaikan?”
“Ah,
kalau begitu memang lebih baik cari pekerjaan paruh waktu selain yang
diperkenalkan Kuon-san.”
“Iya.
Dan kamu sendiri juga tahu, Narumi, di rumahku
dilarang kerja paruh waktu, ‘kan?
Tapi sekarang aku kabur dari rumah, jadi aku ingin mencoba kerja paruh waktu mumpung ada kesempatan bagus.”
Ada
sesuatu yang janggal dalam kata-katanya. Mungkin alasan dia ingin mencoba kerja paruh
waktu bukan hanya itu saja, tapi aku tak berniat menggalinya lebih dalam. Itu
adalah pemikirannya sendiri, dan kurasa itu tidak buruk.
“Kerja
paruh waktu ya. Aku tidak menentangnya,
tapi pada dasarnya butuh izin dari orang tua.”
“Ughh, sudah
kuduga pasti bakal begitu.... pantas saja Onee-chan menggunakan
dalih
'Membantu Onee-chan'
agar tidak perlu izin.”
Sepertinya
Kazemiya sudah memahami hal itu. Karena dia langsung
mundur.
Kerja
paruh waktu ya. Dia sendiri memang ingin mencobanya, jadi aku ingin
membantunya, tapi tempat kerja paruh waktuku lumayan
jauh dari sini. Malah akan jadi perjalanan balik. Apalagi aku baru saja mendapat cuti panjang yang membuat
suasana canggung (meski aku sudah dimaafkan, tapi aku harus minta maaf lagi
saat kembali). Bagaimanapun juga masih tetap
butuh izin orang tua... Seandainya saja
ada jalan lain...
“...Tunggu
sebentar.”
Aku meninggalkan tempat duduk dan
menelepon seseorang. Hanya satu nada dering saja
teleponku langsung tersambung.
“Yo,
Kouta. Bagaimana kabarmu saat
kabur dari rumah?”
“Yah,
lumayan lah.”
Inumaki
Natsuki. Ia adalah
teman masa kecil dan satu-satunya sahabat terbaikku.
Ia
memiliki banyak teman dan hubungan pertemanan serta jaringan yang luar biasa
luas. Dirinya bahkan pernah mendapat tiket film
lebih dari beberapa orang di industri perfilman. Meski kami terus bertukar
pesan sejak aku kabur
dari rumah, baru kali ini kami berbicara melalui telepon sejak aku kabur.
“Ahaha.
Syukurlah kalau begitu. Tapi jika kamu
sampai meneleponku, itu berarti ada masalah yang sedang kamu hadapi?”
“Bukannya masalah sih, tapi ada sesuatu yang ingin aku minta. Jika itu terlalu merepotkan, kamu boleh menolaknya.”
“Menolak?
Aku? Permintaan darimu? Mana
mungkinlah. Meski ada masalah, aku akan mengaturnya
dengan mengesampingkan yang lain. Jangan segan-segan menggunakanku, pakai saja
aku sampai habis.”
“Menggunakan
teman masa kecil yang berharga sampai habis? Mana
mungkin aku akan melakukan hal itu, memangnya kamu pikir aku ini apaan?”
Entah
karena aku baru saja berhadapan dengan
Kuon-san, Natsuki terasa sedikit mirip dengannya. Tapi aku sama sekali tidak
merasa tidak nyaman dengannya. Malah aku merasa aku bisa mengandalkannya.
“Ceritanya
sedikit panjang, tapi...”
“Tidak
apa-apa. Malah aku senang bisa banyak mengobrol dengan Kouta.”
Aku
menceritakan secara singkat
latar belakang permintaanku kepada
teman masa kecilku yang
begitu ramah ini.
Bahwa aku ingin membantu Kazemiya yang mau mencoba bekerja paruh waktu, tapi
sepertinya dia tidak
akan bisa mendapat izin dari orang tuanya.
“Ah,
begitu ya. Baiklah, aku mengerti,
kurasa aku bisa mengaturnya entah bagaimana.”
“Benarkah?”
“Iya.
Kebetulan aku punya kenalan yang mengelola rumah pantai. Sepertinya beberapa
calon karyawan mereka sedang tidak bisa datang karena sakit. Jadi mereka sedang
mencari tenaga tambahan. Kalau aku yang merekomendasikan, mereka pasti langsung
menerimanya tanpa wawancara.”
“Tapi
bagaimana dengan izin orang tua?”
“Tenang
saja. Pada dasarnya, siswa SMA boleh bekerja paruh waktu tanpa izin orang tua.
Memang ada risiko kontraknya bisa dibatalkan kemudian, tapi ibunya Kazemiya-san tuh manajer artis, ‘kan? Mereka pasti ingin menghindari
masalah yang tidak perlu. Jadi setelah mulai bekerja, semuanya akan beres. Aku
akan mengatur semuanya dengan pemilik restoran kenalan-ku, dan kalau ada
masalah dari sekolah pun, aku yang akan menjelaskan.”
Ia memang bisa
diandalkan. Natsuki memang hebat. ...Tapi entah kenapa,
aku jadi sedikit khawatir.
Aku paham
bahwa ini adalah hasil dari kecakapan
Natsuki dalam bersosialisasi,
tapi aku tetap khawatir kalau-kalau dia memaksakan diri.
“...Natsuki.”
“Hm?”
“Dibandingkan
denganmu, aku memang tak bisa apa-apa. Tapi jika ada masalah, katakan saja
padaku. Aku akan berusaha sekuat tenaga membantumu.”
“......................................”
“Natsuki?”
Tidak ada
jawaban sama sekali. Mungkin ada masalah
dengan sinyal?
“Maaf,
tiba-tiba aku merasa terharu mendengarnya. Hatiku
menjadi tergerak lebih dari saat aku mendapat fanservice besar
dari superhero idolaku.
Rasanya terlalu ada banyak emosi yang meluap.”
“Kamu berlebihan.”
Pasti ia sedang mencoba menghiburku dengan
leluconnya.
“Jika kamu
memiliki rincian pekerjaan paruh waktunya, apa kamu bisa mengirimkannya padaku? Aku akan mencoba menyampaikannya kepada
Kazemiya.”
“Oke,
aku akan mengirimkannya semua segera.”
Aku
memeriksa rincian pekerjaan yang
dikirim Natsuki. Boleh menginap, dapat makan, dengan upah 20.000* yen per hari. Jam kerja dari jam 10 pagi hingga 8 malam. ...Tidal diragukan lagi kalau jam kerjanya
sangat sibuk, tapi gajinya luar
biasa. Seperti yang diharapkan dari Natsuki.
...Tapi rasanya memang mereka sangat membutuhkan pegawai, sampai menawarkan
kondisi sebaik itu. (TN: Sekitaran 2,1 juta rupiah)
“...Jadi begitulah, Natsuki yang menawarkan pekerjaan ini...”
“Aku
mau.”
Kazemiya langsung menjawab tanpa ragu.
“Hei,
setidaknya pikir-pikir dulu sedikit napa.”
“Aku sudah
memikirkannya. Kalau itu tawaran pekerjaan yang
dibawakan Narumi, aku yakin itu
pasti tidak apa-apa. Dan aku juga sangat ingin
mencoba bekerja
paruh waktu, walaupun itu pasti
berat.”
Matanya
berbinar-binar penuh semangat. Sepertinya dia memang
benar-benar ingin mencobanya. Aku sedikit khawatir... Tapi kali ini Natsuki
juga akan ikut bekerja, dan aku akan bersamanya. Kurasa
itu jauh lebih baik daripada membiarkan
dia bekerja sendirian di tempat lain.
“Sebenarnya
Natsuki juga akan ikut bekerja di sana, jadi jangan lupa berterima kasih
padanya.”
“Oke,
aku akan memberitahunya.”
Dia
mengangguk dengan mantap. Aura kesepian dan menyendiri yang ada pada Kazemiya di kelas sebelumnya sudah
hilang tak berbekas, sekarang dia seperti anak anjing yang ekornya terus
berkibas-kibas.
────Begitulah
latar belakangnya, dan kini kami bekerja paruh waktu di rumah pantai.
Kazemiya bertugas di bagian luar,
sementara aku dan Natsuki di dapur. Sejujurnya aku sendiri tidak terlalu pandai
memasak. Di hari pertama saat ditugaskan di dapur, aku khawatir kalau aku akan menjadi masalah. Tapi
setidaknya aku punya pengalaman bekerja
paruh waktu, dan menu yang disajikan di sini juga tidak terlalu rumit. Ada
panduannya juga, jadi aku masih bisa mengatasinya sejauh ini.
Aku
justru leboh mengkhawatirkan Kazemiya, tapi dia terlihat sedang
berjuang sekuat tenaga meskipun
belum terbiasa. Dia memang sudah cukup terampil sejak awal, dan pelayanan yang
awalnya canggung kini sudah cukup lancar setelah beberapa hari.
Setelah
merasa lega karena kekhawatiranku tidak terbukti, aku dan
Natsuki terus mengerjakan pesanan-pesanan yang berdatangan ke dapur bagaikan
banjir. Jumlah pesanan yang menggunung itu sudah seperti neraka, tapi karena
bersama teman masa kecil yang bisa diandalkan, rasa penatnya tidak semengerikan
itu. Sebaliknya, tepat pada saat kesibukan ini menjadi sedikit lebih
menyenangkan────
“Kouta,
katanya kita boleh istirahat.”
“Sudah
waktunya ya.”
Aku
bahkan tidak sadar kalau sudah waktunya untuk istirahat
hingga Natsuki memanggilku. Kami pindah ke ruang kosong untuk ebristirahat, bergantian dengan staf
lain yang kembali dari istirahat. Aku mengambil dua botol ramune dari dalam
kulkas dan membukanya, mengeluarkan buih karbonasinya yang berdesir
menyenangkan. Akhirnya aku bisa menenangkan tenggorokanku bersama Natsuki.
“Ngomong-ngomong,
bagaimana dengan Kazemiya?”
“Mungkin
tinggal lima menit lagi sampai
pergantian shift. Karena dia berada di bagian pelayanan, jadi waktunya berbeda dengan kita.”
“Begitu
ya.”
“Tenang
saja, Kazemiya-san pasti baik-baik saja kok.”
Melihatku
menatap Kazemiya di
bagian luar, Natsuki tersenyum maklum.
“Awalnya
aku juga khawatir karena ini merupakan
pengalaman pertamanya dalam bekerja
paruh waktu. Tapi ternyata dia cukup cekatan, dan jarang salah menulis pesanan. Meski
pelayanannya masih sedikit
canggung, tapi dia berhasil melakukannya dengan
baik.”
“...Kurasa kamu
benar. Mungkin aku terlalu over-protektif.”
Kazemiya sudah baik-baik saja sekarang. Dia tidak
lagi berdiri terhuyung-huyung di tengah hujan seperti waktu itu. Luka di hatinya pun sudah mulai sembuh. Bahkan
dia sudah berani berhadapan dengan kakaknya, Kuon-san. Aku tahu betul seberapa
kuat dirinya.
“Overprotektif
ya... Apa maksudmu dengan berkata seperti itu?”
“Eh?”
“Aku heran kenapa
kamu bersikap overprotektif pada Kazemiya-san, Kouta.”
“Itu...”
Aku tidak bisa segera menjawabnya saat ditanya langsung seperti
itu.
“Bagimu, Kazemiya-san itu orang seperti apa?”
“...Dia adalah orang yang berharga bagiku.”
“Apa
maksudmu dia adalah orang yang berharga sebagai teman?”
Teman semasa
kecil memang berbeda, Natsuki sangat
memahamiku dengan baik dan peka terhadap berbagai hal.
“Yah,
mana mungkin kamu rela sampai kabur dari rumah demi
sekedar teman biasa, ‘kan? Entah kenapa aku jadi sedikit iri.”
Lebih dari
sekadar teman. Lebih dari sekadar anggota keluarga.
Lebih
dari seorang teman. Tapi berbeda
dari keluarga. Dan berbeda pula
dari seorang sahabat.
Keberadaan
Kasemiya Kohaku dalam
hidupku adalah...
“Kenapa
kamu tiba-tiba tanya begitu?”
Aku
cepat-cepat meneguk ramune-ku lagi seolah-olah
berusaha untuk menutupinya. Aku
sadar kalau aku meminumnya lebih cepat dari biasanya. Bukan
karena cuaca panas, juga bukan karena haus.
Bola-bola
kaca di dalam botol bening itu berguling-guling, sisa gelembung karbonasinya
muncul lalu pecah. Sama seperti jawaban yang baru saja muncul di pikiranku,
lalu menghilang.
“Aku
khawatir kalau semisalnya kamu
memendam perasaanmu sendiri. Ini memang campur
tangan berlebihan dari teman masa kecil.”
“...Ini
merepotkan. Aku mungkin tidak memedulikannya kalau itu perkataan orang lain.
Tapi aku tidak bisa mengabaikannya kalau orang yang
ikut campur tangan adalah
kamu, Natsuki.”
Bukan
karena ia adalah teman
masa kecilku. Natsuki
selalu bersamaku bahkan saat aku mengalami masa sulit. Saat aku tak bisa mencapai hasil,
saat orang tuaku bercerai, saat aku sedang berantakan. Ia tak pernah menasihati atau
menceramahi, hanya ikut menemani.
Bagiku, ia bukanlah sekedar teman masa kecil dan sahabat
terbaik saja, tapi ia sudah
seperti keluargaku
sendiri... Itulah sebabnya campur tangan mendalam yang
tidak biasa ini benar-benar menyentuh hatiku.
“Aku
tahu kamu selalu menjaga jarak dengan orang lain sejak ada masalah dengan ayahmu. Dulu semasa sekolah SD, kamu
mempunyai banyak teman, tapi sekarang
hanya aku yang masih main denganmu. Kamu menjadi
takut mengecewakan orang lain.”
“Kamu memang teman masa kecilku yang mengerti segalanya.”
“Aku
sudah mengawasimu dari dulu. Karena Kouta adalah
pahlawanku.”
“Kamu memang selalu berlebihan dari dulu.”
“Mungkin.”
Seriusan, seandainya saja ia hanyalah
orang lain. Kalau begitu, aku
bisa dengan mudah membantahnya
dengan mengatakan 'Jangan sok
tahu'. Tapi
aku tidak bisa melakukan hal itu pada
Natsuki.
“Menurutku,
hal yang paling kamu takuti
saat ini ialah... Kamu merasa
takut kalau Kazemiya-san
akan kecewa padamu. Karena kamu tidak
mau mengecewakannya, makanya kamu menghindari terlalu dekat
dengannya.”
...Dasar Natsuki. Ia akan selalu bisa menerima apa
adanya. Seluas dan sedalam samudra.
Saat berbicara dengannya, aku bisa bersikap
dengan santai dan tak perlu marah meski dia mengorek-ngorek
lebih dalam.
“Tidak ada
salahnya untuk melarikan diri. Tapi kamu tidak
bisa melarikan diri dari perasaanmu sendiri. Itu
akan mengikutimu seumur hidup. Itulah yang disebut ‘perasaan yang sebenarnya'.
...Tapi yah, kamu memang payah soal menghadapi perasaanmu sendiri, jadi khusus kali ini
aku akan membantumu.”
“Membantu?”
“Kebetulan
aku mengetahui mantra ajaib yang bisa mengungkapkan perasaanmu yang
sebenarnya.”
Suara deburan ombak dan keramaian pantai seolah-olah menghilang, lalu tanpa kusadari, telingaku begitu sunyi sampai-sampai
aku hampir mengira kalau aku sedang memakai earphone dengan fungsi peredam
bising.
Satu-satunya yang kudengar hanyalah bunyi detak jantungku yang
berdetak lebih cepat dari biasanya.
“'Berikan
Kazemiya-san
padaku.'”
“Tidak
boleh!”
Itu adalah
jawaban refleks. Aku sama sekali tidak
menyadarinya. Begitu aku mendengar kata-kata Natsuki,
mulutku dengan lancar mengucapkan penolakan, jauh lebih lancar daripada
biasanya.
Aku sadar
betul apa yang baru saja kuucapkan. Aku tidak sebodoh itu.
“Itulah perasaanmu yang sebenarnya ‘kan,
Kouta?”
☆☆☆
(Sudut
Pandang Kazemiya)
“Pelayan
dengan rambut pirang paling cantik, paling imut, paling modis di dunia, dan serba bisa yang memesona
dalam balutan seragam putih karyawan~♪
Aku mau
pesan okonomiyaki, es serut, sosis bratwurst, kari, ramen, Takoyaki dong~ Dan juga, apa aku boleh minta foto berdua dengan
pelayan yang cantik ini sekitar 100 lembar... Ah, di sini bisa pakai kartu ‘kan? Ada uang elektronik juga?”
“Maaf,
pelanggan yang terhormat. Tolong
hentikan perbuatan yang mengganggu.”
Sepertinya
ini hasil dari pengalaman bekerja beberapa hari. Dalam diriku sudah tersimpan
pengalaman melayani pelanggan, jadi aku bisa membalas dengan kalimat mekanis
mengingatkan pelanggan yang mengganggu.
“Aah,
bagus... Tatapan dingin Kohaku-chan memang yang terbaik...!”
“...Onee-chan, kenapa kamu datang ke sini?”
Entah
kenapa, orang yang datang dengan percaya diri di dalam rumah pantai
adalah Onee-chan yang baru saja bertengkar
denganku beberapa hari lalu.
Dia pikir
dia sedang menyamar mungkin? Dia memakai kacamata hitam dan
topi Jerami di kepalanya, tapi dari sudut pandangku dia tetap Onee-chan.
“Kebetulan
ada syuting drama di sekitar sini. Karena syutingnya selesai
lebih cepat dari jadwal, jadi aku
mampir ke sini untuk istirahat sebentar.”
...Kalau dipikir-pikir, saat
aku kabur dari rumah, Ibu pernah bilang sesuatu soal Onee-chan yang syuting drama dan akan
menginap di hotel selama tiga hari.
“Ah,
ternyata ada odeng juga? Kayaknya enak tuh, kalau
begitu aku pesan satu odeng juga!”
“Satu okonomiyaki,
es serut, sosis bratwurst, kari, ramen, takoyaki, dan satu odeng. Baik, mohon
tunggu sebentar. ...Ini, apa Onee-chan
mau memakan semuanya sendiri?”
“Tentu
saja! Porsi sebanyak ini mah aku biasa menghabiskannya.”
...Memang
aku sendiri sadar kalau aku juga mempunyai sifat yang rakus, tapi kurasa ini lebih ke
sifat bawaan Onee-chan.
Senang rasanya
ketika kami mempunyai kemiripan sebagai kakak-beradik.
“...Tapi
kali ini bukan cuma untukku sendiri.”
“Eh?”
“Bukan
apa-apa. Nah, ayo kembali bekerja. Kalau kamu
mengobrol di saat jam-jam sibuk
begini, bisa-bisa kamu dimarahi
lho.”
Meski rasanya
Onee-chan sedang mengalihkan pembicaraan,
aku menyampaikan pesanannya ke dapur. Narumi dan Inumaki tidak ada... Mungkin mereka sedang istirahat. Saat aku
melayani pesanan pelanggan
lain, pesanan besar Onee-chan
sudah jadi.
“Kazemiya-san, kamu boleh beristirahat setelah mengantarkan pesanan ini.”
“Baik.”
Setelah sedikit berbincang dengan manajer, aku membawa pesanan besar itu
ke meja Onee-chan.
“Maaf
sudah membuat Anda lama
menunggu.”
“Akhirnya
datang juga~♪ Makanan yang dibawakan Kohaku-chan akhirnya datang juga~♪ pasti rasanya enak
banget!”
“Aku
kan cuma mengantarnya, bukan yang membuatnya.”
“Ini bukan
siapa yang memasaknya, tapi
siapa yang dengan tulus mengantarkannya. Itulah
yang terpenting.”
“Meski
Onee-chan mengatakannya dengan
wajah yang begitu tulus, tapi aku yakin itu bukan alasan
sebenarnya.”
Sejak
pertengkaran kami beberapa hari yang lalu,
Onee-chan selalu bersikap seperti ini.
Selama ini kami berdua hanya
bertukar pesan, tapi saat bertemu langsung, intensitasnya berbeda. Sepertinya
di pesan-pesan pun Onee-chan
sudah menahan dirinya.
Onee-chan
berkata
“Mulai sekarang aku tidak akan melarikan diri lagi, aku akan lebih banyak berbicara dengan Kohaku-chan!” Tapi... Apa ini benar-benar
tidak apa-apa? Yah, memang aku sendiri yang bilang kalau aku ingin lebih banyak berbicara dengan Onee-chan. Tapi tidak kusangka sampai
seperti ini...
“Kohaku-chan,
kamu sudah boleh istirahat, ‘kan?”
“Kenapa
Onee-chan bisa tahu?”
“Saat
kamu berbicara
dengan manager tadi, aku
bisa membaca gerak bibirmu. Semacam kemampuan membaca bibir.”
...Seperti biasa, Onee-chan bisa melakukan apa saja.
“Ayo kita makan bersama~♪”
“...Yah,
boleh-boleh saja.”
Kebetulan
juga aku sudah mulai
lapar. Aku juga tidak ingin lari dari Onee-chan.
...Dan aku tidak ingin jadi gadis tak
berdaya tanpa dorongan dari Narumi.
“Kohaku-chan,
kamu mau makan apa? Yakisobanya kelihatan enak, tau.”
“Hmm...
Kalau begitu, aku pilih yakisoba
saja...”
Meskipun aku merasa sedikit tidak
enak pada staf lain yang masih bekerja, aku mencoba mengambil beberapa yakisoba yang
ditawarkan Onee-chan.... Tapi aku mengurungkan niatku.
“...Ah,
aku lebih pilih sosis bratwurst saja.”
Kalau aku memilih yakisoba, pasti
ada remah-remah yang menempel di gigi.
...Aku
tidak mau Narumi melihat ada remah-remah di gigiku.
“Kamu memang
gadis kasmaran, ya.”
Seolah-olah dia bisa menebak pikiranku, Onee-chan menyengir
dengan jail. Aku tidak repot-repot menjawab karena merasa sedikit kesal dan hanya
menuangkan saus ke sosis bratwurst.
“Kurasa aku harus berterima kasih kepada
Narumi-kun karena bisa melihat sisi gadis kasmaran dari
Kohaku-chan.”
“?
Kenapa mengungkit-ungkit nama Narumi?”
“Ahahaha.
Yah, bukan apa-apa, kalian berdua tuh pacaran, ‘kan?”
“────────────(Gusha)”
Tanpa
sadar aku terlalu erat memegang wadahnya, sehingga sosis
bratwurst tenggelam dalam genangan saus tomat di piringku, seperti adegan
pembunuhan sadis.
Tapi itu sama sekali tidak penting. Yang
penting adalah...
“Hah?
Eh? Aku? Berpacaran dengan Narumi?”
“Eh...
memangnya enggak?”
“Ya
enggaklah!”
Lagi-lagi
aku mendengar suara ledakan saus tomat
di tanganku. Dilihat dari sensasi di tanganku,
sepertinya wadah saus tomat itu sudah kosong.
“...Benarkah? Kamu
tidak berbohong karena kamu
membenci Onee-chan, ‘kan?”
“Beneran! Aku sama sekali tidak membenci Onee-chan, malahan aku sangat menyayangimu!”
“Hmm...
Kalau itu yang biasanya,
harusnya hidungku akan mimisan karena terlalu senang.
Tapi karena aku terlalu kaget sampai-sampai tidak melakukan itu.”
Pada awalnya, kupikir kalau Onee-chan cuma bercanda denganku, tapi sepertinya dia benar-benar
terkejut.
“Lantas, kenapa kamu berpikir kalau aku... be-berpacaran dengan Narumi?”
“Sebaliknya,
kalau kalian berdua memang tidak pacaran,
kenapa kamu
mengirim pesan-pesan yang dipenuhi gombalan
seperti itu?”
“Go-gombalan?!
Aku tidak pernah mengirim pesan yang
seperti itu!”
Onee-chan
tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto
yang kukirim di aplikasi perpesanan. Persis seperti detektif yang menyodorkan barang bukti kepada
tersangka.
“Menurutmu
ini foto apaan?”
“Itu
adalah foto waktu aku pergi ke taman hiburan bersama
Narumi.”
“Tapi
jarak di antara kalian kelihatan dekat sekali. Lebih dari sekedar
berdekatan, kalian malah
lengket seperti lem 24 jam.”
“I-itu
sih...karena kalau tidak begitu, foto kami tidak akan muat di layar.”
“Lihat,
kalian bahkan bergandengan tangan.”
“Soalnya
waktu itu sangat ramai,
jadi Narumi mengusulkannya supaya kami tidak terpisah.”
“...Lalu,
bagaimana foto ini?”
“Itu
fotoku dan Narumi sedang berbaring di ranjang.
Memangnya ada yang salah dengan itu?”
“Tapi
dilihat dari sisi dan sudut
pengambilannya, kelihatan kamu
juga sedang berbaring di ranjang yang sama.”
“Karena ranjangnya
cukup besar.... tapi
waktu tidur kami pakai kamar yang berbeda, kok.”
“Itu sih sudah
jelas! Bukan itu masalahnya! Dilihat bagaimana pun, kalian berdua seperti pasangan kekasih! Kalian memang berpacaran,
kan?! Bohong banget kalau bilang tidak!”
“Tapi
kami benar-benar tidak pacaran!”
Intensitas
dan tekanan Onee-chan sungguh
di luar batas. Aku jadi bisa
mengerti perasaan penjahat yang diberi barang bukti di drama-drama TV. Yah, memang aku sendiri telah
membuat kekacauan dengan sosis bratwurst dan saus tomat ini...
“Setelah
melakukan semua ini dan dibilang
tidak pacaran, memangnya apa
yang harus dilakukan kalian supaya dibilang pacaran?”
“Di-Dibilangin,
hubunganku dengan
Narumi bukan seperti itu...”
“...Kalau
begitu, bagaimana perasaanmu sendiri pada
Narumi-kun, Kohaku-chan?”
Pertanyaan
Onee-chan membuatku kehilangan kata-kata.
“Apa
kamu hanya menganggapnya sebagai teman?”
Aku tak
bisa menjawabnya kalau ia ‘Hanya sebagai teman’.
Bagi
diriku, keberadaan Narumi Kouta adalah...
“...Ia bukan sekedar teman.”
Selama
ini, definisi hubunganku dengan Narumi sudah berubah dalam diriku. Pasti
bentuknya sudah berubah sejak lama.
“Aku
tidak bisa lagi menganggap Narumi cuma sebagai
teman saja. Bukan juga sekedar sekutu.”
Aku hanya
mengabaikan dan memalingkan mata, tanpa mau menyentuh garis batas itu.
“Karena
aku... menyukai Narumi.”
────Hatiku
sudah kehilangan tempat untuk bersembunyi.
“Begitu ya...
jadi, aku menyukai Narumi."
Saat aku
mengungkapkan perasaanku, Onee-chan
tersenyum lembut.
“Aku
sudah menduganya.”
“...Onee-chan, jangan-jangan kamu sengaja...”
"Aku
hanya ingin bertemu adik kesayanganku. Kebetulan karena ada pekerjaan di dekat sini.”
Onee-chan
menikmati es serutnya seolah ingin mengalihkan pembicaraan.
“Tapi...
yah. Aku merasa lega.
Tanpa kusadari, Kohaku-chan
sudah bisa jatuh cinta dengan benar.”
“Jangan
diulang-ulang, rasanya malu
tahu...”
Itu benar.
Aku mencintai Narumi Kouta.
Meskipun itu tak salah, tapi rasanya tetap memalukan saat
dikatakan langsung.
“Selama
ini kupikir Kohaku-chan
hanya bisa lari. Karena kamu
takkan bisa jatuh cinta jika terus menolak orang lain. ...Aku
senang bisa melihatmu sudah berubah. Kamu
sudah menjadi lebih kuat sekarang.”
Onee-chan
menghentikan gerakan tangannya yang
menyuap es serut, dan mengalihkan
pandangan dariku.
“Makanya,
sekarang sudah waktunya kamu juga ikut bergabung dengan kami di
meja.”
“...────Eh?”
Aku
terkesiap saat mengikuti arah pandang Onee-chan.
“...Mamah.”
Orang yang
mendekati meja kami... bukan, orang yang mendekati meja
Onee-chan, adalah Mamah.
“...Kohaku? Kenapa kamu ada di sini?"
Tatapan
tajam yang tersembunyi di balik lensa kacamatanya.
Suara yang seakan menolak seluruh keberadan diriku sama sekali tidak berubah sejak aku kabur
dari rumah. Hal itu masih tetap
sama.
“Aku
sedang bekerja paruh waktu di sini. Sekarang waktunya istirahat.”
Aku menjawab
dengan tenang dan hanya
menyampaikan fakta. Mamah mengernyit dahinya ketika mendengar
kata 'bekerja paruh waktu'.
“Aku
tidak ingat pernah memberimu izin untuk
bekerja paruh waktu... Ah, tidak, bukan itu masalahnya. Kamu tidak membuat masalah, ‘kan? Jangan sampai kamu mencemarkan nama Kuon.”
Sejak
awal, Mamah berbicara dengan asumsi seolah-olah aku akan membuat masalah.
Aku tidak
menyukainya. Aku memang tidak
menyukainya, tapi... entah kenapa, sekarang hal itu tidak lagi menyentuh hatiku.
“Aku
tahu. Aku tidak akan melakukan apapun yang merepotkan
Onee-chan.”
“Entahlah, aku
tidak yakin.”
Aku bisa
tetap tenang meski Mamah sama
sekali tidak percaya pada perkataanku.
Sejujurnya,
aku sendiri juga terkejut dengan diriku yang bisa setenang ini.
“Kuon.
Waktumu istirahatmu sudah
cukup, ‘kan?”
“Aku baru
saja mulai kok. Lihat, aku bahkan belum
menyentuh kari yang kelihatan sangat lezat
ini. Lagipula, Ibu juga belum makan siang, ‘kan?
Ayo, kita makan bersama saja, biar lebih cepat selesai.”
“...”
Sepertinya
dia tidak akan mau pergi sebelum Onee-chan menghabiskan semua makanan yang sudah dia pesan. Sejak
hari aku kabur dari rumah────tidak, entah sudah berapa lama seluruh anggota keluarga Kazemiya tidak
makan bersama di meja seperti ini.
“Hmm!
Aku penasaran bagaimana rasa odeng di rumah pantai,
tapi ternyata lumayan enak ya!”
Onee-chan fokus
pada makannya. Sepertinya itu
disengaja.
“......”
Aku sendiri
sedang memakan
sosis bratwurst yang belepotan saus sambil
memandangi mamah.
Mamah
sejak tadi tidak menyentuh makanannya sama sekali. Dia sesekali memeriksa jam dan
mengetik sesuatu di ponsel. Sikapnya yang seperti menolakku tadi, sekarang
tidak lagi terasa.
Sebaliknya,
dia justru kelihatan...
“...Mamah kelihatan kurusan?”
“Itu
bukan urusanmu.”
Mamah
membalas tanpa menatapku. Tapi kali ini aku tidak merasa marah maupun sedih.
(Apa Mamah memang selalu begini...?)
Bagiku, Mamah terlihat sangat kelelahan.
Jika
diamati lebih seksama, rambutnya yang hitam legam tidak bersinar, ada lingkaran
hitam di matanya yang sepertinya ditutupi dengan concealer. Tangannya juga
kasar dan pecah-pecah. Tidak ada lagi aura dominan seperti Onee-chan.
Tidak ada lagi rasa takut. Sosoknya tampak jauh lebih lelah daripada
yang kuingat...
(Apa Mamah... memang sekecil ini...?)
Selama
kabur dari rumah, sebenarnya aku masih memikirkan Mamah.
Malahan, aku pernah berpikir apa yang
harus kukatakan saat bertemu dengannya lagi.
Tapi
begitu berhadapan dengannya di sini, aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata
pun.
“...Terima
kasih atas makanannya!”
Waktu pun
terus berlalu sampai aku tidak bisa mengatakan apa-apa
pada Mamah. Sadar-sadar, Onee-chan sudah menghabiskan semua makanan
yang terhidang di meja.
“Hmmm!
Semuanya enak banget!”
“Kalau
begitu, sudah saatnya kita pergi. Kalau tidak, kita
nanti bisa terlambat ke lokasi syuting berikutnya.”
“Iya,
iya. Aku tahu kok jadwalnya.”
Pada
akhirnya, Mamah tidak
menyentuh makanannya sama sekali. Kapan dia akan makan?
“...Mamah...!”
Aku tidak
bisa membiarkannya terus begini. Meskipun aku tak bisa berkata-kata, aku masih
ingin mengatakan sesuatu.
“Teruslah berpura-pura
kabur sesukamu.”
“...!?”
“Aku
tidak akan keberatan walau kamu tidak ada di rumah.”
Hanya itu
saja yang dikatakannya, lalu dia pergi tanpa menatapku.
Punggungnya
yang menjauh, terlihat lebih kecil dan rapuh daripada yang kuingat...
“Kasian
sekali, ya. Orang itu.”
“...Onee-chan.”
“Tapi,
aku tidak datang kemari untuk membawamu pulang, kok.”
“Iya,
aku tahu.”
Kenapa Onee-chan datang kemari? Kurasa itu memang
benar kalau itu membuatku sadar akan perasaanku.
Tapi bukan cuma itu saja.
“Kamu ingin menunjukkan kepada Mamah mengenai diriku yang sekarang,
‘kan?”
“Yah,
kalau itu tersampaikan, itu saja sudah
cukup.”
Setelah
berkata “Sampai nanti”,
Onee-chan juga berjalan
pergi, seiring dengan punggungnya yang semakin
mengecil bersama Ibu. Yang bisa kulakukan
hanya melihat kepergian mereka────