Chapter 5 — 23 September (Kamis/Hari Libur) Asamura Yuuta
23 September, Hari Equinox Musim Gugur.
Suasana
panas sudah mulai mereda, dan akhirnya akhir musim panas mulai terlihat pada
hari musim gugur ini.
Aku dan
Ayase-san berjalan menuju tempat konser sambil mengandalkan peta di ponsel.
“Cuaca musim
gugur yang cerah, ya.”
Ucap Ayase-san
sambil menatap langit.
Tempat yang
menjadi lokasi acara konser musiknya adalah sebuah live house yang
terletak sekitar sepuluh menit berjalan kaki ke arah barat dari Persimpangan Shibuya.
Pintu masuk dibuka mulai pukul 18.00, jadi kami masih punya sedikit waktu.
Ketika aku
menoleh ke belakang, aku melihat langit timur sudah mulai berwarna abu-abu.
Angin
sepoi-sepoi mulai berhembus, menyentuh kulit kami dengan lembut.
“Untung saja
kita membawa jaket, ya.”
“Aku berpikir
mungkin suhu malam akan semakin dingin.”
Ayase-san
berkata sambil sedikit mengangkat cardigan yang dia bawa di lengannya.
Kami sudah
memberitahu orang tua kami bahwa kami akan pergi mengunjungi konser artis yang dikenal
Ayase-san saat perjalanan sekolah.
Ayah dan
Akiko-san dibuat terkejut karena mereka tidak menyangka kalau dia bisa bertemu
orang seperti itu di Singapura. Tidak mengherankan. Bahkan aku yang bepergian
bersama dengannya saja tidak tahu kalau Ayase-san dan Melissa-san begitu akrab.
Ternyata
Ayase-san juga pernah bertemu Melissa-san sendirian, dan dia bahkan sudah
mendaftar ke saluran YouTube miliknya tanpa kuketahui.
“Bagaimana
dengan studimu? Sudah berjalan baik?”
Ayase-san
tiba-tiba bertanya.
“Yah, bisa
dibilang lumayan.”
“Kamu sudah
menentukan universitas mana yang ingin kamu masuki, ‘kan?”
“Meskipun sudah
terlambat, tapi aku ingin mencoba mengejar apa yang bisa kuincar.”
Universitas
Ichinose memang merupakan perguruan tinggi yang sulit, tetapi jika aku berpikir
tentang apa yang ingin kupelajari, rasanya lebih baik belajar dengan motivasi
yang jelas daripada hanya belajar tanpa arah.
“Begitu. Yah,
sepertinya kamu jadi kelihatan lebih tenang belakangan ini.”
“Maksudmu
belakangan ini?”
“Dibandingkan
dengan musim panas kemarin.”
Ah memang
sih, meski aku jawab mengangguk, tetapi saat mengingat musim
panas itu, aku merasa malu. Aku tidak tahu untuk apa diriku berusaha keras,
hanya perasaan yang melambung tinggi tanpa ada tujuan jelas.
Sekarang, aku
mempunyai banyak waktu untuk menikmati kencan singkat dengan Ayase-san.
“Kalau
Ayase-san sendiri bagaimana?”
“Aku
melakukannya sesuai ritmeku sendiri. Hari ini juga, aku berpikir waktu
belajarku di sore hari akan terbuang, jadi aku berusaha keras di pagi hari.
Yah, berkat itu, aku jadi tidak punya banyak waktu dan akhirnya berpakaian
biasa saja.”
Sambil
mengatakan “biasa saja,” dia mencubit bagian bahunya.
“Tidak, pakaian
itu terlihat cocok untukmu. Aku berpikir kalau kamu kelihatan imut.”
“Ehm...
Terima kasih.”
Melihat
Ayase-san yang tersipu setelah mengatakan itu, aku merasa kalau dirinya jadi
kelihatan semakin imut.
Aku
mengangkat tangan kiriku sedikit.
Ayase-san
menyadari hal itu dan memindahkan jaket yang dia pegang di tangan kanan ke
tangan kiri, lalu menggabungkan tangan kami.
Kami
berjalan menuruni lereng menuju arah bangunan sambil bergandengan tangan.
“Apa kamu
sudah mendengarkan lagu-lagu Melissa?”
“Aku sudah
mendengarnya sebisa mungkin. Karena ini genre yang jarang aku dengar, dan aku
sendiri jarang mendengarkan musik, jadi aku tidak bisa mengatakan apakah itu
bagus atau tidak, tetapi secara pribadi, menurutku itu lumatan menarik.”
“Menarik,
ya. Ngomong-ngomong, biasanya kamu mendengarkan musik jenis apa, Asamura-kun?”
“Aku
biasanya sering mendengarkan lagu-lagu yang direkomendasikan oleh Maru.
Biasanya lagu-lagu pop atau lagu tema anime.”
Setelah
berkata demikian, aku mulai menyebutkan beberapa lagu yang baru-baru ini
direkomendasikan kepadaku.
Setelah
mendengar judul-judul yang aku sebutkan, dia mengatakan kalau mungkin dia
pernah mendengarnya. Ternyata lagu-lagu itu tidak sekhusus yang kuduga karena
itu lagu yang sangat terkenal.
“Kalau
Ayase-san?”
Ketika aku
bertanya balik, aku mendapat jawaban yang tidak terduga.
“Banyak lagu
yang aku ketahui berasal dari ibu.”
“Dari Akiko-san?”
“Iya. Dan
kebanyakan lagu jadul. Musik dari masa muda ibu... sekitar 20 atau 30 tahun
yang lalu?”
Lagu dari
awal era Heisei, J-POP tahun 90-an mungkin?
“CD... kamu tahu
itu, ‘kan?”
“Tentu saja.
Lagipula masih ada yang tersisa. Aku sendiri juga punya beberapa. Yah, meskipun
aku harus meminjam komputer tua ayahku untuk mendengarnya, sih.”
“Iya, benar.
Aku juga menggunakan smartphone setelah masuk SMA. Tapi saat aku masih kecil,
kita punya radio CD dan pemutar kaset. Kamu pasti tahu, ‘kan?”
“Benda yang
biasanya diputar saat festival olahraga atau acara sejenisnya, ‘kan?”
“Betul. Yah,
aku sudah membuang radio kaset itu saat pindahan, tapi aku masih membawa
CD-nya.”
“Jadi, kamu
mendengarkan itu.”
Ayase-san
mengangguk.
Kalau
dipikir-pikir kembali, aku menyadari bahwa kami belum banyak membahas sesuatu
seperti “apa lagu favoritmu?” satu sama lain. Ini menunjukkan bahwa kami
berdua menjalani hari-hari yang sibuk tanpa banyak waktu.
Namun, aku
ingin mengetahuinya, dan sekarang aku ingin dia mengetahui tentang hal-hal yang
kusukai.
Aku
menyadari bahwa mengetahui sesuatu yang disukai orang lain atau adalah hal yang
berbeda.
Jika
dipikir-pikir lagi, karena kami tinggal di rumah yang sama, memang benar bahwa
jika kami tidak mengetahuinya, kami tidak bisa menghindari hal-hal yang tidak
disukai oleh satu sama lain.
Frekuensi
mencuci pakaian dalam seminggu, ketebalan kertas toilet yang disukai,
pengaturan suhu pendingin dan pemanas. Banyak penyesuaian yang tak terhitung
jumlahnya telah dilakukan setiap hari di antara keluarga baru ini.
Setelah lama
menjadi keluarga, aku sering disadarkan bahwa hal-hal yang tampaknya biasa saja
sebenarnya tidak sesederhana itu.
Saat aku melihatnya
berjalan di sampingku sambil bergandeng tangan, aku berpikir bahwa semakin
dekat kami, semakin banyak benturan yang akan terjadi, dan untuk lebih banyak
penyesuaian, saling mengenal menjadi suatu keharusan—ini adalah kebenaran yang
jelas.
Komunikasi
adalah hasil kali antara kuantitas dan kualitas.
Aku
menyadari bahwa alasan aku menerima kencan langsung ini bukan hanya untuk sekedar
bersantai, tampaknya berkaitan dengan hal tersebut. Meskipun ada persiapan
ujian, bukannya berarti aku bisa mengabaikan komunikasi. Ini berlaku bahkan
jika dia tetap menjadi adik tiriku. Terlebih lagi, Ayase-sa──Saki adalah orang
yang membuatku mulai berpikir bahwa aku ingin menjalin hubungan dengannya.
◇◇◇◇
Meskipun aku
sudah mengikuti peta, aku merasa panik karena tidak bisa menemukan tempat yang
dituju.
“Bukankah
tempatnya yang itu?”
Ayase-san
dengan cepat menemukan papan tanda. Itu berada di posisi yang tidak terlihat
dari arahku karena terhalang bangunan. Di bawah papan tanda itu, ada tangga
turun yang terbuka seperti pintu masuk kereta bawah tanah.
Mungkin
karena waktu pembukaan sudah dekat, jika dilihat lebih teliti, banyak orang
yang tampak seperti penonton berkumpul di sana-sini.
Seseorang
yang tampaknya merupakan panitia dengan IDE yang tergantung di lehernya muncul
dan berseru.
“Kami akan
membuka pintu sekarang! Bagi yang memiliki tiket, silakan tunjukkan di pintu
masuk, jadi mohon disiapkan sebelum masuk!”
Saat
mengantri di barisan yang secara alami terbentuk di tangga turun, kami dengan
lancar sampai di meja pendaftaran. Ayase-san mengeluarkan ponselnya dan
menunjukkan tiket yang dikirimkan oleh Melissa untuk panitia. Sekarang, tiket
elektronik bisa melakukan hal yang sama dengan tiket kertas.
Wanita yang
bertugas di meja pendaftaran berkata, “Untuk pelanggan dengan tiket ini—” dan
mengarahkan kami keluar dari antrean untuk menuju antrean yang berbeda.
“Setelah
pertunjukan, Melissa akan memberikan sambutan, jadi jika ada waktu, kami akan
sangat berterima kasih jika Anda bisa tetap menonton pertunjukannya sampai
akhir.”
Aku mengangguk,
meskipun saya tidak yakin apakah kami bisa bertahan sampai akhir karena waktu
berakhirnya konser cukup larut. Tapi mungkin Ayase-san ingin bertemu langsung
dengannya.
“Jika ada
waktu, mari kita tetap di sini.”
“Iya...
sejauh tidak memaksakan diri. Tapi jika sudah waktunya pulang, aku akan
mengirim pesan kepadanya, jadi jangan khawatir.”
“Baiklah.”
Antrean
untuk tempat duduk pihak terkait cukup pendek, jadi kami segera bisa masuk.
Ini pertama
kalinya aku mengunjungi tempat seperti ini, jadi aku tidak bisa
membandingkannya dengan yang lain, tetapi aku merasa kalau tempat ini lebih
luas dari yang aku bayangkan.
Tentu saja,
dibandingkan dengan teater besar berbentuk mangkuk yang digunakan untuk
pertunjukan, ini hanyalah sebuah kotak datar, tetapi jika hanya berbicara
tentang luas, sepertinya itu bisa menampung sekitar 300 orang.
Di depan
panggung yang sedikit lebih tinggi, ada tempat duduk untuk penonton, dan di
belakangnya ada satu tingkat yang lebih tinggi seperti teras. Di sana,
kursi-kursi disusun rapi untuk tempat duduk pihak terkait.
Meskipun
bukan tempat yang dekat dengan para penampil untuk merasakan kebersamaan,
mungkin tempat ini lebih baik untuk mendengarkan musik dengan seksama.
Kursi-kursinya
sudah hampir penuh.
Sebagian
besar penonton tampaknya sedikit lebih tua dari kami yang masih di SMA, dengan
banyaknya orang di usia dua puluhan.
Rasio pria
dan wanita tampaknya seimbang.
Meskipun
tidak sepenuhnya penuh, tampaknya sekitar tujuh puluh persen kursi sudah terisi
oleh penonton yang datang.
Ini berbeda
dengan pertunjukan konser band rock dan idola yang pernah ditunjukkan Maru
kepadaku di masa lalu, karena ini merupakan pertunjukan langsung penyanyi yang
fokus utamanya adalah membuatmu mendengarkan lagunya. Oleh karena itu, kami
duduk di kursi, bukannya berdiri, dan menikmati suasana yang tenang.
Aku dan
Ayase-san duduk berdampingan di bagian tengah untuk para pihak terkait, sedikit
ke depan (entah kenapa, kursi di belakang terisi terlebih dahulu, jadi kami
terpaksa duduk di situ).
Setelah
duduk, kami berdua melihat sekeliling mirip seperti turis yang sedang
kebingungan. Tiba-tiba, tatapan Ayase-san berhenti di sekitar pintu masuk.
Dia menatap
satu titik dengan penuh perhatian.
Aku juga mengikuti
arah pandangnya.
Di samping
pintu yang terbuka, ada poster besar yang dipasang.
Mungkin itu
hutan tropis... Aku merasa itu di Amerika Selatan, tidak, mungkin di Asia. Di
antara daun-daun besar dan sulur-sulur yang menjalar, samar-samar terlihat
bangunan batu yang tertutup lumut. Mungkin itu adalah reruntuhan kuno. Di latar
belakang pemandangan hijau itu, terdapat potret Melissa yang disusun dengan
berani.
Ini pasti
hasil editan, ‘kan? Jangan-jangan dia pergi ke hutan hanya untuk pemotretan
ini?
Dengan latar
belakang hutan hujan tropis Asia, Melissa dalam poster itu sedikit membungkuk,
hanya matanya yang mengarah ke sini. Rambutnya yang tertiup angin jatuh
acak-acakan di wajahnya. Meskipun senyumnya terlihat ramah, tatapan tajam yang
terlihat di antara rambutnya seperti binatang yang mengintai mangsa di dalam
hutan.
“Bagus ya,
itu,” Ayase-san berbisik.
Di poster
itu, ada tulisan dalam huruf yang tampak seperti coretan, menutupi rambut
Melissa.
“Apa yang
tertulis di situ?”
“Pasti
'Melissa', ‘kan? Meskipun sulit dibaca karena bentuknya, tapi yang paling kiri
itu pasti huruf M.”
Setelah dia
berkata begitu, aku akhirnya bisa membaca ejaannya. Begitu ya, aku hampir tidak
bisa membacanya sebagai Melissa Wu. Oh, ternyata di bawahnya tertulis dengan
huruf cetak kecil yang sama.
Tiba-tiba, aku
menyadari sesuatu dan menatap pamflet yang kuletakkan di atas lutut. Pamflet
itu diberikan di meja resepsionis. Ketika menunjukkan tiket sebagai pihak
terkait, aku bisa mendapatkannya secara gratis, tetapi sepertinya ini termasuk
dalam harga tiket.
“Ini sama
dengan yang itu.”
Sampul
pamflet itu persis seperti poster tersebut.
Ayase-san
juga menyadari bahwa sampul pamflet adalah poster, lalu dia mengambilnya dan
membolak-baliknya.
“Oh, bagian
dalamnya juga bagus.”
Meskipun
hanya pamflet kecil, di dalamnya terdapat daftar lagu untuk hari ini, catatan
dari Melissa, pengenalan anggota band, dan bagian belakangnya terlihat seperti album
foto Melissa.
Meskipun aku
tidak bisa tahu isi pamflet tanpa membacanya, cara penyusunan foto dan
penempatan artikelnya sangat menarik. Namun, aku merasa kalau tampilan ini
tetap mudah dibaca. Selera bagus seperti ini adalah sesuatu yang ingin aku tiru
sebagai penulis iklan pop-up yang bekerja paruh waktu di toko buku.
Meskipun begitu, sungguh—.
“Aku tidak
bisa membuatnya dengan kualitas setinggi ini...”
Ayase-san
bertanya padaku, mungkin karena dia mendengar bisikanku.
“Bukannya
hal semacam ini dibuat oleh ahli?”
“Kurasa
memang begitu.”
“Desainnya sangat
stylish. Keren dan bagus, ya.”
Kami merasa
seperti berbisik dengan suara kecil yang cukup terdengar satu sama lain. Oleh
karena itu, aku sangat terkejut ketika tiba-tiba mendengar suara orang yang
mengucapkan terima kasih dari belakang.
Di kursi
belakang kami, ada seorang wanita berusia sekitar dua puluhan yang duduk dengan
kaki bersilang.
Dia
tersenyum saat melihat kami yang berbalik bersamaan.
“Umm...”
“Aku merasa
senang kamu memuji pamflet dan poster tersebut.”
Ayase-san
tanpa sadar membandingkan pamflet dan wanita itu, tetapi menurutku itu tidak
akan banyak membantu.
“Umm...?”
“Poster itu,
akulah yang membuatnya.”
Wanita
dengan potongan rambut wolf cut berwarna biru itu tertawa dengan ceria,
membuat anting besar dan tipis yang dia pakai bergetar. Matanya yang panjang
melengkung seperti busur. Dalam sekejap, suasana dingin yang dia miliki hancur,
dan wajahnya menjadi lebih lembut.
Dia menyisir
rambut pendeknya dengan tangan kanan dan menggaruk bagian belakang kepalanya,
sambil menunjukkan ekspresi nakal ke arah kami. Tanda lahir di bawah mata
kanannya memberi kesan anggun yang khas pada wanita dewasa.
Ketika aku
mencoba melakukan kontak mata dengannya, aku harus sedikit mengangkat pandanganku,
jadi jelas dia cukup tinggi.
Bahunya juga
lebih lebar dari wanita pada umumnya. Ditambah dengan pakaian jasnya, jika aku tidak
melihat bentuk tubuhnya, aku mungkin mengira kalau dia adalah pria ramping.
“Senang
bertemu denganmu. Betul, ‘kan?”
“Ah, ya.
Ehm... senang bertemu.”
“Eh... Kamu
adalah── Ah, senang bertemu denganmu juga.”
Aku dan
Ayase-san saling menyapa dengan canggung. Wanita itu tidak melewatkan momen
ketika Ayase-san terdiam sejenak, dan dia menunjuk dirinya sendiri dengan
senyum yang ceria dan percaya diri.
“Namaku Akihiro
Ruka. Huruf ‘Ru’ dari kanji Ruri dan huruf ‘Ka’ dari kecantikan. Panggil
Ruka saja juga tidak masalah, kok.”
“Berarti
'biru yang indah', ya?”
“Oh, kamu cukup
pintar juga.”
Dia
tersenyum lebar setelah mengatakan itu.
Ayase-san
melemparkan pandangan ke arahku.
“Ruri itu
apa?”
“Itu nama
sebuah batu permata. Ruri dalam bahasa Jepang merujuk pada lapis lazuli. Tapi,
ada juga yang bilang itu merujuk pada chrysoberyl, atau lebih umum lagi, batu
permata berwarna biru.”
“Hee, begitu
ya...”
“Lapis
lazuli dan chrysoberyl adalah batu permata yang indah, dan 'Kajin' juga
berarti wanita cantik. Jadi, keduanya juga bisa diartikan sebagai keindahan.”
Ketika aku
menjelaskan begitu kepada Ayase-san, Ruka-san tampak sedikit malu-malu dan
berkata,
“Itu adalah
harapan orang tuaku. Mereka ingin aku tumbuh menjadi anak yang cantik seperti
ruri. Yah, sayangnya aku tumbuh sedikit kasar untuk disebut 'wanita cantik'.”
Tidak,
tidak, aku merasa kalau dia sendiri sudah cukup cantik, atau bahkan kata 'cantik'
sangat cocok untuknya. Hm? Apa mungkin warna biru di rambutnya itu sebagai
pengganti label namanya?
“Lalu,
bagaimana dengan kalian?”
“Namaku
Asamura Yuuta.”
“Aku Ayase Saki.”
Setelah kami
memperkenalkan diri, Ruka-san mengulurkan satu tangannya. Kami melakukan jabat
tangan dengan lancar. Di jari tangan Ruka-san terdapat cincin perak. Dia juga
mengenakan beberapa cincin tipis di lengan. Saat berjabat tangan, cincin-cincin
itu sedikit bergerak mengikuti gerakan kami. Cahaya terang dari lampu di atas
membuatnya berkilau.
Setelah
selesai memperkenalkan diri, Ayase-san bertanya dengan sedikit cepat,
“Umm, tadi
kamu bilang... kamu yang membuatnya?”
“Seperti
yang kubilang tadi. Akulah yang membuatnya.”
“Jadi
pekerjaanmu adalah membuat hal-hal seperti ini?”
“Yah, bisa
dibilang begitu. Lagipula, aku seorang desainer, meskipun aku masih pemula, sih.”
“Desainer...”
Ayase-san
menggumam sambil bergantian melihat pamflet dan Ruka-san. Jadi, dia adalah “ahli
pembuat pamflet” yang dimaksud Ayase-san sebelumnya... mungkin.
“Jadi,
pekerjaan desainer tuh termasuk membuat hal-hal seperti ini juga, ya?”
“Hm? Hmm. Namamu
Asamura-kun ‘kan, ya? apa yang kamu pikirkan tentang pekerjaan desainer?”
Ketika mendengar
pertanyaan itu, aku mencari-cari informasi di kepalaku.
“Orang yang
membuat pakaian?”
“Kalau itu
namanya perancang busana. Sebenarnya, para desainer tidak benar-benar membuat
pakaian. Ada orang lain yang melakukan hal itu. Desainer adalah seseorang yang
pekerjaannya mendesain.”
“Desain...”
Rasanya aku sedikit
mengerti, tapi tidak sepenuhnya. Aku merasa bisa mengatakan bahwa itulah yang
dimaksud desain, tetapi ketika mencoba menetapkan apa itu, gambaran itu
tiba-tiba menjadi kabur.
“Setiap
produk yang ada di dunia ini memiliki fungsi dan karakteristik yang diperlukan.
Mendesain adalah memikirkan bagaimana memenuhi fungsi dan karakteristik
tersebut. Jadi, kamu bisa menganggap ada desainer di mana pun di dunia
pembuatan barang. Di antara mereka, aku mendesain ruang untuk acara itu
sendiri, serta mendesain papan nama, logo, dan pamflet. Karena aku masih
pemula, jadi aku mendapatkan pekerjaan ini melalui teman.”
Kata-kata Ruka-san menarik perhatian Ayase-san.
“Teman yang
kamu maksud, mungkin...”
“Melissa
adalah teman lamaku.”
Eh, aku dibuat terkejut. Ayase-san tampak seperti mulai
mengerti.
“Karena kamu
duduk di sini, berarti kalian juga sama, ‘kan? Dilihat dari penampilan kalian,
sepertinya kalian masih pelajar SMA.”
Kami
mengangguk bersamaan.
“Aku tidak
pernah menyangka kalau dia punya kenalan di kalangan pelajar SMA Jepang.
Apalagi mengundang kalian ke sini. Jarang sekali hal seperti ini terjadi.”
“Benarkah?”
“Soalnya,
dia terlihat ramah tapi sebenarnya agak sulit.”
“Sulit...
ya?”
Ketika
Ayase-san menundukkan kepalanya dengan ekspresi serius, Ruka-san tertawa
terbahak-bahak. Tentu saja, dia berusaha tidak mengeluarkan suara agar tidak
mengganggu orang di sekitar.
“Hahaha...
Kamu... eh bukan, Saki-chan, dia tidak menunjukkan wajah seperti itu padamu,
ya. Jadi, sepertinya dia cukup menyukaimu."
“Begitu...
ya?”
Ayase-san
tampak berpikir dengan ekspresi serius.
Dia
menundukkan wajahnya untuk beberapa saat, tenggelam dalam pikirannya, tetapi kemudian
dia mengangkat pandangannya seolah-olah sudah memutuskan sesuatu.
“Umm...”
Ayase-san mencoba memanggil Ruka-san.
Namun, pada
saat yang sama, Ruka-san dipanggil oleh seseorang yang tampaknya merupakan
panitia acara dan berdiri. Dengan nada ringan, dia menjawab dan pergi. Aku berpikir
bahwa dia orang yang ramah, lalu menoleh ke Ayase-san yang tampak kecewa. Dia
menunjukkan ekspresi seolah ingin berbicara lebih banyak.
Kami
menunggu sejenak berharap Ruka-san kembali, tetapi sepertinya acara sudah
dimulai, jadi kami terpaksa menatap ke depan.
Sama seperti
sebelum film dimulai, pengumuman (seperti jangan merekam video dan matikan
ponsel) disampaikan, lalu panggung menjadi gelap.
Acara konser
musik pun akhirnya dimulai.
◇◇◇◇
Acara pertunjukkan
konser berlangsung selama sekitar dua jam.
Tanpa banyak
berbicara, pertunjukan ini berfokus pada lagu-lagu yang disampaikan dengan
tenang.
Tidak ada
pertunjukan mikrofon yang mencolok, dan sebagian besar lagu adalah kombinasi
musik etnis dan rock yang pernah aku dengar sebelumnya, dengan banyak lagu yang
langsung menyentuh hati dengan mudah.
Meskipun
tidak ada teriakan, saat mencapai bagian yang menggembirakan, suara merdu
Melissa menyentuh hati pendengarnya, seolah-olah menarik mereka masuk ke dalam
suasana. Aku merasa kalau suhu tubuhku naik sekitar 0,2 derajat.
Kupikir
Ayase-san juga merasakan hal yang sama di sebelahku. Aku sesekali mencuri
pandang ke sampingnya yang terpesona menatap panggung. Pipinya sedikit memerah,
dan matanya tampak lebih berkilau dari biasanya. Ada desahan kepuasan yang
keluar di sela-sela lagu.
Aku
menyadari bahwa ada aroma harum yang menyebar dari tubuhnya, yang sesekali
menyapu ujung hidungku, mungkin itu dari parfumnya. Dikatakan bahwa parfum akan
menguap dan mengeluarkan aroma ketika terkena suhu tubuh... Mungkin itu juga
berarti suhu tubuhnya meningkat.
Aku merasa
jika aku terlalu lama menatapnya, dia akan menyadari keberadaanku, jadi aku
berusaha mengalihkan pandanganku kembali ke panggung. Pada saat itu, tangan
kami yang terangkat untuk bertepuk tangan bertabrakan. Aku buru-buru menarik kembali
tanganku.
“Maa...”
Aku ingin
berkata maaf, tapi dia tampaknya lebih fokus pada Melissa di atas panggung dan
tidak menyadari bahwa tangan kami bertabrakan. Sementara itu, ketika tangan
kami bersentuhan, entah kenapa, detak jantungku berdegup lebih kencang dari
biasanya. Pada saat itu, aku berusaha keras untuk mendengarkan konser, tetapi
semua itu lenyap dari pikiranku, bahkan suara Melissa pun tidak terdengar
Menahan
detak jantung yang berdebar-debar terasa lebih sulit.
Sejak saat
itu, aku terfokus pada panggung dan tanpa terasa dua jam berlalu begitu cepat.
Ada suara
tepuk tangan yang meminta encore.
Menanggapi hal
itu, Melissa muncul kembali dari sisi panggung dan menyanyikan lagu dengan
melodi yang lembut, yang bisa dibilang satu-satunya lagu seperti itu pada hari
itu.
Walaupun semua
liriknya dalam bahasa Inggris, tetapi karena itu adalah lagu yang jarang aku
ketahui, aku bisa memahami liriknya dengan agak baik. Bahasa Inggrisnya juga
tidak terlalu sulit.
Itu bukan
lagu orisinal, melainkan lagu jazz yang terkenal.
Saat aku melihat
dari dekat wajah Ayase-san yang duduk di sebelahku, aku melihat sesuatu yang samar-samar
berkilau di sudut mataku.
Pertunjukkan
konser Melissa pun ditutup dengan tepuk tangan yang meriah.
◇◇◇◇
Ruangan
menjadi terang. Waktu mimpi telah berakhir.
Pengumuman
dibuat untuk mengumumkan penutupan pertunjukan, dan penonton mulai
berbondong-bondong keluar melalui pintu yang telah mereka masuki.
Aku
mengamati ekspresi para penonton yang pulang dengan santai, dan aku rasa banyak
dari mereka tampak puas.
Beberapa
orang yang tampaknya panitia mendekati tempat duduk kami dan memberi tahu bahwa
Melissa akan datang untuk menyapa setelah ini.
Aku dan
Ayase-san saling memandang, memeriksa waktu di ponsel, dan memutuskan untuk
tetap tinggal hanya untuk menyapa jika dia segera datang.
Setelah
menunggu beberapa menit, Melissa muncul dengan mengenakan jaket ringan di atas
kostum panggungnya.
“Terima
kasih sudah datang! Aku sangat mencintai kalian semua!”
Dia
mengatakan itu dalam bahasa Jepang, Inggris, dan Mandarin secara bergantian
sambil melambaikan tangan.
Orang-orang
yang tampaknya terlibat dalam dunia musik segera berkumpul dan berbicara dengan
Melissa. Beberapa di antaranya memberikan buket bunga secara langsung. Ngomong-ngomong,
ada kotak di pintu masuk untuk hadiah dari penonton umum. Ayase-san pernah
berkata bahwa dia merasa seharusnya membawa sesuatu sebagai hadiah. Dia ingin
memberikan kartu ucapan untuk merayakan meskipun tidak secara langsung.
Tiba-tiba
aku menyadari bahwa orang-orang di kursi tamu VIP sedang berbaris. Mereka akan
berjabat tangan dengan setiap orang sebelum pulang.
Karena kami
terlambat dan merasa ragu, kami berdiri di barisan paling belakang. Ternyata
kami tepat berada di belakangnya Ruka-san. Aku tidak menyadarinya, tetapi
sepertinya dia duduk di salah satu kursi tamu VIP sebelum pertunjukan dimulai.
Di atas panggung,
proses pembersihan sudah dimulai. Mereka berkeliling mengumpulkan peralatan musik,
merapikan kursi yang disiapkan sementara, dan mencopot poster. Semua orang
tampak sibuk, dan agar tidak mengganggu, kami yang berada di belakang bergerak
ke sudut ruangan. Orang-orang yang tersisa adalah teman-teman, dan mereka yang
belum berjabat tangan, tetapi juga berbicara satu atau dua kata. Namun, karena
hampir semuanya dalam bahasa Inggris, Ayase-san mungkin bisa mengikuti, tetapi
aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Berbeda
dengan ekspresi tegang di atas panggung, Melissa tampak lebih santai.
Mungkin
lebih tepat jika dikatakan bahwa dia terlihat lega.
Tepat di
depan kami adalah Ruka-san, yang hanya melakukan tos seolah itu hal biasa, lalu
mendorong kami ke depan.
“Nah, mereka
adalah anak-anak kesayanganmu, ‘kan? Kamu harus menyapa dengan baik.”
Karena
punggungnya didorong dari belakang, Ayase-san maju ke depan Melissa dan
mengeluarkan suara yang terdengar malu-malu seperti kucing yang dipungut.
“Umm... tadi
itu bagus sekali.”
“Hmm. Terima
kasih ya.”
Balasan
Melissa juga dalam bahasa Jepang. Saat itu, aku baru menyadari bahwa Melissa
cukup lancar berbahasa Jepang. Di atas panggung, dia menggunakan bahasa Inggris
sebagai dasar, dan bahasa Jepang hanya saat menyapa. Aku rasa dia hanya
mengingat frasa “Terima kasih sudah datang” saja.
Begitu ya,
jadi dia bisa berbicara bahasa Jepang juga.
Ayase-san
kemudian berusaha mengungkapkan pendapatnya tentang konser musik tersebut
tersebut.
Melissa
mendengarkan dengan tenang.
“Hmm. Hmm.
Sudah kuduga, aku jadi malu sendiri ketika mendengarmu mengatakannya sampai
seperti itu.”
“Tidak,
sebenarnya itu sangat bagus.”
“Yah, aku
sudah berlatih cukup keras.”
Ketika
Melissa sedang bersikap merendah, Ruka-san berkata dengan nada bercanda, “Tapi,
dia benar-benar sangat tegang dan pucat sebelum pertunjukan!”, dan Melissa
menepuknya dengan siku untuk membuatnya diam.
“Aduh!”
“Berisik,
Ruka.”
“Kenyataannya
‘kan memang begitu. Jangan malu-malu.”
Melihat
kedua orang ini yang saling bersenda gurau, aku berpikir kalau mereka adalah
teman yang baik.
“Ngomong-ngomong,
Ruka, sejak kapan kamu mengenal mereka berdua? Apa kalian sudah saling kenal
sebelumnya?”
“Tentu saja
tidak. Aku baru saja mengenalnya tadi. Gadis ini... Saki-chan, kan? Dia memuji
pamfletku.”
“Oh, yang
itu. Ya, itu bagus.”
“Iya. Rasanya
indah sekali. Bangunan yang terlihat seperti di tengah hutan itu, apa itu semacam
situs bersejarah?”
“Itu dari
mana, sih?”
Menanggapi
pertanyaan Ayase-san, Melissa ikut bertanya kepada Ruka-san. Lalu, Ruka-san
justru balik bertanya kepada Ayase-san, “Menurutmu itu dari mana?”
Ayase-san
berpikir sejenak──.
“Pada awalnya,
kupikir itu semacam hutan, jadi mungkin hutan Amazon atau semacamnya, tapi
setelah dipikir-pikir, sepertinya bukan. Mungkin, itu pemandangan dari suatu
tempat di Asia──aku rasa itu bagian Asia selatan.”
“Kenapa kamu
berpikir begitu?”
“Karena
kampung halaman Melissa yang lain adalah Taiwan, dan yang dia tinggali saat ini
adalah Singapura. Dua-duanya berada di daerah Asia Tenggara. Dan juga, ada
elemen musik etnis Asia yang diambil... Aku merasa foto itu menggunakan
pemandangan alam dengan bangunan tua sebagai tradisi? Maksudku, musik Melissa
memiliki darah... akar, semacam itu, dan menurutku poster itu menyampaikan hal
semacam itu. Jadi... mungkin itulah alasannya."
Ruka-san
mengangguk beberapa kali sambil mendengarkan kata-kata Ayase-san yang berpikir
sambil berbicara.
Melihat
ekspresi puas di wajahnya, sepertinya interpretasi Ayase-san cukup tepat.
Sedangkan aku, hanya berpikir bahwa itu poster yang indah, jadi aku merasa
terkesan.
Aku kembali mengingat kata-kata Ruka-san
tentang desain.
“Setiap
karya memiliki fungsi dan karakteristik yang diperlukan. Memikirkan bagaimana
memenuhi fungsi dan karakteristik itulah yang dinamakan desain.”
Jika itu adalah
poster konser, berarti poster tersebut harus bisa menyampaikan jenis konser
seperti apa yang akan diadakan.
Dengan kata
lain, penonton harus tahu apa yang akan mereka dapatkan jika mereka datang ke
konser Melissa, dan itu adalah “fungsi” yang diharapkan dari poster
tersebut. Jadi, untuk memenuhi fungsi itu, menata foto dan logo seperti itu
adalah bagian dari “desain.”
Sambil
bergantian melihat ke arah Ayase-san yang berbicara dengan antusias dan Ruka-san
yang mengangguk, Melissa berkata, “Hee, jadi begitu ya?” Sepertinya dia tidak
tahu tentang hal itu.
Ruka-san
berkata dengan senyum masam saat mendengar nada ringan Melissa
“Yah, itu
bukan situs bersejarah sih, itu hanya reruntuhan yang berumur beberapa puluh
tahun. Kami terpaksa menggunakan itu. Kami kesulitan mencari bahan. Foto-foto
itu memiliki hak cipta, jadi tidak bisa menggunakan yang punya orang lain. Dan tidak
ada bahan gratis yang menarik. Jadi aku terpaksa mengeluarkan foto-foto lama
dari perjalanan dan menggabungkannya. Yah, aku juga tidak punya waktu dan uang
untuk pergi syuting dengan orang ini.”
Jika ada
uang dan waktu, mungkin dia akan mengajak Melissa-san untuk pergi ke lokasi dan
mengambil foto. ... Itu pasti sulit.
“Untuk foto close-up,
kamu membantu mengambilnya, ‘kan? Itu juga cukup menyusahkan, ya.”
Melissa
berkata.
“Meskipun
sudah terkena angin, rambutnya tidak bisa mengalir dengan baik! Wajahmu
terlihat berantakan seperti makhluk aneh. Entah sudah berapa banyak foto yang
dibuang...”
Setelah mendengar
ucapan Ruka-san, aku tidak bisa menahan rasa penasaranku dan bertanya.
“Apa kamu
juga mengambil fotonya sendiri?”
“Hmm? Ya, mungkin
ada beberapa yang mengambil fotonya sendiri, tapi untuk foto orang, biasanya itu
tugas fotografer. Aku memang pergi ke lokasi pemotretan, sih.”
Jadi begitu,
ya. Ternyata ada berbagai jenis desainer.
“Menjadi
objek foto juga sulit, loh. Tapi, akhirnya kami mendapatkan hasil yang baik.
Aku berterima kasih banyak kepada Ruka.”
Saat Melissa
berkata dengan suara serius, Ruka-san hanya menggaruk kepala belakangnya dan
berkata kalau dirinya harus bekerja sesuai dengan uang yang diterima.
Ayase-san berkata
sambil menatap pamflet di tangannya.
“Ketika melihat
poster itu, aku jadi memikirkan banyak hal tentang musik Melissa-san. Mungkin itulah
sebabnya, saat aku mendengarkan konser Melissa-san──”
“Saki, tidak
perlu ada tambahan '-san' segala. Aku juga tidak menggunakannya.”
Melissa
menatap Ruka-san yang berada di sampingnya, dengan tatapan 'tidak masalah,
‘kan?', dan Ruka-san menganggukkan kepalanya dan mengatakan bahwa dia
baik-baik saja.
“Baiklah.
Hmm──aku merasa musik Melissa bisa diterima secara mendalam, sama seperti yang
aku bayangkan dari posternya. Nyanyian dan permainan musik... semuanya sangat
indah. Ya, aku terharu.”
“Saki. Apa
kamu menyukai poster Ruka?”
“Iya.”
Melihat
Ayase-san mengangguk dengan tulus, Melissa mengarahkan tatapannya ke arah Ruka-san,
yang kemudian mengeluarkan kartu nama dari sakunya dan memberikannya kepada
Ayase-san. Sepertinya itu adalah kartu nama Ruka-san sebagai desainer.
“Kadang-kadang
aku mengunggah hobi seniku di Instagram. Silakan dilihat-lihat jika kamu
menyukainya.”
“Aku akan mengikuti
akun Instagrammu.”
“Terima
kasih! Oke, satu pelanggan masa depan berhasil didapat!”
Sambil
berkata demikian, Ruka-san mengepalkan tangannya dan kemudian tiba-tiba mengalihkan
pandangannya ke arahku.
“Upss, pacarmu
jadi terpinggirkan, ya. Ehm, kamu adalah...”
“Yuuta-kun,
kan? Betul, ‘kan?”
Saat Melissa
bertanya padaku, aku jadi mengingat-ingat apa aku sudah memberitahukan namaku
kepadanya.
“Ehm.”
“Aku sudah
banyak mendengar tentangmu dari Saki.”
“Ak-Aku
tidak bilang sebanyak itu, ... kok?”
Meskipun dia
mengatakan itu sambil melihat ke arahku.
“Namaku
Asamura Yuuta.”
Sepertinya
saat di toko di Singapura, aku tidak bisa memberi salam yang layak. Meskipun
Ayase-san tampaknya sudah akrab, ini adalah pertama kalinya aku berbicara layak
dengannya. Pada saat itu, Melissa berbicara dalam bahasa Inggris, jadi aku
merasa lega karena dia tampaknya cukup mahir dalam bahasa Jepang.
“Kamu pacarnya
Saki, ‘kan?”
“Eh?”
“Aku mendengarnya begitu.”
Melissa
mengatakannya dengan tegas, sementara Ayase-san mengibaskan tangannya di depan
wajahnya. Dia membuka dan menutup mulutnya, tetapi tidak ada kata-kata yang
keluar.
“Iya, benar.
Aku adalah pacarnya.”
Aku
menyadari bahwa aku tidak boleh menyangkalnya di momen ini, jadi aku mengangguk.
Ruka-san meletakkan tangannya di dagu sembari mengangguk seolah-olah memahami
sesuatu. Apa yang dia pahami, ya?
Melissa lalu
bertanya kepada Ayase-san.
“Waktunya
sudah lumayan larut, tapi bagaimana kalau kita makan malam bersama? Ah, atau
mungkin kamu mau melanjutkan kencanmu dengan Yuuta-kun?”
“Eh? Tidak,
aku sudah mau pulang sekarang.”
Entah
kenapa, Melissa terlihat terkejut saat mendengar jawaban Ayase-san.
“Meskipun kalian
berdua sedang kencan, tapi kalian mau pulang tanpa melakukan apa-apa? Eh, bukannya
itu aneh?”
Pandangan
penuh tanya Melissa beralih ke arah Ruka-san yang ada di sampingnya.
“Kenapa kamu
malah melihat ke arahku?”
“Nee, mereka
berdua bilang mau langsung pulang tanpa makan dulu atau berhubungan s*ks, loh?”
“Jangan melihatku
dengan tatapan penuh nada tanya begitu! Aku tidak tahu! Tunggu, jadi──”
“Hei, Saki.
Eh, jadi kalian beneran tidak berhubungan s*ks?”
“Jangan
tanyakan itu!”
Ruka-san
dengan cepat menepuk belakang kepala Melissa. Namun, Ayase-san, dan tentu saja
aku juga, tidak memiliki waktu untuk tertawa melihat dua orang itu berkelakar.
Ayase-san membuka mulutnya lebih lebar dan terdiam, sementara aku juga,
kata-kata yang diucapkan tidak bisa masuk ke dalam pikiranku sejenak, membuatku
merasa seperti otakku mati.
Eh, apa yang
baru saja dia katakan?
Ayase-san
dengan susah payah berkata.
“Ti-Ti-Tidak,
kami tidak melakukannya!”
Aku sendiri
hampir saja menyangkalnya lebih keras dari Ayase-san, tetapi aku masih mengingat
bahwa kami sedang di dalam ruangan yang dipenuhi orang-orang.
Saat aku
melihat sekeliling, semua orang tampak sibuk membereskan barang-barang, dan
tidak ada yang tampak mendengarkan percakapan kami. Syukurlah... Aku tidak
menyangka mereka akan bertanya tentang hubungan seksual dengan begitu terbuka.
Atau mungkin ini hal yang biasa di luar negeri?
Ruka-san
menggelengkan kepalanya dengan ekspresi heran.
“Lihatlah,
Melissa, mereka jadi terlihat dalam masalah. Ayo, jangan samakan mereka dengan
kita yang melakukannya dengan santai. Mereka ini masih pelajar SMA.”
“Tapi kalau
mereka berpacaran, bukannya itu hal yang biasa?”
“Tapi bukan
berarti harus ditanyakan terus-menerus tau!”
“Eh, tapi
itu bukanlah sesuatu yang perlu disembunyikan segala. Itu adalah hal yang
dilakukan semua orang. Aku bertemu mereka tahun ini, eh... bulan Februari, ‘kan?
Saat itu hubungan mereka berdua sudah akrab. Cinta yang tumbuh saat perjalanan
itu mungkin saja terjadi.”
“Benarkah?”
Kenapa Ruka-san
juga sampai ikutan bertanya kepada Ayase-san?
“Tidak,
bukan berarti ada sesuatu yang terjadi di sana...”
Setelah
mendengar perkataan Ayase-san, Melissa kemudian menimpali dengan seruan.
“Jadi kalian
berdua sudah berpacaran sebelum itu! Berarti kalian pasti sudah melakukannya
berkali-kali, ‘kan!”
Ayase-san
menggelengkan kepalanya dengan keras. Tentu saja aku juga mengikutinya.
“Mustahil,
kalian belum melakukannya? Memangnya pelajar SMA bisa menahan diri? Aku saja,
setelah mengungkapkan perasaan, pada hari itu juga──”
“Oi, tunggu!”
“Apa pelajar
SMA di Jepang sebegitu polosnya? Saat aku seusia mereka dulu, nafsu makan dan
nafsu seksualku sama sekali tak terbendung!”
“Jangan
anggap semua orang seperti kamu. Dasar predator.”
“Ruka juga
termasuk yang agresif, ‘kan?”
“Eh, yah,
bisa dibilang begitu?”
“Jadi, wajar-wajar
saja kalau aku jadi merasa heran. Hei, Saki. Setidaknya, kalian pasti pernah melakukan
elusan atau belaian, ‘kan──”
“Sudah
kubilang, jangan paksakan nilai normamu kepada mereka!”
“Ugh...”
“Di Jepang,
pendidikan tentang s*ks saja masih tertinggal. Apa yang kamu lakukan bisa
berbahaya. Kalian juga tidak perlu menerima apa yang dia katakan secara
mentah-mentah, oke?”
“Iya, betul.
Menggunakan kontrasepsi sangatlah penting, loh.”
“Kamu masih
mau bicara?”
Ruka-san
menepak kepala Melissa di kanan dan kiri, seperti tindakan yang disebut umeboshi—meskipun
katanya itu cukup menyakitkan, aku belum pernah merasakannya, jadi aku tidak
tahu.
“A-Aku
mengerti. Jadi tolong berhenti!”
“Baiklah. Di
Jepang, hal seperti itu bisa dianggap pelecehan seksual, jadi hati-hati, ya?”
“Aku
mengerti, aku mengerti.”
Melissa
mengangkat kedua tangannya seolah menyerah dan kemudian berkata pelan.
“──Tapi,
mencintai satu sama lain adalah tindakan yang bahagia. Aku merasa kalau kamu
tidak perlu merasa bersalah tentang itu.”
Kata-katanya
terdengar sedikit tidak puas, dan itu mengejutkanku.
Tindakan
bahagia. Memang, saat pertama kali aku memeluk Ayase-san, aku merasa lega dan
merasakan ketenangan saat merasakan suhu tubuhnya.
Saat kami
berciuman, aku juga merasakan perasaan bahagia.
Berbagai
tindakan dalam cinta (seperti pelukan, ciuman, dan lebih dari itu) dapat memicu
pelepasan endorfin dan serotonin di otak—yang dikenal sebagai hormon kebahagiaan.
Ini sudah diketahui dengan baik. Bahkan hal itu sering muncul di manga. Jadi,
perasaan senang yang menyertainya secara ilmiah sudah terbukti—eh, tapi itu
bukan pembicaraan yang tepat.
Apa kami
akan melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar ciuman?
Hanya dengan
memikirkan itu, perasaan bersalah mulai muncul di dalam diriku. Ketika ditanya
mengapa itu salah, aku tidak bisa menjawab dengan jelas; ada kesadaran samar
bahwa itu adalah tindakan yang seharusnya tidak dilakukan.
Mungkin karena
itulah, aku belum pernah memikirkan hal seperti itu sebelumnya.
Bahkan saat pertunjukkan
kembang api di akhir musim panas kemarin, kami berdua hanya saling memandang
sambil bergandengan tangan.
Aku tidak
tahu bagaimana perasaan Ayase-san di sebelahku, tetapi mungkin Ayase-san juga berpikir seperti itu...
pikirku dalam hati sambil menatap Ayase-san yang sudah memerah karena tersipu
malu.
Dia pasti
berpikir seperti aku... seharusnya.
Pada saat
itu aku tersadar.
──Tidak, bukannya itu aneh jika aku memutuskannya
secara sepihak bahwa itu tidak boleh dilakukan?
Apa aku
lagi-lagi hampir memutuskan semuanya sendirian?
Sebenarnya, bagaimana
pendapat Ayase-san tentang hal ini? Haruskah kami mendiskusikannya? Tapi, bukannya
itu bisa terasa seperti pelecehan seksual saat kami membahasnya?
Pikiranku
berputar-putar dan tampaknya sulit untuk ditangkap.
Pada saat
itu, panitia acara datang dan memberi tahu bahwa sudah saatnya...
Karena itu
adalah akhir dari salam perpisahan, kami terlibat dalam percakapan, tetapi
rasanya sudah terlalu merepotkan jika berlama-lama.
Ketika aku memanggilnya,
Ayase-san juga tersadar dan panik. Melissa dan Ruka-san menatap Ayase-san
dengan senyuman di wajah mereka, seolah-olah mereka sedang mengawasi adik
perempuan atau juniornya.
“Umm, kalau
begitu kami pulang duluan.”
“Kalau ada
konser lagi, silakan datang lagi. Jangan lupa di YouTube juga!”
Ayase-san
mengangguk dan berkata, “Aku akan menontonnya.”
Kami
berjabat tangan dengan Melissa dan Ruka-san sebelum meninggalkan tempat
tersebut.
Matahari
sudah terbenam, langit di atas sudah gelap sepenuhnya, dan hembusan angin
terasa sedikit dingin. Ayase-san mengenakan jaket yang sudah disiapkan.
Dalam
perjalanan pulang, meskipun aku berjalan bersama Ayase-sa—Saki, kami tidak bisa
banyak berbicara karena [bom] yang dijatuhkan Melissa.
Jika aku
membuka mulutku, aku merasa takut kalau aku akan mengucapkan hal yang tidak
semestinya.
Saling
mencintai adalah tindakan yang bahagia──
Kata-kata
Melissa terus terngiang di telingaku dan tidak mau meninggalkanku.