Ronde Ke-5 — Aku Sudah Tidak Tahan Lagi...♥
Bagian 2
Sejak hari pertemuan belajar kelompok, situasinya mendadak kembali berubah.
Pada hari-hari kerja, sepulang sekolah hingga larut malam, dan di akhir pekan dari pagi hingga malam, Emoto-san terus-menerus mengunjungi kamar Yuzuki tanpa henti. Entah untuk membawakan makanan, membersihkan kamar, mengawasi latihan fisik, atau bahkan membantunya belajar. Dia tampaknya memberikan berbagai macam alasan dan mengurusnya seperti seorang ibu mertua yang suka memaksa.
Pada awalnya, Yuzuki masih bisa memberiku kabar lewat telepon. Tapi suatu hari, Emoto-san memergokinya, dan sekarang Yuzuki bahkan tidak berani menyentuh ponselnya jika di depan Emoto-san. Meski begitu, Yuzuki masih tetap membela Emoto-san.
Sejujurnya, aku sempat berpikir kalau dia tidak perlu terlalu menuruti perkataan Emoto-san tak peduli seberapa dekat mereka hingga dianggap saudara? Atau mungkin aku saja yang terlalu khawatir, sementara bagi mereka itu hal yang biasa?
Tidak, kalau Yuzuki memanggilku kemari, berarti dia juga sedikit bingung dengan situasi ini. Tak peduli seberapa besar dia menyayangi Emoto-san, terus-menerus diawasi sampai tidur pasti membuatnya lelah. Hari ini aku akan mencoba sebisa mungkin menjadi pendengar yang baik untuk meringankan bebannya.
“Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa dapat kunci ruang kesenian tradisional ini?”
“Aku meminjamnya dari Sumino-san.”
“Sumino-san?”
“Teman sekelas yang duduk di sebelahku. Meskipun baru kelas satu, dia menjadi ketua klub teh karena tidak ada anggota lain. Kurasa Suzufumi juga pernah melihatnya juga, itu loh, gadis yang pakai kacamata merah itu.”
Ah, anak yang itu ya. Saat aku mendatangi kelas B saat Yuzuki menjauhiku, dia salah mengira aku menguntitnya, jadi dia sempat menunjukkan sikap bermusuhan. Tapi syukurlah, sepertinya pertemanan mereka berjalan lancar.
“Meskipun bukan anggota, apa kamu boleh meminjamnya?”
“Yah, dengan alasan mencoba-coba masuk klub. 'Aku tidak bisa bilang alasannya, tapi apa boleh pakai ruang klub untuk hari ini saja~?' saat aku memintanya begitu, dia mau membantu.”
Sepertinya Sumino-san memang gadis yang memikirkan teman-temannya. Tapi kalau sampai ketahuan tujuannya adalah untuk diam-diam bertemu denganku, mungkin dia akan dimarahi juga.
Di sekolah, aku dan Yuzuki harus berpura-pura tidak saling kenal. Lebih tepatnya, aku ini penggemar idola Arisu Yuzuki yang sudah ditolak mentah-mentah saat upacara penerimaan murid baru.
Tentu saja itu semua hanya kebohongan. Kami berdua terpaksa melakukannya setelah ketahuan berbincang di ruang arsip sehingga mereka tidak mengetahui kalau kami sebenarnya saling mengenal satu sama lain.
Setelah insiden kebun binatang tempo hari, kewaspadaan kami berdua sangat tinggi. Kami menutup gorden jendela agar tidak terlihat dari luar. Pintu juga sudah dikunci rapat. Sebagai antisipasi jika ada yang kejadian tidak terduga, aku sudah menyiapkan lima belas alasan pembelaan dalam berbagai situasi.
“Lalu, apa ada kunci cadangan?”
“Sumino-san yang memegangnya. Katanya hanya ada dua kunci.”
Akhirnya ruangan rahasia yang sempurna telah terbentuk. Kali ini, sepertinya kami tidak perlu khawatir lagi jika ada yang tiba-tiba masuk.
“.....”
“... Yuzuki? Ada apa?”
“....Aaargh, aku capek sekali~~~~~~!”
Saat Yuzuki berbaring telentang, rambut hitam panjangnya menyebar di atas tatami seperti kipas. Padahal tadi dia masih duduk tegak, tapi begitu keamanan terjamin, dia langsung berubah menjadi mode sifat aslinya.
“Duhh, aku capek, capek, capek, capek banget! Ruru-san terlalu rewel banget! Cara mengeringkan pakaian, menyusun sepatu, sampai kelas etika acara formal, rasanya sudah seperti pelatihan saja! Kalau begini terus, aku bisa sesak napas!”
Yuzuki meluapkan semua emosi yang sudah menumpuk di dalam hatinya. Tidak peduli seberapa tertutupnya ruangan ini, apa itu bisa kedap suara?
“Tapi, bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kamu baik-baik saja waktu kita teleponan beberapa hari yang lalu?”
“Itu sih jelas banget kalau aku cuma pura-pura kuat! Kalau beneran baik-baik saja, mana mungkin aku memanggilmu ke sini, tau!”
“... Kalau itu sih, maaf.”
Mungkin karena dia terlalu lama memendam stresnya, jadi nada bicaranya lebih langsung dari biasanya dan terdengar agak kekanak-kanakan.
“Mumpung kita ada di ruang kesenian tradisional, apa kamu mau minum teh?”
“Mau, tolong ya~”
Aku tidak bisa seenaknya meminjam perlengkapan di sini, jadi aku mengeluarkan termos dari tasku dan menuangkan teh hijau ke dalam cangkir.
“Aku taruh di meja ya.”
Sudah sekitar tiga bulan sejak aku bertemu Yuzuki, tapi ini pertama kalinya aku melihatnya terlihat selemas ini. Mungkin karena baru saja terlepas dari tekanan.
Gara-gara dia mengamuk sambil menggerakkan kakinya, jadi rok Yuzuki terangkat dengan berani. Celana dalamnya memang tidak terlihat, tapi paha mulusnya hampir sepenuhnya terekspos. Kontras antara hitam kaos kaki dan kulit putihnya membuat pandanganku sulit teralihkan.
“Oi Yuzuki, rokmu terangkat tuh.”
Aku mencoba menegurnya dengan tenang, tapi Yuzuki malah kelihatan tidak keberatan sama sekali dan menatapku dengan pandangan menggoda.
“Dasar Suzufumi mesum.”
“Jangan konyol. Cepat rapikan sana.”
Yuzuki benar-benar mengabaikan saranku. Dia tetap berbaring dengan lutut ditekuk, semakin memperlihatkan area-area terlarang.
Aku harus segera mengalihkan pandangan. Tapi tubuhku tidak mau menurut. Seakan-akan tertahan gravitasi, mataku terpaku pada pemandangan di depanku. Kalau terus begini, aku bisa melihatnya. Apa baik-baik saja? Disengaja? Karena dia sendiri yang memulainya, berarti itu boleh? Aku jadi melihatnya Di ruangan tertutup ini. Yuzuki. Celana dalamnya. Hitam. Bukan putih atau pink, tapi hitam. Hitam. Bentuknya tidak segitiga, tapi seperti celana pendek.
Ternyata Yuzuki memakai celana dalam model celana pendek sebagai antisipasi kemungkinan tersingkap.
“Sebagai seorang idola, tentu saja aku harus menyiapkan pengaman pakaian. Bukan berarti aku keberatan kalau dilihat, kok.”
“... Ini bukan masalah boleh dilihat atau tidak.”
Sejak dulu aku sudah berpikir begini, tapi Yuzuki sebaiknya harus mengingat bahwa teori “selama bukan kancut, itu aman” tidak berlaku bagi laki-laki.
“Lagipula, ini semua hasil kerja kerasku untuk menjaga kelincahan menari. Aku rajin latihan fisik dan lari setiap hari. Jadi tidak ada yang perlu ditutupi.”
Aku teringat kenangan masa lalu, saat Yuzuki pernah berpose mengenakan baju renang di hadapanku dan menyebutnya sebagai peragaan photobook. Pada saat itu, dia tidak hanya mengenakan bagian atas yang sangat terbuka, tapi juga bagian bawahnya terlihat begitu merangsang, dan kenangan akan tubuh bagian bawahnya yang kencang itu sangat membekas di dalam pikiranku.
“Kalau kamu mau, kamu bisa lihat lebih dekat lagi, kok?”
Tatapannya seolah-olah sedang menguji diriku.
Mungkin dia hanya menggodaku karena berpikir kalau aku takkan melakukan hal bodoh seperti itu. Aku merasa senang jika dia sampai mempercayaiku.
Tapi aku juga seorang pria. Ada seorang gadis yang berbaring di posisi yang tidak senonoh di depanku, dan aku tidak sesuci seperti seorang biksu yang bisa tetap dalam keadaan tenang.
...Atau lebih tepatnya, telinga Yuzuki menjadi merah sebelum dia menyadarinya. Dia sepertinya sudah sadar kembali dan merasa malu dengan apa yang dia katakan.
“Jika kamu merasa malu, kenapa kamu malah melakukannya dari awal?”
“Mmm...”
Akhirnya Yuzuki bangkit untuk duduk dan merapikan roknya yang berantakan. Lalu dia menyesap sedikit teh oolong dan menghembuskan napas lega.
“Ah, aku jadi tenang...”
“Teh oolong mengandung bahan yang memiliki efek menenangkan. Dan sepertinya juga cocok dengan bekal makan siangmu hari ini, kan?”
Aku meletakkan kotak bekal yang kubawa dari tasku di samping teh.
“Kenapa kamu dengan santainya menyuruhku untuk makan...”
Bekal buatan Emoto-san kebanyakan lauk. Jadi bekal makan siang Yuzuki kekurangan nasi. Di dalam ruangan ini tanpa ada pengawasan Emoto-san, hal tersebut bisa menjadi kesempatan yang bagus. Aku sudah memberitahu Yuzuki untuk tidak perlu membawa nasi atau roti hari ini.
“Sayangnya aku tidak perlu nasi atau roti. Aku sudah merasa cukup dengan lauk buatan Ruru-san saja...”
Di dalam ruang ini, aku tidak menemukan barang-barang lain selain perabotan, peralatan makan, dan tasku.
“Ahh, aku lupa meninggalkan tasku di kelas...”
Aku merasa seolah-olah ada dua tanduk tiba-tiba muncul di kepalaku.
“...Hoho~, kelihatannya kamu sangat merindukan bekalku sampai-sampai lupa membawanya, ya.”
“Bukan, aku benar-benar tidak sengaja.”
“Iya, iya, tidak usah pura-pura. Aku tahu kok.”
“Sudah kubilang, aku...!”
Sebelum dia menjawab sepenuhnya, aku membuka tutup kotak bekalku. Ketika melihat isinya, tatapan mata Yuzuki langsung membelalak.
“Ini... onigiri?”
“Hampir mirip, tapi ini bukan onigiri.”
Hidangan yang ada di dalamnya bukanlah onigiri, melainkan onigirazu. Walaupun itu adalah hidangan populer yang menarik perhatian publik pada akhir era Heisei, tapi sebenarnya diciptakan sekitar tahun 1990-an, diperkenalkan dalam sebuah manga masak.
Ciri khas onigiri adalah berbentuk segitiga atau seperti gumpalan nasi. Sedangkan onigirazu adalah “onigiri yang tidak dibentuk”. Hanya dibungkus dengan nasi dan rumput laut, jadi sangat mudah membuatnya.
Kentungan lainnya adalah bentuknya yang persegi panjang dan memiliki luas permukaan yang besar, sehingga bisa diisi bahan-bahan yang lebih besar. Seperti burger, bisa diisi daging yang tebal atau ikan utuh.
“Ngomong-ngomong, apa kamu pernah makan onigirazu?”
Yuzuki menanggapi sembari menggelengkan kepalanya.
“Biasanya isian onigiri itu terdiri dari umeboshi, rumput laut, atau tuna. Hanya satu jenis isian. Tapi onigirazu tidak terbatas pada satu jenis isian saja.”
Di dalam kotak bekal ada tiga buah onigirazu. Hidangan onigirazu itu dipotong menjadi dua bagian, jadi orang lain bisa melihat dengan jelas isinya.
“Pertama-tama, ada onigirazu isi 'daging telur'. Onigirazu ini terbuat dengan menggabungkan daging yang digoreng hingga kecoklatan dan telur dadar tebal. Saat digigit, rasa lezatnya langsung meledak di mulut.”
“....Y-Yah, wajar saja jika daging luncheon dan telur dadar cocok dengan nasi putih.”
“Yang di tengah adalah 'saba tatsuta'. Berisi potongan ikan makarel goreng dengan selada. Diberi saus tartar lemon spesial, jadi rasanya segar tapi tetap juicy. Ikan makarel goreng sudah diberi bumbu kecap dan bawang putih, jadi enak dimakan begitu saja.”
“Terlihat tebal dan lembut. Biasanya tatsuta itu pakai daging ayam atau tuna, tapi ini ikan saba ya.”
“Yang terakhir 'ayam teriyaki mayo'. Seperti namanya, daging paha ayam yang dimasak dengan saus teriyaki manis, lalu diberi banyak mayones. Juga ada telur mata sapi setengah matang di dalamnya. Kuning telurnya yang lumer akan bercampur dengan ayam...”
“...Curang.”
“Hm?”
“Curang! Ini semua komplit banget! Ada daging, ikan, makanan goreng, teriyaki, malah juga ada lauk pokoknya! Bukan cuma nasi saja!”
Hehe. Apa kamu pikir aku akan dengan patuh hanya memberimu makanan yang sehat? Aku selalu berniat menjerumuskanmu ke dalam masakan yang tidak bermoral, Yuzuki.
“Meskipun semuanya spesial, menurutku yang paling direkomendasikan adalah yang klasik, 'daging telur'. Secara pribadi, aku pikir kalau daging luncheon paling enak dimakan dalam bentuk onigirazu.”
Seperti yang dikatakan Yuzuki, nasi, daging, dan telur adalah kombinasi terkuat untuk makan siang. Itulah yang disebut “oke banget”.
Daging luncheon adalah sejenis sosis yang terbuat dari daging sapi atau babi yang dicampur bumbu. Teksturnya kenyal lembut dan rasanya kuat, cocok sekali dengan nasi putih.
Telur dadarnya tentu buatan sendiri. Dibuat dengan telur yang dicampur sedikit air dan gula, lalu ditumis dengan hati-hati sehingga hasilnya mengembang lembut. Saat aku mencobanya sedikit saat memasak, rasanya langsung lumer di mulut, menyisakan kelezatan.
“Kamu tidak akan memakannya sama sekali sampai istirahat makan siang berakhir? Nanti perutmu keroncongan lho?”
“Padahal belakangan ini aku baru saja belajar untuk menahan diri...”
“Kapan terakhir kali kamu bisa memakan makanan yang benar-benar kuat dan enak? Apa kamu ingin menyia-nyiakan kesempatan yang langka ini?”
“Tapi, sekali aku memakannya di sini, aku tidak akan bisa kembali...”
Aku memegang lengan Yuzuki dan menyerahkan onigirazu padanya.
“Tenang saja, tidak ada yang perlu ditakutkan. Yang kamu butuhkan hanya sedikit keberanian. Pertama-tama, santai saja dulu, oke?”
Aku berbicara dengan pelan dan lembut, seolah-olah ingin membawanya ke dunia mimpi, dan menghipnotisnya.
Bibir Yuzuki yang berwarna ceri pucat perlahan-lahan terbuka.
“Sekarang, cobalah onigirazu yang ada di tanganmu itu. Jangan khawatir, santai saja dan pasrahkan pada alam bawah sadarmu.”
“Haah... Haah...”
Yuzuki mencengkeram erat-erat ujung roknya dan bernapas berat. Bibirnya yang tadi bertukar kecupan dengan onigirazu terlihat basah mengkilap.
“Nah, sekarang tinggal langkah terakhir. Bukalah mulutmu lebar-lebar dan lahaplah sekaligus.”
“...Aku sudah tidak sanggup lagi...♥”
Kedua tangan Yuzuki yang memegang onigirazu seketika mengerat. Gerbang menuju perutnya terbuka lebar.
Tapi tiba-tiba, pada saat itu....
Tok tok tok.
Ada bayang-bayang seseorang yang muncul di kaca buram pintu ruang klub.
Tangan Yuzuki berhenti bergerak. Seolah-olah mencegah rencananya untuk menyantap makanan.
“Apa itu Sumino-san... Tidak, pasti bukan.”
Kalau begitu, mungkin seseorang yang ingin bergabung. Tapi di akhir Juni seperti ini, mana mungkin ada pengunjung yang kebetulan datang, ‘kan?
Di ruang klub ini tidak ada tempat untuk bersembunyi. Begitu pintu geser dibuka, kita pasti langsung ketahuan.
Aku langsung memakai sepatu indoor dan memanggil dengan hati-hati.
“...Siapa, ya?”
“Percakapan ini mengingatkanku pada hari pertama kali aku bertemu Mamori-san.”
“...Jangan-jangan...!”
Jelas sekali kalau pemilik suara itu adalah kakak perempuan Yuzuki dan pemimpin grup idola [Spotlight], Emoto Ruru.
“Yuzuki juga ada di sana, kan?”
“...Iya, ada.”
“Yuzuki. Kamu tahu kita ada janjian untuk bertemu di depan gerbang, 'kan? Aku sudah lama menunggumu, tau. Kamu juga tidak mengangkat teleponku.”
Dengan ekspresi 'oh tidak', Yuzuki memeriksa ponselnya.
“Aku memang ada rencana cepat pulang karena ada pekerjaan di sore hari. Aku berencana langsung ke sana setelah makan siang dan berbicara sebentar dengan Suzufumi. Tapi aku malah berlama-lama di sini.”
Aku merasa senang Yuzuki mau meluangkan waktunya untuk bersandar padaku. Tapi di sisi lain, aku juga merasa bersalah karena sudah menghalangi pekerjaannya.
Ketika aku membuka pintu geser dengan pasrah, Emoto-san sedang berdiri di depanku.
Berbeda dengan Emoto-san yang terlihat tenang, Yuzuki tampak kebingungan. Kenapa orang luar bisa masuk ke area sekolah? Kenapa Emoto-san bisa mengetahui ruangan tempat Yuzuki berada? Berbagai 'kenapa' memenuhi pikirannya.
Seolah-olah mengerti kebingungan kami, Emoto-san membuka mulutnya.
“Asal kamu tahu saja, aku sudah melakukan prosedur di pos penjagaan dengan benar, oke?”
Di lehernya tergantung kartu nama tamu bertuliskan [TAMU] yang dimasukkan ke dalamnya.
Emoto-san juga tampaknya membolos daro sekolahnya karena dia masih mengenakan seragam sekolahnya. Blus putih polos, gaun tanpa lengan berwarna hitam, dan pita merah di dadanya. Aku yakin itu adalah seragam SMA perempuan bergengsi di kota sebelah. Jarak yang harus ditempuh lumayan jauh dari sini, tapi dia repot-repot datang menggunakan transportasi umum hanya untuk menjemput Yuzuki?
Aku mengajukan pertanyaan mewakili Yuzuki yang ekspresinya masih dipenuhi tanda tanya.
“Bagaimana kamu bisa mengetahui Yuzuki ada di sini? Sepertinya kamu tidak memeriksa semua ruangan kelas satu satu.”
“Aku pergi ke kelas 1-B. Lalu tiba-tiba seorang anak berkacamata merah melihatku dan sepertinya mengenalku. Aku bilang ada urusan penting dengan Yuzuki, dan dia memberitahuku kalau dia ada di sini.”
Emoto-san tersenyum lembut.
Meskipun itu demi adiknya, melakukan tindakan di luar batas seperti ini sungguh luar biasa. Yuzuki pun tampak terkejut dengan tingkah laku yang melampaui akal sehat ini.
“Ketimbang itu, Mamori-san, kamu lagi-lagi bersama Yuzuki. Jika ada murid lain yang melihat dan menyebar gosip, apa kamu bisa bertanggung jawab?”
“I-Itu...”
Sejak aku bertemu Emoto-san, sepertinya aku terus-terusan dimarahi olehnya.
“Dengarkan aku dulu, Ruru-san. Akulah yang menyuruh Suzufumi kemari!”
Yuzuki mencoba membela diriku, tapi Emoto-san menatapnya dengan pandangan tak percaya.
“Kamu selalu melindunginya, makanya Mamori-san tidak pernah merasa kapok sama sekali. Kamu tahu risikonya kalau bertemu laki-laki di sekolah, 'kan? Kamu tidak perlu aku nasihati lagi, 'kan?”
“Ta-Tapi...”
“...Yuzuki. Jika ada yang memergokimu bersama Mamori-san dan jadi skandal, kamu mungkin tidak bisa menjadi idol lagi seperti sebelumnya. Bukannya kamu paling menginginkan tetap menjadi idol? Kenapa kamu malah terus-terusan bersama Mori-san? Apa arti menjadi idol bagimu sudah tidak penting lagi?"
Emoto-san naik ke lantai tatami dan memegang kedua bahu Yuzuki. Ekspresinya jelas-jelas menunjukkan keputusasaannya.
Yuzuki pun sama saja, dia tidak menyembunyikan wajah kesalnya. Biasanya dia akan lebih patuh mendengarkan.
Melihat reaksi Yuzuki yang begitu, Emoto-san mengerutkan alisnya sejenak lalu menatapku dengan tajam.
“Mamori-san, kita akan membahas ini lain kali secara lebih mendalam. Sekarang aku tidak bisa berlama-lama. ... Ayo kita pergi, Yuzuki.”
“Tunggu, Ruru-san...”
Dia secara paksa menarik Yuzuki yang masih duduk di tatami. Sepertinya bukan karena khawatir Yuzuki akan terlambat bekerja, tapi lebih karena ingin segera memisahkan kami.
Nada bicaranya juga lebih emosional dari biasanya. Mungkin dia frustasi karena Yuzuki tak mau pergi dari sisiku.
“Arisu Yuzuki adalah idola semua orang, 'kan? Waktu debut kamu sendiri yang bilang kalau kamu ingin membuat banyak penggemar tersenyum, 'kan? Aku juga akan berusaha lebih keras, jadi ayo kita bekerjasama lagi seperti dulu, oke? Kamu bisa lebih mengandalkanku...”
“Tunggu, jangan tarik sekuat itu—”
Dalam sekejap, semua orang yang ada di ruangan menahan napas.
Onigirazu yang dipegang Yuzuki terlepas dari tangannya. Makanan itu jatuh ke atas tatami dengan suara gedebuk pelan.
Suasana di ruang klub menjadi sangat berat. Emoto-san dan Yuzuki terpaku di tempat.
Aku memungut onigirazu yang terjatuh. Tidak ada kotoran yang menempel, tapi tetap saja tidak bisa memakannya. Padahal ini masakan kebanggaanku, tapi mau bagaimana lagi.
Wajah Emoto-san langsung memucat.
“Ti-tidak, tadi itu tidak disengaja...!”
“Aku tahu kok, Emoto-san.”
Saat aku meninggikan suaraku, bahu Emoto-san tersentak.
“Tidak ada yang bisa disalahkan. Waktunya saja yang tidak tepat.”
Aku berusaha berbicara dengan nada selembut mungkin, agar Emoto-san tidak merasa bersalah.
Tiba-tiba, lengan kananku diraih dengan kuat.
Tanpa kusadari, Yuzuki sudah melahap onigirazu “daging telur” yang baru saja aku ambil dari lantai.
“Oi, Yuzuki...!”
“Yuzuki, hentikan!”
Tapi Yuzuki terus memakannya dengan rakus, dan dalam sekejap onigirazu itu lenyap dari tanganku.
“Terima kasih atas hidangannya. Enak sekali.”
“A-ah, iya.”
Yuzuki memandang Emoto-san yang berdiri terpaku.
“Yuzuki, yang tadi itu memang salahku, tapi—”
“Emoto-senpai.”
Suaranya mendadak berubah menjadi dingin dan menusuk, mirip seperti pedang atau duri yang tajam.
“Terima kasih sudah repot-repot menjemputku. Tapi hari ini aku ingin pergi sendirian ke lokasi. Aku permisi dulu.”
Yuzuki pun berbalik. Mata coklatnya yang beku memancarkan kegelapan.
“Aku sudah tidak menganggapmu sebagai kakak perempuanku lagi.”
Emoto-san mengulurkan tangannya ke arah Yuzuki saat dia melangkah pergi. Namun, tangannya hanya bisa meraih udara kosong.