Chapter 9 — Keinginan Yang Terungkap
“Ngomong-ngomong,
tentang jalan-jalan dengan Miura-san...”
Sepertinya
itu dilakukan dengan alasan untuk menghilangkan kesan 'jiraikei'.
Namun,
sekarang mungkin saja itu hanyalah perasaannya.
Karena,
sebenarnya aku sudah bertanya tentang awal mula dari penampilannya itu. Karena
itu merupakan pakaian yang dia suka, dan juga merupakan bentuk pertahanan
dirinya.
Mendengar
itu saja rasanya sudah cukup.
Namun,
setelah pulang, ada pesan LINE seperti ini.
[Kita akan
pergi ke mana selanjutnya?]
Tentu saja,
aku tidak menolaknya.
Pesan LINE
dari Miura-san pada dasarnya cukup datar. Hampir tidak ada emoji atau
stiker.
“Aku merasa kalau
masalah tentang kesan jiraikei ini sudah teratasi.”
Ketika aku
menanyakan pertanyaan itu untuk mengonfirmasi, pesan itu langsung ditandai
sebagai telah dibaca.
Namun, tidak
ada balasan untuk beberapa saat. Saat aku kembali setelah mandi, balasannya
sudah sampai.
“Mungkin itu
benar.”
“Apa
semuanya memang berakhir setelah teratasi?”
“Tidak, ya.”
“Iya, ‘kan?
Kamu pasti sibuk, ‘kan?”
“Lupakan
saja yang aku katakan tadi.”
“Maaf.”
“Aku mungkin
memang tipe Jiraikei.”
Dasar bodoh.
Apa yang
terjadi selama aku mandi?
“Apa yang
terjadi?”
“Aku mulai
membenci diriku sendiri.”
Kenapa?
Tiba-tiba
aku mulai merasa khawatir.
“Sekarang
kamu ada di mana?”
“Buat apa
kamu tanya begitu?”
“Aku ingin
bertemu.”
Mungkin itu
merepotkan, dan aku sama sekali tidak mengerti mengapa dia bisa terjebak dalam
perasaan benci pada dirinya sendiri… tetapi, aku bukan tipe orang yang bisa
membiarkan Miura-san yang sedang sedih sendirian.
Setelah
beberapa saat dengan tanda baca yang sudah dibaca, Miura-san meneleponku.
“Halo, ini
Maizono.”
“…Hmm. Maaf.”
Suara Miura-san
terdengar suram.
“Ada apa,
Miura-san? Jika ada yang bisa aku bantu, katakan saja.”
“Tidak,
entahlah… rasanya seperti kena pukulan ganda…”
“Siapa yang melakukannya?
Kaneko-sensei?”
“Bukan
berarti semua kesalahan itu karena dia juga kali. Kesan dirinya di matamu itu
bagaimana sih?”
“Itu yang
ingin aku tanyakan padamu…”
Dia memang
guru yang menyebalkan, tetapi aku tidak ingin berpikir bahwa dia bersalah.
“Jadi,
pukulan ganda itu…”
“Satu hal
yang kuperhatikan adalah aku menyadari bahwa aku terlalu percaya diri.
…Meskipun aku senang pergi bersamamu, aku bahkan lupa bahwa kamu sibuk. Aku
menjadi wanita yang tidak bisa memperhatikan orang lain.”
“Itu sama
sekali tidak benar. Kamu selalu sangat perhatian.”
“Itu karena
aku ingin melakukannya, jadi itu tidak dihitung.”
“Memangnya itu
bisa dianggap adil…?”
Perhatian
yang aku terima darinya, yang dia lakukan dengan sukarela, tidak membuatnya
merasa lebih baik, dan apa yang dia lakukan menjadi beban… itu terlalu berat.
“Dan yang
satu laginya adalah… umm…”
Dari yang
sudah dia katakan, sudah jelas ada banyak kesalahpahaman dan rasa penyesalan
yang mengalir, tetapi Miura-san kemudian berkata dengan suara yang hampir tidak
terdengar.
“Aku mungkin
tipe Jiraikei.”
“Bodoh.”
Di tidak
mungkin menjadi orang yang seperti itu!
“Ketika aku
berpikir bahwa mungkin aku dibenci oleh Maizono… entah bagaimana… semuanya jadi
tidak penting lagi… mungkin aku benar-benar gadis Jiraikei merepotkan yang suka
ketergantungan…”
“……”
Sekejap, aku
tidak tahu harus menjawab apa.
“Maaf,
Miura-san.”
“......”
Hanya suara
napas yang tertahan yang terdengar di telingaku.
“Hmm… aku
tidak keberatan dengan apapun yang kamu katakan.”
Bahkan
setelah dia mengatakan itu seolah-olah sudah siap.
“Sejujurnya,
aku tidak mengerti apa yang kamu katakan, dan aku tidak tahu apa yang harus aku
katakan padamu. Aku juga tidak mengerti tentang ketergantungan.”
Justru aku
yang bergantung padanya. Mulai dari merawat Arisa, hingga membantu dengan
makanan sehari-hari, semuanya menjadi lebih baik berkat Miura-san yang bekerja
di tempat kerjaku.
“Jadi
mungkin semua yang aku katakan bisa jadi tidak relevan, tapi...”
Setelah mengatakannya,
aku pun menyampaikan dengan jujur.
Teknik-teknik
kecil tidak mungkin berhasil, dan aku bukan orang yang bisa membuat orang lain
senang hanya dengan percakapan. Dalam hal ini, aku memang tidak cocok menjadi
host.
“Sejauh ini,
aku tidak punya alasan untuk membenci Miura-san. Justru...”
“…Justru?”
“Aku
menyadari bahwa bertemu Miura-san adalah salah satu keberuntungan terbesar
dalam hidupku. Bahkan hari ini, aku pergi ke tempat yang belum pernah aku
kunjungi… pasti jika bukan karena Miura-san, aku tidak akan pernah pergi ke
tempat itu seumur hidupku. Dan aku sangat senang, jadi semua itu berkat
Miura-san.”
“…Apa itu
saking menyenangkannya sampai-sampai membuatmu intin pergi lagi?”
“Jika bisa,
aku ingin pergi berkali-kali. Ah, tapi...”
“Tapi?”
“Jika
Miura-san tidak ada, aku mungkin tidak akan pergi lagi.”
“…Begitu.”
“Apa itu
bisa dipahami?"
“…”
Aku menunggu
keputusan Miura-san sejenak. Jawabannya membutuhkan waktu, seperti awan yang
lewat di depan bulan kecil di luar jendela.
“Sudah
kuduga, aku memang gadis Jiraikei.”
“Kenapa!?”
Apa aku
tidak bisa menyampaikannya dengan baik!?
“Jika ada
yang kurang dari diriku sekarang──”
“Tidak,
bukan begitu…”
Di situ aku
tiba-tiba kehilangan kata-kata.
Entah
kenapa, suaranya terdengar lebih cerah.
“…Hanya mendengarmu
berkata begitu sudah membuatku langsung merasa lebih baik.”
“Lantas
kenapa yang begitu langsung diarahkan menjadi Jiraikei?”
“Aku sendiri
merasa kalau emosiku gampang naik turun.”
“Jika kamu
bisa cepat bangkit setelah merasa terpuruk, itu yang terbaik.”
“Hmm.”
Seharusnya
lebih baik jika dia bisa selalu merasa baik.
“Aku minta
maaf karena sudah merepotkanmu. Aku sangat senang ketika mendengar kamu ingin
datang menemuiku…”
“Apa kamu
sudah merasa lebih baik?”
“Ya. Aku baik-baik
saja.”
Tiba-tiba
aku teringat untuk bertanya.
“Ngomong-ngomong,
sekarang kamu di mana? Aku bisa mendengar suara angin.”
“Oh… di
balkon.”
“Oh, begitu.”
Meskipun
terdengar ramai, mungkin ada rumah seperti itu. Yang lebih penting, rumahnya.
Miura-san sering melakukan banyak hal di rumahku, jadi aku tidak banyak tahu
tentang rumahnya.
Dari cara
dia berbicara hari ini, sepertinya dia tinggal sendiri.
“Hei,
Maizono.”
“Iya?”
“Jika kamu
punya waktu.... bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat?”
Kalau
dipikir-pikir, aku teringat bahwa percakapan awal di LINE hari ini adalah
tentang hal itu.
Sambil
berpikir, aku melihat ke samping dan melihat Arisa tertidur nyenyak di dalam
kamar.
“Kamu bilang
kalau berada berdua dengan Arisa tidak baik, ‘kan?”
“Eh? Ah,
iya.”
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kita bertiga pergi bersama?”
“Itu…”
“Jika aku
ada bersama kalian, suasananya pasti akan berbeda… Arisa juga akan senang.”
“…”
Miura-san
terdiam sejenak. Aku bisa merasakan kalau dia sedang berpikir.
“Bagaimana
menurutmu? Aku rasa… yang begitu lebih baik.”
“…Baiklah.”
“Begitu ya! Syukurlah
kalau begitu!”
Tanpa sadar
aku bersuara keras dan segera menurunkan nada suaraku.
Jika Arisa
mendengar ini, akan jadi masalah. Namun, aku yakin Arisa juga akan senang.
“Hmm… kalau
begitu, aku akan memikirkan tempat yang disukai Arisa. Pancake pasti akan
menyenangkannya… dan mungkin juga coba nail art untuk pertama kalinya… dan
seterusnya.”
Apa-apaan
itu?
Bukannya dia
sudah memikirkan banyak hal.
Aku menahan
senyum yang tidak bisa kupendam dan melanjutkan.
“Memang
benar kalau aku sibuk, dan aku juga ingin menghabiskan waktu untuk Arisa. Jadi,
jika aku bisa mewujudkannya bersama Miura-san, itu yang terbaik.”
“Hmm, mengerti.
Aku akan memikirkannya dengan serius.”
Setelah
mengangguk, Miura-san tersenyum dan berkata.
“Kalau
begitu, Maizono, sampai jumpa besok.”
“Oh, sampai
jumpa besok.”
Aku merasa
lega ketika mendengar suaranya yang ceria dan gembira.
†
† †
“Kensei!”
Keesokan
paginya, si gadis karakter lucu muncul di mejaku.
Sekilas aku
melihat ke atas, dan aku dibuat lengah. Mungkin aku terlalu meremehkan dan
mengira dia akan mengatakan hal-hal konyol lagi.
“Apa kamu beneran
jadi host?”
“Bwah!”
Aku hampir
saja dibuat tertawa terbahak-bahak. Apa sih yang dia katakan ini?
Dia
memiringkan kepalanya dan mengatakan sesuatu yang keterlaluan.
“Kenapa bisa
jadi begitu?”
“Entahlah,
sepertinya ada rumor yang beredar. Kensei tidak mungkin melakukan hal seperti
itu, ‘kan?”
“Ya, memang
tidak.”
Dia terlihat
lega, seolah-olah hal itu memang benar.
“Padahal
kamu bisa memahaminya tanpa perlu berpikir keras.”
“Ya, memang
begitu. Tapi aku sangat terkejut ketika mendengarnya dari anak-anak di kelas
sebelah.”
“Jangan gampang
terkejut begitu.”
Aku baru
saja merasakan seberapa tidak cocoknya aku untuk peran semacam itu.
Saat aku
menghela napas, dia melanjutkan.
“Benar
sekali, mana mungkin Kensei mengenakan seragam yang terlihat sangat keren
seperti host.”
...Seragam
yang terlihat seperti host?
“…Agena.”
“Apa~? Aku
memang Agena~.”
Dia
melambaikan tangan yang tersembunyi di balik lengan bajunya.
Aku tidak
bertanya tentang namanya.
“Memangnya
pakaian seperti apa yang dimaksud?”
“Eh… eh,
kenapa? Ya, itu hitam, dengan kemeja putih, celana panjang keren, dan sepatu
kulit yang bagus…”
Itu sih
seragam pelayan Sandora, ya……………….
Karena tidak
jauh dari sekolah, pasti ada kemungkinan ada orang lain yang melihatnya…
“Itu, di
mana mereka melihatnya?”
“Eh… mungkin
di sekitar Shibuya… di taman Miyashita atau sekitarnya…”
Ah… itu
dekat… aku kadang-kadang pergi ke sana untuk berbelanja…
“…Eh?”
Jangan melihatku
dengan wajah yang seolah-olah mau menangis kapan saja.
“Eh, itu
tidak mungkin, ‘kan? Kensei…”
“Aku tidak
melakukannya, aku tidak pernah menjadi host.”
“Kalau bukan
menjadi host, lalu apa…?”
“Sungguh,
itu beneran bukan apa-apa. Jangan khawatir, tidak ada gunanya juga buat
mengkhawatirkan itu.”
“Tapi itu
membuatku penasaran!”
Jangan menggebrak-gebrak
meja, orang-orang di sekitar sedang melihat.
Sialan… Aku
tidak pernah berpikir bahwa aku akan menjadi sorotan, karena aku bukanlah siswa
yang menonjol. Atau mungkin ini semua karena pembicaraan para siswi di sekitar
Kaneko-sensei tentang host itu.
“Aku pergi
ke toilet dulu sebentar.”
Aku
memutuskan untuk melarikan diri.
Meskipun dia
hanya karakter lucu, jika aku terus berbicara, pasti banyak yang akan
ditanyakan.
Meskipun
tidak ada larangan bekerja paruh waktu, aku tidak ingin merepotkan tempat
kerjaku.
Aku tidak
ingin murid-murid yang tidak terlalu mengenalku mengubahku menjadi bahan
perbincangan seperti panda di kebun binatang sambil berpikir, “Wow, Maizono
bekerja seperti host yang keren,”.
Jika sampai
membuat Satonaka-san merasa terganggu, aku hanya bisa melakukan seppuku untuk
meminta maaf.
“Tunggu,
tunggu!”
Si gadis karakter
lucu itu mengejarku.
“Tunggu,
Kensei!”
Dia menarik
ujung bajuku, dan aku tidak bisa berbuat banyak untuk menghindar.
Aku tidak
bisa seperti Satonaka-san. Tidak, ia adalah contoh yang buruk untuk ditiru.
“…Apa?”
“Kamu tidak
melakukan pekerjaan paruh waktu yang berbahaya, ‘kan?”
“Tidak,
tidak."
“Pekerjaan
yang menghasilkan banyak uang pasti ada risikonya, lho?”
Ini adalah
niat baik yang tulus. Sorot matanya jelas-jelas menunjukkan kekhawatiran.
…Mungkin aku
bisa memberi tahu Agena tentang pekerjaanku di Sandora…?
“Agena.”
“Apa?
Katakan saja! Tentang uang atau apa pun… meskipun sebenarnya itu tidak boleh…”
“Jangan
keluarkan dompetmu.”
Dan ini
bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan dompetmu.
Selain itu, pemandangan
ini terlihat sangat buruk. Untungnya tidak ada orang di sekitar──huh?
Eh? Kenapa
kamu juga muncul di sini???
“Ada apa,
Maizono?”
Bukannya
kamu bilang tidak akan berbicara padaku di sekolah?
“Kamu…
Miura-san.”
Si gadis karakter
lucu itu tampak curiga.
Meskipun dia
bukan orang yang perlu dicurigai──eh? Kenapa Miura-san terlihat lebih tegang
dari biasanya?
“Halo,
Agena-san.”
“Ah, kamu
tahu namaku, ya… haha.”
“Karena kamu
selalu mengganggu Maizono.”
“Hah?”
…Ups?
Miura-san
juga seharusnya memilih kata-kata dengan hati-hati, tapi apa si gadis karakter
lucu itu baru saja mengatakan ‘Hah?’?
Gadis yang
mirip maskot permen kapas itu?
“Eh… saat
ini aku sedang sibuk, jadi jika kamu ingin ke toilet, cepatlah.”
“Maaf, tapi
aku ada urusan dengan Maizono. Jika ditahan, itu akan merepotkan.”
Aku hanya
berusaha melarikan diri ke toilet.
Sejak kapan
aku dan Maizono memiliki urusan yang sama? Dan apa maksud dari kontak mata “serahkan
saja padaku” itu? Miura-san?
“Kamu hendak
melibatkan Kensei dengan apa?”
“Bagaimanapun
juga, itu bukan urusanmu, ‘kan?”
“Itu sama
sekali tidak benar!”
Agena?
“Aku merasa
kalau sepertinya ada banyak kesalahpahaman yang terjadi.”
Agena
bukanlah orang yang gampang bermusuhan, dan tentang Miura-san, tidak perlu
dipertanyakan.
Sebisa
mungkin, aku tidak ingin suasana di antara kenalan menjadi buruk…
“Kensei…
Kensei sudah mengenalku sejak SD…”
“Oh, jadi kalian
satu SD dan SMP, ya? Tapi kalian tidak terlalu akrab, ‘kan?”
“Itu…”
Apa aku
pernah membahas tentang Agena dengan Miura-san? Mungkin pernah.
Tapi
sebenarnya, aku baru akrab dengan Agena belakangan ini, dan selama SMP, kami
hampir tidak pernah berinteraksi.
“Loh, loh,
kita bersama terus sampai SMA, ya…”
Aku ingat
bahwa suasana seperti itu adalah kesan pertama tahun lalu.
“Mungkin
dari sudut pandang Kensei memang begitu… tapi, aku…”
Dengan
menunduk, dia berbisik, dan tiba-tiba tangannya yang mencengkeram ujung bajuku
terlepas.
Hmm… entah
kenapa, ketika gadis karakter lucu ini tidak bersikap seperti biasanya,
perasaanku juga ikutan turun.
“Aku tidak
begitu mengerti, tapi Agena hanya khawatir apakah aku sedang melakukan
pekerjaan paruh waktu yang berbahaya.”
“Pekerjaan
paruh waktu yang berbahaya?”
“Iya. Dengan
penampilan seperti host, aku dikabarkan berkeliaran di sekitar Taman Miyashita
Park.”
“……………………Ah…”
Jadi,
Miura-san yang merupakan staf yang sama sepertinya sudah mengerti.
Jika
Miura-san pergi berbelanja, itu berarti ada pelayan cantik yang berkeliaran di
sekitar.
Kelebihan
Shibuya adalah, tidak peduli seperti apa penampilan orang yang berkeliaran,
tidak ada yang terlalu mempermasalahkannya.
“Itu
sebenarnya bukan urusanmu untuk khawatir. Maksudku, jika Maizono terlibat dalam
masalah, itu baru akan menarik perhatian orang-orang yang lebih berbahaya.”
Jangan sebut
Satonaka-san sebagai orang berbahaya. Meskipun itu setengah benar dan mungkin
saja terjadi, aku tidak ingin merepotkan orang itu.
Saat aku
melihat Agena, aku bertanya-tanya apakah kesalahpahaman ini sudah diluruskan.
Agena masih
menunduk, dan perlahan dia berkata.
“…Kenapa?”
“Agena?”
“Kenapa…
kamu tahu banyak tentang hal itu?”
“Itu juga
bukan alasan untuk memberitahumu──"
“……"
Agena
mengangkat wajahnya, dan matanya terlihat berkaca-kaca, membuatku sedikit
tertegun.
Seolah-olah
ada banyak hal yang bergerak di tempat yang tidak aku ketahui, di tempat yang
tidak aku sadari. Rasanya seperti itu.
Aku juga
tidak mengerti mengapa Agena bersikeras seperti ini, mengapa Miura-san tiba-tiba
menghilangkan aturan untuk tidak berbicara di sekolah, dan alasan mengapa Agena
terlihat hampir menangis. Ada banyak hal yang tidak aku mengerti.
“Miura-san.”
“Apa?”
“Apa kamu membenci
Agena?”
“…………Bukannya
begitu.”
Miura-san
memeluk dirinya sendiri dengan lembut dan menatap Agena.
Agena
sendiri terlihat menatap balik dengan tatapan seolah sedang menahan sesuatu.
…Yah,
memang. Meskipun menyedihkan, pasti ada hal-hal yang berkaitan dengan kecocokan
antara mereka.
“Tapi pada
dasarnya aku membenci orang yang hanya mendengarkan rumor dan ikut campur dalam
segala hal.”
“……Itu
mungkin benar.”
Faktanya,
Agena mendekatiku karena rumor tentang host… awalnya, Miura-san juga mengatakan
bahwa dia adalah gadis Jiraikei, jadi sebaiknya jangan mendekatinya.
Namun, dia
bukanlah orang jahat.
“……Jika
hanya untuk bahan pembicaraan, aku tidak akan mengatakannya. Tapi jika Agena
ingin mengetahuinya, aku tidak berniat untuk menyembunyikannya.”
“……Maizono.”
Suara
Miura-san terdengar seperti memperingatkanku.
Ya, aku
mengerti. Bagi Miura-san, dia hanyalah salah satu dari orang-orang yang memberi
label sembarangan padanya.
Namun, aku
rasa itu tidak menghalangi dia untuk menjadi orang baik.
Setidaknya…
“Aku tidak
ingin menjadi bahan rumor yang aneh. Jadi, apa kamu bisa merahasiakannya?”
Saat aku
bertanya demikian, Agena mengangguk.
“……Aku tidak
akan menyebarkannya. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuat Kensei tidak
nyaman.”
Aku sudah
memperkirakan dia akan berkata seperti itu.
“……”
Aku akan
menjelaskan dengan tulus kepada Miura-san yang tampak tidak senang nanti.
“Kalau
begitu──”
Lalu, aku meraih
tangan Agena.
†
† †
“Wah,
enak sekali!”
Suara
ceria Agena menggema di dalam aula.
Satonaka-san
tampak terkejut saat melihatnya menambahkan banyak gula
pasir ke dalam kopinya.
“Apa kamu
lagi-lagi menggaet gadis
yang merepotkan?”
Satonaka menggerutu, dan Miura langsung marah.
“Apa maksudnya dengan 'lagi'!?”
“Setidaknya
kamu harus sadar diri oke, nomer satu.”
“Nomer satu!?”
Meskipun
Miura-san tampak tidak senang, aku juga merasa sangat tidak nyaman.
Apa
maksudnya dengan menggaet?
“...
Aku hanya ingin bertanya, apa kamu benar-benar yakin
membawa dia ke sini? Dia terlihat
begitu bersemangat sampai-sampai sepertinya dia ingin mengunggah foto-foto dari
kafe ini ke Instagram dan mengobrol dengan teman-temannya.”
“Oh,
Si nomer satu cemburu, ya?”
“Owner,
bisa tolong diam saja dulu
sebentar!?”
Senyumnya
sangat menyerang, seolah-olah bersih dan segar.
Namun, aku sangat setuju dengan Miura-san.
“Mana
mungkin dia merasa cemburu.”
“Maizono juga tolong diam.”
Eh!?
“—Tidak,
aku butuh jawaban untuk pertanyaan ini, jadi tolong jangan diam, oke?”
“Y-Ya.”
Senyumnya
yang menyerang kini tertuju padaku. Kenapa?
Meskipun
begitu, mengenai pertanyaannya,
aku menjawabnya seperti yang pernah aku katakan di sekolah.
“Sudah
kubilang bilang aku tidak
melakukannya. Aku mempercaya
itu."
“…………Apa-apaan dengan kepercayaan seperti itu?
Bukannya kalian hanya … teman sekelas?”
“Ya,
memang begitu sih.”
Ketik aku
melihat sekilas ke
tempat meja Agena, tatapan mata
kami bertemu.
Dia
melambai dengan senyum lebar. …Tangannya
tidak terlihat, jadi sepertinya dia mengibaskan lengan bajunya.
“Menurut
Satonaka-san, aku masih kurang pengalaman,
tapi aku ingin mempercayai orang yang
ingin aku percayai.”
“Hmmm.”
Dengan
mengenakan kostum pelayan dan menyilangkan tangan, lengan yang manis itu
mendorong dadanya yang montok dan elegan. Aku tidak tahu harus melihat ke arah mana,
dan akhirnya melihat ke arah Agena.
Karena
lengan bajunya, aku tidak
bisa melihat, tetapi melihat cara dia melambaikan tangan dan ekspresinya,
sepertinya dia sedang melontarkan protes.
Apa
maksudnya?
“……Jika
Agena membocorkannya, pada saat itu juga aku akan bertanggung jawab.”
“…………Hmm, begitu ya.”
Miura-san berpaling dengan kesal.
Dalam
situasi ini, sepertinya tidak ada cara untuk mengubah keadaan sampai aku bisa membuktikan kepercayaan Agena.
Aku
berpikir tentang berapa lama pembuktian itu akan memakan waktu … sambil tetap
berusaha menghadap ke arah Agena.
Jika itu
bukan protes dan hanya panggilan dari pelayan, aku
pasti akan mengabaikan tugasku.
“Ada
yang bisa aku bantu,
pelanggan?”
“Oh,
ternyata itu bukan Ojou-sama, ya?”
“Kafe ini
bukan tempat yang seperti
itu.”
Agena memiringkan kepalanya dengan bingung.
Miura-san juga mengatakan hal yang serupa di awal.
Dalam
kasus Miura-san, dia
pernah mencubit ujung rok kostum pelayannya yang baru pertama kali dipakai,
dengan senyum manis dan berkata, “Selamat
datang kembali, Tuan♪” Tapi ini
bukan tempat seperti itu. Meskipun begitu, aku
ingin terus melihat Miura seperti itu.
“Tapi,
syukurlah.”
“Apanya?”
“Jadi,
kamu dan Miura hanya bekerja di tempat
yang sama, ya?”
“Ya,
bisa dibilang begitu.”
Aku
tidak begitu mengerti maksudnya, tapi memang begitu.
“Hehehe.”
Dengan
kedua siku di atas meja, dia menyandarkan
wajah kecilnya di atas tangan yang saling bertautan. Senyum Agena yang sudah santai
semakin melebar, dan dia tampak sangat senang. Padahal sebelumnya dia seharusnya
melontarkan protes.
“Kamu
sepertinya tampak senang, ya.”
“Masa?
Mungkin saja iya.”
Jika
begitu, maka itu baik-baik saja.
“Umm,
Kensei.”
“Apa?”
Tatapan Agena
mengarah ke luar jendela.
Dengan
cahaya oranye khas sore hari, Agena yang tampak tenang berkata,
“Terima
kasih, ya. Sudah mau memberitahuku.”
“Kita
bukan orang asing, ‘kan?
…Setidaknya, aku berpikir
begitu.”
“Begitu ya.”
Sisi
wajahnya yang tersenyum dengan lembut diterangi oleh sinar matahari sore,
membuat Agena tampak berbeda dari biasanya.
Tanpa
sadar, aku merasa seperti sedang melihat sebuah lukisan yang
indah.
“Aku
itu....”
“Oh,
iya?”
“Saat masih
di sekolah SD dulu, aku orang yang cukup pendiam.”
“Kurasa…
itu mungkin memang benar.”
Melihat Agena
yang sekarang, aku kembali
teringat pada dirinya yang tenang di masa lalu.
Jika dia
memegang buku anak-anak berukuran besar, dia pasti akan terlihat persis seperti
dulu.
“Haha,
jadi kamu masih mengingatnya, ya. Itu sedikit memalukan.”
“Kalau
aku lupa, aku pasti tidak akan paham jika
dikatakan bahwa kita satu sekolah dari SD hingga SMP.”
“Apa iya? Mungkin saja memang
begitu.”
......
“Tapi…
Maizono-kun, kadang-kadang kamu juga
lupa, lho?”
“Masa sih?”
“Ya.
…Bagiku, kamu bukan hanya teman sekelas
dari SD hingga SMP. Bagiku pada
hari itu… kamu adalah satu-satunya temanku.”
…Apa
maksudnya?
Apa yang aku lupakan tentang Agena di masa
sekolah SD dulu?
“Maaf.”
“Haha.
Jangan minta maaf begitu.
Aku tidak ingin membahas masa
lalu."
Setelah
mengatakan itu, Agena akhirnya mengalihkan pandangannya kembali kepadaku … dan tersenyum lebar seperti
biasa, mengibaskan tangan yang tersembunyi di dalam lengan bajunya.
“Aku hanya
ingin mengatakan bahwa aku tidak
akan mengkhianatimu, Kensei.”
Jadi
begitu.
“Aku
takkan pernah sedikit pun berpikir kalau kamu akan mengkhianati.”
“Haha,
kamu mengatakannya dengan santai.”
Dia
menutupi mulutnya dengan lengan, ada rona
merah sedikit di pipinya. Kemudian Agena sedikit
mendongakkan lehernya, seolah-olah ingin melihat ke dalam mataku.
“Tapi
orang itu sepertinya tidak berpikir begitu.”
Ketika aku menoleh, aku melihat kalau Miura-san memalingkan wajahnya.
Oh, jadi
dia mendengar pembicaraan kami ya.
“Hei,
Kensei.”
“Hm?”
“Boleh aku datang lagi kemari?”
Pertanyaan
Agena yang mengangguk dengan santai itu tidak perlu dipikirkan.
“Oh, tentu, kamu boleh mampir kapan
saja.”
Setelah aku mengatakan itu, Agena mengangguk
dengan senang.
†
† †
Setelah
selesai bekerja paruh waktu dan pulang ke rumah, aku
melihat bahwa suasana hati Arisa sedang sangat
ceria. Sepertinya dia mendengar dari teman-temannya di sekolah bahwa mereka merasa iri karena dia mempunyai Nii-san dan Nee-san, sehingga
dia ingin segera melaporkan itu kepadaku
dan Miura-san.
Setelah
mempertimbangkan antara kegembiraan Arisa dan waktu tidurnya, aku memutuskan untuk membiarkannya tidur terlebih
dahulu. Kemampuan Miura-san yang
dengan lembut dan hati-hati menenangkan kegembiraan Arisa. serta membantunya berganti
pakaian tidur sungguh mengagumkan.
Tak lama
kemudian, ketika Arisa akhirnya tertidur dengan nyenyak, aku mengucapkan terima kasih kepada
Miura-san.
“Terima
kasih banyak.”
“…Hmm,
ya. Aku sama sekali tidak keberatan dengan
Arisa.”
Miura-san mengalihkan pandangannya saat
dia mengatakan itu. Hmm… berbeda dengan Arisa, sepertinya
suasana hati Miura-san
hari ini masih agak cemberut.
Aku
berusaha meminta maaf karena membuatnya tidak senang, tetapi saya tiba-tiba
menyadari sesuatu. Ya, itu adalah nasihat
dari Satonaka-san, jika kamu membuat seseorang merasa tidak
nyaman, maka buatlah mereka merasa senang.
“Miura-san.”
“Hmm,
ada apa? Bukannya hari ini kamu juga lelah, Maizono?”
“Eh...?
Entahlah.”
Asli,
bagaimana ya? Jika aku bilang masih sama seperti biasanya, ya memang
sama. Memang ada pengantaran koran pagi, dan aku
juga kurang tidur. Tapi itu sudah menjadi hal yang biasa.
Meskipun
ada kejadian di mana Agena datang ke tempat pekerjaan paruh waktu kami, sih.
“Kamu
sudah bekerja paruh waktu sepanjang hari, ‘kan?
Hal baru bisa membuatmu lelah.”
“Kalau dibilang begitu, mungkin ada benarnya juga, ya?”
Setelah
dipikir-pikir, aku memang
merasa sedikit lelah juga.
“Hmm,
jadi sebaiknya kamu harus cepat
tidur. Aku juga harus segera pulang.”
“Tapi
itu…”
“Ada
apa?”
Aku
merasa tidak enak anjika
Miura-san pulang begitu saja.
“Maizono?”
“……”
Oh tidak.
Membuatnya
merasa senang itu bagus, tetapi
bagaimana caranya agar Miura-san bisa
merasa senang?
“...Ehmm, ada apa?”
“Tidak…”
Kensei,
sebagai laki-laki, hanya bisa mengatakan dengan langsung…
“Aku
tidak ingin Miura-san pulang
dengan suasana hati yang buruk.”
“Hah…
duhh.”
Miura-san menurunkan alisnya dengan tampak
putus asa.
“Aku
tidak sedang cemberut, tapi… kalau begitu.”
Dengan
bingung, dia menunjuk ke dua kursi yang berdampingan.
“Mau
duduk dulu sebentar?”
Aku
merasa lega karena Miura-san tidak menyelonong pulang begitu saja.
Kursi
yang diduduki Miura-san dengan
menyilangkan pahanya adalah kursi miliknya, yang sudah disiapkan
sebelumnya.
Di sini
ada kursi milikku, kursi
Arisa, dan kursi Miura-san. Tentu
saja ada tiga kursi.
Ketika aku duduk di sebelahnya, jarak di antara kami cukup dekat sampai-sampai paha kami hampir
bersentuhan.
“Seriusan, suasana
hatiku tidak sedang cemberut sama sekali.”
Hmm,
tunggu, ada apa ini?
“Ada
apa?”
“Tidak,
memang…”
Entah kenapa,
begitu aku duduk, suasana hatinya yang buruk itu tiba-tiba
menghilang.
Apa ada sesuatu yang berubah?
“Selain itu,
aku tidak ingin membuat Maizono khawatir tentang itu… atau begitulah seharusnya.”
Miura-san menyilangkan tangan dan terlihat
seperti sedang merenung. Apa yang dia maksud dengan
membuatku khawatir?
“Tidak
masalah, aku bisa melakukan itu kapan saja.”
“Jangan bilang begitu, itu akan membuatku senang.”
“Kalau
begitu, aku tidak perlu berhenti, ‘kan!?”
Apa
maksudnya sih!?
“Bukan
begitu! Bukan begitu
maksudku! Aku cuma
tidak ingin menjadi wanita yang merepotkan!”
“H-Hah…”
Wanita
yang merepotkan… apa maksudnya?
Tiba-tiba,
Arisa terbangun.
“Mari
kita pelankan sedikit nada suara kita.”
“Ma-Maaf…”
Miura-san mencoba menenangkan diri dengan
menarik napas dalam-dalam.
“…Ehm,
mengenai Agena-san.”
“Hm?
Oh.”
Nama yang
keluar dari Miura-san yang sudah tenang itu adalah seseorang yang
cukup mengejutkan. Aku merasa
bahwa nama Agena
adalah topik yang tidak ingin dibicarakan oleh Miura-san. Sembilan dari sepuluh
kemungkinan, penyebab suasana hati yang buruknya adalah karena kejadian Agena hari ini.
“Apa dia
sengaja membuat karakter itu?”
“Karakter
yang mana…”
“Karakter
seperti maskot resmi marshmallow.”
“Ah…...”
Aku tidak bisa
menjawabnya jika ditanya apa dia sengaja membuat kepribadiannya yang seperti
itu.
Memang,
suasana Agena hari ini terasa seperti kembali ke masa lalu.
Namun, jika
melihat tingkah lakunya sehari-hari.
“Aku tidak
bisa memastikannya, tapi aku merasa kalau Agena yang sekarang adalah karakter
seperti itu. Seperti maskot resmi marshmallow.”
Rasanya dia
tidak memaksakan dirinya, dan aku sudah sering melihat senyuman alaminya dalam
karakter itu. Meskipun aku tidak punya bukti yang kuat.
“Tapi
katanya dulu dia tidak seperti itu, ‘kan?”
“……Iya, memang. Dulu dia sangat pendiam…… dan jarang
terlihat berbicara dengan orang lain.”
Setidaknya,
seperti itulah saat di sekolah SD.
Di sekolah SMP,
mungkin ada sedikit sisi karakter lucu yang muncul, atau mungkin tidak. Yang
jelas, dia ternyata menjadi anak yang bisa berbicara dan tertawa dengan orang
lain.
Bagaimanapun
juga, aku hampir tidak pernah berhubungan dengannya.
“……Mungkin bagi gadis itu, sosok ideal semacam itulah yang
ingin dia capai…..”
“Miura-san?”
“Tidak, bukan
apa-apa.”
Miura-san
menggeleng pelan dan menyipitkan matanya.
“Aku tidak
berniat menguping, tapi aku mendengar pembicaraanmu dengan Agena-san di kafe.”
“……Oh, begitu”
“Ya. Tapi, rasanya
justru seperti dia ingin aku mendengarnya. Dia sering melirik ke arahku sambil
berbicara denganmu. Melalui pantulan jendela.”
“Eh?”
Jadi begitu rupanya,
alasan kenapa Agena terus-menerus melihat ke luar jendela karena itu…….
“Mungkin itu
sebagai bukti bahwa dia tidak akan mengkhianati…… entahlah.”
Miura-san
mendengus kecil.
“Kalau
begitu, itu bagus.”
Jika itu
sebagai bukti, itu juga menyenangkan bagiku.
“.....”
“Eh,
Miura-san?”
Dia menatapku
dengan tajam.
“Tatapanmu
yang begitu…… sangat…… sangat menjengkelkan.”
“Eh?”
Bruk, bruk, sisi kepala Miura-san menabrak bahuku.
Setiap kali
dia melakukan itu, aroma parfum manisnya menyentuh hidungku dan…… oh, jadi
begini cara belahan rambut dua sisi ini terlihat.
“Maaf”
“Aku tidak
ingin kamu minta maaf”
“Lalu, apa
yang harus aku lakukan…”
Rasanya
sungguh sulit sekali.
“……Sebenarnya, aku bahkan tidak tahu tatapan seperti apa
yang aku miliki.”
Ketika aku
bertanya begitu kepadanya, kepalanya yang terus menabrak bahuku itu berhenti.
“Rasanya……
tatapan yang lembut.”
“O-Oh, begitu.”
“Biasanya,
kamu selalu melihat ke arahku.”
“……Ya, mungkin begitu.”
Aku ingin
selalu bersikap lembut kepada Miura-san.
“Aku ingin
melarangnya selain untuk Arisa.”
“Jika
Miura-san bilang begitu…… aku akan berusaha sebisa mungkin.”
“……………Jika bisa, aku juga ingin sesekali
mendapatkannya.”
“Oh, jadi
Miura-san juga ikut termasuk pelarangannya?”
“Rasanya
lebih adil seperti itu…… tapi agak sulit, jadi aku akan berhenti. Aku akan
curang.”
“Begitu ya…”
Apa yang dia
maksud dengan curang?
“Sekarang
juga aku sedang curang.”
Dia berkata
begitu sambil menempelkan kepalanya ke bahuku.
“Apa yang begini
dibilang curang…?”
“Karena aku
memanfaatkan kebaikanmu.”
“Aku tidak
pernah berpikir seperti itu.”
“Aku hanya
ingin satu-satunya yang curang…”
“Sebenarnya,
kamu sama sekali tidak curang…”
Saat kami
berdua seperti itu, rasanya aku bisa tertidur begitu saja.
Seperti yang
dikatakan Miura-san, mungkin aku memang merasa lelah.
“...Ngantuk?”
“Sedikit”
Saat
menjawab begitu, mataku secara otomatis mulai terpejam.
Tentu saja,
aku tidak bisa tidur begitu saja dan meninggalkan Miura-san sendirian, jadi aku
berusaha untuk tetap terjaga.
Jadi begini
caranya ya kepala yang mengangguk-angguk ini terbentuk…….
Aku tidak
menyangka akan mengalami ini.
“Hehe……
sedikit imut”
“Rasanya
sedikit memalukan tau”
Saat aku
sedikit mengalihkan pandanganku ke arah kanan bawah, Miura-san sedang menatapku
dari jarak dekat.
Kurasa itu
memang wajar. Karena dia menyandarkan kepalanya di bahuku.
Matanya
besar, bulu matanya panjang, dan dia sangat imut.
“Hmm…… ada
apa?”
“Tidak…… bukan
apa-apa…”
Sial, aku
sudah mulai mengantuk.
“……Mari kita tidur. Kamu pasti lelah, ‘kan. Ayo, kamu bisa
berdiri?”
Miura-san
perlahan-lahan meraih tanganku dengan lembut.
Ketika aku
berdiri sesuai perkataannya, aku hampir tersandung sedikit.
Miura-san
mendekat untuk mendukungku, dan kami berdua menuju tempat tidur.
“…Maaf.”
“Tidak
apa-apa.…… Kamu cukup kekar, ya”
Suaranya
yang lembut berbisik di dekat telingaku.
Ketika aku melihat
ke tempat tidur, kakiku terjatuh mencari kenyamanan.
Sepertinya aku
sudah sangat mengantuk──.
“Kya!”
“Ah.”
Kaki kami
saling terjerat.
Miura-san
tidak mungkin bisa menahan berat tubuhku, dan aku yang sudah mengantuk hanya
bisa berusaha agar dia tidak terjatuh ke tanah.
Tubuh kami
yang berdekatan terpeluk erat, dan aku menariknya ke atas tubuhku.
Untungnya kami
berdua terjatuh di atas tempat tidur. Aku bisa merasakan kasur di punggungku.
……Fyuh.
Setidaknya aku merasa bisa memaafkan diriku sendiri karena tidak mempermalukan
Miura-san dengan menyakitinya.
“...Maizono?”
Suaranya
datang dari arah dadaku.
Karena aku
memeluknya dengan erat saat kami terjatuh, jadi menurutku wajar saja jika dia
dalam posisi itu.
“Maaf. Aku malah
menyusahkanmu.”
“Hmm. Tidak
apa-apa…… sih”
Saat aku sedikit menundukkan kepalaku, Miura-san menatapku dengan dagunya yang
bersandar di dadaku.
Matanya
tampak sedikit basah, dan pipinya sedikit memerah.
Saat
itulah aku baru menyadari bahwa kedua tanganku memeluk pinggangnya dan tidak
melepaskannya.
“Aku juga
minta maaf tentang ini.”
“Ah...”
Saat aku
dengan lembut menjauhkan
tanganku, Miura-san
pun berguling ke samping.
Lengan
kiriku terbenam di samping perutnya, dan
kami berbaring berdampingan.
Kami
berdua tidur di tempat tidurku.
Di tempat
tidurku. Bersama Miura-san.
“......”
“......”
Apa yang
harus aku lakukan?
Suara
Miura-san yang menghirup napas.
“....Baunya mirip
seperti kamu.”
“....Maaf,
apa aku bau?”
“Tidak, bukan begitu maksudku…”
Seperti
anak kecil yang mengantuk, dia menggeleng pelan dan menatapku dengan mata yang
setengah terpejam.
Kakinya
mengusap betisku dengan lembut.
Halus dan
lembut. Tangan kiriku berada di
bawah tubuhnya. Tangan kananku tanpa sadar menjangkau
ke arahnya.
“Aku
ingin seperti ini selamanya…”
Telingaku
menangkap bisikan manis itu.
Aku juga
ingin seperti ini selamanya.
……Apa iya begitu?
Pikiran bingung muncul di kepalaku.
Wajah Miura-san hanya beberapa senti tepat di
depanku.
Kulitnya
yang halus bersinar dalam cahaya redup dan
berkilau.
Aku penasaran apa ini yang disebut serpihan
peri?
Keindahan
kulitnya yang berkilau kontras dengan bulu mata panjangnya dan matanya yang hitam. Di pipinya ada sedikit warna
merah muda yang sehat…… napas manisnya mengubah rasa kantukku menjadi sesuatu
yang lain.
Aku
menginginkan wanita di hadapanku.
Aku ingin
menjadikannya milikku.
“Ah…”
Tangan
kananku menyentuh bahu blusnya yang dihiasi renda. Seperti biasa, itu adalah pakaian yang membuatnya terlihat
semakin menarik.
Aku tidak
mengerti mengapa orang-orang menjauh darinya.
Karena
dia begitu……
“Maizono……
mmm”
Tangan
kananku menyusuri lehernya dan menyentuh pipinya. Aku telah menyentuhnya.
Perasaan
telah menginjakkan kaki di wilayah suci keindahan
ini memberikanku rasa pencapaian daripada
rasa bersalah.
Aku
berhak untuk menyentuh keindahan ini
……Tapi, aku tidak ingin berakhir sampai di sini.
Aku ingin lebih, aku menginginkannya.
“Miura-san…”
Seolah
tersedot, aku mendekat ke arah
bibirnya──.
“Ma-Maizono!”
Suaranya
seolah mengembalikanku ke kenyataan. Suaranya yang penuh tekad membuat rasa
kantukku lenyap.
“....Maaf,
aku....”
“Maafkan
aku”
Miura-san
mengalihkan pandangannya dengan raut wajah menyesal. Mengapa dia meminta maaf?
Pertanyaan itu segera terjawab.
“Aku
memang curang…… tapi aku tahu aku tidak memiliki hak untuk itu…”
Dia
menutup matanya rapat-rapat dan berdiri.
Kehangatan
itu menghilang, dan berat yang terasa di lengan kiriku pun lenyap.
“Miura-san?”
“Ma-Maaf. Aku harus pulang. Aku
baik-baik saja. Berkatmu, aku tidak lagi merasa murung,
dan aku baik-baik saja. Jika aku membangunkan Arisa, itu akan menjadi yang
terburuk, kan?”
“....Ah”
Karena
kantukku sudah hilang, jadi aku juga
berdiri.
“Baiklah, kalau begitu, sampai jumpa”
Aku
menghentikannya saat dia dengan cepat menuju pintu masuk sambil membawa ransel
kecil yang lucu di punggungnya.
“Hei.
Miura-san.”
“Ada
apa?”
Miura-san
menoleh dengan ceria, dan meskipun dia tidak tampak tidak senang, aku merasakan
sesuatu yang tidak bisa diungkapkan, seperti kesepian.
Jadi aku
menanyakan pertanyaan yang masih membingungkanku meskipun sudah mendapat
jawaban.
“Apa
itu hak yang kamu maksud tadi?
“Itu…umm”
Dia
menurunkan alisnya dengan ekspresi sedih.
“Hak
untuk berdiri di sampingmu, mungkin.…… Maafkan aku, seandainya saja aku bisa menjadi lebih……pantas.”
Pada
akhirnya, aku masih tidak mengerti.
Hanya
saja, entah mengapa.
Aku
merasa ingin mengatakannya.
“Miura-san.
Mungkin saat ini aku juga tidak memiliki hak.”
“Eh?”
Hanya
saja, terlepas dari ada atau tidaknya hak itu, aku telah menemukan tujuanku.
“Aku
menginginkanmu, Miura-san.”