Gimai Seikatsu Volume 11 Chapter 1 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — 15 September (Rabu) Asamura Yuuta

 

“Sekarang sudah musim panas ya.”

Sambil memandang langit biru tanpa awan di siang bolong, Maru menggigit sandwichnya. Langit sedikit lebih tinggi, tetapi sinar matahari masih menyengat dengan sangat kuat. Aku pun menengadah ke langit. Di sudut koridor terbuka, aku dan Maru berdua menatap langit dengan santai. Hembusan angin yang semilir terasa begitu nyaman.

Koridor yang menghubungkan gedung utama dan gedung kedua melewati tepi taman, dan saat istirahat siang seperti sekarang, para siswa datang untuk mencari bangku yang dipasang di halaman taman. Aku dan Maru juga berpikir untuk makan bersama setelah sekian lama, jadi kami membeli roti dan minuman sebelum mencari bangku kosong.

Akan tetapi, sayangnya semua bangku sudah terisi oleh orang lain. Jadi akhirnya, kami terpaksa berdiri di tengah koridor lantai dua yang menghadap ke taman, berbincang santai sambil berjemur di bawah sinar matahari.

“Meski kamu bilang musim panas, tapi sekarang sudah pertengahan September, ‘kan?”

“Secara kalender, saat ini memang sudah memasuki musim gugur, tetapi secara astronomis, tanggal 15 September masih musim panas.”

Maru tersenyum lebar seperti kucing Cheshire sambil menyedot jus dari kotak karton.

“Ya, dianggap musim panas juga tidak masalah.”

“Bagus. Jika dianggap begitu, rasanya jadi seperti aku mempunyai lebih banyak waktu sebelum ujian.”

Walaupun Maru berkata begitu, tetapi apa benar-benar ada waktu luang yang dibutuhkan pada bulan September di kelas 3 SMA?

“Aku benar-benar ingin mempunyai banyak waktu luang ketimbang sekedar merasakannya saja.”

“Tidak ada yang memiliki hal semacam itu. Mereka yang terlihat santa, hanya berpura-pura.”

Itulah yang dikatakan oleh mantan kapten tim bisbol yang terkenal pandai menganalisis psikologi lawan.

“Apa iya?”

“Percayalah. Jika kamu terjebak dalam perasaan itu, kamu akan kalah.”

Namun, cara ia mengatakannya seolah-olah menunjukkan bahwa Maru sendiri juga merasakan tekanan.

Aku menyedot jus dari kotak di samping Maru. Angin yang bertiup dari arah taman mengalir ke lapangan. Angin yang menyapu rumput menciptakan gelombang bergaris, menggerakkan rok gadis-gadis yang berjalan di koridor, mengibaskan rambut mereka, dan membelai tengkuk mereka sebelum melintasi SMA Suisei dan pergi entah ke mana.

Kami berdua berdiri dalam diam sejenak, membiarkan angin yang berhembus mengalir dengan nyaman.

“Rasanya sudah lama sekali, ya.”

“Hmm?”

“Kupikir rasanya sudah lama sekali kita berdua bisa berbicara santai seperti ini.”

Oh, memang benar. Setelah pembagian kelas kami terpisah, waktu untuk berbicara dengan Maru memang berkurang. Beberapa teman sekelas yang dulu sering berbincang-bincang denganku, sejak pergantian kelas, kini belum pernah lagi bertukar kata.

Aku juga jarang berbicara dengan Maru akhir-akhir ini. Ia sendiri sibuk mempersiapkan turnamen terakhir musim panas, dan sejak liburan musim panas, aku juga terfokus pada belajar untuk ujian masuk perguruan tinggi, sehingga waktu bersama kami sebagai teman sohib hampir tidak pernah ada.

“Bagaimana kabarmu akhir-akhir ini? Setelah pensiun dari tim bisbol. Sebagai mantan kapten, apa kamu khawatir tentang adik-adik kelasmu?”

“Klub kami mempunyai anggota anak kelas dua yang sangat baik. Jadi, aku tidak mengkhawatirkannya.”

“Turnamen tempo hari... sangat disayangkan sekali, ya?”

“Kami hanya kekurangan kekuatan. Itu saja.”

Maru mengatakannya dengan tenang, tetapi pasti ada rasa penyesalan di dalam hatinya. Setelah kalah di kualifikasi daerah Koshien, ia mengalami sindrom kelelahan hebat. Bahkan dalam pesan-pesan yang terkadang masuk, dia mengeluh tidak memiliki semangat, tidak bisa belajar.

Perubahan itu terjadi sekitar pertengahan liburan musim panas. Mungkin sejak aku kembali dari pelatihan belajar. Pesan yang aku terima mulai semakin positif. Jadi, aku tidak terlalu khawatir dengannya.

“Ngomong-ngomong, kamu dan Ayase tidak datang ke festival kembang api, ya?”

“Hmm?”

“Sepertinya kamu tidak ada waktu untuk bersenang-senang, ya?”

“Ah, ya... mungkin begitu. Memang tidak ada waktu untuk itu.”

Sebenarnya, aku memang tidak mempunyai waktu untuk bersenang-senang kecuali untuk kemah sehari di bulan Juli. Namun, aku sebenarnya sudah pergi ke festival kembang api sekali bersama Ayase-san. Dia tahu tentang festival kembang api itu dari Narasaka-san.

Apa jangan-jangan Maru juga ada di acara yang diadakan oleh Narasaka-san? Biasanya, aku tidak terlalu peduli dengan siapa yang bertemu siapa, tetapi entah kenapa, kali ini aku merasa penasaran. Mungkin karena berkaitan dengan Ayase-san.

“Begitu, ya. Jadi aku kalah taruhan, ya.”

“…Apa yang kamu bicarakan?”

“Aku mengira kalau kamu pergi berduaan dengan Ayase.”

Sungguh, Maru adalah kapten tim bisbol yang ahli dalam permainan psikologi. Dia mencoba mengguncang ketenanganku untuk mengungkapkan kebenarannya.

“Aku tidak tahu taruhan apa yang kamu maksud, tetapi sayang sekali kalau kamu kalah.”

Saat aku berusaha menghindarinya, Maru hanya mendengus dan tidak bertanya lebih jauh.

“Baiklah, anggap saja begitu.”

…Dari reaksinya ini, apa aku ketahuan?

“Rasanya itu memang menggambarkan sifatmu, Asamura.”

“Eh?”

“Kalau itu cowok-cowok yang lain, jika mereka pergi ke festival kembang api dengan Ayase, mereka pasti sudah memamerkannya ke seluruh sekolah.”

“Kenapa?”

“Karena memiliki pacar cantik adalah hal yang bisa dibanggakan di antara pria.”

“Eh?”

Aku benar-benar tidak mengerti, tetapi tampaknya memang seperti itu.

“Maru juga?”

“Seperti yang pernah kukatakan, aku tidak menyukai tipe gadis seperti Ayase. Yah, jika aku berbicara dengannya, dia mungkin bukan orang yang buruk seperti tang kamu katakan...”

“Sebagai kakaknya, aku bisa menjamin. Ayase-san adalah gadis yang baik. Dia sangat bertanggung jawab. Bahkan, mungkin lebih dari aku.”

Maru tahu bahwa aku dan Ayase-san adalah saudara tiri, jadi ini bukan masalah.

“Mungkin saja begitu.”

“…Padahal kamu bisa sedikit membantah di bagian itu, tau?”

Mari kita ganti topik pembicaraannya.

“Yah, ujian sudah berada di depan mata. Festival budaya juga segera tiba. Setelah itu, kita akan langsung fokus pada ujian.”

“Aku menyesal hanya bisa menonton setengah dari anime musim panas yang ingin kutonton...”

“Aku juga punya banyak buku yang belum terbaca. Lah, jadi kamu sudah bisa menonton setengahnya, ya?”

“Merusak rutinitas adalah langkah buruk. Jika kita tidak menjaga ketenangan, kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah yang seharusnya bisa kita selesaikan. Namun, ini adalah waktu yang tepat untuk bersantai.”

Aku pikir itu sudah luar biasa jika ia bisa lulus universitas sambil menonton banyak anime untuk bersantai.

“Apa kamu merasa bisa mengatasinya?”

Aku bertanya pada Maru. Walaupun aku sudah bisa menebak jawabannya.

“Aku sudah mendapatkan penilaian B di Universitas Tokyo.”

Aku tidak bisa menahan diri untuk memandang sahabatku dengan serius. Itu sudah luar biasa bagi orang yang sibuk seperti dirinya.

“Apa kamu juga akan mendaftar di universitas swasta?”

“Ya begitulah, sebagai cadangan, aku juga mempertimbangkan Waseho dan Keiryo.”

“Itu sih bukan sekadar cadangan saja.”

“Yah, aku akhirnya mulai bersemangat. Jadi aku berencana untuk mengejar kampus yang terbaik.”

Sepertinya sahabatku yang satu ini sudah masuk ke mode ujian, ia menatap langit sambil mengungkapkan tekadnya.

Tadi Maru berkata, “Kamu tidak datang ke festival kembang api.” Dengan kata lain, ia sendiri pergi ke festival itu. Aku berpikir, mungkin karena ia bisa bersenang-senang, ia bisa mengubah suasana hatinya.

Melihat wajahnya yang tidak menampilkan keraguan, aku merasa Maru sudah melihat jalan yang harus ia ambil selanjutnya. Namun, aku belum bertanya tentang jalan tersebut.

“Begitu, ya. Semoga berhasil!”

Karena ini tentang Maru, ia pasti sudah menetapkan tujuan yang jelas sebelum memilih universitas.

Tujuan, ya.

“Walaupun kamu khawatir tentang orang lain, tapi kamu sendiri bagaimana, Asamura?”

“Ya. Meskipun aku tahu kalau sekarang sudah terlambat, aku mulai berpikir tentang apa yang ingin kulakukan di universitas.”

“Di zaman sekarang, menurutku malah jarang-jarang ada orang yang sudah memutuskan hal itu.”

“Tapi, kamu sudah memutuskannya, ‘kan?”

“Yah begitulah. Namun, aku bisa saja berubah pikiran selama masa kuliah. …Benar. Mungkin tidak ada salahnya untuk berubah.”

Aku mengerutkan alis ketika mendengar kata-kata Maru. Apa maksudnya?

“Aku berpikir kalau kuliah itu penting untuk masa depan.”

“Ketidaksabaran hanya akan mempersempit pandangan. Itu akan membatasi pilihanmu. Orang tuaku pernah bilang, 'Universitas bukanlah suatu tujuan.'

Baru pertama kalinya aku mendengar Maru berbicara tentang orang tuanya.

“Begitu, ya?”

“Ayahku juga pernah bilang, 'Jangan takut untuk mengubah perasaanmu. Jangan berpikir semua masa depanmu ditentukan di universitas.'

“Itu… mungkin benar.”

Meski demikian, itu juga fakta bahwa kami tidak memiliki hak istimewa untuk berpikir seperti itu. Kami merasa bahwa jika gagal di sini, hidup kami akan berakhir. Kami tidak memiliki pengalaman hidup yang cukup untuk mempercayai bahwa kami bisa pulih terlepas dari universitas mana yang kami masuki.

“Meski begitu, memiliki tujuan memang meningkatkan motivasi. Jadi, Asamura, berarti kamu tidak tahu apa yang harus dilakukan, kan?”

Aku mengangguk. Itu benar sekali. Meskipun terlambat, aku merasa kehilangan arah tentang apa yang ingin kulakukan di universitas.

“Aku merasa agak samar-samar.”

“Hmm. Begitu, ya.”

“Apa kamu ada saran?"

Ini adalah saatnya untuk bergantung pada seseorang. Bukannya berarti aku menganggap Maru seperti jerami, sih.

“Mungkin kamu bisa melakukan cara dengan mengubahnya menjadi kata-kata.”

“Apa maksudnya?”

“Manusia itu makhluk yang buruk dalam berpikir.”

“Buruk dalam berpikir…”

Aku berpikir itu adalah ungkapan yang cukup menarik dari Maru.

“Ketika kita hanya memikirkan sesuatu di dalam kepala, kita mungkin tidak menyadari bahwa pemikiran kita hanya terus berputar-putar. Oleh karena itu, kita perlu mengubahnya menjadi kata-kata. Secara konkret, coba tuliskan di atas kertas.”

“Memangnya itu ada perbedaan?”

“Ya, tentu saja ada. Dengan mengeluarkan pikiran kita ke dalam bentuk tulisan di atas kertas, kita bisa menyusunnya kembali. Catatan sederhana pun sudah cukup. Buku harian atau memo juga bisa.”

“Buku harian, ya...”

Ngomong-ngomong, aku belum pernah menulis buku harian. Menyusun pikiran di dalam kepala, ya? Mungkin aku bisa mencobanya.

Angin yang bertiup di koridor telah berhenti tanpa aku sadari.

 

◇◇◇◇

 

Setelah istirahat siang, pelajaran sore pun dimulai. Guru sejarah Jepang yang mengajar dikenal sebagai orang yang aneh di sekolah, dan aku berpikir bahwa orang-orang yang tidak biasa memang ada di mana-mana. Sambil menyaksikan dia dengan anggun memberi penjelasan yang menyimpang dari materi buku teks di depan kami, aku berpikir tentang bagaimana memanfaatkan waktu ini dengan baik.

Kalau terus begini, sisa waktu 30 menit pasti akan dihabiskan untuk obrolan santai. Yah, seluruh kelas sudah siap dengan situasi ini. Setiap tahun, pelajaran sejarah Jepang yang diajarkan oleh guru ini selalu terburu-buru menyelesaikan bagian modern karena waktu yang tidak cukup. Melalui orang-orang yang aktif di klub, kami mendengar cerita dari senior-senior kami. Setiap tiga kali pelajaran, dia pasti menyimpang dengan cara yang mencolok, jadi wajar jika kemajuan buku pelajaran menjadi lambat. Namun, meskipun begitu, materi ujian tengah semester disusun dengan ketat sesuai dengan kurikulum.

Aku melihat Ayase-san yang tersenyum sambil mendengarkan sejarah yang menyimpang. Dia terlihat senang. Karena dia menyukai sejarah, dia mendengarkan dengan puas seolah-olah pembicaraan yang menyimpang itu adalah inti dari pelajaran. Bahkan, dia sampai bertanya. Ngomong-ngomong, pembicaraan yang menyimpang sebelumnya adalah tentang interaksi antara penulis wanita di era Heian, dan dia terus mengulang betapa menariknya itu setelah pulang ke rumah. Aku mendengarkan setengah hati dan mengerjakan tugas dari pelajaran lain, jadi aku tidak bisa mengikuti percakapan tersebut.

Sekali lagi, sambil mendengarkan cerita guru yang seperti dongeng, aku berpikir tentang bagaimana memanfaatkan sisa waktu ini sebagai seorang calon mahasiswa... Tunggu, mungkin saat-saat seperti inilah yang harus aku gunakan untuk mengatur pikiranku, seperti yang dikatakan Maru tadi siang.

Apa yang sebenarnya aku utamakan?

Apa yang ingin aku lakukan ke depannya?

Aku membuka halaman kosong di buku catatan dan menggenggam pensilku. Baiklah...

Apa yang ada di dalam kepalaku?

Pertama-tama, apa yang aku suka? Hal-hal yang aku sukai...

──Aku suka buku.

Lebih tepatnya, aku suka membaca. Aku tidak terlalu terikat pada buku sebagai objek fisik. Baik dalam bentuk elektronik maupun kertas, keduanya sama bagiku. Aku menulis satu baris “Aku suka buku” dan di bawahnya menulis “Membaca” yang aku lingkari dengan panah.

Dari situ, aku akan mengembangkan pemikiranku lebih lanjut. Kenapa aku suka membaca? Aku mulai mengingat judul-judul buku favoritku.

Kalau dipikir-pikir, selain novel, aku juga suka membaca buku pengetahuan dan sejenisnya. Rasanya menyegarkan bisa mendapatkan perspektif baru, rasanya seperti, “Oh, rupanya ada cara berpikir seperti ini.” Sepertinya itu bisa melindungiku dari prasangka dan pandangan yang sempit.

──Aku suka terpapar cara berpikir baru.

Mungkin itu.

Di situ, aku berhenti sejenak untuk merenung. Mengangkat wajahku dan melihat sekeliling. Jika kelas sudah dimulai lagi, itu akan jadi masalah. Namun, seperti yang sudah kuduga, guru tersebut masih melanjutkan pembicaraan yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran.

Hal-hal yang disukai... hal-hal yang disukai, ya.

‘Kopi,’ ‘Mie Tantan,’ ‘Mapo Tofu’... aku mulai menuliskan apa saja yang terlintas di pikiranku. Sebagian besar adalah makanan. Aku memang suka makanan pedas. Mungkin terasa sangat biasa, tapi ya, aku suka. Aku tidak terlalu pilih-pilih soal makanan, jadi bisa dibilang, ‘suka’ dalam batas tertentu. Hal-hal yang disukai... Hal-hal yang disukai, ya. Untuk hal-hal material seperti ini, aku tidak terlalu banyak ide.

Aku membayangkan kamar pribadiku. Apa yang ada di sekitarku?

Buku-buku milikku semakin bertambah. Karena ruang penyimpanan terbatas, akhir-akhir ini aku berusaha untuk lebih banyak menggunakan buku elektronik. Namun, selain buku, tidak banyak barang yang berserakan. Aku tidak memiliki hobi mengumpulkan figur atau stand akrilik. Aku juga tidak terlalu peduli dengan audio, dan meskipun aku menonton anime dan film, aku hanya menonton yang tersedia di layanan streaming.

Hal-hal yang disukai...

── Saki.

Namun, ini terlalu memalukan untuk ditulis di catatan. Tapi, seperti yang dikatakan Maru, jika aku hanya menyelesaikannya di dalam pikiran, pemikiranku tidak akan maju... Tidak, jika seseorang melihatnya, itu akan sangat memalukan. ... Jadi, setelah ragu-ragu, aku kecil-kecil menulis [SAKI] di pinggiran area kosong. Dengan begitu, orang yang melihatnya tidak akan langsung mengerti. Semoga ini bisa dimaklumi. Meskipun aku tidak tahu kepada siapa aku meminta maaf.

Bagaimanapun juga, aku harus melanjutkan pemikiranku.

Biarkan hal-hal yang kusukai ini cukup sampai di sini.

Jadi── aku menatap catatan dan berpikir── memiliki hal-hal yang disukai seperti ini adalah bagian dari diriku. Lalu, apa yang sebenarnya ingin aku lakukan?

 ── Aku ingin segera mandiri.

Kenapa?

Supaya aku bisa menjadi dukungan bagi Ayase-san. Agar aku bisa meringankan beban ayahku... bukan?

Setelah menuliskan semua itu, aku menyadari sesuatu.

Tunggu, tunggu, tunggu. Ini bukan apa yang ingin aku lakukan.

Bagaimana jika aku tidak pernah bertemu Ayase-san? Bagaimana jika ayahku seorang raja minyak? Jika situasi seperti itu, semua alasan untuk segera mandiri akan hilang. Saat itu, aku akan menjadi diriku yang tidak ingin melakukan apa-apa. Jadi, itu berarti, sebelum mengenal Ayase-san, saat aku kelas satu SMA, aku tidak memiliki keinginan untuk masa depanku? Apa benar-benar begitu? Seperti yang dikatakan Fujinami-san, apa aku memaksakan tindakanku karena motivasi eksternal?

Aku merasa kalau Ayase-san merupakan sosok yang penting bagiku dan keinginan untuk meringankan beban ayahku bukanlah kebohongan, dan itu adalah hal yang penting. Itu juga merupakan sesuatu yang membentuk diriku yang sekarang.

Tapi, bukan hanya itu saja, iya ‘kan?

Aku merasakannya secara intuitif. Aku menyembunyikan apa yang sebenarnya kuinginkan. Aku dengan sengaja membuatnya tidak terlihat. Ada perasaan seperti itu. Hanya perasaan itu yang ada. Tapi—apa sebenarnya itu?

Hmm… entahlah, aku tidak tahu…

Apa boleh buat. Jika aku tidak tahu apa yang aku inginkan, mari kita pikirkan tentang hal-hal yang mungkin bisa aku lakukan.

Hal-hal yang bisa kulakukan… ya. Aku merasa tidak nyaman dalam bergaul dengan orang lain… seharusnya begitu, tetapi belakangan ini justru tidak demikian. Aku mahir dalam pelayanan pelanggan. Bukan berarti aku menyukainya, tapi aku mahir. Atau lebih tepatnya, aku sudah terbiasa. Lebih baik dikatakan bahwa aku tidak merasa terbebani.

Ketika bekerja paruh waktu di toko buku, aku menyadari kalau aku suka memikirkan cara menyusun buku. Ini sangat dipengaruhi oleh apa yang diajarkan oleh Yomiuri-senpai tentang bagaimana pelanggan yang datang ke toko buku menemukan dan membeli buku. Artinya, ada pola dalam perilaku manusia, dan meskipun kita tidak bisa memprediksi perilaku individu, jika kita melihat pelanggan yang mengunjungi toko buku secara umum, ada teori dalam cara menyusun buku.

Salah satu contohnya adalah buku yang laku harus diletakkan agar lebih mencolok.

Buku-buku yang terjual banyak berarti buku tersebut juga harus bisa menarik perhatian pelanggan yang tidak terlalu antusias dalam mencarinya. Jadi, buku semacam itu harus diletakkan di tempat yang mencolok. Jika tidak, pelanggan yang tidak terlalu antusias tidak akan menemukannya.

Sebaliknya, ada juga buku yang hanya terjual kepada pelanggan yang sangat antusias. Pelanggan seperti itu adalah maniak berat, jadi meskipun tidak terlalu mencolok, mereka bisa menemukannya sendiri. Bahkan jika berada di bagian belakang toko buku, itu tidak menjadi masalah.

Setidaknya Yomiuri-senpai tampak berpikir demikian. Dan dia mengatakan bahwa dia mengatur rak sesuai dengan logika itu. Aku berpikir semacam itu menarik, dan aku juga suka memikirkan hal-hal seperti itu. Meskipun belum tentu aku mahir dalam hal itu, aku tidak pernah merasa terbebani dengan berpikir.

Rupanya, walaupun secara pribadi aku merasa bahwa bergaul dengan orang lain itu merepotkan, tetapi aku suka memikirkan perilaku manusia sebagai makhluk hidup dan tidak merasa terbebani.

Setelah menuliskan pemikiranku, aku memberi jeda satu baris, lalu mencoba menuliskan universitas yang aku inginkan.

Universitas Ichinose, jika perguruan tinggi swasta, mungkin Waseho, Keiryo...

Aku ingin memilih fakultas yang lebih tinggi dalam rentang yang bisa menguntungkanku untuk mendapatkan pekerjaan.

Jika hanya berdasarkan apa yang ingin aku lakukan, mungkin aku akan memilih fakultas sastra, tetapi dari segi mencari pekerjaan, fakultas ekonomi atau hukum mungkin lebih baik... ya?

Di sana, tanganku berhenti menulis.

 ...Tunggu? Aku menatap kembali catatan yang aku tulis.

Ada sesuatu yang aneh. Pertama-tama, fakultas yang lebih tinggi itu apa? Apa itu berarti fakultas dengan nilai ujian yang tinggi? Mungkin, begitu. Saat ini, kita masih berada dalam masyarakat yang mengutamakan nilai ujian dan pendidikan. Memiliki pendidikan tinggi menguntungkan dalam hidup... menguntungkan? Tunggu, apa ini benar-benar hal yang harus aku tulis sekarang?

Aku tanpa sengaja menghela napas kecil. Kenapa aku berpikir seperti ini?

Aku mencoba membayangkan. Misalnya, jika aku diberi uang untuk memakan apapun yang aku suka. Jika begitu, aku akan mencoba untuk memakan sesuatu yang mahal. Itu bisa dimengerti. Namun, ketika aku sudah tahu apa yang ingin dimakan, apa aku akan mengubah menu hanya karena bisa membeli yang lebih mahal? Bukannya itu salah mengutamakan prioritas?

Sekarang, apa yang ingin aku makan—eh, bukan itu, apa yang sebenarnya aku inginkan. Aku seharusnya mencari tahu itu dengan menuliskan pemikiranku seperti ini...

Ketika aku bertanya tentang gambaran masa depanku, lelucon macam apa yang membuatku mendapatkan jawaban samar-samar seperti ‘fakultas yang lebih tinggi’? Bukannya itu sama saja dengan mengatakan, ‘Di mana saja tidak masalah, aku akan memikirkan tempat pekerjaan setelah masuk,’? Padahal pilihan fakultas bisa sangat memengaruhi pekerjaan apa yang bisa didapatkan.

Tentu saja, jika aku benar-benar belum memutuskan apa pun, itu tidak masalah. Atau lebih tepatnya, cuma itu satu-satunya yang bisa aku lakukan.

Namun, apa yang aku lakukan sekarang seharusnya adalah mengeluarkan apa yang ada di kepalaku dengan jujur. Mengabaikan kemungkinan realisasi untuk sementara—seharusnya begitu.

Aku mulai merasa sedikit putus asa.

Semuanya terasa samar-samar dan setengah hati.

Mengapa aku belum menentukan tentang apa yang ingin aku pelajari dan apa yang ingin aku lakukan?

Kemudian, aku jadi teringat cerita yang kudengar dari Maru sebelumnya.

Kisah mengenai untuk jangan takut dengan perubahan perasaan.

Aku merasa bulu kudukku berdiri dan jantungku berdetak kencang.

Ini dia...

Perasaan yang berubah.

Selama ini, aku berpikir bahwa untuk memperluas pilihan, pergi ke tempat yang lebih baik adalah jawaban yang benar.

Tapi ternyata tidak. Bukannya karena aku tidak memikirkan hal itu. Aku hanya tidak ingin memikirkannya secara mendalam.

Dalam kehidupan, ada hal-hal yang tidak bisa diubah. Harapan tidak selalu terwujud. Aku sudah mengetahuinya sebelum aku masuk sekolah SD. Setelah gagal dalam ujian masuk sekolah SD. Gagal dalam ujian masuk sekolah SMP. Dan kemudian ibuku yang pergi dari rumah.

Bahkan perasaan cinta bisa berubah. Padahal dia telah bersumpah keabadian di hadapan tuhan.

Itulah sebabnya aku menyerah pada harapan itu sendiri.

Jika aku tidak memutuskan apa yang ingin kulakukan, aku tidak akan terluka karena harapanku yang tidak terwujud.

Jangan-jangan—aku telah menyerah untuk memikirkan apa yang aku inginkan karena alasan itu?

“Tunggu... ini tentang apa yang ingin aku lakukan dengan masa depanku, ‘kan...?”

Aku tidak sengaja mengeluarkan suara, terkejut dan melihat sekeliling, tetapi sepertinya tidak ada yang mendengarnya. Untunglah. Saat itu, aku bersyukur kepada guru yang sedang berbicara dengan semangat.

Sambil menatap catatan yang aku tulis dengan sembarangan, aku merasa tidak nyaman, dan tanpa disadari, jam pelajaran sudah berakhir.

 

◇◇◇◇

 

Sepulang sekolah. Sesampainya di toko buku tempatku bekerja, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di dalam toko sampai waktu shift kerjaku dimulai.

Sambil berjalan di antara rak-rak buku, aku merenungi bahwa gagasan buku memang bagus.

Bau buku membuatku merasa tenang. Meskipun aku berpikir tidak terikat pada bentuk fisik, jika ditanya lagi apa aku menyukainya atau tidak, aku akan menjawab kalau aku memang menyukai buku versi fisik. Menyaksikan desain sampul yang indah, tindakan membalik halaman, dan menghirup aroma tinta yang terangkat dari halaman yang terbuka—aku sama sekali tidak membencinya.

“Aku bahkan belum memeriksa terbitan buku baru.”

Aku bergumam pada diriku sendiri sambil melihat sampul buku, yang dipajang di permukaan datar dan diubah menjadi menara. Hal seperti ini menyadarkanku bahwa musim sekarang sudah memasuki musim ujian masuk.

Aku berpikir kalau sepertinya sudah saatnya untuk masuk, jadi aku menuju ke kantor di belakang.

Hari ini adalah jadwal pekerjaan paruh waktuku setelah sekian lama. Selain itu, jarang-jarang sekali bahwa Yomiuri-senpai, Ayase-san, dan Kozono Erina-san masuk di dalam shift yang sama. Artinya, hari ini adalah hari yang langka di mana Yomiuri-senpai dan junior-juniornya berkumpul.

Setelah memberi salam, aku membuka pintu kantor.

Ketiga orang lainnya sudah mengganti pakaian seragam dan menunggu.

“Oh, Kouhai-kun. Selamat pagi.”

“Uhmm, selamat pagi? Ah, Kozono-san juga, halo.”

“Halo, Asamura-senpai.”

Ayase-san yang duduk di sebelah Kozono-san juga mengangguk kecil sebagai balasan.

“Kamu datang agak lambat, ya, Asamura-kun.”

“Aku sedikit berkeliling di dalam toko sebelum masuk.”

“Oh, begitu ya.”

Kozono-san melihat ke arah Ayase-san yang mengatakan itu, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu. Ayase-san yang menyadari tatapan itu berbalik ke arah Kozono-san.

“Hmm... ada apa? Kozono-san?”

“Tidak, bukan apa-apa. Hanya saja, Ayase-senpai...”

Sambil berkata begitu, Kozono-san mengubah ekspresinya.

Dan kemudian, dia tersenyum lebar.

“Aku hanya berpikir, rupanya kamu masih memanggilnya dengan nama belakang, ya.”

“Itu biasa saja. Lagi pula, kita sedang bekerja, ‘kan?”

“Tapi, jika ada satu orang lagi bernama Asamura yang masuk ke dalam toko ini, bukannya itu sulit untuk membedakan nama panggilannya?”

Setelah Kozono-san mengatakannya, yang membuat situasi semakin rumit, Yomiuri-senpai juga tersenyum dengan nada yang sama.

“Ho~ho~ho~! Bagus, itu semangat yang baik. Ya, orang Jepang seharusnya lebih sering memanggil dengan nama depan. Itu akan menunjukkan penghormatan terhadap individu.”

“Benar sekali, iya kan!”

“Yah, aku tidak akan membantahnya, sih.”

Ayase-san berkata dengan santai tanpa mengubah ekspresinya sama sekali.

“Kamu yakin? Kamu tidak keberatan, ‘kan? Apa kamu tidak mengkhawatirkan tentang hal-hal yang tidak perlu? Aku mungkin takkan kalah dengan orang yang suka menahan diri. Aku akan memanggilnya lebih dulu.”

“Silakan saja. Tapi, kenapa malah 'mungkin'?”

“Hmph. Tidak apa-apa, kan!"

“Dengan kata lain, Kozono-chan ingin memanggil Kouhai-kun dengan nama depannya agar bisa lebih akrab, ya. Oke, baiklah, mari kita coba.”

Tolong berhenti tersenyum cengengesan begitu, Yomiuri-senpai.

“Baiklah. Ja-Jadi, eh... umm? ... Senpai, nama depanmu apa ya?”

Pada saat itu, Ayase-san seketika menutup wajahnya dengan tangan, seolah berkata 'hadeuh'.

“Nama depanku Yuuta.”

“Ah, ya. Terima kasih. Kalau begitu, umm... Yutata.”

Siapa itu?

“Aku salah ucap. Yu-Yuu... tatta.”

“Kamu tidak perlu mengatakannya dengan wajah memerah seperti itu. Kamu tidak perlu memaksakan diri, oke?”

Ayase-san berkata.

“Uuuuh. Senpai, bagaimana mungkin kamu sering melakukan hal yang memalukan seperti ini!”

“Aku tidak melakukannya. Bukannya aku hanya memanggilnya dengan Asamura-kun?”

Ayase-san berkata dengan santai, tetapi di rumah dia memanggilku 'Yuuta-niisan'. Itu panggilan yang sudah cukup lama.

Ketika suasana di antara kami mulai menghangat, manajer mengetuk pintu dan masuk.

Dia bilang sudah saatnya jam kerja.

Tanpa disadari, ternyata waktunya sudah lima menit sebelum giliran kerja kami dimulai. Kami semua berdiri dari kursi.

Ketika kami merapikan cangkir teh yang kami minum dan bersiap-siap untuk melakukan berbagai pekerjaan, Yomiuri-senpai berkata, “Oh ya,” sambil menatap ke arahku.

“Jika kamu menemukan buku yang ingin dibeli, sebaiknya kamu harus membelinya sebanyak mungkin selagi bisa.”

Ekspresinya terlihat cukup serius.

“Yah. Tapi aku tidak punya uang cukup untuk membeli sebanyak itu, dan juga aku tidak punya ruang kosong untuk menyimpannya. Lagipula, aku adalah seorang siswa yang sedang mempersiapkan ujian. Selain itu, aku tidak punya rak kosong untuk menyimpannya juga jika aku berhasil membelinya...”

“Selama masih ada ruang untuk berjalan di kamar, itu sama sekali tidak masalah!”

Yomiuri-senpai dengan cepat menyela kata-kataku. Tunggu, tunggu. Apa kamu berniat menumpuknya sampai-sampai lantainya tidak terlihat?

“Apa jangan-jangan... lantai kamar senpai sampai tidak kelihatan untuk berjalan?”

“Kalau diacak-acak sedikit, masih bisa berjalan.”

“Ini bukan negara bersalju kali.”

Aku membayangkan sebuah ruangan yang dipenuhi tumpukan buku di sekitar tempat tidur.

“Ya ampun, dengarkan baik-baik, sebaiknya kamu beli bukunya selagi masih bisa.”

Karena nada suaranya yang serius, mau tak mau aku jadi bertanya apa yang sebenarnya terjadi.

“Memangnya kamu tidak melihat berita hari ini?”

Dia menceritakan tentang berita salah satu perusahaan distribusi penerbit besar yang bangkrut.

Dalam industri penerbitan, distribusi dianggap sebagai bagian yang sangat penting dan memiliki posisi yang kuat.

“Mereka dikenal sebagai perusahaan yang sudah lama berdiri. Yah, itu membuatku merasa sedikit tentang ketidakpastian. Hal-hal seperti ini bisa terjadi di bisnis mana pun. Tapi sebagai seseorang yang sedang mencari pekerjaan, ini adalah topik yang tidak bisa diabaikan begitu saja.”

Kami bertiga mengangguk. Jika memang begitu masalahnya, kami mengerti maksudnya.

“Apa mungkin, umm, kamu juga mempertimbangkan perusahaan distribusi itu sebagai tempat kerja, senpai?”

“Yah, setidaknya aku sudah mempertimbangkannya. Tentu saja aku juga mempertimbangkan tempat yang lain. Tidak hanya perusahaan besar, tetapi juga agensi periklanan di bidang IT dan web. Aku juga melamar di tempat-tempat seperti itu.”

“Jadi kamu melamar di banyak tempat, ya?”

Yomiuri-senpai mengangguk ketika mendengar pertanyaan Ayase-san.

Begitu rupanya, jadi jika ada masalah di industri yang ingin kamu masuki, itu bisa membuatmu merasa tidak nyaman tentang masa depan. Menurut Yomiuri-senpai, hanya dengan menyebutkan beberapa topik ekonomi dalam beberapa bulan terakhir, seperti akuisisi produsen mobil yang sudah lama berdiri, akuisisi produsen elektronik besar, dan penurunan bank, ada perubahan yang terlihat di beberapa industri utama Jepang.

Meskipun Kozono-san yang masih kelas satu SMA tampaknya tidak merasakannya, tapi aku dan Ayase-san merasa terpengaruh karena kami sedang memikirkan masa depan kami.

“Bahkan jika kita lulus dari Universitas Tsukinomiya, ternyata mencari pekerjaan masih hal yang sulit, ya...”

Perkataan Ayase-san sepertinya datang dari pemikirannya yang jujur.

“Yah, aku sudah mendapatkan tawaran kerja, jadi aku berada dalam posisi yang bisa memilih, jadi aku masih bisa cukup santai.”

Yomiuri-senpai akhirnya tersenyum saat berkata demikian.

“Baiklah, mari kita pergi ke toko. Untuk bagian kasir, aku dan Kouhai-kun akan melakukannya terlebih dulu, sementara kalian berdua mulai dengan merapikan rak.”

Yomiuri-senpai berkata sambil mendorong kami untuk bergerak.

Namun, setelah mendengar cerita seperti itu, aku semakin meragukan apakah fokus pada stabilitas yang aku inginkan merupakan pilihan yang benar. Yomiuri-senpai mengatakan bahwa di era di mana perubahan besar terjadi, bahkan industri yang sudah lama berdiri atau perusahaan besar pun bisa mengalami kemunduran di kemudian hari. Jadi, seberapa berharga pemahaman yang hanya sekadar ingin masuk universitas yang baik dan mendapatkan pekerjaan yang baik?

Tentu saja, jika pemahaman itu didasarkan pada penelitian dan pemikiran yang matang, itu berbeda.

Tapi bagi seseorang sepertiku, yang hanya berpikir secara samar-samar tentang universitas dan pekerjaan yang baik, semua itu mungkin hanya ilusi belaka.

Saat kami menuju kasir, Yomiuri-senpai menambahkan,

“Pada saat kalian lulus dari universitas, pemandangan dunia mungkin sudah sangat berubah. Perusahaan baru, pekerjaan baru, dan bentuk tempat kerja baru akan bermunculan. Mungkin kita akan berada di era seperti itu.”

 ──Aku suka terpapar cara berpikir baru.

 Aku menulis hal itu di buku catatan. Namun──.

 Aku butuh bantuan. Aku belum memiliki kemampuan untuk memprediksi masa depan hingga mempertimbangkan tempat kerja yang belum ada di dunia ini.

 

◇◇◇◇

 

Malam itu, aku dan Ayase-san sedang makan malam bersama sambil menonton TV.

Kami duduk di sofa di ruang tamu, bukan di ruang makan.

Menu utama di meja rendah di depan TV adalah nikujaga, yang bisa dibilang sebagai masakan rumahan Jepang yang klasik. Karena kami berdua baru pulang dari pekerjaan paruh waktu, jadi kami hanya perlu memanaskan masakan yang sudah dibuat oleh Akiko-san sebelum berangkat kerja, yang bisa dibilang adalah masakan andalan untuk menyenangkan ayahku. Ditambah dengan nasi, sup miso, dan beberapa lauk yang dibeli di supermarket dalam perjalanan pulang, serta natto dan nori laut.

Ngomong-ngomong, ayahku sudah selesai makan dan pergi ke kamar tidur. Mungkin sekarang ia sudah tertidur.

Omong-omong, meskipun ini adalah makan malam berdua antara Ayase-san yang lebih fokus pada makanan dan aku yang jarang menonton TV, mengapa malam ini kami makan di ruang tamu?

Karena kami berdua terpengaruh oleh percakapan kami dengan Yomiuri-senpai dan memutuskan untuk sesekali menonton berita dengan serius. Kami menyalakan program berita ekonomi yang tayang larut malam. Sambil menonton program yang mengikuti tren bisnis dunia, kami saling berbagi pendapat sambil menggerakkan sumpit.

“Oh, ini beritanya. Kebangkrutan yang diceritakan Yomiuri-senpai tadi siang,” ujar Ayase-san.

Aku mengangguk sambil menonton berita tersebut.

Pembawa acara terkenal di layar TV sedang berbicara dengan seorang ahli ekonomi demi memperluas topik diskusi. Tentang restrukturisasi industri dan fenomena penurunan minat baca di kalangan pemuda.

“Apa buku benar-benar semakin sulit untuk laku?”

Aku meragukan pernyataan Ayase-san dan menjawab, “Entahlah.”

“Penjualan buku cetak mungkin semakin menurun, tapi jika kita memasukkan teks digital dan media web, ada teori yang mengatakan bahwa ini adalah era di mana tulisan paling banyak dibaca.”

Selain itu, saat ini ada waktu untuk membaca yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.

“Kalau dipikir-pikir, dulu sewaktu di sekolah SD dan SMP, ada waktu khusus untuk membaca, ‘kan? Meskipun hanya sekitar sepuluh menit sih.”

“Waktunya terlalu singkat, ya. Dengan waktu segitu, mana mungkin bisa selesai membaca.”

“Itulah sebabnya aku hanya meminjam buku yang bisa dibaca dalam waktu singkat.”

Ayase-san memang lebih suka membaca majalah, tetapi tidak begitu banyak membaca novel.

“Aku sih membaca buku yang dipinjam sampai habis.”

“Sampai habis?”

Ayase-san tampak bingung.

“Sampai habis secara harfiah. Karena aku penasaran dengan kelanjutannya.”

“…Eh? Jangan bilang kalau kamu terus membacanya bahkan saat jam pelajaran lain?”

Aku mengangguk sambil merasa sedikit malu. Jika ada kejadian misterius dan detektif mulai memecahkan teka-teki, mana mungkin aku bisa menunggu sampai waktu baca besok.

“Sambil membuka buku pelajaran di atas meja, aku menyimpan buku di dalam kolong… dan mencuri waktu untuk membacanya.”

Aku mencoba menggambarkan bagaimana aku melakukannya seolah-olah ada meja belajar di depanku.

Ayase-san tampak terkejut dan membuka mulutnya lebar-lebar.

“Bagaimana caranya kamu bisa tidak dimarahi guru waktu itu?”

“Saat pelajaran, aku malah lebih lancar membaca.”

Sambil bercakap-cakap seperti itu, kami terus menonton berita ekonomi di layar.

Setelah berita selesai, program TV mulai memperkenalkan produk baru dengan teknologi terbaru.

Topik hari ini adalah aplikasi asisten virtual dengan pengenalan suara. Itu adalah aplikasi yang biasanya ada di smartphone. Kita bisa memberi perintah dengan suara, mulai dari membuka aplikasi hingga membuat daftar tugas. Juga bisa digunakan sebagai catatan kecil. Ini adalah versi terbarunya.

Fitur catatan, ya…

“Ayase-san, apa kamu pernah menulis buku harian?”

Tiba-tiba, aku jadi teringat percakapanku dengan Maru dan bertanya seperti itu, tapi Ayase-san tampak panik dan berkata, “Eh?” Sepertinya dia cukup terkejut.

“Bu… buku harian? Maksudnya, catatan harian begitu?”

“Iya, yang catatan yang menceritakan kejadian sehari-hari, bukan catatan biasa.”

Meskipun, sebenarnya, apa sih catatan yang bukan diari?

“Ah, iya. Aku pernah menulisnya, tapi sekarang tidak lagi.”

“Oh, jadi itu cerita lama?”

“Ah, iya, benar dulu sekali. Cerita lama.”

“Keren sekali.”

“Eh?”

“Kalau aku yang melakukannya, aku pasti sudah berhenti menulisnya setelah tiga hari.”

“Ah… ya, memang, banyak orang yang kesulitan melanjutkan menulis diari. Aku… ya, cukup bisa melanjutkannya. Tapi kenapa kamu tiba-tiba menanyakan itu?”

Aku menceritakan sedikit tentang percakapanku dengan Maru siang hari tadi.

Aku sedang merenungkan jalan mana yang harus aku ambil. Maru bilang, dengan mencoba menuliskan pikiran, kita bisa mengatur pikiran kita dan melihat diri kita secara objektif.

“Jadi, aku penasaran bagaimana rasanya.”

Ayase-san berhenti menggunakan sumpitnya sejenak dan berpikir ketika aku bertanya padanya. Dia mulai berbicara, memilih kata-kata dengan perlahan.

“Hmm… kurasa aku memang bisa melihat isi kepalaku secara objektif."

“Jadi, itu berdampak baik bagi Ayase-san, ya?”

Ketika aku menanyakan itu, Ayase-san tiba-tiba menunjukkan ekspresi malu.

“Ya, begitulah. Terkadang, aku melihatnya terlalu objektif dan merasa malu sendiri, rasanya seperti, 'Apa sih yang aku pikirkan ini…' sampai-sampai aku harus memegangi kepalaku.”

Aku sedikit terkejut. Ayase-san mungkin terlihat sebagai gadis keren di mata orang lain. Aku merasa dia tidak sekuat itu, tapi aku tidak pernah membayangkan dia merasa sangat malu sampai-sampai memegangi kepalanya saat membaca diarinya sendiri.

“Oh, jadi Ayase-san juga mengalami hal seperti itu.”

Aku mengatakan itu karena merasa terkejut, tetapi Ayase-san malah melambai-lambaikan kedua tangannya dan berkata, “Tolong lupakan itu.”

Aku memiringkan kepalaku dengan kebingungan. Namun, Ayase-san tidak menjelaskan lebih lanjut.

“Lupakan. Itu bukan hal yang penting.”

Setelah mengatakan itu, dia dengan paksa mengalihkan pembicaraan kembali ke program berita.

Ya, diari merupakan hal yang pribadi. Meskipun aku penasaran, aku tidak bisa menanyakannya lebih jauh. Jadi aku juga mengalihkan perhatianku ke televisi.

 

◇◇◇◇

 

Setelah menyelesaikan porsi belajarku, aku berencana untuk tidur ketika baru mengingat sesuatu.

Aku melihat kembali catatanku. Saat membaca kembali catatan yang kutulis selama jam pelajaran, perasaan tidak nyaman itu kembali muncul.

“Tidak bisa menemukan apa yang ingin aku lakukan sendiri adalah masalah, ya.”

Mengetahui bahwa itu bisa terungkap hanya dengan catatan sederhana membuatku merasa ngeri.

Aku merasa sangat ditegaskan kembali tentang betapa menyedihkannya diriku. Jadi, beginilah rasanya ketika membaca tulisanmu sendiri dan memegangi kepalamu, ya.

Bagaimana orang-orang bisa menulis diari dan menyimpannya? Diari Tosa, diari Kagerou, diari Murasaki Shikibu, diari Sarashina… Para penulis diari yang dianggap sebagai karya sastra itu, apa mereka pernah membayangkan bahwa tulisan mereka akan dibaca oleh keturunan mereka ratusan tahun kemudian dan diberi komentar?

“Jika mereka mengetahuinya, kira-kira bagaimana perasaan mereka?”

 Apa mereka merasa malu sampai-sampai memegangi kepala mereka? Atau mungkin menanggapi dengan santai seperti, “Silakan, silakan baca lebih banyak.”

 Tidak, pikiranku malah melenceng begini. Jadi, aku harus lebih serius memikirkan apa yang ingin aku lakukan…

Aku mengambil smartphone dan mulai mencari informasi tentang universitas yang diinginkan. Meskipun mungkin sudah terlambat, hal itu lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.

Sepertinya, selama akhir pekan yang panjang ini, ada banyak perguruan tinggi yang mengadakan acara kampus terbuka.

Pada tanggal 18 ada Keiryo,  tanggal 19 ada Waseho, dan tanggal 20 ada Universitas Ichinose. Jika melewatkan kesempatan ini, aku tidak mempunyai waktu lagi sebelum ujian. Terlebih lagi, di akhir bulan akan ada pertemuan antara guru dan wali murid.

“Mungkin aku bisa pergi mencobanya saja kali ya, acara kampus terbuka…”

Aku ingin mendapatkan sesuatu dari sana.

Setelah mencatat rencanaku di buku agenda smartphone-ku, aku pun tertidur.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama