Ronde 9 — Ayo Makan Bersama ♥
Bagian 1
(Sudut
Pandang Emoto Ruru)
Pertama
kali aku bertemu dengan Sasaki
Yuzuki adalah di ruang rapat kantor kami.
Pada saat
itu, Yuzuki masih berusia dua belas tahun dan belum masuk sekolah SMP. Dia datang ke Tokyo bersama ayahnya
dari Niigata untuk menjadi seorang
idol.
Wajahnya
memang sangat imut dan dia sepertinya akan cepat berkembang, tapi aku tidak
merasakan aura bintang yang biasa dimiliki seorang idol. Jujur saja, aku tidak
berpikir anak ini akan bisa sukses
besar.
Kami
berlima, termasuk dirinya dan aku, membentuk sebuah grup idol di perusahaan
kami. Yuzuki adalah satu-satunya di antara kami yang direkrut secara langsung.
Kalau
boleh jujur, pada waktu itu
sikapku tidak terlalu bersahabat dengannya.
Soalnya, rasanya tidak adil. Aku
sudah mengikuti banyak audisi dan dengan susah payah akhirnya diterima di sini.
Tapi tiba-tiba ada yang langsung direkrut dan bisa naik ke panggung yang sama
dengan kami. Rasanya seolah-olah upayaku
yang telah berjuang keras diabaikan begitu saja.
Perkenalan
kami biasa-biasa saja, seperti pergantian kelas di sekolah — kami hanya menyebutkan nama,
umur, tempat asal, idol favorit, dan sebagainya.
Setelah
memperkenalkan diri, kami langsung memulai latihan untuk debut.
Pada
tahap ini, barulah aku mulai merasa malu
pada diriku sendiri.
Yuzuki
mengungguli kami berlima dalam hal bernyanyi dan menari. Dia adalah seseorang yang cepat
belajar, fokus, dan mempunyai bakat. Rasanya dia sudah seperti
idol profesional.
Ketika aku bertanya kepadanya tentang hal itu, katanya
sejak kecil dia selalu menonton DVD idol setiap malam hingga larut, berlatih
koreografi, lalu memperagakannya untuk orang tuanya. Jadi wajar jika gerakannya
sudah sangat terlatih.
Selama waktu latihan, pupil matanya selalu terbuka
lebar, seakan-akan ingin menyerap semua yang dilihatnya.
Sementara
aku hampir kehabisan napas mengikuti latihan setiap hari, Yuzuki sudah
melangkah jauh di depan. Dia seperti sedang menjalankan misi suci untuk menjadi
idol papan atas, melampaui sebatas penggemar
biasa.
Setelah
rekaman selesai, akhirnya diumumkan penempatan posisi dan bagian dalam
debut single kami. Menurutku, Yuzuki pasti akan dipilih menjadi center, karena
dia center termuda yang menarik, jadi hal tersebut bisa
menambah reputasi kami.
Namun
hasilnya berbeda. Yuzuki justru ditempatkan di posisi paling jauh dari center.
Yuzuki tampaknya tidak puas dengan hasil ini dan langsung berdiskusi dengan
produser. Anggota lain hanya menyaksikan dari kejauhan dengan tatapan dingin.
Beberapa
puluh menit kemudian, Yuzuki sendirian meringkuk di studio.
Bersamaan
dengan penentuan posisi lagu debut, aku ditunjuk menjadi ketua grup. Tugas pertama sebagai ketua adalah sepertinya memberikan
dukungan mental pada juniorku ini.
“Yuzuki,
apa kamu
baik-baik saja?”
“...Emoto-senpai.”
Matanya terlihat memerah seperti kelinci. Kemarahan
yang sangat mendalam ini
menunjukkan betapa kerasnya dia berjuang.
Ketika aku bertanya kepadanya apa yang
dia diskusikan dengan produser, Yuzuki langsung menceritakannya tanpa jeda.
Sepertinya dia sangat kecewa, sampai bercerita tanpa henti selama lebih dari 10
menit. Kurasa saat ini dia membutuhkan
simpati.
Apakah
aku harus menghiburnya dengan kata-kata klise atau justru bersikap tegas?
Setelah ragu-ragu, aku memilih opsi yang terakhir.
“Yuzuki
memang suka menuntut sesuatu
ya.”
Sepertinya
dia belum menyadari betapa beruntungnya posisinya saat ini. Hal ini membuatku
geram. Hanya karena sekali kalah, dia sudah mengeluh seperti ini. Coba
bayangkan betapa sulitnya perjuangan yang kami lalui untuk bisa setara
dengannya.
Mungkin
kata-kataku terdengar sinis. Mungkin aku akan dibenci. Aku bahkan sempat
menyesal mencoba sesuatu pada gadis
yang bahkan 3 tahun lebih muda dariku.
Akan tetapi,
jawaban yang dia lontarkan membuatku
tersadar akan perbedaan di antara
kami.
“...Terima
kasih. Aku sudah sadar.”
Sepertinya
saat ini dia telah melepaskan sifat manja-nya. Gadis 12 tahun ini langsung
menerima kekurangannya dengan jujur. Saat aku memberikan masukan objektif
berdasarkan rekaman video dan audio, Yuzuki pun mendengarkannya dengan serius.
Meski
kami berada di ujung-ujung yang berbeda, kami jelas tidak sama. Ada perbedaan
mencolok di antara kami bahkan menjelang
debut.
Saat itu
aku mulai meyakini.
Aku tahu,
aku tidak akan pernah bisa mengalahkan gadis
ini.
Mungkin
orang akan berkata, “Hanya
beberapa bulan saja kalian bertemu." Tapi bagaimana pun juga, aku sudah
menyadarinya. Ini bukan sekadar pemikiran, tapi intuisi.
Oleh karena
itu, aku memutuskan untuk memanfaatkan Yuzuki.
──Mulai
hari ini, aku akan menjadi “kakak perempuan” Yuzuki.
Dengan begitu, dia bisa dengan tenang bersandar padaku, bukan?
Tidak lama lagi Yuzuki pasti akan berhasil meraih posisi
center. Oleh karena itu, aku harus menanamkan kesan baik saat masih di bawah
bayang-bayangnya.
Aku
mengajari Yuzuki berbagai hal — mulai dari aturan industri, cara bergaul
dengan artis dari agensi lain, etika bisnis, bahasa formal, cara menggunakan
media sosial, bahkan cara menggunakan kartu transportasi.
Aku
selalu menemani latihan mandirinya. Dengan mengikuti menu latihan yang sama
dengan gadis yang sangat disiplin itu, aku juga pasti akan meningkat.
Kenyataannya, aku merasa te;ah berkembang lebih pesat dibandingkan
hanya berlatih sendirian di depan cermin.
Posisiku
sebagai ketua membuatku bisa bersikap
lebih natural saat bersama Yuzuki. Aku tidak
peduli omongan orang lain kalau dibilang oportunis, karena ini adalah caraku bertarung.
Namun,
rencanaku tidak berjalan sesuai keinginan.
Singkatnya,
aku jadi terikat secara emosional
dengannya.
Yuzuki
memang gadis yang paling disiplin. Bahkan
untuk sekedar bermain game saja
dia akan terus mencoba berkali-kali hingga
menang.
Yuzuki
juga tidak pernah lalai merawat tenggorokannya. Dia selalu minum air dengan
teratur, membawa pelembab portabel, dan melakukan peregangan untuk merilekskan
otot tenggorokannya. Dia bahkan mengajariku cara melakukan peregangan tersebut.
Ternyata
Yuzuki juga agak ceroboh. Saat dia keliru mengambil lem stick sebagai pelembab bibir dari dalam tasnya, kupikir aku akan menangis
karena kebanyakan tertawa.
Yuzuki
juga perhatian. Saat aku menyembunyikan kondisi tubuhku yang sedang tidak
sehat, dia selalu mengusap punggungku dan menggenggam tanganku saat istirahat.
Yuzuki
juga sangat ekspresif. Dia lebih marah pada
komentar negatif untukku dibanding diriku sendiri, dan lebih girang dengan
komentar dukungan.
Dia adalah ‘adik perempuan’-ku
yang lucu dan sangat menyayangiku melebihi
diriku sendiri.
Aku juga
ingin menyayanginya melebihat siapa pun.
Aku ingin
menjadi yang terbaik baginya.
Bahkan
setelah Yuzuki terpilih menjadi center, aku tetap berada di posisi paling pinggir. Memang
ada rasa kecewa, tapi menurutku ini hasil yang wajar setelah aku menyaksikannya
begitu dekat. Justru aku merasa bangga bisa mendukungnya dari samping.
“Hei,
Yuzuki.”
Suatu
hari seusai latihan, aku memanggil Yuzuki seperti biasa saat keluar dari
studio.
“Ada
apa, Emoto-senpai?”
Yuzuki
juga memanggilku seperti biasa.
“Bisakah
kamu berhenti memanggilku dengan panggilan 'Emoto-senpai' sekarang? Rasanya terlalu formal.”
“Tapi,
Emoto-senpai kan lebih tua, senior, dan
juga ketua grup kita. Jadi aku harus menghormatimu dengan baik...”
“Meskipun
kamu bilang begitu, palingan kamu merasa
malu untuk mengubah cara memanggilku, kan?”
“Uuh...”
Yuzuki
selalu terlihat sempurna di depan kamera. Tapi aku tahu betul kalau di kehidupan pribadinya,
sisi batinnya lebih mudah terlihat.
“Dengarkan baik-baik, oke? Kamu tidak perlu selalu bersikap formal
pada semua orang. Sebagai idol, keramahan juga penting lho? Apalagi cara
memanggil itu seperti simbol kedekatan. Anggap saja ini latihan, ayo coba lagi!”
“...Emoto-san?”
“Bukannya
itu aneh kalau memanggil
'kakak'-mu
dengan nama keluarganya. Ayo jangan
malu-malu, coba sekali lagi!”
Setelah
terdiam sejenak, Yuzuki berkata dengan wajah memerah.
“...Ru-Ruru-san”
Kalau
sudah seperti saudari, tak perlu pakai sebutan hormat.
Mengingat Yuzuki yang sedang malu-malu, ya sudah kuanggap boleh untuk
sementara.
Semoga
suatu hari nanti, dia bisa memanggilku 'Ruru' dengan ringan.
Pada hari
ini, aku merasa kalau kami akhirnya
benar-benar seperti bersaudari.
☆ ☆ ☆
(Sudut
Pandang Mamori Suzufumi)
Dua hari
setelah aku berjanji untuk melakukan tanding ulang dengan Emoto-san,
malam itu aku membuka pintu kamar 809. Di sana sudah
ada Yuzuki, dengan kaos oblong
dan celana pendek yang familiar. Ekspresi kaku di wajahnya berbeda dengan
ekspresi gugupnya yang biasa.
Yuzuki
bergumam di depan pintu, seperti sedang mengucapkan suatu mantra.
“Aku
pasti menang... akku akan mengalahkan
diriku sendiri yang belum matang... aku pasti
menang... Menumbangkan... Menggilas... Menghancurkan...”
“Y-Yo, Emoto-san
juga baru saja tiba tadi.”
“Tidak perlu mempertahankan gengsi,
bersikap tulus, menatap mata lawan, mengingat rasa terima kasih, merasakan
kehangatan pelukan...”
“Anu,
Yuzuki-san...”
“Aku akan berbaikan dengan Ruru-san, dengan
Ruru-san, Ruru-san, Ruru-san...”
Sepertinya
dia sedang berkonsentrasi penuh menghadapi pertarungan besar yang akan datang sampai-sampai perkataanku tidak terdengar olehnya sama sekali.
Banyak orang yang bilang bahwa atlet
sukses tak pernah absen dari latihan visualisasi. Mungkin ini yang dia lakukan
sebelum pertunjukan.
Karena
dia diam saja di depan pintu, jadi aku
mengulurkan tanganku. Dan dia
meremasnya kembali. Sepertinya dia masih sadar.
Setelah
melepas sepatu, Yuzuki memandang ke ujung koridor. Di sana bukan ruang tamu,
tapi ring tinju. Tempat suci dimana hanya
mereka yang telah bertekad bulat lah
yang diizinkan untuk berdiri
di sana.
Setelah menarik
napas dalam-dalam, Yuzuki lalu
membuka lebar-lebar matanya dengan semangat. Sorot matanya mirip seperti
seseorang yang tidak gentar
untuk menghadapi tantangan apapun.
Setiap
langkah yang diambilnya, hentakan kakinya di lantai makin kuat dan kokoh.
Walaupun
koridor itu sepi, tapi aku merasa seakan-akan
bisa
mendengar suara-suara penonton yang
menyorakinya saat Yuzuki berjalan menuju ring itu.
Aku
memegang kenop pintu yang menghubungkan koridor dan ruang tamu, bagaikan staff
di pertandingan gulat yang mengangkat tali untuk mempersilakan atlet masuk ke dalam ring.
Di atas bantal di depan meja rendah ada
seseorang yang terlihat sedang melamun.
Emoto-san
yang mengenakan blus dan rok panjang membuka matanya perlahan. Tatapan matanya
yang tajam terlihat bahkan lebih fokus dari biasanya, seolah bisa langsung
menebas siapapun. Sepertinya dia sedang mempersiapkan semangat tempur untuk
pertarungan yang akan datang.
Tentu
saja, akulah yang
bertanggung jawab mengatur pertemuan kali ini.
Semua
pemain sudah berkumpul. Aku berdiri di antara mereka berdua dan berperan sebagai moderator.
“Mulai
sekarang, kita akan mengadakan pertandingan masak-memasak
antara Emoto
Ruru melawan Mamori Suzufumi.”
Masing-masing
dari kami bertiga datang dengan pemikiran kami sendiri. Ketegangan yang terasa
sangat kental ini menggambarkan betapa besar pertarungan yang akan terjadi.
“Pertandingan
akan berlangsung satu ronde tanpa batas waktu. Tema masakannya masih sama dengan yang lalu, 'Hidangan
Kesukaan Yuzuki'. Bahan makanan dan anggarannya
bebas. Setelah masakan kedua peserta
dicoba, Yuzuki akan menilainya.
Orang yang kalah harus mundur dari
posisi pengasuh. Apa semuanya sudah paham?”
Ketika
aku bertanya pada Emoto-san,
dia membalas dengan senyum penuh arti.
Menang
atau kalah, hari ini adalah pertarungan terakhir. Karena lokasi pertandingannya
di apartemen, jadi kami tidak
perlu khawatir adanya pihak asing
seperti terakhir kali.
“Baiklah,
aku akan memulai duluan.”
Ruru-san
maju lebih dulu. Aku dan Yuzuki duduk di bantal, menyaksikan proses memasaknya.
“Bahan
utama hari ini adalah ini!”
Dari
kantong plastik, dia mengeluarkan paha babi. Berbeda dengan terakhir kali yang
hanya tahu kering, kali ini benar-benar daging asli. Alis Yuzuki yang sedari
tadi tegang, sedikit bergerak menanggapi.
“Dalam
pertandingan hari ini, aku telah mengklasifikasikan menu makanan Yuzuki selama
3 bulan terakhir.”
Emoto-san tiba-tiba
mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Entah sejak kapan, dia sudah memegang
setumpuk kertas tebal di tangannya.
“Dari
226 kali Yuzuki makan, menu yang berbahan daging
muncul 108 kali, mengungguli ikan di posisi kedua yang hanya 55 kali.
Selisihnya hampir dua kali lipat. Tidak diragukan
lagi bahwa memilih daging adalah keputusan
yang tepat untuk meraih kemenangan. Perkiraan kemungkinan Yuzuki akan menyukainya
adalah 90%.”
Meskipun mereka sering bersama-sama karena urusan pekerjaan, Yuzuki pasti tidak pernah menyangka jika
makanannya telah dicatat. Yuzuki menatap Emoto-san
dengan mulut terbuka.
“Nah,
sekarang aku punya pertanyaan
untuk Mamori-san. Ukuran
[4,2 cm x 1,7 cm]. Apa yang dimaksud angka ini?”
“Entahlah, aku sama sekali tidak tahu.”
“Ini
adalah ukuran mulut Yuzuki.”
Mana
mungkin aku bisa mengetahuinya. Yang
lebih mengherankan lagi, kenapa dia bisa mengetahuinya?
Emoto-san
benar-benar dalam kondisi siaga. Tidak, mungkin lebih tepat disebut sebagai
'maniak Yuzuki'. Demi mengalahkanku, dia memanfaatkan semua pengetahuannya
tentang Yuzuki.
“Aku
akan memotong daging babi dengan ukuran yang pas untuk mulut Yuzuki, lalu
memberi bumbu garam dan lada. Setelah itu, aku akan memanaskannya di microwave.
Untuk menambahkan aromanya, aku juga akan memberi beberapa tetes minyak
wijen. Katanya, keluarga Yuzuki juga menggunakan minyak wijen sebagai bumbu
rahasia dalam sup daging babi. Aroma ini akan memicu efek 'Proustian',
menimbulkan nostalgia yang akan menambah nilai kesan emosinya sehingga perkiraan tingkat kesukaan Yuzuki akan meningkat 94%.”
Beberapa
menit kemudian, begitu Emoto-san
membuka microwave, aroma kaya daging babi dan minyak wijen tercium memenuhi
ruang tamu. Raut wajah Yuzuki sedikit melembut.
“Selanjutnya,
aku akan memotong jamur shimeji,
eringi, dan enoki menjadi ukuran satu suapan, lalu menumisnya dengan sisa
minyak. Bumbu yang digunakan adalah kecap, sake, mirin, dan gula. Aku juga akan
menambahkan sedikit tepung maizena untuk memberi tekstur yang lebih kental.
Berdasarkan dataku, Yuzuki memakan
masakan dengan saus penutup sebanyak 5 kali bulan ini. Padahal, di bulan April
dan Mei hanya 1-2 kali. Mungkin dia mulai merindukan rasa masakan bersaus yang
biasa dia makan saat cuaca dingin. Perkiraan tingkat kesukaan Yuzuki, 96%!”
Suara
bahan makanan yang sedang dimasak terdengar menggiurkan. Yuzuki sudah mulai
siap-siap, bahkan sampai mengelap
sudut bibirnya.
“Terakhir,
aku akan meletakkan potongan daging babi di piring, lalu disiram dengan saus
jamur khusus ini. Di sampingnya, aku akan menambahkan salad selada air. Waktu
syuting di kebun buah-buahan, aku ingat Yuzuki makan selada air dengan sangat
lezat. Perkiraan tingkat kesukaan Yuzuki, 99%!"
Setelah
membersihkan pinggiran piring dengan rapi, Emoto-san
meletakkannya di meja rendah.
“Menu
'Daging Babi Kukus dengan Saus Jamur' khusus untuk menghadapi Yuzuki,
sudah siap disajikan!”
Dengan
memasak daging di microwave, dia bisa
mengurangi penggunaan minyak sehingga lebih sehat. Sementara, minyak yang
keluar tetap bisa dimanfaatkan untuk membuat saus, agar tidak ada yang terbuang
sia-sia. Ini adalah menu ala Emoto-san,
yang memadukan kesehatan dan kenikmatan.
“Setelah
3 tahun bersama Yuzuki, serta pertarungan dengan Mamori-san, inilah hidangan puncakku!
Perkiraan tingkat kesukaan Yuzuki... 150%!”
Emoto-san
tersenyum penuh kemenangan saat melihat Yuzuki terpesona dengan masakannya.
“Nah,
ayo dimakan selagi masih hangat!”
Potongan
daging babi disiram dengan saus jamur yang melimpah. Saus berwarna coklat
keemasan itu terlihat berkilauan bagaikan
permata.
“...Itadakimasu.”
Setelah
berdoa dengan mengatupkan kedua tangannya,
Yuzuki mengambil satu suapan dengan sumpitnya.
“....Wah,
dagingnya terasa gurih
tapi saat aku mengunyahnya, kuah dagingnya langsung
keluar...”
“Aku
sengaja meminimalkan waktu pemanasan di microwave, agar kandungan air daging
tidak menguap terlalu banyak. Kuncinya adalah membiarkan sisa panasnya untuk
menyelesaikan proses.”
“Karena
isinya jamur, aku sama sekali tidak merasa bersalah memakannya. Teksturnya
padat tapi tetap juicy, bahkan tidak kalah dengan daging babi.”
Ekspresi
Yuzuki saat menikmati jamur itu, tidak kalah antusias dibandingkan saat dia
makan daging.
“Selada
air ini juga pas sebagai penyegar. Rasanya menyegarkan, tapi saat dicampur saus juga
bisa jadi lauk utama. Cocok buat dimakan
bersama daging.”
Meski
masih ada sedikit ketegangan di wajahnya,
tapi Yuzuki tampak jauh lebih rileks saat menikmati makanannya.
“Yuzuki,
sepertinya akhir-akhir ini kamu
sedang tergila-gila dengan daging babi, ‘kan?”
Mata Yuzuki
melebar begitu mendengar perkataan Emoto-san.
“...Apa kamu juga menganalisisnya?”
“Tidak
perlu dianalisis juga sudah jelas. Setiap ada hidangan daging babi entah dari
oleh-oleh atau katering, kamu
langsung semangat. Entah karena salah siapa yang
sudah mempengaruhimu.”
Emoto-san
melirik ke arahku.
Masakan
daging babi memang merupakan masakan yang pertama
kali aku suguhkan kepada Yuzuki.
Sepertinya tidak ada yang luput dari pengamatan Emoto-san.
Yuzuki
meletakkan sumpitnya, lalu mengepalkan tangannya di pangkuannya. Wajahnya
menampilkan rasa malu, tapi juga ada kebahagiaan karena kesukaannya disadari.
Walau
sedang dalam pertandingan, sepertinya saat ini
adalah
waktu yang tepat.
“Ayo
Yuzuki, kurasa sepertinya ada yang
ingin kamu katakan, ‘kan?”
Aku
menepuk punggungnya pelan, membuat Yuzuki menegakkan badan.
Ketegangan
kembali terasa di antara mereka.
“...Aku...”
Emoto-san menggigit
bibirnya seperti siap menerima hukuman.
“Aku
tidak suka sikap Ruru-san yang seolah memaksakan kebaikan.”
Tidak suka.
Hanya dua
kata itu saja sudah cukup
untuk membuat wajah Emoto-san
berubah menjadi penuh kesedihan.
“Aku
tidak suka caramu yang selalu
mementingkan orang lain daripada dirimu sendiri. Aku tidak suka kamu mengabaikan popularitasmu
sendiri demi menunjukkan perhatianmu padaku. Aku tidak suka kamu tidak membiarkanku mentraktirmu
makan, tapi...”
Bukan
kebencian atau kekecewaan yang terpancar dari mata Yuzuki, melainkan
kepercayaan.
“Meskipun sedang sibuk,
kamu selalu memperhatikanku. Kamu berusaha agar makanan yang
tidak kusuka bisa kumakan dengan enak. Kamu
selalu mengingat kenangan-kenangan kecil kita. Seharusnya aku sudah tahu kalau
kau selalu mementingkanku...”
Yuzuki
membungkukkan tubuhnya dalam-dalam di hadapan Emoto-san.
“Aku
benar-benar minta maaf untuk sikapku yang buruk waktu
itu.”
Lalu dari
tempat persembunyiannya, dia mengeluarkan kemasan makanan plastik.
“Aku membuatkan sesuatu sebagai permintaan maaf. ...Maukah kamu menerimanya?”
Dengan
ekspresi lebih tegang dari biasanya, Yuzuki meletakkan kemasan itu di atas
meja. Ternyata di dalamnya ada satu makanan.
“Ini
kan...”
Di balik
tutupnya, terdapat bunga sakura yang sedang mekar.
Kue
tradisional Jepang berbentuk bunga sakura itu tampak begitu indah, bahkan tidak
kalah dengan yang asli.
“Aku
sudah berlatih berulang kali untuk memberikannya pada Emoto-san.”
Berkat
latihan yang keras, hasilnya jauh lebih profesional dibandingkan saat dia
mencobanya di hotel. Ngomong-ngomong, isian kacang merah di dalamnya juga
merupakan makanan kesukaan Emoto-san
berdasarkan profil resminya.
“...Boleh
aku memakannya?”
Saat Emoto-san bertanya, Yuzuki
mengangguk kecil.
Bunga
sakura di kue itu pun mekar di bibir Emoto-san.
Cara dia
mengunyahnya seolah dia bisa
merasakan keindahan alam.
“...Ini
benar-benar enak.”
Yuzuki
merona malu-malu dan terus-menerus
memainkan rambutnya.
Setelah
menelan kue itu, Emoto-san
menyentuh lembut bahu Yuzuki.
“...Selama
ini aku terus-menerus mengaku sebagai 'kakak'-mu,
tapi aku tidak pernah memperhatikan perasaan Yuzuki. Bukannya melihatmu sebagai
sosok 'adik', tapi aku hanya mengejar keinginanku sendiri untuk diakui dan
disayangi. Maafkan aku.”
Dia menundukkan
kepala dan sedikit mengangkat sudut
bibirnya.
“Justru
akulah yang seharusnya minta maaf atas kejadian waktu itu. Maukah kamu berbaikam denganku?”
Yuzuki
tersenyum malu-malu, memperlihatkan giginya yang putih.
“Iya.
Terima kasih sudah selalu berada
di sisiku... Ruru.”
Air mata
tak terbendung mengalir dari mata Emoto-san.