Ronde Ke-6 — Akan
Kuperlihatkan Sisi Lain Dari Arisu Yuzuki!
Bagian 1
Keesokan
harinya, pada Sabtu
siang hari. Aku pergi keluar
ke beranda untuk
mengambil pakaian yang dijemur di jemuran.
Bulan
Juni tinggal tersisa satu minggu lagi, sehingga
suhu siang hari terus meningkat. Untungnya, kemeja dan pakaian
dalam yang dijemur di pagi hari sudah kering saat jam makan siang. Kasur yang dijemur di bawah sinar
matahari juga menyerap kehangatan.
Ketika aku melihat
ke arah taman di dekat sini, anak-anak
sekolah dasar sedang bermain sepak bola dengan bersemangat, mereka semua mengenakan baju lengan
pendek dan tampak bersemangat.
Tinggal
sebulan lagi, liburan musim panas akan tiba. Aku
yakin kalau taman itu akan ramai dengan orang tua dan
anak-anak setiap hari.
Sekalian
keluar ke beranda, aku memanen dan menyiangi tanaman sayur
di kebun kecilku. Setelah
itu, aku menyetrika, membersihkan kamar
mandi, dan membereskan kamar — menyelesaikan
pekerjaan rumah satu per satu. Karena tugasku sudah selesai di pagi hari, jadi aku mempunyai waktu luang di sore hari.
Tetangga sebelahku yang berada di kamar 810,
sudah pergi bekerja sejak
pagi. Dan pasangan suami-istri lanjut usia di 808 juga bilang tadi pagi di
lift, kalau mereka akan pergi ke onsen di Tochigi hari ini. Mimpi mereka adalah
mengunjungi semua onsen di 47 prefektur.
Makan
siangku tadi cuma mie instan. Mungkin baru pertama kalinya pada tahun ini aku memakan mie kering. Agar tidak
terasa hambar, aku menambahkan
ham, tauge, dan lemak babi.
Ini hari
libur yang benar-benar tenang. Bahkan rasa-rasanya
jadi terasa hampa.
Hanya
dengan berkurangnya "memasak" dari rutinitas sehari-hari, waktu yang kurasakan terasa begitu lama.
“...Hmm.”
Sebuah
insiden kecil terjadi saat istirahat makan siang kemarin.
Yah, hal yang demikian tidak pantas
disebut sebagai insiden. Kejadian itu cuma
kecelakaan biasa. Kalau aku bisa menengahi dengan baik, mungkin Yuzuki juga
bisa menerimanya dengan tawa.
“Yuzuki
benar-benar marah, ya.”
Baru pertama
kalinya aku melihat Yuzuki semarah itu. Saat aku membela diri dari tuduhan
terlibat skandal, memang dia terlihat kesal, tapi tidak sampai menolak
mentah-mentah.
Mana
mungkin masalahnya jadi berlarut-larut seperti itu hanya
karena dia menjatuhkan onigirazu. Kurasa akumulasi stress Yuzuki yang terpendam seketika langsng meledak
saat insiden benda jatuh itu terjadi.
Belakangan
ini, Emoto-san memang terlihat terlalu
overprotektif. Bukan hanya soal makan, tapi juga kehidupan sekolah dan kehidupan pribadi Yuzuki.
Mungkin
ada beberapa hal yang berlebihan. Tapi menurut pendapatku dia bukanlah orang yang jahat.
Walaupun hasilnya tidak sesuai, dia dengan
tulus ingin melihat Yuzuki sukses sebagai idol.
Kelakuannya
yang memaksa di ruang klub tempo hari
sepertinya hanya karena semangatnya yang kadang tak terkendali.
Yuzuki
memang jadi bahan kekhawatiran, tapi Emoto-san
juga sama saja. Saat meninggalkan ruang klub tradisional, wajahnya seolah-olah sedang menyaksikan akhir dunia.
Apa mereka berdua akan bekerja Bersama lagi hari ini? Semoga saja mereka bisa berdamai dengan
cepat.
Saat aku sedang memikirkan hal itu, bel apartemenku berbunyi. Kira-kira siapa ya?
Aku
mengintip layar monitor,
lalu membelalakkan mataku.
“...
Emoto-san?”
Aku segera meninggalkan ruang
tamu dengan tergesa-gesa dan membuka pintu depan.
“Ada
apa? Kalau kamu mencari Yuzuki, dia belum
datang.”
Emoto-san
dalam penampilan seragamnya memancarkan kerentanan
yang bisa hancur hanya dengan sentuhan jari. Tatapannya tidak setajam biasanya.
Saat pandangan mata kami bertemu, dia mengalihkan
pandangannya sekilas, tapi
kemudian menatapku lagi.
“...
Aku benar-benar minta maaf atas
kejadian kemarin.”
Dia
membungkuk 90 derajat dengan permintaan maaf yang elegan.
“Aku
terlalu memikirkan diriku sendiri dan melupakan untuk meminta maaf kepadamu, Mamori-san. Seharusnya saat itu aku meminta
maaf padamu terlebih
dahulu, meskipun harus mengesampingkan semuanya. Aku malu atas ketidakdewasaanku yang menunda hal tersebut sampai hari ini.”
“Jangan
dipikirkan. Aku sama sekali tidak marah.”
Memang
aku sudah tahu sejak kemarin bahwa Emoto-sam
tidak bermaksud buruk. Kurasa dia pasti lebih terluka daripada aku.
“Selain itu,
tolong terima ini sebagai
tanda permintaan maafku.”
Dia
menyodorkan kantong kertas berukuran sangat besar yang dia bawa dengan kedua
tangannya.
“Aku
sepenuhnya memahami bahwa kualitas
lebih penting daripada kuantitas dalam kasus seperti ini, tapi aku tidak bisa
mengganti apapun. Isinya adalah handuk wajah khas daerah ini, kopi drip yang
digunakan di hotel bintang lima, paket deterjen, tissue basah, kue kering finansier dari toko kue terkenal,
dan...”
“Ak-Aku mengerti! Perasaanmu sudah
sangat jelas tersampaikan!”
Jarang-jarang ada barang bawaan seperti ini,
bahkan untuk hadiah atau parsel. Sepertinya dia berlari ke seluruh departmen
store sejak kemarin.
“Umm...
Apa Yuzuki mengatakan sesuatu sejak saat itu?”
Dia
bertanya sambil memainkan
jari-jarinya dengan gelisah.
“Tidak...
Atau lebih tepatnya, dia belum pulang sejak kemarin.”
“....Itu
berarti, dia menghindariku, ya.”
Akhir-akhir
ini, Emoto-san sering mengunjungi apartemen
untuk mengurus Yuzuki.
Sepertinya tebakan dia memang benar.
“Apa
kalian tidak ada rencana bertemu di tempat kerja?”
“Kemarin
kita ada kegiatan kelompok, tapi tidak ada kesempatan untuk berbicara
empat mata. Kami baru bisa bertemu kembali setelah seminggu lagi. Teleponnya
tidak bisa dihubungi dan pesannya tidak dibalas... Semoga saja dia tidak terlibat masalah.”
Meskipun
dalam situasi seperti ini, dia
masih mengkhawatirkan Yuzuki.
“Mamori-san, apa kamu tidak pernah menanyakan di mana Yuzuki menginap?”
“Entahlah...
Sejak berpisah di ruang klub tempo hari,
aku belum mendengar kabarnya sama sekali.”
Saat aku
menjawab sambil menyentuh pipiku yang sebelah kanan, Emoto-san tiba-tiba terkulai lemas, seolah
dirasuki roh. Jika keadaan ini terus berlanjut
selama seminggu, tidak diragukan lagi kalau mentalnya
akan hancur.
“Untuk
saat ini, aku harus
meminta maaf dulu sebelum situasinya berubah. Jadi aku akan segera mengunjungi kembali
apartemen Yuzuki.
Kalau begitu, aku permisi dulu.”
Emoto-san terus
membungkuk dalam-dalam sampai pintu tertutup.
Sambil
memilah-milah isi kantong besar itu di ruang tamu, aku bergumam pada diriku sendiri.
“Ternyata
pipiku bereaksi juga.”
Menurut penuturan teman masa kecilku, sejak dulu pipi kananku akan berkedut-kedut saat aku
berbohong.
Kali ini
aku berusaha untuk lebih sadar,
tapi rupanya kebiasaan lama itu sulit untuk dihilangkan.
Aku
berbohong kepada Emoto-san.
Sebenarnya
setelah ini aku ada janji bertemu dengan Yuzuki.
Tempatnya
bukan di apartemen maupun sekolah.
Aku
menenteng tas bepergianku dengan
semangat.
Berbicara
tentang tempat standar untuk pertemuan rahasia, hotel merupakan tempat yang standar, bukan?
☆ ☆ ☆
“Luas
sekali~~...!”
Pada sore
itu di hari yang sama, Yuzuki yang memasuki setelahku, tampak terkagum-kagum melihat ukuran
kamar. Pakaiannya masih T-shirt dan celana pendek seperti biasa, tapi wajahnya
tertutup masker dan kacamata.
Kami
berada di salah satu hotel bergaya Jepang modern di pusat kota.
Setelah
melepas sepatu, di balik pintu geser ada ruangan Jepang berukuran 12 tatami,
dengan wangi jerami yang menenangkan. Di tengah ruangan ada meja rendah kayu
dengan baki berisi teko teh, cangkir, dan kue mochi.
Di
belakang ruangan Jepang ada area dengan meja dan kursi, yang disebut 'hiroen'.
Kamar mandi dan wastafel ada di samping pintu masuk, terpisah oleh pintu geser.
Sungguh
suatu kemewahan bagi kami berdua untuk
bisa menggunakan ruangan cukup besar yang mampu
menampung lima atau enam orang.
Semuanya
bermula dari panggilan telepon yang kuterima
beberapa jam sebelum Emoto-san
datang mengunjungi rumahku.
Saat aku
sedang membereskan pekerjaan rumah, ponsel yang kutaruh di sudut meja bergetar.
Rupanya itu telepon dari Yuzuki.
“Halo,
Yuzuki? Aku khawatir karena kamu belum pulang dari
kemarin.”
“...Maaf,
aku masih belum bisa menjernihkan pikiranku. Sekarang, aku sudah sedikit tenang.”
Suara
Yuzuki terdengar suram dan lesu.
“Jangan
terlalu khawatir soal kemarin. Justru akulah yang salah. Semuanya bermula
saat aku mencoba memintamu untuk makan siang.”
“Tidak,
Suzufumi tidak boleh minta maaf. Karena Suzufumi sama sekali tidak
salah.”
“...Begitu
ya.”
Mungkin
suasana di tempat kerja kemarin sangat berat seperti pemakaman. Atau mungkin
Yuzuki tetap bersikap biasa di depan rekan-rekannya agar tidak menambah beban
mereka.
“Apa
kamu masih marah dengan Emoto-san?”
“Bukannya marah sih...tapi sekarang aku
tidak ingin bertemu dengannya.”
Suaranya
terdengar goyah bercampur
dengan berbagai emosi. Sepertinya Yuzuki sendiri pun belum memahami
perasaannya.
“Pekerjaanku
selesai sebelum siang. Tapi saat aku pulang ke apartemen, Ruru-san pasti akan datang ke sana, ‘kan? Aku
tidak tahu harus bersikap seperti apa saat bertemu dengannya...”
Yuzuki adalah
idol. Biasanya ia menutupi perasaan sejatinya dengan emosi palsu. Sama seperti dulu saat di ruang arsip
sekolah, dia
bersikap dengan mode idolnya padaku. Tapi kali ini dia tidak bisa melakukannya,
karena Emoto-san bukan sekadar rekan kerja atau
senior baginya. Ada ikatan batin
yang dilewati bersama dan rasa terima kasih yang mendalam, membuatnya sulit
melepaskan.
“Kemarin
aku menginap di ruang istirahat kantor, tapi aku tidak bisa terus-terusan
begitu...”
“...Yah, kurasa memang begitu.”
Meskipun dia menyadari kalau dia perlu berbicara
dengan Emoto-san, tapi sepertinya hatinya masih belum siap.
“Maaf,
aku malah curhat begini padamu. Dari sudut
pandangmu, masalah ini pasti terasa tidak ada
hubungannya denganmu.”
Nadanya
sedikit meninggi, jelas Yuzuki memaksakan diri. Sepertinya pembicaraan ini akan
segera berakhir, tapi masalahnya belum terselesaikan.
“Kalau
kamu tidak pulang ke apartemen malam ini,
lalu kamu mau tidur dimana hari ini? Kamu
harus beristirahat di tempat yang layak, biar capekmu hilang.”
“Mungkin
aku akan menginap di hotel bisnis. Aku belum pernah memesannya sendiri sih, tapi mungkin sepertinya aku cukup menelepon saja ya?”
Aku
khawatir. Walaupun Yuzuki ada;ah idol papan atas,
tapi dia masih gadis remaja yang
berusia 15 tahun. Aku tidak bisa membiarkannya sendirian di luar.
Yang
Yuzuki butuhkan sekarang adalah jalan keluar. Waktu untuk beristirahat sejenak.
Meskipun Arisu Yuzuki sangat sempurna sebagai
idol, aku tidak menuntut kesempurnaan pada Sasaki Yuzuki secara pribadi. Malah
aku ingin Arisu Yuzuki
yang sempurna itu, bisa dengan santai menumpahkan kegundahannya dan berbagi
kekhawatirannya dengan Sasaki Yuzuki.
Dengan
nada ceria, aku berkata pada Yuzuki yang menunjukkan kegelisahan:
“...Kalau
begitu, bagaimana kalau sekali-kali kamu memanjakan
dirimu!?”
☆ ☆ ☆
Setelah
itu, aku mencari hotel yang masih ada kamar kosong dan akhirnya berhasil
memastikan Yuzuki bisa menginap di sana. Satu-satunya hal yang kulakukan ialah meminta
Yuzuki meminta izin orang tuanya untuk mengisi surat
persetujuan penginapan dan mengirimkannya dalam bentuk file elektronik. Karena
anak di bawah umur harus ada persetujuan orang tua untuk bisa menginap di tempat penginapan.
Saat
memasuki kamar, Yuzuki sepertinya sangat bersemangat. Begitu melepas masker dan
kacamatanya, dia
langsung mengeluarkan ponsel dan memotret interior kamar ini bertubi-tubi.
“Aku
selalu menginap di hotel bisnis untuk urusan pekerjaan, jadi aku sudah tidak sabar dan sangat menantikannya!”
Yuzuki
duduk di kursi beranda, melompat-lompat, lalu membuka-buka pintu lemari dan
kulkas dengan tidak tenang, layaknya anak sekolah dasar yang baru menginap pertama kalinya.
Ngomong-ngomong,
akulah yang menanggung biaya
penginapannya.
Dalam
beberapa minggu terakhir ini, aku bukannya hanya berdiri diam sambil menggigit
saputangan menyaksikan Yuzuki diurus oleh Emoto-san.
Aku diam-diam mengambil pekerjaan paruh waktu serabutan untuk mendapatkan uang
saku.
Yuzuki
menawarkan untuk membayar setengah, tapi aku dengan sopan menolaknya.
Ini
adalah caraku menghiburnya. Sedikit harapan
supaya dia bisa benar-benar beristirahat dengan tenang.
Ternyata uang hasil kerja paruh waktu yang kumiliki bisa berguna untuk
saat-saat seperti ini.
Aku
merasa bersalah harus berbohong pada Emoto-san.
Tapi itu permintaan Yuzuki.
'Tolong
rahasiakan tempatku jika Ruru-san
datang ke tempat Suzufumi,' katanya.
Akhir-akhir
ini mereka selalu bersama setiap hari, jadi
mungkin dia ingin menghabiskan waktu
sendiri untuk sementara. Bahkan pada orang terdekat, jarak kadang bisa
memperlihatkan sesuatu yang baru. Sekarang yang terpenting adalah membiarkan
Yuzuki beristirahat.
Saat aku
sedang menyeduh teh, Yuzuki duduk di hadapanku. Dia
menyeruput cairan hijau di cangkir lalu menghembuskan napas.
“Walaupun
itu rencana yang mendadak, tapi hebat juga kamu bisa menemukannya. Pasti
mahal, ya, di sini.”
“Menanyakan
harganya itu tindakan kampungan, tahu.”
Lagipula,
dengan penghasilan Yuzuki yang hampir terus-menerus
bekerja, dia
pasti sanggup menginap di penginapan mewah sekalipun.
“'Yuzuki,
kamu pernah bilang sendiri, ‘kan?
'Kadang-kadang aku ingin pergi ke ryokan (penginapan tradisional Jepang) dan
minum teh hangat sambil bersantai.'”
“...
Jadi kamu masih mengingatnya, ya.”
“Yah,
begitulah.”
Saat
mengunjungi kebun binatang alami,
Yuzuki pernah bercerita. Sejak SMP, dia belum pernah ikut serta dalam
acara-acara sekolah seperti jalan-jalan sekolah
atau studi wisata. Karena itulah, aku
memilih kamar bergaya Jepang yang terlihat seperti kamar di acara-acara
sekolah. Yuzuki bahkan terlihat sangat santai saat
berbaring di ruang klub tradisional
sekolah.
Untuk
Yuzuki yang jarang bisa berpartisipasi dalam acara-acara sekolah, aku akan
mengadakan 'study tour' sementara. Itu adalah upaya terbaikku untuk menghiburnya.
“Aku
membawa beberapa kartu dan permainan papan, jadi
kita bisa memainkannya nanti kalau ada waktu.”
“Benarkah?
Aku sangat ingin mencoba permainan papan!”
Yuzuki
tersenyum senang sambil memeluk bantal duduk yang dilipat. Kami
membuat janji untuk bermain permainan papan suatu hari nanti, mungkin sekitar
hari libur panjang.
Aku
berhasil mewujudkan study tour, dan Yuzuki bisa menikmati kamar bergaya Jepang.
Aku rasa aku memilih penginapan yang bagus. Ada pemandian air panas juga, jadi ini merupakan tempat yang pas untuk mengistirahatkan jiwa dan raga.
Selain itu,
ada alasan lain juga mengapa aku memilih hotel ini.
“Coba
lihat di luar kamar. Ada sesuatu yang menarik di sana.”
Aku
mengajak Yuzuki kembali ke pintu masuk, berlawanan arah dengan kamar mandi dan
wastafel. Yuzuki yang terpaku pada kamar Jepang, akhirnya menyadari keberadaan
sesuatu di sana.
“Eh,
meskipun ini hotel, tapi ada dapurnya juga?”
Fitur
utama hotel ini bukan dari dekorasinya atau lokasinya.
Di luar
pintu geser, di sebelah kiri pintu masuk, terdapat dapur yang tak kalah mewah
dari dapur rumahku. Tidak hanya peralatan masak, tetapi juga peralatan makan
lengkap. Sepertinya mereka bekerja sama
dengan produsen peralatan makan ternama untuk menyediakan produk terbaru.
“Hotel
dengan dapur seperti ini sebenarnya ada cukup banyak. Mirip dengan kondominium atau apartemen sewa mingguan.”
Meskipun
dapur di rumah sudah familiar, tapi terkadang
aku juga ingin mencoba dapur lain saat memasak.
“Aku
ingin Yuzuki bisa bersantai di kamar bergaya Jepang,
pemandian air panas, dan menikmati
masakan yang kubuat.”
“Hehe,
membawa seorang idol ke hotel untuk macam-macam, itu tidak boleh lho.”
“...
Tempatnya saja yang berubah dari apartemen ke hotel.”
Meskipun
aku berusaha untuk tidak memikirkan hal-hal
yang tidak perlu, aku masih sedikit sadar akan sesuatu.
“Aku akan
membiarkannya sampai di situ dulu. Tujuan sebenarnya pasti hanya
ingin membuatku jatuh ke dalam perangkap makan, ‘kan?
Aku tahu isi tas yang dibawa Suzufumi pasti ada bahan makanannya.”
“Tenang
saja. Konsepnya tetap study tour kok. Bukan pamer daging dan minyak seperti
biasanya.”
“Jadi
ini hanya menginap menyenangkan seperti biasa, ya?”
Sambil
menyeruput teh, Yuzuki memandangku dengan tatapan mata
penuh harap.
“...Ah,
kurasa kamu pasti
akan menikmatinya.”
Aku
tersenyum penuh arti.
Makan
kali ini pasti akan menjadi kenangan tak terlupakan bagi Yuzuki.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya