Roshidere Artbook SS — Sehabis Ini Aku Diledek Terus-Terusan
“…Menakjubkan banget.”
Itulah satu-satunya kata
yang terlintas di benak Masachika
ketika dihadapkan pada area luas yang sepertinya mampu menampung lebih dari
seratus orang dengan mudah.
Berdiri di tengah-tengah
aula yang begitu megah, yang tampak seperti sesuatu yang hanya digunakan oleh pengusaha perusahaan besar atau partai
politik, Masachika sampai tak bisa berkata
apa-apa.
Namun, hal
yang paling mengejutkannya justru para tamu di acara ini, termasuk
Masachika, semuanya adalah siswa SMA. Selain staf aula yang membawa piring dan
minuman, dan para koki yang berjaga di meja
kecil di sepanjang dinding, semua orang di aula merupakan
para murid dari Akademi Seirei.
Dan itu bukanlah pesta
ulang tahun untuk putra atau putri dari keluarga konglomerat.
Sebaliknya, itu adalah pesta yang diselenggarakan oleh wakil presiden komite kedisiplinan, Kiryuuin Sumire,
sebagai permintaan maaf atas keributan yang disebabkan oleh sepupunya, Kiryuuin Yushou,
di festival budaya baru-baru ini. Tempatnya tentu saja di adakan di hotel kelas atas.
“Tapi, bukannya ini
terlalu luas, Violet-senpai…”
Saat Masachika mengatakan
ini, ia mendengar suara adiknya yang sedikit lebih pelan dari belakangnya.
“Setuju banget~ Seperti yang diharapkan dari
Grup Kiryuin.”
“Lah, bukannya kamu malah terlalu
nyaman?”
Masachika
melirik ke arah Yuki yang menunjukkan ekspresi
setengah kagum dan setengah heran, saat dia mengenakan gaun biru sambil
memegang koktail non-alkohol yang terlihat bergaya di satu tangan. Yuki yang tampaknya sadar dengan lingkungan sekelilingnya,
mempertahankan sikap anggunnya dan
dengan bangga mengangkat bahunya dengan ekspresi percaya diri.
“Yah, kalau aku sih
sudah terbiasa dengan hal semacam ini, oke~.”
“Ah, iya, iya… Ngomong-ngomong, kamu kenapa, Ayano?”
Ketika Masachika memanggil
Ayano, yang telah menyusut di belakang punggung Yuki, dia tersentak dan dengan
takut-takut melangkah maju.
“Tidak, saya hanya tidak terbiasa dengan
suasana seperti ini…”
Ayano yang bertingkah
dengan gelisah, mengenakan gaun hitam yang sepertinya
mencerminkan keinginannya untuk tidak menonjol. Namun, dipadukan dengan rambut
hitamnya yang biasanya diikat sekarang ditata dengan
gaya berbeda, itu memberinya sedikit pesona dewasa.
“Kamu
telah mengubah gaya rambutmu dari biasanya, bukan? Kamu kelihatan manis,
kok. Gaunmu juga terlihat sangat
pas untukmu.”
Masachika tersenyum lembut
ketika ia berbicara dengan teman masa kecilnya, meskipun wajahnya biasanya tanpa ekspresi, tapi Ayano tampak gugup.
“Te-Terima
kasih banyak…”
Ayano mengalihkan pandangannya dengan gelisah sembari menyisir
poni rambutnya saat menghadapi kekuatan penuh pujian Masachika
yang begitu mendadak, di sisi lain, Yuki, yang belum menerima pujian
apa pun, mengangkat alisnya karena ketidakpuasan.
“Oi, oi,
memangnya kamu tidak ingin mengatakan sesuatu padaku? Hmm~?”
“Kamu kelihatan super duper imut banget, Yuki-chan. Gadis yang paling imut, deh.”
“Horee.”
“Apa hanya begitu saja sudah membuatmu puas?”
Meskipun pujian Masachika
sangat monoton, Yuki terlihat puas saat dia menatap Masachika dengan ekspresi
penuh arti.
“Meskipun begitu, kamu sendiri juga terlihat
cukup modis ya, Masachika-kun.”
“Ah, ini sih, yah…”
Masachika yang menyadari kalau dirinya telah berdandan cukup
berlebihan untuk acara ini, memberikan senyuman masam sebagai respon terhadap
tatapan menggoda adiknya.
Meskipun acaranya diadakan
di sebuah hotel kelas atas yang terkenal, acaranya masih merupakan acara yang mirip seperti kumpul-kumpul pelajar, dengan pakaian formal
pelajar sebagai seragam mereka, Masachika muncul hanya dengan mengenakan
pakaian itu, meski dengan sedikit ragu-ragu.
Tapi begitu ia menunjukkan
kartu undangannya, staf hotel langsung membawanya
ke toko jas kelas atas di ruang bawah tanah hotel, dan ia akhirnya mengenakan
pakaian lengkap mulai dari dasi hingga sepatu formal.
Kemeja yang dikenakan Masachika memiliki sedikit kilau, dan
jasnya berwarna sangat biru sehingga melebihi
warna biru laut. Meskipun ia belum membayarnya, dia bertanya-tanya apakah itu
dianggap sewa sebagai bagian dari biaya venue yakin seluruh set bernilai lebih
dari 200.000 yen.
“Aku gemetar ketakutan saat membayangkan kalau aku tak sengaja mengotorinya.”
“Ah, jadi itu sebabnya
kamu belum makan atau minum apa-apa, ya.”
“Itu juga karena aku
merasa tidak pada tempatnya sampai-sampai perutku
jadi keram.”
Saat Mascahika dengan
sengaja bergidik seolah-olah ingin menyampaikan gejolak batinnya, adik perempuannya memberinya tatapan
seolah-olah berkata, “Kamu banyak
sekali mengoceh padahal kamu dulu
mantan pewaris keluarga Suou.”
Walaupun
Yuki memandangnya seperti itu, tidak diragukan lagi bahwa orang yang berdiri di sini
adalah Kuze Masachika, seseorang yang
sekarang berasal dari keluarga kelas menengah biasa. Terlebih lagi, setelah
menjauhkan dirinya dari dunia masyarakat kelas atas,
wajar-wajar saja kalau dirinya merasa
semakin tidak pada tempatnya.
“Mungkin sebaiknya aku tidak jadi hadir sama seperti
Hikaru dan Takeshi…”
“Yah itu sih mustahil
banget~ Kuzecchi. Kamu mempunyai tanggung jawab menjadi
anggota OSIS.”
“…Kamu
sepertinya sedang bersenang-senang, ya.”
Suara meninggi yang menimpali keluhannya itu berasal dari Nonoa,
yang mengenakan gaun mini yang memiliki kesan seperti gadis idola, memamerkan kakinya yang
ramping dan keindahan tangan kanannya.
“…”
Masachika hampir bertanya,
“Apa kamu salah satu staf?” tapi malah menelan komentarnya.
“Apa kamu datang sebagai
salah satu dari tamu tambahannya Sayaka?”
“Begitulah~.”
Undangan dibagikan hanya
kepada anggota panitia pelaksana festival budaya, panitia disiplin, panitia
kecantikan, dan panitia kesehatan. Namun, setiap undangan diperbolehkan
maksimal tiga orang tamu, dengan harapan dapat memberikan beberapa siswa yang
terkena dampak dari kejadian tersebut kesempatan untuk ikut serta.
Namun, sama seperti Hikaru dan Takeshi yang
diundang Masachika, ada banyak
siswa yang menolak untuk berpartisipasi, dan hanya sedikit siswa yang
benar-benar ikut, mungkin karena takut merasa tidak pada tempatnya.
Walaupun
begitu, Nonoa anehnya bertingkah dengan begitu santai.
“Apa kamu melihat
makanannya, Nonoa-san? Sushi Goheisan
ada di sana.”
“Ya, aku melihatnya, aku
melihatnya~ Luar biasa banget, iya ‘kan~?
Aku tidak tahu kalau restoran itu punya layanan katering.”
“Aku juga kaget. Aku mendengar daftar tunggu pemesanan mereka sampai sekitar tiga tahun…”
Nonoa, yang dengan senang
hati mengobrol dengan Yuki, tidak menunjukkan tanda-tanda memiliki rasa rendah
diri karena tidak diundang langsung. Di antara siswa yang berkumpul, yang
sebagian besar dibesarkan di lingkungan disiplin
milik keluarga kelas atas, dia terlihat menonjol
dalam artian banyak hal. menarik perhatian
dari siswa laki-laki (terutama kakak kelas yang biasanya tidak memiliki kontak
dengannya).
Namun, tatapan itu
bukannya meremehkan, melainkan tatapan kasih sayang…
atau lebih tepatnya, nafsu birahi?
(Ah,
kalau dipikir-pikir, dia juga menarik banyak perhatian saat tampil di band
mereka… Tapi kalian lebih baik
menjauh saja deh dari dia. Enggak ada hal yang baik kalau kalian berusaha main-main
dan mendekatinya, tau~ Aku seriusan.)
Sepertinya peringatan batin Masahchika menjadi sia-sia
karena ada sekelompok tiga anak laki-laki berusaha mendekati
mereka, Sayaka, yang dimaksudkan untuk
menemani Nonoa, tiba-tiba muncul, menyebabkan anak-anak itu berbalik dan segera
mundur.
“Selamat malam,
Masachika-san, Suou-san, Kimishima-san.”
“Selamat malam, Sayaka-san.”
“Selamat
malam.”
“Selamat
malam… Wah.”
“?
Apa?”
“Tidak, aku hanya
berpikir… seorang Ojou-sama
sejati memang beda… Bagaimana cara menggambarkannya ya,
ketenanganmu berada di level lain. Ya,
kamu kelihatan sangat tenang.”
“Apa-apaan
itu maksudnya?”
Sayaka
memiringkan kepalanya sedikit kebingungan atas pujian ambigu Masachika. Tapi
bahkan sikap bingungnya seperti
itu pun terlihat alami dan anggun.
Dia tidak berkerut seperti Ayano, atau menonjol
dengan cara yang aneh seperti Nonoa. Gaun hitam yang dia kenakan secara alami
cocok untuknya dengan elegan, memiliki martabat yang tak terbantahkan dan aura
kecerdasan, cocok dengan atmosfer dengan ketenangan yang luar biasa menampilkan
sikap anggun.
(Takeshi…
kamu pasti akan sangat menyesalinya karena tidak
datang ke sini.)
Melihat sosok Sayaka yang anggun, meski akhir-akhir
ini dia cenderung menonjol sebagai otaku yang tidak terlalu rahasia, Masachika
merasa kasihan pada temannya yang mempunyai perasaan padanya.
“Tidak, seriusan, kamu pasti sudah terbiasa
dengan acara seperti ini. Kamu memancarkan rasa nyaman dan itu mengesankan.”
“…Begitu, aku anggap itu
sebagai pujian.”
“Hm~? Kalau kita berbicara soal terbiasa, bukannya Yukki juga sama? Gaun itu milik pribadi, ‘kan?”
“Ehhh~? Tapi Ayano juga sama, kok?”
“Yah, memang benar dia
sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Tapi ketenangan Sayaka berada pada level yang
berbeda”
“Wah, wah, tak disangka semua rival jadi berkumpul.
Sungguh kombinasi yang tidak biasa!”
“Dan inilah orang yang
paling tidak tenang… tepat pada waktunya.”
“Hmm~? Aduduh, siapa sih Kouhai yang begitu te-ng-il✰ ?”
“Wow, sungguh tidak sopan sekali.”
Masachika menatap
seniornya dengan tatapan dingin, yang membungkuk dengan tangan di atas lutut,
melakukan pose s*ksi yang
tidak perlu saat dia mengintip ke arahnya.
“Hmm? Hmmmm? Ayo~ kamu lihat-lihat apa~?”
“Elena-senpai, rambutmu
sebenarnya berwarna coklat lebih gelap dari yang kukira jika dilihat dari sudut
ini.”
“Ah~ Aku rasa warnanya
akan terlihat agak kemerahan di bawah cahaya berwarna hangat seperti ini…
Tunggu, seriusan kamu melihat ke arah mana sih?”
Mengabaikan rasa feminitas
yang sangat seksi yang dia tekankan di antara kedua lengannya, tanggapan
Masachika hanya membuat Elena bosan.
“Dasar Kouhai yang
kasar sekali, mengabaikan layanan penggemar dari senpai seksimu seperti ini~☆”
“Jangan bertingkah
seolah-olah kamu takkan merasa tersipu
dan lari jika aku menatap dadamu dengan saksama.”
“Kamu sengaja memilih untuk menggoda orang
yang kamu tahu kalau mereka takkan
melirikmu seperti itu, ;kan? Elena-senpai.”
“Aku sudah mengatakan ini
sejak lama, tapi sebagai mantan wakil presiden, bisakah kamu bertingkah sesuai posisimu?”
“Ka-Kalian… Tunjukkan sedikit belas
kasihan… Bahkan aku pun bisa
merasa terluka, tahu…?”
Terguncang oleh rentetan
kebenaran pahit yang tiada henti dari adik kelasnya,
Elena memegangi dadanya secara dramatis sebelum tiba-tiba menempel pada Ayano.
“Uwaaah! Hanya Ayano-chan
yang tersisa!”
“!?”
Ayano, yang bersembunyi di
balik bayangan Yuki, terkejut tanpa suara karena tiba-tiba
ada lengan yang melingkari tubuhnya.
Namun yang mengejutkan,
Elena, yang hingga kini berpura-pura berekspresi menangis, adalah orang yang
paling bingung.
“Hm? Hmm~, loh, loh~?
Ayano-chan, kamu terlihat ramping tapi ternyata kamu cukup berisi, ya…”
“Apa kalian semua menikmatinya?”
Baru pada saat itulah,
ketika sebuah suara dingin menginterupsi percakapan, kelompok tersebut menoleh
ke arah pemandangan luar biasa dari rambut yang ditata ikal, disertai dengan
kehadiran yang sangat mulia.
“Vi-Violet-senpai…”
“Panggil aku Sumire… Dan kenapa dengan suaramu yang kedengarannya bergetar
begitu…?”
“Tidak,
hanya saja…”
Masachika bergumam,
kewalahan dengan kehadiran Sumire yang berwibawa.
TN: Dari Kiri ke kanan - Nonoa, Sayaka, Chisaki, Elena-senpai, Sumire aka Violet-senpai |
Tata kramanya yang halus
memancarkan rasa keanggunan yang megah, dilengkapi dengan sikapnya yang
bermartabat, membawa kesan berwibawa. Cara dia mengenakan pakaiannya yang
jelas-jelas mahal tanpa ada rasa canggung menarik perhatian baik dari pria
maupun wanita. Ditambah lagi, dia
secara alami memiliki seorang pelayan cantik yang berdiri diam di belakangnya,
siap untuk melayani.
Ya ampun,
pelayan itu lumayan
tinggi juga ya.
Dia berusaha untuk tidak
mencolok tetapi tidak berhasil. Badannya hanya terlalu jangkung saja
“Ada masalah apa?”
“Oh,
bukan apa-apa. Terima kasih banyak karena sudah mengundang kami hari ini,
Sumire-senpai.”
Ketika Masachika terlambat
membungkuk, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat ke arah pelayan di
belakang Sumire. Hanya setelah beberapa detik menatap wajah Sumire yang sedikit
tertunduk, Masachika mulai
menyadari apa yang terjadi.
“Ngfu!”
Dan hal itu mulai menyebabkan ia tersedak
hebat. Jika ia sedang meminum sesuatu, ia pasti akan memuntahkannya.
Mengapa ia sampai bertingkah begitu? Alasannya sederhana saja. Itu karena
pelayan yang ada di depannya saat ini sebenarnya
adalah Yushou yang sedang menyamar dengan pakaian maid wanita.
Yushou. Mengenakan wig, denganriasan lengkap, dalam balutan pakaian pelayan wanita.
Meski tersembunyi di balik
rok panjang, ternyata kakinya juga dicukur dengan bersih.
““!?””
Yuki dan Sayaka juga sepertinya menyadari
identitas sebenarnya dari pelayan itu. Tapi sebagai wanita berpendidikan di Akademi Seirei, mereka berusaha sekuat tenaga
untuk tidak membuat keributan.
Mata mereka melebar saat
napas mereka tercekat di tenggorokan, tapi mereka dengan cepat menenangkan
diri, mengalihkan pandangan seolah berpura-pura tidak menyadarinya.
Masachika
berusaha mengikuti contoh mereka, memilih untuk mengabaikan pelayan
( ♂)
yang ada di depannya. Akan tetapi, tidak semua orang berpikiran hal yang sama
dengannya...
“Hah? Kukira itu hanya
seorang pelayan, tapi sebenarnya itu Yushou toh. Konyol banget.”
“Pfft, fuahahahahahahaha! Tunggu, Yushou-kun, apa-apaan
dengan penampilanmu itu!? Hahahaha!”
Nonoa dengan santai
menyapanya di ruangan itu dengan wajah acuh
tak acuh seperti biasanya, sementara Elena tertawa terbahak-bahak. Sebaliknya,
Yushou tetap diam, mempertahankan postur lurus
dengan mata tertunduk, berusaha mengabaikan reaksi mereka berdua. Namun, Sumire menepuk kedua tangannya dengan keras
sembari mengarahkan suara tegas kepada pelayannya tanpa
berbalik.
“Yu-chan? Apa yang
kubilang padamu tentang mengabaikan tamu kita?”
“....Tolong ampuni aku, Ane-san—”
“Ojou-sama.”
“....”
“Oj-ou-sa-ma.”
“…Bisakah kamu mengampuniku, Ojou-sama?”
“Tidak boleh. Hari ini kamu adalah maid-ku, jadi kamu harus bertindak
sesuai dengan itu.”
Kata-kata tak berperasaan yang diucapkan oleh
Sumire, yang bahkan tidak repot-repot berbalik dan menghadapnya, membuat Yushou mengerang
dalam diam, sebelum perlahan menundukkan kepalanya.
“....Silakan mengajukan permintaan apa
pun, para tamu yang terhormat.”
Dihadapkan pada keadaan Yushou yang begitu menyedihkan, Masachika dan Yuki terdiam dengan ekspresi canggung, tapi…
seperti yang diharapkan, dua orang lainnya
tidak menunjukkan tanda-tanda menahan diri.
“Oh, apa kamu bisa mengambilkanku minuman lagi?
Sama seperti yang ini.”
“Kalau begitu, aku juga deh~”
Mereka menyerahkan gelas
kosong mereka dan meminta minuman baru tanpa sedikit pun upaya untuk memberi
petunjuk apa pesanan spesifiknya, jenis permintaan yang pasti akan membuat
marah staf yang menjaga bar minuman.
Menghadapi pesanan seperti itu, sudut mulut Yushou
berkedut ketika mengeluarkan suara yang sedikit
gemetar.
“Tamu yang terhormat? Setidaknya tolong beri tahu aku nama minuman yang kalian pesan, kalau tidak aku tidak
akan tahu—”
“Yu-chan? Tidak ada yang
namanya 'Aku tidak bisa' untuk pelayan keluarga Kiryuuin.”
“...Dimengerti. Mohon tunggu
sebentar.”
Menghadapi kata-kata sadis seperti itu, Yushou tidak punya pilihan selain mengambil gelas kosong
itu dan pergi meninggalkan mereka. Melihat
punggungnya yang semakin menjauh,
Masachika mengalihkan pandangan merendahkan
ke arah Elena.
“Hm? Apa-apaan dengan tatapan itu?”
“Bukan
apa-apa…”
“Jangan-jangan kamu salah memahami sesuatu, ya? Maksudku, kamu tahu, sebagai
wakil ketua panitia persiapan festival sekolah,
menurutku tidak ada salahnya
membuat dia bekerja terlalu keras dengan sengaja
supaya setidaknya bisa
meredakan kebencian siswa lain. Begitulah caraku demi
mempertimbangkan situasinya.”
“Ah, kalau kamu
mengatakannya seperti itu…”
Masachika mulai memahami maksudnya. Memang,
Elena mungkin bermaksud menggunakan dia sebagai tontonan publik untuk meredakan
kebencian dari yang lain. Sebagai seseorang yang
paling terkena dampaknya, dia bisa menciptakan situasi di
mana tidak ada orang lain yang bisa menuntut lebih jauh.
Tapi, mengingat hal tersebut dikatakan dari Elena,
itu masih dianggap dangkal atau tidak tulus bagi Masachika.
(Yah,
menurutku memang begitulah dirinya.)
Sambil berpikiran kasar
seperti itu, Masachika mengalihkan perhatiannya ke orang lain yang menyuruh
Yushou pergi untuk mengambilkan minuman untuknya…
“Sudah lama tidak bertemu,
Miyamae-san. Aku senang melihatmu baik-baik saja seperti biasanya.”
“Hal yang sama berlaku
untukku~”
Di sana, Masachika melihat Nonoa yang tampak tidak
tertarik, pelanggar peraturan sekolah yang terkenal kejam, mengabaikan wakil ketua komite kedisiplinan, yang tersenyum penuh arti,
berbicara dengan penuh arti tersirat.
Keduanya memancarkan
getaran berbahaya di antara mereka, dan itu membuat Masachika melangkah mundur tanpa sadar.
(Upss?)
Itu sebenarnya adalah
pertemuan dua orang yang idealnya tidak boleh bertatap muka, situasi mereka mirip seperti pertemuan antara seorang
Ojou-sama yang kuat dan seorang ratu sadis yang saling berhadapan. Ketika keregangan di antara mereka berdua semakin
memuncak—
"Oh, rupanya kalian di sini. Maaf, apa aku terlambat?”
“Onee-sama!”
—Wakil ketua OSIS yang dapat
diandalkan tiba. Di hadapannya, sikap anggun Sumire menghilang dengan suara poof,
sekarang menyerupai seorang gadis fanatik
yang dihadapkan pada penampilan idola yang dikaguminya.
Setelah
merassa lega karena ketegangan telah mereda untuk saat ini,
Masachika juga menoleh ke arah suaranya.
“Woah. Sarashina-senpai, kamu terlihat keren
sekali.”
Mau tak mau
Masachika berseru kagum seperti itu.
Dengan
badannya yang tinggi dan ramping, dalam
balutan pakaian berwarna
hitam, Chisaki berjalan ke arah mereka dengan begitu anggun sehingga orang bisa
membayangkan karpet merah terbentang di bawah kakinya. Ketika melihatnya, para siswi di aula
semuanya tersipu dan menghela nafas kagum. Ah, bahkan
ada yang sampai pingsan. Dia mungkin salah satu dari anggota Empat Musim Bersaudari.
“Selamat datang,
Onee-sama!”
Sumire juga langsung berubah drastis mirip
seperti gadis yang sedang kasmaran.
Chisaki menanggapinya dengan
sikap anggun. Sambil tersenyum kecut melihat pemandangan itu, Masachika
memanggil orang yang berdiri sedikit di belakangnya.
“Dan kamu pengawalnya, Ketua?”
“…Itu
benar.”
“Begitu…”
Sembari
mengenakan setelas jas hitam dengan dasi kupu-kupu, Touya
mengangguk dengan ekspresi yang tak terlukiskan mendengar ucapan Masachika.
Dari sudut pandang orang luar, mereka pasti terlihat seperti aktris papan atas
dan pengawalnya. Yah, hal itu memang tidak
terelakkan karena Touya terlihat terlalu dewasa bagi seumuran anak SMA.
Dan tentu saja, selalu saja ada satu senior yang bisa
menertawakan ketua OSIS tanpa ragu-ragu…
“Ahaha, Touya… Apa-apaan dengan dasi kupu-kupumu itu?”
“....Ini, um…”
Dasi kupu-kupu yang pas
dan rapi tampak sangat tidak pada tempatnya ketika dikenakan oleh tubuh yang
begitu besar dan kokoh. Elena tidak bisa menahan tawa, sampai-sampai lututnya bergetar karena melihat kombinasi yang sangat aneh itu.
Meskipun perilakunya
benar-benar kasar pada saat ini, Touya, yang sudah
banyak diurus oleh Elena dalam berbagai cara, hanya
bisa diam-diam menyesuaikan kacamatanya… Namun, pacarnya di sisi lain…
“Memangnya itu lucu, Elena-senpai?”
Dengan penolakan kasar dan
aura dingin, Chisaki, orang yang pertama kali memilih dasi kupu-kupu, melabrak Elena. Baginya, pakaian ini
sangat bergaya untuk pacarnya, dan melihat
pacarnya ditertawakan membuatnya diam-diam marah.
Bagaikan awan petir yang
menyambar petir ke tanah, Chisaki memancarkan hawa kehadiran
yang luar biasa. Bahkan Elena sendiri menarik kembali senyumannya saat melihat
pemandangan seperti itu, segera memasang wajah serius…
“Chisaki-chan… Pfft .”
....Tapi itu hanya berlangsung selama empat
detik
“M-Maaf, melihat kalian
berdua bersama-sama membuat kalian jadi
semakin— Ahahaha!”
“Ah.”
“Tenanglah dulu, Chisaki! Aku baik-baik saja!”
“Onee-sama!
Jangan di sini!
“Tidak apa-apa, aku bisa
menghabisinya tanpa ada yang menyadarinya…”
“Tidak ada yang bagus
tentang itu!”
Dalam sekejap, Chisaki
berubah dari seorang aktris papan atas menjadi seorang pembunuh, dan Touya
serta Sumire mati-matian berusaha menghentikannya, hal tersebut membuat mereka jadi semakin
menarik banyak perhatian…
“Aku mau pergi ke kamar kecil dulu.”
Masachika berbisik pada
Yuki dan dengan cepat mundur secara strategis. Ia bisa merasakan tatapan Yuki
di belakang kepalanya, seolah-olah mengatakan, “Orang
ini malah kabur duluan...!” tetapi ia tidak menoleh ke belakang. Setelah
berkumpul di sekitar beberapa gadis cantik
di sekolah, ia menemukan bahwa perhatian itu sudah terlalu berlebihan. Tetapi,
sekarang, dengan adanya Chisaki yang galak, melarikan diri adalah pilihan
terbaik.
Jadi, saat perhatian kebanyakan orang tertuju pada Chisaki dan
Elena, Masachika dengan cepat berpindah ke sisi tembok dan berjalan
menyusurinya menuju pintu masuk venue.
“Sekarang… apa yang harus
aku lakukan?”
Setelah berhasil kabur dari tempat tersebut, Masachika
bergumam pada dirinya sendiri setelah pindah ke tempat dimana dirinya tidak bisa terlihat dari dalam.
(Aku
sudah pergi ke kamar kecil
sebelum masuk… tapi mungkin aku akan menghabiskan waktu saja. Jika aku berada
di luar selama sekitar sepuluh menit, kelompok itu akan bubar sedikit.)
Setelah berpikir
demikian, Masachika
mulai berjalan menuju kamar kecil… dan saat itu juga.
“Oh, rupanya di aula itu.”
Dari sudut lorong di
depannya, dua gadis yang tidak asing lagi
muncul, dipandu oleh seorang anggota staf hotel.
“Uwah.”
Meskipun ia sudah mengenal
mereka, namun melihat mereka saja sudah cukup untuk membuat Masachika terpesona sampai tak bisa berkata apa-apa.
Entah mereka menyadari reaksi Masachika atau tidak, keduanya mendekatinya
dengan sikap mereka yang biasa dan memanggilnya.
“Oh,
Kuze-kun, ada apa~? Apa jangan-jangan,
kamu datang untuk menemui kami~?”
“Tentu
saja tidak.”
Komentar ceria Maria
dengan cepat ditimpali dengan ketus
oleh balasan adiknya, Alisa. Mereka masing-masing mengenakan gaun dengan nuansa
yang sangat berbeda.
Alisa mengenakan gaun
berwarna putih. Dikombinasikan dengan kulitnya yang putih dan rambutnya yang
berkilau, memberikan kesan sakral yang nyaris tak tersentuh.
Sedangkan di
sisi lain, Maria
mengenakan gaun berwarna
merah. Terlepas dari senyumnya yang polos dan kekanak-kanakan, gaun merah itu
memancarkan aura yang penuh gairah dan seksi.
Mereka memang dua orang yang kontras, namun entah
bagaimana, mereka memancarkan kesan yang serupa.
“...
Apa ini kedatangan dua putri dari negara asing atau
semacamnya?”
Masachika mengerutkan
sudut mulutnya dan membuat komentar yang ringan, tetapi sebenarnya, itulah yang
dirasakannya.
Berbeda dengan kesan yang
relatif berwibawa dari gaun Sumire dan Sayaka,
gaun mereka dihiasi dengan pita dan hiasan besar, seperti putri dari buku
cerita. Dan gaun itu sangat cocok untuk mereka. Memang begitulah seharusnya
sebuah gaun dikenakan, pikir Masachika,
hampir kewalahan dengan kehadiran mereka yang mengesankan.
Namun, reaksi keduanya
terhadap komentarnya
adalah reaksi gadis-gadis biasa seusia mereka.
“Putri?
Duh ya ampun, kamu membuatku tersipu malu~”
“Siapa
yang kamu panggil putri...? Lagian, apa-apaan sih dengan
cara bicaramu yang aneh itu?”
Maria tersipu malu dan
menutupi pipinya dengan kedua tangan, sementara Alisa melipat tangannya dengan
jengkel. Tapi setelah dilihat lebih dekat, pipi Alisa juga sedikit memerah... Masachika, yang telah
membuat komentar itu setengah bercanda, juga merasa malu.
“Um,
kalau begitu saya akan permisi dulu sekarang...”
“Oh,
ya. Terima kasih banyak.”
“Terima
kasih~”
Staf hotel dan saudari
Kujou saling membungkukkan badan satu sama
lain dengan sopan.
“Kalau
begitu, Kuze-kun, maukah kamu menemani kami?”
““Hah?””
Suara Masachika dan Alisa
selaras menanggapi pertanyaan Maria. Namun, Maria
terus melanjutkan tanpa mempedulikan reaksi mereka.
“Bukannya
sudah menjadi kebiasaan bagi seorang pria untuk mengantar wanitanya di tempat seperti ini? Jadi,
tolonglah.”
"Tu-Tunggu
sebentar! Tapi Masachika-kun adalah partner-ku!”
Alisa buru-buru
menghentikan Maria, namun kakaknya tidak menggubrisnya
sama sekali.
“Hmm, kalau begitu, bagaimana kalau kita berdua sama-sama ditemani
oleh Kuze-kun saja?”
““Apa?””
“Jika begitu, maka Alya-chan dan aku masing-masing
bisa menggandeng salah satu tangan Kuze-kun, dan kita bertiga bisa masuk
bersama, ‘kan~?”
Membayangkan adegan
seperti itu, Masachika dan Alisa secara bersamaan menggelengkan kepala.
“Mau
dipikirkan bagaimanapun juga, itu akan terlihat canggung...”
“Lagipula,
Ketua juga tidak mengawal
Sarashina-senpai. Bukannya lebih
baik untuk menyelinap masuk secara normal?”
“Tapi
aku memakai gaun yang begitu indah! Aku ingin dikawal!”
Saat Maria mengatakan hal tersebut, dia
bertingkah seperti anak manja, Masachika dan Alisa saling bertukar pandang,
bertanya-tanya apa yang harus dilakukan... ketika sebuah suara memanggil dari
samping.
“Permisi,
boleh aku mengganggu sebentar?”
Ketiganya menoleh secara
bersamaan ke arah suara itu, dan tatapan mata
Masachika membelalak.
“Ka-Kamu—”
Yang mereka lihat adalah
seorang pemuda tampan dengan setelan jas ungu yang sedikit mencolok. Dasinya
dilonggarkan, dan dua kancing atas kemejanya terbuka, memperlihatkan lehernya yang dihiasi dengan aksesoris
perak yang bersinar.
“Apa kamu membutuhkan seseorang untuk
mengawalmu? Jika iya, apa kamu
bersedia menerima
bantuanku?”
Pemuda tampan itu berkata demikian sembari memberikan pandangan
ramah. Ya, pemuda itu adalah—
“Andou-senpai!
Ternyata Andou-senpai!”
“Ap-Apaan dengan reaksimu itu... Kita sesekali bertemu
satu sama lain selama rapat panitia persiapan festival budaya, bukan?”
“Yah...
rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu.”
Meskipun sedikit terkejut
dengan respon Masachika yang terlalu antusias, Andou, salah satu siswa
laki-laki yang lebih populer dan menawan di Akademi Seirei, dengan cepat
menenangkan diri. Ia
kemudian dengan anggun mengulurkan tangannya kepada Maria.
“Jadi, bagaimana?
Maria-san, maukah kamu
mengizinkanku untuk menemanimu?"
“Terima
kasih, Andou-kun. Tapi aku sudah
meminta Kuze-kun untuk menemaniku.”
“Eh?”
“Baiklah,
ayo kita pergi~?”
Tanpa menunggu jawabannya, Maria dengan cepat mengaitkan lengan
kirinya dengan lengan kanan Masachika dan dengan kuat menggenggam sikunya
dengan tangan kanannya, langsung menuju pintu masuk. Pada titik ini, dia sudah hampir
menyeretnya.
“Tunggu—”
Melihat
partnernya dibawa tepat di hadapannya, Alisa dibuat panik dan segera melingkarkan
lengannya sendiri di lengan Masachika yang lain. Dia
memeluk lengannya dengan erat, seolah-olah ingin menyaingi kakaknya.
“Sudah
kubilang, Masachika-kun adalah partner-ku!
Kenapa kamu malah pergi
duluan sih, Masha?”
“Karena
sepertinya akan menjadi runyam
jika kita terus berada di sana.”
Andou-senpai, yang secara
praktis diperlakukan seperti gangguan pada saat ini, bergumam pada dirinya
sendiri, “Fufu,
seorang pria tahu kapan harus menarik diri dengan anggun...” seolah-olah untuk mengatasinya.
Meskipun menunjukkan punggung yang agak melankolis, namun ketiganya tidak
terlalu peduli. Atau lebih tepatnya, salah satu dari mereka secara khusus tidak
mempunyai waktu untuk peduli sama sekali...
“Um,
apa kalian berdua bisa menghadap ke depan dengan benar?
Sebenarnya, pada awalnya, mengawal tidak perlu merangkul lengan, ‘kan... Selain itu, bisakah kalian berhenti
berjalan dengan kecepatan yang berbeda...?”
Satu orang itu adalah
Masachika. Dengan kedua lengannya dipegang paksa oleh kakak-beradik Kujou yang cantik, yang secara
praktis terjepit di antara mereka, dirinya
mati-matian mencoba untuk tetap tenang dan membuat permohonan kecil.
Pasalnya,
kedua kakak beradik itu berbicara bolak-balik di antara Masachika, yang mengakibatkan
kontak fisik yang signifikan. Selain itu, langkah mereka tidak serasi,
menyebabkan dia ditarik ke sana kemari, dan dengan setiap tarikan, tubuh mereka
semakin menekannya, membuat segalanya menjadi sangat canggung.
(Segalanya
akan menjadi tidak terkendali jika terus begini…)
Itu tidak seperti memiliki
bunga di kedua tangannya, melainkan buah besar di kedua lengannya. Masachika,
seorang remaja laki-laki yang dihadapkan dengan kekuatan penuh dari buah lezat
dari dua bunga indah yang menempel di tubuhnya, berada di ambang kelebihan
beban otak.
(Tenanglah,
diriku. Saat ini, aku harus menjadi…
ya… tipe protagonis yang 'oh baiklah'. Ya, aku harus menjadi tipe yang santai
dan mengabaikan situasi yang ada…)
Seolah berusaha
mati-matian untuk melarikan diri dari kenyataan, Masachika berusaha menenangkan
diri dengan pemikiran seperti itu. Meski demikian, tampaknya kegelisahannya itu justru terlihat dalam suaranya, ketika
Kujou bersaudari secara bersamaan berhenti untuk menatapnya, dan tersenyum.
Senyuman Maria menunjukkan
keceriaan yang tulus, sedangkan senyum Alisa menyerupai seringai nakal dan jahil.
“Oh, ada apa? Menatap
lurus ke depan? Bukannya itu tidak
sopan jika tidak melihat pasanganmu yang sudah
berpakaian seperti ini.”
“Betul, jika seorang gadis sudah bersusah payah berdandan, kamu
harus menatap matanya dan memujinya dengan benar, tau?”
“....”
Perkataan
mereka cukup brutal. Terlebih lagi, mereka
dengan ringan menarik lengannya, mendorong Masachika
untuk melihatnya. Meskipun tindakan Maria mungkin tidak disengaja, tindakan
Alisa pastinya tidak, mengingat dia pernah menggodanya di masa lalu.
(Ah,
sial)
Mengingat adegan setelah
pesta festival sekolah, Masachika merasakan suhu tubuhnya meningkat. Sementara
itu, Kujou bersaudari itu terus
menarik lengannya, mendesaknya dengan, “Nee~nee~.”
“Um!”
Karena sudah
tidak sanggup menahannya lagi, Masachika menutup matanya dan
meninggikan suaranya. Ia
kemudian menyampaikan permohonannya kepada kakak-beradik
itu yang telah berhenti bergerak.
“Duhh… Bisakah kalian mengampuniku sebentar?”
Dengan suara
lirih, Masachika menyerah. Menangani Alisa saja sudah sulit, apalagi menangani
mereka berdua secara bersamaan. Dengan kepala menunduk dan bahu membungkuk, ia
memohon belas kasihan.
Namun, dari
kedua sisi, ia mendengar kedua kakak beradik itu menahan tawa mereka sebelum
merasakan napas mereka di dekat telinganya.
【【 Imutnya~♡ 】 】
Pada saat itu, Masachika
merasa seakan-akan dirinya akan
pingsan di tempat. Dipandu oleh Maria versi malaikat dalam benaknya, dia hampir
saja meninggal, jika bukan karena bayangan
setan kecil Yuki yang menariknya kembali dengan, “Oi, tunggu! Kalau kamu mau mati, setidaknya grepe-grepe punya mereka dulu!”
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kita pergi?”
“Ya,
ayo kita pergi."
Sebelum Masachika menyadarinya, dirinya dituntun menuju pintu masuk
tempat pesta oleh Alisa dan Maria yang sangat ceria. Pemandangan ini jelas-jelas adegan
seorang pria yang dibawa pergi oleh dua gadis cantik.
“...
Daripada mengawal, aku merasa ingin melarikan
diri."
“Kamu tidak
perlu melakukannya dengan baik, kok?”
“Hmph,
apa kamu benar-benar membencinya?”
Meskipun kata-kata
Masachika dimaksudkan sebagai protes ringan, tatapan Maria yang penuh tanya
menusuk hatinya dengan rasa bersalah. Menyerah pada tekanan tersebut, ia memutuskan untuk menenangkan
diri.
Sambil menegakkan postur
tubuhnya, Masachika mengubah
ekspresinya.
“Kita
akan masuk sekarang. Berjalanlah dengan percaya diri, kalian berdua.”
Merenungi tindakannya, ekspresi Masachika
berubah menjadi tekad yang kuat saat ia menatap lurus ke depan. Duo Kujou bersaudari, yang
sejenak terpana oleh perubahan sikapnya,
mengikuti langkahnya. Mereka melepaskan pelukan mereka dari tangannya dan
meletakkan tangan mereka dengan ringan di sikunya
seraya menyesuaikan postur tubuh mereka. Hal ini mengurangi kontak
fisik di antara mereka, sehingga Masachika dapat bernapas lega dalam hati.
“Kita
akan mengambil satu langkah pada satu waktu. Coba
ikuti tempo langkahku.”
Sambil mengucapkan
instruksi tersebut dengan pelan, Masachika mulai berjalan perlahan-lahan menuju
pintu masuk tempat acara. Tatapan para hadirin di sekelilingnya tertuju pada mereka, menciptakan riak
bisik-bisik yang dengan cepat berubah menjadi keheningan.
(Tentu
saja, mereka tidak bisa berkata-kata... Aku
juga mengerti.)
Bahkan Masachika, yang sering berinteraksi dengan keduanya, sempat dibuat terkejut. Jadi, reaksi dari
mereka yang jarang berinteraksi dengan mereka berdua
bisa dimaklumi dan dapat dimengerti. Sembari melihat sekeliling seraya mengarahkan kepalanya ke depan, Massachika menyadari
kalau kebanyakan orang-orang hanya
menatap ke arah Duo Kujou bersaudari, pengaturan aneh mereka tidak
menarik banyak perhatian, membuat Masachika merasa sedikit lega.
(Baiklah,
kalau kita bisa berbaur dan bergabung dengan Yuki dan yang lainnya…)
Setelah memfokuskan
kembali ke depan, ia melakukan kontak mata singkat dengan adik tengilnya, yang tampak tertawa geli, sebelum dengan cepat
mengalihkan pandangannya. Wajah-wajah lain yang sudah dikenalnya juga tampak terhibur.
Elena terlihat sangat
tertarik, meskipun Ayano, Sayaka, dan Nonoa memiliki ekspresi yang lebih
pendiam. Touya dan Sumire tampak terkesan sekaligus bersimpati pada Masachika,
sementara Chisaki terus memelototi Elena.
(Ugh,
aku pasti bakalan diledek habis-habisan setelah ini...)
Meskipun ada perasaan
tidak enak, Massachika tahu
bahwa bergabung dengan teman-temannya adalah satu-satunya cara untuk keluar
dari situasi ini. Bergerak dengan tenang dan berusaha untuk tidak terlihat,
mereka dihampiri oleh seorang staf hotel wanita yang mendorong gerobak berisi
minuman.
“Apa
Anda ingin minum?"
Meskipun sikapnya yang
halus sesuai dengan tempat kelas atas, dia tampak agak terintimidasi. Bahkan
staf yang terbiasa melayani orang kaya pun tampak sedikit kewalahan dengan
penampilan Kujou bersaudari. (Atau
mungkin mereka hanya merasa terganggu dengan situasi pengawalan yang canggung
ini... Meskipun dirinya hanya
bisa berharap bahwa itu bukan masalahnya).
Masachika diam-diam
terkekeh pada dirinya sendiri saat Kujou bersaudari memilih minuman mereka, dan dengan santai melirik ke arah
Yuki serta yang lainnya.
Dan apa yang dilihatnya
membuatnya tertegun kaku.
Chisaki menusukkan jari
telunjuknya ke sisi leher Elena dengan gerakan cepat.
Semua itu
terjadi dalam sekejap mata. Jika bukan karena pandangan
mata
Masachika yang penuh perhatian, ia akan melewatkannya sepenuhnya. Faktanya,
gerakan Chisaki sangat cepat sampai-sampai
terlihat kabur.
“??”
Elena tampak bingung
sambil mengusap lehernya seolah bertanya-tanya apa ada serangga yang telah
menggigitnya. Sementara itu, pelakunya, Chisaki, dengan acuh tak acuh membuang
muka. Dilihat dari reaksi Elena, Masachika tidak bisa membayangkan
apa yang terjadi.
(Ap-Apa yang sudah dia lakukan…?)
Meskipun kepala Elena
tidak terlihat akan meledak, kejadian itu masih membuat Masachika keheranan.
“Kamu
mau minum apa, Kuze-kun?”
“Maaf?”
“Minuman
apa yang kamu inginkan?”
Hanya ketika suara Maria
membawanya kembali ke masa sekarang, ia baru menyadari bahwa Maria telah
melepaskan tangan kanannya, memegang koktail merah muda non-alkohol, sambil
menatapnya dengan penuh harap. Merasa lega sekaligus sedikit kecewa dengan
lengannya yang dibebaskan, Masachika mengambil minuman berwarna oranye secara
acak. Saat ia melakukan ini, Maria melihat kelompok OSIS dan berlari ke arah
mereka.
“Woah~
Chisaki-chan, kamu terlihat
sangat keren~! Yuki-chan dan Ayano-chan juga sangat
imut~!”
Dengan menunjukkan sikap
riang khasnya, Maria dengan meriah
bergabung dengan grup, meninggalkan Masachika dan Alisa. Kedatangan mereka yang
tadinya tidak terasa canggung, kini terasa sangat memalukan karena tersisa
mereka berdua saja.
““......””
Mereka saling bertukar
pandang, menatap lengan mereka yang saling bertautan, dan kemudian mereka berdua dengan cepat membuang muka.
【 Rasanya
seperti pernikahan. 】
(Ugh…)
Kalimat bahasa Rusia yang
tiba-tiba dilontarkan Alisa dengan
begitu santai hampir membuat Masachika tersentak, tapi ia berhasil mengendalikan
dirinya. Smabil berpura-pura
tidak menyadari tatapannya yang ia
rasakan di samping pipinya,
dan setelah dua detik penuh diam-diam menarik napas dalam-dalam untuk menjaga
ketenangannya, ia dengan santai berbicara pada Alisa.
“...
Bagaimana kalau kita pergi?”
“Ya.”
Dan, mereka mulai berjalan
perlahan. Tanpa aba-aba tertentu, dan tanpa menyadari satu sama lain, langkah
mereka secara alami tersinkronisasi. Perlahan-lahan, mereka berjalan ke arah
teman-teman mereka.
“Ah,
Alya-chan, kamu juga sudah datang~. Ayo kita bersulang~♪”
“Tidak,
tidak, bersulang... untuk apa?”
Melihat keduanya berjalan mendekat, Maria tersenyum cerah.
Chisaki, terjebak dalam senyuman itu, bertanya sambil tertawa, mendorong Maria
untuk meletakkan satu jari di pipinya dan, setelah beberapa saat merenung,
menjawab.
“Kalau
begitu, bersulang untuk akhir festival budaya! Baiklah, bersulangggg~!”
Maria mengangkat gelasnya.
Sebagai tanggapan, semua orang yang hadir, dan bahkan para siswa di sekitarnya,
mengangkat gelas mereka satu demi satu. Rentetan
sorak-sorai dan lingkaran senyuman menyebar dari tengah tempat Maria berdiri.
Di tengah-tengah itu semua, Masachika dan Alisa dengan lembut mendentingkan
gelas mereka bersama-sama.
“...
Bersulang.”
“Ya,
bersulang.”
Alisa yang sedikit malu namun tersenyum
lembut, terlihat begitu cantik hingga membuat
Masachika tidak bisa berkata-kata. Kenyataan bahwa dia adalah parter-nya terasa tidak nyata. Tapi
kehangatan yang terpancar dari lengannya menegaskan bahwa itu memang benar...
(Ugh,
aku mulai merasa sedikit malu)
Karena tidak
berani menatap Alisa secara langsung lagi, Masachika meneguk
minumannya seolah-olah menyembunyikan emosinya. Dan kemudian...
(...
Aku akan melakukan yang terbaik. Agar aku bisa berdiri dengan bangga di samping
Alya.)
... Saat rasa jeruk yang
manis dan sedikit pahit mengalir di tenggorokannya, Masachika membuat pernyataan dalam hati. Tapi tepat pada saat
itu.
“Hei,
hei, aku merasa seperti indra perasa dan penciumanku sudah mati...
Chisaki-chan, apa kamu sudah melakukan sesuatu padaku?”
“Entahlah?
Mungkin minumannya Senpai saja yang tidak
enak?”
Sebuah percakapan yang menarik muncul, tetapi Masachika berpura-pura tidak mendengarnya.