Epilog 1 — Kenangan Musim Panas
Ada
banyak orang yang berlalu-lalang di hadapan
mataku. Sesekali ada warna
cerah menyapu pandanganku, itu karena banyak orang yang mengenakan yukata.
Dengan
menggunakan stasiun sebagai tempat berkumpul, suasana di sini terdengar lebih
riang dibandingkan keramaian di dalam restoran keluarga. Selain perbedaan
tempat, adanya acara festival musim panas di
sekitar sini juga turut mempengaruhinya.
“Narumi.”
Bahkan di
tengah keramaian tersebut,
suara Kazemiya bisa terdengar
jelas.
Ketika aku
melihat sosoknya, aku sampai lupa
untuk bernapas sejenak.
Yukata
yang didominasi warna putih dengan corak biru pucat.
Rambutnya
ditata ke samping dengan aksesoris bunga.
Tiba-tiba
saja, aku tidak bisa mendengar segala
keributan di sekitar kami, seolah-olah
dunia ini kehilangan suaranya.
Setidaknya
hatiku dipenuhi oleh Kazemiya Kohaku yang
ada di hadapanku.
“Narumi?
Kamu kenapa?”
Mungkin
karena aku tidak mengatakan apa-apa, dia jadi merasa khawatir.
Kazemiya
mulai memperhatikan kembali yukatanya dan merapikan rambutnya.
“Aku terpesona saat melihatmu”
“Eh?”
Aku dengan jujur mengungkapkan pendapatku.
Bahkan, aku merasa sedikit malu karena terlalu terpesona padanya, jadi menurutku menyebutnya sebagai pengakuan adalah ungkapan
yang tepat.
“Kamu terlalu cantik. Maaf, aku
terlambat mengatakannya.”
“...Begitu,
ya... Aku senang sekali. Terima kasih.”
Kazemiya
yang tersipu malu terlihat begitu cantik dan bersinar dari apapun di dunia ini.
Perasaan seperti itu muncul begitu saja di dalam
hatiku.
“Kalau
begitu, ayo pergi ke festival musim panas.”
“Iya.”
Tanpa
sadar, kami sudah saling bergandengan tangan. Jari-jemari kami saling bertautan dengan natural.
Hal itu demi
menghindari bertubrukan dengan orang lain. Tapi lebih dari itu, karena kami berdua ingin bersama.
Kemudian kami mulai berjalan, dan untuk
sementara waktu kami tidak berbicara satu sama lain.
Aku ingin
merasakan kehangatan tangannya, kehadiran orang yang berharga di sampingku.
“Narumi,
bagaimana kalau aku yang traktir?”
“Tapi
itu seharusnya ucapanku.”
“Tapi kamu
sudah mengeluarkan banyak uang sewaktu
aku kabur dari rumah.”
“Itu
bukan uangku sendiri, sih... Tapi, Kazemiya, apa kamu masih punya uang? Bukannya kamu pernah bilang kalau kamu akan menggunakan gaji
kerjamu untuk memberi hadiah pada Kuon-san?”
“Aku
masih punya cukup uang untuk bersenang-senang di festival musim panas. Dan
gajiku juga bertambah, jadi tenang saja.”
Meskipun
dia bilang jangan khawatir.
Ini bukan
hanya soal Kazemiya, tapi juga jika dari yang
lain, seperti Natsuki, aku juga akan merasa tidak enak menerima traktiran.
“Hmmm....bagaimana
kalau kita saling mentraktir satu sama lain?”
“Bukannya
itu menjadi tidak ada artinya?”
“Aku
juga ingin memberikan sesuatu kepadamu, Kazemiya.”
“Kamu memang terus-terusan memanjakan
aku. Kalau aku tidak mengatakan ini, kau pasti akan terus mentraktirku, ‘kan?”
“Tidak
peduli seberapa banyak aku
memanjakan Kazemiya,
itu tidak akan pernah cukup.”
Kami pun
berjalan menyusuri kios-kios
festival musim panas, dan membeli satu permen apel untuk
masing-masing.
“Pada
akhirnya, kita malah membeli hal yang sama ya”
“Karena
kurasa di semua kios pasti
ramai, jadi kupikir rasanya jauh lebih
efisien kalau kita beli di tempat yang sama.”
“Tumben-tumbennya kamu
memedulikan efisiensi begitu, Narumi.”
“Biasanya
aku memang tidak terlalu peduli, tapi kali ini berbeda. Karena
ini waktu yang berharga bersamamu di festival musim panas.”
Setiap
detik yang kuhabiskan bersama Kazemiya sangat
berharga bagiku.
“Aku
ingin menghargai waktu
ini dengan baik.”
“Hmm...
Begitu ya.”
Bila dilihat
dari luar, reaksi Kazemiya mungkin
terlihat dingin.
Tapi
telinga Kazemiya yang memalingkan wajahnya
dariku terlihat sedikit memerah.
“────kugh.”
Tingkahnya
yang manis begitu mendadak membuatku berdebar.
Hari ini Kazemiya
menata rambutnya ke samping, jadi dari sudut
pandangku, tengkuk leher putihnya yang biasanya tertutup mulai terlihat jelas.
Bahkan
bisa dibilang, itu sangat memabukkan
bagiku.
Aku ingin
segera memakaikannya jaket, agar tidak ada yang bisa melihatnya.
“Narumi?
Wajahmu kelihatan memerah, apa kamu kena
demam?”
“Ya
enggaklah, aku baik-baik saja. Ini hanya sementara saja.”
Aku tidak
ingin dia menundukkan kepala dengan wajah polos seperti itu. Hal itu membuatku ingin
memeluknya tanpa mempedulikan orang lain.
Sambil
mencoba meredakan panas di wajahku, Kazemiya
mulai berbicara.
“...Festival
musim panas, ya, aku jadi teringat masa lalu.”
“Apa
kamu pernah datang ke sini
sebelumnya?"
“Iya,
bersama Mamah dan Onee-chan, kami bertiga pernah mengunjungi festival ini.”
Kazemiya
teringat dengan
hari-hari di masa lalunya ketika dia melihat ke
arah kios-kios yang berjejer, saat keluarga mereka bertiga
menikmati festival musim panas.
“Pada waktu
itu aku juga memakai yukata. Ibu meminjamnya dari rekan kerjanya. Hari ini Onee-chan yang
membantuku memakaikannya, tapi sewaktu aku masih kecil, Mamahku lah yang
memakaikan dan mendandaniku.”
“...Berarti
kamu sangat disayangi, ya.”
“Iya...
Aku pasti disayangi.”
Di hari
Ibunya pergi meninggalkan rumah.
Kazemiya
menangis dalam pelukanku.
Dia pasti
merasa sedih karena Ibunya pergi
meninggalkannya. Dia
merasa dirinya ditolak dan tidak
dibutuhkan dalam dunia Ibunya. Dan
yang paling membuatnya sedih adalah, dia merasa telah memaksa Ibunya pergi.
“Saat
itu... saat aku berbicara
dengan Mamah di rumah. Mamah selalu menyalahkan dirinya
sendiri. Dia berpikir kalau aku
masih membencinya, dan bahkan ketika aku mengatakan kalau aku tidak menyimpan dendam lagi,
dia justru tidak mempercayaiku.”
“Jika dia benar-benar membencimu, dia tidak akan menyalahkan
dirinya sendiri seperti itu."
Perasaan
yang dimiliki Ibu Kazemiya adalah rasa
bersalah.
Rasa
bersalah itu muncul karena ada rasa bersalah dalam dirinya.
Ibunya
mungkin tipe orang yang perfeksionis dan sedikit
OCD, tapi bukan berarti dia menganggap Kazemiya sebagai noda hitam dalam
hidupnya.
Dia hanya
takut. Takut untuk menghadapi dirinya sendiri.
Takut
untuk berhadapan dengan putrinya dan keluarganya.
“Kurasa itu karena dia sangat memahami seberapa berharganya sebuah kehidupan, makanya
dia takut untuk menghadapinya.”
“Aku
juga berpikir begitu... Aku ingin percaya begitu.”
Itulah
sebabnya dia melarikan diri. Dia menghindari dari sesuatu yang tidak ingin
dilihatnya.
Kurasa aku mungkin
bisa memahami perasaannya karena
aku juga sama.
“...Ibumu
belum kembali ke rumah?”
“Iya,
belum kembali. Tapi dia
masih bekerja, jadi kadang-kadang
aku tahu kabarnya dari Onee-chan.”
Beberapa
hari telah berlalu sejak kejadian itu, tapi tampaknya ibu Kazemiya masih belum juga kembali ke rumahnya.
“Apa kamu
tidak ingin menemuinya?”
“Aku
ingin bertemu dengannya. Tapi
jika aku menemuinya sekarang,
itu pasti hanya akan membuatnya
terluka.”
Dalam
nada suara Kazemiya, tersirat kesedihan dan kehilangan ketika dia mengatakan itu.
Tapi dia
tetap berusaha untuk maju dengan harapan di dalam hatinya.
Kekuatannya
itu sangat memukau sekaligus sangat berharga.
“Sama seperti aku yang berubah setelah
bertemu dengan Narumi di
tempat pelarianku. Mungkin Ibu juga akan berubah di tempat pelariannya. Jadi
aku akan terus menunggu.”
“Kalau
begitu, kurasa kamu harus cepat
kembali ke rumah. Supaya kamu bisa
menunggu Ibumu.”
“Benar.
Sebentar lagi festival kembang api akan dimulai. Ya. Dengan ini tujuan, 'berkeliling kios festival musim panas sambil
memakai yukata' sudah tercapai.”
Meskipun
sebagian besar daftar hadiah
liburan musim panas kami sudah terpenuhi, ada satu yang belum, yaitu 'berkeliling
kios festival musim panas sambil
memakai yukata'. Hari ini, harapan kami berdua akhirnya
terwujud.
Hari ini,
selain festival musim panas, juga ada acara kembang api. Dan kebetulan
apartemen Kazemiya punya balkon yang bagus untuk melihat kembang api, jadi
setelah menikmati festival, aku akan ikut ke rumahnya.
Kami
tidak perlu repot-repot mencari tempat terbaik, daripada harus berdesak-desakan
di tempat yang sempit, lebih baik melihatnya dari sana.
“Kamu bilang kalau kamu meminta bantuan Kuon-san untuk memakaikan yukata, itu berarti dia ada di rumah, ya?”
“Iya,
katanya dia libur sore ini. Sebenarnya
dia, mempunyai beberapa
pekerjaan yang harus diselesaikan,
tapi tempatnya batal. Saat dia membawa pulang sekitar 20 yukata baru, dia bercerita begitu.”
“Ah...
Aku bisa membayangkan wajah kegirangannya.
Faktanya, aku merasa heran karena tumben-tumbennya dia tidak mengikutimu.”
“Aku
juga khawatir soal itu, tapi Onee-chan
malah memberi perhatian kepadaku sembari menitikkan air mata darah.”
...Benar-benar
tipikal dia, bahkan ungkapan itu pun bukan sekedar kiasan belaka saja sudah terasa menakutkan.
“Tapi
dia bilang kita akan menonton kembang api
bersama-sama. Maaf ya sudah merepotkan.”
“Kamu tidak
perlu meminta maaf segala. Justru bagus kalau kamu bisa akur dengan kakakmu.”
Hubungannya
yang itu sangat berbeda denganku.
☆☆☆
Sementara
kami mengobrol seperti itu, kami akhirnya tiba di apartemen Kazemiya.
Kami kemudian naik ke lantai teratas
menggunakan lift, menuju rumah yang sekarang dihuni oleh Kazemiya dan Kuon-san.
Pemandangan pertunjukkan kembang
apinya pasti akan terlihat bagus
dari sini.
“Aku
pulang, Onee-chan.”
“Permisi”
Kami berdua
melangkah masuk ke rumah Kazemiya dengan mengucapkan salam, “Aku pulang,” dan “Permisi,”
kami berdua berada dalam posisi berbeda,
satu sebagai pemilik dan yang lainnya sebagai tamu.
“Onee-chan?
Lho... Tidak ada orang?”
...Tapi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Kuon-san di dalam rumah.
“Apa
jangan-jangan dia sedang pergi
belanja?”
“Kalau
begitu, mungkin sebentar lagi dia
akan kembali.”
“Hmm...
Mungkin saja dia pergi beli minuman atau
semacamnya.”
Ketika kami berdua sedang kebingungan saat melihat keadaan rumah yang kosong, tiba-tiba...
“Ah...”
Terdengar
suara yang seperti menembakkan sesuatu, disusul dengan suara ledakan.
Kazemiya
dan aku segera keluar ke balkon, dan di langit malam, kembang api bermekaran
dengan indah.
“Kembang
apinya sudah dimulai.”
Kazemiya
bergumam pada dirinya sendiri sambil
mendongak melihat langit yang memukau. Pada saat
yang sama, ponselnya bergetar.
“Mungkin
dari Kuon-san?”
“Sepertinya
begitu. Hmm...”
Kazemiya
membaca pesan dari Kuon-san.
“....................................”
“Apa
kata Kuon-san? Dia akan datang terlambat?”
“...Katanya ada masalah di lokasi kerja, makanya jadwalnya jadi berantakan... Dia harus melakukan beberapa
pekerjaan mendadak.”
Nada
suara Kazemiya terdengar agak kaku.
Mungkin
dia sangat menantikan untuk bisa
melihat kembang api bersama Kuon-san.
“Pekerjaan
mendadakh? Sayang sekali, ya.”
“.............................”
Kazemiya
mematikan ponselnya tanpa bicara sepatah
kata pun.
“...Narumi.”
“Hm?”
“Onee-chan...
Katanya dia tidak bisa pulang sampai
besok malam.”
“? Begitu ya.”
Suara
ledakan kembang api semakin jelas terdengar.
Suaranya lebih
keras dan lebih nyata tanpa terhalangi apapun.
“Jadi...
Hari ini................... tidak ada orang di rumah.”
Cahaya
kembang api menerangi wajah Kazemiya Kohaku.
Matanya
terlihat cemas, tapi dia mencoba mengeluarkan
keberaniannya.
Aku tidak
bisa mengalihkan pandanganku
dari tatapannya yang mengarah padaku.
“..........”
Aku ingin
menyentuhnya. Tapi aku tidak bisa.
Kehadiran
Kazemiya Kohaku terlalu
menyilaukan bagiku saat ini.
Gadis
yang berhenti melarikan diri dari keluarganya dan berdiri di hadapanku sekarang tampak lebih mempesona dari
siapapun.
Sementara
aku masih terus melarikan diri dari keluargaku, Kazemiya sudah begitu jauh di
depanku.
Sebefitu
jauhnya sampai tanganku tidak bisa menjangkaunya lagi.
“...Aku
masih melarikan diri dari keluargaku.”
Walaupun
aku bisa menjangkaunya, tapi aku merasa ragu untuk menyentuhnya.
Jika aku
yang hanya bisa melarikan diri, menyentuhnya, apakah cahayanya
akan padam?
Pemikiran semacam itu terus berputar-putar di
kepalaku.
“Aku berbeda
denganmu yang sudah berhadapan dengan keluargamu.”
Selama
ini, kami berdua sama-sama melarikan diri.
Kami
sama-sama pelarian.
Tapi
sekarang berbeda. Aku dan Kazemiya sudah menjadi orang yang berbeda.
“...Tapi,
apa itu tidak apa-apa?”
Gadis
yang dulu pernah melarikan diri
bersamaku sudah tidak ada lagi.
Berbeda
denganku yang baru saja terjatuh dalam kegelapan yang gelap gulita. Kazemiya
menjadi cahaya yang menyilaukan.
Aku dan Kazemiya
bukanlah pasangan yang serasi.
Aku sangat mengerti itu. Tapi, meskipun begitu...
Aku ingin
meraih cahaya itu. Aku ingin
menyentuhnya.
Aku tidak
ingin melepaskannya. Aku tidak
ingin membaginya dengan siapapun.
Aku ingin
memilikinya sendiri.
“Hanya
Narumi.”
Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku, Kazemiya
berkata.
“Aku
tak bisa membayangkannya selain dengan Narumi.”
Setelah
itu, kami berdua tidak
lagi melihat kembang api bersama.
Aku hanya
ingin Kazemiya Kohaku melihatku,
Narumi Kouta.
Dan aku
hanya ingin melihat Kazemiya Kohaku saja.
Oleh karena
itu.
Aku
menarik Kazemiya ke dalam pelukanku, dan dari sana,
kami berdua saling menatap mata satu sama lain, dan saling
mengunci bibir kami.
Sejak
saat itu ────kami berdua hanya saling memandang.
Aku sudah
tidak melihat kembang api yang indah kecuali yang bagian awal.
Aku bahkan
mengacak-acak yukatanya
yang cantik.
Bahkan aku
melepaskan gaya rambutnya
yang rapi.
Aku tidak
melihat apapun selain Kazemiya Kohaku. Aku tidak ingin melihat siapapun selain dirinya.
Hal ini
terus berlanjut bahkan setelah pertunjukkan kembang api selesai,
setelah festival musim panas berakhir, dan bahkan ketika
keramaian orang-orang juga telah menghilang.
Aku
menorehkan banyak kembang api merah di kulit putihnya.
Kami
saling menggenggam tangan dan tidak
ingin melepaskannya.
Mungkin aku masih merasa cemas. Mungkin aku tidak
ingin dia pergi.
“Kohaku.”
Aku menyebut
namanya. Hanya di saat ini, aku ingin memonopoli
cahaya Kazemiya Kohaku seorang diri.
“...Kouta.”
Dia
membalasnya dengan menyebut namaku.
“Tidak
apa-apa... Aku ada di sini.”
Suaranya
yang manis terdengar seperti
kicauan burung.
Setelah mendengarnya,
aku merasa tenang dan lega.
Dan oleh karena itu, aku justru
merasa jijik pada diriku sendiri yang merasa lega.
Aku
hanyut dalam pelukannya, sentuhannya, kulitnya, bibirnya ──── Aku hanyut dalam Kazemiya Kohaku.
Setelah
beberapa saat berlalu, kesunyian malam kembali
berlanjut ────
Kami berdua saling bersandar, terbungkus
dalam kehangatan yang sama.
“Maaf,
karena sudah terlalu memaksamu.”
“Tidak
apa-apa. Aku justru merasa bahagia daripada rasa
sakitnya, dan aku bahkan merasa
sangat senang ketimbang perasaan bahagiaku.”
“Senang?”
“Aku
selalu dimanja oleh kamu, Kouta. Jadi
aku merasa senang saat kamu bermanja padaku.”
“Biasanya
aku memang selalu berusaha memanjakanmu, tapi aku juga sudah sering memperlihatkan sisi
jelekku.”
“Tapi, kamu
selalu menunjukkan sisi kerenanmu dan
terlihat tenang. Aku jadi merasa kesal
karena itu. Aku selalu ingin kamu terus
bermanja padaku dan bersandar padaku. Itulah sebabnya.... aku
benar-benar senang. Sejujurnya, aku terpesona melihatmu yang
tidak lagi tenang, yang hanya focus dan
tergila-gila padaku.”
“Kalau
diingatkan lagi, aku jadi sangat malu.”
“Setelah
membuat banyak tanda di tubuhku, kamu
masih bicara begitu?”
“Bukannya
kamu juga sama? Kamu
juga sudah membuat banyak dan terlihat
panik pula.”
“...Itu
tidak benar. Aku yang masih punya kendali.”
“Kamu yang merangkul erat-erat dan terusan
meminta-minta 'kan kamu sendiri, Kohaku.”
“Aku
tidak tahu, aku tidak tahu. Aku sama sekali tidak
tahu tentang itu.”
Pemandangan Kohaku
yang mendekatkan wajahnya dan bersembunyi di dadaku terlihat begitu menggemasskan.
“...Ah.
Jadi kamu memasang gantungan ponsel itu di
sini.”
Kohaku
melihat ke arah ponselku
yang ada di dekat ranjang.
Gantungan
itu merupajan tanda kenangan saat kami kabur
dari rumah.
Gantungan
merah yang kami tukar dengan stemple yang kami
berdua kumpulkan.
“Iya,
kurasa di situ tempat terbaiknya. Bagaimana
denganmu, Kohaku?”
“Aku
juga memasangnya di ponselku. Menurutku juga ini tempat terbaik.”
Kohaku
juga mengambil ponselnya yang diletakkan dekat ranjang. Casing ponselnya memiliki tali bunga berwarna
putih yang bergoyang.
“...Kouta. Bagaimana kalau kita tukar
gantungan ponsel kita?”
“Menukarnya? Boleh-boleh saja sih...”
“Mari kita
masing-masing menjaga warna yang lain. Jika
kita melakukan itu, hal tersebut
bisa sedikit mengurangi kecemasanmu, 'kan?”
“Entah
kenapa, rasanya aku jadi mengerti
perasaan Kohaku yang merasa kesal...”
Setelah
kabur dari rumah di musim
panas ini, dunia Kohaku mulai melebar.
Dia sudah tumbuh dan berada di tempat yang jauh lebih
maju dariku.
Itu
membuatku sangat kesal. Situasi di mana aku hanya bisa dimanjakan seperti ini.
“Akhirnya
kamu mengerti juga.”
Kami
saling menukar gantungan pada casing ponsel kami.
Sepertinya
Kohaku sudah benar-benar memahami perasaanku.
Sebenarnya,
akulah yang tertinggal. ...Pasti juga di masa depan. Jika aku ingin tetap Bersama dengannya, jika aku ingin berjalan sejajar, aku juga
harus mengejar jalan ini.
“...Kamu tahu, Kouta.
Menurutku, kamu masih punya kesempatan.”
Kohaku
berkata demikian sambil berbaring di ranjang yang sama dengan
jarak yang lebih dekat dari biasanya.
“Keluargaku
sudah tak bisa diselamatkan lagi. Kami
semua pergi ke arah yang berbeda, semuanya melarikan diri... Sudah terlambat untuk saling
berhadapan. Jadi
pada akhirnya, semuanya hancur.”
Ibu Kohaku
pergi meninggalkan rumah. Keluarga yang
beranggotakan tiga orang itu berkurang menjadi hanya dua.
“Tapi
keluargamu masih ada kesempatan. Kamu
tahu itu, 'kan?”
“...Aku
tahu.”
Kami saling
menggenggam tangan dan
menautkan jari-jemari kami. Kami
menyatukan panas tubuh kami.
“Menurutku,
tidak ada salahnya jika kamu ingin
tetap melarikan diri. Tapi... Suatu hari nanti, jika
keluargamu hancur... Kamu pasti
akan menyalahkan dirimu sendiri, Kouta.”
“...Aku
tidak bisa membantah itu.”
Jika seandainya, suatu hari nanti, keluargaku
hancur.
Itu pasti
akan menjadi salahku. Karena aku terus-menerus melarikan.
“Aku
tidak ingin kamu
menyalahkan dirimu sendiri
seperti aku. Aku tidak ingin Kouta
merasakan perasaan seperti itu.”
Kohaku
masih menyalahkan dirinya sendiri. Jika saja dia berani menghadapi keluarganya lebih awal,
mungkin hasilnya akan berbeda.
Tapi dia
tetap mendorongku untuk melangkah maju ke
depan.
“...Pacarku tuh benar-benar keren, ya.”
“Bukan imut?”
“Kamu yang
sekarang terlihat keren.”
“Memangnya
kamu tidak merasa tidak nyaman?”
Kohaku
tertawa puas. Saat aku mengelus kepalanya, dia memejamkan matanya dengan senang.
“...Aku
selalu melarikan diri dari masalah rumah dan keluargaku. Aku pikir itu hal yang
baik-baik saja. Setelah bertemu Kohaku, melarikan diri terasa menyenangkan.
Selamanya, selamanya, untuk selamanya. Aku ingin terus bisa melarikan diri Bersama denganmu, Kohaku.”
Pelan-pelan,
aku mengungkapkan kata-kata dari dalam hatiku.
“Tapi... sebelum aku menyadarinya, segalanya telah berubah.
Waktu yang kuhabiskan bersamamu
menjadi lebih penting daripada melarikan diri bersamamu, Kohaku."
Apa yang
kurasakan saat melarikan diri dari rumah di musim
panas ini. Aku akan mengungkapkan perubahan dalam diriku dengan kata-kata.
“Rumah
yang tidak nyaman, keluarga, dan ayah kandungku di
masa lalu... semuanya menyakitkan dan sulit untuk dihadapi.
Jika aku lari, aku tidak akan terluka. Tapi... aku ingin tetap bersama Kohaku,
meskipun itu menyakitkan.”
Sekarang Kohaku
sudah pergi jauh.
Padahal
dia sangat dekat, bahkan berada di dalam pelukanku.
Akan tetapi,
ada jarak yang terasa
jauh antara aku dan Kohaku.
“Tidak
bisa berada di samping Kohaku justru lebih menyakitkan dan menyiksa.”
Aku ingin
mengejarnya.
Mengejar
gadis yang sudah meninggalkanku jauh. Aku ingin berjalan di sampingnya.
Mulai dari
sekarang. Selalu. Seumur
hidup. Selamanya.
“Aku
juga akan mencoba menghadapi
hal-hal yang selama ini kuhindari. Karena aku ingin bersama Kohaku... meskipun
mungkin aku akan dimarahi.”
“Kenapa?”
“Karena
aku ingin bersama pacar cantikku, jadi aku akan menghadapinya."
“Ah...
memang benar. Lebih baik kamu
bersikap terang-terangan saja.”
“Itulah
niatku.”
“Ya, karena
itu keahlianmu sih.”
“Begitulah.”
Memang
alasan yang sangat ptaktis.
Tapi tidak apa-apa. Karena tanpa alasan ini, aku mungkin tidak akan berani
menghadapinya.
“Hmm...
kalau begitu, sepertinya kamu tidak bisa menginap malam ini, ya.”
“Iya.
Tapi aku akan pulang. Ke rumah. Mulai dari sana.”
“Anak hebat,
anak hebat.”
Sebenarnya
aku ingin tetap bersamanya sampai pagi.
“Meski kamu
tidak bisa menemaniku sampai pagi,
tapi... apa kamu mau mandi bersama?”
Pertanyaannya
terdengar ragu, tapi tatapan matanya tampak memohon.
“Mau sih.
Tapi... bersiaplah.”
“...Baiklah. Aku sudah siap.”
Setelah
itu, kami berciuman lagi, entah sudah yang
keberapa kalinya.
Kami
berdua berkeringat dan menyegarkan diri.
Aku meninggalkan rumah Kohaku saat waktu
sudah jauh lebih larut dari yang direncanakan. (TN: Oke, fix
sih ini mah, sudah jelas banget habis ngapain :v)