Chapter 6 — “Suatu hari nanti” yang Diharapkan Kazemiya Kohaku
Bagian 2
Karena
sudah waktunya untuk makan
siang, jadi kami mampir ke restoran keluarga [Flowers] sebelum pergi ke rumah Kazemiya. Tapi Kuon-san masih belum pulih sepenuhnya secara
mental, dan kami tidak ingin dia kembali berteriak seperti serangga sekarat,
jadi kami pun berpisah dengannya.
Supir mobilnya — yang ternyata orang dari
kantor Kuon-san— masih
menemani Kuon-san. Di
sekitar sini juga ada restoran yang punya ruang privat, jadi sepertinya Kuon-san akan makan siang di sana.
...Tapi sebenarnya, alasan utama adalah supir itu yang lebih memperhatikan
kami.
“Maaf
ya, soal Onee-chan ku.”
“Tidak
apa-apa. Malah aku senang bisa melihat interaksi Kazemiya dan Kuon-san yang seperti itu.”
“Kenapa? Justru Narumi pasti kesusahan
karena ulah Onee-chan, 'kan?”
“Kalian terlihat
seperti kakak-adik yang akrab, dan itu
menyenangkan.”
Kazemiya selalu tersiksa dengan
keberadaan kakaknya, dan juga tersiksa dalam kerangka keluarga.
Tapi
sekarang, Kazemiya
bisa berinteraksi dengan Kuon-san
layaknya saudara biasa.
Aku bisa melihat
adegan di mana orang yang paling kucintai berhasil mewujudkan
keinginannya, jadi tentu saja itu
merupakan peristiwa yang menyenangkan.
“...Terima
kasih.”
Kazemiya, yang duduk di sebelahku, mendekat ke arahku dan bersandar kepadaku solah-olah menyerahkan segalanya.
Kami yang
biasanya duduk berhadapan, kini duduk berdampingan.
Beban
lembut di bahuku ini, membuatku merasakan betapa
dekatnya jarak kami sebagao sepasang kekasih.
“Itu semua berkatmu, Narumi. Aku bisa bertengkar dan berbaikan dengan Onee-chan, serta
memiliki keberanian untuk menghadapi Mamah.”
“Aku
tidak melakukan apa-pun. Mengenai Kuon-san kamu sendiri yang menghadapinya, Kazemiya.”
“Sudah
kubilang, itu semua berkat kamu yang terus mendukungku. Kamu membuatku semangat, menerimaku dan memelukku saat aku berusaha kabur.”
“Itu
karena kekuatanmu sendiri, Kazemiya.”
“Tidak, itu
semua berkat kamu, Narumi.”
Tanpa disadari, kami malah berdebat mengenai sesuatu yang aneh dan kami
berdua terkekeh kecil.
“Kalau
gitu, kurasa kita menganggapnya kalau semua itu berkat
kita berdua.”
“Iya,
mendingan begitu saja.”
Suara
Kasemiya terdengar manis. Terlalu polos dan tak berdaya, membuatku khawatir.
Aku ingin
memonopoli suara dan kehangatan ini, menutup telinga semua orang di dunia ini.
Tapi
untuk saat ini...
“...Kamu baik-baik saja?”
“...Soal
apa?”
“Tentang
ibumu.”
Kuon-san
menceritakan tentang rasa bersalah yang dimiliki ibu Kazemiya. Membayangkan bagaimana beban di
hati Kazemiya yang mengetahui hal tersebut membuat
keinginanku sendiri menjadi tidak
lagi penting.
“....Apa sebaiknya yang harus aku lakukan?”
Kazemiya bergumam dengan lirih sambil bersandar kepadaku.
“Aku
sudah bertekad untuk menghadapi Mamah sama
seperti saat aku menghadapi Onee-chan.
Aku sudah memutuskan untuk tidak lari lagi, dan pulang.... Tapi ternyata hanya keberadaanku
saja sudah membuat Mamah
tersiksa. Lantas, apa yang harus aku lakukan?”
“...Kuon-san juga sedang mengkhawatirkan soal itu.”
Bagi Kazemiya Kohaku, keberadaan Kazemiya
Kuon adalah rasa sakit dan penderitaan.
Itulah
sebabnya Kuon-san
memutuskan untuk menghilangkan eksistensinya sendiri.
Dengan cara sering pergi keluar dari
rumah, dia melarikan diri dari Kazemiya.
“Iya, itu benar... Kurasa, Mamah mungkin menganggapku keberadaanku sama seperti aku menganggap keberadaan Onee-chan.
Tapi bedanya, meski terkadang kehadiran Onee-chan
membuatku tersiksa, yapi aku tetap
menyayanginya.”
Sejenak, rasanya ada jeda seakan-akan dia menahan sesuatu.
“Tapi Mamah...
tidak menyayangiku.”
“Aku
tidak berpikir begitu.”
Aku
langsung membantah ucapan Kazemiya.
Aku tidak
ingin dia mengatakannya, dan aku tidak
ingin dia memikirkan hal semcam itu.
“Jika
Ibumu benar-benar membencimu, dia tidak akan merasa bersalah. Aku yakin kalau dia pasti
masih menyayangimu.”
“...Kenapa
kamu berpikir begitu?”
“Kamu sendiri yang bilang kalau membesarkan dua anak seorang
diri itu pasti sangat sulit. Jika tidak ada perasaan
kasih sayang, mana mungkin hal itu bisa terjadi.”
Ibu Kazemiya pasti mencintai dan menyayangi putrinya.
Walaupun tidak
ada dasar yang kuat maupun
bukti yang pasti. Tapi entah bagaimana, aku
yakin akan hal itu.
Mungkin
hanya sekadar harapan. Tapi, meskipun
begitu ────
“...Terima
kasih, Narumi.... Aku
sedikit merasa terbantu.”
...Meski begitu, harapan ini adalah
kenyataan. Aku ingin mempercayainya.
Setelah
itu, menu pesanan makan siang kami akhirnya datang, kami makan siang untuk
mengumpulkan tenaga untuk perjalanan pulang.
Mungkin
terasa aneh jika harus mengumpulkan tenaga hanya demi
melakukan perjalanan pulang, namun bagi kami, energi sebesar
itulah yang kami perlukan, terutama bagi Kazemiya.
“Dengan
begini, kita sudah mendapatkan stempel yang kelima, ya.”
“Benar sekali. Dan ini
adalah stempel yang...terakhir.”
Mendapatkan
stempel kelima bertepatan dengan berakhirnya masa
kabur dari rumah bukanlah akhir yang buruk.
“Omong-omong,
kita belum menentukan hadiah mana yang
mau ditukar, ‘kan?”
“Oia, itu memang
belum diputuskan. Lagian kamu sendiri yang
bilang bahwa mengumpulkannya
bersama denganku sudah menjadi hadiahnya.”
“Sudah
kubilang, tolong lupakan itu.”
“Bukannya
aku juga sudah bilang? Kalau aku akan mengingatnya sampai seumur hidupku.”
Rasanya
sungguh nostalgia sekali. Itu adalah percakapan kami berdua ketika kami
baru saja kabur dari rumah.
Tentu
saja aku masih mengingatnya.
“Tenang
saja, kita pasti akan dimakamkan Bersama, kok.”
“Hegh~~~~~~...!
Ja-Ja-Jadi, ma-maksudmu...!”
“Aku
tahu kamu mengerti maksudnya.”
Ah, dia
memang sangat manis. Pacarku ini.
Wajahnya
memerah dan panik seperti itu.
Aku merasa
tidak enakan kepada Kuon-san,
tapi aku benar-benar ingin
memilikinya sendiri.
“Ha-Hadiah! Ayo kita putuskan hadiahnya apa!”
Dia jelas-jelas berusaha untuk
mengalihkan topik pembicaraan.
Bahkan itu pun terasa lucu bagiku. Kami
pun bersama-sama melihat-lihat pilihan hadiahnya di layar ponselku.
“Rupanya
hadiahnya ada banyak, ya. Ada file plastik, kotak bekal,
tas jinjing...”
“Rasanya
akan menyenangkan jika kita memilih
sesuatu yang bisa dipakai kita
berdua. Kotak bekal dan tas jinijngnya
cuma satu...Ah, file plastiknya ada yang sepaket
berisi lima.”
“Mari kita
lihat-lihat dulu kalau ada yang seperti itu lagi.”
Bukan
berarti aku tidak suka file plastik, tapi mumpung ini
bisa dijadikan sebagai kenangan musim panas. Jadi alangkah baiknya kami bisa memilih sesuatu
yang lebih 'kental' dengan suasananya.
“...Bagaimana
yang ini?”
“Gantungan
kunci... dua buah?”
Hadiah yang ditunjuk Kazemiya
adalah gantungan kunci berbentuk bunga.
“Ah,
katanya kita bisa memilih warnanya juga."
“Benar.
Ada warna putih dan... merah juga.”
Kami
saling bertukar pandang dan tertawa. Pada saat itu juga kami
sudah memutuskan hadiah yang akan dipilih tanpa perlu
bertukar kata.
Setelah
membayar, kami mendapatkan stempel kelima. Lalu kami memilih gantungan kunci
merah dan putih dari deretan hadiah.
“Kamu memilih yang putih ‘kan, Kazemiya?”
Aku
menyerahkan gantungan kunci putih kepada Kazemiya
ketika kami keluar dari restoran.
“...Terima
kasih.”
Kazemiya
yang memegang tali berwarna putih dengan begitu berhati-hati, membuatnya terlihat sangat manis dan
menggemaskan.
Dinding
yang akan dihadapi oleh Kazemiya mulai
sekarang sangatlah besar, dan mungkin hanya sedikit saja yang bisa aku lakukan.
Hal itu
sangat menyebalkan dan menyedihkan.
“...
Narumi. Apa aku boleh
mengajukan satu permintaan?”
“Boleh saja, kok.”
“Tapi
aku belum mengatakan apa-apa.”
“Jika itu permintaan
Kazemiya, aku pasti akan menerimanya.”
“...
Apa yang akan kamu lakukan jika aku
meminta hal yang aneh-aneh?”
“Hal
aneh seperti apa?”
“Eh?”
“Aku
ingin tahu apa yang menurutmu 'hal aneh' itu.”
"Itu,
anu... ciuman,
mungkin?”
"Haha.”
“Ke-Kenapa kamu malah tertawa?!"
“Aku
hanya berpikir kalau
kamu terlihat manis.”
“....Apa
kamu sedang mengolok-olokku?”
“Tidak, aku
sedang memujimu.”
“Kamu pasti bohong.”
Mau tidak
mau aku menganggapnya lucu, berpikir bahwa dia pasti tiba-tiba memikirkan 'hal
aneh' itu.
Lagipula,
jika dia memintaku untuk menciumnya, aku pasti tidak akan menolaknya. Tapi
sepertinya Kazemiya tidak menyadari hal itu. Aspek dirinya yang begitu terlihat lucu dan begitu
menggemaskan.
“Jadi, katanya kamu punya permintaan, apa isi permintaanmu?”
“...
Aku ingin kamu
menemaniku saat aku menemui Mamahku.”
Permintaan
Kazemiya sedikit di luar ekspektasiku.
“Kupikir
kamu akan pergi sendirian.”
“Pada awalnya
aku memang berniat begitu. Tapi... setelah mendengar cerita Onee-chan tentang Mamah... kurasa aku tidak akan sanggup
menghadapinya sendirian.”
Kazemiya
menunduk dan memeluk dirinya sendiri seraya
melanjutkan perkataannya.
“Tadi
kamu bilang kalau Mamah
menyayangiku, 'kan? Mungkin itu benar. Aku berharap begitu. Tapi... bukan cuma
perasaan suka atau kasih sayang yang indah saja,
aku yakin kalau pasti ada juga perasaan
menyakitkan dan menyedihkan. Jika aku menghadapi
Mamah, itu berarti aku harus menerima semua perasaan
itu... ketika aku memikirkan hal itu, aku menjadi takut untuk melakukannya sendiri.”
Pelukan Kazemiya
pasti dimaksudkan untuk menahan getarannya.
“Berbeda
dengan saat aku menghadapi Onee-chan. Onee-chan... dia punya banyak perasaan sayang
kepadaku. Tapi Mamah berbeda.
Perasaan yang akan muncul bukan cuma kasih saying saja,
melainkan juga perasaan sakit dan sedih yang lebih besar. Aku takut harus
menghadapi perasaan itu sendirian. Maaf, ini terdengar konyol. Padahal tadi aku
berbicara dengan nada yang sok berani,
tapi sekarang aku malah
gemetaran... Memang, aku ini...”
“Kamu itu
benar-benar keren.”
Kata-kata
itu keluar begitu saja. Dengan sendirinya, aku memeluk tubuhnya.
“Kazemiya,
kamu benar-benar keren.”
Setidaknya
aku masih terus melarikan diri. Tapi Kazemiya berbeda. Walaupun dengan gemetaran seperti ini, dia masih berusaha menghadapi sesuatu yang
selama ini dia hindari.
Itu
sungguh keren.
Oleh karena
itu, aku ingin menyampaikannya. Baik dengan kata-kata maupun tindakan, aku
ingin menyampaikannya. Semoga saja itu bisa
tersampaikan.
“Aku
akan tetap berada di
sampingmu. Aku akan mendukungmu. Supaya kamu
bisa menghadapi Ibumu. Jadi, kamu
tidak perlu takut. Kamu hanya perlu menghadapi
semuanya dengan berani.”
“...
Tapi bagaimana jika aku ingin melarikan diri lagi?"
“Kalau
begitu, aku akan menahanmu dengan memelukmu seperti ini.”
Sungguh aneh
sekali. Padahal aku yang dulu selalu melarikan diri bersama Kazemiya.
Tapi
sekarang, aku yang akan menghentikannya jika dia ingin kabur.
“...
Aku sudah pernah mengatakannya kepada Onee-chan, ‘kan? Mungkin aku tidak bisa
menerima semuanya sendiri. Mungkin aku akan terluka. Tapi sekarang, ada orang
yang akan selalu mendukungku, apapun yang terjadi... Karena kamu ada di sampingku, Narumi.”
“Aku
ingat kamu memang pernah bilang begitu.”
“...
Ternyata aku benar. Selama ada kamu,
Narumi, aku pasti bisa menghadapi apapun.”
“Aku
juga merasa begitu.”
Jika Kazemiya
Kohaku ada dalam hidupku. Aku yakin kalau aku bisa menghadapi
apapun.
Setelah
selesai makan siang, pemandangan yang terlihat dari mobil van mulai kembali berangsur berubah
menjadi sesuatu yang familiar, dan tak lama kemudian kami sampai di tempat
tujuan.
Pemandangan
yang akrab. Tempat yang akrab.
Ini adalah rumah Kazemiya.
“Nah,
kurasa cuma sampai di sini saja aku bisa mengantarmu.
Berjuanglah, Kohaku-chan.”
“...
Onee-chan tidak ikutan datang?”
“Sekarang, aku
sudah benar-benar berada di pihakmu, Kohaku-chan. Dan Narumi-kun juga ikut bersamamu, 'kan? Dengan begini tiga lawan satu, jadi tidak perlu memojokkannya. Meskipun aku juga tidak
keberatan, tapi kurasa bukan itu yang
kamu inginkan bukan, Kohaku-chan?”
“Iya,
benar. Sebisa mungkin aku ingin berbicara dengan Mamah secara
baik-baik...”
Sambil
berkata begitu, Kazemiya menggenggam tanganku
yang terjalin.
“Aku
ingin menyampaikan perasaanku sendiri. ... Meskipun tidak dimengerti sekalipun.”
“Begitu
ya... Oke, semoga berhasil, Kohaku-chan.”
“Terima
kasih banyak, Onee-chan.
Aku akan berusaha semaksimal mungkin.”
Dengan
tangan yang saling bertautan dan merasakan
kehangatan satu sama lain, kami berdua akhrinya melangkah maju.
☆☆☆
────Maafkan aku, Narumi. Aku... kabur
dari rumah.
Pada hari
itu, aku melarikan diri dari rumah.
Dan
sekarang aku kembali berjalan
menyusuri jalanan yang aku
gunakan untuk kabur saat itu.
────...
Apa Mamah benar-benar tidak keberatan
dengan ini?
────Itu sama sekali tidak masalah selama
kamu tidak
menyusahkan Kuon.
────...
Aku benar-benar akan pergi.
────Kalau
kamu bisa
pergi, silakan saja. ... Palingan kamu
akan kembali menangis sambil meminta
maaf nanti.
────........!
Kalau
dipikir-pikir, percakapan itu hanyalah sikap manja
dan ingin diperhatikan dari seorang anak kecil.
Hanya
dengan mengingatnya saja, aku merasa malu dan menyedihkan.
Jujur
saja, aku ingin segera kabur lagi.
Tapi ada
seseorang yang mau menerima semua diriku yang hina dan tak pantas ini.
Itulah
sebabnya, aku punya keberanian untuk memilih jalan ini.
Aku
memutuskan untuk kembali ke rumah ini,
tempat yang selalu aku tinggalkan berkali-kali.
Bersama
dengan orang yang paling berharga bagiku.
“Kalau
ada apa-apa, langsung bilang saja, oke?”
“'Apa-apa'
seperti apa?”
“Misalnya
saja seperti ingin menangis di pelukan pacarmu.”
“Jangan
dibilang begitu sih, duh.”
Aku pasti
akan segera ingin menangis. Di dalam pelukan ini.
“────.....”
Aku mmenarik
napas dan menghembuskannya seraya berusaha menenangkan diri. Aku lalu membuka
kunci dan membuka pintu.
Aku
kembali ke rumah yang aku tinggalkan.
“.........................”
Kami
berdua berjalan menyusuri lorong yang remang-remang tanpa lampu.
Setiap
langkah yang kulalui membuat jantungku berdebar semakin kencang.
Cahaya di
ruang tamu masih menyala. Setelah menarik
napas dalam-dalam sejenak, aku membuka pintu dan masuk.
“Aku
pulang...”
Yang
terdengar dari ruang tamu hanyalah suara ketikan.
Tanpa
memedulikan apapun, Mamah hanya fokus
pada layar tabletnya.
“...
Mah, aku sudah pulang.”
“────.....”
Mamah
tidak menjawab apa-apa. Matanya masih tetap
terpaku pada tablet.
Aku tidak
berkata apa-apa lagi. Aku dengan
sabar menunggu sambil terus
menggenggam tangan Narumi. Meski udara di ruangan sudah dingin karena AC, hanya
tanganku saja yang masih terasa hangat.
“...
Jadi, inilah alasan kenapa Kuon
memintaku untuk ada di rumah.”
Sepertinya
Mamah menyadari kalau aku tidak akan
beranjak sama sekali sebelum dia berbicara denganku.
Mamah
berbicara dengan nada suara dingin. Matanya masih terpaku pada layar. Irama
ketikan di tablet itu tak kunjung berhenti. Dia bahkan tak mau menatap wajahku.
“Jadi? Untuk apa
kamu kembali ke sini? Bukannya kamu
sudah pergi meninggalkan rumah
ini?”
“...
Maaf.”
“Ternyata
kamu datang memohon, seperti yang
aku bilang. Setelah cukup puas bermain kabur-kaburan
dari rumah, sekarang kamu tinggal terus d rumah
dan diam saja di sini. Kamu cukup merepotkan,
tahu.”
“Aku meminta
maaf bukan karena aku kabur dari rumah.”
“Oh
ya? Lalu alasan macam apa lagi yang akan kamu
berikan?”
“Bahwa aku
secara sembarangan punya dendam terhadap Mamah.”
“────────”
Jari-jari
Mamah yang mengetik berhenti.
“...
Selama ini aku selalu menyimpan dendam kepada
Mamah. Aku selalu
menyalahkan Mamah kalau
aku tak bisa berhasil, atau karena aku tidak berbakat. Padahal...itu semua karena aku lemah. Aku tidak bisa menerima
kelemahanku dan selalu menyalahkan orang lain. Padahal Mamah pasti sangat susah membesarkan
kami. Aku bahkan tidak tahu seberapa berat Mamah
melakukannya, sendirian...”
Mamah
tak mengatakan apa-apa. Dia juga tidak
mau menatapku. Tapi itu tak apa.
Yang bisa
aku lakukan hanyalah meminta
maaf.
“Setelah
mencoba bekerja paruh waktu dan
mendapatkan gaji... Aku baru mengerti betapa hebatnya Mamah bisa mencari uang untuk
menghidupi keluarga sekaligus
membesarkan anak-anak. Aku baru mengerti hal itu, berkat orang yang ada di
sampingku sekarang, Narumi. Aku mempunyai
Narumi yang mendukungku, tapi Mamah
tidak memiliki hal itu. Mamah sendirian, tanpa memiliki orang yang bisa diandalkan...
Tapi Mamah tetap membesarkan kami. Akan tetapi, aku justru selalu menyimpan dendam kepada
Mamah.”
Jika tidak ada Narumi di sisiku, jika ia tidak ada di sana untuk
mendukungku, mungkin aku akan segera kembali ke sini sembari menangis, dan
lagi-lagi menyalahkan Mamah atas segalanya.
Aku mungkin sangat beruntung dan
diberkati karena hal itu tidak terjadi.
“Jadi...
Maafkan aku. Aku minta maaf
karena menyalahkan Mamah tanpa
tahu apa-apa. Mulai sekarang aku akan menghadapi kelemahanku sendiri. Dan juga
menghadapi Mamah.
Meskipun ada hal yang tidak kusukai, aku ingin bisa berdebat baik dengan Mamah.”
“Diam.”
Kemarahan
samar-samar terasa menyelimuti ruangan.
“Tolong jangan
bicara yang bukan-bukan. Kamu
pasti sudah mendengar tentang aku dari Kuon, 'kan? Tentang aku yang pernah
memukulmu... Seharusnya kamu
membenciku, marah padaku, dan tak
bisa memaafkanku. Tapi, kamu
malah meminta maaf? Munafik...!”
“Memang
benar kalau dulu aku membenci Mamah. Aku
terluka. Tapi... sekarang, aku tak semarah dulu lagi.”
“Sudah kubilang,
hentikan kebohonganmu itu!”
Suara kepalan tangan yang
menggebrak meja terdengar dengan
keras.
Tubuhku seketika menegang sehingga aku merasa
kesulitan untuk
mengeluarkan kata-kata.
“────...”
Narumi
menggenggam tanganku sedikit lebih keras, seolah ingin menghentikan getaran
yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku.
Berkat
itu... getarannya berhenti. Aku bisa berbicara lagi. Aku masih bisa
menghadapinya.
“Aku
tidak mengatakan kalau aku
sama sekali tidak membenci Mamah. Tapi, perasaan terima kasihku
jauh lebih besar. Aku ingin minta maaf, itulah
yang sekarang kurasakan.”
“Kamu bohong.
Bohong. Bohong bohong bohong bohong bohong! Itu pasti
bohong!”
Dia sama sekali tidak mempercayaiku. Mamah
bahkan tidak mau menatap wajahku.
Meski begitu...
tetap saja...!
“Tolong percayalah
padaku. Lihatlah wajahku, Mah.
Lihat mataku. Lihat aku, hanya sekali ini saja...!”
“Aku
tidak mau.”
Yang
keluar dari mulut Mamah hanyalah berisi kata-kata penolakan.
“Aku
tidak mau... Aku benar-benar tidak
mau. Kamu tahu kenapa? Karena aku
membencimu.”
“...
Aku tahu.”
“Tidak,
kamu sama
sekali tidak tahu.”
Tak peduli
bagaimana aku mengulanginya berkali-kali. Meski aku
mengulurkan tangan, yang kudapat hanya penolakan.
“Setiap
kali aku melihat wajahmu, aku merasa disalahkan. Setiap kali aku melihatmu, aku jadi teringat darah yang merah. Setiap
kali aku melihatmu, aku diingatkan akan
kesalahanku...!”
Mamah
menutup telinganya dengan tangannya.
Seakan-akan menolak segala suara dan
bunyi dari dunia luar.
Itu sama
persis seperti diriku dulu di dalam kelas, yang menolak dunia di sekitarku.
“Aku seharusnya
tidak pernah melahirkanmu! Sudah cukup dengan Kuon saja! Dengan begitu, duniaku akan sempurna!”
Keheningan
yang dingin memenuhi ruangan.
Satu-satunya
hal yang bisa kudengar hanyalah suara Mamah,
yang berulang kali bernapas dengan dangkal sambil terengah-engah.
“...
Ya. Kurasa aku sudah agak mengerti.”
Sembari
mengandalkan kehangatan tangan kami
yang saling menggenggam, aku berusaha tetap sadar.
Kalau aku
sendirian, sekarang aku pasti sudah tak bisa melihat apa-apa
lagi.
Tapi aku
masih bisa berdiri. Aku masih bisa menyampaikan kata-kataku.
Cahaya
merah yang menerangi dalam kegelapan, kehangatan ini, mendukungku.
“Meski
begitu, aku tidak
ingin mengakuinya. Karena kalau aku mengakuinya, itu
berarti aku benar-benar tak punya tempat lagi... Tapi, aku takkan lari lagi.
Aku akan menerima kenyataan ini.”
Aku
menghembuskan napas dan mengatur
napasku.
Sejenak.
Kata-kata
yang akan kuucapkan selanjutnya adalah sebuah ritual. Ritual bagiku
untuk menerima realita.
“Mamah...
tidak menyukaiku. Keberadaanku....
selalu menyakitinya...”
──── Hanya
sekedar menegaskan kembali kenyataan
yang menyakitkan.
“Ya...
itu benar! Aku mengatakannya berulang kali! Hanya dengan
melihatmu, melihat matamu, aku merasa seperti
sedang dihakimi! Jadi, cepatlah
menghilang! Cepat mengilang
dari pandanganku! Dari duniaku yang sempurna!”
Aku sudah
tahu apa yang akan dikatakan Mamah
sejak aku mendengar cerita dari Onee-chan tentang Mamah.
Itu bukan
sekadar perasaan samar-samar di sudut kepalaku. Melainkan
kenyataan yang benar-benar terjadi.
Jika aku
berada di posisi Mamah dan
Narumi tidak ada di sampingku, aku mungkin juga
akan mengatakan hal yang sama.
“...
Aku, aku sudah mengetahuinya di dalam pikiranku, tapi
sebenarnya sampai datang ke sini pun aku masih
berharap. Aku masih berharap kalau Mamah, Onee-chan,
dan aku bisa berkumpul Bersama-sama lagi
sebagai keluarga yang benar-benar utuh.”
Aku
berharap. Aku masih terus mengharapkannya.
“Tapi...
Ternyata memang tidak mungkin, setidaknya untuk saat ini.”
Jangan
menangis. Aku sudah tahu ini.
Oleh karena
itu hari ini aku datang untuk meminta maaf.
Setidaknya, aku ingin meminta maaf atas
semua yang sudah terjadi, itulah alasanku memilih untuk kembali.
──── Ya.
Aku memilih untuk kembali.
Meskipun
aku mengetahui kalau aku akan menanggung luka
dan tersakiti lagi.
“Tapi...
Apa itu tidak boleh? Apa aku tidak boleh untuk tetap tinggal
di sini?”
Tekad dan
kesiapanku ────
“Selama
ini aku merasa tidak nyaman dan kabur dengan seenaknya. Aku tahu itu terlalu
menguntungkan bagiku. Tapi sekarang, aku ingin kembali ke rumah ini.”
──── Meski
terlihat menyedihkan, aku bertekad untuk tetap berjuang.
“Aku
selalu menganggap kalau yang namanya keluarga itu merepotkan. Seandainya aku bisa melupakan semuanya, mungkin
aku bisa lebih tenang. Tapi... Ternyata aku tidak
bisa melupakannya. Keberadaan Onee-chan dan Mamah terus kupikirkan di sudut hatiku. Mereka tak bisa
pergi dari ingatanku. Keluarga memang merepotkan, ya.”
Kalau
dipikir-pikir, apa aku
pernah membicarakan ini dengan Narumi juga?
Keluarga memang benar-benar merepotkan.
Bahkan
saat mereka membenciku sekali pun, mereka tak bisa lepas dari hatiku.
Sebuah
ikatan yang pasti ada sejak awal kehidupan.
“Tidak
masalah bahwa sekarang Mamah
mungkin membenciku. Tapi suatu hari nanti... Aku ingin Mamah menyayangiku.”
Karena
aku tidak ingat pernah dipukul oleh Mamah.
Tapi aku masih
mengingat banyak hal.
Ada kalanya Mamah punya harapan padaku. Dia akan menggandeng tanganku saat berjalan agar aku tak tersesat. Kadang-kadang dia mengalah pada kemauan egoisku dan membelikanku mainan. Dia juga tidak pernah melupakan ulang tahunku.
Aku memang dilanda rasa sakit dan
penderitaan. Tapi bukan hanya itu saja.
Karena
Narumi ikut kabur bersamaku, jadi
aku bisa menemukan berbagai macam kebahagiaan
saat aku melarikan diri. Dia mengingatkanku akan
kebahagiaan yang selama ini aku abaikan.
Aku
menyadari bahwa rasa sakit bukanlah satu-satunya hal yang kudapatkan dari Mamah.
Itu sebabnya. Itu sebabnya. Itulah sebabnya────……!
“Terserah...
Tinggallah sesukamu."
“Mamah...!”
“...
Aku yang akan pergi.”
Itulah
kata-kata terakhir Mamah untukku.
Mamah
langsung buru-buru mengemasi barang-barangnya ke dalam tas dan
meninggalkan ruang tengah.
Dia
hendak pergi dari rumah.
Ini
adalah kebalikan dari hari itu...... ketika aku
melarikan diri dari rumah.
“Mah,
lihatlah aku... Cpba lihatlah aku. Lihat aku.”
“...............”
Mamah
tidak menjawab apa-apa. Dia sama sekali tidak
mengatakan apa-apa.
Dia
meninggalkan rumah tanpa melakukan kontak mata denganku.
Dari awal
sampai akhir, dia bahkan tidak melihat wajahku. Dia bahkan tidak mau melakukan
kontak mata denganku.
Pintu itu
tertutup.
“......”
Aku tak
bisa mengeluarkan suara. Kakiku tak bisa bergerak. Tangan yang kuraih tak bisa
menggapai apa-apa.
“...
Begitu ya, jadi
ini sudah berakhir.”
Rupanya itu
semua sia-sia. Aku berharap mungkin kalau semuanya akan berakhir seperti yang terjadi dengan Onee-chan,
tapi...
“Ini masih belum
berakhir.”
“Narumi...”
Narumi
yang tadinya duduk di sampingku sembari
menggenggam tanganku, kini sudah berdiri di depanku.
“Tidak
mungkin... Kamu melihatnya sendiri, 'kan? Mamah... dia melarikan diri. Dia
memilih untuk kabur dari rumah ini, dariku... Jadi, sekarang sudah...”
“Tapi
bukannya kita juga pernah kabur?”
“Jadi maksudmu,
apa yang selama ini kami lakukan akhirnya menuai karma?”
“Bukan
itu. Karena kita berdua sama-sama melarikan
diri, kita
akhirnya bisa menjadi
teman dan sepasang kekasih. Karena Kazemiya
kabur, akhirnya dia mau menghadapi keluarganya 'kan? Meski kabur, masih ada
sesuatu yang bisa ditemukan di sana.”
“Ah...”
“Mungkin
sekarang memang tak bisa. Hari ini mungkin
sudah berakhir. Ibu Kazemiya mungkin kabur darinya. Tapi, orang itu juga
mungkin bisa menemukan sesuatu saat kabur, sama
seperti kita.”
Itu benar.
Aku sendiri pernah melarikan
diri.
──── Aku
kabur dari keluarga. Tapi di tempat aku kabur, aku bisa berteman dengan Kazemiya.
Sepulang sekolah begini, menonton film, bersenda gurau, mengeluh sambil makan
di restoran keluarga... Aku bisa menikmati waktu yang begitu nyaman bersamamu.
──── Apa
itu hal yang baik?
──── Bagiku
itu hal yang baik. Meski baru beberapa hari kita bertemu, tapi
aku sangat menyukai
waktu yang kuhabiskan bersama Kazemiya di restoran itu.
Di tempat
aku kabur, aku bertemu Narumi. Aku mendapatkan orang yang berharga. Dan jatuh cinta.
──── Aku
merasa kabur adalah keputusan yang tepat. Bagaimana denganmu, Kazemiya?
────...
Aku juga merasa begitu.
Ah, iya. Itu benar.
“Bagi
kita, melarikan diri bukanlah akhir. 'Suatu hari nanti' yang
kamu inginkan belum sepenuhnya
hilang.”
“...
Iya.”
“Jadi,
berlarilah. Kazemiya. Selagi masih ada waktu, mari sampaikan apa yang ingin kamu katakan.”
“Iya...!”
Rasanya
sungguh aneh. Ada panas
yang menjalar ke seluruh
tubuhku.
Sehingga menimbulkan kekuatan untuk berlari.
Kekuatan
merah, merah pekat, memenuhi seluruh tubuhku.
“──── Mamah!”
Aku
bergegas keluar bersama Narumi, dan berteriak ke arah punggung yang
semakin menjauh.
“Aku
akan menunggu! Di rumah ini, aku akan terus menunggu.... sampai Mamah kembali!”
Tidak ada
jawaban.
Mamah tetap
tidak mau menatap wajahku.
Tapi
punggungnya tampak berhenti sejenak ────
lalu tetap melangkah pergi dan
melarikan diri.
Aku terus
memandangi punggung itu sampai menghilang.
“...
Narumi. Terima kasih.”
“Orang yang
berjuang itu kamu sendiri, Kazemiya, bukan aku. Aku hanya melihat
saja.”
“Kamu memang pembohong,
Narumi..."
Padahal
kamu mendukungku. Meskipun kamu memberiku kekuatan untuk mengejar.
Kalau
tidak ada Narumi, aku yakin kalau aku sudah menyerah dalam banyak hal.
“Dasar pembohong,
tapi... Kata-kata itu tadi, bukan bohong,
'kan?”
“Kata-kata
yang mana?”
“Yang
bilang, kalau ada apa-apa langsung bilang...”
"...
Itu sama sekali tidak bohong.”
Syukurlah.
Aku sudah menduga kalau itu bukanlah kebohongan,
tapi tetap saja itu masih membuatku
lega.
Karena
sekarang, aku...
“Boleh
aku menangis di pelukan pacarku?”
Tanpa
menjawab, Narumi diam-diam memelukku.
Di dalam
pelukan pacarku ini, aku menumpahkan semua tangis dan isakan yang selama ini kutahan.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya