Bab 4 — Demi Perubahan yang Lebih Baik
Bagian 3
“Hinako!”
Sesampainya
di rumah dan menutup pintu, aku segera memanggil nama Hinako.
Kemudian,
aku langsung menyadari. Kalau dipikir-pikir,
Hinako sedang mengalami demam.
“Ak-Aku
minta maaf. Aku malah berteriak
terlalu keras.”
“...
Aku sudah bangun, jadi tidak apa-apa.”
Hinako
yang berada di bawah selimut,
bergerak dan menoleh ke arahku.
“Eh,
di mana Shizune-san?”
“Dia
sedang berbelanja... Dia bilang dia akan membelikan
barang yang baik untuk tubuhku karena aku demam.”
Sekarang setelah dia menyebutkannya,
sepertinya aku tidak melihat sepatu Shizune-san
di dekat pintu. Mungkin dia pergi berbelanja setelah merawat Hinako dengan penuh perhatian, dan ketika kondisinya sedikit
lebih baik, dia mulai pergi berbelanja.
Ada handuk di dekat tempat tidur yang mungkin digunakan untuk mengelap tubuh.
Sepertinya
dia sudah cukup istirahat, dan raut
wajahnya sudah membaik dibandingkan ketika aku pergi. Sepertinya Hinako sudah
terbiasa jatuh sakit seperti ini, dan Shizune-san juga sudah terbiasa
merawatnya.
“Apa
kamu sudah menemukan jawabannya?”
“Ya...”
Tampaknya
Hinako sudah menebak alasan kenapa aku tampak terburu-buru.
Agar
tidak menambah beban Hinako, aku berbicara dengan tenang dan pelan.
“Hari
ini, aku bertemu dengan mantan teman-teman
sekelasku setelah sekian lama di reuni.”
Apa yang kulihat dan dengar selama seharian ini?
Aku
mengingat dan dengan hati-hati
menceritakannya satu per satu.
“Aku
bisa mendengar segala macam cerita. Hal-hal seperti pergi ke bioskop atau makan bersama...meski itu merupakan hal yang wajar,
tapi semua orang sepertinya bersenang-senang
sepanjang waktu di tempat yang tidak kuketahui. Jika kami pergi ke karaoke, semua
orang bisa menyanyikan lagu-lagu populer kecuali diriku,
dan jika kami pergi ke pusat permainan, semua orang jauh lebih baik dalam
permainan daripada aku. ......
mungkin mereka sudah sering ke sana.”
Hinako menunjukkan ekspresi muram di wajahnya.
Kurasa
karena dia mengira kalau dia sudah merenggut kehidupan sehari-hariku.
Faktanya,
ketika aku melihat mereka, aku berpikir bahwa mungkin ada cara hidup seperti
ini. Dan kupikir itu
pasti cara hidup yang membahagiakan juga.
“—Tapi
aku tidak merasa iri kepada mereka.”
Hinako
membelalak kaget.
“Karena
aku menikmati hidupku yang sekarang.”
“……Menikmati?”
“Iya.”
Saat
Hinako bertanya balik padaku, aku menjawabnya
sambil mengangguk penuh semangat.
“Aku merasa puas dengan cara hidupku
yang
sekarang. Aku bisa
melakukan apa yang ingin kulakukan,
sama seperti orang lain yang melakukan apa yang ingin mereka lakukan.”
Senang
rasanya bisa menyadari perasaan itu.
Seandainya
aku tetap berada di sisi Hinako hanya karena rasa tanggung jawab saja, aku pasti akan merasa iri pada orang lain. Namun, aku tidak mempunyai
perasaan semacam itu di dalam hatiku.
——Ini
bukan rasa kewajiban maupun tanggung jawab.
Bukan
tugasku untuk berada di sini berbicara dengan Hinako saat ini.
Menjadi seorang pengasuh, bersekolah di Akademi Kekaisaran,
belajar dengan giat setiap hari, bekerja keras untuk tetap
hidup, semua ini... Itu bukanlah sebuah kewajiban.
Aku
melakukannya karena aku menyukainya.
“Aku
merasa terharu saat bertemu denganmu, Hinako.”
Mengapa aku menikmati kehidupan sehari-hariku sekarang?
Aku
akan memberitahu alasannya.
“Ketika aku
bersekolah di Akademi Kekaisaran dan
bertemu dengan orang-orang kelas atas seperti Hinako, aku sangat terkesan dengan cara hidup
mereka. Mereka memikul tanggung jawab yang sangat besar dan berusaha keras
untuk memenuhinya. Aku suka dengan
semua orang yang menjalani kehidupan yang begitu megah dan agung.”
Aku
membayangkan berbagai orang di kepalaku.
Asahi-san dan Taisho juga
demikian. Mereka berdua mudah diajak bicara sejak awal kami bertemu, tapi sama seperti murid Akademi Kekaisaran lainnya, mereka
serius memikirkan prospek masa depan mereka.
Ada banyak orang yang luar biasa di sekelilingku.
“Itulah sebabnya aku ingin menjadi seperti itu
suatu hari nanti.”
Kupikir itu
merupakan hal yang sangat wajar. Karena di sekelilingku ada banyak orang yang
berusaha keras. Tidak mengherankan jika aku merasa terinspirasi oleh
mereka.
“Pada
awalnya, aku berusaha yang
terbaik untuk Hinako. Tapi sekarang bukan hanya tentang itu. ...Sekarang, aku
hanya ingin tumbuh menjadi setara dengan orang lain, murni berdasarkan
perasaanku sendiri.”
Upayaku bersifat aktif dan inisiatif sendiri. Itu bukan sesuatu yang dipaksakan
karena orang lain maupun lingkungan.
Itulah sebabnya ini menyenangkan.
Karena aku melakukan apa yang ingin kulakukan.
“Aku masih
belum menemukan apa yang ingin aku lakukan di masa depan....
Tapi, ada satu hal yang sudah kuputuskan dengan pasti.”
Itu
adalah sesuatu yang secara tidak sadar telah kuputuskan
sejak lama, mungkin tidak sekarang.
Satu
tujuan yang secara tidak sadar sudah aku tetapkan——
“Aku
ingin menjadi orang yang bisa memikul tanggung jawab besar. Seperti Hinako, Tennouji-san, atau Narika...”
Atau
mungkin seperti Kagen-san.
Aku
merasakan hal yang sama dari Yuri. Aku
mengagumi ambisinya untuk menjadi koki
suatu hari nanti dan tidak hanya mengambil alih
bisni restoran keluarganya,
tetapi juga mengubahnya menjadi restoran ritel yang
tersebar di penjuru negri.
Itu bukanlah sekedar mimpinya, melainkan itulah
tujuannya.
Aku
ingin hidup seperti orang lain.
“Demi mewujudkan tujuan itu, aku tidak harus hidup
seperti teman-teman yang bermain denganku hari ini. ...Aku ingin terus
hidup di dunia tempat Hinako dan yang lainnya tinggal.”
Bukannya
aku terikat pada Hinako. Aku hidup di
dunia ini sesuai dengan kehendakku
sendiri.
Aku
memberitahu Hinako dengan pemikiran sepert itu.
“……Syukurlah.”
Hinako,
yang mendengarkanku, berkata sambil berlinangan air
mata.
“Aku
senang Itsuki tidak menghilang...”
Hinako
tertawa, merasa lega dari lubuk hatinya.
Aku
dengan lembut mengelus
kepala Hinako saat dia menitikkan air matanya.
◇◇◇◇
(Sudut
Pandang Hinako)
Sambil
ditepuk-tepuk di kepala, Hinako mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.
Apakah
dia membuat Itsuki menderita? ...... Kecemasan itu semakin kuat seiring dengan
kehadiran Itsuki yang
semakin kuat dalam pikirannya.
Dia takut
untuk memastikannya, tetapi sulit untuk menekan kecemasan yang membengkak di
dalam hatinya, jadi Hinako mengumpulkan keberaniannya dan memutuskan untuk
bertanya.
Dia
bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin Itsuki lakukan.
(Aku benar-benar.... bersyukur.)
Hinako
merasa lega dari lubuk hatinya sewaktu
Itsuki mengelus-elus
kepalanya.
Kepalanya
sudah pernah dielus beberapa kali sebelumnya. Dia juga pernah digendong, makan Bersama dengannya, mandi bersamanya… dan ada banyak hal lainnya.
Itu semua
adalah sesuatu yang Itsuki
lakukan karena dia menyukainya.
Dia
tidak membuat Itsuki tidak senang.
(Aku...ternyata boleh menyukai
Itsuki...)
Hinako
merasa sangat senang memiliki kepercayaan diri tersebut.
(Kalau
begitu aku tidak akan ragu-ragu
lagi...mulai sekarang, aku akan bertingkah
lebih berani...)
Hinako tidak
tahu harus berbuat apa, tapi dia merasa
kalau dirinya harus terus
memikirkannya.
Kepalanya
dielus dengan lembut. Setiap kali Itsuki melakukan itu, Hinako merasa kalau dirinya menjadi lebih
nyaman. Mungkin rasanya agak rumit karena Itsuki melakukan hal semacam ini
tanpa perasaan romantis, tetapi.... mungkin dirinya
perlu terlebih dahulu berusaha membuat Itsuki mengubah pola pikirnya di bidang
itu.
Dia juga
harus menanggapi dengan baik pernyataan saingan cinta
yang dia terima dari Yuri. Tidak ada lagi alasan untuk menyerah pada pernyataan
itu. Pertempuran mereka
telah dimulai.
Kepalanya kembali dielus-elus.
Semangat juang yang tadinya membara
terang benderang pun perlaham padam.
Untuk
hari ini... Hinako merasa kalau dirinya bisa
bersantai saja.
Akhirnya, Hinako
bisa tidur nyenyak untuk pertama
kalinya setelah sekian lama.
◆◆◆◆
(Sudut
Pandang Itsuki)
Hinako
tertidur, dan setelah beberapa saat kemudiam,
Shizune-san kembali ke rumayh.
Hinako
tertidur lelap, tapi masih terlalu dini bagi kami untuk tertidur. Aku belajar
dengan tenang agar tidak membangunkan Hinako, dan Shizune-san juga mulai
bekerja.
Pada saat
itu, ada bunyi ketukan
di pintu rumah.
(Ketukan...? padahal ada interkom)
Aku mencoba
mengintip keluar melalui lubang intip di pintu.
“Takuma-san?”
Ada sosok
yang tidak asing lagi berdiri di sana.
“Orang yang
ada di luar adalah Takuma-sama?”
“Ya.
Aku akan keluar dulu sebentar.”
Aku
memakai sepatuku dan pergi keluar rumah.
Tapi
entah kenapa...Aku merasa sepertinya akulah, bukan Hinako atau Shizune-san,
yang mempunyai urusan dengannya.
“Yaa,
Itsuki-kun. Aku minta maaf karena sudah mengganggumu larut malam begini.”
Ia
menundukkan kepalanya sedikit,
tidak tahu untuk apa alasan ia melakukannya.
Takuma-san
menatap wajahku dan tersenyum.
“Dari
ekspresi wajahmu, kelihatannya kamu sudah menjadi tempat di mana
Hinako tinggal, ya?”
“...
Kamu benar-benar mengerti semuanya, bukan?"
“Hahaha,
itulah mengapa aku sering membuat orang merasa tidak nyaman.”
Hanya
dengan melihat wajahku, sepertinya ia bisa memahami situasinya dengan cukup
baik.
Sejujurnya, wajar-wajar
saja kalau kemampuannya ini mampu membuat orang merasa tidak
nyaman.
“Ayo
kita mengobrol dulu sebentar.”
Setelah
mengatakan itu, Takuma-san mulai berjalan.
Ketika
berjalan berdampingan dengan Takuma-san, aku mulai
bertanya kepadanya.
“Tadi,
apa Takuma-san sengaja tidak
menekan bel intercom karena demi Hinako?”
“Yah,
bisa dibilang begitu. Aku
kasihan membangunkan Hinako yang sedang tidur.”
“Kamu
mengkhawatirkan Hinako, bukan?”
“Begini-begini
aku adalah kakaknya. Bukannya itu
wajar?”
Aku merasa
lega mendengar Takuma-san mengatakan hal seperti itu.
Dari apa
yang aku dengar dari Hinako dan Shizune-san, aku mendapat kesan bahwa Takuma-san adalah orang yang menakutkan dalam
banyak hal, tapi kurasa dia lebih masuk akal dan lembut daripada yang kubayangkan.
Itulah yang kupikirkan.
“Jadi,
apa yang kamu katakan untuk meyakinkan
Hinako?”
“Yah,
itu sih...”
Kurasa sejak
wal memang itu topik utama yang ingin
ia bicarakan.
Aku
menjelaskan kepada Takuma-san apa yang telah kukatakan kepada Hinako sebelumnya.
“Hmmm...
Kamu ingin menjadi seseorang yang bisa mengemban
tanggung jawab besar, ya?”
Takuma-san
menganggukkan kepalanya sedikit
saat mendengarkan jawabanku.
“Aku
menyadari bahwa itu masih visi yang samar. Tapi bagiku, itu sudah cukup untuk memutuskan
di masyarakat mana aku ingin hidup.”
“Tidak,
itu saja sudah cukup. Malah akan
mencurigakan jika kamu bisa
langsung memutuskan jalur karier secara spesifik
hanya karena ditunjuk oleh seseorang. Rasanya
tidak mudah untuk menentukan prospek masa depan, iya ‘kan?”
Padahal ia sendiri yang memicunya...
Aku mengabaikan kegelisahan yang muncul di dalam dadaku.
“Tapi,
dalam kasusmu, sepertinya bukan hanya itu saja.”
Takuma-san
berkata dengan gembira.
“Bukannya kamu sudah menemukan sedikit prospek yang
lebih spesifik?”
Ia masih
sebaik biasanya dalam menyelidiki seseorang.
Dengan
orang ini sebagai lawan bicaraku,
kurasa aku tidak akan bisa membodohinya.
“...Aku
hanya menganggapnya sebagai pedoman saja.”
Aku
memberitahu tekadku yang bahkan belum kuberitahukan pada Hinako.
“Jika
memungkinkan, aku ingin
menjadi bagian eksekutif dalam Grup
Konohana.”
Itu
adalah harapan yang tiba-tiba kutemukan ketika aku sedang mencari jawaban.
Aku
ingin menjadi orang seperti apa? Saat aku menanyakan pertanyaan itu, hal pertama
yang terlintas di benakku adalah semua orang seperti Hinako dan yang lainnya
yang menjalani kehidupan bangsawan di Akademi Kekaisaran.
Dengan
mengingat hal tersebut, apa yang ingin kulakukan
di masa depan? Saat aku merenungkan
pertanyaan itu, hal yang terlintas dipikiranku ialah.... orang
dewasa seperti Kagen-san. Sama seperti orang tua Tennouji-san dan Narika, merekalah yang memikul
tanggung jawab besar dan menjalakannya.
Ketika aku memikirkan hal itu, aku membayangkan posisi mana yang harus aku tuju.
“Puhahahahahahahah!
Rupanya kamu cukup ambisius, ya!”
Takuma-san tertawa terbahak-bahak.
Suara
tawanya bergema di kota malam yang sunyi.
“...Tolong jangan tertawa keras begitu. Itu sebabnya aku ingin tetap merahasiakannya.”
“Alasan aku menertawakanmu adalah
karena kamu masih belum cukup baik.”
Perkataannya
memang benar.
Sudah
jelas bahwa aku hanya
akan menggali rasa maluku sendiri jika
membuat pernyataan seperti itu sekarang.
Suatu
hari nanti—— Aku harus
menjadi tipe orang yang dapat membuat pernyataan yang kubuat sekarang dan membuat orang
lain mengangguk setuju.
“Untuk
saat ini, aku mengakui keberanianmu karena sudah mengatakan
hal itu di depanku. Sebagai hadiahnya, aku akan
memberitahumu lebih banyak tentang apa yang terjadi.”
“Mengenai apa
yang terjadi?”
“Aku
membicarakan tentang skandal di Grup Konohana. Jika kamu ingin menjadi seorang eksekutif.... kamu perlu
mendengarkannya dengan baik.”
Takuma-san
menatapku dengan ekspresi serius.
“Alasan
aku dipanggil ke rumah adalah karena aku dan ayahku memiliki pendirian yang
berbeda mengenai skandal ini.”
Takuma-san
mulai berbicara.
“Karena akulah yang melaporkan penyalahgunaan kekuasaan di perusahaan
grup.”
Aku sama
sekali tidak mengetahuinya.
Jadi,
Takuma-san sendiri yang memulai semuanya?
“Konoha
Link Co., Ltd. adalah
perusahaan yang kami akuisisi enam bulan lalu. Namun kenyataannya, perusahaan
tersebut telah mengalami masalah penyelewengan
kekuasaan di kalangan karyawannya selama beberapa waktu. Tampaknya pihak perusahaan berusaha menutup-nutupinya ketika diakuisisi, tetapi begitu
aku melihat raut wajah para
karyawan, aku tahu
bahwa masalahnya masih ada.”
Wawasan
alami. Ia memiliki kejeniusan EQ yang langka bahkan di dunia.
Bagi
Takuma-san, ia
dengan mudah mengukur kondisi perusahaan dari ekspresi wajah
para karyawannya.
“Jadi, aku
memutuskan untuk mengungkapkannya
kepada pers dan mempublikasikannya secara
besar-besaran. Hal ini tidak hanya akan menyelesaikan masalah
dengan Konoha Link, tetapi juga menjadi contoh bagi karyawan lain tentang penyelewengan kekuasaan yang merajalela di dalam grup. Tapi ayahku menghentikannya
di menit-menit terakhir. Ia mengatakan kalau
melakukan hal seperti itu bisa merusak
merek Grup Konohana.”
Perkataan Takuma-san ada benarnya.
Namun menurutku, penilaian Kagen-san kelihatan lebih tepat.
Pendekatan
Takuma-san sangat ekstrem. Kurasa Kagen-san
pasti sudah memutuskan bahwa akan ada terlalu banyak kerugian.
“Aku
menghabiskan beberapa hari terakhir untuk berdebat dengan ayahku di
mansion tempat kalian menghilang,
tapi pada akhirnya aku kalah karena kalah
jumlah. Padahal kupikir itu adalah pilihan
terbaik.”
“Terbaik...”
Saat aku keceplosan membalasnya,
Takuma-san menatap lurus ke arahku.
Ditatap
serius begitu, aku merasa ragu karena
apa tidak apa-apa jika orang sepertiku boleh ikut
campur. Tapi, karena ia sudah
menjelaskannya seperti ini, kurasa aku memiliki hak
untuk mengutarakan pendapatku.
“...Jika
nama baik Grup Konohana rusak, bukannya hal itu akan membahayakan
posisi karyawan juga?”
Jika itu
terjadi, bukannya itu akan menjadi akhir dari segalanya?
“Itu
adalah pengorbanan yang diperlukan.”
Takuma-san mengatakannya tanpa
ragu-ragu.
Memangnya
ada masalah dengan itu? Seolah-olah ia ingin mengatakan itu.
“Menurutku
tidak ada salahnya jika Grup Konohana runtuh setidaknya sekali.”
Aku
tidak dapat memahami maksud dari
pernyataan tersebut untuk
sementara waktu.
Memangnya
Grup Konohana boleh diruntuhkan begitu saja...?
Apa sih yang dikatakan orang
ini?
“Karena
grup kami memiliki sejarah yang panjang, jadi ada
banyak nanah yang mengintai di sana-sini. Itu sebabnya, kupikir kami perlu membongkar dan membangun kembali.... Jika kami tidak memiliki tekad untuk
membereskan kekacauan ini, kami
tidak akan bisa melakukan reformasi besar-besaran. Itu sebabnya aku berselisih dengan ayahku.”
Aku
mengerti maksud perkataannya.
Namun,
gagasan tersebut masih terkesan sangat ekstrim.
Karena aku
hanyalah orang biasa... Mungkin karena aku tidak tahu banyak tentang
menjalankan perusahaan, jadi aku
tidak bisa membayangkannya dengan baik.
Mungkin ia bisa merasakan perasaanku, Takuma-san
melanjutkan.
“Kamu
juga merasa aneh, iya ‘kan?
Kenapa Hinako harus melalui semua
masalah itu?”
Itu
adalah cerita yang bisa kupahami
juga.
Aku sudah
memikirkannya sejak
awal. Kenapa Hinako harus mengalami hal
ini?
“Sejak awal,
garis keturunan Konohana selalu memiliki kebiasaan yang kuat. Hinako pemalas dan aku egois. Bagi kami yang memiliki keanehan semacam itu, untuk mengendalikan
kelompok sebesar ini, kami harus
memangkas hal-hal yang tidak perlu. Tapi ayah tidak mau melakukannya. Itulah
sebabnya beban Hinako juga
semakin berat. Ayah tidak pandai memotong-memangkas hal-hal tersebut.”
“Namun,
meskipun ada skandal kali
ini, bukannya Kagen-san sudah mengelola kelompok saat ini dengan
baik?”
“Ayah
juga sedang memaksakan dirinya tahu. Sejak ibu meninggal.”
Takuma-san sedikit menundukkan
pandangannya.
Apa
Takuma benar-benar khawatir tentang keluarganya?
Namun,
ada perasaan aneh dan mengganjal yang
mengganggu perasaanku.
“...
Apa itu yang diinginkan Hinako?”
Aku tahu
Hinako tidak menyukai Takuma-san, tapi aku bertanya-tanya apa dia
merasakan hal yang sama terhadap cara berpikir Takuma-san. Aku merasa penasaran dan menanyakan hal
tersebut.
Takuma-san menjawab sambil memikirkannya.
“Entahlah, aku
tidak yakin. Sejujurnya, kamu adalah orang yang
pertama kali mendengar
pandanganku secara mendetail
seperti ini,
Itsuki-kun.”
“Eh...
benarkah?”
“Yeah.
Jadi aku tidak tahu apakah aku bisa mendapatkan persetujuan dari Hinako.”
Takuma-san mengatakan
itu dengan santai.
“Tunggu
sebentar.”
AAku sama
sekali tidak bisa memahami ketenangannya itu.
“Apa
kamu berencana melakukan reformasi yang akan memengaruhi kehidupan Hinako tanpa berbicara dengannya?”
Aku
bertanya dengan hati-hati, takut mendengar
jawabannya.
Namun,
Takuma-san menjawab seolah-olah itumerupakan hal yang wajar.
“Ya.
Karena aku yakin itu pasti akan membuat Hinako merasa lebih
baik.”
Ketika aku mendengar jawabannya, aku
akhirnya mengerti.
……Begitu rupanya.
Aku
akhirnya mengerti.
Aku akhirnya
memahami sifat sebenarnya dari ketidaknyamanan yang selalu kurasakan dari orang ini.
Ketika aku mengetahui bahwa dia tidak membunyikan interkom karena khawatir kepada Hinako, aku berpikir bahwa orang ini juga
menghargai dan peduli dengan
keluarganya.
Namun
kenyataannya berbeda.
Seperti
yang dikatakan Hinako di mansion, orang ini hanya memikirkan dirinya sendiri.
Orang ini—— ia hanya memikirkan dirinya
sendiri tanpa
mengkhawatirkan keluarganya.
Takuma-san tidak terlalu menghargai
keluarganya.
Mungkin
hal yang sama juga berlaku untuk Grup
Konohana. Yang penting bagi Takuma-san
adalah keputusannya sendiri untuk memperlakukan Grup
dengan baik, sedangkan perasaan orang-orang yang tinggal di dalam grup menjadi urusan kedua baginya.
... Mungkin karyawan yang menjadi korban penyelewengan
kekuasaan pun sebenarnya tidak menginginkan solusi yang begitu mencolok seperti
ini. Meski demikian, sepertinya Takuma-san
tidak begitu peduli dengan perasaan orang tersebut.
Itulah
sebabnya, ia dengan tenang mengatakan 'membongkar dan membangun kembali'.
Aku bisa menebak mengapa dia
memiliki nilai-nilai seperti itu. Orang ini memiliki keyakinan mutlak bahwa
keputusannya merupakan hal yang
benar. Kemampuannya untuk membaca pikiran orang lain— intuisi yang memungkinkannya
melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh orang lain— membuatnya menjadi seperti itu.
Itu
memang kenyataan. Entah kenapa, aku merasa
sepertinya dengan cara Takuma-san, reformasi yang diinginkan bisa tercapai.
Tapi, dengan
cara seperti itu, aku...
Dan Hinako....
“Kamu
memiliki raut muka yang
sama dengan ayahku.”
Takuma-san berkata sambil menatap wajahku.
Tidak ada
harapan maupun kekecewaan di matanya.
Takuma-san hanya menunjukkan
ekspresi yang datar.
“Yah,
tidak masalah. Jika kamu bisa
menemukan cara yang berbeda dariku, itu sudah cukup bagus.”
“...
Apa maksudmu?”
“Aku
hanya mencoba membuat pilihan yang menurutku paling benar saat ini. Tapi, jika
kamu berhasil berjuang dan mengubah situasi, mungkin akan ada pilihan lain di
masa depan.”
Pada saat
ini, Takuma-san secara tidak langsung mengatakan bahwa pilihannya jauh lebih benar daripada Kagen-san.
Takuma-san
bersikap objektif. Meskipun sikapnya terlihat sombong, tapi perkataannya sangat masuk akal. Ia memiliki keyakinan yang
didasarkan pada perhitungan yang cermat, bukan karena kesombongan.
Satu-satunya
hal yang tidak dapat diperhitungkan adalah emosi kami
sendiri.
“Jika
kamu tidak menyukai
pilihanku... maka kamu tidak punya pilihan lain selain harus membuat pilihan lain.”
Takuma-san
berkata sambil tersenyum menantang.
Aku
merasakan angin yang tidak enak seperti menyapu dari depan, membuat bulu
kudukku merinding. Aku menyadari bahwa aku adalah sosok yang kecil dan tak
berarti. Perasaan ini hanya bisa dijelaskan dengan kata 'wibawa'.
Aku
merasa tertekan oleh wibawa yang luar biasa milik Takuma-san.
“Namun,
jika kamu benar-benar serius ingin menjadi bagian dari anggota
eksekutif kami, sebaiknya kamu
membangun prestasi sebagai pelajar
sedikit lebih dulu. Dengan kondisimu yang
sekarang, kamu bahkan
tidak bisa naik ke atas panggung.”
Takuma-san melanjutkan sambil merenungkan sesuatu sambil menopang dagunya dengan
jari.
Tekanan
yang kurasakan sebelumnya sudah tidak terasa
lagi. Keringat dingin mengalir dari pipiku
dan jatuh ke tanah.
“Mungkin
yang paling ideal adalah bergabung dengan OSIS.
Tapi karena di situ lebih memperhatikan latar belakang keluarga, jadi dalam kasusmu, ada risiko
kalau identitasmu akan terbongkar sebelum
kamu bisa unjuk gigi... selain itu, kamu juga harus menang dalam 'permainan
manajemen'.”
“Permainan
manajemen...?”
“Ada
pelajaran yang agak unik. Aku tidak akan menjelaskan detailnya sih....”
Ucap
Takuma-san sambil tersenyum ketika aku mengernyitkan dahi karena tidak mengenal
kata-kata yang dia ucapkan.
“Kamu
mungkin tidak mengetahuinya. Di
Akademi Kekaisaran, mulai dari semester kedua di kelas 2, pelajaran
yang sebenarnya baru dimulai.”.
Beberapa
hari kemudian, aku mulai
menyadari maksud dari perkataan
Takuma-san.
Semester kedua di kelas 2, titik balik dalam kehidupan SMA.
Akademi
Kekaisaran sedang bersiap-siap
menyambut acara besar.