Chapter 8 — Reset Toudo Tsuyoshi dan Tanaka Haru
Bagian 1
Setelah
menyelesaikan kunjungan perusahaan, aku kembali menjalani
rutinitas akhir pekan biasa dan mulai bekerja lagi sebagai pelayan di sebuah
restoran bergaya Barat. Aku dengan tenang mempersiapkan hidangan udang di depanku. Aku mencucinya
di bawah air mengalir sambil memotongnya menjadi dua bagian menggunakan gunting
khusus.
Aku suka
melakukan persiapan memasak. Sambil menggerakkan tangan, aku bisa memikirkan
banyak hal.
Selain
itu, aku juga menemukan peningkatan keterampilanku dalam persiapan
perlahan-lahan, yang membuatnya semakin
menarik.
Chef yang
sedang mempersiapkan gratin di samping memanggilku. Di sisinya, putri sang Chef
sedang menyiapkan salad. Setelah kesibukan jam makan siang seperti medan perang, mereka
kini sibuk mempersiapkan untuk hidangan
malam hari.
“Wah,
Toudo-kun memang pekerja keras ya~
Bahkan karyawan di sini pun tidak bisa melakukannya
secepat kamu.”
“Terima
kasih.”
“Hmm,
entah kenapa sepertinya ada yang
berbeda denganmu, kayak ada sesuatu yang
berubah. Gaya rambutmu juga bagus. Kalau begitu, kamu
bisa kuajak kencan buta, Toudo-kun. Apa kamu tidak punya teman laki-laki yang
keren?”
“Hei!
Jangan bicara yang aneh-aneh pada Toudo-kun!”
“Ahaha,
hanya bercanda, aku hanya
bercanda saja kok. Karena Toudo-kun lebih dewasa untuk usianya,
jadi aku...”
“Hmm, teman
laki-laki... kurasa Igarashi-kun cukup tampan. Tapi, apa maksudmu dengan kencan
buta?”
“Hoo,
jadi kamu sudah dapat teman laki-laki? Bagus sekali, Toudo-kun!”
“Dia
orang yang baik. Dia sangat menyukai Sasaki-san.”
“Kamu
tidak tahu apa itu kencan buta
ya... Ah, biar kutjelaskan sebagai orang dewasa.”
“Tidak,
tidak, tidak, kamu sendiri juga tidak terlalu berbeda dengannya. Tahun ini kan kamu akan mengikuti ujian masuk,
jadi berjuanglah. Kamu tidak perlu bekerja sambilan lagi, kok.”
“Tidak,
ini salah satu caraku refreshing.”
Sedikit
obrolan di sela-sela pekerjaan. Dulu aku terlalu fokus pada pekerjaan, sehingga
aku tidak bisa melakukan hal seperti
ini. Aku bahkan tidak
tahu harus berbicara
apa.
Aku sadar
bahwa komunikasi adalah sesuatu yang dibangun secara bertahap.
Dari
percakapan yang tampak biasa saja, aku bisa merasakan ikatan yang dalam antara
Chef dan putrinya.
Meski
begitu, masih ada banyak
hal yang tidak biasa bagiku. Akhir-akhir ini, aku sering mendapat pujian dari
orang lain. Saat SD dulu, jika aku tidak bisa
melakukan sesuatu, aku akan dipaksa melakukannya sampai bisa.
Bahkan jika aku berhasil, aku tidak pernah dipuji. Saat SMP, aku hanya selalu
dimarahi. Jadi ini terasa sangat aneh bagiku.
Aku mendengar
suara langkah kaki dari arah ruang depan. Suara itu adalah.... suara Tanaka.
“Chef,
aku sudah selesai membereskannya! Pekerjaan selanjutnya apa?”
Tanaka
masih terlihat bersemangat
seperti biasa. Hanya melihatnya saja, aku sudah merasa senang.
“Ah,
ternyata persiapannya sudah lebih maju dari yang kuduga. ... Meskipun agak
terlalu awal, bagaimana kalau kalian berdua boleh pulang lebih awal hari ini?”
“Baik! Hehe, hore!”
Chef
adalah orang yang sangat baik. Tapi, saat insiden putrinya, Chef berubah
menjadi sangat kasar dan tidak bersahabat. Pada saat
itu, aku merasakan kasih sayang mendalam Chef pada putrinya. Meskipun diarahkan
pisau ke wajahnya, Chef sama sekali tidak berubah ekspresi, jelas-jelas menunjukkan bahwa ia berasal
dari dunia yang berbeda.
Lengannya
penuh dengan bekas luka. Mirip dengan karakter di komik yang pernah kubaca. Seorang bos kafe botak
berkulit coklat dengan otot yang kekar. Apa aku bisa
menang dalam pertempuran satu lawan satu melawan Chef? Aku pasti tidak akan
lolos tanpa luka. ... Suatu hari aku ingin mendengar cerita lamanya.
Chef
menghela napas saat pertama kali bertemu denganku. Saat itu aku berpikir kalau aku sudah mengatakan sesuatu
yang aneh lagi. Tapi, ternyata itu hanya kesalahanku. Chef berkata dengan mata
yang terlihat sedih namun lembut, “Di
sini tidak ada orang dewasa yang akan memanfaatkanmu, jadi kamu tidak perlu khawatir.”
Dia
adalah orang yang aneh. Tapi, aku sangat menyukainya.
“Baiklah,
kalau begitu aku permisi duluan....”
“Hihihi,
bersenang-senanglah dengan Tanaka-san!”
“Hei,
jangan menggodanya!”
Kami berdua keluar meninggalkan area dapur
dengan diantar pandangan hangat dari Chef dan putrinya.
“Bagaimana
kalau kita minum jus di Taman Shirogane?”
“Tempatnya agak
jauh sih, kamu yakin tidak
apa-apa?”
Taman
Shirogane adalah taman kecil yang terletak
di belakang perbukitan pertokoan. Dari sini, butuh sekitar 10 menit untuk
berjalan ke sana.
“Tidak
apa-apa, aku ingin berjalan santai setelah sekian lama.”
“Memang
benar juga ya.”
Berbeda
dengan saat di sekolah, melihat Tanaka dalam pakaian biasa terasa agak
canggung. Meski aku sudah
lama bekerja sambilan, ini terasa seperti suasana baru. ... Sepertinya sekarang
aku tidak jauh berbeda dari diriku dulu.
“Bekerja
sambilan memang melelahkan ya~ Tapi karena menyenangkan, jadi tidak apa-apa.
Omong-omong, apa tas Michiba-san sudah ketemu?”
“I-iya,
aku sudah menemukannya, tapi aku kesulitan bagaimana
menjelaskannya...”
“Hee?”
Pada hari
itu, setelah Michiba
diam-diam menangis, kami berempat minum teh di kafe dekat sana. Meskipun hanya
memesan satu gelas, itu merupakan waktu yang sangat berharga.
Aku heran
dengan air mata Dojo. Saat merasa sedih,
air mata akan keluar. Hanazono, Tanaka, Michiba,
dan Sasami, semuanya menangis dengan sedih.
Namun,
air mata Michiba terlihat berbeda.
Entahlah, itu terlihat seperti air mata yang membersihkan hatinya, membuatku
merasa nyaman melihatnya.
Setelah
itu, Tanaka dijemput adik laki-lakinya,
jadi aku dan Hanazono memutuskan untuk mengantar
Michiba pulang. Dan Shimafuji sedang
menunggu di gerbang tiket dengan tas di tangannya......
“I-itu,
kenalanku... menemukan tas dan ponsel Michiba...”
“...
Hee? Kenalanmu? Cewek ya? Yah, syukurlah kalau tas Michiba-san bisa ketemu!”
“Aku
tidak tahu harus menjelaskan apa. Shimafuji adalah teman sekelasku sewaktu SD dulu dan ia laki-laki. Tapi itu tidak
penting.”
Shimafuji memeluk tas Michiba yang imut itu, lalu menyerahkan
ponselnya. Entah kenapa wajahnya memerah dan menghindari tatapan Michiba dan Hanazono.
Ternyata,
ia melihat kalau ada seseorang yang menjambret tas
Michiba, jadi ia
berniat mengejar dan merebutnya
kembali. Tapi setelah Michiba
berlari, ia menakut-nakuti teman sekelasnya itu, mengambil tas, lalu berusaha
mengejar Michiba.
Saat Michiba sudah selesai berlari, ia ingin menyerahkan tas
itu, tapi rupanya ia merasa malu
bicara dengan gadis asing,
jadi ia tidak tahu harus bagaimana.
Lalu di
tengah jalan, ia bertemu kami dan bersembunyi karena kaget.
... Aku sama sekali tidak paham. Apa ia
bisa melindungi Eli sebagai pengawalnya?
Dia agak aneh. Aku pernah membacanya di novel kalau tipe orang semacam itu biasa disebut 'otak otot
doang'.
“Ternyata
bukan cewek, toh. Hehe,
ya sudahlah!”
“Sebaiknya
kita kesampingkan dulu masalah Shimafuji.
Michiba bilang kalau dia ingin
mentraktir kita makan di tokonya nanti. Ayo kita buat
rencana dan pergi bersama-sama.”
“Oke,
sih!”
Sepertinya
Michiba sudah baik-baik saja. Dia pasti sudah menemukan sesuatu.
Kemarin,
aku pergi ke kelas lamaku. Selain ingin menemui Sasaki-san dan Igarashi-kun, aku juga ingin memeriksa keadaan Michiba.
Michiba
sedang belajar sendiri. Aku tak merasakan ada beban aneh padanya. Saat dia beristirahat sebentar dari belajar
dan menutup bukunya, beberapa murid perempuan di kelas mengajaknya bicara.
Obrolan biasa, tapi suasananya sangat rileks. Senyumnya terlihat indah.
Kesendirian,
kecemasan, kesepian, dan perasaan sedih yang dulu kurasakan darinya sudah tidak ada lagi. Dan aku
merasa ada sesuatu di dalam diriku yang telah tenang.
Tanaka
mencolek dadaku saat berjalan.
“Ini
semua berkat Toudo, tau!”
“Aku?”
“Michiba-san
bisa menenangkan hatinya. Mungkin karena bertemu denganmu, berbagai emosinya mulai menjadi tenang.”
“Apa iya?”
“Iya,
sudah pasti begitu.”
Perkataan
kuat Tanaka menyentuh hatiku. Begitu ya,
rupanya Michiba bisa berjalan ke arah
yang lebih baik berkat diriku.
Itu membuatku sangat senang.
...
Tanaka terus-menerus
menatapku. Kenapa?
“Ta-Tanaka?
Ada apa? Rasanya agak memalukan kalau kamu terus menatapku.”
“Ah,
maaf. Hehe, habisnya Toudo
bisa membuat Michiba-san
membaik, sih. Aku cuma merasa ikutan senang saja.”
Memang
benar. Tanaka yang tahu diriku dulu pasti mengerti betapa sulitnya hal itu. Aku
hanya bisa menyakiti orang lain. Tapi, aku bisa menjadi
pertolongan untuk Michiba.
“— Toudo, kamu tahu enggak? Kamu
itu selalu saja gampang minder. Kamu
adalah cowok yang pintar dan jago olahraga, tapi yang paling
istimewa darimu itu... sifatmu yang polos dan baik. Makanya semua orang
tertarik padamu—”
Rasa
sakit di dadaku yang berusaha kulupakan, kembali muncul. Aku bukan orang
seperti itu. Aku adalah orang yang sudah membuat
Tanaka sedih.
“Ta-Tapi, dulu aku selalu diejek oleh
yang lain. Sejujurnya, kadang-kadang aku khawatir kalau Tanaka dan
Hanazono juga akan diejek kalau bersama denganku. ... Meski kurasa aku sudah
sedikit berkembang, tapi aku masih kaku dalam berbbicara.
Aku juga gampang gugup
kalau harus bicara dengan murid lain yang belum kukenal. Rasanya aku tidak bisa
akrab dengan rekan kerja sambilan. ... Aku memang orang yang canggung.”
“Justru
itu yang bagus darimu, Toudo.
... Lagipula, masa lalu itu tidak usah dipikirkan. Aku— kami ingin bersama Toudo yang seperti ini.”
Aura
Tanaka berubah. Suaranya yang serius membuat detak jantungku berpacu. Dia
menatapku dengan serius.
Tapi
tiba-tiba, aku bisa mendengar
suara mesin besar dari belakang kami. Kami menoleh dan melihat sebuah truk
besar melaju di jalan pertokoan.
Kecepatannya
memang sedikit tinggi, tapi sopir truk itu
tampak waspada dan memegang
kemudi dengan baik. Aku berhenti dan memperhatikan truk itu. ... Truk itu pun
melewati kami tanpa masalah.
“Kali
ini tidak apa-apa.”
Tiba-tiba
aku merasakan sensasi hangat
di lenganku. Begitu aku menyadarinya,
ternyata aku sedang memeluk Tanaka untuk melindunginya.
Kenapa
aku melakukan ini? Aku sama sekali tidak
mengerti. Kenapa aku bertindak seperti ini?
“A-ah,
Toudo, haha... Tempat ini memang
jarang terjadi kecelakaan, jadi tidak apa-apa, kok. Kamu terlalu khawatiran banget. Sampai
memelukku rasanya agak
memalukan, tahu. ... Eh, Toudo?”
Badanku
terus bergetar. Tubuhku tidak mau menuruti perintahku. Baru pertama kalinya hal semacam ini terjadi. Ah,
begitu ya, aku takut Tanaka terluka. Jadi ini
yang disebut perasaan takut?
“...
Sepertinya aku salah.”
“Hm?
Mumpung kita sudah lumayan dekat ke taman, bagaimana kalau
kita istirahat dulu di bangku
sana?”
Aku mengangguk setuju dan Tanaka menuntunku menuju ke taman.