Gimai Seikatsu Volume 11 Chapter 3 Bahasa Indonesia

Chapter 3 — 20 September (Senin/Hari Libur) Asamura Yuuta

 

Dibutuhkan sekitar 40 menit dengan kereta cepat ke arah barat dari Stasiun Shinjuku.

Aku keluar dari pintu selatan stasiun. Di hadapanku muncul sebuah bundaran kecil yang hanya memiliki satu jalur. Ketika melihat ke kiri dan kanan, bangunan yang tinggi tampak lebih sedikiti, sehingga langit terlihat lebih luas dari yang aku bayangkan. Pepohonan hijau di jalanan tak berujung ditanam di antara trotoar dan jalan raya, memberikan kenyamanan bagi mata.

Aku berbalik dan keluar ke jalan dua jalur satu arah yang menuju selatan dari stasiun. Aku berjalan menyusuri trotoar sambil merasakan tekanan hutan kecil dan aroma rerumputan di sebelah kananku.

Tak lama kemudian, hutan itu tiba-tiba menghilang. Sepertinya itu adalah pintu masuk menuju area kampus. Ketika melihat tampilan di ponselku, tertulis bahwa itu adalah gerbang masuk menuju Kampus Nasional Universitas Ichinose. Jadi, apa itu berarti area universitas sudah sangat dekat? Jika diperhatikan baik-baik, papan petunjuk untuk acara kampus terbuka juga terlihat dengan jelas.

Setelah menyelesaikan pendaftaran di bagian resepsi, Aku menerima brosur dan peta panduan kampus, lalu Aku melangkah masuk ke dalam universitas.

Sebenarnya, Aku sedikit merasa cemas.

Dua hari yang lalu, dan kemarin, Aku telah mengikuti acara kampus terbuka di Universitas Keiryo dan Universitas Waseho.

Namun, Aku merasa tidak begitu cocok. Aku tidak bisa membayangkan diriku berkuliah di universitas tersebut.

Di tengah situasi itu, hari terakhir dari libur panjang ini, aku datang ke Universitas Ichinose. Jika setelah melihat-lihat di sini aku tidak merasakan apa-apa di hatiku, itu berarti aku tidak tergerak oleh salah satu dari tiga universitas yang sudah aku pertimbangkan. Hal ini membuatku merasa resah.

Mungkin benar bahwa hanya dengan kunjungan kampus selama 2-3 jam, Aku tidak bisa memahami banyak hal. Selain itu, Aku sering merasa ‘luar biasa’ dan ‘dewasa’ terhadap suasana universitas itu sendiri, serta suasana pengenalan klub. Hal itu saja sudah cukup untuk membuat kunjungan ini berharga. Universitas sebagai tempat belajar kini memiliki gambaran yang lebih konkret di dalam benakku dibandingkan sebelumnya.

Namun, Aku merasa kurang memiliki keputusan yang tegas tentang “di sinilah tempatnya.” Aku menyadari bahwa ini mungkin terasa sombong dibandingkan dengan universitas terkemuka.

Mungkin rasanya agak berbeda. Mengikuti acara kampus terbuka ini bukan hanya untuk menentukan universitas impian. Aku ingin keluar dari keadaan di mana aku tidak tahu apa yang aku inginkan. Aku datang untuk mencari petunjuk tentang masa depan.

Apa yang ingin aku pelajari selama empat tahun ke depan?

Ketika aku sedang mengungkapkan pemikiranku selama jam pelajaran, aku juga berpikir bahwa alasan kenapa aku suka membaca buku adalah untuk merasakan pengalaman yang mendekati kenyataan, tapi sebagian besar alasannya mungkin aku suka terpapar dengan cara berpikir yang baru.

Aku mengetahui kebahagiaan dari mengenal cara pandang dan cara berpikir baru yang tidak bisa kucapai sendiri melalui membaca.

Aku mulai berpikir bahwa ada banyak cara pandang terhadap dunia seperti halnya jumlah orang, dan semuanya itu penting. Ketika aku menyadari pentingnya berbagai cara pandang, Aku mulai merasa takut terhadap prasangka dan pandangan sempit yang sebaliknya.

Akibatnya, Aku sampai pada kesimpulan bahwa ibuku adalah orang yang memiliki pemikiran bahwa “orang tua yang baik adalah yang menyekolahkan anaknya ke sekolah yang baik.” Aku merasa bahwa itulah pandangan hidupnya, jadi aku berpikir kalau aku bisa lebih memaafkannya dibandingkan sebelumnya. Meskipun itu masih tidak cocok untukku.

Namun, itu juga merupakan bukti bahwa bahkan antara orang tua pun, cara pandang dan cara berpikir bisa sangat berbeda, sehingga aku merasakan kedalaman jurang antara diriku dan orang lain.

Bukannya itu cukup menakutkan?

Mungkin alasan di balik tindakan orang di depan mata kita dipengaruhi oleh motivasi dan emosi yang tidak bisa kita bayangkan.

Keinginan untuk berinteraksi dengan cara berpikir yang berbeda berarti juga ketakutan untuk tetap tidak mengetahuinya.

Sebenarnya, dari mana alasan tindakan manusia muncul...?

 

◇◇◇◇

 

Saat aku merenungkan hal-hal tersebut, tanpa sadar aku sudah berada di depan sebuah bangunan besar berwarna bata.

Menurut peta panduan yang aku terima di pintu masuk, bangunan di hadapanku bernama [Gedung Kuliah]. Mungkin ini adalah fasilitas khusus untuk mengikuti kuliah.

Ketika aku melihat sekeliling, aku melihat banyak bangunan dengan ketinggian yang serupa. Memang, ini adalah universitas nasional yang komprehensif. Menurut brosur, tidak hanya gedung kuliah, tetapi juga ada gedung penelitian, lembaga penelitian, perpustakaan, dan berbagai fasilitas lainnya. ...Apa perbedaan antara gedung penelitian dan lembaga penelitian, ya?

Nah, dari mana aku harus mulai melihat-lihat?

Saat aku mengangkat wajah dari peta panduan yang kupegang, pandangan mataku menangkap dua sosok yang keluar dari gedung kuliah. Seorang pria tua dan seorang wanita muda yang mengenakan jas. Aku merasa kalau sepertinya aku mengenali wanita itu.

Tatapan wanita berpakaian jas itu tiba-tiba mengarah ke arahku.

“Oh. Bukannya kamu Asamura Yuuta?”

Eh? Kenapa dia tahu namaku?

Wanita yang berjalan mendekat itu mengenakan jas berwarna ungu... ah, orang ini.

“Menunjukkan minat di sini, ya? Kamu memang memiliki selera yang baik. Kamu bisa menjadi mahasiswa angkatan pertama sekarang, loh.”

“Hah?”

Aku tidak mengerti apa yang dia katakan, tetapi orang ini...

“...Umm, kalau tidak salah Anda adalah dosen dari kampusnya Yomiuri-senpai...”

“Kudou Eiha.”

Dia segera mengulurkan tangannya, jadi aku secara refleks membalas dengan berjabat tangan.

Kudou Eiha... kalau tidak salah, dia adalah seorang dosen asosiasi. Dia seharusnya adalah seorang dosen etika di Universitas Wanita Tsukinomiya tempat Yomiuri-senpay berkuliah. Aku pernah bertemu dengan dosen ini dua kali. Pertama kalinya aku hanya mengintip saat dia berdiskusi dengan Yomiuri-senpai, jadi bisa dibilang aku tidak benar-benar “bertemu” dengannya.

Pertemuan kedua terjadi saat hari Halloween, dan pada saat itu aku secara tidak sengaja mengobrol dengannya sehingga wajah dan namaku dikenali oleh dosen ini.

“Ah, aku minta maaf jika aku beringkah terlalu akrab. Entah kenapa, aku sudah mendengar tentangmu beberapa kali dari Yomiuri-kun dan Ayase-kun, jadi aku merasa kalau kita sudah seperti teman lama.”

“Hahh”

Aku hanya menjawab dengan setengah hati. Rasanya sangat mengejutkan bahwa di universitas yang baru aku kunjungi, tiba-tiba ada seseorang menyapaku dan menjabat tanganku dengan rasa akrab.

Tunggu dulu, ini Universitas Ichinose, kan? Kudou-sensei seharusnya dari Universitas Tsukinomiya.

“Maaf mengganggu saat kalian sedang asyik, tapi sepertinya tidak baik berbincang-bincang di pintu masuk seperti ini, Kudou-kun.”

Seorang pria yang menunggu di belakang Kudou-sensei berkata demikian.

Ia tampak berusia lima puluhan atau mungkin sudah lebih dari enam puluh. Rambutnya hampir seluruhnya putih. Dengan jenggot putih yang megah, ia tampak seperti Sinterklas. Jika ia memegang tongkat, ia bisa dengan mudah menjadi penyihir agung dalam film fantasi. Sebenarnya, mengenakan jas membuatnya terlihat agak aneh. Kudou-sensei adalah wanita tinggi ramping, sedangkan pria ini sedikit lebih pendek dan kecil dibandingkan aku. Namun, saat matanya yang berada di balik kacamata tertuju padaku, aku merasa tubuhku secara alami berdiri tegak. Ada suasana pengamatan dalam tatapan lembutnya yang seolah-olah tidak ingin melewatkan apapun. Rasanya seperti sedang diperiksa dengan sinar-X atau mikroskop.

“Upss, sepertinya itu benar juga. Jadi, kamu akan membawaku ke tempat yang lebih cocok untuk berbicara, ‘kan, Sensei!”

Kudou-sensei tersenyum lebar kepada pria tua yang dipanggilnya sebagai Sensei.

Pria tua yang dipanggil sensei itu tersenyum kecut.

“Haha, kamu memang tidak berubah... Baiklah, aku akan mentraktirmu minum teh.”

“Yay!”

Ekspresi senang Kudou-sensei berubah menjadi tangisan beberapa menit kemudian.

“Sungguh kejam sekali. Ini namanya pengkhianatan, Mori-sensei.”

“Kalau minum teh, kita bisa ke ruang diskusi, ‘kan?”

“Aku sangat menantikan untuk minum kopi yang diseduh langsung oleh Sensei setelah sekian lama.”

“Sayangnya, aku kehabisan biji kopi. Hmm, ngomong-ngomong, setelah membawamu ke sini, aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya, tapi apa kamu punya rencana lain?”

“Ah, tidak ada──”

Aku menjawab sambil menatap panduan yang tertulis di pamflet.

“──Tidak apa-apa. Saya datang cukup awal, dan, eh, saya juga belum memutuskan mau melihat apa...”

Setelah mengatakannya, aku mengangkat wajahku.

Karena terjebak keadaan, aku terlibat dengan Kudou-sensei dan dibawa ke salah satu ruang istirahat di dalam gedung. Ruangan ini tertutup dinding, meskipun hanya ada mesin penjual otomatis dan mesin penyeduh teh, serta beberapa meja dan kursi yang berjejer. Rasanya, tempat ini agak mirip dengan “ruang istirahat” di sekolah SMA-ku.

Di meja bulat itu duduk Kudou-sensei, aku, dan seorang pria tua yang terlihat bijaksana yang berdiri di depan dan menunjukkan jalan. Kalau dipikir-pikir, ia belum memperkenalkan dirinya.

“Begitu. Jadi kamu memiliki pamflet itu, artinya kamu adalah siswa SMA yang ingin masuk universitas kami. Hmm, kalau tidak salah namamu Asamura Yuuta-kun, ‘kan? Kelas 3 dari SMA Suisei?”

“Ah, iya.”

Aku terkejut. Ia tidak hanya mengingat nama yang pernah disebutkan Kudou-sensei sekali, tetapi juga mungkin menebak sekolahku dari seragam yang aku kenakan.

“Aku adalah Mori.”

“Mori... Sensei?”

Ketika aku mengucapkannya dengan hati-hati, Mori-sensei mengangguk.

“Aku melakukan penelitian tentang sosiologi di sini.”

“Sosiologi...”

Aku buru-buru menatap pamflet itu. Eh... Di Universitas Ichinose ada fakultas Fakultas Bisnis, Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum... Fakultas Sosiologi. Ini dia.

Meskipun aku sudah melakukan sedikit riset sebelumnya, fakultas di universitas sangat banyak, jadi aku tidak bisa mengikuti semuanya. Selain itu, meskipun memiliki nama fakultas yang sama, isi penelitian bisa berbeda di setiap universitas. Namun, saat dia dengan santai mengatakan “melakukan penelitian” bukan “mempelajari” atau “mengajar,” aku merasakan bahwa ini adalah universitas. Ini bukan tempat untuk belajar, tetapi tempat untuk mengembangkan pengetahuan terdepan lebih jauh. Dari sedikit kata-kata ini, aku bisa merasakan perbedaan dengan sekolah SMA.

“Apakah nama Mori Shigemichi terdengar familiar bagimu, Asamura-kun?”

Setelah Kudou-sensei mengatakannya, aku berusaha keras mengingat-ngingat sesuatu, tetapi bagi seseorang yang bahkan tidak akrab dengan nama Fakultas Sosiologi, itu sama sekali tidak terlintas di pikiranku. Meskipun merasa canggung, aku lebih baik jujur daripada berpura-pura tahu.

“Eh... ah, maaf. Saya tidak pernah mendengarnya...”

“Hmm. Mori-sensei, sepertinya Anda harus lebih berusaha."

“Haha, jangan bicara sembarangan, Kudou-kun. Menurutmu ada berapa banyak peneliti di dunia ini? Seperti yang selalu kukatakan, manusia hanya bisa mengingat paling banyak tiga orang di bidang yang tidak mereka ketahui.”

“Bukannya itu terlalu sedikit?”

“Kalau begitu, Kudou-kun, sebutkan berapa banyak nama fisikawan yang kamu tahu?”

“Galileo, Newton, Einstein.”

“Itu sudah tiga orang. Nah, terus siapa lagi?”

“…………. Ak-Aku tidak tertarik.”

“Nah, ‘kan? Itu sudah tiga orang.”

“Ugh...”

“Asamura-kun, bagaimana denganmu?"

Mori-sensei mengalihkan perhatiannya ke arahku. Aku jadi teringat saat Kudou-sensei berdiskusi dengan Yomiuri-senpai di kafe. Apa semua dosen universitas seperti ini?

“Fisikawan, ya... Ada Kepler yang sezaman dengan Galileo. Lalu Laplace, Maxwell, Lorentz, Schrödinger, Heisenberg...”

“Oh, Heisenberg. Orang yang mencetuskan prinsip ketidakpastian itu! Aku tahu, aku tahu, Mori-sensei!”

“Memangnya kamu ini anak kecil apa?”

Ini adalah pertama kalinya aku melihat Kudou-sensei terlihat lesu. Ternyata dia juga bisa membuat wajah seperti itu. Selama ini aku mengira dia selalu percaya diri dan sok tahu... tidak, tidak.

“Nah, jika berbicara tentang fisikawan yang berhubungan dengan gerakan, dosen fisika pasti senang jika Kudo-kun tahu tiga nama yang kamu sebutkan. Asamura-kun, apa kamu tahu banyak tentang fisika?”

“Tidak, bukannya begitu...”

Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku mengingat nama-nama fisikawan tersebut dari membaca karya fiksi ilmiah. Iblis Laplace, Iblis Maxwell, kucing Schrödinger... semuanya adalah tema klasik dalam fiksi ilmiah.

“Kalau begitu, Asamura-kun, apa kamu bisa sebutkan nama-nama para sosiolog?”

Aku terdiam sejenak.

Sebenarnya, aku tidak akrab dengan kata ‘sosiologi.’

“Fufufu. Mori-sensei, aku bisa menjawabnya. Bukan hanya tiga orang, tapi bisa sampai tiga puluh orang!”

Kudou-sensei yang terlihat sombong membuat Mori-sensei kembali terlihat terkejut.

“Kalau tidak, apa yang telah kulakukan selama dua tahun ini?”

“Umm...”

Aku merasa jika aku tidak menyela di sini, pembicaraan akan berlanjut begitu saja, jadi aku berusaha keras untuk ikut campur.

“Hubungan Anda berdua itu…”

“Oh, maaf. Aku jadi meninggalkanmu. Sebenarnya, sekolah ini adalah almamaterku. Dan profesor Mori ini, Mori Shigemichi, adalah guru mentorku.”

Ternyata dia seorang profesor.

Tidak, lebih dari itu… guru mentor?

“Eh, bukannya Kudou-sensei mempelajari etika?”

“Itu terjadi setelahnya, ya. Hmm, karena kamu ada di sini, berarti kamu bingung tentang melanjutkan ke universitas, ‘kan?”

Dikatakan begitu, aku terdiam.

“Ah, eh... iya.”

“Hmm. Universitas bukanlah tujuan akhir, jadi kamu bisa memilih dengan lebih santai.”

Universitas bukanlah tujuan akhir.

Mendengar kata-kata itu untuk kedua kalinya membuatku terkejut.

“Dalam hal itu, contohnya mungkin bisa menjadi referensi. Mari aku ceritakan sedikit. Oh, sebelum itu… Mori-sensei, aku masih haus, jadi bolehkah kau mentraktirku lagi?”

“Baiklah, baiklah. Aku juga berencana untuk minum lagi. Mana…”

“Ah, biar aku yang menuangkan.”

“Kamu kan sedang berbicara. Ayo, teruskan saja ceritamu. Aku akan menyiapkan minumannya. Asamura-kun, bagaimana denganmu?”

Aku menatap cangkir di depanku.

Cairan cokelat itu masih tersisa lebih dari setengahnya. Sejujurnya, duduk di depan dosen dan profesor yang jauh lebih tua dariku, meskipun aku suka kopi, aku hanya bisa sedikit-sedikit meminumnya. Lagipula, apa baik-baik saja jika aku ditraktir?

“Sa-Saya baik-baik saja.”

Setelah menjawab demikian, profesor Mori berdiri dengan susah payah dan berjalan menuju mesin penjual otomatis.

Wajah Kudou-sensei yang mengantarkan gurunya tampak canggung.

“Waduh. Sepertinya aku terlalu manja, ya.”

Dia terlihat seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang berbuat nakal.

Dalam sekejap, wajah canggungnya hilang, dan Kudou-sensei kembali menatapku.

“Jadi, tentang pembicaraan sebelumnya...”

Peralihan suasana hatinya begitu cepat.

“Aku tidak tahu apakah ini bisa menjadi referensi—”

Kudou-sensei mulai bercerita.

 

◇◇◇◇

 

Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Manusia Terpadu, Universitas Ichinose.

Jurusan yang terlihat sulit dengan banyak kanji. Di situlah tempat asal Kudou Eiha.

Pertama-tama—apa itu sosiologi?

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat.

Jika diungkapkan seperti itu, rasanya terdengar seperti pertanyaan makna kehidupan, tetapi pada intinya memang begitu. Objek utama penelitiannya adalah [masyarakat itu sendiri] dan [fenomena sosial]. Mempelajari bagaimana masyarakat terbentuk, bagaimana mereka berubah, serta memahami realitas fenomena sosial dan hubungan sebab akibat dari fenomena tersebut adalah misi yang diemban oleh sosiologi—begitulah penjelasan yang kudengar dari Kudou-sensei.

Aku tidak mengetahui apa itu benar atau tidak, tapi untuk saat ini, aku akan menerimanya seperti itu.

“Dengan kata lain, sosiologi adalah ilmu yang berkaitan dengan masyarakat, yang juga bisa dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tentang manusia. Masyarakat adalah kumpulan manusia. Fenomena sosial pada dasarnya adalah hasil dari akumulasi perilaku individu, bukan?”

Kudou-sensei mengambil napas sejenak. Dia mencoba meneguk sisa kopinya—dan karena sisa kopi itu sangat sedikit, dia menjilati ujung lidahnya. Setelah menatap dasar cangkir dengan penuh harapan, dia melanjutkan.

“Setiap manusia bertindak berdasarkan kehendak bebasnya masing-masing. Namun, di dalam masyarakat, tindakan tersebut terakumulasi menjadi fenomena sosial. Kita sering mendengar istilah 'booming' atau 'tren'.”

“Sama seperti psikohistori karya Asimov, ya?”

“Oh, luar biasa, seorang pembaca sejati bisa langsung menyebutkan nama besar dalam fiksi ilmiah.”

Mendengar pujian dari seorang dosen, aku merasa ingin bersikap merendah. Psikohistori yang dimaksud di sini adalah ilmu fiksi yang diusulkan oleh penulis fiksi ilmiah Asimov. Dia memikirkan ini sebagai analogi dari gerakan molekul gas. Masing-masing molekul gas bergerak secara acak, tetapi secara keseluruhan, gas tersebut memiliki kecenderungan gerakan tertentu. Dengan cara yang sama, individu-individu bergerak secara acak, tetapi masyarakat secara keseluruhan dapat menunjukkan perilaku tertentu—seperti itulah penjelasannya.

“Sosiologi menyelidiki bagaimana fenomena sosial terbentuk dan apa penyebabnya, tapi aku lebih tertarik pada perilaku individu yang mendasarinya dan motivasi di balik tindakan tersebut.”

Oh, jadi begitu, itulah sebabnya…

“Sebetulnya, semuanya bermula dari buku tentang 'Dilarang untuk dilihat' yang aku ketahui saat SMA.”

“Ah… tentang mitos, ya?”

Dalam mitos, ada pola-pola serupa yang muncul di berbagai budaya, salah satunya adalah ketika tokoh utama jatuh ke dalam tragedi karena melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihat. Hal semacam itu disebut 'Dilarang untuk dilihat'.

“Saat aku masih SMA… jadi, itu sekitar waktu yang sama dengan usiamu sekarang, Asamura-kun. Pengetahuan yang aku dapatkan dari buku yang aku baca saat itu, dan aku mengingatnya saat di universitas. Lalu, aku mulai tertarik pada mengapa orang melanggar larangan itu dan melihatnya.”

Ketika dia berkata “mulai tertarik,” aku merasa itu terdengar seperti hal yang buruk.

“Dan dengan pengetahuan yang aku ajarkan, Kudou-kun pergi berkuliah untuk mengikuti program pascasarjana di Universitas Tsukinomiya.”

“Nah, ini.” kata Profesor Mori dengan nada kecewa sambil meletakkan kopi yang telah diseduh di depan Kudou-sensei. 

“Aku sangat berterima kasih kepada Anda, Mori-sensei.” 

“Sungguh disayangkan. Kamu adalah bakat yang luar biasa untuk bidang sosiologi, dalam berbagai hal.”

“Itu bukan pujian, ‘kan?”

“Jika kamu ingin dipuji, segera kirimkan makalah berikutnya. Seorang peneliti harus—”

Terbitkan atau binasa.” 

Ketika Kudou-sensei menjawab dengan suara datar, Profesor Mori tersenyum lebar.

Menerbitkan atau binasa—tulislah makalah. Jika tidak, kamu akan binasa.

Untungnya, aku mengingat kalimat itu karena pernah muncul dalam manga yang aku baca. Namun, aku tidak menyangka akan melihatnya secara langsung.

Kudou-sensei menghela napas dan berkata padaku, 

“Jadi, itulah sebabnya aku memutuskan untuk melanjutkan ke program pascasarjana di Universitas Tsukinomiya dan mempelajari etika setelah lulus.”

Dia masih bersyukur atas pengalaman di seminar Mori di Universitas Ichinose, dan ketika mengalami kebuntuan dalam penelitian, dia sering berkonsultasi dengannya. 

Lebih dari sekadar mengerti alasan dia ada di sini, aku lebih terkejut bahwa Kudou-sensei juga mengalami kebuntuan. 

“Jadi, aku adalah orang yang telah mengubah arah hidupku secara besar-besaran di universitas. Dan penyebabnya bisa ditelusuri dari masa SMA.” 

“Begitu…ya...”

“Jika dipikir-pikir, tidak aneh jika aku sudah bercita-cita untuk mempelajari etika sejak SMA, tetapi mungkin saat itu belum saatnya.”

Ketika mendengar perkataan Kudou-sensei, aku mulai merenung. 

Belum saatnya, ya…

Meskipun begitu, itu mungkin berkat pembelajaran di universitas, bukan?”

Profesor Mori berkata dengan suara lembut dan tatapan ramah.

Aku merasa bahwa mereka memiliki hubungan guru-murid yang baik. 

“Ngomong-ngomong, bagaimana Anda bisa mengetahui bahwa saya kelas tiga?”

Meskipun aku mengerti bagaimana ia bisa mengingat namaku dan mengenali seragam sekolahku, aku masih tidak mengerti bagaimana ia bisa tahu bahwa aku kelas tiga. Seharusnya, ada banyak siswa kelas dua yang datang ke acara kampus terbuka pada waktu seperti ini. Berapa banyak siswa kelas tiga yang datang setelah bulan September…? Namun, bagaimana ia bisa menebak bahwa aku kelas tiga?

“Yah, karena Kudou-kun bilang bahwa kamu bisa menjadi angkatan pertama,” jawab Profesor Mori.

Setelah mendengar itu, aku jadi teringat kata-kata Kudou-sensei sebelumnya. 

“Menunjukkan minat di sini, ya? Kamu memang memiliki selera yang baik. Kamu bisa menjadi mahasiswa angkatan pertama sekarang, loh.”

—Oh, yang itu ya. Dia memang mengatakan hal seperti itu. 

“Jadi, itu berarti kamu mungkin adalah calon siswa yang akan datang ke sekolah kami tahun depan. Kalau begitu, kamu pasti siswa kelas tiga tahun ini, ‘kan? Yah, meskipun ada kemungkinan kamu adalah siswa yang mengulang tahun, tetapi sepertinya tebakan itu benar.”

Profesor Mori menjelaskan alasannya dengan santai, tetapi aku masih bingung dengan apa yang dimaksud. 

Angkatan pertama? 

Kudou-sensei kemudian berkata padaku.

“Dilihat dari raut wajahmu, sepertinya kamu benar-benar datang ke sini tanpa menyadarinya. Namun, menurutku ini kesempatan bagus, Asamura Yuuta-kun. Di sini ada fakultas yang sepertinya akan menarik minatmu yang akan dibuka tahun depan.”

“Fakultas baru, ya…?”

Baru pertama kalinya aku mendengar hal tersebut. Tunggu, hal itu sudah tertulis di pamflet.

“…Apa jangan-jangan ini yang dimaksud? 'Fakultas Ilmu Data Sosial'

Istilah yang tidak familiar ini muncul setelah jurusan sosiologi yang sudah tidak kukenal. Ilmu Data Sosial…?

Apa itu?

“Setelah mendengar pernyataanmu, aku akhirnya bisa memahami bahwa kamu benar-benar tidak tahu. Jadi, bukan itu yang kamu cari, ya?”

Aku hanya jawab mengangguk ketika Kudou-sensei berkata begitu.

“Kira-kira itu fakultas apa?”

Ketika aku bertanya kepada Kudou-sensei, dia dengan terang-terangan terlihat gelisah.

“Sebaiknya kamu bertanya kepada Mori-sensei yang baru saja mendapat pekerjaan di fakultas baru itu.”

“Tidak, tidak, Kudou-kun, aku juga ingin mendengar penjelasan darimu.”

Kudou-sensei langsung menjadi kaku, dia jelas-jelas merasa tertekan. Ternyata, bahkan bagi Kudou-sensei, menjelaskan di hadapan mentornya sendiri adalah hal yang membuatnya gugup.

“Ehm… aku, ya?"

“Kalau kamu pernah berada di seminarku, kamu pasti cocok. Itu dalam lingkup yang pernah aku ajarkan padamu.”

Meskipun ekspresinya terlihat ceria, tapi tatapan matanya tidak menunjukkan senyuman. Itu sedikit menakutkan.

“Baiklah, aku mengerti. Aku akan mencobanya. Ehm, jadi…”

“Ya.”

Saat aku menunggu dengan sabar, Kudou-sensei berdehem pelan untuk membersihkan tenggorokannya dan mulai berbicara setelah berkata, “Pertama-tama, aku perlu menjelaskan tentang istilah 'Ilmu Data'. Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar istilah itu, Asamura-kun?”

“Matematika atau… mungkin statistik?”

Kudou-sensei tampak lega dengan senyuman.

“Ya, itu bagus. Tentu saja, matematika dan statistik termasuk di dalamnya. Pembelajaran mesin, pemrograman… jadi, pada dasarnya, itu adalah metode untuk menganalisis dan mengevaluasi data...”

“Saya mengerti.”

Meskipun aku tidak terlalu memahaminya secara mendalam, tapi aku memahami konsepnya.

“Aku ingin kamu memikirkan itu sebagai ilmu yang menggunakan berbagai metode untuk menemukan aturan atau pola yang tersembunyi dalam data yang sangat besar.”

Aku berusaha mencerna perkataan Kudou-sensei beberapa kali di dalam kepalaku sebelum mengangguk.

“Apa sampai sini kamu bisa mengikutinya?”

“Ya.”

“Nah, itu adalah versi sosialnya. Oleh karena itu, 'Fakultas Ilmu Data Sosial'.”

“Ya.”

Ketika aku terus melakukan kontak mata dengannya, entah kenapa dia mengalihkan pandangannya.

“Ehm, itulah sebabnya…”

“…”

“Itu adalah versi sosialnya, oke?”

Kenapa malah berubah jadi tanda tanya?

“Eh?”

Apa penjelasannya sudah berakhir?

“Sudah kubilang…”

“Sa-Saya mengerti. Jadi, itu adalah ilmu yang menerapkan data ke dalam sosiologi… bukan?”

“Tepat sekali!”

Meskipun dia tersenyum bangga pada saat itu.

Yare, yare, Setelah mengangkat bahunya, Profesor Mori menyesap kopinya dalam-dalam.

“padahal kamu berani menantangku dalam berdebat, tapi kenapa kamu malah begitu lemah di depan junior?”

“Bukan itu alasannya.”

Kurasa dia mencoba untuk mengatakan tidak.

Namun, dia mengucapkan kata-kata itu dengan ragu-ragu. Memang, sebagai seseroang yang telah melihat Kudou-sensei berdebat dengan para mahasiswanya dengan sangat baik, jarang sekali dia menjadi tidak percaya diri seperti ini. Sepertinya dia berbisik bahwa dia akan lebih baik jika tidak dilihat oleh mentornya.

Aku merasa bisa mengerti perasaannya.

Meskipun Profesor Mori terlihat seperti Kakek Sinterklas, tatapannya menunjukkan bahwa dia tidak akan melewatkan sedikit pun kelemahan lawan di depannya, bahkan tidak sampai satu mikron.

“Yang namanya sosiologi itu, Asamura-kun,”

Sepertinya dia memutuskan untuk berbicara sendiri daripada mempercayakannya kepada muridnya.

“Itu adalah ilmu sejarah yang mempelajari keadaan dan aliran masyarakat secara keseluruhan. Di sini, kami menggabungkannya dengan ilmu data, disiplin terbaru yang menekankan pada statistik dan data.”

“…Jadi begitu?”

“Departemen yang baru didirikan ini akan melakukan penelitian dan pendidikan yang──sambil memanfaatkan pengetahuan sosiologis── akan dapat memecahkan berbagai masalah yang terjadi di masyarakat, seperti politik dan bisnis, dengan menggunakan dan menganalisis sejumlah besar data yang terkumpul di dunia nyata setiap hari. Proyek ini juga dirancang untuk memberikan pendidikan untuk tujuan ini.. Ini adalah fakultas yang dibuat untuk beradaptasi dengan era baru yang menggabungkan ilmu humaniora dan sains… itulah Fakultas Ilmu Data Sosial.”

Karena penjelasannya sedikit lebih panjang, jadi penuturan dari Profesor Mori lebih mudah aku pahami.

“Sebenarnya, adda banyak peneliti di bidang sosiologi yang sudah menekankan data dan melakukan penelitian berdasarkan statistik. Mungkin bisa dibilang ini lebih memperjelas itu.”

“Ehm, apa itu juga termasuk diri Anda, Profesor?”

Profesor Mori menyipitkan matanya di balik kacamatanya dan mengangguk ketika aku memberanikan diri bertanya padanya.

“Aku juga termasuk salah satu orang yang sangat memperhatikan data dan statistik di antara para sosiolog lainnya. Jadi, ini adalah perpindahan yang alami.”

Jadi, itu sebabnya dia menjadi bagian dari fakultas yang baru dibuka.

Kudou-sensei yang mendengarkan dengan diam tiba-tiba tersenyum.

“Nah, kamu pasti berpikir kalau itu menarik, iya ‘kan?”

Tepat sekali. Aku memang sedikit tertarik.

Namun, aku berpikir dengan hati-hati.

Jika berasumsi bahwa melalui penelitian di universitas aku bisa memahami ‘masyarakat’, lantas bagaimana hal itu bisa berguna di dunia nyata? Tentu saja, universitas adalah lembaga penelitian, jadi aku mengerti bahwa penelitian itu penting. Namun, aku mungkin bukan tipe orang yang cocok menjadi peneliti. Tapi jika ada makna untuk mempelajarinya…

Sekalipun dikatakan bahwa kami bisa mengatasi tantangan bisnis, apa sebenarnya logika di balik 'Ilmu Data Sosial' sebagai solusi? Dan apa itu bisa diterapkan di bidang lain selain bisnis?

Aku memutuskan untuk mengambil risiko dan bertanya kepada profesor yang ada di hadapanku.

“Ehm…”

Tatapan mata di balik kacamatanya itu menatapku.:

Punggungku sedikit terasa dingin. Ekspresi profesor tampak tersenyum, tetapi jika aku menunjukkan sedikit pengetahuan yang dangkal, sepertinya ia akan segera menginterupsi.

“Anda mengatakan bahwa itu berkaitan dengan penyelesaian masalah di bidang politik dan bisnis…”

“Ya, betul. Pertama-tama—sepertinya begitu. Aku mempercayai bahwa di masa depan, itu bisa diterapkan untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial dalam masyarakat.”

“Menyelesaikan semua masalah sosial… maksudnya secara konkret bagaimana?"

“Hmm. Misalnya, bagaimana seharusnya pendekatan sosial terhadap fenomena 'perceraian'?”

“Eh, perceraian…?"

Perceraian.

Ketika pasangan suami istri berpisah.

Tidak, aku mengerti arti kata tersebut. Namun, begitu kata itu mencapai otakku, aku menyadari kalau ekspresiku seketika menjadi kaku. Secara tidak sadar, pernapasanku menjadi dangkal. Aku merasakan keringat mengalir di dahi dan ketiakku.

Aku merasa kalau Profesor Mori melirik ke arah Kudou-sensei.

“Hmm. Karena ini topik yang sensitif, jadi aku ingin menegaskan bahwa ini bukan pertanyaan yang didasari rasa ingin tahu semata.”

“Ah, ya.”

Profesor Mori menatap mataku sambil memilih kata-katanya dengan hati-hati.

“Menurutmu, fenomena perceraian ini termasuk masalah individu atau masalah sosial?”

Aku tidak segera memahami maksud pertanyaannya.

Aku merasa kalau aku sudah mengulang kata-kata Profesor Mori di dalam kepalaku mungkin tiga kali. Sejak awal, ia tidak hanya mengatakan “perceraian”, tetapi “fenomena perceraian”, yang pasti ada maksudnya.

“Bolehkah saya memastikannya dulu? Menganggap perceraian sebagai fenomena, maksudnya adalah menangkapnya sebagai fenomena sosial, bukan?”

Meskipun aku menjawabnya dengan pertanyaan, senyum kecil muncul di bibir Profesor Mori.

“Itu benar.”

Namun, itu…

“Bukannya pertanyaannya itu sendiri termasuk aneh?”

“Mengapa kamu berpikir begitu?”

“Menurut saya, perceraian adalah masalah individu. Hal tersebut berkaitan dengan sifat dan perilaku masing-masing orang yang bersangkutan. Saya pikir itu adalah hasil dari kesalahpahaman antara mereka yang mengarah pada perceraian.”

“Baiklah, mari kita ubah sedikit bentuk pertanyaannya. 'Peningkatan angka perceraian' adalah salah satu masalah sosial yang muncul dalam data terbaru di masyarakat Jepang, bukan?”

“Iya… eh? Ah.”

Setelah mengatakannya, aku baru menyadarinya.

Aku membuka mulut lebar-lebar karena terkejut dengan hal itu. Profesor Mori menambahkan kata-kata dengan santai.

“Dan sekarang kamu dengan tanpa ragu menerima bahwa itu adalah 'masalah sosial', kan?”

Ini bukan sekadar mencari-cari kesalahan…

Dengan mengubah ungkapan pertanyaannya, beliau menyadarkan pemahamanku dan menunjukkan bahwa [fenomena perceraian] juga dapat dipandang sebagai masalah sosial.

“Jika diungkapkan seperti itu… sepertinya itu memang menjadi masalah sosial.”

Kudou-sensei menyedot kopi dengan suara (biasanya, dia adalah orang yang tidak membuat suara, jadi ini mungkin isyarat bahwa dia ingin aku mendengarnya) dan menungguku menatapnya sebelum membuka mulut.

“Asimov, itu Asimov.”

Ah.

Oh, benar juga. Kami pernah membahas hal itu tadi.

Setiap individu bertindak berdasarkan kehendak bebas mereka masing-masing. Namun, dalam masyarakat, tindakan tersebut terakumulasi dan menjadi fenomena sosial.

Meskipun setiap perceraian didasarkan pada kehendak bebas individu, tindakan yang terakumulasi dalam masyarakat dapat dipandang sebagai satu fenomena sosial.

Profesor Mori tersenyum sambil melihat muridnya yang memberikan petunjuk.

“Nah, cerita sensasional di media tentang '30% pasangan yang menikah bercerai!' tidak benar-benar menangkap inti permasalahannya. Itu hanya membandingkan jumlah pernikahan dan perceraian terbaru. Pasangan yang baru menikah tidak serta merta bercerai, dan meskipun jumlah perceraian tahun itu stabil, jika jumlah pernikahan menurun, maka rasio perceraian akan meningkat.”

Ia berbicara dengan begitu cepat sehingga membuatku harus memaksa otakku untuk berpikir keras.

“Apa angka perceraian sebesar 30% yang sering disebut itu benar-benar angka yang aneh?”

“Angka-angka itu melihat rasio antara jumlah pernikahan dan perceraian setiap tahun. Apa kamu mengerti bahwa itu terlalu sederhana dan aneh?”

“Ehm…”

Mari kita ingat baik-baik kata-kata yang baru saja diucapkan Profesor Mori.

Pasangan yang baru menikah tidak serta merta bercerai—bukan?

Mungkin itu benar.

Jika kita mengasumsikan bahwa masyarakat memengaruhi pernikahan dan perceraian.

Meskipun itu pada akhirnya mengarah pada pernikahan atau perceraian, umumnya, waktu yang dibutuhkan untuk mengenal satu sama lain hingga menikah lebih pendek dibandingkan waktu yang dibutuhkan pasangan untuk bercerai. Sebagian besar usia pernikahan terjadi di awal kehidupan, sementara perceraian bisa terjadi dari setelah pernikahan hingga akhir kehidupan. Artinya, meskipun ada pengaruh dari masyarakat terhadap penyebab pernikahan dan alasan perceraian, waktu pengaruh tersebut pasti berbeda.

Jika demikian, seberapa berarti pernyataan seperti “tahun ini 30% bercerai!”? Hanya membandingkan jumlah pernikahan dan perceraian dalam satu tahun tidak memiliki banyak makna.

Mari kita pikirkan dengan lebih sederhana.

Misalnya—.

Tahun lalu, ada 10 pasangan yang menikah. Dua pasangan bercerai. Dalam hal ini, persentase pasangan yang bercerai berarti 20%.

Tahun ini, jumlah perceraian tetap dua pasangan. Namun, hanya ada delapan pasangan saja yang menikah. Dalam hal ini, dua dari delapan pasangan yang bercerai berarti mencapai 25%.

Meskipun jumlah perceraian setiap tahunnya tidak meningkat, tapi jika jumlah pernikahan menurun, maka rasio perceraiannya akan terlihat meningkat.

Dari situ, hanya dengan melihat rasio jumlah pernikahan dan perceraian setiap tahun, kita tidak bisa mengetahui apakah perceraian meningkat atau menurun. Apalagi, kita tidak bisa mempertimbangkan alasan sosial apa yang ada di baliknya.

“Tapi, bagaimana cara kita bisa melihat angkanya dengan baik?”

“Itulah mengapa ada yang disebut 'rasio perceraian'.”

“Rasio perceraian… maksudnya adalah persentase perceraian, ‘kan?”

“Bukan. Dalam data statistik, yang disebut angka perceraian bukanlah suatu rasio. Itu adalah jumlah perceraian per 1000 orang. Jika dijelaskan lebih rinci, itu adalah jumlah pengajuan perceraian tahunan dibagi dengan jumlah populasi, lalu dikalikan 1000.”

Jumlah… ya.

Ah, jadi begitu rupanya. Aku mulai mengerti.

“Untuk melihat apakah perceraian meningkat di dalam masyarakat, kita perlu menggunakan angka-angka yang lebih langsung, bukan rasio antara jumlah pernikahan dan perceraian, tapi melihat apakah ada peningkatan dalam kelompok tersebut.”

Setelah aku mengungkapkan hasil pemikiranku, profesor mengangguk dengan wajah senang.

“Dari contoh ini, kamu bisa memahami bahwa saat melihat data, kita perlu berhati-hati, bukan? Itulah yang namanya analisis dan pengolahan data. Jadi, apa kamu juga mulai memahami seberapa pentingnya mempelajari ilmu data dalam bidang sosiologi?”

“Iya.”

Apa-apaan ini? Rasanya menarik sekali. Hanya dengan melihat angka saja sudah menarik, apalagi bagaimana cara melihatnya untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Cara memotong data juga bisa dieksplorasi. Menciptakan cara baru untuk melihat data yang sangat besar juga merupakan bagian dari penelitian.

“Aku… Ah, saya—”

“Haha. Kamu belum menjadi mahasiswa di sini, jadi kamu tidak perlu berbicara dengan terlalu formal. Dibawa santai saja.”

“Tidak, itu tidak…”

Di depan profesor yang berusia sekitar enam puluh tahun, aku tidak bisa merasa cukup percaya diri untuk memanggil diriku “Ore-sama.”

“Ehm, saya selalu menganggap perceraian hanyalah masalah pasangan suami sitri, tetapi menurut penjelasan Anda, itu bukan hanya tentang karakter atau nilai individu, melainkan ada penyebab yang mungkin tidak terhindarkan karena struktur dan sistem sosial, bukan?”

Penyebab yang mengarah pada perceraian, ya.

Mengingat perceraian orang tuaku, aku merasakan sakit seperti ditusuk jarum di hatiku.

Pertengkaran setiap malam, suasana dingin di rumah, makanan yang tidak terasa, lembaran pengumuman hari orang tua yang terletak di meja tanpa pernah dilihat… Kenangan-kenangan itu mulai muncul, dan aku berusaha keras untuk menyembunyikannya saat aku memikirkannya.

Hasil dari kehendak bebas individu mencerminkan kecenderungan sosial.

Aku mengerti hal ini.

Meskipun setiap orang memiliki kesukaannya masing-masing terhadap isian onigiri, tapi jika melihat data penjualan, isian tuna dan mayo adalah yang paling banyak, maka bisa dikatakan bahwa manusia cenderung menyukai tuna dan mayo—mungkin seperti itu.

Namun, apa sebenarnya arti dari kebalikannya, yaitu bahwa masyarakat itu sendiri yang mempengaruhi pengambilan keputusan individu?

Dengan kata lain, masyarakat yang mengalami peningkatan perceraian adalah masyarakat yang menjadi “rawan bercerai”…

 

◇◇◇◇

 

Dari situ, Profesor Mori dan Kudou-sensei mulai menyampaikan berbagai cerita denganku.

Ada banyak alasan yang dapat menyebabkan perceraian.

Misalnya, jam kerja. Kapan seseorang bekerja. Seberapa banyak mereka bekerja. Perbedaan ritme kehidupan yang dihasilkan bisa berujung pada perceraian.

Apakah ada perawatan? Apakah mereka tinggal bersama orang tua? Apakah mereka mempunyai anak? Frekuensi makan. Isi makanan. Waktu penggunaan media sosial. Jenis hiburan. Frekuensi hubungan seksual.

Berbagai faktor ini pasti saling terkait. Ada data yang mudah dikumpulkan dan ada yang sulit. “Bagaimanapun juga, yang terpenting adalah mengumpulkan data dasar tersebut terlebih dahulu dan kemudian mengklasifikasikannya”, kata Profesor Mori.

“Klasifikasi, ya?”

“Semua ilmu pengetahuan dimulai dari sejarah alam. Mengumpulkan, memisahkan, memberi nama.”

Setelah klasifikasi selesai, kita mencari aturan yang tersembunyi di baliknya.

Apakah ada kaitannya dengan hukum? Apakah ada hubungannya dengan berita? Apakah pendidikan juga berperan? Apakah agama ikut berperan? Apakah teknologi baru berperan?

Ada banyak hipotesis yang bisa muncul.

“Seiring berkurangnya kesenjangan gaji antara pria dan wanita, ketergantungan kepada pria sebagai pencari nafkah menurun, dan ketakutan akan penurunan pendapatan menjadi lebih sedikit, sehingga hambatan untuk memilih perceraian menjadi lebih rendah.”

 Atau,

“Sebagai akibat persaingan bebas di kantor pengacara, iklan yang mendorong konsultasi perceraian menjadi semakin bermunculan, sehingga orang-orang yang sebelumnya merasa enggan untuk melakukan proses perceraian kini mulai menggunakan jasa pengacara.”

“Itu juga berkaitan dengan etika yang sedang diteliti oleh Kudou-kun.”

“Yah, secara pribadi, aku lebih menikmati melihat keadaan pribadi individu daripada data sosiologis. Namun, etika sosial berubah seiring waktu. Dan perilaku manusia, sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh etika yang dibentuk oleh masyarakat tersebut.”

Kudou-sensei mengatakan bahwa ini bukanlah teori konspirasi bahwa pikiran masyarakat dimanipulasi secara sewenang-wenang, melainkan sebuah fenomena yang merupakan hukum alam.

“Jika rasa etika yang menghindari perceraian berkurang, maka perceraian mungkin akan meningkat.”

“Jadi begitu.”

“Yah, masih perlu ada diskusi lebih lanjut mengenai apakah perceraian seharusnya dihindari atau tidak.”

Ciri khas Kudou-sensei ialah dia berusaha memahami pengertian etika itu sendiri dalam wujudnya yang sebenar-benarnya.

Bagaimanapun juga, kata Profesor Mori.

Dengan mengumpulkan data dan mencari hubungannya, serta mendalami berbagai aspek, kita mungkin bisa melihat apa yang menjadi penyebabnya.

Dengan cara ini, menguraikan akar masalah sosial berdasarkan data dan memberikan saran kepada pemerintah atau lembaga publik adalah salah satu peran Profesor Mori.

“Aku ingin mengingatkannya terlebih dahulu bahwa meskipun masalah sosial bisa teratasi, bukan berarti masalah individu akan hilang secara bersamaan. Meskipun tingkat perceraian menurun, bukannya berarti aku atau orang-orang di sekitarku dapat menghentikan perceraian. Sosiologi adalah ilmu yang menangani masyarakat, jadi tidak dapat menyelesaikan masalah individu.”

“Itu… ya, benar.”

“Meskipun demikian, aku percaya bahwa di balik kelompok besar yang disebut masyarakat, ada aturan yang menggerakkan masyarakat tersebut, dan aku ingin mengetahuinya. Dan aku berharap wawasan tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat.”

Profesor tua dengan janggut putih itu berkata sambil menyipitkan matanya di balik kacamata.

“Selain itu, mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak kita ketahui adalah kebahagiaan yang murni. Bukannya kamu sepakat?”

Aku tidak bisa menahan diri untuk mengangguk.

Rasa penasaranku benar-benar terpicu. Aku ingin mengetahuinya, pikirku.

Mungkin karena orang tuaku bercerai, aku sudah lama tertarik pada aspek pribadi dari hubungan antar manusia yang tidak dapat bertahan selamanya dan bagaimana ikatan tersebut bisa terputus. Perubahan perasaan manusia sering kali diekspresikan dalam novel.

Namun, aku belum pernah belajar tentang aspek sosialnya.

Aku ingin mengetahui lebih banyak tentang hal ini, dan memiliki perspektif makro untuk memahami kecenderungan manusia sepertinya akan bermanfaat, tidak peduli pekerjaan apa yang aku ambil di masa depan nanti.

Kudou-sensei tersenyum lebar.

“Bagaimana menurutmu, Asamura Yuuta-kun? Sepertinya 'Fakultas Ilmu Data Sosial' akan menjadi fakultas yang menarik, bukan?”

“Ya, mungkin.”

“Ya, ya. Silakan datang dan belajar di sini.”

“Kenapa kamu, yang dari universitas lain, malah lebih bersemangat merekomendasikannya…”

Profesor Mori berkata dengan nada terkejut atas ajakan muridnya.

“Tentu saja, sebagai murid didikan Mori-sensei, wajar-wajar saja untuk mengedepankan sensei. Jika di Universitas Ichinose, tidak ada masalah dengan reputasi universitas. Peluang kerja juga akan meningkat. Lihat, tidak ada kekurangan sama sekali.”

“Jadi, apa motivasimu yang sebenarnya?”

“Karena sepertinya pacarnya akan datang ke universitasku. Jika dia datang ke sini, aku bisa mengamati pasangan ini selama empat tahun.”

“…Kamu terus saja mengatakan hal-hal yang bisa membuat etika menangis, ya.”

Senyum Profesor Mori berubah menjadi senyuman pahit, dan beliau memandangku dengan tatapan iba.

Meskipun begitu, aku mulai tertarik pada materi yang akan dipelajari.

Baru pertama kalinya aku begitu tertarik pada ilmu pengetahuan sejauh ini. Aku tidak yakin apa aku bisa diterima atau tidak, karena ini adalah fakultas yang sulit, tapi fakultas yang akan dibuka ini sudah menjadi tempat yang sangat menarik bagiku. Dan yang terpenting, aku sudah merasa ‘aku ingin mendengar lebih banyak’ dari profesor di hadapanku ini.

“Saya juga berpikir kalau ini menarik.”

“Bagus, bagus, itu berarti kamu akan belajar di bawah bimbingan Profesor Mori. Jadi, aku akan menjadi kakak seperguruanmu. Aku berharap kita bisa terus bekerja sama ya, adik seperguruan.”

Apa sih yang dia katakan? Padahal aku belum tentu diterima atau tidak. Aku pun tertawa pahit. Namun, jika memang itu yang terjadi, itu akan menjadi hubungan yang cukup rumit, karena mentor Yomiuri-senpai menjadi kakak seperguruanku.

 

◇◇◇◇

 

Langkah kakiku dalam perjalanan pulang terasa ringan.

Selama perjalanan menggunakan kereta, aku terus memikirkan pembicaraanku bersama Profesor Mori dan merenungkannya.

Tindakan pribadi seseorang terakumulasi dalam masyarakat, dan terkadang muncul sebagai kecenderungan tertentu—sebagai fenomena sosial, yang kemudian memberikan umpan balik kepada individu dan memengaruhi perilaku mereka.

Jika diringkas, itulah yang diberitahukan kepadaku.

Meskipun itu terdengar jelas, aku belum pernah melihat acara pribadi seperti “pernikahan” atau “perceraian” dari sudut pandang tersebut.

Itu juga merupakan salah satu dari “cara pandang baru” yang kusukai.

Aku merasa seolah-olah ada kabel yang terhubung di dalam kepalaku dan membentuk sirkuit baru.

Setelah itu, aku berjalan-jalan di kampus universitas dan mengikuti acara kampus terbuka.

Aku juga menonton video pengenalan setiap fakultas, tetapi entah mengapa, mungkin karena perubahan perspektifku, semuanya terasa lebih menarik. Aku ingin melihat kembali universitas yang pernah aku kunjungi dengan sudut pandangku yang sekarang. Meskipun sebenarnya aku tidak mempunyai banyak waktu untuk itu.

Aku berpikir untuk setidaknya membaca kembali materi yang ada.

Jika aku masih tertarik pada universitas ini, aku ingin menjadikannya sebagai pilihan utamaku. Aku mendapati diriku merasa begitu.

Aku juga harus berterima kasih kepada Maru. Tiga hari berkeliling acara kampus terbuka ini sebenarnya berasal dari ide ‘tuliskan isi pikiranmu di atas kertas.’

Ketika aku turun di stasiun Shibuya dan melihat aliran orang yang sangat banyak keluar dari gerbang, aku samar-samar berpikir sambil terhimpit oleh aliran itu. Aliran orang yang tampaknya mengalir tanpa tujuan. Namun, jika dilihat dari atas, mungkin ada pola dalam aliran tersebut. Seolah-olah ada “jalur”—garis imajiner yang menggambarkan pergerakan orang dan barang di dalam bangunan.

Orang-orang yang berkeliaran mencari makanan, mereka yang berjalan cepat menuju rumah yang nyaman, dan orang-orang yang menjelajahi fasilitas hiburan untuk bersenang-senang.

Demi menarik perhatian orang-orang tersebut, ada banyak signage digital yang membentang di dinding bangunan dan poster-poster berwarna-warni. Beberapa orang mengabaikannya, sementara yang lain terpesona dan mengubah arah mereka. Suara yang mengundang, suara yang membimbing, musik yang membangkitkan semangat—semua itu adalah iklan yang berusaha mengubah perilaku individu melalui lingkungan.

Bahkan yang terkecil sekalipun, seperti pop-up dan display di dalam toko buku, juga berusaha membangkitkan keinginan membeli dan melonggarkan dompet, yang berarti ini adalah langkah untuk mempengaruhi perilaku individu, dan perilaku pembelian yang berubah ini kemudian memengaruhi rencana buku yang akan datang.

Pemikiran bahwa tindakanku tidak hanya berdasarkan kehendak bebas tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan eksternal bisa menimbulkan rasa takut tertentu.

—Begitu rupanya, aku mungkin kebalikan dari Kudou-sensei, karena aku selalu berpikir bahwa perilaku individu hanya berasal dari individu itu sendiri, sehingga aku merasa baru dan mulai tertarik pada fenomena sosial.

Rasa ingin tahu bisa menjadi motivasi yang kuat.

Terlepas dari apakah hal ini akan berlanjut ke masa depan atau tidak, saat ini aku memilikir keinginan yang sangat kuat untuk memahami interaksi antara individu dan masyarakat.

Dengan pikiran yang mengawang-ngawang, aku berjalan melewati pintu masuk apartemen. Melihat papan nama keluarga Asamura yang tergantung di pintu rumah, aku akhirnya muncul dari lautan pikiran dan mendarat di pulau kenyataan.

Aku membuka pintu sembari mengucapkan salam “aku pulang”. Suara “Selamat datang kembali” terdengar dari arah dapur, dan ketika aku mengintip, ternyata ayahku sedang menyiapkan makan malam.

“Eh? Bukannya hari ini, giliranku ya?”

“Iya, memang begitu. Ketika aku pergi berbelanja dengan Akiko-san, aku menemukan ikan yang terlihat enak.”

AAku melihat ikan panjang yang akan dipanggang, diletakkan di tepi meja dapur dalam keadaan kemasan plastiknya sudah dibuka.

“Sekarang sedang musimnya. Meskipun ikan makerel belakangan ini lumayan mahal, hari ini kebetulan harganya murah. Yah, setidaknya aku bisa memanggang ini. Karena kupikir kalian berdua pasti sibuk belajar untuk ujian.”

“Hanya memanggang ikan tidak terlalu merepotkan,” kataku, karena belakangan ini aku juga cukup sering memasak.

“Ya, karena hari ini aku sedang libur dan hanya bersantai seharian. Aku harus bergerak sedikit agar tubuhku tidak kaku. Tidak apa-apa, Yuuta, kamu juga bisa belajar sampai waktu makan malam tiba.”

Kamu juga, kalau begitu, Ayase-san juga sedang belajar di kamarnya, ya.

“Itu… sangat membantu, tapi apa ayah yakin?”

“Kamu pasti lelah setelah berkeliling universitas. Tapi, dilihat dari raut wajahmu, sepertinya ada sedikit hasil yang kamu dapatkan.”

Ia mengatakan ini sambil melihat wajahku.

Sepertinya ada hasil yang cukup signifikan sehingga dia bisa melihatnya. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu.

“Apa jangan-jangan aku sudah membuat Ayah khawatir?”

“Kupikir kamu mungkin terlalu memaksakan diri. Tapi sepertinya itu bisa menjadi penyegaran yang baik.”

Aku mengangguk.

Pada saat yang sama, aku jadi teringat bahwa universitas yang ingin aku tuju adalah universitas negeri yang sulit.

“Sepertinya jumlah studi yang harus kulakukan juga meningkat.”

“Itulah yang membuatku jadi tenang.”

Hmm? Apa maksudnya?

Ayahku mungkin melihat ada ekspresi tanda tanya di wajahku dan melanjutkan.

“Sepertinya kamu belajar dengan linglung dan tidak bisa berkonsentrasi pada apa yang kamu pelajari. Jika kamu bisa menyadari apa yang kurang dari dirimu, kurasa itu akan membantumu.”

Jadi begitu.

“Aku mempercayai bahwa ada waktu yang tepat untuk belajar. Untuk bisa menyerap seperti air yang meresap ke pasir kering, kita perlu menyadari apakah kita kering atau tidak. Sulit untuk belajar tanpa mengetahui arah yang jelas.”

“Ayah juga sama?”

“Tentu saja. Menjadi orang dewasa bukan berarti kita tidak perlu belajar lagi. Belajar adalah sesuatu yang akan terus berlanjut seumur hidupmu jika kita ingin berkembang. Menurutku, masa sekolah adalah waktu untuk membentuk cara belajar dan kebiasaan belajar. Lebih penting dari apa yang kita pelajari itu sendiri.”

“Seumur hidup, ya?”

“Secara mental, lebih mudah dibandingkan saat masih sekolah. Ada rasa bahwa kita belajar karena itu diperlukan.”

Apa iya begitu?

“Apa kamu tidak masalah kalau makan malamnya sekitar jam 8?”

Aku secara refleks melihat jam dinding.

Waktunya… sekitar 2 jam lagi.

“Sepertinya pas, tidak masalah.”

“Aku akan menyiapkan semuanya tepat waktu, jadi tolong panggil Saki-chan ketika waktunya tiba.”

Aku mengangguk dan menyerahkan semuanya kepada ayahku sebelum meninggalkan dapur.

Tepat sebelum aku masuk ke dalam kamarku, aku jadi teringat bahwa aku belum melihat wajah Ayase-san hari ini. Aku berjalan ke depan kamarnya karena ingin melihat wajahnya, tetapi aku merasa ragu sebelum mengetuk. Dia seharusnya ada jadwal bekerja paruh waktu. Dia mungkin pulang dalam keadaan lelah dan tidur, atau mungkin sedang belajar untuk ujian.

Dalam 2 jam lagi, aku pasti akan memanggilnya untuk makan malam… Dan karena kami bertemu setiap hari, jadi seharusnya itu tidak terlalu lama.

Aku berbalik dan kembali ke kamarku. Lagipula, aku akan segera bisa melihat wajahnya.

Ngomong-ngomong, meskipun ayah sedang libur, Akiko-san masih tetap bekerja. Dia sudah pergi ke tempat kerjanya.

Setelah berganti pakaian rumah, aku mengatur alarm. Setelah itu, aku segera melanjutkan belajar untuk ujian hari ini. Aku menghabiskan banyak waktu selama tiga hari terakhir ini untuk mengunjungi acara kampus terbuka.

Aku membuka buku referensi dan catatanku, lalu mulai mengerjakan soal-soal. Begitu aku memulainya, aku benar-benar terfokus, dan tiba-tiba aku menyadari ada suara yang terdengar.

Aku menyadari kalau itu suara ketukan di pintu kamarku.

“Yuuta-niisan.”

Suara yang ragu-ragu.

Aku secara refleks memeriksa waktu di ponselku. Aku merasa panik karena mengira kalau aku telah melewatkan pengatur waktu karena terlalu fokus.

Pukul 19:15. Itu belum waktunya alarm berbunyi. Dengan perasaan lega, aku menjawab dan membuka pintu.

“Maaf. Aku tidak mendengarnya saat kamu memanggil.”

“Oh, aku minta maaf. Apa kamu sedang fokus?”

“Tidak, aku baru saja berpikir untuk istirahat dulu sebentar. Jadi, tidak apa-apa. Ada apa?”

Selain itu, aku juga merasa senang karena bisa melihat wajahnya.

Ayase-san tampak agak ragu, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu.

Ekspresinya menunjukkan bahwa dia sedang bingung apakah akan membicarakannya atau tidak, ketimbang dibilang ragu-ragu, raut wajahnya lebih mirip seperti ingin mengungkapkan rahasia yang sangat penting. Sambil merasa penasaran dengan apa yang ingin dia sampaikan, aku berpikir bahwa ternyata Ayase-san juga bisa menunjukkan ekspresi seperti ini.

“Jadi, um…begini...”

“Mungkin ada sesuatu yang ingin kamu diskusikan?”

“Hmm, ya. Sebenarnya, aku sepenuhnya sadar kalau Asamura-kun sedang sibuk belajar ujian masuk, dan tentu saja, kamu bisa menolaknya jika mau, tetapi…”

Sudah lama sekali aku tidak dipanggil dengan nama, “Asamura-kun,” di dalam rumah. Meskipun seharusnya itu membuat jarak di antara kami terasa jauh, aku merasa lebih dekat dengannya dibandingkan saat dipanggil “Nii-san.”

“Kalau kamu tidak bilang, aku takkan tahu apa aku bisa menolak atau tidak.”

“Umm, jadi begini, ini cuma ajakan untuk bermain.”

Begitu ya, itulah sebabnya dia khawatir kalau ajakan bermainnya akan mengganggu kegiatan belajarku.

Meskipun begitu…

“Beristirahat juga penting, iya ‘kan?”

Itulah yang kupikirkan. Aku mulai menyadari bahwa ketika aku terlalu berkonsentrasi, aku cenderung mengabaikan batasan tubuhku. Aku ingat bahwa Maru juga pernah bilang. Mengubah rutinitas itu adalah langkah buruk. Jika kita tidak bisa menjaga ketenangan, soal ujian yang seharusnya bisa dijawab pun menjadi tidak bisa dijawab.

“Kalau kamu bilang begitu, aku jadi merasa sedikit lega untuk mengatakannya, jadi aku akan memanfaatkan kesempatan ini.”

Dan ajakan bermain yang disampaikan Ayase-san ternyata mengarah ke sesuatu yang mengejutkan.

Aku tidak pernah menyangka kalau Ayase-san memiliki hobi seperti itu.

“Asamura-kun,” katanya, dan aku melihat bahwa tatapan matanya dipenuhi rasa penasaran, yang membuatku berpikir bahwa dia mungkin akan pergi sendirian meskipun aku menolaknya.

 

“Apa kamu tertarik dengan pertunjukan live house?”

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama