Chapter 1
Dan begitulah,
perjalanan kami ke Okinawa
selama empat hari tiga malam
pun berakhir.
Pada
malam ketiga, Luna masih mengkhawatirkan keadaan Tanikita-san dan yang lainnya, lalu entah kenapa
suasananya berubah menjadi
seperti itu, dan aku tertidur di samping tempat tidurnya dengan perasaan galau.
Setelah mengembalikan mobil sewaan dan
menuju Bandara Naha, kami berkeliling di sekitar toko oleh-oleh sambil menunggu
waktu penerbangan kami.
Sebagai
bandara di tempat wisata besar, lantai toko suvenir di sana memang luas dan
terbagi ke dalam beberapa area.
Meskipun
tampak seolah sedang memilih oleh-oleh, pandangan di depanku tak mampu
menjangkau sampai ke dalam pikiranku.
Yang
kupikirkan tentu saja adalah akhir perjalanan yang tidak sesuai dengan harapanku ini.
Dua hari
yang lalu, aku tidak bisa mengatakan kepada Luna “Setidaknya bisakah kamu melakukannya dengan mulutmu?”,
karena aku merasa itu akan terlihat menyedihkan dan memalukan. Tapi sebenarnya,
sejak awal aku memang merassa kesulitan berbicara terbuka
tentang hal-hal seksual dengan Luna.
Itu semua dikarenakan kompleks diriku yang merasa kalau aku tidak berpengalaman
dibandingkan Luna.
Selain itu,
kurasa itu juga berasal dari sumpah
terlalu tegas yang pernah aku
katakan di awal hubungan kami dimana aku akan ‘menghormati keinginan Luna’.
Karena itu sudah jelas, jika aku membicarakan hal
seksual dengan dirinya, aku
akan menjadi bergairah, jadi selama ini aku sengaja menghindarinya.
“Wah,
itu kelihatan lezat!”
Aku
menoleh ke samping ketika mendengar suara itu, dan
ternyata Luna, yang
harusnya sedang melihat-lihat sendiri, sudah berada di sampingku dan
memperhatikan apa yang ada di depanku.
Aku tidak
benar-benar sedang mengamati oleh-oleh itu karena sebenarnya aku sedang melamun, tapi di rak di
depanku ada kemasan kari instan.
“'Kari
Penjaga Laut Chura' ... Eksklusif Bandara Naha,
kelihatannya enak! Lalu 'Sakimori' itu artinya apa ya?”
“...
Kupikir itu tentang tentara
kuno Jepang yang menjaga Kyushu dulu.”
“Ah,
begitu ya! Seperti yang diharapkan, kamu memang pintar
sekali ya, Ryuuto!”
Luna
menatapku dengan tatapan mata
berbinar. Aku tidak ingin dia memuji dengan keras kalau ternyata jawabanku salah, tapi tulisan di kemasan
kari itu menjelaskan 'Resep Asli Angkatan Laut Jepang', jadi sepertinya
memang benar.
“Ayo
kita beli!”
Luna
memasukkan beberapa kotak kari ke dalam keranjang yang dia bawa.
“Onee-chan
sangat
menyukai kari, jadi aku akan memberikan ini padanya! Sebentar lagi kami akan bertemu.”
“Jadi begitu
ya, sudah lama kalian berdua
tidak bertemu, ‘kan?”
“Iya!
Aku sangat menantikannya!”
Kakak
perempuan Luna bekerja
sebagai penata rambut di Yokosuka, prefektur Kanagawa.
Sepertinya mereka hanya pergi makan bersama beberapa kali dalam setahun karena
tempat tinggal dia di
sekitar situ.
“Kakakmu, sekarang sudah berumur berapa?”
“Hmm,
karena kita berbeda 7 tahun... jadi
sekarang dia mungkin sudah berumur 28
tahun.”
“Begitu
ya.”
Aku mendengar bahwa saat orang
tua Luna bercerai, kakak perempuannya lebih memilih menggunakan marga ayahnya, tapi sejak lulus SMA dia sudah
keluar dari rumah ayahnya,
jadi sekarang dia jarang
tinggal di kediaman keluarga
Shirakawa.
Alasan
kenapa dia tinggal jauh dari rumah orang
tuanya adalah karena dia
mulai tinggal bersama dengan pacarnya waktu itu, karena tempat tinggal pacarnya dekat
dengan tempat kerjanya. Meskipun dia sudah putus dengan pacarnya, tapi sepertinya
kakak perempuannya sudah
terlanjur memiliki lingkup pekerjaan dan aktivitas di sekitar Kanagawa.
Ngomong-ngomong,
katanya sekarang kakak
perempuannya tinggal
bersama pacarnya yang entah
keberapa.
“Kakakmu, dia
sudah berpacaran berapa lama dengan pacarnya yang sekarang?”
“Hmm,
katanya sih sudah hampir 3 tahun. Mungkin
sebentar lagi mereka akan menikah.”
Luna
menjawab sambil tersenyum, dan aku langsung merasa berdebar.
──Kita berdua... Sekarang sudah sampai
sejauh ini, mungkin... Menikah duluan juga bisa menjadi pilihan, ‘kan?
Menikah.
Itu seharusnya sesuatu yang masih jauh bagi kami.
Tentu
saja aku sering memimpikan kehidupan pernikahanku
dengan Luna, tapi kupikir kata itu baru akan terasa
nyata setelah aku lulus, mendapat pekerjaan, dan pekerjaanku sudah mapan.
Tapi
kalau pengalaman pertama harus sekaligus diikuti dengan pernikahan, ceritanya
jadi lain.
Aku ingin
menikah sekarang juga.
Tapi mana mungkin aku bisa langsung begitu.
Bukan,
yang sebenarnya ingin kulakukan
sekarang ini bukanlah
pernikahan, tapi pengalaman pertama. Tapi setelah kejadian Tanikita-sam, aku juga mengerti perasaan
cemas Luna sebagai perempuan, jadi aku
tidak bisa memaksakan kehendakku...!
Sepanjang
paruh kedua perjalanan ini, pikiranku terus berputar-putar seperti itu.
“Ryuuto? Kamu tidak mau beli oleh-oleh?”
Luna
bertanya sambil melihat ke dalam keranjang belanjaku
yang kosong.
“Eh?
Iya, aku akan membelinya. Untuk orang yang di rumah dan tempat kerjaku, jadi kurasa aku akan membeli yang
biasa-biasa saja...”
“Kalau
begitu, ayo ke sana aja!"
Luna
menunjuk ke arah dekat pintu masuk, di mana tumpukan kotak ‘Chinsuko’ dipajang.
Entah
kenapa tulisan itu terlihat bagai anagram dari apa yang harusnya aku dapatkan, dan aku merasa sedikit jijik
pada diriku sendiri yang ternyata sudah diambil alih oleh hasrat bawah sadarku.
◇◇◇◇
“Terima
kasih oleh-olehnya, Kashima-kun. Tadi aku sudah memakannya dan rasanya enak sekali.”
Di akhir
pekerjaan paruh waktuku di perusahaan penerbitan
setelah perjalananku ke Okinawa,
Kurose-san, yang akan pulang kerja bersamaku, mengatakan hal itu kepadaku di depan lift.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk membeli jue tart
ubi ungu ke kantor redaksi, karena berpikir
bahwa chinsuko terlalu biasa-biasa saja. Aku meletakkannya di meja kosong agar semua
orang bisa mengambilnya.
“Bagaimana
liburanmu ke Okinawa?”
Aku bisa
melihat ada rasa penasaran di mata Kurose-san.
“...Ya, itu menyenangkan.”
Aku
menjawab dengan nada biasa saja saat kami memasuki lift.
“Hmm?”
Mungkin
karena ada orang lain di dalam lift,
jadi Kurose-san hanya menunjukkan wajah yang
kurang puas, tapi dia tidak
bertanya lebih lanjut. Aku juga tidak tahu seberapa banyak Kurose-san tahu tentang aku dan Luna (mungkin dia sudah tahu cukup
banyak), jadi topik ini membuatku kurang nyaman.
“...Ah iya, benar juga”
Saat kami
turun dari lift dan meninggalkan gedung perusahaan, Kurose-san berkata demikian seolah-olah
baru mengingatnya.
“Acara
makan bersama, apa masih
belum ada?”
“Eh?”
“Bukannya
kamu pernah bilang? Yang
bersama orang Mori Ougai itu...”
“...Ah!”
Aku baru
mengingatkannya. Hal itu terjadi
saat Kurose-san tiba-tiba menjadi
dekat dengan Satou Naoki, seorang komikus tampan yang
sudah berkeluarga, tapi akhirnya menyerah pada perasaannya.
──Kujibayashi-kun itu orang yang baik,
lho. Mungkin dia tidak bisa dianggap sebagai pacar atau target cinta, tapi...
Kurose-san, aku
ingin kamu mencoba berteman dengan orang seperti Kujibayashi-kun.
──Untuk
kasus Maria, mungkin lebih baik membangun
kekebalan terhadap laki-laki dulu, sebelum memulai percintaan.
Aku dan Luna menasihati Kurose-san begitu, dan akhirnya Kurose-san menjadi lebih terbuka untuk
berinteraksi dengan Kujibayashi-kun.
──Kalau
kalian tidak keberatan, bagaimana kalau
lain kali kitya
makan bersama? Aku, Luna,
dan Kashima-san
juga...Kita berempat saling berbicara bersama.
Memang
benar, dia pernah berkata begitu. Tapi waktu itu, Kurose-san masih dalam keadaan patah hati, jadi mungkin
dia mengatakannya dengan perasaan putus asa. Tapi melihat sikapnya sekarang,
sepertinya dia benar-benar ingin bertemu.
Kalau memang begitu...
“Maaf,
aku lupa. Aku akan segera
membicarakannya dengan Kujibayashi-kun.”
Kurose-san tersenyum padaku.
“Terima
kasih. Tolong ya.”
Tidak ada
lagi bekas kesedihan di wajahnya, saat dia menatap langit malam dan menitikkan
air mata.
Kurose-san juga sudah melangkah ke depan.
Aku merasa
sedikit terinspirasi olehnya, lalu melangkah ke dalam keramaian orang-orang yang pulang kerja.
◇◇◇◇
Hal tersebut
terjadi pada hari Sabtu minggu itu. Ketika
aku hendak pulang setelah menyelesaikan pekerjaan paruh waktuku di sekolah bimbel, aku memeriksa smartphone-ku di ruang istirahat dan menemukan panggilan masuk
dari Luna.
“...Luna? Ada apa sampai menelepon tadi?”
Sambil
berjalan menuju stasiun, aku membalas teleponnya.
“Ah,
maafkan aku, Ryuuto... Tapi sekarang aku sedang
dalam masalah saat ini...
Kyaa!”
Bersamaan
dengan suara Luna yang menjerit, aku
juga bisa mendengar suara gaduh dari
seberang telepon. Ada juga
suara yang terdengar seperti tangisan wanita selain suara Luna.
“Eh,
apa-apa yang terjadi?! Kamu baik-baik saja?!”
“Maaf,
tadi aku ingin minta saran darurat, tapi mungkin
sekarang bukan saatnya!”
“Eh, saran!?
Saran apa!?”
“Kyaa! Dibilangin jangan! Onee-chan...!”
Dan
kemudian, teleponnya terputus.
Meskipun
aku mencoba menghubunginya kembali, Luna
tidak menjawab lagi.
“Sebenarnya
apa yang terjadi...”
Mengingat
nada suaranya di telepon yang terdengar tidak bisa diabaikan, aku jadi sangat khawatir.
Dia
menyebut “Onee-chan”. Kalau
ada hubungannya dengan kakaknya...
mungkin Kurose-san juga mengetahui sesuatu.
Dengan
pemikiran itu, aku memutuskan untuk menghubungi Kurose-san.
“Halo,
Kashima-kun?”
Kurose-san langsung menjawab teleponku.
“Aku minta
maaf karena tiba-tiba meneleponmu.”
“Tidak
masalah kok, jadi ada
apa?”
“Beberapa
waktu yang lalu saat aku sedang bekerja paruh waktu untuk mengajar les, Luna meneleponku, tapi saat aku meneleponnya kembali,
sepertinya dia sedang sibuk dengan sesuatu.....
Dia menyebut sesuatu seperti 'Onee-chan', jadi kupikir Kurose-san mungkin tahu sesuatu...”
“Ah,
begitu ya. Sebenarnya, Onee-chan baru saja putus dari pacarnya.”
“Eh?
Pacar yang tinggal Bersama dengannya?”
“Iya.
Dia sangat syok ketika pacarnya
tiba-tiba pergi meninggalkannya...jadi sepertinya dia
tidak bisa ditinggalkan sendirian. Katanya tadi dia hampir
melompat dari balkon...”
“Eh?!”
“Aku
juga mendapat kabar dari Luna dan ingin pergi membantunya, tapi malam ini kondisi nenek sedang tidak baik.... dan kakek masih seperti biasa,
jadi aku dan ibuku tidak bisa meninggalkan rumah...”
“Begitu
ya...”
Di dalam kepalaku, suara teriakan “Kyaa!” Luna kembali terngiang.
Dia pasti
sangat cemas dan takut menghadapi kakak perempuannya
sendirian. Mungkin itulah
alasannya kenapa dia ingin berkonsultasi denganku.
“...Rumah
kakakmu itu,
di Yokosuka sebelah mananya?”
“Eh?”
Kurose-san tampak terkejut.
“Kashima-kun,
jangan-jangan kamu mau pergi ke sana?”
“...Iya.
Aku khawatir dengan Luna....”
Meskipun aku merasa lelah setelah bekerja paruh waktu mengajar di sekolah bimbel yang
menguras tenaga, lebih baik aku pergi ke sana
daripada pulang dan terus mengkhawatirkan Luna.
“...Terima
kasih, Kashima-kun. Luna benar-benar orang yang
sangat beruntung sekali ya.”
Kurose-san mengatakan
itu dengan nada lembut di ujung telepon.
Setelah
itu, aku mendapat alamat kakak perempuan mereka
dari Kurose-san, dan
langsung menuju stasiun untuk menaiki gerbong kereta yang sudah sepi.
◇◇◇◇
Setelah
menempuh perjalanan kereta yang panjang
melintasi Tokyo, aku turun di stasiun terdekat dari alamat yang diberikan
Kurose-san. Kemudian,
aku berjalan sendirian di jalanan
malam yang tidak kukenal, sambil mengetikkan alamat kakak perempuan mereka ke dalam aplikasi peta.
Karena
sudah mendekati jam kereta terakhir, jadi
sebagian besar orang-orang yang ada di sekitar sini pasti
sedang dalam perjalanan pulang. Aku bahkan berpikir kalau kemungkinan besar malam ini aku takkan bisa pulang...tapi karena aku mengkhawatirkan Luna, aku segera berjalan
di sepanjang jalan yang dipandu aplikasi peta.
Setelah melewati
pusat kota yang suasananya sudah lebih santai di akhir pekan, aku sampai ke
komplek perumahan yang sepi. Di sana, aku menemukan apartemen yang dimaksud.
Dari
luar, apartemen itu kelihatan hanya punya lima lantai, dan dilihat dari
tampilan dinding luarnya, sepertinya umur
bangunannya sudah cukup tua. Tidak
ada papan nama kakak perempuan Luna
di pintu apartemen lantai 3, tapi
aku langsung tahu itu apartemennya, karena terdengar suara seorang wanita yang
menangis keras.
Aku
memencet bel, tapi tidak ada yang menjawab. Ketika aku
memutar kenop, sepertinya pintunya tidak dikunci, jadi
meskipun merasa tidak sopan, aku membukanya karena ini keadaan darurat.
“Luna?”
Aku memasuki lorong apartemen sembari memanggilnya
dengan suara pelan supaya tidak mengejutkannya, tapi Luna justru terkejut melihatku seolah-olah baru saja bertemu dengan hantu.
“Ryuuto?! Eh, apa?! Tidak mungkin!”
Luna sedang
duduk di lantai di dalam ruangan sempit itu. Saat masuk dari pintu depan, aku
bisa melihat seluruh ruangannya karena ini adalah
apartemen yang kecil.
Di
samping Luna, ada seorang wanita yang
menelungkupkan tubuhnya di atas
meja.
“Ada apa,
Ryuuto!? Kenapa kamu
bisa tahu alamat apartemen ini?!”
“Kurose-san yang memberitahuku. Karena aku khawatir denganmu, Luna...”
“Ryuuto...!”
Tatapan Luna
tampak berkaca-kaca setelah
mendengar penjelasanku.
“Terima
kasih...”
Lalu dia
memanggil wanita yang ada di
sampingnya.
“Onee-chan,
ada Ryuuto
datang.”
“...Ryuuto...?”
“Iya,
pacarku...”
“...Pacar...”
Wanita
itu, yang membelakangi kami, bergumam pelan, dan kemudian mulai
menangis terisak-isak.
“Huaaa,
Rai-kun!”
“Wawawah,
ma-maaf!”
Luna
terlihat panik dan mulai menepuk-nepuk punggung kakaknya dengan lembut. Dia
menatapku dengan senyum yang terlihat kebingungan.
“M-Maaf
aku sudah mengganggumu..... Senang
bertemu denganmu, namaku
Kashima Ryuto. Aku minta maaf karena
tiba-tiba datang... meski tidak banyak,
aku membeli makanan seadanya di
minimarket...”
Aku
meletakkan kantong plastik berisi onigiri dan botol minuman yang kubeli di depan stasiun di atas meja.
“Ah,
terima kasih, Ryuuto! Aku sedari tadi ingin makanan, jadi aku senang sekali kamu membelinya!”
Melihat
itu, pandangan mata Luna terlihat
bersinar.
“Ayo,
Onee-chan, ada onigiri. Ayo kiya
makan bareng-bareng, kamu belum makan apa-apa sejak tadi pagi, ‘kan?”
“Huaaa!”
Kakak
perempuan Luna terus
menelungkup di atas meja
sambil menangis. Dia meraih ke dalam kantung plastik, mengambil satu onigiri,
merobek bungkusnya tanpa melihat, lalu melilitkan nori di sekitarnya dan
membawanya ke mulut yang tersembunyi.
“...Ka-Kamu terampil juga, Onee-chan...”
Luna
bergumam dengan nada terkagum-kagum tapi sedikit putus asa. Setidaknya dia
masih punya semangat untuk hidup.
Dari lima
onigiri yang kubeli, kakak perempuannya memakan dua, Luna dua, dan aku hanya memakan satu. Semuanya habis
dengan cepat. Syukurlah aku sempat memakan
mie soba di stasiun sebelum naik
kereta.
“...Apa kamu sudah sedikit lebih tenang? Perut yang lapar memang tidak baik.”
Luna berkata
demikian kepada kakaknya yang sedang meminum teh dari botol, seolah-olah dia
sedang menenangkan anak kecil.
Kakak
perempuannya hanya memabalas dengan
mengangguk kecil.
“Terima
kasih, Ryuuto-kun...”
Begitu aku melihat wajahnya, aku
bisa melihat betapa cantiknya kakak perempuan Luna,
meskipun wajahnya tanpa riasan dan sembab karena air
mata.
Kakak
perempuan Luna. Namanya Shirakawa Kitty.
Nama tersebut berasal dari karakter kesukaan ibu Luna saat dia hamil dulu. Dari foto yang sering
ditunjukkan Luna, aku
sudah punya gambaran tentang penampilannya. Tapi setelah melihatnya secara langsung, dia bahkan
lebih...mencolok dari yang kubayangkan.
Aku takkan
mengatakan apa itu, tapi dua tonjolan yang mengintip di balik ritsleting jaket
kasualnya itu menuntut perhatianku. Rambutnya yang panjang hingga bahu itu juga
tampak modis dengan warna terangnya, menunjukkan penampilannya sebagai seorang
penata rambut. Kontur wajahnya
memang sedikit mirip Luna dan
Kurose-san, tapi secara keseluruhan kesan “gyaru”-nya jauh lebih kuat, jadi dia cenderung mirip seperti Luna. Tidak, meski begitu, dadanya sangat besar. Ah, aku
mengatakannya.
Aku
buru-buru mengalihkan pandanganku
dan melihat sekitar ruangan yang sebenarnya tidak luas, tapi
tidak terlihat penuh sesak dengan
barang-barang.
“...Kemarin
malam, saat aku pulang kerja, sebagian barang-barang
Rai-kun sudah hampir tidak ada lagi...
Dan dia memblokir kontak LINE-ku...”
Mungkin
karena dia menyadari pandanganku, kakak perempuan Luna mulai
bercerita dengan mata berkaca-kaca. Luna
juga menambahkan beberapa detail
untuk melengkapi informasi yang ada.
Pacar kakak perempuan Luna, yang
dipanggil “Rai-kun”, tiba-tiba saja pergi
meninggalkan rumah tanpa adanya peringatan apapun. Keesokan harinya, yaitu hari
ini, Onee-san telah berjanji untuk bertemu Luna di luar, tetapi dia mendadak membatalkannya, dan
ketika Luna mendengar apa yang telah terjadi
dan mengunjungi rumah ini, kakaknya malah
menangis dan mengamuk. Luna yang mendapat hari libur hari
ini, mengkhawatirkan kakaknya dan terus menemaninya sepanjang hari.
Pacar si Onee-san, Rai-kun, adalah seorang pria yang lumayan nyentrik juga.
Ia berusia
23 tahun dan empat tahun lebih muda dari Onee-san.
Pekerjaannya: Mengaku-ngaku sebagai penyanyi-penulis lagu.
Dengan kata
lain, ia pengangguran.
Sepertinya
ia sesekali bernyanyi lagu ciptaannya sendiri di pinggir jalan di jalanan depan stasiun.
Penghasilan dari sumbangan orang lewat memang hampir nol, jadi hampir semua
biaya kehidupannya ditanggung oleh Onee-san.
“Ia tidak
bisa melanjutkan pekerjaan paruh waktunya... ia pernah mencoba bekerja menjadi
resepsionis panti pijat, penjaga di
klub malam, atau bahkan
jadi pelayan di host
club, tapi ia selalu
berhenti dalam beberapa minggu.”
“...Ke-Kenapa ia malah melakukan pekerjaan yang agak aneh
begitu dan tidak mencari
pekerjaan yang lebih umum? Misalnya saja di restoran keluarga atau semacamnya
?”
“Karena
jam tidurnya terbalik, jadi ia cuma sanggup kerja malamnya
saja.”
“...Kurasa mestinya ia tinggal
mengatur ulang pola hidupnya saja...”
“Katanya
menulis lagu dan komposisi itu harus dilakukan malam hari supaya lebih lancar.”
“...”
Aku cuma
bisa menggerutu dalam hati. Bau-baunya
mirip seperti orang menyedihkan.
“Onee-chan tuh ibarat 'sofa perusak hidup' lho.”
Pada saat
itu, Luna tiba-tiba berkata demikian.
“Karena terlalu
nyaman duduk di situ, sampai lalai melakukan hal-hal yang harus dilakukan...
Semua pacar Onee-chan berubah menjadi
begitu. Termasuk sisi finansialnya, karena Onee-chan
terlalu memanjakan dan menanggung hidup mereka, jadi mereka tidak mau
berusaha apa-apa.”
Luna yang
biasanya tidak pernah kritis terhadap orang lain, tapi
kalau soal keluarganya, kadang-kadang dia bisa mengatakan hal-hal yang pedas.
“Tapi, aku ingin Rai-kun bisa mewujudkan impiannya, jadi
aku harus tetap mendukungnya, walaupun ia tidak
bisa bekerja.”
Melihat
kakaknya membantah dengan argumen yang mirip seperti
memperdebatkan mana yang lebih duluan
telur dan ayam, Luna hanya bisa menghela napas pelan.
“...Onee-chan memang selalu baik hati dari
dulu. Baik kepadaku dan Maria juga, sejak TK Onee-chan selalu memandikan, mengeringkan,
dan mengoles pelembab badan
setiap kami selesai mandi. Kamu bahkan membersihkan
telinga dan menyikat gigi kami juga...”
“Kira-kira,
apa Rai-kun tidak suka diperlakukan seperti anak kecil seperti
itu…?”
“Eh,
apa kamu juga melakukan itu dengan pacarmu?!”
Aku
bertanya kaget, dan Onee-san membalas
pertanyaanku dengan mengangguk.
“Habisnya,
bukannya kamu ingin melakukan segalanya
demi orang yang kamu cintai?”
“....”
Sementara
aku merasa keheranan bagaimana bisa pacarnya masih merasa tidak
puas diperlakukan seperti bangsawan oleh seorang wanita cantik yang seksi dan tobrut begini, tapi kurasa aku bisa sedikit mengerti
akar permasalahannya.
“Huaaa,
Rai-kun!”
Tiba-tiba
Onee-san mulai menangis lagi ketika kembali mengingat pacarnya,
dan Luna kembali menepuk-nepuk
punggungnya.
“Sudah,
sekarang istirahatlah dulu. Dari kemarin kamu belum tidur ‘kan, Onee-chan? Itu sama sekali tidak baik
untuk kesehatan, jadi sebaiknya berbaring sebentar.”
“Huaaannn...!”
Sambil
terisak, kakak perempuannya perlahan-lahan naik ke tempat tidur sempit di
pojok ruangan atas desakan Luna.
Tidak peduli
bagaimana aku melihatnya, ranjangnya jelas-jelas ukuran single, jadi aku
bertanya-tanya di mana pacarnya itu tidur.
Lalu Onee-san tiba-tiba mengeluh sambil
terisak,
“Tempat
tidurnya terlalu besar untuk satu orang~!”
Seriusan....?
Jadi mereka memang tidur berdua di sini...?
Meskipun dia
bilang begitu, tapi ruangan
ini jelas-jelas hanya sesuai
untuk satu orang, bukan ruangan apartemen yang
layak untuk ditinggali dua orang dewasa. Aku menduga
kalau Onee-san pasti membayar biaya
sewanya sendiri, jadi dia tidak
bisa menjalani kehidupan mewah.
“Iya
deh, iya deh, aku akan tidur bersamamu, Onee-chan.”
Luna berkata
begitu sambil berbaring di ranjang. Dia mendorong kakak
perempuannya ke sisi ranjang yang menempel dinding, menjaga agar tidak jatuh
dari tempat tidur yang sempit itu, sambil setengah duduk dan mengelus punggung
kakaknya dengan lembut.
“Uuu...”
Onee-san
masih terisak-isak untuk beberapa saat, tapi akhirnya air matanya berhenti
mengalir dan napasnya terdengar
mulai teratur.
“...Sepertinya
dia sudah tidur. Dia pasti
kelelahan,”
Ucap Luna
sambil menatap ke arahku, ekspresi wajahnya dipenuhi belas kasih
seperti seorang ibu yang menidurkan anaknya.
“Terima
kasih banyak ya, Ryuuto.
Maaf... sepertinya aku akan menginap di sini
malam ini, tapi kalau kamu
bagaimana?”
“Hmm... kalau tidak menganggu, aku juga
akan ikut menemanimu di sini.”
Toh aku
sudah sampai sejauh ini, dan keadaan kakak perempuannya
masih belum aman.
“Kalau
begitu, ayo kita istirahat juga. Kamu
tidak membawa perlengkapan menginap, ‘kan?”
“Ah
iya... Tidak apa-apa kok kalau hanya satu
malam begini.”
Begitu ya,
aku menyadari kalau ternyata
kita akan menginap di sini...karena dia harus
mengawasi kakaknya, jadi kurasa mau bagaimana lagi.
“Aku
beli banyak sikat gigi waktu datang ke
sini untuk berjaga-jaga. Karena kupikir itu akan
dipakai Maria juga. Kamu bebas mau
memilih yang mana.”
“Terima
kasih.”
Aku
menyikat gigiku dengan sikat gigi baru yang kuterima dari Luna dan menuju ke kamar mandi.
Ada gelas
plastik dengan dua sikat gigi berdiri di atas wastafel kecil. Sikat gigi hitam
dan sikat gigi putih.
Pasti
milik Onee-san dan pacarnya, pikirku. Sudah kuduga, sepertinya pacarnya tidak membawa sikat gigi yang sudah terpakai.
“...Maaf,
aku harus pakai gelas yang mana untuk
berkumur ya?”
Ketika kembali ke ruangan, aku bertanya kepada Luna yang juga sedang menggosok giginya.
“Hmm,
boleh pakai gelas biasa saja. Kalau tidak salah
di sekitar sini...”
Dia
membuka lemari dapur di atas dan menunjukkan beberapa mug yang serasi, tersusun
rapi berpasangan.
“...”
Melihat
tanda-tanda kehidupan Bersama Onee-san dan pacarnya
di seluruh apartemen ini membuatku
jadi gugup dan tidak nyaman.
Tinggal
Bersama, ya...
Kalau aku
menikah dengan Luna nanti,
apa kami akan memulai hidup bersama juga? Apa kami
akan melakukan hal-hal seperti menyiapkan
sikat gigi berdua atau membeli
mug yang serasi...?
Ah, aku
jadi malu membayangkannya. Karena contohnya tepat
berada di hadapanku, aku jadi bisa membayangkannya terlalu jelas.
“Fuuho, mhaafuu!”
Saat aku
melamun di depan wastafel, Luna
memanggilku dari belakang sambil membawa mug yang berbeda warna. Sepertinya dia
berkata “Maaf, Ryuto” tadi.
Aku
membiarkan dia menggunakan wastafel, lalu Luna membilas mulutnya dengan berkumur
dan memuntahkannya ke wastafel.
Ketika melihat
air berkumur yang sudah keruh oleh pasta gigi itu mengalir, membuat suasana kehidupan
sehari-hari yang tak bisa ditemukan di hotel terasa begitu nyata sehingga membuat hatiku berdebar-debar.
Jika kami tinggal
bersama, jika kami
menikah... Apa kami juga akan menjalani kehidupan
sehari-hari seperti ini? Saat aku berpikir demikian...
“Uwaaahn,
Rai-kun!”
Pada saat
itu, tiba-tiba aku mendengar
suara Onee-san.
Ketika aku
memeriksanya, dia tergesa-gesa bangun dari tempat tidur dan berusaha berdiri dengan goyah.
“Aku sudah
tidak sanggup, apa yang
harus kulakukan~?”
Sepertinya
dia masih setengah sadar, karena dia
berjalan sempoyongan seperti zombie dengan mata terpejam.
“Onee-chan...?!
Ka-Kanu baik-baik saja?!”
Sementara
aku dan Luna memperhatikannya, Onee-san
berjalan ke dapur dan membuka pintu kulkas.
Dia mengambil
sebuah kaleng panjang berwarna perak dan biru. Ada tulisan ‘STRONG’ di sisinya. Sepertinya itu minuman keras kalengan.
Dengan
mata terpejam, dia membuka kaleng itu dan menenggak isinya dalam sekali teguk.
“Fuah...”
Setelah
menghabiskan satu kaleng penuh dalam sekali teguk,
dia melemparkan kaleng tersebut ke
wastafel. Aku bisa mengetahui bahwa kaleng itu
sudah kosong dari suara ringan yang ditimbulkannya.
“...”
Sementara aku
dan Luna dibuat tercengang saat melihatnya, Onee-san lalu kembali berjalan gontai
ke ranjang dan berbaring. Dan kemudian, dia kembali
tidur.
“.....”
“...Mi-Minuman
beralkohol itu punya kadar yang tinggi, ‘kan? Dia baik-baik saja?”
Aku
bertanya dengan ragu kepada Luna
yang masih terlihat tercengang.
Luna lalu
menjawab sambil tersenyum kering.
“Entahlah...
Tapi tadi siang juga dia minum banyak, jadi kayaknya dia kuat minum.”
“Begitu
ya...”
Karena
dia mungkin masih di bawah umur ketika dia berada di rumah bersama orang
tuanya, jadi Luna mungkin tidak tahu banyak
tentang kebiasaan minum kakaknya.
“...Hei,
Ryuuto.”
Setelah
memastikan kalau kakaknya benar-benar tertidur, Luna yang
selesai menggosok gigi itu mulai berkata.
“Aku merasa
kesepian beberapa saat yang lalu.... jadi saat kamu datang, aku merasa sangat
terbantu.... terima kasih.”
Luna yang
berdiri di depanku tersenyum kecil ke arahku yang berdiri di antara kamar mandi
dan dapur.
“...Kamu pasti kesulitan saat menanganinya sendirian ‘kan,
Luna.”
“Iya...
Tapi, dia adalah Onee-chan yang sangat berharga bagiku.”
Sambil
memperhatikan senyum Luna yang berkata demikian,
aku jadi teringat saat kami berbelanja di
pusat perbelanjaan dan merawat adik
kembarnya.
──Bagiku,
Onee-chan sudah seperti
setengah ibu. Lagipula, anak
kembar biasanya
membutuhkan lebih banyak perhatian daripada saudara yang lahir satu per satu.
Jadi Onee-chan yang
selalu menutupi apa yang tidak bisa dilakukan ibu, aku benar-benar sangat
bersyukur padanya sampai sekarang.
Saat aku
berpikir betapa berharganya kakak perempuannya bagi Luna, tiba-tiba dia menatapku.
“Aku
pernah bercerita tentang 'Chii-chan'
padamu, ‘kan?”
“Ah
iya, yang boneka kucing itu, kan?”
Setelah mendengar
nama itu, aku mengingat
boneka kucing kesayangan Luna sejak dia masih kecil. Aku mendengarnya dan
melihatnya saat aku masih di SMA, jadi apakah aku mendengarnya dari Luna atau dari Kurose-san...Aku tidak yakin.
“Iya.
Dulu Maria pernah diberi boneka oleh bibi,
tapi dia tidak terlalu menyukainya, jadi aku yang memintanya. Tapi kemudian Maria memintaku
mengembalikannya, dan kami jadi bertengkar.”
“Iya”
Kalau
dipikir-pikir, begitulah ceritanya.
“...Sebenarnya, pada waktu itu, aku berniat
mengembalikan Chi-chan kepada Maria.”
Luna
tiba-tiba berkata seperti itu.
“Karena pada
awalnya boneka itu memang
untuk Maria. Jadi aku berpikir, mungkin
lebih baik dikembalikan
saja. Tapi aku sudah terlanjur sayang dan suka menghias Chii-chan, jadi dalam
hati aku tidak mau. Lalu Onee-chan
melihatku menangis dan bilang, 'Kalau kamu memang
tidak mau, ya tidak usah dikembalikan.'”
Luna
menyipitnya matanya seolah-olah dia sedang mengingat hari-hari itu.
“Setelah
itu aku bisa bilang kepada Maria, 'Aku tidak mau
mengembalikannya'.”
Luna
tersenyum kecil ketika mengatakan itu.
“Onee-chan
juga berbicara dengan Maria dan berkata ‘'Kamu tidak benar-benar menginginkan
boneka itu, kan? Kamu menginginkannya karena Luna menyukainya’. ...... Dan kami
pun akhirnya bisa berdamai.”
Begitu
rupanya.
Aku bisa
sedikit membayangkan betapa besar peran Onee-san
dalam kehidupan Luna dan
Kurose-san sejak mereka masih kecil.
“Onee-chan
mengajariku sesuatu yang
sangat penting - betapa pentingnya menyampaikan perasaan kita pada orang lain.
Meskipun terkadang bisa menyakiti pasangan, tapi kalau tidak diungkapkan, kita
sendiri yang akan terus terluka.”
Perkataan
Luna membuatku terdiam dan berpikir keras.
Itu ada benarnya juga... Tapi bukannya ada pilihan untuk tetap diam, karena mengalah bisa menyelesaikan
masalah dengan lebih mudah?
“Tapi,
kami tidak bisa berbuat apa-apa tentang kesepian
yang dirasakan Onee-chan.
...Kurasa dia terus memaksakan diri. Dia
sudah merawat kami sejak SD.
Dan berbeda dengan kami, dia harus menerima berita perceraian
Ayah dan Ibu dengan penuh pengertian.”
Luna
melanjutkan sembari menunduk sedih.
“Onee-chan
meninggalkan rumah Shirakawa tepat setelah lulus SMA. Dan kami baru mengetahuinya kemudian hari.”
Saat aku
mendengarkan dengan seksama, Luna
kembali bercerita.
“Pada awalnya,
aku berpikir bahwa Onee-chan akhirnya menemukan tempat di mana dia bisa
'menjadi anak kecil'. Padahal di rumah Shirakawa, dia harus menggantikan
ibu. ...Tapi ternyata, bahkan dengan pacarnya, kakak tetap berperan sebagai
ibu.”
“Begitu
ya...”
Setelah
akhirnya memahami maksudnya, Luna
tiba-tiba tersenyum cerah kepadaku.
“Aku
dan Maria sering membicarakannya.
'Sekarang gilirannya kita yang memanjakan
Onee-chan.' Jadi,
ini bukan masalah besar, kok.”
“Luna...”
Aku jadi teringat
ekspresi penuh kasih Luna saat dia menjaga kakaknya di ranjang
tadi, rupanya itu dilatarbelakangi rasa terima kasih dan sayang yang mendalam kepada kakak yang telah memaksa
dirinya menjadi dewasa sejak kecil karena
perceraian orang tuanya.
Setelah
mendengar curahan hati Luna tentang
kakak perempuannya, aku semakin merasa kagum dan hormat
pada sosok kakaknya.
“...Kamu memang hebat, Luna. Kalau ada yang bisa kulakukan, coba katakan apa saja padaku.”
Setelah mendengar
tanggapanku, Luna
tersenyum sedikit canggung.
“...Benarkah?”
“Iya.”
“...Aku
benar-benar bersyukur kamu datang
dan akan menemaniku malam
ini. Jadi, aku
merasa tidak enakkan untuk
meminta lebih, tapi...kalau kamu bilang
begitu...boleh aku meminta satu hal padamu?”
“Ya, tentu?”
Saat aku penasaran apa yang dia minta, Luna membuka mulutnya dengan ekspresi
menyesal di wajahnya.
“Ryuto,
apa besok kamu ada rencara?”
“Tidak,
tidak ada.”
“...Besok
aku harus bekerja
seharian. Maria juga
rencananya baru bisa datang sore nanti.
Jadi, bisakah kamu menjaga Onee-chan sampai Maria datang?”
“Hah?!
Aku sendiri...?!”
Ketika aku
bertanya balik dengan
terkejut, raut wajah Luna tampak semakin merasa bersalah.
“Kalau
tidak bisa, tidak apa-apa... Aku khawatir jika ada terjadi
sesuatu, soalnya Onee-chan
masih seperti itu.”
Memang,
cerita tentang kakaknya yang nyaris
melompat dari balkon itu terdengar serius. Karena apartemennya berada di
lantai tiga, jadi aksinya itu lumayan membahayakan
sehingga wajar saja dia merasa khawatir.
Luna
bekerja di bidang fashion,
terutama di malam hari dan akhir pekan,
sambil bersekolah di sekolah kejuruan. Meskipun
aku merasa canggung dan tidak nyaman jika
harus berduaan dengan kakaknya, tapi bila itu bisa membuat Luna fokus pada pekerjaannya, aku tidak keberatan sama sekali.
“Baiklah,
aku mau.”
“Terima
kasih... Maaf sudah merepotkanmu di hari Minggu begini.”
Luna
mengernyit sambil meminta maaf.
“Tidak
apa-apa. Karena aku sendiri yang bilang 'katakan apa saja padaku'”
“Terima
kasih...”
“Kalau
gitu, ayo kita tidur sekarang? Karena sudah malam gini.”
Jam
analog yang berada di dekat TV sudah hampir
menunjukkan pukul 12 malam.
Aku
mengusulkan itu karena mengkhawatirkan Luna yang
pasti merasa kelelahan setelah menemani
keluhan kakak seharian, dan besok pagi-pagi dia harus bekerja juga. Luna
pun menyetujuinya.
Kami
berdua membentangkan handu di bawah ranjang kakak untuk dijadikan alas, lalu
berbaring bersebelahan. Ruangan ini memang sempit, jadi aku langsung berbatasan
dengan meja TV.
Kami
menyelimuti diri dengan satu selimut besar ketimbang
menggunakan futon.
Luna
mematikan lampu dengan remote.
...Rasanya sungguh aneh.
Memang
ada kakak perempuan Luna di sini,
tapi dia sudah tertidur.
Jadi meski hanya ada kami berdua,
mana mungkin kami bisa berbuat macam-macam.
Saat aku
memejamkan mata, memikirkan hal-hal seperti itu dengan was-was...
“...Boleh
kita pegangan tangan?”
Aku
mendengar suara Luna di sampingku. Ketika
aku membuka mata, aku
melihat kalau Luna memalingkan
wajahnya ke arahku.
“...Boleh.”
Saat aku
mengulurkan tanganku, tangan Luna perlahan-lahan tapi pasti melingkari tanganku. Aku tidak tahu sudah berapa kali
kami berpegangan tangan seperti ini.
Aku bertanya-tanya sudah berapa lama aku menahan hasrat untuk menemukan
kehangatan dirinya yang tersimpan di balik semua ini.
Sambil
berpikir begitu, aku teringat malam di penginapan di Enoshima.
“...
Ryuuto, apa
kamu ingat malam kita di
penginapan Enoshima?"
Luna
berkata padaku, membuatku terkejut.
“...
Aku baru saja memikirkannya juga.”
Luna
tersenyum padaku, lalu membuka mulutnya perlahan.
“Ryuuto.
Soal yang di Okinawa... Aku benar-benar minta maaf.”
“Eh?”
“Aku
sangat terkejut dengan berita
kehamilan Akari... Aku jadi banyak berpikir, dan saat itu aku tidak bisa
memikirkan hal lain selain itu.”
Luna
mengarahkan wajahnya ke langit-langit, menyusun kata-katanya secara perlahan.
“Ryuuto
'kan laki-laki, jadi kamu pasti
ingin melakukan hal-hal erotis... Itulah
yang aku pikirkan setelah sampai di rumah.”
“...
Yah, itu sudah tidak penting lagi. Menurutku yang
terpenting adalah perasaanmu sendiri, Luna.”
Aku ingin
segera mengakhiri percakapan ini sebelum kakaknya terbangun dan merasa malu.
Luna
mengalihkan wajahnya ke arahk dan
mengerutkan alisnya.
"Dasar.
... Ryuuto, kamu terlalu
baik padaku. Bahkan hari ini... Aku sama
sekali tidak menyangka kamu akan
datang.”
Lalu,
dengan ekspresi yang sedikit berpikir, dia membuka mulutnya.
“Ryuuto,
aku...”
“Hmm?”
“Aku
ingin Ryuuto juga memprioritaskan perasaan Ryuuto sendiri, sama seperti
perasaanku.”
Di
kegelapan itu, ekspresinya yang tulus itu tiba-tiba membuatku tersentuh.
“Aku
benar-benar berpikir begitu, kok? Karena
aku... Benar-benar mencintaimu,
Ryuuto.”
Hatiku
menegang karena kegembiraan ketika aku mendengar kata-kata yang dibisikkan
dengan cara malu-malu.
“Ya...
Terima kasih.”
Genggaman
tangan kami yang terikat terasa
hangat.
Tapi
karena tangan ini begitu berharga, aku tidak bisa menyampaikan perasaan
terdalamku padanya.
Bahkan
jika aku bisa menyampaikannya, tempat seperti ini, di mana orang lain bisa
mendengar, bukanlah tempat yang tepat.
Meskipun
itu menyakitkan bagiku, aku pikir itulah hal
terbaik yang bisa aku pilih.
◇◇◇◇
“Kalau
begitu, aku pergi dulu ya, Onee-chan. Aku akan pergi bekerja dulu. Meski
ada Ryuuto, tolong jangan sampai merepotkannya, ya? Sore nanti Maria akan datang.”
“Hmm...”
Ketika
pagi tiba dan tiba waktunya Luna untuk pergi bekerja, kakak
perempuannya masih tidak bangun dari tempat tidurnya setelah
menutupi dirinya dengan futon.
Setelah
selesai bersiap-siap, Luna memanggil Kakaknya,
lalu berkata padaku, “Kalau
begitu, aku pergi dulu,” sambil
berjalan menuju pintu depan.
Aku juga
pergi ke pintu depan untuk mengantarnya.
Luna
memperlihatkan punggungnya, perlahan mengangkat tumit satu per satu dengan
terampil menjaga keseimbangan saat mengenakan sepatu hak tinggi.
Di
baliknya, terlihat ruang depan yang sangat penuh kehidupan, dengan payung
plastik tersangkut di pegangan pintu dan sepatu wanita berjajar rapat. Itu
membuatku tanpa sadar membayangkan kehidupan sehari-hari bersama Luna di masa
depan, membuatku sangat berdebar-debar.
“Kalau
begitu, aku pergi berangkat dulu.”
“Iya, hati-hati
di jalan.”
Kami saling mengucapkan kata-kata itu, tapi
entah kenapa terasa canggung. Pada saat yang sama, Luna juga tersenyum malu-malu.
“...
Rasanya seperti kita sedang
tinggal bersama, ya.”
“...
Iya.”
Aku merasa
sangat malu sampai-sampai mengalihkan pandangan darinya
dan tertawa.
Karena
itulah, saat dan Luna berkata “Hmm”,
aku kembali menatapnya dan jantungku berdebar
kencang.
“...!”
Luna
memejamkan matanya dan
langsung menghadapkan wajahnya ke arahku.
Bibirnya
sedikit condong ke depan, seolah mengarahkannya
padaku.
In-Ini...
Jangan-jangan... Sebuah ciuman selamat jalan?!
Aku
refleks menoleh ke belakang, dan kakaknya masih terbenam dalam selimut di atas ranjang.
Kalau
begitu... Aku mendekatkan wajahku ke Luna.
Meski kami sedang berada di rumah
kakak Luna, cium perpisahan di sini terasa begitu mendebarkan dan terlarang,
tapi aku perlahan menyentuhkan bibirku ke bibirnya.
Saat itu,
Luna langsung melumat bibirku dan
terdengar suara kecupan saat kami berciuman.
“...!”
Aku
kembali menoleh ke belakang. Aku merasa lega karena kakaknya masih dalam posisi yang sama seperti sebelumnya.
“...
Hehe.”
Luna
tersenyum malu-malu saat tatapan kami bertemu.
“Aku
berangkat ya♡”
Sambil berbisik
manis, Luna membuka pintu. Wangi manisnya masih tertinggal dan menggelitik
indera penciumanku.
“Hati-hati
di jalan...”
“Sampai
nanti, Ryuuto!”
Senyum
ceria Luna yang melambai-lambaikan tangannya
perlahan terpotong dan tersingkir di balik pintu yang tertutup.
Setelah
itu, aku masih terpaku menatap pintu logam itu, terperangkap dalam sisa
kehangatan bibirnya.
◇◇◇◇
Selama
beberapa jam berikutnya, kakak perempuan Luna masih
tertidur seperti orang mati di tempat tidurnya.
Meski dia adalah kakak Luna, melihat wanita
dewasa tertidur di dekatku membuatku gelisah, jadi aku duduk di posisi yang
tidak terlalu bisa melihat ranjang, dan membaca komik di ponsel.
“...Ugh...”
Aku mendengar
suara lemah seperti erangan, membuatku melihat ke arah ranjang.
Ada tangan
yang menyembul keluar dari selimut, bergerak seolah
meminta sesuatu.
“...ir...”
“Eh?”
“Air...”
Ah, air
rupanya.
“...Ini,
silakan.”
Aku
mengambil botol air mineral yang kubeli kemarin yang berdiri di meja, mencoba
memberikannya ke tangan yang terjulur dari ranjang.
Tapi saat
itu...
“...Rai-kun?!"
Bukannya
memegang botol, tangan Onee-san
malah mencengkeram tanganku.
“Rai-kuuun!”
Tiba-tiba,
selimutnya tersingkap dan Onee-san bangkit dari tempat tidurnya.
“Kenapa
kamu tiba-tiba pergi, Rai-kun?! Aku kesepian tahu!”
Saat aku
jatuh terduduk, Onee-san malah melompat
dan memelukku erat-erat, dia kemudian menempelkan
wajahnya ke dadaku.
“Jangan
pergi lagi, tolong jangan
pernah lagi!”
“Tidak, eh,
Onee-san!? Aku
bukan 'Rai-kun'!”
Saat aku panik karena merasakan adanya sensasi
lembut di area rusukku, gerakan si Onee-san
langsung terhenti.
“...Eh?”
Kekuatan pelukannya
mulai mengendur, dan dia mendongakkan kepalanya untuk
menatapku.
“Aku Ryuuto...
Pacarnya Luna...”
Onee-san
menatapku saat aku tersenyum canggung dari jarak dekat.
Saat aku
melihatnya dari sudut ini, menurutku dia lebih mirip dengan Luna.
“Ah...
Haha. Maaf. Benar juga.”
Si Onee-san
akhirnya tersadar dan dia tersenyum sedih dengan ekspresi
tidak enak.
“...Ketika aku mendengar suara pria, kupikir
Rai-kun sudah kembali.”
Setelah
lengan montok dan sensasi lembut itu menghilang, aku akhirnya merasa nyaman.
Berbeda
dengan Luna yang bertubuh ramping bagaikan model,
kakak perempuannya memiliki
bentuk tubuh yang lebih sensual dan montok.
Aku jadi bertanya-tanya, pacar macam apa yang bisa meninggalkan kekasih semanis
dan sebaik dirinya.
“...Terima
kasih untuk airnya.”
Onee-san
mengambil botol yang kulempar ke lantai tadi, dan menempelkan mulutnya ke botol itu.
Suasananya di antara kami masih
canggung, jadi kupikir dia hanya meminum sekali
atau dua kali tegukan, tapi ternyata dia malah menghabiskan semuanya, sehingga
aku berpikir kalau dia sungguh orang yang menarik.
“...Kalau boleh tahu, di mana kamu bertemu
dengan pacarmu?”
Karena
suasananya akan terasa canggung jika kami diam-diaman terus, jadi aku bertanya tentang hal tersebut, dan Onee-san tersenyum dengan ekspresi sedih.
“Dia
pelanggan di salon kami. Awalnya dia datang tanpa reservasi, kebetulan aku yang
menanganinya. Setelah itu, dia mulai datang dengan reservasi khusus untukku.”
Aku jadi
keheranan, sebagai seseorang yang langganan potong rambut
seharga 1000 yen, kenapa ia pergi ke salon kecantikan meski ia pengangguran? Tapi Onee-san seolah-olah menyadari pikiranku dan
melanjutkan.
“Ia
seorang musisi jalanan, jadi ia ingin selalu tampil rapi. 'Makan malamku
cuma kacang panjang setiap hari,' katanya sambil tertawa, dan entah kenapa
aku jadi terpesona... Waktu itu aku baru saja putus dengan pacarku yang sebelumnya,
jadi tanpa sadar aku langsung mengajaknya,
'Mau pergi ke
tempatku?'”
“...”
Memangnya
boleh begitu saja mendapatkan pacar
seperti sedang memungut kucing liar? Tapi kalau
ada seorang wanita cantik dan berdada besar yang mengajakmu ke tempatnya, mau tak mau aku bisa memahami perasaan
pria itu.
“...
Aku selalu ditinggalkan.”
Tiba-tiba
Onee-san berkata seperti bergumam pada
dirinya sendiri. Matanya yang menunduk
tampak bergetar seperti akan menangis.
“Aku tidak
peduli kalau pacarku orang yang buruk sekalipun, atau tidak bisa
apa-apa, aku akan melakukan segalanya untuknya... Aku hanya ingin ada yang
menemaniku. Tapi rupanya bahkan keinginan sederhana itu pun tidak bisa
terpenuhi, sehingga banyak yang
muak padaku...”
“....”
Aku hanya
diam menyaksikan Onee-san
yang matanya mulai basah.
“...
Aku sungguh orang yang gampang
kesepian. Aku selalu mencari orang yang bisa menjadi keluargaku.”
“....”
Saat aku
membayangkan situasi keluarga
Shirakawa, si Onee-san
tiba-tiba menatap ke arahku dan tersenyum saat aku tidak bisa berkata apa-apa.
“...
Aku merasa kalau Luna juga
pernah memilikir percintaan seperti
itu, tapi dia sepertinya sudah berubah. ... kurasa itu
semua berkat dirimu ya, Ryuuto-kun.”
“Tidak,
aku tidak melakukan apa-apa...”
Aku
menundukkan wajahku dengan malu.
“Luna...
Luna-san adalah wanita yang luar biasa. Aku merasa
kalau aku tidak pantas untuknya...”
“Benarkah?”
Saat aku
mendongak, si Onee-san tersenyum ke arahku dengan ekspresi sedikit getir.
“Ryuuto-kun,
kamu tuh mahasiswa dari
Universitas Houou, ‘kan?
Justru akulah yang
merasa kalau adikku, Luna, kurang
pantas untukmu.”
“...
Aku ingin bersama Luna-san. Aku tidak menginginkan wanita lain
selain Luna-san.”
Ketika melihat
ekspresiku, Onee-san
menatapku dengan senyum gemas.
“Luna
memang beruntung ya...”
Lalu
wajahnya berubah menjadi sedih dan dia menunduk.
“Dulu
aku juga berpikir, 'Aku hanya menginginkan Rai-kun.'....aku masih berpikir seperti itu.”
Saat dia
mengatakan itu, dia tersenyum miris seolah sedang mengejek dirinya sendiri.
“Tapi
sekarang, Rai-kun
sudah tidak menginginkanku lagi...”
“.....”
Mengenai
hubungan Onee-san dengan
pacarnya, sebagai pemuda yang masih kurang pengalaman dalam percintaan, aku
tidak tahu harus mengatakan apa.
Sepertinya
aku menyampaikan kebingunganku, karena Onee-san tiba-tiba
mendongak dan tersenyum kecil padaku,
seolah berusaha memperbaiki suasana.
“Ryuuto-kun, tolong jaga Luna dengan baik.
Kurasa Luna juga hanya ingin bersamamu.”
Karena
terlalu terkejut, satu-satunya reaksi yang bisa kulakukan
hanyalah menganggukkan kepalaku.
Onee-san
menatapku dengan pandangan penuh kasih saying saat
melihat reaksiku yang begitu.
“Aku
ingin kamu memberinya
kebahagiaan yang tidak bisa kami berikan sebagai keluarganya.”
“...
Iya, baik. Aku akan mengusahakannya.”
Melihatku mengangguk dalam-dalam dengan penuh keyakinan, Onee-san malah tersenyum geli.
“Kamu
tidak perlu berusaha sekeras itu juga.”
“Eh?”
“Kalau
kamu terlalu keras berusaha, kamu akan berakhir sepertiku.”
“...”
Mengalihkan
pandangan dariku yang kehilangan kata-kata, dia
berbicara dengan pelan.
“Aku
mempercayai bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus diusahakan
oleh salah satu pihak saja... Tapi
sesuatu yang akan muncul ketika kalian berdua saling berjalan bersama.”
Aku
mendengar suara pintu dibanting dari balik dinding. Di tengah keheningan di mana aku bisa mendengar
suara kehidupan tetangganya, aku
terdiam seraya merenungkan kata-kata Onee-san di dalam hatiku.
◇◇◇◇
Menjelang
sore, pintu depan tiba-tiba terbuka dan Kurose-san masuk. Kalau dipikir-pikir,
aku ingat Luna belum
mengunci pintu sejak dia berangkat kerja.
“Oh,
Kashima-kun benar-benar ada di sini.”
Ketika melihat keberadaanku, Kurose-san sedikit terkejut
dengan matanya yang terbuka lebar. Beberapa
saat kemudian, senyum terukir di wajahnya.
“...Rasanya
aneh ya, bertemu di tempat seperti ini.”
“I-Iya...”
Aku
merasa tergagap karena canggung, malu, dan perasaan lain yang tidak
dapat kupahami, seolah-olah aku sudah menjadi kerabat
Kurose-san.
“...
Tadi Onee-san tidur setelah menghabiskan dua
kaleng alkohol kuat sekitar satu jam yang lalu.”
Pada awalnya, Onee-san berbicara
dengan tenang, tapi tiba-tiba dia mulai
menangis histeris sembari memanggil
“Rai-kuun!”, lalu minum sambil menangis
sampai akhirnya tak sadarkan diri di ranjang. Aku tidak bisa berbuat apa-apa saat melihat semua tingkah lakunya.
“Begitu
ya...”
Kurose-san
mengernyitkan alis dengan tampak tak berdaya, menatap kakaknya yang terbaring di tempat tidur.
“Ya ampun, dasar Onee-chan...”
Meski begitu,
ada kasih sayang yang terpancar dari ekspresinya.
——
Aku dan Maria
sering membicarakannya. 'Sekarang gilirannya kita yang memanjakan Onee-chan.'
Aku jadi
mengingat perkataan Luna dan kurasa Kurose-san juga mempunyai perasaan yang sama, meski bersikap
agak dingin soal urusan keluarganya.
“Aku
benar-benar minta maaf karena sudah merepotkanmu, Kashima-kun. Karena jaraknya lumayan jauh, jadi hati-hati
di jalan pulang, ya.”
“Iya,
terima kasih.”
“....Ah,
benar juga.”
Saat aku
bersiap untuk pulang dan menuju pintu depan,
Kurose-san memanggilku.
“Oh
iya, jadi bagaimana soal rencana pesta makan malamnya?”
“Ah
iya! Aku sudah memberitahunya kepada Kujibayashi-kun,
dan dia bilang, ‘Kapan
saja boleh’, kurasa dia merasa senang dengan hal itu.”
“Hmm,
begitu. Kalau begitu, ayo lakukan sebelum salah satu dari kita berubah pikiran.
Aku juga bisa kapan saja. Mungkin
aku agak sibuk untuk sementara ini karena
soal Onee-chan.”
“Baiklah.”
“Nanti
kita atur lewat LINE atau bisa dibicarakan lagi di
kantor.”
“Oke.”
Kami
saling melambaikan tangan dengan
pelan, lalu aku meninggalkan rumah Kakak perempuan
Luna dan Kurose-san.
Langit bulan September sebelum jam 5 sore
masih terang, tapi suasana sore hari sudah terasa di jalanan. Hari Mingguku sudah berakhir.
Rasanya
sangat aneh sekali aku terkurung di dalam ruangan sempit
bersama orang lain, tidak keluar sama sekali selama setengah hari lebih.
Sambil
berjalan menuju stasiun, berbekal ingatan samar-samar dan arus orang-orang,
yang kuingat adalah ucapan Onee-san
saat dia tidak mabuk.
——Kebahagiaan
bukanlah sesuatu
yang harus diusahakan oleh salah satu pihak... Tapi sesuatu yang akan muncul
ketika kalian berdua saling berjalan bersama.
Dalam
artian itu, aku dan Luna sama-sama merasa bahagia.
Kami bahagia...
'kan?
Satu-satunya
masalah yang masih mengganjal di hatiku adalah... Belum tercapainya pengalaman
pertamaku.
Tapi jika
aku langsung menyimpulkan “ada masalah” hanya berdasarkan hal itu, rasanya seperti aku
hanya mencari hubungan fisik
saja dalam hubungan ini... Begitulah pikiran bagian diriku yang lain dengan
tegas menyangkal.
Mustahil
aku hanya mencari hubungan fisik.
Sudah lebih dari 4 tahun kami menjalin hubungan
pacaran, aku dengan sabar
menunggu saat itu tiba. Tuhan pasti akan memberiku stempel ‘pria yang bukan hanya mencari hubungan fisik’ di dahiku.
Nyatanya,
pasangan seperti Icchi dan
Tanekita-san saja bisa mencapai tahap itu
dalam 6 bulan. Wajar saja bagi pasangan muda, 'kan? Yah, meskipun tidak sampai
hamil juga sih...
——
Kita berdua...
Sekarang sudah sampai sejauh ini, mungkin... Menikah duluan juga bisa menjadi pilihan, ‘kan?
Luna
memang pernah mengatakan itu.
Menikah?
Tidak mungkin!
Bukannya berarti aku tidak mau menikah.
Hanya saja, aku tidak bisa menunggu sampai kami menikah duluan.
Aku tidak
mau menunggu lebih lama lagi. Bukannya
aku sudah cukup banyak menunggu?
Ini
adalah kehendak hatiku yang sesungguhnya.
Tapi
waktu itu, kenapa aku tidak bisa langsung mengatakannya?
Apa aku
terlalu sungkan? Kepada pacar yang sudah aku
kencani selama lebih dari empat tahun?
Tidak,
bukan itu. Aku tahu Luna pasti akan menghargai keinginanku.
Alasan
utamanya adalah... Karena kuurangnya
kepercayaan diri diriku sebagai lelaki.
Kenapa
ya?
Memang
benar Luna lebih berpengalaman dalam hal asmara. Tapi kurasa bukan hanya itu saja satu-satunya alasannya.
Seperti
yang tadi dikatakan Onee-san,
meskipun aku merasa diriku lebih unggul dalam hal latar belakang pendidikan dan
prospek penghasilan di masa depan.
Tapi pada
akhirnya, aku masih hanyalah seorang mahasiswa yang belum memiliki apa-apa.
Sementara
Luna, dia pernah bekerja sebagai karyawan tetap dan mendapat apresiasi atas
kinerjanya. Dia sudah dewasa dan berdiri di atas kakinya sendiri.
Dan
sekarang, dia menemukan “pekerjaan
impian” yang
benar-benar ingin dia lakukan dan berusaha untuk mewujudkannya.
Sementara aku
di sisi lain, dengan waktu kelulusan
semakin dekat, aku bahkan
tidak tahu pekerjaan apa yang kuinginkan. Aku tidak bisa menemukan apapun yang benar-benar kuinginkan.
Tak peduli
berapa lama waktu berlalu, Luna selalu selangkah lebih maju di depanku.
Sejak
pertama kali kami mulai berpacaran,
rasa rendah diri diriku terhadap Luna terus-menerus
ada, walaupun bentuknya berubah-ubah.
Selama
aku begini, aku tidak bisa menyampaikan perasaanku yang sebenarnya kepada Luna.
Aku ingin
segera meraih sesuatu yang pasti.
Aku ingin
meraih setidaknya serpihan potensi yang masih terpendam di dalam diriku.
Jika aku tidak bisa melakukan itu, tak
peduli berapa lama pun waktu berlalu, aku akan tetap menjadi pacar yang terus memandangi
wajah Luna, seperti seekor anjing yang
mengharapkan makanan dari tuannya..
Aku benar-benar tidak menginginkan hal itu terjadi.
Aku harus
segera menemukannya.
Didorong oleh perasaan gelisah, aku berjalan menuju
stasiun. Dari jalan lingkungan menuju jalan utama, orang-orang berjalan
terburu-buru, seakan-akan mereka semua rekan seperjuangan yang
tergesa-gesa. Aku belum pernah merasa
sedekat ini dengan orang asing.