Bab 4 — Demi Perubahan yang Lebih Baik
Bagian 2
(Sudut
Pandang Itsuki)
Keesokan
harinya.
Setelah
makan siang, suasana santai pun mengalir di dalam rumah.
Saat Shizune
menjemur cucian, aku membersihkan dan
menjalankan penyedot debu.
Ketika aku mematikan penyedot debu untuk
mengubah lokasi stopkontak, aku
mendengar seorang selebriti tertawa di TV. Aku teringat
kalau Hinako sedang menonton TV. Aku melihat ke arah
Hinako, bertanya-tanya apa suara
penyedot debunya terlalu bising atau tidak.
Hinako tampak melamun. Pandangannya tertuju pada kekosongan, dan aku tidak tahu apa yang dia
pikirkan.
“Hinako,
apa kamu sedang tidak
enak badan?”
“Hmm...bukan
itu masalahnya.”
Hinako membalas sambil menggelengkan kepalanya.
“Ada
banyak hal yang aku khawatirkan.”
Mungkin
dia sendiri sadar kalau perilakunya berbeda dari biasanya, jadi dia tidak berusaha untuk menutupinya.
“Kalau kamu mau curhat, aku bisa mendengarkannya sebanyak yang kamu mau.”
“Terima
kasih. Tapi mungkin ini sesuatu yang perlu aku pikirkan sendiri...”
Sepertinya
itu adalah masalah yang tidak bisa dia
ceritakan padaku.
Hinako mulai melamun sekali lagi.
Aku
menyimpan penyedot debu dan menuju balkon.
“Shizune-san,
aku akan membantumu.”
“Terima
kasih. Sekarang, tolong jemur kasurnya di sana.”
Tidak ada
cukup ruang untuk menjemur futon
tiga orang sekaligus, jadi pada
hari ini hanya tempat tidur Hinako yang dicuci. Seprai-seprai yang kusut dan
direntangkan, diikat dengan jepitan agar tidak
lepas karena tertiup angin.
“Kamu kenapa,
Itsuki-san?”
Entah karena
dia menyadari kalau aku bekerja sambil memikirkan sesuatu yang lain, Shizune-san tiba-tiba
bertanya padaku.
“Tidak, hanya saja.... sepertinya Hinako
mengkhawatirkan sesuatu hari ini juga.”
“Ojou-sama juga seorang manusia, jadi ada kalanya saat-saat seperti itu.”
“Itu
memang benar sih, tapi...”
Bagaimana
caranya supaya aku bisa
menyampaikan perasaan ini?
Sambil memandang langit yang cerah, aku berusaha mengucapkan beberapa kata-kata.
“Bagaimana
bilangnya ya..... Aku merasa frustrasi
karena tidak bisa membantunya...”
Ini
mungkin cara berpikir yang arogan.
Namun,
itulah yang kupikirkan setiap kali aku melihat Hinako menderita sendirian.
“Kamu tidak
perlu khawatir.”
Shizune-san
tersenyum padaku yang merasa cemas.
“Kamu tetap
jadi dirimu sendiri seperti biasanya, Itsuki-san.”
Shizune-san
sudah mengenal Hinako lebih lama dariku. Jika Shizune-san bisa memberitahuku
bahwa itu tidak apa-apa, aku bisa merasa
sedikit lega.
Tapi di
saat yang sama, mau tak mau aku jadi
mengingatnya.
--Dengan
keadaanmu yang sekarang,
kamu tidak bisa menjadi tempat Hinako.
Kata-kata
yang diucapkan Takuma-san kepadaku masih
terngiang-ngiang di dalam kepalaku.
Alasan kenapa aku tidak bisa membantu Hinako sekarang... Alasan kenapa Hinako mengkhawatirkan sesuatu sendiri saat ini,
mungkin karena aku tidak bisa menjadi tempat bagi Hinako.
Kecemasan
itu terus-menerus
menghantuiku.
Setelah selesai membantu untuk menjemu pakaian,
aku kembali ke dalam rumah.
“Hm?”
Ponselku
bergetar di dalam saku.
Aplikasi pemberitahuan memberitahuku bahwa aku
menerima pesan dari teman sekelas.
“Reuni kelas...?”
Rupanya
salah satu dari mantan teman sekelas yang aku temui di depan
sekolah baru-baru ini tampaknya merencanakan sesuatu. Acaranya besok. Meskipun itu terlalu mendadak, tapi
karena liburan musim panas sudah hampir berakhir, jadi mau bagaimana lagi.
Ketika
aku membuka halaman survei untuk
mengumpulkan kehadiran, ada kalimat tidak bertanggung jawab yang mengatakan “Mungkin kalian bisa bertemu dengan
Itsuki!” Terpasang
di sana. Tampaknya salah satu alasan acara reuni ini diadakan adalah karena aku
kembali ke kota ini. Namun dari pertukaran pesan selanjutnya, sebagian besar
terlihat seperti ide spontan. ... Sebenarnya, mantan teman sekelas yang jarang
berinteraksi denganku sudah menunjukkan niat untuk hadir.
Meskipun aku merasa malu karena diperlakukan sebagai tokoh utama
acara, dan tidak terbiasa dengan hal tersebut, jika tidak begitu, aku juga bisa
ikut serta. Baru-baru ini, aku berbicara ringan dengan mereka di depan sekolah
dan itu menyenangkan karena terasa nostalgia
sekali. Aku merasa bersyukur
karena sudah diundang ke acara semacam itu.
(Tapi, Hinako bertingkah aneh saat ini...)
Meskipun
batas waktu survei adalah hari ini, tapi aku
akan menunda jawabannya sampai detik-detik terakhir.
Aku lalu menyimpan kembali ponselku ke dalam saku.
◇◇◇◇
(Sudut
Pandang Hinako)
Pada saat
makan malam selesai.
Hinako
perlahan-lahan mendapatkan kembali
ketenangannya.
Begitu dia menerima perubahan dalam dirinya, cara berpikirnya tentang kehidupan sehari-harinya menjadi berubah total. Sekarang kalau
dipikir-pikir lagi, dia bertingkah cukup lengket.... misalnya saja seperti
tidur di bantal pangkuan atau digendong.
Apa dia harus menahan diri dengan itu
mulai sekarang?
Memikirkan
hal seperti itu membuatnya
merasa berat.
“Hinako.
Apa kamu mau mandi
sendirian lagi hari ini?”
“....”
Itsuki
yang sedang membersihkan kamar mandi bertanya
demikian.
Hinako agak
terkejut karena itulah yang sedang dia pikirkan saat
ini.
Apa yang
harus kulakukan, aku harus menolaknya.
Aku harus
memberitahunya bahwa mulai sekarang aku akan mandi sendirian...
Aku
harus memberitahunya...
.............
“To-Tolong...
cuci rambutku.”
“!!!
Oh, serahkan saja
padaku!"
Ekspresi
Itsuki tiba-tiba menjadi cerah.
Entah ia
merasa senang karena Hinako telah
menolaknya baru-baru ini atau
mungkin karena alasan lain.
Namun,
berlawanan dengan suasana hati Itsuki
yang ceria, perasaan batin Hinako menjadi sangat rumit.
(A-Aku
mengatakannya...)
Padahal dia
seharusnya menolaknya...
Hinako
berganti pakaian renang dan berendam di bak mandi
dengan perasaan gelisah. Ketika dia sampai pada tahap
mencuci rambutnya, dia memanggil Itsuki,
yang juga tiba dengan suasana hati yang baik.
“Apa ada bagian yang gatal?”
“Tidak,
tidak ada sama sekali...”
Kesehatan mentalnya sedang dalam masalah besar.
(...Mungkin
aku adalah gdis yang terlalu
nakal)
Dia
pura-pura tidak tahu apa-apa.
Padahal dia sudah menyadari perasaannya sendiri.
Meskipun
mengenakan baju renang, dia
menyadari kalau tindakan
mandi bersama antara pria dan wanita itu terlihat mencurigakan.
Dia
pura-pura bertingkah polos dan
membuat Itsuki patuh mengikutinya.
(Tapi...aku
ingin mandi bersamanya...)
Nafsunya mengalahkan rasa bersalahnya.
Dada
Hinako dipenuhi dengan kegembiraan
dan rasa bersalah terhadap Itsuki.
Dia secara
naluriah menyembunyikan
wajahnya dengan kedua tangan.
“Maaf,
apa shamponya masuk ke matamu?”
Hinako
menggelengkan kepalanya tanpa
berkata apa-apa.
Setelah
selesai merawat
rambutnya, Itsuki segera pergi meninggalkan
kamar mandi.
Ketika Hinako keluar dari bak mandi, dia melihat pantulan wajahnya di cermin dan menyadari
kalau wajahnya terlihat merah padam. Mungkin Itsuki salah mengira kalau dia kepanasan. Namun kemerahan ini
bukan karena tubuhnya yang kepanan.
Setelah
keluar dari bak mandi, Itsuki yang sedang belajar menoleh ke arahnya.
“Kalau
begitu, giliran aku yang mandi ya.”
Hinako
diam-diam menatap punggung Itsuki yang pergi mengambil pakaian gantinya.
Hinako
juga memahami arti khusus dari menghabiskan waktu
bersama di bawah satu atap.
Semakin dia menyadari perasaan ini, dia justru semakin bingung. Namun dia tidak menyesalinya karena sudah
menyadarinya. Daripada bingung, dia
belajar untuk menikmati kebahagiaan.
Aku ingin
tahu lebih banyak.
Aku ingin
belajar lebih banyak tentang cinta.
Dengan pemikiran seperti itu, Hinako memutuskan untuk
melanjutkan membaca manga yang dipinjam dari Yuri.
(Aku
harus membacanya saat
Itsuki sedang mandi)
Manga
shoujo sudah terlalu membuatnya ketagihan,
sehingga sulit untuk fokus saat Itsuki berada di dekatnya. Shizune juga fokus pada
pekerjaan administrasinya.
Sekarang mungkin dia bisa
membaca manga tanpa terlalu diperhatikan meskipun bereaksi agak keras.
Hinako mulai
membalik halaman.
Itu
adalah adegan di mana dua gadis yang saling
berebut seorang anak laki-laki.
——Hmph,
dia sudah menjadi milikku. Jangan sekali-kali
terlibat lagi
dengannya.
Kata
gadis dengan riasan tebal. Dia bukan karakter
utama, melainkan karakter saingan cinta.
Gadis ini
sangat posesif. Apa pun yang dia inginkan, mulai dari barang merek hingga
manusia, dia akan mencoba untuk mendapatkannya. Mungkin karena keluarganya yang kaya, kebiasaan buruk untuk
mengandalkan uang juga membuatnya kadang-kadang menggunakan cara paksa untuk
mendapatkan yang diinginkannya.
(Karakter
ini... sangat menjengkelkan!)
Gadis dengan riasan tebal jelas-jelas digambarkan sebagai karakter antagonis, sehingga Hinako
benar-benar membenci karakter ini.
Dia
adalah gadis egois yang tidak pernah memperdulikan
perasaan orang lain, dan selalu berusaha mempermainkan orang lain tanpa menyadarinya.
Akhirnya,
sang protagonis memutuskan untuk menghadapi gadis tersebut secara langsung.
——Mengapa
kamu tidak pernah menyadarinya!?
Sang protagonis
berteriak.
——Kamu
hanya ingin menjadikannya milikmu dengan membatasinya!
Gadis dengan riasan tebal tersentak ketika
kata-kata itu sangat tepat sasaran.
Tapi,
kata-kata itu...
“—Ah”
Ah.
Ahhhh.
Kata-kata
itu tidak
hanya menusuk batin karakter dalam manga,
tetapi juga perasaan Hinako.
—Jangan
mencuri apapun darinya lagi!
Teriakan
putus asa sang protagonis memberikan pukulan telak bagi perasaan bingung
Hinako.
Mengapa...
dia hampir melupakannya.
Apa dia terlalu terbawa emosi dan lupa
memahami perasaannya sendiri?
Bodoh sekali.
Ada satu
fakta lagi yang harus dihadapinya.
Aku...
mungkin telah merampas hidup Itsuki.
Sejak
mendengar kisah lama Itsuki selama kursus musim panas, Hinako selalu merasa
seperti itu.
Sebelum
menjadi pengasuhnya, Itsuki
memiliki kehidupan yang sangat berbeda dari sekarang. Dan dia telah merampas semuanya darinya.
Itsuki seharusnya hanya menjadi orang biasa, tidak akan pernah masuk ke Akademi
Kekaisaran, tetapi dia
memaksanya untuk berjuang melewati usaha yang luar biasa dan membawanya ke
dalam masyarakat kelas atas yang tidak pernah ia impikan.
Jika Hinako tidak mengajaknya bicara, apa
Itsuki akan mati tersesat sekarang? ...Memang Itsuki ditinggalkan oleh orang
tuanya, namun dari cerita Yuri, sepertinya Itsuki tidak akan hancur begitu
saja. Itsuki sudah memiliki relasi
hubungan yang bisa diandalkan. Itsuki pasti
bisa memulai kembali dengan
bantuan teman-teman sekelas yang berpusat di sekitar Yuri, bahkan tanpa bantuannya.
Jika memang begitu... Bukannya aku sudah
melakukan hal yang tidak perlu?
Bukannya
kehidupan Itsuki menjadi kacau karena keegoisanku sendiri?
Untuk menghadapi
kekhawatiran itu, Hinako memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah Itsuki
untuk sementara waktu.
Semuanya demi mengetahui lebih banyak tentang masa lalu Itsuki.
Untuk
menyadari seberapa jauh dia telah
merusak kehidupan Itsuki――.
“Aku...”
Di dalam
manga tersebut, gadis dengan riasan tebal terlihat kesal
tanpa bisa menjawab.
Sampai
sekarang, Hinako selalu merasa terhubung secara emosional dengan
protagonis dalam manga. Sama seperti di manga, dia
berharap bisa memiliki hubungan manis dan asam dengan lawan jenis yang dikenalnya.
Namun,
sepertinya dia salah paham.
“Aku...
bukanlah karakter utama...”
Dia bukanlah karakter utama. Dia
adalah gadis berdandan tebal ini.
Dia bukanlah orang yang membuat pria yang dia
sukai bahagia, melainkan orang yang menyakitinya.
Kepalanya sakit.
Dadanya terasa sesak.
Hinako
perlahan-lahan merebahkan tubuhnya di lantai.
“Ojou-sama?”
Shizune yang sedang bekerja, memanggil
Hinako yang berbaring di lantai.
Awalnya
dia pikir Hinako hanya tertidur, tapi ketika melihat Hinako yang jelas-jelas kesakitan, raut
wajah Shizune seketika langsung berubah.
“―Ojou-sama!?”
◆◆◆◆
(Sudut
Pandang Itsuki)
Saat aku
baru saja keluar dari kamar mandi, aku mendengar
teriakan Shizune-san.
Aku
segera mengganti pakaianku dan
keluar dari kamar mandi.
“Shizune-san!
Apa ada yang terjadi dengan
Hinako!?”
Hinako
sedang berbaring di tengah ruangan. Namun
ekspresi wajahnya penuh dengan penderitaan, jadi
sangat jelas terlihat bahwa dia sedang sakit. Keringat yang terus bercucuran tampak
menetes di dahinya.
“...Sepertinya dia demam. Sudah lama sekali
ini terjadi setelah dia datang kemari.”
Tetesan
air menetes dari rambutku yang belum sepenuhnya kering.
Demam
psikogenik. Hinako, yang dipaksa
berperan sebagai seorang Ojou-sama
yang sempurna setiap hari,
kadang-kadang mengalami demam secara berkala akibat stres yang dia alami.
Namun
belakangan ini, mungkin karena stresnya telah berkurang, dia sama sekali tidak
mengalami demam, sehingga mungkin dia sedikit lengah di suatu tempat dalam
hatinya.
Ketika
melihat Hinako tergeletak tak
berdaya karena demam, aku sangat terguncang.
“Ke-Kenapa...”
“Jika
kita mempertimbangkan kasus sebelumnya, sepertinya penyebabnya memang karena stres,” ujar Shizune-san dengan wajah serius.
“Ada
banyak kemungkinan penyebabnya. Dia tinggal di lingkungan yang tidak biasa, dia juga berinteraksi dengan orang-orang
yang tidak biasa baginya, dan juga...”
Shizune-san menatapku dalam diam tanpa berkata apa-apa.
Namun
kemudian, dia kembali memeriksa kondisi
Hinako.
“Ap-Apa kamu
sudah memanggil dokter?”
“Iya.
Dokter pribadi yang biasa bersiaga
di rumah seharusnya akan segera tiba.”
Shizune-san menjawab sambil meletakkan handuk
basah yang telah didinginkan di dahi Hinako. Di atas meja terdapat kantong obat
penurun panas yang sudah dibuka dan gelas air yang mungkin akan diberikan untuk
diminum.
Meskipun
baru beberapa menit sejak teriakan terdengar, semua tindakan sudah dilakukan.
“Aku
akan menunggu dokter di luar!”
Dengan
harapan agar dokter bisa datang sesegera
mungkin, aku keluar dari rumah.
Jalanan di sekitar sini sedikit rumit dan berbelit-belit. Jadi mereka mungkin kelewatan dengan tempat ini.
Namun
sejujurnya, kekhawatiran semacam itu sama sekali tidak
relevam.
Aku ingin
melakukan sesuatu...apa pun itu asal demi
Hinako.
Setelah
menunggu beberapa saat, sebuah mobil berwarna
hitam berhenti di depan rumah.
Dari
dalam, ada seorang dokter yang
mengenakan jas putih dan—
“Hai”
Untuk
beberapa alasan, Takuma-san ikut
muncul.
“Terima kasih
telah menunggu di luar. Daerah sekitar ini cukup
gelap dan aku hampir tersesat.”
“....Takuma-san, mengapa kamu berada
di sini?”
“Aku
sedang bersantai di rumah ketika para dokter membuat keributan. Setelah bertanya kepada mereka mengenai apa yang terjadi, mereka
memberitahu bahwa Shizune memanggil dokter, jadi aku ikut dengan mereka untuk
melihat keadaan.”
Dokter
masuk ke dalam rumah.
Takuma-san
melihat ke arah Hinako melalui celah pintu yang terbuka.
“Kupikir sudah waktunya hal ini
terjadi.”
Apa maksudnya
dengan perkataan itu...
Aku merasa penasaran, tapi saat ini aku
mengkhawatirkan Hinako dan bukan waktunya untuk
memikirkan hal itu sekarang.
Aku
mencoba masuk ke dalam rumah
bersama dokter.
“Ah,
tunggu dulu. Itsuki-kun,
bagaimana kalau kamu berbicara denganku sebentar?”
“Berbicara…”
“Kamu
bisa mempercayai keterampilan mereka. Kamu hanya
akan menghalangi tugas mereka jika masuk ke sana.”
Mungkin
memang demikian.
Pintu depan pun ditutup.
Angin
dingin berhembus dengan hening di
antara aku dan Takuma-san.
“Menurutmu
apa yang menyebabkan Hinako bisa menjadi
seperti ini?”
Takuma-san
menatapku dan bertanya demikian.
Shizune-san menduga kalau penyebabnya karena stres. Karena dia tidak terbiasa dengan lingkungan
yang asing dan hubungan yang tidak biasa...
dan mungkin saja kejadian-kejadian yang terjadi akhir-akhir ini terlalu
menstimulasi Hinako.
Tapi aku
merasa kalau alasannya berbeda dari itu.
Karena
Hinako sudah bersikap positif sejak awal. Hinako sendiri tertarik untuk tinggal
di rumah ini untuk sementara waktu dan berjalan-jalan di kota ini.
Hinako
benar-benar terlihat menikmati saat dia makan di restoran gyudon. Sulit dipercaya kalau hal itu cukup menyebabkan stres hingga
menyebabkan demam. Pasti ada banyak
pengalaman yang tidak diketahuinya,
tapi menurutku stresnya berkurang karena Hinako sendiri yang menginginkannya.
Tapi
kalau begitu, kenapa Hinako bisa
menderita———
“Itu
karena kamu, Itsuki-kun.”
Ucap
Takuma-san.
Ia
menatap lurus ke arahku dengan tatapan yang
seolah-olah ia bisa melihat semuanya.
“Sudah
kubilang, ‘kan? Saat ini, kamu tidak bisa menjadi
tempat untuk Hinako.... Kamu sama sekali tidak baik. Kamu ‘kan bertugas untuk menjaga Hinako, jadi kamu harus
memastikan bahwa kamu adalah tempat untuknya.”
“Bahkan
jika kamu mengatakan itu...”
Lantas, apa
yang harus kulakukan?
Apa yang sudah aku lewatkan?
Ada banyak
pertanyaan yang muncul.
“Hinako
khawatir. Karena dia tidak
tahu kamu akan tinggal di masyarakat mana.”
Takuma-san mulai menjelaskan.
“Kamu
terbagi antara masyarakat biasa yang kamu
tinggali selama ini, dan masyarakat kelas atas,
tempat di mana aku dan Hinako tinggal. Kamu bisa beradaptasi
dengan keduanya, dan kamu bisa memilih di antara
keduanya. Itulah
sebabnya Hinako berpikir kalau kamu
harus hidup dalam masyarakat rakyat biasa.”
Itu
adalah sudut pandang yang tidak terduga bagiku.
Aku
terbelah di antara dua masyarakat kelas sosial........?
“Hal
semacam itu......”
“Kamu
bergaul akur dengan mantan teman sekelasmu di depan Hinako, ‘kan? Siapa
pun yang menyaksikan adegan seperti itu akan berpikir, ‘apa jangan-jangan aku adalah pengganggu’?”
“.....”
Aku tidak
bisa membantahnya.
“Karena
kamu sudah menghabiskan beberapa waktu di Akademi Kekaisaran, kamu harusnya mengerti, ‘kan? Kami orang-orang dari masyarakat kelas atas, entah itu baik atau buruknya,
menjalani hidup kami dengan pandangan ke masa depan. Kami semua memiliki visi
masing-masing: mengambil alih keluarga, memulai bisnis, menjadi pejabat
pemerintah, menjadi menantu atau pengantin. ....... Tapi kamu tidak memilikinya. Kamu hanya memiliki visi masa depan
yang samar-samar, sehingga orang-orang di sekitarmu
tidak tahu seberapa besar mereka bisa
mempercayaimu. Kamu mungkin
akan menghilang begitu saja dari kehidupan
kamu secara tiba-tiba. Aku tidak tahu seberapa jauh kehidupanmu
dan Hinako benar-benar tumpang tindih. .......”
Sedikit
demi sedikit, aku memahami maksud Takuma-san.
Pembicaraan
ini bukan tentang masa kini. Ini adalah percakapan dengan
pandangan ke masa depan.
Kalau
begitu... aku tidak bisa menyangkalnya. Kalau
dipikir-pikir kembali, aku memang tidak memikirkan masa depanku secara detail sehingga aku bahkan tidak bisa menyangkalnya. Aku
sudah menerima tawaran pekerjaan di perusahaan IT
tertentu melalui pengaturan Shizune-san, tetapi aku
belum memutuskan untuk pergi ke perusahaan itu. Aku
sendiri mulai tertarik dengan industri IT, tapi aku
belum memutuskan secara pasti ingin menempati posisi apa.
Apakah hanya itu saja masih kurang bagus?
“Dari
sudut pandang kami, cara hidupmu itu
ambigu.”
Takuma-san berkata demikian.
“Aku tidak mengatakan bahwa kamu harus memilih satu masyarakat
dan memutuskan hubungan dengan
masyarakat yang lain. Akan tetapi, aku tidak
mendapatkan kesan darimu bahwa kamu bertekad untuk tidak kembali.
Menurut pengalamanku, aku
merasakan tekad semacam itu dari
orang-orang yang serius menatap
masa depan mereka.”
Saat aku
tidak bisa berkata apa-apa, Takuma-san berkata dengan serius.
“Apa
yang ingin kamu lakukan di masa depan dan bagaimana kamu ingin hidup...kamu
harus memikirkannya baik-baik
sekali lagi.”
Setelah
mengatakan itu, Takuma-san berjalan entah kemana tanpa kembali ke dalam mobil.
Karena tidak
dapat mengikutinya atau menghentikannya,
aku memutuskan untuk memasuki
rumah.
Dokter
itu mungkin baru saja menyelesaikan
prosedur pemeriksaan, dan sedang duduk di
sudut ruangan sambil berbincang-bincang dengan Shizune-san.
Aku
mendekati Hinako, yang terbaring di tengah ruangan.
“Hinako
......”
“It....suki
......?”
Ketika aku
tidak mengharapkan balasan,
ternyata Hinako justru membuka matanya.
Rupanya dia masih terjaga.
Melihat
wajahnya yang berkeringat karena kepanasan, aku merasa frustrasi tak berdaya.
“Hinako,
maafkan aku. Apa aku membuatmu merasa cemas...?”
“...Tidak.
Ini semua karena salahku sendiri.”
Hinako
membantah dengan suara kecil.
“Karena
aku sudah mengikat kehidupan
Itsuki...”
Seperti
yang dikatakan Takuma-san, sepertinya Hinako mengkhawatirkan cara hidupku.
Sekitar
waktu kursus musim panas berakhir, Hinako
mulai banyak menanyakan tentang masa laluku.
Alasannya sekarang sudah menjadi
jelas.
Hinako
sudah lama mengkhawatirkan hal ini.
Kehidupan
sehari-hariku yang normal...
“Jika
kamu ingin kembali ke kehidupan
normalmu, Itsuki...aku akan menghormatinya.”
Hinako
berkata dengan suara serak.
Seolah-olah
dia ingin mengatakan bahwa aku bisa berhenti menjadi pengurusnya. Aku lalu secara refleks menggelengkan
kepalaku.
“Hinako, kamu salah. Aku tidak merasa terikat. Aku
akan terus bersamamu,
Hinako...”
“Jangan
karena...demi
diriku.”
Hinako
menggelengkan kepalanya sedikit. Suaranya terdengar
pelan dan tubuhnya hanya bergerak sedikit. Namun, ada
kemauan kuat di dalam sorot matanya.
“Kamu harus
memikirkannya demi dirimu sendiri.”
Hinako
memohon dengan matanya bahwa aku
harus melakukan itu.
Pada saat
itu juga, ponselku bergetar.
Aku tidak
ada niatan untuk mengangkatnya sekarang, tapi...
“Kamu bisa menjawab.... telepon, kok.”
Hinako
memperhatikan panggilan masuk dan berkata demikian.
Aku
mungkin malah membuatnya khawatir, jadi aku
menjawab panggilan itu.
“Oh, Itsuki! Tanggapan untuk kehadiran di acara reuni,
cuma kamu yang tersisa, loh!”
Suara
yang keluar dari speaker ternyata lebih keras dari yang kuduga.
Sialan,
Hinako jadi mendengarnya. Aku tidak berusaha
menyembunyikan fakta bahwa aku menunda kehadiranku
dalam reuni kelas, tapi aku merasa sedikit bersalah.
“...Maaf. Aku merasa sedikit sibuk saat
ini.”
Saat aku
mencoba menolak, Hinako menggelengkan kepalanya.
“Pergilah....”
“Tapi……”
“Itsuki juga...
harus menghadapi keseharianmu sampai
sekarang.”
Hinak yang masih dalam keadaan demam, mengatakannya kepadaku dengan terbata-bata.
“Habiskan
waktu dengan orang-orang di kota ini sekali lagi, ...... dan kemudian biarkan
aku mendengar jawabanmu.”
◆◆◆◆
Pada sore
hari keesokan harinya.
Pada
akhirnya, aku memutuskan
untuk menuruti perkataan
Hinako dan menghadiri reuni kelas.
Aku
naik kereta semi ekspres dan turun di pemberhentian keenam di pusat kota.
Sebagai orang yang berhemat dalam
biaya transportasi dan memilih SMA terdekat, aku
hanya punya sedikit pengalaman bepergian jauh. Pertama kali aku menggunakan stasiun ini ialah ketika aku harus bepergian dengan
kereta api karena pekerjaan paruh waktuku
di bidang acara.
Saat aku sampai di titik pertemuan di
depan gerbang tiket, sudah ada hampir sepuluh orang pria dan wanita yang
berkumpul sambil mengobrol dan tertawa.
“Itsuki!! Sudah lama tidak bertemu!”
“Ah,
sudah lama tidak bertemu juga.”
Mantan
teman sekelasku memperhatikanku dan melambaikan tangan
mereka padaku.
Aku membalas lambaian tangan mereka dan bergabung
dengan kerumunan.
(Rupanya Yuri ikutan datang juga ya?)
Yuri yang
biasanya sibuk dengan pekerjaan di rumahnya
pun tampak ikut berpartisipasi hari ini. Ketika
tatapan mata kami bertemu, dia melambaikan tangannya.
“Baiklah!
Sekarang semuanya sudah ada di sini, jadi
ayo kita berangkat!”
Anak
laki-laki yang bertanggung jawab berkata dengan suara lantang.
“Jam
berapa acara yakiniku dimulai?”
“Aku sudah
memesan di jam tujuh.”
“Lah, bagaimana dengan Take-chan?”
“Ia cuma bisa datang pada malam hari karena ia
memiliki pekerjaan paruh waktu. Ia
menangis karena tidak ada yang mau
menggantikan shiftnya.”
Acara utama
dalam reuni kelas ini adalah makan malam yakiniku yang
dimulai pukul 7. Sebelum waktu tersebut,
ada saran untuk bersenang-senang dengan mereka yang bisa berkumpul, jadi aku pun ikut serta. Karena Hinako menyuruhku melakukannya.
“Kalau
begitu, ayo kita karaokean
dulu!”
“Kamu
tidak harus menyanyi karena kamu ‘kan buta
nada.”
“Aku
sudah menyiapkan lagu-laguku sendiri,
jadi izinkan aku membalas dendam!”
Aku tidak
bisa menahan tawa ketika mendengar percakapan konyol
ini.
Kalau
dipikir-pikir, suasananya memang selalu seperti
ini.
Ada
suasana yang benar-benar berbeda dibandingkan di ruang kelas di Akademi Kekaisaran. Aku
juga dulu menghabiskan waktu
dalam suasana yang seperti ini. Entah kenapa, sepertinya sudah lama
sekali.
(Adachi-san...sepertinya dia tidak ikutan, ya?)
Adachi-san tidak termasuk di antara anggota
yang berkumpul.
Hubungan kami menjadi canggung karena Takuma-san, jadi aku merasa sedikit lega.
Pada akhirnya, aku tidak
tahu apakah pernyataan Takuma-san itu benar atau tidak, tapi penilaian
Shizune-san terhadap Takuma-san sebagai “wawasam yang luar biasa,” dan perubahan yang diceritakan Yuri
bahwa “Adachi-san
sudah berubah menjadi lebih mencolok”, aku tidak dapat menyangkalnya sama
sekali.
Aku pergi
mengunjungi tempat karaoke bersama mantan teman sekelasmu.
“Katanya
cuma ada dua ruangan
yang tersedia.”
“Dengan
jumlah orang sebanyak ini, kurasa itu cukup.
Ayo kita berpencar.”
Kami pun terbagi menjadi dua kelompok dan masuk ke kamar yang telah
ditentukan.
Saat aku
duduk di kursi keras, tiba-tiba aku kepikiran
sesuatu.
(Kenapa
Hinako mengira kalau dia mengikat
kehidupanku...?)
Pertama-tama,
masalah yang dia khawatirkan sendiri justru salah.Aku merasa puas dengan keadaanku saat ini.
Aku tidak
berpikir sedikitpun bahwa aku berada dalam perbudakan Hinako. Aku menjadi pengasuhnya atas kehendakku sendiri. Aku sama sekali tidak berpikir bahwa aku mengorbankan kehidupan masa laluku.
Apa yang harys kulakukan supaya bisa menyampaikan perasaanku dengan baik?
Aku mulai mengingat apa yang dikatakan Takuma-san padaku.
Sudah
kuduga, apa Hinako takkan merasa lega jika aku tidak
memiliki visi untuk masa depan.
(Biarpun aku tiba-tiba ditanya mengenai apa yang
ingin aku
lakukan...kurasa aku tidak bisa membalasnya dengan jawaban kalau aku ingin terus menjadi pengurusnya Hinako, ya?)
Aku
akan terus mendukung Hinako di masa depan. Hal itu juga tidak akan mengubah visi masa
depanku.
Seharusnya
tidak aneh untuk bertindak
demi seseorang.
Namun,
meski tidak ada dasarnya, aku merasa
kalau hanya itu saja masih belum cukup.
Dengan
pemikiranku saat ini, aku yakin Hinako tidak akan setuju denganku.
“Ayo Itsuki,
kamu juga harus menyanyikan sesuatu domg!”
“Ah,
iya. Dimengerti.”
Aku harus
melupakan sejenak kekhawatiran yang berputar-putar di kepalaku.
Sejujurnya,
ini kedua kalinya aku
berkaraoke, dan aku samar-samar
ingat bagaimana cara memasukkan lagunya. Sudah lama
sekali sejak masa
SMP ketika aku diajak oleh teman
sekelas yang suka memaksa.
Aku
memilih lagu yang hampir tidak bisa kunyanyikan
dan memasukkannya.
Judul
lagu yang aku pesan
ditampilkan di bagian atas layar.
“Jadul
banget!”
“Bukannya itu lagu yang populer saat kita masih SMP?”
Sejak memasuki SMA, aku bekerja paruh waktu hampir
sepanjang waktu, jadi lagu yang kuketahui
sebagian besar berhenti di SMP.
“Kalau
begitu aku akan memilih lagu ini!”
“Oh,
aku juga bisa menyanyikannya, jadi gimana kalau
kita berduet saja?”
Ketika anggota gadis-gadis semakin bersemangat,
mikrofon diberikan kepadaku.
Ini
adalah pertama kalinya aku
bernyanyi di depan umum setelah beberapa tahun, tetapi tampaknya aku memiliki kemampuan bernyanyi
yang biasa-biasa saja, tidak bagus maupun jelek, dan aku tidak mendapatkan reaksi yang
istimewa.
Setelah
memberikan mikrofon kepada orang berikutnya, aku
pun berdiri dari tempat dudukku.
“Aku
mau ke toilet dulu sebentar.”
“Oke!”
Aku
meninggalkan ruangan dan menuju ke toilet.
Namun, aku sebenarnya tidak ingin pergi ke
toilet.
Aku
menemukan koridor yang kosong dan beristirahat sejenak.
(Gawat...aku sama sekali tidak bisa ikutan bersenang-senang)
Jika aku
tinggal di sana lebih lama lagi, aku merasa kegembiraan itu akan terhenti
karena diriku.
Selain
mempunyai masalah tersendiri, aku juga tidak tahu banyak tentang
lagu-lagu terbaru, dan meskipun tidak membosankan, aku tidak bisa bersemangat
seperti orang lain.
“Um, Itsuki?”
Yuri
datang dari seberang lorong.
“Yuri. Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”
“Aku
sedang dalam perjalanan ke bar minuman. Karena aku
kalah dalam suit, sih.”
Yuri akan
menerima pekerjaan seperti itu dengan senang hati, bahkan jika ia tidak kalah
dalam suit. Mungkin itu sesuai dengan
suasana tempat itu.
“Itsuki, apa kamu sedang mengkhawatirkan sesuatu?”
Yuri
bertanya.
Sudah kuduga,
sepertinya aku tidak dalam keadaan normal
sekarang.
Tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa Yuri adalah teman curhat yang paling kupercayai. Karena
situasinya sudah seperti
ini, aku memutuskan untuk meminta pendapatnya
dan berbicara jujur.
“Sebenarnya,
Konohana-san sedang tidak enak badan saat ini.”
“Eh,
lalu kenapa kamu datang? Bukannya
kamu bekerja sebagai pengasuh
Konohana-san?”
“......Justru Konohana-san
sendiri yang menyuruhku pergi.”
Yuri memiringkan kepalanya.
“Umm, jadi...
kadang-kadang dia memintali untuk
meluangkan waktu untuk diriku
sendiri, begitulah katanya.”
“Hmm.
Mungkin karena kalian terlalu
lengket jadi dia butuh jarak?”
“Ugh...”
“H-Hei, kamu tidak perlu terlalu sedih begitu.”
Yuri
menjadi sedikit panik saat aku memukul tangan dan dahiku ke dinding.
Kata-kata
langsungnya tepat mengenai perasaanku saat ini.
“Bukan
karena aku terlalu lengket... tapi
sepertinya dari sudut pandang Konohana-san,
aku dianggap mengabaikan diriku sendiri.”
Dari sudut pandang luar, aku
mungkin terlihat lengket, tetapi jelas bahwa itu
bukan masalah jarak fisik, jadi aku hanya menepisnya sebagaimana mestinya.
Permasalahannya
adalah Hinako salah paham bahwa dia menahan
kehidupanku.
“Menurutku, sejak awal aku selalu meluangkan waktu untuk
diri aku sendiri.
Berpikir untuk bekerja untuk Konohana-san
adalah hal yang wajar mengingat posisiku,
dan aku merasa telah melakukannya dengan
baik. Jadi sebenarnya dia tidak
perlu merasa khawatir...”
Yuri juga
tahu bahwa aku bekerja sebagai
pengasuh Hinako.
Jadi, kupikir dia akan setuju denganku, tapi...
“...Bukankah
ceritanya akan berbeda jika kita menganggap Konohana-san sebagai seorang gadis
dengan usia yang sama dan bukannya seorang Ojou-sama
yang menakjubkan?”
“Eh...”
“Aku
yakin Konohana-san juga memiliki sisi itu. Ada hal-hal yang dia tidak
ketahui...dan dia bingung dengan emosinya sendiri.”
Seolah-olah
dia benar-benar pernah melihat Hinako seperti itu. Yuri berbicara dengan ekspresi
penuh emosi.
“Jika
kita berbicara dengan asumsi seperti itu, pandangan Itsuki mungkin terlalu
serius.”
“Terlalu
serius...?”
“Maksudku,
‘aku akan melakukan sesuatu
untukmu!’ Bukannya menurutmu itu terlalu sombong?
Meskipun kamu mengatakan itu demi orang lain, rasanya seperti kamu memberi tekanan
pada orang tersebut, tahu.”
Perkataan
Yuri membuatku tersentak kaget.
Aku
perlahan-lahan menelaah
kata-kata itu dan membuka mulutku.
“...Begitu rupanya. Jadi
aku memberinya tekanan, ya”
Persis
seperti yang dikatakan Yuri.
Aku
benar-benar hanya ingin membantu Hinako. Namun,
Hinako pasti merasa sedikit menyesal
karena
aku merasa seperti itu.
(Ah... jadi begitu rupanya)
Apa yang dikatakanTakuma-san padaku, apa yang dikatakan Hinako, dan sekarang apa yang baru saja dikatakan Yuri...semua
titik tersebut mulai saling terhubung.
Hinako
juga memiliki sisi berbeda dari mode
Ojou-sama nya. Yuri tidak perlu memberitahuku hal itu, karena itu merupakan sesuatu yang aku ketahui dengan baik.
Tapi aku,
sejauh ini aku hanya berpikir bahwa itulah hal-hal yang aku lihat sendiri.
...Sebenarnya, dia malas, tidak punya kemampuan hidup, sangat suka kentang
goreng, dan kadang-kadang menjadi gadis manja yang membuat orang terkejut. Aku
pikir itulah sisi lain dari Hinako.
Tapi, ternyata itu berbeda.
Atau lebih
tepatnya, dia mulai berubah.
Shizune-san
sudah berkali-kali mengatakannya. Bahwa Hinako sedang berubah.
Itu
sebabnya sisi lain dari dirinya yang tidak kuketahui muncul.
Selama
beberapa hari terakhir ini, Hinako telah berjalan-jalan
di kota tempatku dulu tinggal, dan berbicara dengan orang-orang yang dulu
pernah aku kenal. Mungkin dia telah berubah lagi melalui
pengalaman tersebut.
Jika itu adalah Hinako dari masa lalu, dia mungkin akan baik-baik saja.
Tapi,
bagi Hinako yang sudah berubah
sekarang - aku menjadi beban baginya.
Dan aku
merasa cemas. Karena selama ini, aku selalu bertindak demi Hinako... sehingga Hinako salah paham bahwa dia membatasi
hidupku.
“Apa kamu
sudah puas?”
“...Ya.”
“Ya
ampun, kamu memang tidak terbiasa menggunakan waktu untuk dirimu sendiri, ya?”
Yuri
menatapku dengan ekspresi setengah simpati.
“Sejak
dulu, kamu selalu kebingungan kalau sedang melakukan
sesuatu apakah karena kamu menyukainya atau karena kewajiban ya....Mungkin karena itulah yang membuat Konohana-san
juga merasa cemas.”
Setelah
mengatakan itu, Yuri menuju ke arah bar minuman.
Yuri
mungkin selaluy memperhatikanku lebih daripada siapapun
Kata-kata
Yuri bergema kuat di dalam hatiku.
(Apa aku melakukannya karena aku menyukainya, atau
karena kewajiban...)
Tentu
saja, kupikir melakukannya karena aku menyukainya. Tapi
ketika ditanya tentang alasannya, aku tidak bisa menjawabnya dengan baik.
Jika
dipikir-pikir lagi, aku selalu begitu.
Demi
Hinako, demi Tennouji-san, demi Narika, demi Yuri... Aku merasa puas melakukan sesuatu
untuk orang lain dengan cara seperti itu.
Sebagai
gantinya, aku tidak memperhatikan diriku sendiri.
Apa yang
sebenarnya aku inginkan?
Sebenarnya
aku ingin berada di mana?
“...Aku
harus memikirkannya.”
Sekarang, setelah aku mempunyai pemahaman yang lebih jelas
tentang apa yang dikhawatirkan Hinako,
aku sudah menyerah pada gagasan dangkal seperti ‘Aku
akan melakukan yang terbaik untuk Hinako seperti yang selalu kulakukan’.
Sepertinya
aku harus menghadapi masalah ini
dengan serius.
Visi masa
depanku... Aku harus memikirkan visiku sebagai orang dewasa, tidak
hanya untuk tiga tahun sampai aku lulus
SMA, tetapi juga setelah lulus.
Ketika aku kembali ke ruangan karaoke, anak-anak
yang menyelenggarakan pesta sedang menyanyikan lagu yang tidak kukenal. Setelah satu jam bernyanyi, kami meninggalkan karaoke tanpa
kehilangan kegembiraan.
“Sudah waktunya pergi ke Yakiniku!”
“Horeeeeeeeee~~~!!”
Baik
laki-laki maupun perempuan sangat bersemangat.
Kami
diantar ke kursi perjamuan yang tampaknya telah dipesan, dan kami duduk satu
per satu.
“Hyaaah, meski begitu, aku masih tidak mempercayai akan tiba saatnya aku bisa
makan yakiniku bersama Itsuki.”
“Jika itu
Itsuki tahun lalu, aku yakin ia pasti akan
menolaknya.”
Anak
laki-laki yang duduk di depanku dan laki-laki yang duduk di sebelahnya tertawa dan berkata.
“…Maaf.”
“Sudah
kubilang enggak masalah! Makanlah sebanyak yang kamu
bisa hari ini!”
Satu demi
satu, daging diletakkan di atas jalinan
jala yang bebas dari kotoran dan debu.
Saat aku
merasakan udara panas yang mengepul
dari bara api, aku mengingat Hinako lagi. Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Apa dia sudah beristirahat dengan benar?
(...Apa
yang harus kubicarakan
dalam situasi seperti ini?)
Karena aku
tidak bisa memikirkan topik umum, jadi aku
tidak bisa memulai pembicaraan.
Jadi, aku dengan santai mendengarkan pembicaraan
orang-orang di sekitarku.
“Apa
kamu sudah menonton
film yang baru saja dirilis?”
“Oh,
aku sudah menontonnya! Berita tentang film itu bahkan muncul di
berita pagi ini!”
Gadis-gadis
yang di sebelah kanan sedang
membicarakan film.
“Kemarin,
aku berusaha menaikkan
peringkat karakter game-ku dengan
teman-teman online-ku, loh.”
“Kamu
benar-benar menyukai game.”
Anak
laki-laki di kiri depan sedang membicarakan tentang game online.
Aku
belum menyentuh film atau game akhir-akhir ini. Jadi
sepertinya aku tidak masuk ke dalam
percakapan mereka. Atau
lebih tepatnya...Aku merasa tidak bisa
mengikuti percakapan manapun.
“Oh iya, Itsuki,
bocah ini akhirnya punya pacar, loh.”
Anak
laki-laki di depanku berkata demikian
sambil memakan daging yang baru dipanggang.
Laki-laki
di sebelahnya
jelas-jelas merasa malu ketika ditunjuk begitu.
“Kamu pernah bilang kalau kamu menginginkannya sejak kelas 1 iya, ‘kan?”
“Iya!
Aku mengambil risiko dan mengakui
perasaanku selama karyawisata kelas 2. Astaga~,
aku sangat senang karena mampu memberanikan diri
untuk melakukannya."
Di
masa lalu, aku bisa saja ikut bersenang-senang dan bergaul dengan mereka.
Memiliki
pacar adalah mimpi yang menjadi kenyataan bagiku
sekarang, tetapi aku harus
bekerja keras untuk memperbaiki kualitas diriku sendiri. Aku
mengatakan kepadanya lagi, “Selamat.”
“Ah iya, benar juga. Itsuki, apa kamu pernah bekerja di restoran
teppanyaki di kawasan perbelanjaan?”
“Ah.
Aku pernah bekerja
paruh waktu di sana, memangnya kenapa?”
“Tempo
hari, kami berdua pergi makan di sana.
Kemudian, pramusaji restoran
melihat seragam yang kami kenakan, dan bercerita
kalau ada pekerja paruh waktu yang bersekolah di SMA yang
sama dengan kami dan bekerja
sangat keras. Kami kemudian bertanya-tanya,
‘Apa jangan-jangan dia membicarakan
tentang Itsuki?’.”
“Mungkin
kamu benar. Jika ada waktu, mungkin aku akan pergi ke sana untuk menyapa.”
Aku
berjalan-jalan melewati kawasan perbelanjaan beberapa hari
yang lalu, jadi mungkin aku harus
mampir ke sana untuk memberi kabar.
“Maksudku,
daripada membicarakan kita, mari kita dengar tentang Itsuki juga!”
Seorang
anak laki-laki yang sepertinya sudah menemukan pacar beberapa hari yang lalu
mencondongkan badannya ke depan dan berkata.
“Itsuki, apa sekarang kamu sudah tidak bekerja paruh waktu lagi?”
“Tidak.
Aku tidak tahu apakah aku bisa menyebutnya sebagai pekerjaan paruh waktu.... tapi saat ini aku bekerja
sebagai pekerja yang tinggal di dalam rumah. Aku melakukan bersih-bersih, mencuci piring, dan mengurus orang...”
“Hmm, jadi kamu bekerja seperti pekerja hotel?”
“Yah,
kurang lebih seperti itu.”
Jika
dipikir-pikir, pelayan dan pekerja
perhotelan mungkin memiliki pekerjaan yang serupa. Namun, aku mempunyai pekerjaan yang lebih
unik.
“Sama seperti biasanya, itu masih kelihatan sulit. Tapi karena kamu
bersekolah di Akademi Kekaisaran,
kurasa kamu tidak perlu khawatir tentang
masalah keuangan seperti dulu, ‘kan?”
“...Yah, memang.”
Aku masih
belum bisa mengatasi kemiskinanku,
jadi pada dasarnya yang kulakukan
hanyalah menabung.
“Kalau
begitu kamu bisa melakukan berbagai hal yang menyenangkan, bukan? Misalnya saja jalan-jalan ke luar negeri,
pergi ke taman hiburan, dan sebagainya.”
“Kamu
bisa pergi ke bioskop sepuasnya, ‘kan?”
“Kamu
bisa membeli pakaian sebanyak yang kamu mau!”
Anak
laki-laki dan perempuan lain yang mendengarkan di sebelahku juga ikut bergabung dalam percakapan.
Tapi aku hanya bisa tertawa dengan getir,
“Tidak
terlalu juga.”
Jawabku
sambil mengingat-ingat kehidupanku sampai sekarang.
“Aku sibuk
dengan pekerjaan dan belajar setiap hari. Sejak liburan musim panas, aku kadang-kadang punya waktu untuk
bersenang-senang seperti ini, tapi
biasanya aku tidak
keluar untuk hal lain selain bekerja. ... Aku bahkan
belum pernah berbelanja dalam beberapa bulan terakhir.”
Tidak
hanya di hari biasa, tapi juga di hari libur, aku
disibukkan dengan pekerjaan dan belajarku sebagai
pengasuh. Sebenarnya, aku merasa kalau aku tidak mempunyai banyak waktu luang lebih daripada sebelumnya. Bahkan, jumlahnya justru mengalami penurunan.
Kursus
musim panas dapat digambarkan sebagai jalan-jalan,
tapi menurutku,
ungkapan yang paling mendekatinya
adalah kamp pelatihan. Di Karuizawa, aku
mengambil materi pelajaran yang
begitu sulit, sampai-sampai aku
mengerutkan dahi hanya untuk mengingatnya.
“Be-Begitu
ya...”
“Ya-Yang
semangat ya...”
Orang-orang
yang menanyakan pertanyaan itu mendadak tertawa
getir.
(L-Lah……?)
Aku tidak
mengerti mengapa mereka
bereaksi begitu canggung. Padalah aku tidak mengalami
kesulitan atau semacamnya...
“Itsuki! Kami akan pergi ke pusat permainanuntuk
pesta ronde kedua, apa
kamu mau bergabung dengan kami!?”
Seorang laki-laki yang duduk agak jauh dariku bertanya dengan suara yang
familiar.
Aku masih
belum punya jawaban yang bisa kuberikan pada Hinako.
Tapi—— sekarang, anehnya, aku merasa seperti memiliki sekilas gambaran tentang hal itu.
Jika aku menghabiskan lebih banyak waktu
dengan semua orang, aku mungkin
dapat menemukan jawabannya.
“Kalau
gitu, kurasa aku akan ikutan pergi
juga.”
“Baiklah!
Ayo kita main pukul drum!”
Para
laki-laki menjadi bersemangat. Berbeda denganku, mereka
sepertinya bisa langsung memikirkan permainan apa
yang ingin mereka mainkan.
Setelah
itu, kami makan yakiniku sepuasnya dan pergi keluar, berpencar menjadi beberapa
kelompok yang menghadiri pesta dan beberapa yang pulang.
Di antara
mereka yang pulang adalah Yuri.
“Kamu mau
langsung pulang, Yuri?”
“Ya,
aku mulai khawatir tentang pekerjaan di rumah.”
“Begitu ya……”
Aku
merasa sedikit kesepian.
Lalu Yuri
menatapku dengan ekspresi menggoda.
“Apa,
kamu ingin aku terus bersamamu?”
“……Ya, iya sih.”
“Eh”
Mata Yuri
membelalak karena terkejut.
Aku
terlambat menyadari apa yang sudah
kukatakan.
“Ah,
tidak, maafkan aku. Aku jadi mengatakan
sesuatu yang aneh...”
“Ka-Kamu
benar-benar mengatakan sesuatu yang sangat aneh...Kupikir akan mengalami serangan jantung...”
Yuri,
dengan wajahnya yang merah padam, berkata sambil memegangi hatinya.
Mungkin
karena kami sudah saling kenal selama bertahun-tahun, aku akhirnya mengatakan
apa yang kupikirkan.
“Bagaimana
bilangnya ya, aku merasa lebih nyaman
secara mental sekarang jika ada
Yuri di dekatku...”
“Apa-apaan
itu maksudnya...”
Setelah
mengatakan, Yuri menghela nafas kecil seolah-olah memahami apa yang kubicarakan.
“Yah,
karena aku mirip denganmu, Itsuki.”
“Mirip?”
“Ini hanya
sekedar tebakanku saja, tapi sekarang kamu merasakan kesenjangan
dengan semua orang, ‘kan?
Aku juga kadang-kadang merasakan hal yang sama. Biasanya aku sibuk dengan pekerjaan di restoran dan tidak punya banyak waktu
untuk bersenang-senang dengan orang lain.”
Rupanya
bukan hanya aku saja yang
merasakan kesenjangan tersebut.
“...Apa kamu pernah merasa
tidak puas dengan cara hidupmu yang
sekarang, Yuri?”
“Tidak juga kok. Aku ingin menjadi seorang
koki yang hebat di masa depan. Meskipun aku kadang-kadang tidak bisa mengikuti
pembicaraan orang lain, aku menerimanya dengan pemikiran
terbuka.”
Yuri
dengan tegas mengungkapkan pendiriannya.
Jadi begitu ya...
mungkin Yuri memiliki visi untuk masa depannya
sendiri.
Mungkin
Yuri mirip denganku, tapi dia sudah lebih dulu menemukan jalannya.
Aku
merasa sedikit kehilangan kepercayaan diri...
melihat ekspresi wajahku, Yuri pun berkata,
“Kamu
pernah memberitahuku beberapa hari yang lalu.
Jika kamu tidak bertemu dengan Konohana-san
setelah ditinggalkan oleh orangtuamu, kamu pasti
akan bergantung padaku.”
“Oh...”
“Aku
merasa senang mendengarnya, tahu.”
Yuri
mengatakan hal itu sambil sedikit malu.
“Jadi,
jika suatu saat kamu membutuhkan bantuan, aku akan membantumu seperti yang kamu
harapkan. ...Kamu tidak sendirian. Meskipun kamu hidup seperti itu, kamu tidak
akan sendirian, jadi setidaknya kamu tidak perlu
mengkhawatirkan itu.”
Setelah
mengatakan itu, Yuri berbalik dan berjalan pergi.
Sebelum
punggung kecilnya menjauh dariku, aku tanpa sadar memanggilnya.
“Yuri.”
“Apa?”
“Kurasa aku
tidak akan bisa bertahan hidup sampai sekarang jika
bukan karena dirimu.”
“Jangan
mendadak mengatakan kalimat memalukan
seperti itu...”
Yuri
terlihat tersipu.
“Tapi
yah, itu wajar. Lagipula, aku adalah
Onee-san mu!”
Dengan
berkata demikian, Yuri akhirnya pergi dari hadapanku.
Aku ingin
mendengar kata-katanya. Aku ingin mendengar kata-kata yang bisa membuatku
merasa tenang bahwa aku tidak salah dalam hidupku sekarang. Sepertinya dia
memahami perasaanku.
Dia
adalah kakak perempuan yang bisa diandalkan.
Di masa
depan, aku ingin terus mempertahankan
hubunganku
dengan Yuri, tidak peduli apa pun keputusan yang akan kubuat. ...Itulah
yang kupikirkan.
◆◆◆◆
Sebagian
besar peserta pesta ronde kedua adalah para laki-laki. Aku mengikuti ajakan mereka dan pergi ke pusat
permainan. Berbeda dengan yang ada di dekat
lingkungan rumahku dulu,
pusat permainan itu lumayan besar dan berlantai lima.
“Itsuki, kamu payah banget!”
“Mau
bagaimana lagi, aku sudah
lama tidak memainkannya.”
Kami
memainkan berbagai macam permainan, mulai dari permainan musik hingga permainan
balap.
Saat aku
pergi ke pusat permainan bersama
Hinako, Tennoji-san, dan yang lainnya, aku menang telak, tapi saat aku bermain
dengan semua mantan teman sekelasku, keadaannya
menjadi terbalik. Apa pun permainan yang kami
mainkan, aku selalu
kalah telak. Aku hanya bisa menang dengan peluang 50%
dalam permainan yang berkaitan dengan
elemen keberuntungan.
Berbeda
denganku, kebanyakan orang sepertinya sudah terbiasa
memainkan permainan semacam ini.
Pada saat
yang sama ketika aku menyadari hal ini, aku merasakan keterasingan...
(...Tidak
apa-apa. Aku tidak sendirian.)
Aku mengingat kata-kata yang dikatakan Yuri padaku.
Mungkin sampai beberapa saat yang lalu, aku terguncang oleh rasa
keterasingan dan tidak yakkin
dengan pendirianku sendiri.
Tapi sekarang aku bisa dengan tenang menghadapi perkataan Hinako.
Menurutku,
menjalani kehidupan yang berbeda dari orang lain bukanlah hal yang buruk.
Masalahnya adalah hal itu memerlukan tekad.
Takuma-san dan Hinako telah melihat kenyataan bahwa aku tidak mempunyai tekad
untuk melakukannya.
“Gawat,
aku jadi berkeringat deras begini.”
“Aku
juga.”
“Ayo istirahat dulu sebentar.”
Aku dan
mantan teman sekelasku duduk di bangku di depan mesin penjual otomatis.
Hoki
mungkin menjadi terlalu panas. Sudah lama sekali
sejak aku memainkan game dengan penuh antusiasme seperti ini.
“Nih,
Itsuki. Ini traktiran dariku.”
“Oh
terima kasih.”
Aku menerima
minuman olahraga yang diberikan
dan meminumnya dengan cepat.
Mantan teman
sekelasku yang memberikan minuman tadi,
menatapku seolah-olah sedang mengamatiku.
“Kamu
benar-benar sudah berubah, ya.”
“...Banyak yang bilang begitu. Aku sering
diberitahu bahwa postur tubuhku
telah membaik atau semacamnya.”
“Tidak, itu bukan masalah
penampilanmu.
Sejujurnya, rasanya jadi lebih
mudah untuk berbicara denganmu.”
Pria itu
melanjutkan ketika aku
memiringkan kepalaku dengan kebingungan.
“Maksudku,
Itsuki, kamu sering berterima kasih
padaku hanya karena aku membelikanmu minuman. Aku
tahu kamu tidak berniat menyinggung, tapi terkadang aku
merasa sulit untuk melakukannya.”
“Eh...maafkan
aku.”
Berbeda
dengan Yuri yang sudah terbiasa, ketika orang lain mentraktirku makanan atau
minuman, aku selalu maengucapkan
terima kasih dengan cara yang berlebihan. Kupikir
hal yang sama terjadi di masa-masa aku baru
mengenal Yuri.
“Itsuki. Kami sudah janjian buat bermain
besok juga, kalau kamu bagaimana? Mau ikutan lagi?”
“...Maaf,
aku punya rencana besok, atau lebih tepatnya, aku harus belajar.”
“Belajar?”
“Semester baru akan segera dimulai, jadi aku
ingin mempersiapkan dan mengulasnya. ...Materi
pelajaran Akademi Kekaisaran
sangat sulit, jadi aku harus
giat belajar supaya bisa mengikutinya.”
Aku berpikir
ia mungkin akan bereaksi canggung lagi.
Tapi kali
ini berbeda.
“Kamu
terlihat seperti sedang bersenang-senang.”
Seorang
mantan teman sekelas menatapku seolah-olah ia
merasa agak lega.
Aku
memiringkan kepalaku pada reaksi yang tidak terduga.
“Terlihat
sedang bersenang-senang?”
“Iya.
Jika itu tidak menyenangkan, kamu takkan
bekerja terlalu keras begitu.”
“...Ya,
begitu. Kurasa itu memang
menyenangkan."
Itu
adalah pendapat yang sangat jujur.
Benar sekali.
Aku menikmati keseharianku di
akademi. ... Itu pasti.
“...
Aku mengalami kesulitan pada awalnya. Semua yang dikatakan oleh guru terdengar
seperti mantra, dan tempo pelajaran sangat cepat. Aku
tidak punya pilihan selain belajar sekuat tenaga setiap hari.”
Tanpa disadari, aku mulai berbicara sambil mengingat
hari-hariku di
Akademi Kekaisaran.
“Tapi
yang lebih membuatku terkejut bukanlah
kesulitan pelajarannya,
melainkan kenyataan bahwa semua orang di sekitarku berusaha keras seolah-olah itu hal yang biasa. Kupikir aku mengalami kesulitan karena aku tidak terlalu pintar, tapi
ternyata tidak demikian. Para
siswa di Akademi Kekaisaran berjuang keras setiap hari tanpa
memandang kecerdasan dan latar belakang mereka.”
Tentu
saja, ada perbedaan dalam kecerdasan. Tapi saat melihat langkah-langkah Hinako
dan yang lainnya, aku menyadari bahwa itu adalah masalah kecil.
Perbedaan
di antara kami adalah kesadaran.
Para
siswa di Akademi Kekaisaran semuanya memiliki tekad yang
teguh untuk masa depan.
“Itulah
sebabnya aku juga, sama seperti
mereka――”
Aku
terhenti setelah mengatakan itu.
(............Ah)
Ada
kata-kata yang hampir saja keluar dari mulutku.
Aku memutar
kata-kata itu dalam pikiranku berulang kali.
Ah,
begitu rupanya.
Aku tidak
perlu memikirkan sesuatu
yang rumit.
Ini
adalah―― jawabanku.
“Itsuki?”
“...
Tidak, bukan apa-apa.”
Aku
menggelengkan kepala dengan berkata, “Jangan
khawatir.”
“Maaf banget ya. Meskipun obrolan kita sudah menjadi lebih santai,
hubungan kita masih agak aneh.”
“Benar
juga. Tapi ya, mari kita lakukan yang terbaik tanpa penyesalan.”
Mungkin
temanku menyadari bahwa aku merasa terasing di reuni hari ini. Aku merasa
bersyukur atas orang-orang di sekitarku... Itulah
yang kurasakan lagi.
“Baiklah,
mari kita coba lagi.”
“Oh,
kelihatannya kamu bersemangat sekali ya, Itsuki. Ayo siapa takut.”
Istirahat
sudah berakhir, dan kami kembali asyik bermain game.
Aku telah
menemukan jawabannya. Jadi sebenarnya aku sudah bisa pulang, tapi aku ingin
bermain sebanyak mungkin hari ini.
Mungkin
aku tidak akan bisa bermain dengan mereka lagi dalam waktu dekat. Mereka semua adalah orang-orang yang baik. Aku merasa hubungan ini
penting. Tapi mungkin kami takkan
terlalu sering bertemu.
Aku sudah menemukan tempat di mana seharusnya aku tinggal.