Ronde 8 — Tetangga Yuzuki Adalah Dirimu
Bagian 1
Setelah
mengantar Yuzuki pergi,
aku juga check-out dari hotel dengan jarak waktu yang
berbeda.
Sekarang
masih menjelang siang hari. Di hari Minggu siang seperti ini, suasana di pusat kota sedang ramai sekali. Saat berdiri
menunggu lampu merah di persimpangan, orang-orang tampak tak sabar seperti kuda
pacu yang sedang menanti garis start dibuka. Mungkin mereka akan pergi bermain atau kegiatan lainnya. Sorot
mata mereka penuh harapan dan semangat.
Aku juga
berpikir untuk mampir ke game center karena
sudah sekian lama tidak mengunjunginya.
Ketika aku
dengan santai mengalihkan pandanganku pada layar digital
raksasa di atas gedung komersial, secara
kebetulan di sana
sedang diputar video klip single terbaru [Spotlights].
Orang
yang berdiri di tengah-tengah mereka berlima, tentu saja, adalah Arisu Yuzuki.
Kecuali lagu debut mereka [Spotlight], mereka terus mempertahankan
posisi center mereka hingga sekarang. Di
posisi paling kiri, Ruru-san mendukung grup tersebut dengan tariannya yang.
Dua orang
pria yang juga sedang menatap layar itu sama
sepertiku, tiba-tiba berseru.
“Wah,
single terbaru [Spotlights] rilis minggu depan, ya!”
“Kali ini kostumnya imut banget! Apalagi Arisu Yuzuki, dia cantik banget. Akhir-akhir ini aku
bingung mau beli fotonya atau tidak.”
Keduanya
mengenakan jaket yang kelihatan mahal, juga jam tangan dan tas yang terlihat
premium. Meskipun penampilannya masih muda, sepertinya mereka sudah bekerja.
“Omong-omong,
teman kerjaku juga baru beli buku fotonya.”
“Aku
sih sebenarnya kurang tahu anggota [Spotlights] selain Arisu Yuzuki.”
“Aku
juga. Memang semua anggotanya cantik sih, tapi ujung-ujungnya mataku tetap tertuju ke arah Arisu Yuzuki.”
“Aku
menonton rekaman konsernya beberapa hari yang lalu.
Dan hampir semua lightstick warnanya
kuning, warna Arisu Yuzuki.”
Aku juga
menonton rekaman konser itu
di rumah. Di tengah kilauan lightstick berbagai warna, warna kuning terlihat sangat mendominasi.
“Kalau
yang di ujung sana namanya siapa, ya?
“Hmm kalau
tidak salag namanya Enomoto? Egashira?”
“Ahh, rasanya mirip-mirip sekitar
begitu. Wajahnya kelihatan bagus, tapi keberadaannya terlalu
biasa. Dia hampir tidak pernah bicara di
acara variety juga.”
“Iya,
dia terlalu tidak menonjol!”
Begitu
lampu hijau menyala, aku buru-buru menyeberang jalan. Karena aku tidak ingin mendengar percakapan mereka lebih
jauh.
Karena aku tidak
berselera lagi untuk mampir
ke game center, jadi aku
langsung turun di stasiun terdekat dan mampir ke supermarket.
Aku
mengisi troli dengan berbagai bahan makanan.
Stok miso
dan saus ponzu sepertinya sudah hampir
habis, jadi aku memutuskan untuk membelinya
lagi.
Hari ini adalah hari diskon makanan beku,
mungkin aku harus mengambil
sayuran campur beku juga.
Ternyata
daging has babi sedang ada diskon.
Kebetulan sekali aku sedang
membutuhkannya, jadi aku langsung membelinya dalam jumlah banyak.
Semakin
penuh troli belanjaanku, semakin berkurang pula perasaan
jengkelku. Dulu aku tak paham kenapa
orang bisa merasa lebih tenang dengan berbelanja,
tapi sekarang aku mengerti. Seperti melampiaskan ketidakpuasan pada uang tunai,
lalu melepaskannya.
Aku berjalan
pulang sambi membawa kantong plastik yang menggelembung
penuh.
Meski
sudah berbelanja besar-besaran,
tapi perasaan tidak nyaman masih belum menghilang
dari lubuk hatiku.
Aku
memakai earphone nirkabel, lalu menelepon seseorang.
Tidak
sampai tiga panggilan, suara ceria menyambut.
“Suzu,
halooo~!”
Orang yang
ada di seberang telepon adalah Rika. Suaranya yang
hiperaktif ini selalu membuatku tenang.
“Maaf
kalau aku mendadak
meneleponmu. Kamu lagi senggang
sekarang?”
“Iya,
aku lagi senggang, kok. Lagian, kalau Suzu yang menelepon, aku pasti akan langsung mengangkatnya meskipun lagi kerja.”
“Jangan
gitu, konsentrasi saja di pekerjaanmu.”
Aku bisa
mendengar suara orang tuaku
dari seberang telepon. Sepertinya Rika sedang di “Aien Kien”. Mungkin dia sudah masuk shift
sore, jadi aku tak mau mengambil banyak waktu.
“Meski ini
bukan sesuatu yang pantas disebut meminta saran, tapi
ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepada Rika.”
“Eh~ apa~apa? Aku jadi penasaran
nih, mana mungkin tentang tiga ukuran tubuhku,
‘kan? Meski aku
tidak bisa memberitahumu hal itu, tapi aku
pasti bisa menjawab
mayoritas hal-hal lain, kok!”
Dasar
tukang goda. Kalau kami berhadapan, pasti dia akan bertanya soal itu.
Tapi
sepertinya dia menerima hampir semua pertanyaan, jadi aku bertanya langsung.
“Menurutmu,
aku ini apa bagimu, Rika?"
“Huee?!?”
Sepertinya
itu pertanyaan di luar dugaannya, karena Rika mengeluarkan suara aneh. Lalu
terdengar suara benda jatuh dengan keras.
“...Apa jangan-jangan...nyataan cint...? Tapi kenapa... Terlalu tiba-tiba...?”
“Oi,
kaum tidak apa-apa?”
“A-Aku tidak apa-apa, aku cuma menjatuhkan ponsel saja... !”
Dia jelas-jelas
terlihat panik. Semoga saja layer ponsernya tidak retak.
“Nah,
jadi bagaimana?”
“...Itu,
apa harus aku sendiri yang bilang,
ya...?”
“Yah,
kurasa itu akan lebih lancar kalau kamu
yang memulainya.”
Aku bisa
mendengar suara Rika yang menahan
napas dari seberang telepon, seolah
sedang memantapkan sesuatu. Tapi kemudian, terdengar gumaman pelan, “Mungkin sebaiknya aku mulai
membangun suasana dulu sebelum begini...”
“Suzu
adalah teman masa
kecilku yang penting, tau? Sebagai kakakmu, aku ingin...”
“Nah,
itu dia!”
“...Heh?”
“Sebenarnya
aku ingin tahu bagaimana perasaan
seorang kakak.”
“Pe-Perasaan kakak? Tiba-tiba kenapa kamu malah menanyakan itu?”
Aku
merangkum garis besar kejadian yang terjadi —
Ruru-san selaku ketua dari grup idol
[Spotlights] menawarkan diri untuk mengurus Yuzuki, dan mengklaim dirinya
sebagai “kakak” Yuzuki. Karena masakanku, mereka
berdua jadi bertengkar.
“Aku
tidak bisa sepenuhnya memahami
kenapa Emoto-san begitu terobsesi pada
Yuzuki... Mungkin Rika bisa memahami bagaimana
perasaan Emoto-san.”
“Hah, apaan? Ternyata masalah
begitu saja? Kukira...”
“Kukira?”
“Tidak,
bukan apa-apa.”
Entah
kenapa, nada suara Rika sedikit tersinggung. Lebih baik tidak terlalu menanyakannya.
“...Jadi,
apa kamu mempunyai pendapat lain?”
Rupanya,
salah satu alasan Rika ingin menjadi
‘kakak perempuan’ku
adalah karena dia merasa berhutang budi padaku.
Rika,
yang menderita asma dan sering berselisih dengan orang-orang di sekitarnya saat
masih kecil, akhirnya membuka diri padaku, meski tidak peduli seberapa dinginnya aku memperlakukannya. Untuk membalas
budi, dia akhirnya mulai memanggil
dirinya sendiri dengan sebutan 'kakak'.
Setelah
jeda yang panjang, Rika mulai bicara.
“Sejujurnya,
aku juga tidak terlalu paham konsep 'kakak ideal' atau bagaimana seorang kakak
seharusnya. Aku juga tidak
tahu apa yang dipikirkan Emoto
Ruru. Karena hubungan
kakak beradik itu
berbeda-beda untuk setiap orang.”
“...Begitu
ya. Maaf, pertanyaanku yang
tiba-tiba pasti membuatmu kebingungan.”
“Tapi
yang pasti,
aku ingin menjadi orang yang paling bisa diandalkan untukmu, Suzu.”
Suara
Rika di earphone terdengar penuh keyakinan.
“Suzu
punya banyak teman di sekolah, dan jauh lebih dewasa daripada aku. Mungkin saja
kamu bisa
baik-baik saja tanpaku. Tapi, aku tetap ingin berdiri di jalan yang kamu tempuh. Jika kamu sampai tersesat, aku ingin
menjadi orang
pertama yang membantumu. Kurasa cita-cita itulah yang menjadi akar keinginanku
untuk kakaknya Suzu.”
Jadi,
menjadi “kakak” bukan karena soal usia atau status, tapi
tentang cara hidup.
“Mungkin
Emoto Ruru juga sama. Dia pasti
ingin menjadi penunjuk jalan bagi Arisu
Yuzuki.”
“Apa
itu sesuatu yang tak bisa didapat hanya dari menjadi rekan satu grup?”
“Karena
hubungan rekan itu hanya berdasarkan
menjadi idol. Emoto
Ruru ingin terhubung dengan Arisu
Yuzuki tanpa terkait pekerjaan. Sebagai keluarga, hubungan itu akan tetap ada
meski nanti Yuzuki bukan idol lagi, karena ikatan kekeluargaan takkan pernah hilang.”
Jadi Rika
juga ingin tetap bersamaku di masa depan nanti,
tak peduli jarak atau sekolah kami.
“Aku ingin
memiliki hubungan yang tidak berubah dengan Suzu selamanya. Jika kita bisa
memiliki hubungan seperti keluarga, jika kita bisa membangun hubungan yang
tidak akan pernah berubah... Itulah kebahagiaanku.”
Kecuali
jika sebagai keluarga, pada akhirnya perpisahan pasti terjadi. Hari di mana
masing-masing menempuh jalan sendiri pasti akan datang. Meskipun begitu, aku merasa senang melihat Rika menyayangiku dengan tulus.
Pasti Emoto-san juga memiliki perasaan
yang sama pada Yuzuki.
“...Rupanya
di luar sepengetahuanku, kamu
sudah memikirkan banyak hal.”
“Iya
dong, aku ‘kan Onee-channya Suzu!”
Aku yakin
kalau Rika sedang tersenyum nakal sembari mengedipkan matanya di
seberang sana.
Kemudian aku
bisa mendengar
suara ayahku
memanggil Rika. Kurasa sebentar
lagi sudah waktunya buka.
“Maaf,
aku harus segera pergi.”
“Baik, itu sangat membantuku, terima
kasih banyak.”
Saat Rika
akan mengakhiri panggilan, aku menyampaikan sesuatu.
“Aku
akan selalu mengandalkanmu, Rika-oneesan.”
“Hm~~~~Serahkan
saja padaku!”
Suaranya
yang ceria terdengar lembut di telingaku.
Kali ini
aku benar-benar menekan tombol ‘akhiri’, lalu bergumam,
“Mempunyai kakak tuh memang suatu kebahagiaan, ya.”
☆ ☆ ☆
Sesampainya
di apartemen, aku mengambil pamflet dari kotak surat, lalu naik lift. Aku
memandang sekilas prakiraan
cuaca mingguan di layar lift, lalu turun di lantai 8.
“...Eh?”
Tanpa
sadar aku bersuara kaget.
Karena aku melihat ada seseorang yang duduk bersila di depan pintu
kamar 810.
Wanita
dalam balutan dress itu tak menyadari kehadiranku. Dia sama sekali tak
bergerak.
“...Permisi.”
Dia
mendongak. Ada banyak kelelahan yang menumpuk di sorot
matanya yang biasanya tajam. Tas jinjing besar di sebelahnya
telah kehilangan elastisitasnya dan tergeletak lelah di lorong.
“...Mamori-san.”
Suara Emoto-san tak lagi bersemangat.
Rambut hitam legamnya tak bercahaya, bola matanya hijau zamrudnya redup, dan ada
bekas air mata di pipinya.
“Jadi kamu
datang berkunjung juga hari ini iya....apa jangan-jangan kamu sudah ada
di sini sejak pagi?”
“Menunggu
berjam-jam seperti ini sudah menjadi makanan
sehari-hari di lokasi syuting.”
Dengan
senyum sedih, Emoto-san
terlihat seperti orang yang tak lama lagi akan meregang nyawa.
“Karena
aku tidak bisa menghubungi Yuzuki, jadi aku tidak punya pilihan lain selain menunggu di sini.”
Emoto-san
terlihat kehilangan ketenangannya.
Dia pasti belum istirahat dan makan
dengan baik, sehingga jalan pikirannya tak lagi jernih.
“Yuzuki
sudah pergi bekerja, dan sepertinya tidak akan pulang sampai malam. Menunggu di
sini pun tidak akan ada gunanya...”
“Begitu
ya. Itu berarti kurasa aku harus bersabar selama setengah hari lagi...”
“Tidak,
tidak, tidak, tidak! Tubuhmu bisa
sakit kalau kamu terlalu lama duduk di tempat seperti ini!”
“Jangan
khawatir, tidak masalah. Berbeda dengan Yuzuki yang
sibuk, aku sedang libur untuk sementara.”
‘Tidak
ada masalah’ apanya.
Mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri, tapi mengaku ingin menjadi pengasuh
Yuzuki, itu hanya pengorbanan diri semata.
Jika dia
menemui Yuzuki dalam kondisi yang memprihatinkan seperti ini,
dia malah hanya akan membuat Yuzuki merasa cemas dan tidak nyaman.
“Tolong
jangan khawatir. Ini memang keinginanku sendiri.”
Emoto-san
memaksa dengan senyuman lemah.
“...Baiklah.”
Kalau dia
sampai bersikeras sejauh itu, aku takkan mencampuri urusannya
lebih jauh. Aku membuka pintu apartemen 809, lalu meletakkan kantong belanjaan.
Kemudian dengan tanganku yang sudah bebas, aku menarik
lengan Emoto-san.
“...Eh,
Ma-Mamori-san?”
Emoto-san
tampak terkejut dengan tindakanku.
Kalau dia
bersikeras melakukan apa yang dia mau, aku juga akan melakukan
apa yang kuinginkan.
“Cepat
masuk. Aku akan membuatkanmu teh.”
Begitu
aku meletakkan cangkir teh hijau di atas meja pendek, Emoto-san
langsung meneguknya dengan tergesa. Tampaknya tenggorokannya benar-benar
kering. Jangan-jangan dari pagi dia belum makan dan minum sama sekali?
Saat aku
menuangkan teh lagi, mata hijau zamrudnya terlihat gelisah mencari-cari sesuatu.
“Yuzuki...
apa dia baik-baik saja?”
“Dia
sudah membaik.”
Ketika aku menjawab
dengan jujur, Emoto-san hanya bergumam “Begitu ya.” Mungkin dia tahu aku dan Yuzuki
sempat bersama, wajar saja jika dia menebak begitu.
Ada keheningan sejenak beberapa saat.
“...Maaf,
aku sudah lama ingin menanyakannya.
Tapi, Apa Mamori-san menyukai Yuzuki?”
“Ya,
aku menyukainya. Sebagai lawan jenis.”
Pada titik
ini, aku memutuskan kalau sekarang sudah saatnya aku perlu blak-blakan.
“...Kalau
misalnya Yuzuki dan aku memutuskan untuk
berpcaran, apa kamu
akan menolaknya?”
“Aku bahkan
tidak ingin membayangkan adik perempuanku
yang imut punya pacar,
aku sama sekali tidak suka. Sangat tidak menyukainya.”
Jawaban Emoto-san terdengar lugas dan tegas sekali.
“Aku
benar-benar tidak menyukainya, tapi... aku tidak akan menolaknya,
jika itu memang yang diinginkan Yuzuki.”
Setelah
menyesap teh cangkir keduanya, Emoto-san
menghela napas.
“Kupikir
kamu pasti akan melakukan segala cara
untuk menghalanginya.”
“Aku mungkin
pasti akan banyak berkomentar mengenai berbagai macam.
Tapi pada akhirnya, aku akan menerimanya.
Karena menolak pacar Yuzuki, sama saja dengan menolak perasaan Yuzuki sendiri.”
Raut wajah Emoto-san
tampak diliputi kerumitan. Dia pasti
tidak ingin membayangkan Yuzuki punya pacar, karena itu terlalu menyedihkan.
“Mamori-san, boleh aku menanyakan satu hal lagi? Apakah alasanmu memasak untuk Yuzuki
karena kamu ingin lebih dekat dengannya?”
Pupil matanya yang berwarna zamrud
itu menatap lurus ke arahku.
“Aku
hanya ingin Yuzuki bahagia dengan masakan buatanku. Itu saja.”
“...Begitu
ya.”
Tidak ada
tanda-tanda dia akan menyerang balik. Sepertinya dia sudah menerima
penjelasanku. Meski begitu, ada sesuatu yang tiba-tiba membuatku penasaran.
“Kebetulan
apartemen kami bersebelahan, lalu setiap
hari aku memasakkan makanan untuknya, apakah itu tindakan yang terlalu berlebihan?”
“Ya,
itu sangat tidak sopan. Sungguh keterlaluan ketika melihat orang
asing ingin mengurus Yuzuki.”
Jika
hanya melihat kata-katanya, memang terdengar tajam. Tapi aku tak lagi merasakan
adanya persaingan seperti dulu.
Tapi ada
satu hal yang perlu kutegaskan.
“Aku
dan Yuzuki bukanlah orang
asing.”
Matanya
yang sipit itu sedikit menajam.
“Apa kalian
berteman? Atau sebagai senior-junior
di sekolah?”
“Karena kami
bertetangga.”
Mungkin
karena aku begitu percaya diri, Emoto-san
juga tampak sedikit terkejut.
“Pada
akhirnya, kamu tetap
saja orang asing. Kenapa kamu bisa
seyakin itu? Walaupun kalian bertetangga, jika salah satu pindah,
hubungan itu juga akan putus...”
“Memang
mungkin begitu di mata orang luar. Tapi bagiku, hubungan kami sama berharganya
dengan hubungan idol dan penggemar. Seperti hubungan kakak-adik.”
Sudah sekitar
tiga bulan berlalu sejak aku mengenal Yuzuki. Ada kalanya kami memiliki perbedaan
pendapat, ada juga jarak di antara kami. Tapi kami masih tetap menjadi
tetangga.
Itulah
bukti hubungan kami yang tak tergantikan.
“Lalu
bagaimana denganmu, Emoto-san? Aku memahami bahwa kamu sangat
menyayangi Yuzuki. Apa kamu juga
punya alasan tertentu untuk mementingkan bentuk hubungan kalian berdua?”
Cara
pertemuan dan hubungan kami berdua
dengan Yuzuki jauh berbeda. Tanpa bertanya langsung, aku takkan mengetahui isi hati Emoto-san.
“...Yuzuki
adalah idol yang luar biasa.”
“Hah?
Iya, memang.”
Pujian
langsung tanpa keraguan itu membuatku sedikit
terkejut.
“Entah itu
dalam bernyanyi, menari, penampilan, akting, berbicara,
komunikasi... Apa pun yang dia lakukan,
kemampuan Yuzuki pantas disebut elit. Aku meyakini bahwa tidak lama lagi dia akan
menguasai puncak dunia idol dan
menjadi representasi idola zaman ini.”
Aku tidak memahami mau di bawa ke mana arah ceritanya dan mengernyit
bingung. Apa dia ingin memberitahuku untuk
jangan menghalangi jalan ratu idola
masa depan?
“Dia
bekerja dengan keras, sangat bersemangat dari
kebanyakan orang, dan paling mencintai dunia idol. Aku sangat
bangga melihat Yuzuki benar-benar
bersinar di berbagai bidang. ...Tapi...”
Tangan Emoto-san tampak gemetar saat dia menutupi sekitar
cangkirnya.
“Walaupun
aku merasa bangga padanya, tapi aku juga iri padanya. Usahanya
membuahkan hasil, dia dinilai adil oleh orang-orang di sekitarnya, dan meraih
kejayaan sebagai bintang. Itu membuatku malu pada diriku sendiri yang hanya
bisa memandangnya dari bawah. Semakin aktif dirinya,
aku semakin terpaksa dibuat menyadari kekuranganku sendiri.”
Pada
single debut mereka, Yuzuki dan Emoto-san
berada di posisi paling pinggir. Tapi pada
single kedua, Yuzuki tiba-tiba langsung
menjadi center, sementara Emoto-san
masih tetap di posisi pojok.
Setelah grup idol mereka mulai mendapat perhatian
publik, Yuzuki tidak hanya tampil di acara musik, tapi juga melakukan berbagai
pekerjaan individual. Dia hampir tak punya hari libur dalam setahun, semua waktunya tersita untuk kegiatan
idol.
Di sisi
lain, Emoto-san masih punya waktu luang,
dia bahkan bisa minum teh hijau di
apartemenku sebagai orang biasa di hari Minggu siang. Melihat perbedaan status seperti itu, wajar saja dia
tidak merasa tenang.
“Mungkin
suatu saat aku bisa terkena
efek cahaya Yuzuki. Aku menyembunyikan rasa frustrasi karena tak bisa bersinar,
dengan mengambil posisi sebagai pengasuh Yuzuki... Oleh karena itu, aku iri padamu.”
“Iri...”
Ternyata alasan utama yang mendorong tindakan Emoto-san adalah rasa iri.
“Menjadi
'kakak' Yuzuki yang merupakan seorang
idol popular sudah menjadi pegangan jiwaku selama ini. Selama tiga tahun terakhir, aku mempercayai bahwa mengurus
Yuzuki adalah peranku di dalam grup. Tapi
sejak awal musim semi ini, sedikit demi sedikit, Yuzuki mulai berubah.”
Perubahan
yang terjadi di musim semi itu, mungkin disebabkan karena kemunculanku.
“Sikap
dan ekspresi Yuzuki jadi terlihat jauh lebih rileks. Dulu dia selalu datang
lebih awal ke ruang ganti, lalu terus berlatih tanpa henti sampai tampil. Tapi
sejak masuk SMA, keseimbangan antara tegang dan lenturnya semakin bagus, dia
juga jadi lebih sering tersenyum. Semangat di antara
anggota grup pun meningkat, dan
pada awalnya aku juga ikut merasa senang."
“Awalnya?”
“Sejak
konser Mei lalu, Yuzuki malah semakin memaksakan diri, seakan-akan seperti sedang menghukum dirinya sendiri.”
Pada saat
itu, setelah melakukan kesalahan koreografi dalam
pertunjukkan langsung, Yuzuki pergi meninggalkanku dan berusaha
kembali menjadi idol yang sempurna. Kelihatannya
Emoto-san juga menyadari ada sesuatu
yang tidak beres pada Yuzuki.
“Meskipun
Yuzuki terus berpura-pura seperti biasa, wajahnya tampak pucat pasi, seperti orang yang
hendak menuju kehancuran saat fan meeting.”
Emoto-san
tersenyum tipis, entah sedang
mengejek dirinya sendiri atau menyesalinya.
“Sebagai
ketua grup, tapi
lebih dari itu, sebagai 'kakak'-nya,
aku mencoba memberi semangat saat istirahat latihan. Tapi Yuzuki...”
──Hei,
Yuzuki. Sebaiknya kamu
istirahat sebentar.
──Terima
kasih. Setelah latihan ini sekali lagi,
aku baru beristirahat.
“Di
matanya, keberadaanku seakan
tak ada artinya. 'Hanya sekali lagi
saja' katanya, tapi aku tahu
dia sengaja mengucapkan begitu agar aku menyerah.”
Aku ingin
tahu seberapa
dalam kata-kata itu melukai hati Emoto-san.
“Keberadaanku
sama sekali tidak mempunyai arti bagi Yuzuki. Bagiku, itu sama saja dengan kehilangan
tiga tahun ini. ...Tapi, aku tak bisa memaksakan diri. Aku takut Yuzuki akan
semakin menjauh. Aku berkali-kali
meyakinkan diri, 'jika itu yang
diinginkan Yuzuki'.
Akhirnya, hari itu aku memutuskan untuk mundur.”
Aku memahami perasaannya. Pada waktu itu, aku juga sempat putus
asa. Kalau bukan karena dorongan Rika, aku tak akan kembali mengurusi Yuzuki.
“Keesokan
harinya, Yuzuki sudah pulih sepenuhnya. Aku tidak
tahu persis apa yang terjadi pada malam
itu. Tapi saat itu juga, dia membatalkan rencana pindah, jadi aku yakin kamulah yang sudah melakukan sesuatu, iya ‘kan?”
“...Ya,
begitulah.”
“Sementara
Mamori-san mencoba berusaha untuk Yuzuki, aku sendiri jutsru tidak bisa melakukan apa-apa.
Padahal aku terus mengaku sebagai 'kakak'-nya,
tapi nyatanya aku tak
berguna sama sekali. Sikapku yang keras
padamu selama ini sekarang sudah jelas,
itu semua karena aku tak
ingin Yuzuki direbut dariku. Aku membatasi perilakunya dan memperlakukan hal-hal yang
disukainya dengan kasar. Aku adalah kakak perempuan paling beracun.”
Emoto-san
menghabiskan tehnya, lalu berdiri.
“Aku
akan pulang. Terima kasih untuk tehnya."
“...Mulai sekarang, apa yang akan kamu lakukan?”
“Tidak
ada yang berubah. Aku hanya akan terus mendukung Yuzuki agar bisa menjadi idol
yang lebih hebat lagi. Meskipun Yuzuki tidak
lagi menyayangiku. Itu adalah penebusan diri dan cintaku untuknya.”
“Lalu...
bagaimana dengan perasaan Emoto-san
sendiri?”
Rasanya
terlalu kejam untuk berpura-pura tidak tahu perasaan dirinya sendiri meskipun dia sudah menyadarinya.
“Aku
sudah melakukannya selama tiga tahun terakhir. Jadi
tidak ada masalah.”
Senyumnya
terlihat sangat tipis dan lemah. Jelas-jelas dia sedang berbohong pada
dirinya sendiri, dan memaksakan diri.
“Tenang
saja, aku tidak akan muncul lagi di hadapanmu. Aku akan pensiun dari posisi
pengasuh Yuzuki, dan menyerahkannya padamu.”
──Mulai sekarang,
akulah yang akan menjadi pengasuh Yuzuki!
Jangan
main-main denganku. Setelah
bertingkah begitu keras kepala, apa dia mau
mengakhirinya begitu
saja?
Aku meraih lengan Emoto-san dan mencegatnya yang hendak kabur dari ruang
tamu.
“...Mamori-san, tolong lepaskan tanganku.”
Ya ampun.
Yang namanya Idol tuh memang buruk dalam
menyembunyikan perasaan asli mereka saat
tak ada kamera. Tapi, pasti ada batas di mana mereka tak bisa lagi
mengabaikannya.
“Tidak
mau. Jika ada seseorang yang melihatmu keluar
sambil sesenggukan begitu,
pasti ada bakalan gosip yang beredar. Padahal aku baru tinggal di sini tiga bulan jadi aku tidak mau menjadi bahan omongan orang lain.”
Tentu
saja itu cuma
alasan saja. Aku hanya ingin menahannya meskipun cuma sesaat.
Aku pun berdiri, lalu menuju dapur.
“Kamu sedang
lapar tidak? Aku akan memasakkan sesuatu yang ringan.”
Pada
masa-masa sulit seperti ini, istirahat sejenak dengan makan
akan membuatmu merasa lebih baik.
Manusia adalah makhluk yang unik, mereka bisa merasa lebih tenang hanya dengan makan.