Chapter 7 —
Harga Diri Rokka
“He-hei, cepat kembalikan! Ak-Aku harus pergi karena sudah
berjanji!!”
Aku
gagal. Aku merasa sangat senang sampai senyam-snyum
sendiri ketika melihat pesan dari Toudo sehingga aku lengah, jadi Rin-chan
mengambil ponselku.
Bukan
hanya ponselku, bahkan ada siswa laki-laki yang mengambil semua isi tasku dan memainkannya.
Semua
teman-teman di dalam grup
menghadangku. Aku mencoba mengambil kembali ponselku dari Rin-chan, tapi mereka
terus-menerus menghalangiku.
“Heee~, jadi kamu
diam-diam mau pergi minum teh dengan Toudo,
ya? Enak sekali. Ah, kami juga mau pergi karaoke nanti lho, tentu saja Rokka-chan juga akan ikutan, 'kan?”
“Wah,
karaoke bagus juga tuh.”
“Aku
akan memesannya.”
“Lagipula,
kamu bisa mengingkari janjimu lagi dengan Toudo, 'kan?”
Entah sudah berapa lama kami terus-menerus
bertukar kata-kata seperti ini? Aku harus segera naik kereta atau aku takkan bisa datang tepat waktu untuk bertemu
dengan Toudo. Aku tidak mau merepotkannya. Hatiku terasa diikat sesuatu yang
berat.
Mereka
semua senang melihatku terdesak. Itu menjijikkan. Rasanya seola-olah aku sedang melihat
diriku sendiri.
Kenapa?
Kenapa mereka senang dengan hal yang tidak disukai orang lain? Ah, aku tahu.
Mereka berada di sana karena tidak ingin menjadi
seperti itu.
...Tapi Toudo dan yang lain sedang
menungguku... Aku tidak ingin membuatnya
mengalami pengalaman tidak menyenangkan lagi.
Kekesalanku
yang tak terkendalikan akhirnya keluar dalam kata-kata.
“Rin!
Sudah cukup! Kamu 'kan dulunya anak yang baik-baik!”
Ekspresi
penuh kejengkelan jelas-jelas terlihat di wajah Rin, tapi di saat yang sama juga dia terlihat ketakutan.
“Hah?
Rokka-chan, memangnya
kamu enggak paham dengfan posisimu? Kamu itu berada di peringkat yang
paling bawah di kelas. Kamu seharusnya berterima kasih pada kami yang
mempermainkanmu ini. Ahh kamu kan gadis bego,
jadi kamu tidak bisa memahaminya”
“Haha!
Dia memang bodoh, jadi tidak mengerti."
“Sudah,
ayo cepat pergi."
“Pemesanannya
sudah beres, termasuk ruangan latihan juga.”
“Bu-Bukannya kamu melakukannya terlalu berlebihan,
kami cuma mau pergi karaoke dan latihan saja kok.”
Aku
menggigit bibirku. Kenapa perkataanku tidak tersampaikan? Aku
menahan agar tidak meledak marah. Jika aku mengamuk di sini, besok aku pasti akan dibully lebih parah. Aku sangat tidak menyukai hal itu.
Aku
menunduk menyesal, lalu mendongakkan wajahku dan
melihat ke atas langit.
...Tidak,
bukan itu.
—— Aku lebih
benci mengingkari janjiku dengan Toudo.
Aku sudah
tidak peduli dengan ponselku.
Aku masih
ingat nama kafe itu. Aku memang jarang
ke Shinjuku, tapi itu sama sekali tidak masalah
tanpa ponsel. Dompet juga tidak perlu. Aku tidak akan minum teh. Bagaimanapun,
aku masih tidak boleh dekat-dekat dengan Toudo.
Mungkin
semuanya sudah ada di kafe duluan. Jadi aku hanya perlu sampai ke kafe, lalu
memberitahu mereka kalau aku
ada urusan dan tidak bisa minum teh bersama.
Tujuan
ini menguatkan hatiku. Hati yang kuat memberi kekuatan padaku.
“Hei,
kamu mau ke mana? Kami sudah memesan karaoke untukmu lho~ Kamu mau mengingkari janjimu?”
“Janji?
Aku tidak ingat membuat janji seperti itu.”
“Hee~~,
kamu boleh saja pergi tapi... Awas saja besok ya, Rokka-chan.”
Di
sekolah, pembullyan sudah jadi hal biasa. Pelaku hanya merasa senang, sedangkan
korban hanya bisa menunggu sampai selesai.
Itu
melukai hatiku.
Meski begitu——, aku menepis tangan Rin.
Raut
wajah Rin semakin ketakutan.
“Tu-Tunggu,
kamu kenapa ish... Kita berdua itu 'teman', ‘kan? Toh kamu juga sudah pernah
mengkhianati Toudo, jadi kamu tidak usah merasa
bersalah segala, 'kan?”
Rin
seperti cermin yang memantulkan diriku sendiri.
“Itu
tidak mungkin! Aku tidak ingin mengingkari janji lagi! —Apa itu
benar-benar bisa disebut 'teman'?
Aku... tidak akan—”
“Hah?
Kenapa kamu sampai segitunya sih! Ak-Aku
cuma bercanda, kok. Ak-Aku bukan
nge-bully kok.”
Aku
menerobos Rin dan mulai berlari
sekuat tenaga.
Aku sama
sekali tidak peduli jika aku besok dibully kagi. Yang
penting sekarang adalah momen saat ini.
◇◇◇◇
“Hah,
hah...haa, haa, Toudo,
maafkan aku...”
Kakiku
sama sekali tidak mau bergerak maju. Aku terus berlari menembus gedung-gedung
di kawasan Yotsuya. Nafasku terasa sesak. Tenggorokanku sakit.
Sekujur tubuhku
seolah-olah sedang berteriak,
tapi aku tidak mau menangis. Meski tidak
ada yang melihatnya, aku
masih tidak mau menangis—
Aku
mengusap wajahku dengan lengan seragamku.
Aku tidak
boleh menangis sekarang. Aku harus segera menuju kafe secepat mungkkn.
“Ah”
Saat aku
melihat rambu lalu lintas Shinjuku, aku tersandung karena ada perbedaan tinggi jalan dan terjatuh. Tubuhku menghantam
aspal.
Seluruh
tubuhku terasa sakit. Aku berusaha mengabaikan
rasa sakitnya, tapi
kakiku gemetaran.
Lututku
lecet dan berdarah. Tangan yang kucoba untuk melindungi diriku juga berdarah.
Aku mendengar
suara panik dari belakangku.
“Ap-Apa kamu
tidak apa-apa? Kelihatannya lukanya
tidak terlalu dalam. Apa kamu bisa berdiri? Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang semangat,
ya.”
“Y-Ya, terima kasih. Aku sedang
buru-buru...”
Seorang
pria berambut panjang yang tidak kukenal mencoba membantuku. Aku hanya
mengucapkan terima kasih lalu kembali berlari. Tidak sakit. Rasanya tidak sakit. Yang lebih sakit
adalah hatiku. Aku benci diriku yang melanggar janji.
“Hah...
hah... Tidak sakit... aku baik-baik
saja, sebentar lagi aku sampai
Shinjuku... Ke arah pintu selatan...”
Setiap
langkah membuat tubuhku berteriak kesakitan. Rasa sakit di tubuh menggerogoti
hatiku.
Meskipun
begitu, meskipun begitu--
Aku
sangat lambat. ...Yang jago
lari itu Sasami, ‘kan? Apa
Sasami baik-baik saja? Apa dia berlatih keras? Jika aku bilang ada janji ke
kafe dengan Toudo, apa dia
akan marah? Mungkin sebaiknya aku perlu mengajak Sasami juga.
Rasa
sakit ini membuatku sulit berpikir.
Kecepatanku
tidak lebih dari orang berjalan. Tapi setidaknya kakiku masih bisa melangkah.
Jadi aku tidak boleh menyerah. Aku harus minta maaf pada mereka. Apa yang harus
kukatakan? Bagaimana cara meminta maaf? Apa aneh jika aku tidak membawa ponselku?
Kepalaku
terasa kekurangan oksigen. Orang-orang yang berlalu-lalang
memandangiku dengan tatapan aneh.
Di saat
seperti itu, hal yang
terlintas di benakku adalah hari-hari yang
kuhabiskan di perpustakaan bersama Toudo. Menggoda Toudo yang kaku itu menyenangkan. Aku mengandalkannya untuk
mengajariku belajar. Aku
suka melihat tingkah lakunya yang tidak masuk akal. Wajah Toudo yang hanya aku ketahui. Aku selalu merasa unggul——
“Hiks,
hiks...”
Jangan
menangis. Aku sudah berjanji untuk tidak
akan menangis lagi—
Meski
demikian, rasa bersalah dan penyesalan karena mengingkari
janji lagi-lagi memenuhi dadaku....
Meskipun
seharusnya masih sore, tapi aku merasa bahwa
sekelilingku sudah gelap.
Aku
berusaha keras menggerakkan tubuhku yang nyaris menyerah. Tiba-tiba kakiku
berhenti bergerak. Kakiku yang terganggu saling berdempetan dan ambruk ke tanah. Namun, aku
tidak bergerak secepat itu. Aku berkali-kali memukul kakiku yang tidak mau
bergerak.
“Kenapa
aku tidak bisa bergerak... Aku harus berdiri. Aku harus meminta maaf...”
Saat aku mencoba berdiri, tiba-tiba aku merasa pusing dan isi kepalaku menjadi kosong.
Aku
merasakan tubuhku condong ke depan, tapi tubuhku tidak mau menuruti
keinginanku.
Jangan
menyerah. Aku harus menemui Toudo dan—
Aku seharusnya
terjatuh di atas beton yang keras, tapi aku
tertahan oleh sentuhan hangat. Ternyata ada seseorang
yang menangkapku.
Dengan
sisa-sisa kekuatanku, aku berpegangan erat
pada tubuhnya.
“Te-Terima kasih... Aku harus pergi...
Semua orang...”
“Kamu tidak
perlu melakukannya. Hmm, seperti yang
kuduga. Tapi, luka ini tidak terduga. Memar, lecet, dan juga anemia...”
“Ke-Kenapa... kamu ada di sini?”
Kepalaku
bingung. Kafe yang menjadi tempat pertemuan masih
jauh dari sini. Jadi mana
mungkin Toudo ada di sini.
Tapi
Hanazono dan Tanaka juga datang dari belakang Toudo.
“Hahaha, syukurlah
kita bisa bertemu! Kami sangat khawatir, tau!”
“Fyuuh, sekarang bisa tenang. Hebat juga kamu bisa mengetahui di mana keberadaan
Michiba, Tsuyoshi. Tapi sekarang
bukan saatnya membicarakan itu, apa sebaiknya
kita membawanya ke rumah sakit?”
Emosi
yang susah payah kupendam
nyaris meluap. Aku ingin memeluk tubuh Toudo, tapi aku berusaha menahannya.
“Ti-Tidak apa-apa. Hanazono, kamu
memang suka terlalu berlebihan. Aku hanya
sedikit lecet saja kok.
Lihat, aku sudah bisa berdiri.”
Aku tidak
boleh menangis. Aku menggunakan seluruh tenagaku untuk berdiri dan menghadap
Toudo. ...Aku sangat takut. Memikirkan apa yang kulakukan pada Toudou...
Tapi aku
harus benar-benar berhadapan dengannya.
Kata-kata
yang ingin kukatakan keluar begitu saja.
“Maaf,
aku terlambat lagi. Karena aku gadis bodoh,
jadi aku kehilangan ponsel dan tasku. Aku
ingin bilang kalau aku tidak bisa pergi ke kafe karena itu... Aku ingin
mengatakannya...”
Kalau ada
ponselku, aku bisa langsung menghubungi
mereka. Kalau ada tasku, aku bisa naik kereta. Seandainya Rin-chan tidak mengambil ponselku.
Seandainya aku tidak jahat pada Toudo. Semua ini karena pilihanku sendiri.
Jadi, ini
semua karena kesalahanku dan kebodohanku.
Aku ingin
mengatakan “Lebih
baik kamu jangan
terlibat denganku lagi”,
tapi aku berhasil menelannya kembali. Toudo
pernah bilang, “Tidak
terlibat itu kesepian”.
Aku tahu tidak akan ada jawaban dingin. Aku hanya memperlihatkan kelemahanku
supaya orang lain mengkhawatirkan aku, untuk mendapat kata-kata yang
kubutuhkan. Itu hanya kepuasan diri semata.
Aku
menyiapkan diriku. Aku memberikan senyuman terbaikku pada Toudo.
“Aku
tidak akan merepotkan Sensei lagi. Pergilah bersenang-senang dengan yang lain. Aku berharap kalau kamu mau
mengajakku lagi lain kali.”
Tatapan
mata Toudo sedikit membesar. Ia benar-benar mempunyai
mata yang sungguh indah ya.
Aku sudah
merepotkannya, tapi ia tidak perlu
mengkhawatirkanku lagi. Toudo pasti akan berkata “Begitu ya? Kalau begitu tidak
apa-apa.”
Hehe,
senyum pura-puraku jadi senyum tulus.
“Tidak
mau, aku tidak bisa meninggalkan Michiba
yang hatinya terluka begini. Aku tidak bisa mengungkapkannya dengan baik, tapi kamu terlihat menahan diri. Entah itu
karena kebencian masa lalu padaku, rasa bersalah karena sudah merepotkan, atau
kejahilan teman sekelas, aku tidak bisa memastikannya. Tapi, itu sama sekali tidak penting. Ayo duduk
dulu untuk mengobati lukamu, lalu kita pergi ke kafe di Shinjuku 3-Chome yang
kukenal.”
Ucapannya
membuatku terkejut sampai-sampai aku tak mempercayai pendengaranku sendiri.
“Eh?
Ke-Kenapa...?”
“Jika
kita bisa memulai lagi hubungan ini dari awal, itu lebih baik.”
“Uhh...”
Aku
melanggar sumpahku sendiri.
Dari
dalam dadaku, sesuatu yang meluap keluar menjadi air mata. Aku menangis dalam
diam.
Aku
terlalu naif. Aku hanya ingin berubah. Tapi orang memang tidak bisa berubah
dengan paksa. Hanya saat bersama Toudo di perpustakaan, aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya.
Aku tidak
butuh akting. Aku tidak membutuhkan penampulan
sok kuat. ...Seharusnya aku kembali ke diriku yang dulu, yang senang melihat
orang tersenyum.
“Uhh,
ya. Aku memang tidak sebanding dengan Sensei. ...Hiks, bisakah aku meminta sedikit waktu?”
Aku tidak bisa menghentikan air mataku.
Tapi aku memang harus menangis sekarang. Haha, kamu
memang benar-benar guruku...
—Air mata yang mengalir telah meresetkan hatiku.