Ronde 8 — Tetangga Yuzuki Adalah Dirimu
Bagian 2
Aku
menyiapkan sup miso dengan jahe dan bahan yang mudah dicerna. Jahe akan
menghangatkan tubuh dari dalam, sementara tahu akan memberi rasa kenyang yang
mudah. Aku berharap kalau sup ini bisa sedikit membuatnya
merasa lebih baik, baik secara fisik
maupun mental.
Emoto-san
mengangkat mangkuk dengan kedua tangan, lalu menyeruputnya perlahan.
“...Hangatnya.”
Sepertinya
dia mulai sedikit tenang setelah mencicipinya.
“Kalau
mau, aku bisa menyiapkan nasi hangat dan acar
instan untukmu.”
“Ah,
kamu tidak perlu sampai segitunya.
...Lagipula, aku juga bawa bekal sendiri.”
Emoto-san
mengeluarkan kotak makan dari dalam tasnya.
Tapi dia hanya memandangi kotak itu tanpa mengeluarkan isinya.
“Umm,
kamu tidak akan memakannya?”
“...Sebaiknya
tidak usah.”
Alasan
kenapa dia enggan menyentuh bekal itu karena bekal tersebut bukan untuk dirinya
sendiri, melainkan untuk Yuzuki. Di samping kotak bekal ada bekas tempat es
batu. Tapi kalau menunggu Yuzuki pulang, makanannya bisa kurang segar.
“...Kalau
kamu tidak keberatan, apa aku boleh memintanya?”
“Eh?”
“Sejujurnya
aku sedari tadi merasa lapar. Selain itu, aku merasa tidak enakan untuk makan sendiri, jadi kupikir aku bisa mengajakmu...”
Apapun
alasannya, yang penting bekal buatan itu tidak jadi terbuang. Emoto-san memandang curiga dengan komentarku yang
asal, tapi akhirnya dia memberikan bekal itu padaku.
“...Anggap
saja sebagai balas budi dariku.”
Ternyata
kami sama-sama berusaha mencari alasan demi mencegah makanan itu terbuang.
Aku
mengeluarkan kotak bekal berbentuk lonjong dari dalam tas, lalu membukanya.
“Wah...”
Isinya
nasi multi-biji, omelet ala Spanyol, coleslaw
dan kubis ungu, serta ayam teriyaki. Penampilannya
tampak seperti bento makan siang di kawasan perkantoran.
“...Baik
yang di taman rekreasi maupun ini, susunan makanannya selalu cantik ya.”
“...Menikmati
makanan juga harus dengan mata.”
Emoto-san
menggaruk pipinya dengan malu-malu.
Pertama-tama,
aku mulai mencicipi omeletnya duly.
Dengan bantuan sumpit, aku memotongnya supaya pas dengan porsi satu
suapan.
“Wah,
lembut sekali... begitu rupanya, kamu pasti
memakai banyak susu ya. Dan
kentangnya juga ditumbuk, jadi
terasa halus banget di lidah.”
“...Jadi kamu bisa mengetahuinya, ya.”
Sedikit
terdengar nada riang di suaranya. Bukan karena Emoto-san
gampang tergoda, tapi memang para koki pasti senang saat orang menyadari ciri
khas masakannya.
“Ohh,
coleslaw-nya juga aman dari kandungan
air berlebih, jadi rassanya renyah.
Kacang garbanzanya memberikan rasa sederhana tapi menenangkan.”
“Aku
merendam kubisnya dalam air garam, supaya kandungan airnya merata. Lalu aku memotongnya tipis-tipis sesuai arah tulang
daunnya, untuk mendapatkan tekstur yang lebih renyah.”
“Sensasi
asam lemon dan aroma peterseli benar-benar jadi aksen yang pas. Ini pakai cuka
sushi ya, bukan gula biasa?”
“Tepat
sekali! Rupanya kamu sangat
peka ya.”
Tatapan mata
Emoto-san yang semula redup, kini
kembali bersinar.
“Daging
ayam teriyaki juga enak. Dagingnya ditumbuk
tipis lalu digulung dengan daun salam, lalu dioseng dengan saus teriyaki.
Keseimbangan antara rasa kental saus dan kesegaran daun salam benar-benar pas.
Setelah rasa manis menyebar di mulut, nasi multibijinya membersihkan kembali.”
“Nah,
kan? Aku sudah memperhitungkan variasi rasa, tekstur, dan porsi dengan cermat! Cara memasakku sangat berbeda dengan
Mamori-san yang hanya memaksakan
daging, minyak, dan nasi putih.”
Sepertinya
kepercayaan diri Emoto-san
sudah pulih. Perubahannya cepat sekali, aku perlu belajar darinya tentang perubahan suasana hatinya ini.
“...Aku benar-benar bisa merasakan cinta yang dituangkan Emoto-san ke dalam bekal ini.”
Aku
menyampaikan pendapat jujurku tanpa bermaksud mencari muka.
“Bekal
ini memanfaatkan apa yang kamu pelajari
terakhir kali, ‘kan?”
Ketika
aku bertanya demikian, Emoto-san terdiam sejenak.
Daging
yang sengaja dia hindari
di Taman Rekreasi, kini dengan bangga disajikan,
bahkan dimasak dengan rasa kuat teriyaki, demi Yuzuki yang dulu merasa senang bento daging sapi.
“Jujur
saja, aku cukup menyukai bento yang kemarin. Sudut pandangmu yang mempertimbangkan kemudahan dalam memakannya benar-benar khas idol.”
“...Kenapa kamu tiba-tiba memujiku begitu? Apa jangan-jangan
kamu berniat menjilatku?”
“Sudah
kubilang, itu salah paham...”
“Aku
cuma bercanda, kok.”
Emoto-san
menempelkan jarinya ke bibirnya dan tersenyum usil.
“Bento
daging sapi buatanmu juga...
Yah, sebenarnya tidak buruk. Sepertinya kamu tidak
asal-asalan memberi banyak daging ke dalamnya,
tapi mengaturnya agar habis bersamaan dengan nasi. Menyajikan acar mentah
terpisah juga ide yang bagus, kamu pasti sudah memperhitungkan hal itu supaya
tidak melemahkan teksturnya saat dipanaskan.”
“Tak
disangka kamu sangat memperhatikan detailnya.”
“...Menganalisis
lawanmu juga diperlukan untuk menang!”
Pipi dan telinganya sedikit memerah,
mungkin ada pujian tersembunyi di sana.
“Tapi
tetap saja! Memberi makanan yang kaya kalori semacam itu
pada Yuzuki masih tidak
dianjurkan!”
Emoto-san
tiba-tiba bersuara keras sambil menunjukku.
Aku menanggapinya sambil mendengus, lalu
melipat tangan dengan gaya mengancam.
“Tapi
Yuzuki sendiri merasa senang kok?”
“Masalahnya
bukan itu saja! Kamu bahkan
menggunakan kotak bekal pemanas segala, bukannya itu terlalu
mencolok! Nanti kalau saus teriyakinya
terciprat ke baju Yuzuki, bagaimana? Kamu
kurang memperhatikan Yuzuki!”
“Tenang
saja, aku juga membawa
peralatan untuk menghilangkan noda kok. Kalau cuma memanaskan pakai kotak bekal
begitu, aku bisa melakukannya sendiri dulu sebelum berikan pada Yuzuki. Yang
harus kamu lakukan bukan menceramahiku, tapi menyadari kekurangan dirimu sendiri, ‘kan?”
Saat aku
tersenyum mengejek, Emoto-san menggertakkan giginya sembari mengepalkan
tangannya dengan kuat di atas pangkuannya.
“Kalian
sudah bersama selama tiga tahun, masa kamu
tidak tahu kesukaan Yuzuki sama sekali? Atau hubungan kalian
hanya sebatas hubungan bisnis, seperti 'saling menguntungkan'?”
“Ma-Mana
mungkin begitu! Aku jauh lebih mengetahui tentang Yuzuki daripada kamu!”
“Meski begitu,
bukannya jelas-jelas akulah yang menang mutlak saat di kebun binatang tempo hari?
Kamu ingat ekspresi lumer Yuzuki, ‘kan?”
Aku
kembali melipat tanganku dan
memasang wajah penuh kemenangan.
“Aku juga
bisa
dengan mudah membuat wajah anggun Yuzuki
menjadi lebur tak karuan! Itu bahkan
bukan perkara sulit!”
Emoto-san
juga memaksakan senyum di wajahnya.
“Kalau
cuma bicara saja sih memang gampang.
Tapi bila tidak ada
tindakan, itu cuma gonggongan anjing yang kalah.”
“~~~~Aku
masih belum kalah, tahu!”
Setelah meminum habis sup misoinya, tatapan Emoto-san menjadi tajam.
“Sudah
kuduga, aku tidak
bisa mempercayakan Yuzuki padamu! Mamori-san,
ayo kita bertanding lagi!”
“Dengan
senang hati aku meladenimu. Kali
ini, aku akan
memastikan kalau kamu benar-benar mengakui kekalahanmu!”
Kami
berdua saling bertukar pandangan sengit.
Ruangan
menjadi hening, yang terdengar
hanya suara napas kami saja.
“...Maaf,
aku malah membuatmu jadi memainkan peran antagonis.”
Emoto-san
yang sudah kembali tenang,
bergumam dengan nada menyindir dirinya
sendiri.
Meskipun aku berpikir
kalau aku sudah cukup berusaha, tapi aku memang tidak berbakat untuk berakting. Lebih baik aku segera
menyingkirkan topeng tipisnya.
“...Orang
yang bisa membuat bekal sedetail ini demi satu orang saja memanglah langka. Perasaanmu sudah
tersampaikan dengan baik pada Yuzuki. Dia pasti berterima kasih, dan ingin berbaikan denganmu.”
“...Yuzuki ingin berbaikan? Tolong jangan bercanda.”
“Kenapa
kamu yang 'kakak'-nya menjadi
pesimis begitu?”
“Justru
karena status 'kakak' itulah yang membuatku
jadi tersesat sejauh ini.”
Karena
spesial, dia tak mau
membaginya dengan siapa pun.
Karena
spesial, mereka bisa mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.
Karena
spesial, mereka takut
untuk saling berhadapan.
Baik Emoto-san maupun Yuzuki, mereka
saling menganggap satu sama
lain sebagai sosok yang spesial.
Tapi
entah sejak kapan, hubungan di antara mereka
mulai saling menjauh, tak lagi sehati, dan hubungan mereka berubah menjadi rumit.
“Justru
karena tidak ada bentuk nyata, kalian bisa
memulai lagi berulang kali. Ikatan bernama 'hubungan' itu memang kusut, tapi bukannya terputus.
Kalau begitu, kamu tinggal membuka
sampul yang menggulung itu.”
Aku meyakini
kalau tidak ada perbedaan antara aku dan Emoto-san dalam hal
perasaan menyayangi Yuzuki.
Hanya posisi dan urutan pertemuan yang berbeda.
“...Aku
iri padamu.”
Emoto-san dengan tenang mengungkapkan
perasaan terdalamnya.
“Membuat
makanan tak bermoral meskipun ditolak,
lalu bertengkar dengan Yuzuki, tapi masih tetap bisa membangun kepercayaan
yang kuat. ...Mungkin yang kubutuhkan adalah keberanian untuk berhadapan
langsung, sama sepertimu.”
Emoto-san
yang sedari tadi menunduk, kini mendongak.
Tidak ada lagi keraguan di matanya.
“Mamori-san, sekali lagi, tolong
bertandinglah
denganku.”
“Aku akan
menerimanya dengan senang hati. Tapi aku takkan memberi ampun padamu, oke?”
“Justru
itu kalimatku. Aku sudah paham betul
caramu bertarung. Jika kamu berpikir
bisa menang cuma dengan mengandalkan daging dan nasi, kamu membuat kesalahan besar!”
“Emoto-san
juga sama, kekalahamu sudah
dipastikan ketika kamu menggunakan tahu!”
Suara bel
tanda babak final bergema di dalam hati kami.
Semangat
juang Emoto-san, yang hampir saja menghilang, menjadi sangat bersemangat.
“Mari kita
selesaikan masalah ini dan menentukan
pemenangnya. Siapa yang paling pantas menjadi pengasuh Yuzuki, aku atau Mamori-san! Kali ini aku akan
menyerahkan seluruh jiwa dan ragaku untuk mengalahkanmu!”
Emoto-san
mengulurkan tangannya. Sosoknya yang
tersenyum menantang tanpa rassa takut membuatnya
terlihat sangat
keren.
“Aku
juga tak akan segan-segan. Akan kutunjukkan padamu kenapa aku disebut orang yang 'terlalu ikut campur'. Nantikan
saja!”
Saat aku
membalas uluran tangannya, semangat yang berkobar itu menghangatkan tanganku.
Membara membakar jiwa bertarungku.
Emoto
Ruru. Ketua grup idol [Spotlights] dan 'kakak perempuan' Yuzuki. Tak ada yang kurang
darinya sebagai lawan.
Kami
saling memandang sambil tersenyum.
Kemudian Emoto-san melepas tanganku, dan
kali ini benar-benar meninggalkan ruang tamu.
Tepat
sebelum dia menutup pintu, aku bisa mendengar gumaman samarnya,
“...Aku
sangat bersyukur bahwa tetangga Yuzuki adalah kamu.”
Aku tidak menahannya lagi. Aku bahkan tidak mengasihaninya maupun menghiburnya.
Karena Emoto-san, adalah rival
terberatku.